Anda di halaman 1dari 13

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berikut ini hasil penelitian yang telah dilaksanakan di Wilayah Kerja

Puskesmas Karang Pule.

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule yang

terletak di jln Gajah Mada No.14 Jempong Baru.

1. Karakteristik Responden

Hasil identifikasi karakteristik responden yangmeliputi usia, jenis

kelamin, dan pekerjaan akan diuraikan dalam bentuk tabel sebagai

berikut :

a. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan


Usia
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Respon den berdasarkan
Usia Penderita Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas
Karang Pule Tahun 2018.
Usia Jumlah
N %
30-35 Tahun 5 29.4
36-40 Tahun 4 23.6
41-45 Tahun 5 29.4
46-50 Tahun 1 5.9
51-60 Tahun 2 11.8
Total 17 100
Sumber : Data Primer, 2018
Berdasarkan tabel 5.1 diatas, dapat diketahui bahwa distribusi usia

responden pada kelompok usia yang paling banyak adalah usia 30-35

dan 41-45 tahun, yaitu sebanyak 5 orang (29,45). Peneliti berasumsi

sebagian besar pada usia 30-35 tahun yang artinya dalam usia tersebut

rentan terkena hipertensi karena pola hidup dan rentan mengalami

kualitas tidur buruk begitu juga pada usia 41-45 tahun rentan terkena

hipertensi dan kualitas tidur yang buruk. Peneliti menyarankan untuk

menjalankan pola hidup sehat, tidur yang baik sehingga menghasilkan

kualitas tidur yang baik dan pemeriksaan tekanan darah yang rutin agar

resiko hipertensi bisa dikendalikan .

5.1.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis

Kelamin

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan

Jenis Kelamin Penderita Hipertensi di Wilayah Kerja

Puskesmas Karang Pule Tahun 2018.

Jenis Kelamin Jumlah


N %
Perempuan 14 82.41
Laki-laki 3 17.6
Total 17 100
Sumber : Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 5.2 diatas, dapat diketahui bahwa distribusi jenis

kelamin responden yang paling banyak adalah jenis kelamin perempuan,

yaitu sebanyak 14 orang (82,41%). Peneliti berasumsi bahwa wanita

memiliki resiko lebih besar untuk terkena hipertensi dibandingkan


dengan laki-laki karena gaya hidup dan dari factor internal seperti

keturunan dan hormonal terutama hormon estrogen pada perempuan

mempunyai resiko tinggi dengan kejadian hipertensi. Oleh karena itu

peneliti menyarankan untuk perempuan agar menjaga pola hidup sehat

agar terhindar dari resiko hipertensi dan mematuhi diet yang dianjurkan

agar tekanan darah tetap terkendali dan terhindar dari komplikasi.

5.2 Analisa Bivariat

5.2.1 Identifikasi Rata-Rata Tekanan Darah Sebelum Diberikan Deep

Breathing

Tabel 5.3 Identifikasi Rata-Rata Tekanan Darah Sebelum Diberikan

Deep Breathing Penderita Hipertensi di Wilayah Kerja

Puskesmas Karang Pule Tahun 2018.

Tekanan Sebelum (Pretest)


Darah Min Max Mean
Sistolik 137.67 158.50 148.1373
Diastolic 85.83 96.00 91.4118
Sumber : Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 5.3, dapat diketahui bahwa hasil tekanan darah

sistolik sebelum diberikan deep breathing diperoleh rata-rata skor

minimum sebesar 137,67 mmHg dan skor maksimum 158,50 mmHg

dan hasil perhitungan tekanan darah diastolik sebelum dilakukan deep

breathing diperoleh rata-rata skor minimum 85,83 mmHg dan skor

maksimum 96,00 mmHg.


5.2.2 Identifikasi Rata-Rata Kualitas Tidur Sebelum Diberikan Deep

Breathing

Tabel 5.4 Identifikasi Rata-Rata Kualitas Tidur Sebelum Diberikan

Deep Breathing Penderita Hipertensi di Wilayah Kerja

Puskesmas Karang Pule Tahun 2018.

