Anda di halaman 1dari 14

Acute Respiratory Distress Syndrome

BAB 1
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


ARDS adalah keadaan darurat medis yang dipicu oleh berbagai proses akut yang
berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan kerusakan paru. ARDS mengakibatkan
terjadinya gangguan paru yang progresif dan tiba-tiba ditandai dengan sesak napas yang berat,
hipoksemia dan infiltrat yang menyebar dikedua belah paru.1
ARDS ( juga disebut syok paru) akibat cedera paru dimana sebelumnya paru sehat,
sindrom ini mempengaruhi kurang lebih 150.000 sampai 200.000 pasien tiap tahun, dengan laju
mortalitas 65% untuk semua pasien yang mengalami ARDS. Faktor resiko menonjol adalah
sepsis. Kondisi pencetus lain termasuk trauma mayor, KID, tranfusi darah, aspirasi tenggelam,
inhalasi asap atau kimia, gangguan metabolik toksik, pankreatitis, eklamsia, dan kelebihan dosis
obat. ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau kejadian berbahaya berupa trauma jaringan
paru baik secara langsung maupun tidak langsung.2 ARDS terjadi sebagai akibat cedera atau
trauma pada membran alveolar kapiler yang mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang
interstisiel alveolar dan perubahan dalam jaring-jaring kapiler, terdapat ketidakseimbangan
ventilasi dan perfusi yang jelas akibat akibat kerusakan pertukaran gas dan pengalihan ekstansif
darah dalam paru-paru. ARDS menyebabkan penurunan dalam pembentukan surfaktan, yang
mengarah pada kolaps alveolar. Komplians paru menjadi sangat menurun atau paru-paru menjadi
kaku akibatnya adalah penuruna karakteristik dalam kapasitas residual fungsional, hipoksia berat
dan hipokapnia 3

BAB 2
0
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan perlukaan inflamasi paru yang
bersifat akut dan difus, yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas vaskular paru,
peningkatan tahanan paru, dan hilangnya jaringan paru yang berisi udara, dengan hipoksemia
dan opasitas bilateral pada pencitraan, yang dihubungkan dengan peningkatan shunting,
peningkatan dead space fisiologis, dan berkurangnya compliance paru. Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS) merupakan kerusakan paru total akibat berbagai etiologi. Keadaan
ini dapat dipicu oleh berbagai hal, misalnya sepsis, pneumonia viral atau bakterial, aspirasi isi
lambung, trauma dada, syok yang berkepanjangan, terbakar, emboli lemak, tenggelam, transfusi
darah masif, bypass kardiopulmonal, keracunan O2, perdarahan pankreatitis akut, inhalasi gas
beracun, serta konsumsi obat-obatan tertentu. ARDS merupakan keadaan darurat medis yang
dipicu oleh berbagai proses akut yang berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan
kerusakan paru. 4
ARDS adalah kondisi kedaruratan paru yang tiba-tiba dan bentuk kegagalan nafas berat,
biasanya terjadi pada orang yang sebelumnya sehat yang telah terpajan pada berbagai penyebab
pulmonal atau non-pulmonal. ARDS merupakan penyakit akut dan progressive dari kegagalan
pernafasan disebabkan terhambatnya proses difusi oksigen dari alveolar ke kapiler (a-c block)
yang disebabkan oleh karena terdapatnya edema yang terdiri dari cairan koloid protein baik
interseluler maupun intra alveolar. 2

2.2 Epidemiologi
Data pada tahun 2016 menunjukkan, dari 50 negara, prevalensi ARDS mencapai 10,4% dari
total pasien yang dirawat di Pediatric Intensive Care Unit (PICU). Faktor risiko umum ARDS
dibagi menjadi faktor risiko langsung dan tidak langsung. Berikut adalah tabel faktor risiko
umum pada ARDS. 5

