Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN

“HIPERGLIKEMIA”

Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners Departemen Emergency

di IGD RSUD Dr. R. Soedarsono Pasuruan

Oleh :

Soraya Dwi Kusmiani

NIM. 160070301111031

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017
LAPORAN PENDAHULUAN
HIPERGLIKEMIA

A. DEFINISI
Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah melonjak
atau berlebihan, yang akhirnya akan menjadi penyakit yang disebut Diabetes
Melitus(DM) yaitu suatu kelainan yang terjadi akibat tubuh kekurangan
hormone insulin,akibatnya glukosa tetap beredar di dalam aliran darah dan
sukar menembus dinding sel. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh stress,
infeksi, dan konsumsi obat-obatan tertentu. Hiperglikemia ditandai dengan
poliuria, polidipsi, dan poliphagia, serta kelelahan yang parah dan
pandangan yang kabur. (Nabyl, 2009)
Hiperglikemia merupakan keadaan peningkatan glukosa darah dari
rentang kadar puasa normal 80 – 90 mg / dl darah, atau rentang non puasa
sekitar 140 – 160 mg /100 ml darah( Elizabeth J. Corwin, 2001 )

B. ETIOLOGI
1. faktor herediter atau genetic
seorang anak yang memiliki orang tua atau anggota keluarga dengan
hiperglikemi memiliki resiko untuk terkena hiperglikemi pula.
2. Kerusakan secara kimiawi sel beta pulau langerhans
Bahan-bahan kimia dan obat-obatan tertentu dapat mengiritasi pankreas
yang menyebabkan radang pankreas. Peradangan pada pankreas dapat
menyebabkan pankreas tidak berfungsi secara optimal dalam
mensekresikan hormon yang diperlukan untuk metabolism dalam tubuh,
termasuk hormon insulin.
Untuk obat- obatan yang meningkatkan terjadinya peningkatan kadar
gula darah adalah beta blockers,epinephrine, thiazide diuretics,
corticosteroids, niacin, pentamidine, protease inhibitors, L-asparaginase
dan agen anti psikotik.
3. Obesitas
Pola makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang
dibutuhkan oleh tubuh dapat memacu peningkatan kadar gula darah.
Hal ini disebabkan jumlah atau kadar insulin oleh sel β pankreas
mempunyai kapasitas maksimum untuk disekresikan.
4. Faktor imunologi
pada penderita hiperglikemia khususnya DM terdapat bukti adanya
suatu respon autoimun. Respon ini merupakan repon abnormal dimana
antibody terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi
terhadap jaringan tersebut yang dianggap sebagai jaringan asing.
5. Penyakit dan infeksi pada pankreas sebagai contoh mikroorganisme
seperti bakteri dan virus dapat menginfeksi pankreas sehingga
menimbulkan radang pankreas. Hal itu menyebabkan sel β pada
pankreas tidak bekerja secara optimal dalam mensekresi insulin.
6. Penyakit kritis
pasien yang menderita stres akut seperti stroke atau serangan jantung
dapat mengembangkan hiperglikemia. Dalam penelitian sebelumnya
pasien dengan tanda-tanda sepsis memiliki kadar Glukosa plasma
sebesar 120 mg/dl, kadar ini terjadi meskipun pasien tidak mengidap
diabetes melitus. Fisik trauma, operasi, dan banyak bentuk stres berat
sementara dapat meningkatkan kadar glukosa.
7. Stress fisiologi
Hiperglikemia terjadi secara alami saat infeksi dan peradangan. Ketika
tubuh stres, katekolamin endogen dilepaskan untuk meningkatkan kadar
glukosa darah. Jumlah peningkatan bervariasi dari orang ke orang dan
respon-respon nya juga berbeda. Dengan demikian, pasien dengan
hiperglikemia yang datang pertama kali tidak harus didiagnosis dengan
diabete jika pasien sakit bersamaan dengan sesuatu penyebab lain
seperti kondisi stres fisiologis. Pengujian lebih lanjut, seperti kadar
glukosa puasa, glukosa plasma acak atau kadar glukosa plasma
postprandial dua jam, harus dilakukan.

C. KLASIFIKASI
Secara umum, terdapat 2 penyakit dengan manifestasi klinis utama
hiperglikemi pada kondisi kegawatdaruratan, yaitu : (Hudak & Gallo, 1996)
1. Ketoasidosis diabetic (KAD) : komplikasi metabolik akut pada
diabetes melitus yang ditandai dengan hiperglikemia, hiperketonemia,
dan asidosis metabolik.Ketoasidosis terjadi karena kurangnya atau tidak
efektifnya kerja insulin terhadap peningkatan hormon kontraregulator
(glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan). Hubungan
antara defisiensi insulin dan peningkatan hormon kontra regulator ini
kemudian dapat mempengaruhi produksi glukosa, peningkatan lipolisis,
dan produksi badan keton. Keadaan hiperglikemia dan tingginya kadar
keton akan menyebabkan diuresis osmotik yang kemudian meembuat
pasien mengalami hipovolemia dan penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG) (Umpierrez GE,2002).
Manifestasi klinis dari KAD biasanya berlangsung dalam waktu singkat,
dalam kurun waktu kurang dari 24 jam. Poliuria, polidipsia dan
penurunan berat badan dapat berlangsung selama beberapa hari,
sebelum terjadinya ketoasidosis, muntah dan nyeri perut. Nyeri perut
yang menyerupai gejala akut abdomen, dilaporkan terjadi pada 40-75%
kasus KAD. Dalam suatu penelitian, didapatkan hasil bahwa
kemunculan nyeri perut dapat dikaitkan dengan kondisi asidosis
metabolik, namun bukan karena hiperglikemia atau dehidrasi
(Syahputra,2014)
2. Status hiperosmolar hiperglikemik (SHH) : gangguan metabolik
akut yang dapat terjadi pada pasien diabetes melitus, yang ditandai
dengan hiperglikemia, hiperosmolaritas, dan dehidrasi tanpa adanya
ketoasidosis (Sergot,2008erg). Istilah SHH merupakan istilah yang
sekarang digunakan untuk menggantikan KHH (Koma Hiperosmolar
Hiperglikemik) dan HHNK (Hiperglikemik Hiperosmolar non Ketotik)
karena koma dapat terjadi lebih dari 50% kasus, dan ketosis ringan juga
dapat ditemukan pada pasien dengan SHH. SHH ditandai dengan
defisiensi konsentrasi insulin yang relatif, namun cukup adekuat untuk
menghambat terjadinya lipolisis dan ketogenesis. (Kitabchi,1994).
Beberapa studi mengenai perbedaan respon hormon kontra regulator
pada KAD dan SHH memperlihatkan hasil bahwa pada SHH pasien memiliki
kadar insulin yang cukup tinggi, dan konsentrasi asam lemak bebas, kortisol,
hormon pertumbuhan, dan glukagon yang lebih rendah dibandingkan
dengan pasien KAD ) (Umpierrez GE,2002).
Walaupun patogenesis terjadinya KAD dan SHH serupa, namun
keduanya memiliki perbedaan. Pada SHH akan terjadi keadaan dehidrasi
yang lebih berat, kadar insulin yang cukup untuk mencegah lipolisis besar-
besaran dan kadar hormon kontra regulator yang bervariasi. Untuk SHH,
manifestasi klinis dapat terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa
minggu. Pasien dapat mengalami poliuria, polidipsia, dan penurunan
kesadaran yang progresif akibat osmolalitas darah yang sangat tinggi. Nyeri
perut juga jarang dialami oleh pasien SHH(Kitabchi,2011)
Hasil laboratorium yang perlu dipantau pada KAD dan SHH:
1. Natrium : Efek osmotik dari keadaan hiperglikemia membuat cairan
berpindah dari ekstravaskular ke intravaskular. Untuk setiap 100 mg/dL
glukosa (jika kadar glukosa > 100 mg/dL), kadar natrium serum dapat
menurun hingga 1,6 mEq/L. Ketika kadar glukosa turun, maka natrium
serum dapat meningkat.
2. Kalium : Kadar kalium dapat bervariasi. Kondisi asidosis pada pasien
dapat menyebabkan perpindahan kalium dari intraseluler ke
ekstraseluler sehingga akan terjadi hiperkalemia. Keadaan defisiensi
insulin yang lama pada pasien DM membuat pasien mengalami
hiperkalemia ringan yang kronik. Pada keadaan akut, pasien dapat
Pada KAD
mengalami ekskresi kalium yang berlebih melalui ginjal ataupun
gastrointestinal karena kondisi diuresis osmotik, sehingga terjadi
Hormon
masking effect yang dapat membuat kadar kalium dalam
Defisiensi kisaran
insulin
kontraregulasi 
absolut akut
normal.5 Oleh karena itu, pada penatalaksanaan keadaan / relatif
pasien
DM, baik pada pemberian kalium maupun terapi insulin, kadar kalium
Lipolisisdievaluasi
harus selalu  dengan ketat agar tidak terjadiPenggunaan
aritmia jantung.
Elektrokardiogram dapat digunakan sebagai sarana evaluasi keadaan
glukosa 
jantung.
 oksidasi asam  pelepasan
3. Peningkatan kadar BUN, sebagai pengaruh dari keadaan dehidrasi
lemak di dalam lemak bebas ke Glikogenolisis 
pasien. Kadarnya harus dipantau untuk melihat ada tidaknya
hati menjadi dalam sirkulasi Glukoneogenesis 
bahaninsufusiensi
keton renal.dari jaringan
4. Urinalisis : Digunakan untuk menilai adanya glukosuria atau ketosis urin.
adiposa
Selain itu, urinalisis juga dapat digunakan jika dicurigai terjadi infeksi
HIPERGLIKEMI
pada traktus urinarius.
Ketogenesis 
D. PATOFISIOLOGI Perpindahan Osmolalitas
cairan dari serum 
Ketonemia, intrasel ke
ketosuria, ekstrasel
asidosis Diuresis
metabolik osmotik
Dehidrasi
seluler
Glukosuria

