Anda di halaman 1dari 8

Scientific Research Journal (SCIRJ), Volume III, Issue IV, April 2015 15 ISSN 2201-2796

Praktik Sistem Presidensial di Indonesia


Dr. A. Muhammad Asrun, SH.MH
Lecturer at Law Faculty and Chairman of the Graduate Legal Studies Program,
University of Pakuan
Email address : kajipublik@yahoo.com dan dutalaw@gmail.com

Abstrak- Perubahan sistem pemerintahan baru-baru ini ke sistem Presidensial di Indonesia


telah menimbulkan banyak pertanyaan khususnya yang berkaitan dengan implementasi sistem
tersebut. Sementara arti dan ruang lingkup sistem presidensial yang digariskan dalam konstitusi
nasional tidak ada hubungannya dengan keterlibatan badan parlemen, tetapi dalam prakteknya
kondisi ini tidak dapat direalisasikan. Tulisan ini bertujuan membahas praktik atau implementasi
sistem presidensial di Indonesia dengan menggunakan argumen yang maju dalam literatur
serta konstitusi nasional. Dikatakan bahwa etika politik harus diletakkan di depan dalam
mengimplementasikan sistem Presidensial. Alasannya adalah sebagian karena etika politik
memiliki kemampuan untuk mengatur serta mengatur keinginan kelompok kepentingan untuk
memiliki kekuatan dominan dengan membangun lembaga yang lebih adil dan bermartabat.
Dengan etika politik, keputusan yang diambil akan adil dan mampu mengendalikan dan
menghindari sebanyak mungkin penyalahgunaan kepentingan. Hasilnya akan menjadi
kepentingan bangsa dan Negara daripada kepentingan kelas atau kelompok. Juga, dikatakan
bahwa untuk dapat memainkan peran aktif untuk melaksanakan kebijakan, pemerintah atau
negara perlu memiliki kekuasaan dan otoritas. Kekuatan atau kewenangan ini berguna untuk
mendorong kerja sama dan menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses
implementasi kebijakan dan pengambilan keputusan. Oleh karena itu, pendidikan politik kepada
para elit adalah suatu keharusan untuk membuat sistem presidensial yang disepakati dan
dipandu dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang efektif. Pentingnya etika politik
dan pendidikan yang diberikan kepada anggota parlemen juga dapat meminimalkan kesalahan
melakukan terhadap korupsi, kolusi dan nepotisme.

Ketentuan Indeks — Sistem presidensial, etika politik, Konstitusi Nasional, Pancasila, anggota
parlemen.
I. PENDAHULUAN

Konstitusi Nasional Republik Indonesia menyatakan langsung bahwa kedaulatan berada di


tangan rakyat. Hal ini secara khusus dinyatakan dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pernyataan ini lebih lanjut diperluas dalam Pasal 6
ayat (1) karena dinyatakan bahwa "Presiden dan Wakil Presiden dapat dipilih sebagai
pasangan langsung oleh rakyat. Kedua pasal ini menunjukkan bahwa ada perubahan dalam
Konstitusi Nasional mengenai sistem pemerintahan di Indonesia terhadap Sistem Presidensial
Namun perubahan yang dibuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 ke arah sistem Presidensial
dalam prakteknya tidak bebas masalah. Permasalahan ini semakin memuncak ketika sistem
presidensial yang dibentuk dalam konstitusi juga telah ditemani. oleh meningkatnya jumlah
partai politik, sebagai konsekuensinya, ada banyak konflik kepentingan antara badan legislatif
dan eksekutif yang selanjutnya menciptakan kebuntuan konstitusional atau kunci grid politik.