Tabel 1. Faktor risiko umum ARDS 5


Faktor Risiko Langsung Faktor Risiko Tidak Langsung
Pneumonia Sepsis non-pulmonal
Aspirasi isi lambung Trauma mayor
1
Trauma inhalasi Pankreatitis
Vaskulitis paru Luka bakar berat
Kontusio paru Syok non-kardiogenik
Tenggelam Overdosis obat
Transfusi (transfusions associated acute lung
injury/TRALI)

Penderita yang bereaksi baik terhadap pengobatan, biasanya akan sembuh total, dengan
atau tanpa kelainan paru-paru jangka panjang. Pada penderita yang menjalani terapi ventilator
dalam waktu yang lama, cenderung akan terbentuk jaringan parut di paru-parunya. Jaringan parut
tertentu membaik beberapa bulan setelah ventilator dilepas. 5

2.3 Etiologi
ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau kejadian berbahaya berupa trauma
jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyebabnya bisa penyakit apapun,
yang secara langsung ataupun tidak langsung melukai paru-paru: 3
1. Trauma langsung pada paru
a. Pneumoni virus,bakteri,fungal
b. Contusio paru
c. Aspirasi cairan lambung
d. Inhalasi asap berlebih
e. Inhalasi toksin
f. Menghisap O2 konsentrasi tinggi dalam waktu lama
2. Trauma tidak langsung
a. Sepsis
b. Shock, Luka bakar hebat, Tenggelam
c. DIC (Dissemineted Intravaskuler Coagulation)
d. Pankreatitis
e. Uremia
f. Overdosis Obat seperti heroin, metadon, propoksifen atau aspirin.
g. Idiophatic (tidak diketahui)
h. Bedah Cardiobaypass yang lama
i. Transfusi darah yang banyak
j. PIH (Pregnand Induced Hipertension)
k. Peningkatan TIK
l. Terapi radiasi
m. Trauma hebat, Cedera pada dada
Gangguan yang dapat mencetuskan terjadinya ARDS adalah: 3

2
Sistemik : a. Syok karena beberapa penyebab
b. Sepsis gram negative
c. Hipotermia, Hipertermia
d. Takar lajak obat (Narkotik, Salisilat, Trisiklik, Paraquat,Metadone, Bleomisin)
e. Gangguan hematology (DIC, Transfusi massif, Bypass kardiopulmonal)
g. Luka bakar
Pulmonal : a. Pneumonia (Viral, bakteri, jamur, penumosistik karinii)
b. Trauma (emboli lemak, kontusio paru)
c. Aspirasi ( cairan gaster, tenggelam, cairan hidrokarbon )
d. Pneumositis
Non-Pulmonal : a. Cedera kepala
b. Peningkatan TIK
c. Pascakardioversi
d. Pankreatitis
e. Uremia

2.4 Patofisiologi

Kerusakan karena inflamasi terjadi di alveoli dan endotel kapiler paru karena produksi
mediator proinflamasi lokal atau yang terdistribusi melalui arteri pulmonal. Hal ini menyebabkan
hilangnya integritas barier alveolar-kapiler sehingga terjadi transudasi cairan edema yang kaya
protein. Sel tipe I (menyusun 90% epitel alveolar) merupakan jenis sel yang paling mudah rusak,
menyebabkan masuknya cairan ke dalam alveoli dan penurunan pembersihan cairan dari rongga
alveolus. Sedangkan sel tipe II tidak mudah rusak namun memiliki peran multipel seperti
produksi surfaktan, transpor ion, dan proliferasi dan diferensiasi menjadi sel tipe I setelah
trauma. Kerusakan pada kedua sel ini menyebabkan penurunan produksi surfaktan dan
penurunan komplians. 1
Disfungsi selular dan kerusakan yang terjadi berdampak pada terjadi Perburukan V/Q
matching dengan shunting yang dapat dilihat dari hipoksia arterial dan gradien A-a yang sangat