Volume
Poliuria
sirkulasi 

Kehilangan
Hemokonsentrasi 
elektrolit
Polidipsi
E. MANIFESTASI KLINIS
Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi
pada DM, baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan
komplikasi serius yang mungkin terjadi sekalipun pada DM yang terkontrol
dengan baik. Krisis hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis
diabetik (KAD), status hiperosmolar hiperglikemik (SHH) atau kondisi yang
mempunyai elemen kedua keadaan diatas.
Krisis hiperglikemia pada DM tipe 2 biasanya terjadi karena ada
keadaan yang mencetuskannya. Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini
antara lain infeksi penyakit vaskular akut, trauma, heat stroke, kelainan
gastrointestinal dan obat-obatan. Pada DM tipe 1, krisis hiperglikemia sering
terjadi karena yang bersangkutan menghentikan suntikan insulin ataupun
pengobatannya tidak adekuat.
a. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Pada ketoasidosis diabetik, kadar glukosa darah meningkat
dengan cepat akibat glukoneogenesis (300-600 mg/dL), dan peningkatan
penguraian lemak yang progresif. Osmolaritas plasma meningkat (300-
320 mOs/ mL). Terjadi poliuria dan dehidrasi. Kadar keton juga
meningkat (ketosis) akibat penggunaan asam lemak yang hampir total
untuk menghasilkan ATP. Keton keluar melalui urine menyebabkan bau
napas seperti buah. Pada ketosis, pH turun di bawah 7,3 yang
menyebabkan asidosis metabolic
Individu dengan KAD sering mengalami mual dan nyeri abdomen.
Dapat terjadi muntah yang memperparah dehidrasi ekstrasel dan
intrasel. Kadar kalium turun total tubuh tubuh turun akibat poliuria dan
muntah berkepanjangan.
b. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)
SHH adalah komplikasi akut yang dijumpai pada pengidap DM
tipe 2. SHH adalah manifestasi awal DM pada 7-17% pasien DM.33
Walaupun tidak rentan mengalami ketosis, pengidap DM tipe 2 dapat
mengalami hiperglikemia berat peningkatan glukosa darah sangat tinggi
(600-1200 mg/dL). Kadar hiperglikemia ini menyebabkan osmolaritas
plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL). Situasi ini menyebabkan
pengeluaran berliter-liter urine, rasa haus yang hebat, defisit kalium yang
parah dan sekitar 15-20 menit dapat terjadi koma dan kematian
Secara umum Keadaan dekompensasi metabolik akut biasanya
didahului oleh gejala diabetes yang tidak terkontrol. Gejala-gejalanya antara
lain lemah badan, pandangan kabur, poliuria, polidipsia dan penurunan berat
badan. KAD berkembang dengan cepat dalam waktu beberapa jam,
sedangkan SHH cenderung berkembang dalam beberapa hari yang
mengakibatkan hiperosmolalitas. Dehidrasi akan bertambah berat bila
disertai pemakaian diurétika.Gejala tipikal untuk dehidrasi adalah membran
mukosa yang kering, turgor kulit menurun, hipotensi dan takhikardia.Pada
pasien tua mungkin sulit untuk menilai turgor kulit. Demikian juga pasien
dengan neuropati yang lama mungkin menunjukkan respons yang berbeda
terhadap keadaan dehidrasi.
Status mental dapat bervariasi dari sadar penuh , letargi, sampai
koma. Bau nafas seperti buah mengindikasikan adanya aseton yang
dibentuk dengan ketogenesis. Mungkin terjadi pernafasan Kussmaul sebagai
mekanisme kompensasi terhadap asidosis metabolik. Pada pasien-pasien
SHH tertentu, gejala neurologi fokal atau kejang mungkin merupakan gejala
klinik yang dominan (ADA, 2014 , Gaglia et, al, 2004 & Kitabchi, et, al.).
Walaupun infeksi adalah faktor presipitasi yang sering untuk DKA dan
SHH, pasien dapat normotermik atau bahkan hipotermik terutama oleh
karena vasodilatasi perifer. Hipotermia, jika ada, adalah suatu petanda
buruknya prognosis. (Rosenbloom, 1990). Nyeri abdomen lebih sering terjadi
pada KAD dibandingkan dengan SHH. Diperlukan perhatian khusus untuk
pasien yang mengeluh nyeri abdomen, sebab gejala ini bisa merupakan
akibat ataupun faktor penyebab (terutama pada pasien muda) DKA. Evaluasi
lebih lanjut harus dilakukan jika keluhan ini tidak berkurang dengan
perbaikan dehidrasi dan asidosis metabolik.
Manifestasi Klinis (Hudak & Gallo, 1996)
KETOASIDOSIS DIABETIK HIPEROSMOLAR NON KETOTIK
1. Pasien menderita diabetes tipe 1, 1. Pasien menderita diabetes tipe 2 dan
diabetic yang tergantung pada insulin mungkin ditangani dengan diet saja, diet
2. Pasien biasanya berusia <40 tahun
dan agen hipoglikemik, atau diet & terapi
3. Awitan insidensial
4. Gejala-gejala meliputi : insulin
a. Mengantuk, kompos metis-koma 2. Pasien biasanya berusia > 40 tahun
b. Poliuria selama 2 hari sampai 2 3. Awitan biasanya cepat
4. Gejala-gejala meliputi :
minggu sebelum gejala klinis timbul
a. Agak mengantuk, insiden stupor atau
c. Hiperventilasi dengan
sering koma
kemungkinan pola pernapasan
b. Poliuria selama 1 sampai 3 hari
Kussmaul, napas bau aseton
sebelum gejala klinis timbul
d. Penipisan volume sangat
c. Tidak ada hiperventilasi dan tidak ada
berlebihan (dehidrasi, hipovolemi)
bau napas
e. Glukosa serum 300 mg/dl sampai
d. Penipisan volume sangat berlebihan
1000 mg/dl
(dehidrasi, hipovolemia)
f. Nyeri abdomen, muntah, mual, dan
e. Glukosa serum mencapai 600 mg/dl
diare
sampai 2400 mg/dl
g. Hiponatremia ringan
f. Kadang-kadang terdapat gejala
h. Polidipsia selama 1 sampai 3 hari
i. Osmolalitas serum tinggi gastrointestinal
j. Kerusakan fungsi ginjal g. Hipernatremia
k. Kadar HCO3 lebih dari 16mEq/L h. Kegagalan mekanisme haus yang
l. Kadar CO2 kurang dari 10 mEq/L
mengakibatkan pencernaan air tidak
m. Celah anion lebih dari 7 mEq/L
n. Hipokalemia berat adekuat
o. Terdapat ketonemia (urin-serum) i. Osmolaritas serum tinggi >320 dengan
p. Asidosis sedang sampai berat
gejala system saraf pusat minimal
q. Angka kesembuhan tinggi
r. Anion gap tinggi >12 (disorientasi, kejang setempat)
s. pH arteri <> j. Kerusakan fungsi ginjal
k. Kadar HCO3 kurang dari 10 mEq/L
l. Kadar CO2 normal
m. Celah anion kurang dari 7 mEq/L
n. Kalium serum biasanya normal
o. Tidak ada ketonemia / ringan
p. Asidosis ringan
q. Angka kematian tinggi
r. Anion gap <>
s. pH arteri >7,3