Sebelum (Pretest)
Kualitas Min Max Mean
Tidur 5.00 12.00 7.7647
Sumber : Data Primer, 2018.

Berdasarakan tabel 5.4, dapat diketahui bahwa hasil perhitungan

kualitas tidur sebelum dilakukan deep breathing diperoleh rata-rata skor

minimum sebesar 5,00 dan skor maksimum 12,00 dengan nilai rata-rata

(mean) yaitu 7,7647.

5.2.3 Identifikasi Rata-Rata Tekanan Darah Sesudah Diberikan Deep

Breathing

Tabel 5.5 Identifikasi Rata-Rata Tekanan Darah Sesudah Diberikan

Deep Breathing Penderita Hipertensi di Wilayah Kerja

Puskesmas Karang Pule Tahun 2018.

Tekanan Sesudah (Postest)


Dare Min Max Mean
Sistolik 133.33 156.50 144.5000
Diastolic 83.00 94.83 89.1176
Sumber : Data Primer, 2018.

Berdasarkan tabel 5.5, dapat diketahui bahwa hasil perhitungan

tekanan darah sistolik sesudah diberikan deep breathing diperoleh rata-

rata skor minimum sebesar 133,33 mmHg dan skor maksimum sebesar
156,50 mmHg dan hasil perhitungan tekanan darah diastolic sesudah

diberikan deep breathing diperoleh rata-rata skor minimum sebesar

83,00 mmHg dan skor maksimum sebesar 94,83 mmHg.

5.2.4 Identifikasi Rata-Rata Kualitas Tidur Sesudah Diberikan Deep

Breathing

Tabel 5.6 Identifikasi Rata-Rata Kualitas Tidur Sesudah Diberikan Deep

Breathing Penderita Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas

Karang Pule Tahun 2018.

Sesudah (Postest)
Kualitas Min Max Mean
Tidur 2.00 7.00 4.7059
Sumber : Data Primer, 2018.

Berdasarkan tabel 5.6, dapat diketahui bahwa hasil perhitungan

kualitas tidur sesudah diberikan deep breathing diperoleh rata-rata skor

minimum 2,00 dan skor maksimum sebesar 7,00 dengan nilai rata-rata

(mean) yaitu 4.7059.

5.2.5 Analisa Rata-Rata Tekanan Darah dan Kualitas Tidur Sebelum dan

Sesudah Diberikan Deep Breathing.

Tabel 5.7 Analisa Rata-Rata Tekanan Darah dan Kuaitas Tidur Sebelum

dan Sesudah Diberikan Deep Breathing pada Penderita

Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule Tahun

2018.

Variable Kelompok Mean St.deviasi Sig.2


tailed
Tekanan Dare Sistolik Sebelum 3.63 3.29 0.000
Sesudah
Diastolik Sebelum 2.29 1.66 0.000
Sesudah
Kualitas Tidur Sebelum 3.05 1.19 0.000
Sesudah
Sumber : Data Primer, 2018.

Berdasarkan tabel 5.7, menunjukkan rata-rata nilai skor tekanan

darah tekanan darah sistolik 3,63 rata-rata nilai skor tekanan darah

diastolik 2,29 dan rata-rata kualitas tidur 3,05.

Hasil uji paired t test tekanan darah dan kualitas tidur dengan hasil

statistic signifikan p=0,000 (p<0,05), artinya hasil analisis menunjukkan

bahwa terjadi penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik serta

peningkatan kualitas tidur sesudah diberikan deep breathing. Dapat

disimpulkan bahwa H1 diterima, artinya ada perbedaan tekanan darah

dan kualitas tidur sesudah diberikan deep breathing pada penderita

hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule tahun 2018.