3
besar, hipertensi pulmonal, penurunan komplians paru (stiff lungs) dan hiperinflasi alveoli yang
tersisa, serta gangguan pada proses normal perbaikan paru yang berkembang menjadi fibrosis
paru pada stadium lanjut.ARDS terjadi sebagai akibat cedera atau trauma pada membran
alveolar kapiler yang mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang interstisiel alveolar dan
perubahan dalam jaring-jaring kapiler, terdapat ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi yang
jelas akibat kerusakan pertukaran gas dan pengalihan ekstansif darah dalam paru-paru. ARDS
menyebabkan penurunan dalam pembentukan surfaktan, yang mengarah pada kolaps alveolar.
Komplians paru menjadi sangat menurun atau paru-paru menjadi kaku akibatnya adalah
penurunan karakteristik dalam kapasitas residual fungsional, hipoksia berat dan hipokapnia. 1

Ada 3 fase dalam patogenesis ARDS: 4


1. Tahap Exudatif : ditandai dengan pembentukan cairan yang berlebihan, protein serta
sel inflamatori dari kapiler yang kemudian akan menumpuk kedalam alveoli
2. Tahap Fibroproliferatif : pada tahap ini akibat dari respon terhadap stimuli yang
merugikan maka akan dibentuk jaringan ikat dengan beberapa perubahan struktur
paru sehingga secara mikroskopik jaringan paru tampak seperti jaringan padat. Dalam
keadaan ini pertukaran gas pada alveolar akan sangat berkurang sehingga tampilan
penderita secara klinis seperti pneumoni.
3. Tahap Resolusi dan pemulihan : Pada beberapa penderita yang dapat melampaui
fase akut akan mengalami resolusi dan pemulihan. Udem paru ditanggulangi dengan
transport aktif Na, transport pasif Cl dan transport H2O melalui aquaporins pada sel
tipe I , sementara protein yang tidak larut dibuang dengan proses difusi, endositosis
sel epitel dan fagositosis oleh sel makrofag. Akhirnya re epitelialisasi terjadi pada sel
tipe II dari pneumosit.yang berproliferasi pada dasar membarana basalis. Proses ini
4
distimulasi oleh growth factors seperti KGF. Neutrofil dibuang melalui proses
apoptosis.
Sedangkan beberapa penderita yang lain tetap dalam tahap fibrosis ( hal ini
terjadi secara dini yaitu pada hari ke 5-6 setelah diagnosa ARDS). Ruang alveolar akan
dipenuhi oleh sel mesenkim dengan produk2nya serta pembentukan pembuluh darah
baru. Pembentukan jaringan fibrosis berkaitan dengan prognosa yang lebih buruk,
apalagi bila muncul prokolagen III secara dini pada cairan broncho alveolar lavage
( BAL) ; maka mortalitas akan meningkat. 4
Gambar dibawah ini memperlihatkan gambaran alveolus yang normal dan alveolus
yang mengalami kerusakan akibat ARDS. 1