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
PRESENTASI KLINIK
Keadaan dekompensasi metabolik akut biasanya didahului oleh
gejala diabetes yang tidak terkontrol. Gejala-gejalanya antara lain lemah
badan, pandangan kabur, poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan.
KAD berkembang dengan cepat dalam waktu beberapa jam, sedangkan
SHH cenderung berkembang dalam beberapa hari yang mengakibatkan
hiperosmolalitas. Dehidrasi akan bertambah berat bila disertai pemakaian
diurétika.
Gejala tipikal untuk dehidrasi adalah membran mukosa yang kering,
turgor kulit menurun, hipotensi dan takhikardia. Pada pasien tua mungkin
sulit untuk menilai turgor kulit. Demikian juga pasien dengan neuropati yang
lama mungkin menunjukkan respons yang berbeda terhadap keadaan
dehidrasi. Status mental dapat bervariasi dari sadar penuh, letargi, sampai
koma. Bau nafas seperti buah mengindikasikan adanya aseton yang
dibentuk dengan ketogenesis. Mungkin terjadi pernafasan Kussmaul sebagai
mekanisme kompensasi terhadap asidosis metabolik. Pada pasien-pasien
SHH tertentu, gejala neurologi fokal atau kejang mungkin merupakan gejala
klinik yang dominan.
Walaupun infeksi adalah faktor presipitasi yang sering untuk DKA dan
SHH, pasien dapat normotermik atau bahkan hipotermik terutama oleh
karena vasodilatasi perifer. Hipotermia, jika ada, adalah suatu petanda
buruknya prognosis. Nyeri abdomen lebih sering terjadi pada KAD
dibandingkan dengan SHH. Diperlukan perhatian khusus untuk pasien yang
mengeluh nyeri abdomen, sebab gejala ini bisa merupakan akibat ataupun
faktor penyebab (terutama pada pasien muda) DKA. Evaluasi lebih lanjut
harus dilakukan jika keluhan ini tidak berkurang dengan perbaikan dehidrasi
dan asidosis metabolik.
PEMERIKSAAN LABORATORIK
Evaluasi Laboratorium awal pasien dengan kecurigaan KAD atau
SHH meliputi penentuan kadar glukosa plasma, urea nitrogen/kreatinin
serum, keton, elektrolit (dengan anion gap), osmolaritas, analisa urine,
benda keton urin dengan dipstik, analisa gas darah pemeriksaan sel darah
lengkap dengan hitung jenis, dan elektrokardiogram. Kultur bakteri dari air
seni, darah, dan tenggorokan dan lain-lain harus dilakukan dan antibiotik
yang sesuai harus diberikan jika dicurigai ada infeksi. A1c mungkin
bermanfaat untuk menentukan apakah episode akut ini adalah akumulasi
dari suatu proses evolusiner yang tidak didiagnosis atau DM yang tidak
terkontrol, atau suatu episode akut pada pasien yang terkendali dengan
baik. Foto thorax harus dikerjakan jika ada indikasi.
Konsentrasi natrium serum pada umumnya berkurang oleh karena
perubahan osmotik yang terjadi terus menerus dari intrasellular ke
extracellular dalam keadaan hiperglikemia. Konsentrasi kalium serum
mungkin meningkat oleh karena pergeseran kalium extracellular yang
disebabkan oleh kekurangan hormon insulin, hypertonisitas, dan asidemia.
Pasien dengan konsentrasi kalium serum rendah atau lownormal pada saat
masuk, mungkin akan kekurangan kalium yang berat pada saat perawatan
sehingga perlu diberi kalium dan perlu monitoring jantung yang ketat, sebab
terapi krisis hiperglikemia akan menurunkan kalium lebih lanjut dan dapat
menimbulkan disritmia jantung.
Adanya stupor atau koma pada pasien DM tanpa peningkatan
osmolalitas efektif ( > 320 mOsm/kg) perlu pertimbangan kemungkinan lain
penyebab perubahan status mental. Pada mayoritas pasien DKA kadar
amilase meningkat, tetapi ini mungkin berkaitan dengan sumber
nonpankreatik. Serum lipase bermanfaat untuk menentukan diagnosa
banding dengan pankreatitis. Nyeri abdominal dan peningkatan kadar
amilase dan enzim hati lebih sering terjadi pada DKA dibandingkan dengan
SHH.
KETOASIDOSIS DIABETIK
Pemeriksaan Fisik
1. Hipotermia sering ditemukan pada KAD. Adanya panas merupakan tanda
adanya infeksi dan harus diawasi
2. Hiperkapnia atau pernafasan kussmaul, berkaitan dengan beratnya
asidosis
3. Takikardia sering ditemukan, namun tekanan darah masih normal kecuali
terjadi dehidrasi yang berat
4. Napas berbau buah
5. Turgor kulit menurun, beratnya tergantung dari beratnya dehidrasi
6. Hiporefleksia (akibat hipokalemia)
7. Pada KAD berat dapat ditemukan hipotonia, stupor, koma, gerakan bola
mata tidak terkoordinasi, pupil melebar dan akhirnya meninggal
8. Tanda lainnya sesuai dengan penyakit/factor pencetus
Temuan laborartorium
1. Glukosa
Glukosa serum biasanya di atas 300 mg/dl. Kadar glukosa
mencerminkan derajat kehilangan cairan ekstraseluler. Kehilangan cairan
yang berat menyebabkan aliran darah ginjal menurun dan menurunnya
ekskresi glukosa. Diuresis osmotic akibat hiperglikemia menyebabkan
hilangnya cairan dan elektrolit, dehidrasi dan hiperosmolaritas. Pada
KAD, derajat hiperglikemia mencerminkan peningkatan osmolaritas
serum (umumnya sampai 340 mOsm/Kg), tetapi tidak pada koma
hiperosmolar nonketotik (sampai 450 mOsm/kg).
2. Keton
Tiga benda keton utama adalah: betahidroksibutirat, asetoasetat
dan aseton. Kadar keton total umumnya melebihi 3mM/L dan dapat
meningkat sampai 30mM/L (nilai normal adalah sampai 0,15 mM/L).
Kadar aseton serum meningkat 3-4 kali dari kadar asetoasetat, namun
berbeda dengan keton lainnya aseton tidak berperan dalam terjadinya
asidosis. Betahidroksibutirat dan asetoasetat menumpuk dalam serum
dengan perbandingan 3:1 (KAD ringan sampai 15:1 (KAD berat) .
3. Asidosis
Asidosis metabolic ditandai dengan kadar bikarbonat serum
dibawah 15mEq/I dan pH arteri di bawah 7,3. Keadaan ini terutama
disebabkan oleh penumpukkan betahidroksibutirat dan asetoasetat di
dalam serum.
4. Elektrolit
Kadar natrium serum dapat rendah,normal atau tinggi.
Hiperglikemia menyebabkan masuknya cairan intraseluler ke ruang
ekstraseluler. Hal ini dapat menyebabkan hiponatremia walaupun terjadi
dehidrasi dan hiperosmolaritas. Hipertrigliseri-demia dapat juga
menyebabkan menurunnya kadar natrium serum.
5. Lain-lain
Kadar nitrogen ureum darah (BUN) biasanya sekitar 20-30
mg/dl,mencerminkan hilangnya volume sedang. Leukositosis sering
meningkat setinggi 15.000-20.000/ml pada KAD, karenanya tidak dapat
dipakai sebagai satu-satunya bukti adanya infeksi. Amilase serum dapat
meningkat. Penyebabnya tidak diketehui, mungkin berasal dari pancreas
(namun tidak terbukti ada pancreatitis) atau dari kelenjar ludah.
Transamine juga dapat meningkat.
KOMA NON KETOTIK HIPEROSMOLAR
Pemeriksaan fisik
Ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat, berbagai deficit neurologic
(koma, hemiparesis sementara, hiperrefleksia unilateral, arefleksia umum),
berbagai gangguan kesadaran diri dari letargi sampai koma, dan tanda-
tanda penyakit yang menyertai (seperti gagal ginjal, penyakit
kardiovaskuler).
Pemeriksaan laboratorium
Kadar gula darah meningkat antara 600-2000 mg/dl. Osmolaritas
serum meningkat dengan tajam, biasanya melebihi 350 mOsm/L. perlu
diketahui bahwa yang lebih baik dipakai untuk penentu klinik daripada
osmolaritas total adalah osmolaritas efektif atau tonisitas. Osmolaritas efektif
menentukan flux air bersih antara cairan extraseluler dan intraseluler; dan
peningkatan osmolaritas efektif ini lebih sering dikaitkan dengan penekanan
susunan saraf pusat dibandingkan dengan osmolaritas total. Osmolaritas
efektif biasanya lebih dari 320 mOsm/L. BUN meningkat lebih tinggi daripada
yang terlihat pada KAD. Keton serum biasanya tidak terdeteksi. Kadar
natrium serum dapat tinggi, normal atau rendah. Defisiensi kalium juga
ditemukan, dengan deficit sekitar 5 meq/kg. asidosis metabolic ringan
mungkin ditemukan (pH 7,3) karena penumpukan laktat dan asam keto. Bial
pH <7,3 pikirkan sindrom campuran ketoasidosis. Temuan lain yang mungkin
ditemukan adalah meningkatnya beberapa kimia serum seperti transaminase
hati, dehidrogenase laktat, CPK-MM, dan leukositosis.