5.3 Pembahasan

5.3.1 Rata-Rata Tekanan Darah Sebelum Dan Sesudah Diberikan Deep

Breathing.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa hasil rata-rata

tekanan darah sebelum dan sesudah diberikan deep breathing

menunjukkan penurunan rata-rata nilai skor tekanan darah sistolik dari

148.1373 sebelum perlakuan menjadi 144.5000 setelah perlakuan dan

penurunan rata-rata nilai skor tekanan darah diastolik dari 91.4118

sebelum perlakuan menjadi 89.1176 setelah perlakuan.


Dalam penelitian ini untuk mengetahui tekanan darah responden,

peneliti melakukan pretest dengan menggunakan alat-alat berupa tensi

air raksa dan sphygmomanometer. Hasil pengukur tekanan darah

sebelum dilakukan deep breathing menunjukkan bahwa sebagian besar

responden memiliki rata-rata tekanan darah sistolik 148.1373 rata-rata

nilai dan skor tekanan darah diastolik 91.4118. Dengan adanya

hipertensi yang dialami responden, responden juga mengungkapkan

gejala yang sering dialami yaitu berupa sakit di tengkuk, pusing dan

susah tidur.

Perubahan tekanan darah yang terjadi sebelum dan sesudah

diberikan deep breathing mengalami perubahan yang signifikan. Hal

tersebut dapat diketahui dari hasil pengukuran tekanan darah setelah

deep breathing menunjukkan rata-rata tekanan darah sistolik yaitu

144.5000 dan rata-rata nilai skor tekanan darah diastolik 89.1176.

Adanya penurunan tekanan darah sesudah diberikan latihan nafas

dalam deep breathing menjadikan bernapas dengan perlahan dan

menggunakan diafragma, sehingga memungkinkan abdomen terangkat

perlahan dan dada mengembang penuh dan menghembuskan napas

secara perlahan. Teknik relaksasi nafas dalam (Deep Breathing)

bertujuan untuk mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien

serta untuk meningkatkan inflasi alveolar maksimal, meningkatkan

relaksasi otot, menghilangkan ansietas, menyingkirkan pola aktivitas

otot- otot pernafasan yang tidak berguna, tidak terkoordinasi serta


mengurangi kerja bernafas maka dari itu deep breathing dapat

menurunkan tekanan darah (Smeltzer & Bare, 2013).

5.3.2 Rata-Rata Kualitas Tidur Sebelum Dan Sesudah Diberikan Deep

Breathing.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa kualitas tidur

sebelum dilakukan deep breathing semua responden memiliki kualitas

tidur rata-rata skor minimum 5,00 dan skor maksimum 12,00 dengan

nilai rata-rata (mean) yaitu 7.7647 dan hasil perhitungan kualitas tidur

sesudah diberikan deep breathing diperoleh rata-rata skor minimum 2,00

dan rata-rata skor maksimum 7,00 dengan nilai rata-rata (mean) yaitu

4.7059. Hal tersebut menunjukkan penurunan skor minimum dan

maksimum serta nilai rata-rata sesudah diberikan relaksasi napas dalam

(deep breathing).

Dalam penelitian ini untuk mengetahui kualitas tidur responden

sebelum diberikan tekhnik napas dalam (deep breathing), peneliti

melakukan pretest dengan menggunakan alat berupa lembar kuesioner

dan alat tulis, sebelumnya peneliti menjelaskan terlebih dahulu cara

pengisian kuesioner kemudian meminta responden untuk mengisi sesuai

dengan keadaanya saat ini, begitu pula untuk mengetahui kualitas tidur

sesudah diberikan deep breathing dilakukan posttest seperti halnya saat

pretest yaitu dengan meminta responden mengisi kuesioner kualitas

tidur.
Berdasarkan penelitian ke responden dari hasil sebelum diberikan

teknik napas dalam (deep breathing) didapatkan semua responden yang

berjumlah 17 orang memiliki kualitas tidur buruk, terdapat gejala dari

kualitas tidur buruk seperti tidak mampu tertidur selama 30 menit sejak

berbaring, terbangun ditengah malam atau terlalu dini, menggunakan

obat tidur dan mengantuk ketika melakukan aktivitas, kemudian sesudah

diberikan deep breathing gejala-gejala yang dialami sedikit demi sedikit

mulai berkurang walaupun masih ada yang masih ada beberapa dari

responden memiliki gejala yang sama.