5
Gambar .1: Patogenesis kerusakan alveolar pada ARDS1

Perubahan patofisiologi berikut ini mengakibatkan sindrom klinis yang dikenal sebagai
ARDS 1
a. Sebagai konsekuensi dari serangan pencetus, complement cascade menjadi aktif yang
selanjutnya meningkatkan permeabilitas dinding kapiler.
b. Cairan, lekosit, granular, eritrosit, makrofag, sel debris, dan protein bocor kedalam ruang
interstisiel antar kapiler dan alveoli dan pada akhirnya kedalam ruang alveolar.
c. Karena terdapat cairan dan debris dalam interstisium dan alveoli maka area permukaan untuk
pertukaran oksigen dan CO2 menurun sehingga mengakibatkan rendahnyan rasio ventilasi-
perfusi dan hipoksemia.
d. Terjadi hiperventilasi kompensasi dari alveoli fungsional, sehingga mengakibatkan hipokapnea
dan alkalosis respiratorik.
e. Sel-sel yang normalnya melaisi alveoli menjadi rusak dan diganti oleh sel-sel yang tidak
menghasilkan surfaktan ,dengan demikian meningkatkan tekanan pembukaan alveolar.
ARDS biasanya terjadi pada individu yang sudah pernah mengalami trauma fisik,
meskipun dapat juga terjadi pada individu yang terlihat sangat sehat segera sebelum awitan,
misalnya awitan mendadak seperti infeksi akut. Biasanya terdapat periode laten sekitar 18-24
jam dari waktu cedera paru sampai berkembang menjadi gejala. Durasi sindrom dapat dapat
beragam dari beberapa hari sampai beberapa minggu. Pasien yang tampak sehat akan pulih dari
ARDS. Sedangkan secara mendadak relaps kedalam penyakit pulmonary akut akibat serangan
sekunder seperti pneumotorak atau infeksi berat. Sebenarnya sistim vaskuler paru sanggup
menampung penambahan volume darah sampai 3 kali normalnya, namun pada tekanan tertentu,
cairan bocor keluar masuk ke jaringan interstisiel dan terjadi edema paru. 4

2.5 Manifestasi Klinik


Ciri khas ARDS adalah hipoksemia yang tidak dapat diatasi selama bernapas spontan.
Frekuensi pernapasan sering kali meningkat secara bermakna dengan ventilasi menit tinggi.
Sianosis dapat atau tidak terjadi. Hal ini harus diingat bahwa sianosis adalah tanda dini dari
hipoksemia. 3

6
Gejala klinis utama pada kasus ARDS adalah: 3
a. Distres pernafasan akut: takipnea, dispnea , pernafasan menggunakan otot aksesoris
pernafasan dan sianosis sentral.
b. Batuk kering dan demam yang terjadi lebih dari beberapa jam sampai seharian.
c. Auskultasi paru: ronkhi basah, krekels halus di seluruh bidang paru, stridor, wheezing.
d. Perubahan sensorium yang berkisar dari agitasi sampai koma.
e. Auskultasi jantung: bunyi jantung normal tanpa murmur atau gallop
Sindroma gawat pernafasan akut terjadi dalam waktu 24-48 jam setelah kelainan
dasarnya. Mula-mula penderita akan merasakan sesak nafas, bisanya berupa pernafasan yang
cepat dan dangkal. Karena rendahnya kadar oksigen dalam darah, kulit terlihat pucat atau biru,
dan organ lain seperti jantung dan otak akan mengalami kelainan fungsi. Hilangnya oksigen
karena sindroma ini dapat menyebabkan komplikasi dari organ lain segera setelah sindroma
terjadi atau beberapa hari/minggu kemudian bila keadaan penderita tidak membaik. 3
Kehilangan oksigen yang berlangsung lama bisa menyebabkan komplikasi serius seperti
gagal ginjal. Tanpa pengobatan yang tepat, 90% kasus berakhir dengan kematian. Bila
pengobatan yang diberikan sesuai, 50% penderita akan selamat. Karena penderita kurang mampu
melawan infeksi, mereka biasanya menderita pneumonia bakterial dalam perjalanan
penyakitnya.4

2.6. Diagnosa

Berdasarkan Kriteria Berlin, ARDS ditegakkan berdasarkan hal-hal berikut ini. 4


1. Akut, yang berarti onset berlangsung satu minggu atau kurang dari itu.
2. Opasitas bilateral yang konsisten dengan edema paru yang dideteksi dengan CT scan atau
foto polos toraks.
3. PF ratio kurang dari 300 mmHg dengan minimal nilai PEEP atau CPAP sebesar5 cmH2O.
4. Tidak dapat dijelaskan sebagai gagal jantung atau overload cairan. Pemeriksaan objektif
dapat dilakukan (misalnya ekokardiografi), pada beberapa kasus jika tidak ada penyebab yang
jelas seperti trauma atau sepsis.
Manifestasi ARDS bervariasi tergantung pada penyakit predisposisi, derajat injuri paru, dan
ada tidaknya disfungi organ lain selain paru. Gejala yang dikeluhkan berupa sesak napas,