G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Prinsip terapi KAD adalah dengan mengatasi dehidrasi,
hiperglikemia, dan ketidakseimbangan elektrolit, serta mengatasi penyakit
penyerta yang ada. Pengawasan ketat, Kesadaran Umum jelek masuk
HCU/ICU
1. Terapi cairan :
a. Pasien dewasa
Terapi cairan initial/ awal dimaksudkan untuk memperbaiki
volume cairan intra dan ekstravaskuler serta memperbaiki perfusi
ginjal. Bila tidak ada kelainan / gangguan fungsi jantung, diberikan
cairan isotonis NaCl 0,9 % dengan kecepatan 15 sampai 20
ml/kgBB/jam. Pada 1 jam pertama tetesan cairan dipercepat (1-1,5
liter). Pada jam berikutnya, terapi cairan tergantung derajat
dehidrasi, kadar elektrolit serum dan diuresis (jumlah urin). Secara
umum, infus 0,45% NaCl dengan dosis 4-14 ml/kgBB/jam dapat
diberikan bila kadar Na serum normal atau meningkat. Bila kadar
Na rendah, diberikan 0,9% NaCl dengan kecepatan yang sama.
Setelah fungsi ginjal membaik, terlihat dengan adanya diuresis,
segera diberikan infus Kalium sebanyak 20-30 mEq/l sampai kondisi
pasien stabil dan dapat menerima suplemen Kalium oral.
b. Pasien pediatrik (< 20 tahun)
Terapi initial/awal ditujukan untuk memperbaiki volume
cairan intra dan ekstravaskuler serta perfusi ginjal.Kebutuhan cairan
harus diperhitungkan untuk mencegah timbulnya edema serebri
akibat pemberian cairan yang terlalu cepat dan berlebihan. Cairan
yang diberikan pada 1 jam pertama berupa cairan isotonik (0,9%
NaCl) dengan kecepatan 10-20 ml/kgBB/jam. Pada pasien yang
mengalami dehidrasi berat, pemberian cairan perlu diulang, namun
tidak boleh melebihi 50 ml/kgBB dalam 4 jam. Terapi cairan lanjutan
diperhitungkan untuk mengganti kekurangan cairan selama 48 jam.
Umumnya pemberian cairan 1,5 kali selama 24 jam berupa cairan
0,45% – 9% NaCl dapat menurunkan osmolalitas tidak melebihi 3
mOsm/kgBB/jam. Setelah fungsi ginjal membaik dengan adanya
diuresis, diberikan infus kalium 20-40 mEq/l (2/3 KCl atau K asetat
dan 1/3 K fosfat). Setelah kadar glukosa serum mencapai 250
mg/dl, cairan sebaiknya diganti dengan 5% glukosa dan 0,45% –
0,75% NaCl. Status mental sebaiknya dimonitor secara ketat untuk
mencegah agar tidak terjadi kelebihan cairan iatrogenik yang dapat
menyebabkan edema serebri.
2. Terapi Insulin :
Regular Insulin (RI) melalui infus intravena
berkesinambungan merupakan terapi pilihan. Pada pasien dewasa,
bila tidak ada hipokalemi (K+ < 3,3 mEq/l) diberikan bolus RI
intravena dengan dosis 0,15 UI/kgBB disertai dgn infus RI dgn dosis
0,1 UI/kgBB/jam (5-7 UI/jam).
Pada pasien pediatric, diberikan infus RI berkesinambungan
dgn dosis 0,1 UI/kg/jam. Dosis rendah ini biasanya dapat
menurunkan kadar glukosa plasma sebesar 50-75 mg/dl per jam,
sama seperti pada pemberian regimen insulin dgn dosis yang lebih
tinggi. Bila kadar glukosa plasma tidak turun sebesar 50 mg/dl dari
kadar awal, periksa keadaan hidrasi pasien. Infus insulin dapat
ditingkatkan 2 kali lipat setiap jam sampai kadar glukosa plasma
turun antara 50 sampai 75 mg/dl per jam. Bila kadar glukosa plasma
mencapai 250 mg/dl pada KAD atau 300 mg/dl pada KHH, dosis
insulin diturunkan menjadi 0,05-0,1 UI/kgBB/jam (3-6 UI/jam) dan
pemberian Dextrose (5-10%). Selanjutnya kecepatan insulin atau
konsentrasi Dextrose disesuaikan untuk mempertahankan kadar
glukosa plasma normal sampai asidosis pada KAD atau gangguan
mental dan keadaan hiperosmolar pada KHH dapat diatasi.
Ketonemia memerlukan perawatan yang lebih lama daripada
hiperglikemi.
Pengukuran langsung terhadap β hydroxy butirate dalam
darah merupakan cara yang lebih baik untuk memantau KAD.
Metoda nitroprusside hanya dapat mengukur asam asetoasetat dan
aseton.Beta-OHB, yang merupakan asam kuat dan paling sering
ditemukan pada KAD, tidak dapat diukur dengan metoda
nitroprusside.Selama pengobatan, β-OHB dirubah menjadi asam
asetoasetat yang dapat memberi kesan keliru bahwa ketosis
memburuk. Selama pengobatan KAD atau KHH, darah sebaiknya
diperiksa setiap 2 – 4 jam untuk menentukan kadar elektrolit serum,
glukosa, ureum, kreatinin, osmolalitas dan pH darah vena.
Umumnya, tidak perlu dilakukan pemeriksaan ulang analisa
gas darah arteri. Keasaman (pH) darah vena (biasanya 0,03 U lebih
rendah dari pH arteri) dan anion gap dapat pula digunakan untuk
memantau adanya asidosis pada KAD.
Pada KAD ringan, RI dapat diberikan baik secara subkutan
maupun intramuskuler setiap jam sama efektifnya dengan pemberian
intravena pada KAD yang berat.
Pasien dgn KAD ringan sebaiknya diberikan dosis initial / awal
RI sebesar 0,4 – 0,6 UI per kgBB, dimana separuh dosis diberikan
secara bolus intravena dan separuhnya secara s.c. atau i.m.
Selanjutnya pada jam2 berikutnya dapat diberikan 0,1/kgBB/jam RI
secara subkutan atau intramuskuler.
Kriteria terjadinya perbaikan pada KAD meliputi :
- Penurunan kadar glukosa plasma 18 mEq/l
- pH darah vena > 7,3
Setelah KAD dapat diatasi, pemberian RI subkutan dan terapi
cairan sebaiknya diteruskan sesuai kebutuhan. Pada pasien dewasa,
dosis insulin dapat dinaikkan sebesar 5 UI untuk setiap kenaikan
kadar glukosa darah diatas 150 mg/dl sampai 20 UI bila kadar
glukosa darah  300 mg/dl. Bila pasien sudah bisa makan, mulai
diberlakukan jadwal dosis multiple menggunakan kombinasi insulin
kerja cepat dan kerja sedang / kerja panjang sesuai kebutuhan untuk
mengontrol kadar glukosa plasma.
3. Kalium
Terapi insulin, koreksi terhadap asidosis dan penambahan
cairan dapat menurunkan kadar kalium serum. Untuk mencegah
hipokalemi, penambahan kalium hendaklah dimulai bila kadar kalium
serum turun dibawah 5,5 mEq/l dengan syarat bila sudah terjadi
diuresis. Umumnya pemberian Kalium sebanyak 20-30 mEq (2/3 KCl
dan 1/3 KPO4) dalam setiap liter cairan infus sudah cukup untuk
mempertahankan kadar Kalium serum dalam batas normal (4 – 5
mEq/l). Bila terjadi hipokalemi berat ( 3,3 mEq/l, untuk mencegah
terjadinya aritmia atau cardiac arrest dan kelemahan otot pernafasan.
4. Bikarbonat
Pemberian bikarbonat pada KAD masih kontroversi.Pada pH
>7.0, pemberian insulin dapat mencegah lipolisis dan menanggulangi
ketoasidosis tanpa perlu tambahan pemberian bikarbonat.Suatu studi
prospektif tidak menunjukkan perbaikan atau perubahan morbiditas
atau mortalitas penderita KAD dengan pH darah antara 6.9 – 7.1,
yang diberi terapi bikarbonat.Dan tidak ada studi yang menunjukkan
manfaat pemberian bikarbonat pada penderita KAD dengan pH darah
< 6.9.Namun pada penderita dengan asidosis yang berat dimana pH
darah 7.0, tidak diperlukan pemberian bikarbonat. Perlu diingat
bahwa terapi insulin dan bikarbonat dapat menurunkan kadar kalium
serum. Oleh karena itu, suplementasi kalium dalam cairan infus
hendaklah dipertahankan dan dimonitor secara ketat. Selanjutnya,
pH darah vena hendaklah diperiksa setiap setiap 2 jam sampai pH
mencapai 7.0. Bila perlu pemberian bikarbonat dapat diulang.Pada
penderita pediatrik, bila pH darah masih < 7.0 setelah rehidrasi jam
pertama, perlu diberikan natrium bikarbonat dengan dosis 1-2
mEq/kg BB / jam. Sodium bikarbonat dapat ditambahkan kedalam
NaCl dengan campuran kalium yang diperlukan, sehingga
menghasilkan larutan dengan kadar natrium yang tidak melebihi 155
mEq/l.
5. Fosfat :
Kadar fosfat serum dapat menurun pada saat terapi
insulin.Namun beberapa studi prospektif tidak menunjukkan adanya
manfaat pemberian fosfat pada penderita KAD. Namun untuk
mencegah terjadinya kelemahan otot jantung dan otot rangka serta
depresi pernafasan akibat hipofosfatemia, perlu diberikan suplemen
fosfat terutama pada penderita yang disertai dengan gangguan fungsi
jantung, anemia atau depresi pernafasan dan pada penderita dengan
kadar fosfat serum < 1.0 mg/dl.
Fase I/ Gawat :
1. Rehidrasi
a. Berikan cairan isotonik NaCl 0,9% atau RL 2L loading dalam 2 jam
pertama, lalu 80 tpm selama 4 jam, lalu 30-50 tpm selama 18 jam (4-
6L/24jam)
b. Atasi syok (cairan 20 ml/kg BB/jam)
c. Bila syok teratasi berikan cairan sesuai tingkat dehidrasi
d. Rehidrasi dilakukan bertahap untuk menghindari herniasi batang otak
(24 – 48 jam).
e. Bila Gula darah < 200 mg/dl, ganti infus dengan D5%
f. Koreksi hipokalemia (kecepatan max 0,5mEq/kgBB/jam)
g. Monitor keseimbangan cairan
2. Insulin
a. Bolus insulin kerja cepat (RI) 0,1 iu/kgBB (iv/im/sc)
b. Berikan insulin kerja cepat (RI) 0,1/kgBB dalam cairan isotonic
c. Monitor Gula darah tiap jam pada 4 jam pertama, selanjutnya tiap 4
jam sekali
d. Pemberian insulin parenteral diubah ke SC bila : AGD < 15 mEq/L
³250mg%, Perbaikan hidrasi, Kadar HCO3
3. Infus K (tidak boleh bolus)
a. Bila K+ < 3mEq/L, beri 75mEq/L
b. Bila K+ 3-3.5mEq/L, beri 50 mEq/L
c. Bila K+ 3.5 -4mEq/L, beri 25mEq/L
d. Masukkan dalam NaCl 500cc/24 jam
4. Infus Bicarbonat : Bila pH 7,1, tidak diberikan
5. Antibiotik dosis tinggi
Batas fase I dan fase II sekitar GDR 250 mg/dl atau reduksi
Fase II/ Maintenance:
1. Cairan maintenance
a. Nacl 0.9% atau D5 atau maltose 10% bergantian
b. Sebelum maltose, berikan insulin reguler 4IU
2. Kalium : Perenteral bila K+ 240 mg/dL atau badan terasa tidak enak.
3. Saat sakit, makanlah sesuai pengaturan makan sebelumnya. Bila tidak
nafsu makan, boleh makan bubur atau minuman berkalori lain.
4. Minumlah yang cukup untuk mencegah dehidrasi.