Untuk mengatasi masalah ini, setidaknya ada tiga saran yang diajukan dalam literatur. Solusi
pertama adalah dengan membuat aturan mayoritas dalam sistem politik. Yang kedua adalah
dengan membuat sistem pemerintahan negara yang kondusif untuk perbedaan dalam
kepentingan politik. Yang ketiga adalah dengan mengoptimalkan jumlah partai politik. Terlepas
dari ketiga saran di atas, ada juga saran lain yang menekankan pada pentingnya etika politik.
Etika politik dianggap penting karena dapat menciptakan keselarasan antara pemerintah dan
partai politik. Juga, itu karena etika politik terkait erat dengan bidang diskusi moral. Etika politik
memiliki kemampuan untuk mengatur serta mengatur keinginan kelompok kepentingan untuk
memiliki kekuatan dominan dengan membangun lembaga yang lebih adil dan bermartabat.
Dengan etika politik, keputusan yang diambil akan adil dan mampu mengendalikan dan
menghindari sebanyak mungkin penyalahgunaan kepentingan. Hasilnya akan menjadi
kepentingan bangsa dan Negara daripada kepentingan kelas atau kelompok. Dengan demikian,
etika politik dapat meminimalkan konflik antara eksekutif dan kelompok legislatif. Tujuan dari
makalah ini adalah untuk membahas praktik sistem presidensi di Indonesia dengan
menggunakan argumen-argumen yang maju dalam literatur dan juga konstitusi nasional.
Namun, sebelum membahas masalah di atas, definisi dan ruang lingkup etika, politik, dan etika
politik dibahas sebagai latar belakang dalam bagian se3cond. Ini akan diikuti oleh arti sistem
presidensial yang maju dalam literatur di bagian 3. Bagian 4 kemudian membahas apa praktik
sistem Presidensial di Indonesia. Akhirnya, kesimpulan dari tulisan ini diberikan di bagian 5.
II. ETIKA, POLITIK DAN ETIKA POLITIK

Etika dan politik memiliki arti yang berbeda. Suseno (1987) mendefinisikan etika sebagai
pemikiran kritis mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Itu tidak hanya berhubungan
dengan bagaimana dan mengapa orang harus berperilaku secara moral, tetapi lebih penting
lagi bagaimana orang bertanggung jawab terhadap apa yang mereka lakukan. Definisi ini juga
dibagi oleh Kattsoff (dalam Suseno, 1987) dengan mengatakan bahwa etika lebih
mementingkan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam kaitannya dengan perilaku manusia.
Definisi etika memang sangat berbeda dengan definisi politik. Kata politik secara etimologis
dapat berarti kota atau negara (negara kota). Bisa juga polites atau kewarganegaraan, sopan-
negara atau politika berarti pemerintahan. Dengan demikian, dalam politik umum berkaitan
dengan setiap kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) mengenai proses penentuan
tujuan sistem serta pelaksanaan tujuan negara. Ini berarti bahwa keputusan yang dibuat serta
implementasi kebijakan oleh negara atau pemerintah tentu berkaitan dengan politik termasuk
manajemen dan pengiriman atau alokasi sumber di suatu negara.

Namun, untuk dapat memainkan peran aktif untuk melaksanakan kebijakan, pemerintah atau
negara perlu memiliki kekuatan dan otoritas. Kekuatan atau kewenangan ini berguna untuk
mendorong kerja sama dan menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses
implementasi kebijakan dan pengambilan keputusan. Padahal, politik biasanya digunakan untuk
mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Dengan demikian, politik berurusan dengan hal-hal
dalam kekuasaan atau tindakan negara yang dilakukan oleh negara atau pemerintah. Ini juga
dapat menangani kegiatan berbagai kelompok, termasuk partai politik dan kegiatan pribadi.
Sementara etika dan politik memiliki arti tersendiri. Etika politik juga terkait erat dengan bidang
diskusi moral. Namun, etika politik sangat banyak perilaku manusia dalam pengambilan
keputusan serta tindakan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat, bangsa dan
negara. Pentingnya etika politik adalah karena fakta-fakta meningkatnya masalah pemerintah,
lembaga atau pihak yang menentang nilai moral. Jimly Assiddqie (2014) berpendapat bahwa
masalah ini timbul sebagian karena globalisasi dan persaingan yang ketat. Karena masalah ini,
tidak diragukan lagi bahwa etika politik harus diakomodasi dalam kegiatan politik yang terkait
dengan pengambilan keputusan publik. Ini tidak hanya untuk elit politik, pemerintah dan negara,
tetapi juga harus dilakukan oleh masyarakat secara umum. Dengan demikian, praktik
demokrasi yang dilakukan di negeri ini akan berjalan lancar seperti yang diharapkan.
III. APAKAH SISTEM PRESIDEN?