7
membutuhkan usaha lebih untuk menarik napas, dan hipoksemia. Infiltrat bilateral pada foto
polos toraks menggambarkan edema pulmonal. Multiple organ dysfunction syndrome (MODS)
dapat terjadi karena abnormalitas biokimia sistemik. ARDS terjadi dalam hitungan jam-hari
setelah onset kondisi predisposisi. Batasan waktu ARDS ini adalah satu minggu dari munculnya
onset baru atau dari memburuknya suatu gejala pernafasan. 4
Diagnosa dini sukar untuk ditegakkan baik dari pemeriksaan faal paru maupun dari
pemeriksaan radiologi. Setiap pasien dengan predileksi terdapatnya ARDS dapat dicurigai ARDS
bila didapatkan pemeriksaan radiologi infiltrat yang luas dimana tidak terdapat pneumonia.
Kadar FiO2 yang tinggi diperlukan untuk mempertahankan PO2. Kecurigaan tergadap ARDS bils
didapatkan sesak napas yang berat disertai dengan infiltrat yang luas pada paru yang terjadi
secara akut sementara tidak terdapat faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya dekompensasi
kiri yang dapat menyebabkan edema jantung (cardiac edema). 4
Pada pemeriksaan fisis pada edema jantung terdapat trias dekompensasi, yakni, bunyi
gallop, takikardi, dan ronkhi basal. Takikardi dan ronchi basal susah untuk dibedakan antara
ARDS dengan edema jantung, akan tetapi bunyi gallop tidak terdapat pada ARDS. Demikian
pula tanda bendungan berupa peninggian tekanan jugular tidak didapatkan pada ARDS.
Gambaran radiologi pada ARDS infiltrat di perifer sementara pada edema jantung perihilar. Pada
pemeriksaab laboratorium cairan edema kristaloid pada ARDS koloid. Salah satu perbedaan
antara edema jantung dan ARDS yang membawa dampak pada pemberian oksigen dimana pada
edema jantung terdapat korelasi antara FiO2 dan PaO2 oleh karena shunt sedikit bertambah tapi
pada ARDS tidak terdapat korelasi pada FiO2 dan PaO2 oleh karena shunt yang jauh lebih banyak
dari pada edema paru. 1
Kriteria Berlin mengklasifikasikan ARDS menjadi tiga kelompok berdasarkan nilai
PaO2/FiO2. Tidak ada istilah Acute Lung Injury (ALI) dalam kriteria ini. Berikut merupakan
definisi ARDS berdasarkan kriteria Berlin: 4
a. Ringan (mild), yaitu PaO2/FiO2 lebih dari 200 mmHg, tetapi kurang dari dan sama
dengan 300 mmHg dengan positive-end expiratory pressure (PEEP) atau continuous positive
airway pressure (CPAP) ≥5 cmH2O.
b. Sedang, yaitu PaO2/FiO2 lebih dari 100 mmHg, tetapi kurang dari dan sama dengan 200
mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O.
c. Berat, yaitu jika PaO2/FiO2 ≤ 100 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O.