H. KOMPLIKASI
Komplikasi pada krisis hiperglikemik dapat terjadi akibat KAD/SHH dan
komplikasi akibat pengobatan:
1. Penyulit KAD dan SHH yang paling sering adalah hipoglikemia dalam
kaitan dengan pemberian insulin yang berlebihan, hipokalemia dalam
kaitan dengan pemberian insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat,
dan hiperglikemia sekunder akibat penghentian insulin intravena setelah
perbaikan tanpa pemenuhan yang cukup dengan insulin subkutan.
2. Biasanya, pasien yang sembuh dari KAD menjadi hyperkhloremi
disebabkan oleh penggunaan larutan saline berlebihan untuk penggantian
cairan dan elektrolit dan asidosis metabolik non-anion gap yang
sementara dimana khlorida dari cairan intravena menggantikan anion
yang hilang dalam bentuk sodium dan garam-kalium selama diuresis
osmotik. Kelainan biokimia ini adalah sementara dan secara klinik tidak
penting kecuali jika terjadi gagal ginjal akut atau oliguria yang ekstrim.
3. Edema cerebral adalah suatu kejadian yang jarang tetapi merupakan
komplikasi KAD yang fatal, dan terjadi 0.7–1.0% pada anak-anak dengan
DKA. Umumnya terjadi pada anak-anak dengan DM yang baru
didiagnosis, tetapi juga dilaporkan pada anak-anak yang telah diketahui
DM dan pada orang-orang umur duapuluhan (1,2,6). Kasus yang fatal
dari edema cerebral ini telah pula dilaporkan pada SHH. Secara klinis,
edema cerebral ditandai oleh perubahan tingkat kesadaran, dengan
letargi, dan sakit kepala. Gangguan neurologi mungkin terjadi secara
cepat, dengan kejang, inkontinensia, perubahan pupil, bradycardia, dan
gagal nafas. Gejala ini makin menghebat jika terjadi herniasi batang otak.
Perburukan ini terjadi sangat cepat walaupun papilledema tidak
ditemukan Bila terjadi gejala klinis selain dari kelesuan dan perubahan
tingkah laku , angka kematian tinggi (> 70%), dengan hanya 7–14%
pasien yang sembuh tanpa kelainan yang permanen. Walaupun
mekanisme dari edema cerebral tidak diketahui diduga diakibatkan oleh
perubahan osmolaritas dari air pada sistem saraf pusat dimana terjadi
penurunan osmolaritas dengan cepat pada terapi KAD atau SHH.
Kurangnya informasi yang berhubungan dengan angka morbiditas edema
cerebral pada pasien orang dewasa; oleh karena itu, rekomendasi
penilaian untuk pasien orang dewasa lebih secara klinis, daripada bukti
ilmiah. Pencegahan yang mungkin dapat mengurangi resiko edema
cerebral pada pasien dengan resiko tinggi adalah dengan penggantian
defisit air dan natrium berangsurangsur dengan perlahan pada pasien
yang hyperosmolar (maksimal pengurangan osmolaritas 3 mOsm· kg-1
H2O· h-1) dan penambahan dextrose dalam larutan hidrasi saat glukosa
darah mencapai 250 mg/dl. Pada SHH, kadar glukosa darah harus
dipertahankan antara 250-300 mg/dl sampai keadaan hiperosmoler dan
status mental perbaikan, dan pasien menjadi stabil.\
4. Hypoxemia dan edema paru-paru yang nonkardiogenik dapat terjadi saat
terapi KAD. Hypoxemia disebabkan oleh suatu pengurangan dalam
tekanan osmotic koloid yang mengakibatkan penambahan cairan dalam
paru-paru dan penurunan compliance paru-paru. Pasien dengan KAD
yang mempunyai suatu gradien oksigen alveoloarteriolar yang lebar pada
saat pengukuran analisa gas darah awal atau ditemukannya ronkhi saat
pemeriksaan fisik berisiko lebih tinggi untuk terjadinya edema paru.
5. Peningkatan kadar amilase dan lipase yang non spesifik dapat terjadi
pada KAD maupun SHH. Pada penelitian Yadav dan kawan-kawan,
peningkatan amilase dan lipase terjadi pada 16 – 25% kasus KAD. Kadar
amilase dan lipase dapat meingkat sampai lebih dari 3 kali nilai normal
tanpa bukti klinik dan CT-scan pankreatitis. Walaupun demikian,
pankreatitis akut dapat juga terjadi pada 10 – 15% kasus KAD.
6. Dilatasi gaster akut akibat gastroparesis yang diinduksi oleh keadaan
hipertonisitas merupaka komplikasi yang jarang terjadi tetapi dapat fatal.
Pada keadaan ini risiko untuk terjadinya perdarahan gastrointestinal lebih
besar. Mungkin diperlukan dekompresi dengan naso-gastric tube dan
pemberian agen-agen penurun asam lambung sebagai tindakan
profilaksis
7. ARDS (adult respiratory distress syndrome) : Patogenesis terjadinya hal
ini belum jelas, kemungkinan akibat rehidrasi yang berlebihan, gagal
jantung kiri atau perubahan permeabilitas kapiler paru.

I. ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
1. Anamnesis :
a. Riwayat DM
b. Poliuria, Polidipsi
c. Berhenti menyuntik insulin
d. Demam dan infeksi
e. Nyeri perut, mual, mutah
f. Penglihatan kabur
g. Lemah dan sakit kepala
2. Pemeriksan Fisik :
a. Ortostatik hipotensi (sistole turun 20 mmHg atau lebih saat berdiri)
b. Hipotensi, Syok
c. Nafas bau aseton (bau manis seperti buah)
d. Hiperventilasi : Kusmual (RR cepat, dalam)
e. Kesadaran bisa CM, letargi atau koma
f. Dehidrasi
3. Pengkajian gawat darurat :
a. Airways : kaji kepatenan jalan nafas pasien, ada tidaknya sputum
atau benda asing yang menghalangi jalan nafas
b. Breathing : kaji frekuensi nafas, bunyi nafas, ada tidaknya
penggunaan otot bantu pernafasan
c. Circulation : kaji nadi, capillary refill
4. Pengkajian head to toe
a. Data subyektif :
- Riwayat penyakit dahulu
- Riwayat penyakit sekarang
- Status metabolik : Intake makanan yang melebihi kebutuhan
kalori, infeksi atau penyakit-penyakit akut lain, stress yang
berhubungan dengan faktor-faktor psikologis dan social, obat-
obatan atau terapi lain yang mempengaruhi glukosa darah,
penghentian insulin atau obat anti hiperglikemik oral.
b. Data Obyektif :
- Aktivitas / Istirahat
Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, kram otot, tonus
otot menurun, gangguan istrahat/tidur
Tanda : Takikardia dan takipnea pada keadaan istrahat atau
aktifitas, letargi /disorientasi, koma
- Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat hipertensi, IM akut, klaudikasi, kebas
dan kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki,
penyembuhan yang lama, takikardia.
Tanda : Perubahan tekanan darah postural, hipertensi, nadi yang
menurun/tidak ada, disritmia, krekels, distensi vena jugularis,
kulit panas, kering, dan kemerahan, bola mata cekung.
- Integritas/ Ego
Gejala : Stress, tergantung pada orang lain, masalah finansial
yang berhubungan dengan kondisi
Tanda : Ansietas, peka rangsang
- Eliminasi
Gejala : Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, rasa
nyeri/terbakar, kesulitan berkemih (infeksi), ISK baru/berulang,
nyeri tekan abdomen, diare
Tanda : Urine encer, pucat, kuning, poliuri ( dapat berkembang
menjadi oliguria/anuria, jika terjadi hipovolemia berat), urin
berkabut, bau busuk (infeksi), abdomen keras, adanya asites,
bising usus lemah dan menurun, hiperaktif (diare)
- Nutrisi/Cairan
Gejala : Hilang nafsu makan, mual/muntah, tidak mematuhi diet,
peningkatan masukan glukosa/karbohidrat, penurunan berat
badan lebih dari beberapa hari/minggu, haus, penggunaan
diuretik (Thiazid)
Tanda : Kulit kering/bersisik, turgor jelek, kekakuan/distensi
abdomen, muntah, pembesaran tiroid (peningkatan kebutuhan
metabolik dengan peningkatan gula darah), bau
halisitosis/manis, bau buah (napas aseton)
- Neurosensori
Gejala : Pusing/pening, sakit kepala, kesemutan, kebas,
kelemahan pada otot, parestesi, gangguan penglihatan
Tanda : Disorientasi, mengantuk, alergi, stupor/koma (tahap
lanjut), gangguan memori (baru, masa lalu), kacau mental,
refleks tendon dalam menurun (koma), aktifitas kejang (tahap
lanjut dari DKA).
- Nyeri/kenyamanan
Gejala : Abdomen yang tegang/nyeri (sedang/berat)
Tanda : Wajah meringis dengan palpitasi, tampak sangat berhati-
hati
- Pernapasan
Gejala : Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/tanpa
sputum purulen (tergantung adanya infeksi/tidak)
Tanda : Lapar udara, batuk dengan/tanpa sputum purulen,
frekuensi pernapasan meningkat
- Keamanan
Gejala : Kulit kering, gatal, ulkus kulit
Tanda : Demam, diaphoresis, kulit rusak, lesi/ulserasi,
menurunnya kekuatan umum/rentang gerak, parestesia/paralisis
otot termasuk otot-otot pernapasan (jika kadar kalium menurun
dengan cukup tajam).
- Seksualitas
Gejala : Rabas vagina (cenderung infeksi)Masalah impoten pada
pria, kesulitan orgasme pada wanita
- Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Faktor resiko keluarga DM, jantung, stroke, hipertensi.
Penyembuhan yang lambat, penggunaan obat sepertii steroid,
diuretik (thiazid), dilantin dan fenobarbital (dapat meningkatkan
kadar glukosa darah). Mungkin atau tidak memerlukan obat
diabetik sesuai pesanan. Rencana pemulangan : Mungkin
memerlukan bantuan dalam pengaturan diet, pengobatan,
perawatan diri, pemantauan terhadap glukosa darah.
5. Diagnosa Keperawatan yang mungkin timbul
a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan
kemampuan bernapas
b. Defisit volume cairan berhubungan dengan pengeluaran cairan
berlebihan (diuresis osmotic) akibat hiperglikemia
c. Risiko tinggi terjadinya ganguan pertukaran gas b/d peningkatan
keasaman (pH menurun) akibat hiperglikemia, glukoneogenesis,
lipolysis
d. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh
e.
Analisa Data