Dalam studi tentang Sistem Pemerintahan, ada dua sistem yang umumnya diklasifikasikan.
Yang pertama adalah Sistem Presidensial dan yang kedua adalah sistem Parlementer (Sri
Soemantri, 2014). Mengenai sistem presidensial, ada dua hal yang perlu dipertimbangkan di
negara berdasarkan Republik, yaitu sistem Presiden dan Presiden. Presiden adalah orang yang
telah diberi kepercayaan oleh rakyat negara yang berdasarkan pada sistem Republik.
Terminologi ini digunakan untuk berbeda dengan terminologi Raja / Ratu di negara berdasarkan
Sistem Monarki. Namun, tidak semua negara berdasarkan sistem Republik memiliki Sistem
Presidensial di mana Presiden bertindak sebagai kepala negara serta kepala pemerintahan. Di
Republik Singapura, misalnya, kepala negara ada di tangan Presiden, sementara sistem
pemerintahannya bersifat parlementer. Dengan demikian, Presiden tidak identik dengan sistem
Presidensial. Demikian pula, sistem parlementer tidak identik dengan bentuk pemerintahan
Monarki.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945, kata "Presiden" memiliki peran ganda yaitu Presiden
sebagai posisi (jabatan) dan Presiden sebagai institusi. Menurut Thomas Sargentich (dalam Sri
Soemantri, 2014), perbedaan variabel antara sistem pemerintahan presidensial dengan sistem
pemerintahan parlementer terletak pada metodologi yang digunakan oleh negara-negara dalam
memilih dan / atau memecat kepala pemerintahan. Kondisi inilah yang membuat perbedaan
antara sistem Presidensial dan sistem Parlementer. Dalam sistem parlementer, Eksekutif
memiliki akuntabilitas dan tanggung jawab kepada badan Legislatif, sehingga badan Legislatif
memiliki kekuatan untuk memecat badan Eksekutif secara langsung. Sementara sistem
Kepresidenan, ada pembagian yang jelas di mana badan Eksekutif harus bertanggung jawab
kepada badan Legislatif, dan badan Legislatif tidak memiliki wewenang untuk memberlakukan
dan / atau memberhentikan badan Eksekutif (lihat Tabel 1 untuk rinciannya).
Tabel 1. Perbedaan Karakteristik antara Sistem Presidensial dan Sistem Parlementer
Sistem Parlementer Perbedaan Sistem Presidensial
Perdana Menteri sebagai Kepala Presiden sebagai Kepala
Kepemimpinan
Pemerintahan Negara dan Pemerintahan
Memiliki cabang eksekutif
Fungsi antara badan eksekutif dan
Pemisahan kekuatan yang berbeda dengan
legislatif
legislatif
Vote of No Confidence/Partai Vote Penghapusan dari Office Pendakwaan
Source : Sri Soemantri, 2014
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa perbedaan paling mendasar dari sistem Presidensial dengan sistem
parlementer terletak pada model kepemimpinan, pola distribusi kekuasaan dan sistem pengenaan
kepala pemerintahan. Dalam hal pola kepemimpinan, jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan
dalam sistem presidensial berada di tangan presiden. Dengan kata lain, dalam sistem presidensial,
Presiden adalah kepala kantor negara dan memainkan peran sebagai kepala pemerintahan. Sementara
dalam sistem parlementer, kepala Negara dipisahkan dengan posisi kepala pemerintahan. Menurut Den
Haag (2010), Sistem Administrasi Kepresidenan terdiri dari tiga (3) elemen, yaitu: (a) presiden dipilih
oleh rakyat dan memimpin pemerintah dan menunjuk pejabat pemerintah yang bersangkutan; (b)
Presiden Dewan Perwakilan (Badan Legislatif) memiliki jangka waktu tetap dan tidak dapat dihentikan;
(c) tidak ada status tumpang tindih antara eksekutif dan badan legislatif. Argumen ini juga didukung oleh
Sumbodo Tikok (2011) dalam ia menyatakan bahwa sistem pemerintahan presidensial adalah
pemerintahan di mana posisi eksekutif tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat.
Dengan kata lain, kekuasaan eksekutif berada di luar kendali langsung parlemen. Lebih lanjut ia
berpendapat bahwa sistem pemerintahan presidensial setidaknya memiliki beberapa karakteristik
berikut. Yang pertama adalah bahwa Presiden adalah kepala badan eksekutif yang memimpin kabinet
yang diangkat olehnya dan mereka juga bertanggung jawab kepada Presiden. Ketentuan kepresidenan
juga ditentukan oleh Konstitusi. Yang kedua, Presiden tidak dipilih oleh badan legislatif, tetapi ia dipilih
oleh sejumlah pemilih. Yang ketiga adalah bahwa Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan
legislatif dan tidak dapat dihentikan oleh badan legislatif. Akhirnya, presiden adalah mitra dan tidak
dapat dibubarkan oleh badan legislatif.