8
Tabel 2. Kriteria ARDS berdasarkan “The Berlin Definition” 4

2.7 Penatalakasanaan
Tujuan terapi 6
a. Tidak ada terapi yang dapat menyembuhkan, umumnya bersifat suportif
b. Terapi berfokus untuk memelihara oksigenasi dan perfusi jaringan yang adekuat
c. Mencegah komplikasi nosokomial (kaitannya dengan infeksi)
Prinsip pengaturan ventilator pasien ARDS meliputi volume tidal rendah (4-6 mL/kgBB)
dan PEEP yang adekuat, kedua pengaturan ini dimaksudkan untuk memberikan oksigenasi
adekuat (PaO2 >60 mmHg) dengan tingkat FiO2 aman, menghindari barotrauma (tekanan saluran
napas < 30 cmH2O) dan menyesuaikan (I:E) rasio inspirasi: ekspirasi. Hal tersebut ditujukan
dengan maksud untuk memberikan oksigenasi yang adekuat, membuang karbondioksida dengan
optimal, dan menghindari terjadinya komplikasi penggunaan ventilator berupa volutrauma dan
barotrauma.7
Pada pasien ARDS, terjadi kolaps alveolus paru yang masif dan harus terjadi pembukaan
alveolus pada setiap siklus napas yang kemudian akan mengakibatkan jejas alveolar. Strategi
pengaturan ventilator protektif yang didesain khusus untuk pasien-pasien ARDS tidak hanya
dapat menurunkan komplikasi tersebut, tetapi juga menurunkan mortalitas pada pasien ARDS.
Pada strategi tersebut, dilakukan pembatasan dan pengurangan delta pressure dan volume tidal,
dan menaikkan PEEP. 8
Restriksi cairan/diuresis yang cukup akan mengurangi peningkatan tekanan hidrostatik
didalam kapiler paru maupun cairan paru (lung water). Akan tetapi harus diingat bahwa dehidrasi

9
yang berlebihan akan menurunkan perfusi jaringan dan mencetuskan gagal ginjal. Prone position
akan memperbaiki V/Q karena akan mengalihkan cairan darah sehingga tidak terjadi atelektasis.
Walaupun demikian tehnik ini tidak mempengaruhi angka mortalitas. Walaupun demikian pada
subgrup pasien yang diseleksi berdasarkan tingkat keparahan penyakit menunjukkan bahwa
mortalitas dalam sepuluh hari pertama pada kelompok dengan prone position lebih rendah
dibandingkankan dengan kelompok yang berbaring seperti biasa . 7
Farmakoterapi difokuskan pada regresi lesi patologi dan mengurangi jumlah cairan
dalam paru. Sayangnya tidak ada bukti objetif akan keberhasilan metode ini. Surfactan sintetik
secara aerosol (Exosurf) ternyata bermanfaat untuk ARDS pada neonatus, tetapi tidak pada
ARDS . Pada suatu penelitian dengan cara pemberian langsung pada traktus trakeobronkial
ternyata efektif. Kortikosteroid dosis tinggi dimaksudkan unutk mengurangi reaksi inflamasi
pada jaringan paru, tapi sayangnya hasilnya tidak memuaskan, sehingga tidak direkomendasikan
pada ARDS terutama pada fase awal.6 Beberapa sumber menyarankan pemberian metil
prednisolon secara pulsed untuk mencegah fase fibrosis yang destruktif. Oleh karena metabolit
oksigen mempunyai peran yang penting pada patogenesis ARDS melalui aktifasi neutrofil, maka
pemberian antioksidan mungkin akan banyak banyak manfaatnya sebagai terapi yang spesifik
pada ARDS. Pemberian N-acetylcysteine banyak memberikan harapan dan masih terus
dilakukan penelitian-penelitian terkait. Ketoconazol diharapkan dapat menghambat pelepasan
TNF oleh makrofag, tetapi masih diperlukan penelitian dalam jumlah sample yang lebih besar.
Diuretikum lebih ditujukan untuk meminimalkan atau mencegah kelebihan cairan, dan hanya
diberikan bila eksresi cairan oleh ginjal terganggu, oleh karena itu cara paling baik untuk
mencegah kelebihan cairan adalah dengan mempertahankan pengeluaran cairan yang adekuat.
Dengan demikian penggunaan diuretikum tidak rutin, karena tidak sesuai dengan patogenesis
ARDS. Transfusi darah diperlukan untuk menjaga kadar Hb lebih dari 10gr%, tetapi mengingat
kemungkinan terjadinya TRALI maka tranfusi hanya diberikan bila ada oksigenasi jaringan yang
inadekuat.6,7
Proses penyapihan
Saat yang tepat untuk mulai menyapih adalah bila sudah didapatkan perbaikan yang
menetap dari fungsi respirasi (berkurangnya kebutuhan O2 dan PEEP), laju nafas, disertai
dengan perbaikan gambaran Foto toraks. Secara umum proses penyapihan dapat berlangsung
dengan mudah pada penderit tanpa kelainan paru primer. Kesulitan penyapihan terjadi bila