MASALAH
DATA ETIOLOGI
KEPERAWATAN
DS : Kekurangan glukosa Kekurangan volume
- Pasien mengeluhkan tingkat sel cairan
mual muntah
DO: Hiperglikemia
- Perubahan status
mental ↑ lipolisis
- Penurunan TD
- Penurunan turgor ↑ pelepasan dan
kulit pemecahan asam
- Penurunan haluaran lemak dlm hati
urin
- Membran mukosa ↑ ketogenesis
kering
- Peningkatan HT Asidosis

Mual,muntah

Kekurangan volume
cairan
DS : Kekurangan glukosa Gangguan
- pasien mengatakan tingkat sel pertukaran gas
sulit bernapas l
DO : Hiperglikemia
- GDA abnormal
- PH arteri abnormal
↑ lipolisis
- Pernapasan
abnormal (mis.
↑ pelepasan dan
Kecepatan, irama,
pemecahan asam
kedalaman)
- Warna kulit abnormal lemak dlm hati
- Konfusi
- Diaforesis
- Hiperkapnia ↑ ketogenesis
- Hipoksemia
- Gelisah
- Somnolen Asidosis metabolik
- Takikardia
- Pernapasan cuping
kebutuhan oksigen
hidung
tidak terpenuhi

Pernafasan
cepat(kusmaul),
nafas bau keton

gangguan
pertukaran gas
DS : Kekurangan glukosa Ketidakseimbangan
- Pasien mengeluhkan tingkat sel nutrisi kurang dari
mual muntah kebutuhan tubuh
↑ glikogenolisis
DO :
- Membran mukosa ↑ glukoneogenesis
pucat
- Ketidakmampuan
Hiperglikemia
mengabsorbsi
nutrien
Perpindahan cairan
dari intrasel ke
extrasel

↑ osmolalitas serum

Dehidrasi seluler

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh

Intervensi Keperawatan

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
Kekurangan Setelah dilakukan ASKEP Fluid Management
1. Monitor intake dan
Volume Cairan selama 1x 24 jam kondisi
output klien
klien membaik, dengan
2. Monitor status hidrasi
Kriteria Hasil:
(kelembaban membrane
 Mampu mempertahankan
mukosa, Turgor, dll)
urine output sesuai usia 3. Monitor TTV
dan BB dan BJ urine 4. Monitor intake makanan/
normal cairan dan hitung intake
 TD, Nadi, dan Suhu kalori harian
Tubuh dalam batas 5. Monitor status nutrisi
6. Kolaborasi : Pemberian
normal
 Tak ada tanda-tanda cairan IV dan elektrolit
dehidrasi, elastisitas
turgor kulit baik, Hipovolemia Management
membrane mukosa 1. Monitor status
lembab Hemodinamika ( Hb, Ht,
Leukosit, dll)
NOC:
2. Monitor BB
1. Fluid Balance
3. Monitor TTV dan res pon
2. Hydration
3. Intake klien terhadap
penambahan cairan IV
4. Monitor BUN, Creatine,
total protein, dan
albumin
5. Monitor adanya tanda-
tanda gagal ginjal

Cardiac Care : Acute (b.d


status hemodinamika)

1. Kaji adanya tanda-tanda


chest pain
2. Monitor cardiac rhytm
dan rate
3. Auskultasi bunyi jantung
4. Monitor status neurologi
(kesadaran, dll)
5. Monitor urine output,
dan berat badan harian
6. Monitor serum CK, LDH,
dan AST level
7. Monitor fungsi renal
(BUN dan CR level)
8. Monitor status elektrolit
yang beresiko
menyebabkan
disrhytmia (serum
potassium dan
magnesium)
9. Monitor tekanan darah
dan status hemodinamik
10. Batasi intake caffeine,
sodium, cholesterol,
dan makanan tinggi
lemak