Oleh karena itu, pemisahan kekuasaan adalah prinsip utama dalam sistem pemerintahan
presidensial dan juga dapat dianggap sebagai pembeda utama yang membedakannya dari
sistem Parlementer. Presiden sebagai kepala pemerintahan tidak perlu bertanggung jawab
kepada badan legislatif. Presiden, bagaimanapun, secara moral memang memiliki akuntabilitas
langsung kepada rakyat. Pemilihan kembali umum hanya akan menjadi cara untuk mengakhiri
Presiden dan satu-satunya harapan bagi rakyat untuk mendapatkan jaminan pemerintahan
yang baik oleh Presiden sebagai Kepala Pemerintahan di suatu negara. Karena kondisi ini,
beberapa negara seperti Perancis, misalnya, mencoba menerapkan sistem kombinasi yang
menggabungkan sistem presidensial dan sistem parlementer.
IV. PRAKTIK SISTEM PRESIDEN

Indonesia adalah negara kesatuan dalam bentuk Republik. Gagasan ini telah dinyatakan
dengan jelas dalam Pancasila dan dalam UUD 1945. Dalam kondisi ini, Presiden Republik
Indonesia memiliki dua posisi, yaitu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Namun,
dalam prakteknya kedua jenis kekuasaan ini tidak sejalan dengan hukum dan konstitusi. Ini
hanya karena ada intervensi yang diberikan oleh parlemen. Dengan kata lain, sistem
pemerintahan di negara ini bukan sistem Presiden semata, tetapi merupakan kombinasi sistem
presidensial dan sistem parlementer. Perubahan sistem pemerintahan telah terjadi sejak
Indonesia merdeka pada tahun 1945. Rincian perubahan ini ditunjukkan pada Tabel 2 sebagai
berikut.
Tabel 2. Perubahan Sistem Pemerintahan di Indonesia, 1945 1998
Sistem Pemerintahan Periode
Sistem Presiden 1945-1949
Sistem Parlemen 1949-1950
Sistem Parlementer dengan Demokrasi Liberal
1950-1959
1950-1959
Sistem Presidensial 1959-1966
Sistem Kepresidenan 1967-1998

Namun, setelah era Soeharto berakhir, sistem pemerintahan berubah menjadi sistem
demokrasi di era reformasi. Pada tahun 1999 ada adendum yang dibuat dalam konstitusi
nasional menuju sistem demokrasi. Perubahan yang dibuat dalam konstitusi termasuk
pembatasan kekuasaan pemerintah atau eksekutif dan jaminan hak asasi manusia dan hak
warga negara. Adendum konstitusi nasional dibuat untuk kali pada tahun 1999, 2000, 2001 dan
2002 masing-masing. Setelah perubahan yang dibuat dalam konstitusi nasional, sistem
pemerintahan di bawah konstitusi nasional adalah dalam bentuk sebagai berikut.
1. Indonesia masih merupakan negara kesatuan dengan prinsip otonomi daerah yang luas
karena negara ini dibagi menjadi provinsi;
2. Bentuk pemerintahan masih merupakan republik, sedangkan sistem pemerintahannya
adalah Presiden;
3. Presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan juga. Presiden dan wakil
presiden dipilih langsung oleh rakyat dalam satu paket.
4. Kabinet atau menteri yang ditunjuk oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
5. Parlemen terdiri dari dua bagian (bikameral), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Anggota dewan adalah anggota Majelis. Parlemen memiliki
wewenang dan otoritas legislatif yang mengawasi pemerintahan.
6. Kekuasaan dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya., dan
Mahkamah Konstitusi.
Namun, praktik sistem kepresidenan juga mengambil elemen dari sistem pemerintahan
parlementer dan juga melakukan reformasi untuk menghilangkan kelemahan yang ada di dalam
sistem. Beberapa variasi praktik pemerintahan presidensial saat ini di Indonesia adalah sebagai
berikut;
1. Presiden dapat sewaktu-waktu diberhentikan oleh Majelis atas rekomendasi dari Dewan
Perwakilan. Jadi, DPR masih memiliki kewenangan mengawasi kepresidenan meski
secara tidak langsung.
2. Presiden dalam menunjuk pejabat negara membutuhkan pertimbangan atau persetujuan
dari Parlemen.
3. Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu membutuhkan pertimbangan atau
persetujuan dari Parlemen.
4. Parlemen diberi kekuatan yang lebih besar dalam hal membentuk legislasi dan
anggaran yang tepat (anggaran).