10
infeksi belum teratasi, atau ada infeksi baru, hiperhidrasi, bronkospasme, anemia, elektrolit
imbalans, gagal jantung, serta status nutrisi yang buruk. Dalam keadaan seperti ini maka
penyapihan dilakukan secara bergantian bergantian antara pemakaian dengan ventelator
dengan mode yang paling minimal (CPAP,PS) dan bernafas sendiri dengan T-valve yang
dihubungkan ke tube endotrakeal, sehingga otot pernafasan terlatih dan ppada akkhirnya
penderita benar-benar terlepas dari bantuan ventilator. PEEP yang rendah tetap dipertahankan
selama proses penyapihan.9

Prognosis
Prognosis tergantung dari penyebab, adanya disfungsi organ lain, usia dan penyakit
kronik penderita. Mortalitas ARDS mencapai 30%-40%, bila ditambah dengan MODS
dari organ lain maka angka kematian mencapai > 60%, Keadaan ini belum banyak
perbaikan dalam 20 tahun terakhir ini. Pada penderita yang sembuh, walaupun
asimtomatik tetapi kelainan test fungsi paru masih dapat ditemukan. Dalam penelitian
lain selama 1 tahun pada penderita yang sembuh dari ARDS ternyata beberapa penderita
bahkan masih mempunyai gejala sisa fisik dan psikis secara bermakna akibat fibrosis dan
dapat berkembang menjadi menjadi penyakit paru obstruktif, sedangkan sebagian lainnya
fungsi parunya kembali normal dalam 6-12 bulan.10

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Cheifetz I. Pediatric acute respiratory distress syndrome. Respir Care 2011;56:1589–99.


2. The Pediatric Acute Lung Injury Consensus Conference Group. Pediatric acute respiratory
distress syndrome: consensus recommendations from the pediatric acute lung injury consensus
conference. Pediatr Crit Care Med 2015;1–12.
3. Michael R, Anderson M. Update on pediatric acute respiratory distress syndrome.
Respiratory Care 2003;48:1–73.
4. Ranieri VM, Rubenfeld GD, Thompson BT, et al. Acute respiratory distress syndrome: The
Berlin definition. JAMA. 2012; 307:2526–2533.
5. Fanelli V, Vlachou A, Ghannadian S, Simonetti U, Slutsky AS, Zhang H. Acute respiratory
distress syndrome : new definition, current and future therapeutic options. J Thorac Dis
2013;5:326–34.
6. Bellani G, Laffley JG, Fan E, Brochard L, Esteban A, Gattinoni L, et al. Epidemiology,
Pattens of Care, and Mortality for Patients With Acute Respiratory Distress Syndrome in
Intensive Care Units in 50 Countries. JAMA. 2016; 315(8): 788-800.
7. Desai AR, Deep A. Ventilatory Strategies and Adjunctive Therapy in ARDS. Indian J
Pediatrics 2006;73:661–8.
8. Alejandro D, Daniela A, Franco D, Pablo C. Ventilation strategies in the child with severe
hypoxemic respiratory failure. Gac Med Mex 2015;151:69-77.
9. Amato M, Meade M, Slutsky A, Brochard L, Costa EL, Schoenfeld DA, dkk. Driving
pressure and survival in the acute respiratory distress syndrome. N Engl J Med 2015;372:747–
55.
12
10. Yehya N, Thomas J. Relevant outcomes in pediatric acute respiratory distress syndrome
studies. Frontiers in Pediatrics. 2016:4;1-10

13

Anda mungkin juga menyukai