Hal ini sesuai dengan penelitian dari Cahyaningsih (2017)

menyatakan bahwa teknik terapi nafas dalam (deep breathing) dapat

meningkatkan konsentrasi pada diri, mempermudah mengatur

pernafasan, meningkatkan oksigen dalam darah dan memberikan rasa

tenang sehingga membuat diri menjadi rileks dan terhindar dari

gangguan tidur. Apabila teknik terapi nafas dalam dilakukan pada pasien

yang memiliki kualitas tidur yang buruk, mereka akan benar-benar

merasa rileks sehingga dapat membantu memasuki kondisi tidur, karena

dengan cara mengendurkan otot-otot secara sengaja akan membuat

suasana hati menjadi lebih tenang dan juga lebih santai. Suasana ini

sangat diperlukan untuk membantu mencapai kondisi gelombang alpha

yang merupakan suatu keadaan yang sangat diperlukan seseorang untuk

dapat memasuki fase tidur lebih awal. Dengan keadaan rileks dan otot-

otot yang kendur dapat memberikan kenyamanan sebelum tidur


sehingga lanjut usia dapat memulai tidur dengan mudah (Likah, 2008

dalam Cahyaningsih 2017).

5.3.3 Analisa Rata-Rata Kualitas Tidur dan Tekanan Darah Sebelum dan

Sesudah Diberikan Deep Breathing di Wilayah Kerja Puskesmas

Karang Pule Tahun 2018.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa hasil analisa

rata-rata kualitas tidur sebelum dan sesudah diberikan tekhnik napas

dalam (deep breathing) menunjukkan rata-rata nilai skor 3,058 dan rata-

rata tekanan darah sebelum dan sesudah diberikan tekhnik napas dalam

(deep breathing) menunjukkan rata-rata nilai skor tekanan darah sistolik

yaitu 3.63 dan rata-rata nilai skor tekanan darah diastolik yaitu 2.29.

Hasil uji paired t test dengan hasil statistik signifikan p=0,000

(p<0,05), artinya hasil analisis menunjukkan bahwa terjadinya

perubahan kualitas tidur dan tekanan darah sesudah diberikan tekhnik

relaksasi napas dalam (deep breathing). Dapat disimpulkan bahwa H1

diterima, artinya ada perbedaan kualitas tidur dan tekanan darah sesudah

diberikan relaksasi deep breathing pada penderita hipertensi di wilayah

kerja puskesmas karang pule tahun 2018.

Dari hasil observasi penelitian, terjadinya perubahan kualitas tidur

dan tekanan darah dalam penelitian ini sebagian besar disebabkan oleh

relaksasi napas dalam deep breathing yang dilakukan oleh responden

karena selama proses penelitian adanya pengaruh tekhnik deep

breathing dibuktikan dengan pernyataan responden dalam kuesioner


yang diberikan dan selama proses penelitian terjadinya perubahan

tekanann darahh secara bertahap dari hari hari pertama di minggu

pertama sampai hari terakhir di minggu kedua. Dalam hal ini didukung

dengan pernyataan responden bahwa gejala seperti pusing, sakit

dibagian tengkung dan susah tidur berkurang.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, terdapat kesesuaian dengan

teori yang menyatakan bahwa relaksasi merupakan suatu teknik untuk

mengurangi stres dan ketegangan, mengatasi masalah-masalah yang

berhubungan dengan stress seperti hipertensi, sakit kepala, insomnia,

mengurangi kecemasan dengan cara meregangkan seluruh tubuh agar

mencapai kondisi mental yang sehat (Idrus, 2015).