Oleh karena itu, sistem pemerintahan saat ini sangat berbeda dengan sistem sebelumnya.
Perubahan dilakukan untuk memperbaiki sistem presidensial sebelumnya. Perubahan-
perubahan ini termasuk penekanan pada pemilihan langsung, pentingnya sistem bicameral,
checks and balances, dan juga memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen
untuk melakukan fungsi pengawasan dan anggaran. Kondisi di atas telah dikritik terutama oleh
para ahli hukum. Disarankan bahwa jika negara berniat untuk menerapkan sistem
pemerintahan presidensial murni, Presiden memang tidak dapat membubarkan Dewan
Perwakilan. Juga, Dewan Perwakilan tidak dapat menggulingkan Presiden kecuali kondisi yang
disyaratkan oleh Konstitusi dilanggar. Selanjutnya, setiap penerbitan hukum dan / atau
peraturan harus didiskusikan oleh Presiden dan Parlemen. Undang-undang dan / atau
peraturan yang disetujui oleh kedua belah pihak harus didukung dan dilaksanakan dengan cara
proporsional.
V. KESIMPULAN

Indonesia memiliki cara tersendiri dalam mengatur negara di bawah sistem Presidensial. Sistem
pemerintahan presidensial di Indonesia ini telah dikombinasikan dengan berbagai pihak.
Kombinasi sistem presidensial dan sistem multipartai menunjukkan bahwa ada "kurangnya
kedewasaan" dari elit politik (MPR, DPR, DPD dan Presiden). Hal ini juga menunjukkan
kurangnya kesadaran terhadap penerapan etika politik elit dalam menjalankan kewenangan
administrasi negara di bawah sistem pemerintahan presidensial. Oleh karena itu, pendidikan
politik kepada para elit adalah suatu keharusan untuk membuat sistem presidensial yang
disepakati dan dipandu dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang efektif.
Pentingnya etika politik dan pendidikan yang diberikan kepada anggota parlemen dapat
meminimalisir kesalahan dalam melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

REFERENCES
Budiardjo, M. Democracy in Indonesia. Parliamentary Democracy and Democracy Pancasila. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. 1996.
Djokosutono. Constitutional Law. Harun Al Rasid collected. Lecture HTN. Jakarta: Indonesian Ghalia,
1982.
Huda, Ni'matul. Indonesian constitutional politics: Study on Dynamics Perbahan 1945. Cet. I. New York:
FH UII Pres, 2003.
Jimly Assiddqie. Justice Constitution of Conduct and Ethics, Jakarta: Rays Graphic, 2014.
------------------. Enforcing Ethics Organizers Election Jakarta: King Grafindo Persada, 2013.
Kusnardi and Harmaily Ibrahim. Introduction to the Law of the State of Indonesia system. Jakarta: Sinar
Bakti.
Suseno. Political Ethics. Jakarta, 1987.
Sri Soemantri M. Constitutional Law Indonesia : Thoughts and Views. London: Rosda, 2014.
Sumbodo Tikok,2010, Construction Law of the State of Indonesia, Jakarta: Kencana.
_____________, 2011. Construction Indonesia Constitutional Law Amendment to the 1945 Constitution
Jakarta Post: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai