Legal Anotasi Pak Iwan PDF
Legal Anotasi Pak Iwan PDF
I. Pendahuluan
Pengujian secara ilmiah atau akademik (eksaminasi) terhadap putusan hakim adalah
hak warga negara, khususnya para ahli hukum (Lihat putusan MK Nomor 005/PUU-
IV/2006, hal 189). Eksaminasi merupakan langkah positif yang seharusnya menjadi
tradisi dalam kerangka mendorong peradilan yang accountable dan fair ke depan.
Dengan eksaminasi publik, maka ada prinsip publisitas dan transparansi putusan hakim di
hadapan publik yang dapat dinilai oleh publik. Di samping itu, dengan adanya eksaminasi
publik tersebut, para hakim ditantang untuk melahirkan putusan-putusan yang adil dan
dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Dengan kata lain, eksaminasi publik
sebenarnya dapat dikatakan sebagai bagian dari open assessment terhadap kinerja hakim
dalam memutuskan sebuah perkara. Eksaminasi dapat menjadi pembanding atau
comparative analysis terhadap putusan hakim, sehingga untuk jangka panjang, putusan-
putusan hakim di masa datang akan semakin berkualitas.
Putusan MK dalam kasus kewenangan KY perlu dan penting dieksaminasi oleh para
ahli hukum karena putusan ini dianggap berbau kontroversi, minimal karena beberapa
hal, pertama, Putusan MK ini diluar harapan para aktifis pemantau peradilan karena
menganulir pasal-pasal yang menjadi entry points strategis dalam upaya menciptakan
peradilan yang bersih. Kedua, Putusan MK dalam kasus ini terkesan dipaksakan karena
sebenarnya klausula-klausula yang dipermasalahkan oleh pemohon tidak bertentangan
pasal-pasal yang ada di dalam UUD 1945, tetapi lebih tepat menjelaskan lebih detail
ketentuan yang belum diatur secara jelas oleh pasal 24B UUD 1945. Ketiga, pemaksaan
penganuliran beberapa pasal terkait mengesankan MK bertindak terlalu jauh melampaui
kewenangannya. Keempat, dengan putusan MK yang seperti, MK punya kecenderungan
menjadi super body yang hegemonik dan karenanya dapat mengancam keseimbangan
konsep separation of powers dan checks and balances yang sebenarnya menjadi ide dasar
munculnya MK itu sendiri, yaitu mencegah terjadinya dominasi kekuasaan oleh satu
tangan atau di satu organ tertentu.
1. Bahwa pada dasarnya penulis berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara
UU KY dan pasal 24B UUD 1945. Pasal 1 butir 5 UU KY tidak dalam posisi
yang bertentangan dengan pasal 24B UUD 1945, tetapi UU KY menjelaskan lebih
lanjut pengertian hakim yang tidak dijelaskan secara eksplisit oleh Pasal 24B
UUD 1945.
Jadi, hubungan MA, MK dan KY, dalam wilayah tertentu bisa jadi bersifat
partnership, tetapi dalam wilayah lain, KY menjalankan fungsi pengawasan secara
independent terhadap para hakim, baik di MA maupun di MK.
Sebagai pembanding, di Prancis dan Indonesia, menggunakan kata yang berbeda untuk
maksud yang hampir sama. Di Prancis, mereka menyebut lembaga penguji
konstitusionalitas sebagai conseil constitutionnel(constitutional council). Maka
counseil constitutionnel itu bukanlah murni sebagai lembaga peradilan karena dalam
persoalan pengujian konstitutionalitas UU, yang dilakukan tidaklah judicial review tetapi
merupakan preview sebelum pengundangan untuk dapat memiliki kekuatan mengikat
sebagai UU. Posisinya lebih merupakan clearing house dan tidak didasarkan atas adanya
sengketa. Karenanya itu anggota CC itu disebut members, bukan judges (Hartono, 2004:
27 dan lihat juga Allan R.Brewer-Carrias, hal 252-253). Jadi, CC bukanlah lembaga
peradilan murni, tetapi lebih pada council atau dewan dan karenanya hanya hanya
memiliki kewenangan terbatas dalam pengujian (preview) terhadap UU yang akan
disahkan. Dan karenanya anggotanya disebut members, bukan judges.
Berbeda dengan Indonesia yang menggunakan konsep MK sebagai sebuah lembaga
peradilan dan karena MK dimasukkan pengaturannya ke dalam Bab IX UUD 1945 yang
mengatur tentang kekuasaan kehakiman. Pemakaian kata “Mahkamah” atau “court” di
dalam istilah Mahkamah Konstitusi atau Constitutional Court mengimplikasikan bahwa
Indonesia memilih model pengujian UU melalui “lembaga peradilan”, bukan “dewan”
seperti di Prancis. Karena itu, MK di Indonesia, memiliki kewenangan tidak hanya
sebatas pengujian konstitusionalitas UU terhadap UUD 1945, tetapi juga memiliki
kewenangan tambahan seperti a).memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD, b). memutus pembubaran partai politik, memutus
sengketa hasil pemilu dan memutus perkara apakah seorang presiden atau wakil presiden
dapat di-impeach atau tidak (lihat Hartono, 2004: 25-26). Dengan kewenangan seperti itu,
maka MK adalah sebuah lembaga peradilan (makanya istilah Inggrisnya “constitutional
court”) dan karena anggotanya disebut “hakim” MK. Jadi, dalam kaitan dengan kasus
ini, pengawasan dilakukan terhadap semua hakim di wilayah peradilan manapun, tanpa
dibatasi oleh status hakim itu hakim karir atau non karir, termasuk hakim MK.
Berdasarkan argumentasi di atas, maka pendapat MK yang mengatakan bahwa
MK dikeluarkan dari definisi hakim karena alasan masa jabatan yang terbatas
adalah tidak tepat. Apalagi, dengan kekuasaan sebesar itu, MK bisa menjadi
judicial tyranny jika para hakimnya tidak diawasi. Hakim MK bukanlah orang-
orang suci dan karenanya bisa benar, bisa salah. Untuk itu, penulis berpendapat
bahwa hakim agung dan hakim yang berada di bawah pengawasan dan hakim MK
adalah termasuk yang menjadi objek pengawasan KY.
5. Perubahan Ketiga dan Keempat UUD 1945, pasal 24 s/d pasal 25 menyebutkan 3
lembaga yang ditempatkan sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yaitu
Mahkamah Agung dan lembaga peradilan di bawahnya, Komisi Yudisial dan
Mahkamah Konstitusi. Bab Kekuasaan Kehakiman ini tidak menyebut secara
jelas bahwa KY adalah supporting organ atau komplementer dari MA atau MK,
tetapi malah disebutkan bahwa KY bersifat mandiri dalam menjalankan fungsi
pengawasan. Jadi, dari bunyi pasal-pasal di atas tidak ditemukan penjelasan
bahwa MA adalah main state organ dan KY adalah supporting organ. Akan tetapi
yang dapat disimpulkan adalah KY dalam kekuasaan kehakiman tersebut
berwenang mengusulkan calon hakim agung dan memiliki kewenangan lain
dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim. Dengan demikian, dalam konteks kekuasaan kehakiman MA, MK dan KY
dalam posisi yang sejajar dan equal, tetapi ketiganya memiliki fungsi yang
berbeda. Artinya secara struktural, dalam wilayah kekuasaan kehakiman
ketiganya sejajar, tetapi menjalankan fungsi yang berbeda. Karena itu, dalil MK
yang menyatakan KY hanya supporting organ tidaklah tepat. Pertimbangan MK
dalam menempatkan KY sebagai supporting organ bukanlah wilayah
kewenangan MK menentukannya, tetapi lebih menjadi kewenangan MPR melalui
mekanisme amandemen UUD 1945. MK dalam hal ini hanya bisa memutuskan
persoalan sengketa kewenangan lembaga lembaga Negara, bukan masuk pada
putusan yang menentukan kedudukan dan struktur lembaga Negara. Jika ini
terjadi, berarti MK telah melampaui kewenangannya dan MK bisa menjadi super
body yang bisa mendominasi makna dan struktur kekuasaan kekuasaan Negara.
Hal ini jelas bertentangan dengan konsep dasar separation of powers dan
mekanisme checks and balances, yang intinya mencegah kekuasaan memusat
pada satu tangan atau satu organ. MK kemudian bisa menjadi tirani atas nama
kewajiban konstitusional dalam membuat intepretasi terhadap UUD. Seharusnya
wilayah kedudukan dan struktur lembaga, penyelesaiannya dikembalikan kepada
MPR melalui amandemen UUD 1945.
Semenjak kemunculan lembaga judicial review, Dahl, misalnya telah menyatakan bahwa
kekuasaan lembaga peradilan , seperti MA atau MK, dalam menyatakan sebuah produk
legislasi tidak constitutional adalah sebuah kontroversi yang serius. Dahl lebih jauh
berargumen bahwa dalam membuat penilaian terhadap produk legislasi tersebut, bisa jadi
hakim terkontaminasi oleh bias ideology dan referensi yang dimilikinya (Denny
Indrayana, 2005: 71), apalagi jika putusan yang dibuat berkaitan dengan kepentingan
dirinya sendiri, sehingga conflict of interest tidak bisa dihindari.
Rawls, sebagaimana dikutip Freeman bahkan menyatakan judicial review dapat menjadi
anti-demokrasi jika dipakai secara tidak tepat untuk membatalkan UU yang telah
disahkan yang dirancang untuk mendorong pelaksanaan jaminan hak asasi manusia
(Denny Indrayana, 2005: 71).
Jadi, berdasarkan uraian di atas, MK telah melampaui kewenangannya dalam
memutuskan perkara tentang struktur dan posisi lembaga Negara seperti MA dan
KY yang telah jelas diatur oleh UUD 1945 itu sendiri. Masalah Struktur dan Posisi
Lembaga Negara tidak menjadi kewenangan Mk memutuskannya karena itu
adalah menjadi kewenangan MPR forum tertinggi dalam membicarakan platfon
Negara dan struktur Negara.
IV. Penutup
Putusan MK dalam kasus kewenangan KY adalah pukulan bagi gerakan anti mafia
peradilan. MK gagal menangkap spirit dari munculnya institusi KY yaitu karena
lemahnya pengawasan internal di tubuh MA dan sulitnya memberantas praktek mafia
peradilan yang selama ini telah mencoreng citra penegakan hukum di Indonesia. Justice
Stone memang mengkhawatirkan dari awal bahwa intervensi terlalu jauh lembaga
peradilan terhadap produk UU yang merupakan “the will of people” karena pengadilan
tidak selalu mengerti nilai-nilai yang ada dalam masyarakat (Edward Mc. Whinney,
1969: 180).
Kekhawatiran Justice Stone tampaknya mulai mengemuka di Indonesia seiring
menguatnya MK sebagai sebuah institusi peradilan yang memiliki kewenangan “super”,
sebagai the guardian of the constitution, dan sebagai the interpreter of the constitution.
Jika hegemoni MK tidak dikontrol, maka bisa jadi kemudian MK menjadi judicial
tyranny yang bertindak atas nama kewajiban konstitusional. Karena itu, MK bisa jadi
bukannya menyelesaikan masalah hegemoni eksekutif di masa Orde Baru (executive
heavy) dan hegemoni legislatif (legislative heavy) di masa awal reformasi, tetapi perlahan
MK memunculkan masalah baru yaitu munculnya judicial heavy di tangannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merekomendasikan agar perdebatan tentang
ruang lingkup hakim yang diawasi oleh KY diserahkan penyelesaiannya melalui
mekanisme amandemen terhadap pasal 24B UUd 1945 agar pasal tersebut lebih
menjelaskan secara tegas ruang lingkup hakim dimaksud. Wallahu A’lam Bishawwab!
Ringroad Barat Yogyakarta, 24 September 2006
Iwan Satriawan