Penelitian yang dilakukan oleh Cahyaningsih (2016), Berdasarkan

hasil uji statistik diperoleh hasil bahwa nilai t = -2,825b dengan p =

0,005 maka ada perbedaan bermakna secara statistik. Nilai p = 0,005

kurang dari 0,05 (p<0,05) dapat diartikan terdapat pengaruh terapi

relaksasi nafas dalam terhadap kualitas tidur lansia.

Dengan latihan yang benar dan didukung dengan teori bahwa

melakukan relaksasi napas dalam (deep breathing) selama 6x dalam 2

minggu secara teratur 10-15 menit mampu membantu responden pada

kondisi yang lebih rileks dan tenang sehingga dapat mempengaruhi

tingkat stress sehingga memicu aktivitas perangsangan sistem saraf

parasimpatis ke bagian-bagian miokardium lainnya mengakibatkan

penurunan kontraktilitas, volume sekuncup, curah jantung yang


menghasilkan suatu efek inotropik negative. Keadaan tersebut

mengakibatkan penurunan volume sekuncup, dan curah jantung. Pada

otot rangka beberapa serabut vasomotor mengeluarkan asetilkolin yang

menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Akibat dari penurunan curah

jantung, kontraksi serat-serat otot jantung, dan volume darah membuat

tekanan darah menjadi menurun (Suwardianto, 2011).

Kualitas tidur selain memberikan respon fisik juga memberikan

respon psikologis oleh sebab itu latihan deep breathing merupakan

tindakan yang secara tidak langsung dapat menurunkan asam laktat

dengan cara meningkatkan suplai oksigen dan menurunkan kebutuhan

oksigen otak, sehingga diharapkan terjadi keseimbangan oksigen otak.

Deep breathing merupakan tindakan yang disadari untuk mengatur

pernapasan secara dalam dan lambat. Napas dalam dapat menstimulasi

respons saraf otonom melalui pengeluaran neurotransmitter endorphin

yang berefek pada penurunan respons saraf simpatis dan peningkatkan

respons parasimpatis. Stimulasi saraf simpatis meningkatkan aktivitas

tubuh, sedangkan respons parasimpatis lebih banyak menurunkan

ativitas tubuh atau relaksasi sehingga dapat menurukan aktivitas

metabolik. Stimulasi saraf parasimpatis dan penghambatan stimulasi

saraf simpatis pada deep breathing juga berdampak pada vasodilatasi

pembuluh darah otak yang memungkinkan suplai oksigen otak lebih

banyak sehingga perfusi jaringan otak diharapkan lebih adekuat


sehingga kualitas tidur membaik dan mampu mengurangi tanda gejala

yang muncul dari kualitas tidur buruk (Setyaningrum, 2015).

Dari uraian diatas, latihan fisik khususnya latihan relaksasi napas

dalam (deep breathing) penting dilakukan untuk menurunkan hipertensi,

karena dalam mengobati hipertensi tidak hanya pengobatan dengan

obat-obatan saja. Diperlukan juga perubahan gaya hidup yang lebih baik

salah satunya menjalankan latihan relaksasi deep breathing. Selain

menurunkan tekanann darahh deep breathing juga penting dilakukan

untuk menurunkan gejala kualitas tidur yang buruk, karena dalam hal

tersebut yang paling utama adalah dengan relaksasi termasuk relaksasi

deep breathing. Diperlukan juga perubahan gaya hidup yang lebih baik

dan pola tidur yang lebih baik juga.

5.4 Keterbatasan Penelitian

1. Peneliti kesulitan untuk mendapatkan calon responden laki-laki yang tidak

merokok.

2. Peneliti kesulitan mengontrol untuk variabel kualitas tidur karena peneliti

meminta bantuan anggota keluarga dari responden untuk mengontrol.

Anda mungkin juga menyukai