GANGGUAN Setelah diberikan tindakan - Airway management


PERTUKARAN - respiratory monitoring
keperawatan 2x24jam,
GAS 1. Monitor rata-rata,
pertukaran gas pada klien
kedalaman, irama &
tidak terganggu dengan
usaha respirasi dan
KH:
status O2
NOC : 2. Monitor aktivitas istirahat,
Respiratory Status : Gas kegelisahan & rasa
exchange dan Respiratory sesak
3. Monitor dsynpneu &
Status : Ventilation
- Tanda-tanda vital aktivitas yang dapat
dalam rentang normal : mengurangi &
RR =12-20 x/menit, memperparahnya
4. Posisikan pasien fowler
Nadi 60-100 x/menit,
untuk memaksimalkan
T= 36,5 - 37, 5 derajat
ventilasi
celcius, Tekanan darah
5. Pastikan jalan nafas tidak
sistolik menngkat 60-90
tersumbat
mmHg. 6. Catat pergerakan dada,
- AGD dalam batas amati kesimetrisan,
normal (PaO2 normal : penggunaan otot
90-100 mmHg, PCO2 : tambahan, retraksi otot
38-42 mmhg, HCO3 ; supra clavicular
21-27 Meq/L) intercostae
- Gerakan dada dan 7. Catat dan perhatiakn
irama nafas adekuat Hasil laboratorium,
dan teratur HCO3,PCO3,AGD,GDS
8. Atur intake untuk
- Tidak ada penggunan
mengoptimalkan
otot bantu pernapasan
keseimbangan cairan
- Bunyi pernapasan 9. Monitor TTV pasien
vesikuler
Bantuan Ventilasi
- Pasien
1. Pertahankan kepatenan
mengungkapkan dapat
jalan nafas pasien
bernafas dengan baik
2. Bantu perubahan posisi
dan tidak ada
dengan tepat
gangguan
3. Posisikan pasien untuk
memperingan nafas
4. Monitor efek perubahan
posisi terhadap
oksigenasi
5. Pasang bantuan
oksigenasi
6. Auskultasi suara nafas,
catat area yang
mengalami perubahan
ventilasi dan adanya
suara tambahan
7. Monitor kelelahan otot
pernafasan
8. Monitor status respirasi
dan oksigenasi
9. Berikan obat-obatan
untuk meningkatkan
kepatenan jalan napas
dan pertukaran gas.
10. Ajarkan teknik-teknis
bernafas

Terapi oksigen
-Bersihkan mulut, hidung
dan secret trakea
-Pertahankan jalan nafas
yang paten
-Atur peralatan oksigenasi
-Monitor aliran oksigen
-observasi adanya tanda-
tanda hipeventilasi,
monitor adanya
kecemasan pasien
terhadap oksigenasi

Ketidakseimbangan Setelah diberikan asuhan 1. Kolaborasi terapi cairan.


nutrisi kurang dari keperawatan selama 1x 24 NaCl 0.9% diberikan
kebutuhan tubuh jam kebutuhan nutrisi sebanyak 15–20 ml/kg
berhubungan dapat terpenuhi dan berat badan/jam atau
dengan adekuat lebih besar pada jam
Kriteria Hasil :
ketidakmampuan pertama ( 1–1.5 l untuk
NOC: nutritional status:
untuk rata-rata orang dewasa).
food and fluid intake
2. Pantau pemeriksaan
mengabsorbsi  GDS mendekati rentang
laboratorium seperti
nutrient normal (250 mg/dl)
 Ketoasidosis klen glukosa darah, aseton,
teratasi pH dan HCO3
 Kebutuhan cairan klien 3. Kolaborasi pemberian
terpenuhi insulin secara teratur
 Klien tidak terlihat lemah (0,3-0,4 U/kg).
(3) setengahnya diberikan
 Nutrisi klien adekuat (3)
secara IV bolus dan
setengahnya diberikan
secara subkutan sampai
glukosa darah 250 mg/dl
4. Auskultasi bising usus
tiap 2 jam sekali, catat
adanya nyeri abdomen,
perut kembung, mual,
muntahan makanan
yang belum sempat
dicerna
5. Jika terjadi hipokalemia,
berikan 20–30 mEq
kalium ( 2/3 KCl dan 1/3
KPO4) pada setiap liter
cairan infus untuk
mempertahankan
konsentrasi kalium
serum antara 4–5 mEq/l.
6. Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menetukan
jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan

EVALUASI
Kekurangan Volume Cairan
S : Pasien mengatakan sudah tidak muntah
O : Mampu mempertahankan urine output sesuai usia dan BB dan BJ urine
normal, Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit baik,
membrane mukosa lembab, TTV dalam rentang normal : RR =16-20
x/menit, Nadi 60-100 x/menit, T= 36,5 - 37, 5 0C, TD 100-120/60-80
mmHg
A : Intervensi teratasi sebagian
P : Intervensi terus di lakukan
 Memonitor status Hemodinamika ( Hb, Ht, Leukosit, dll)
 Memonitor kepatenan dan aliran cairan IV dan elektrolit
 Memonitor BUN, Creatine, total protein, dan albumin
 Memonitor adanya tanda-tanda gagal ginjal

Gangguan Pertukaran Gas


S : Pasien mengungkapkan dapat bernafas dengan baik dan tidak ada
gangguan
O : TTV dalam rentang normal : RR =16-20 x/menit, Nadi 60-100 x/menit,
T= 36,5 - 37, 5 0C, TD sistolik meningkat 60-90 mmHg. AGD dalam
batas normal (PaO2 normal :90-100 mmHg, PCO2 : 38-42 mmhg,
HCO3 ; 21-27 Meq/L), Gerakan dada dan irama nafas adekuat dan
teratur, Tidak ada penggunan otot bantu pernapasan, Bunyi pernapasan
vesikuler
A : Intervensi teratasi sebagian
P : Intervensi terus di lakukan
 observasi adanya tanda-tanda hipeventilasi, monitor adanya
kecemasan pasien terhadap oksigenasi
 Memonitor pemberian obat-obatan untuk meningkatkan kepatenan
jalan napas dan pertukaran gas (efek samping, dll)
 Memantau aktivitas yang dapat mengurangi dan memperparah
gangguan pernafasan
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan untuk mengabsorbsi nutrient
S : klien mengatakan masih lemah sedikit, dan klien mengatakan sudah
tidak muntah tetapi masih terasa mual kadang-kadang
O : GDS mendekati rentang normal (250 mg/dl), Ketoasidosis klien teratasi,
Kebutuhan cairan klien terpenuhi
A : Intervensi teratasi sebagian
P : Intervensi terus di lakukan
 memantau terapi cairan yang di berikan, terapi insulin, dan nutrisi
yang di berikan secara teratur
 memonitor tanda-tanda hipokalemia
 memeriksa bising usus tiap 2 jam sekali, catat adanya nyeri
abdomen, perut kembung, mual, muntahan makanan yang belum
sempat dicerna

DAFTAR PUSTAKA
Umpierrez GE, Murphy MB, Kitabchi AE. Diabetic ketoacidosis and
hyperglycemic hyperosmolar syndrome. 2002.[sitasi 01 Mei 2014] 05:50.
Diunduh dari:http://spectrum.diabetesjournals.org/cgi/content/full/15/1/28
Sergot PB. Hyperosmolar hyperglycemic states. Emedicine. 2008[sitasi 01 Mei
2014 05:53.. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/766804-overview
Kitabchi AE, Fisher JN. Hyperglycemic crises:diabetic ketoacidosis
(DKA)&hyperglycemic hyperosmolar state (HHS). Dalam: Berghe GV. ed.
Contemporary Endocrinology: Acute Cause to
Consequence.1994.New York, Humana Press.119-47.
Syahputra MHD. Diabetik ketoasidosis. Diunduh
dari:http://library.usu.ac.id/download/fk/biokimia-syahputra2.pdf
Dixon T. Potassium balance. Diunduh dari:
http://www.uhmc.sunysb.edu/internalmed/nephro/webpages/Part_D.htm
Rucker DW. Diabetic Ketoacidosis. Emedicine. 2008. 01 Mei 2014 05:52.
Diunduh dari:http://emedicine.medscape.com/article/766275-overview
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed 4, jilid III. (2006). Jakarta: FKUI
Carpenito, Lynda Juall (2000), Buku saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC,
Jakarta
Corwin, Elizaeth J. (2001). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:EGC
Hall, Jasse B., Schmitt, Gregors A.( 2007). Critical Care: Just The Facts. USA:
Mc Graw-Hill Companies inc
Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medical Bedah; Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan. USA: Mosby
Morton, patricia Gonce dkk. (2005). Critical Care Nursing A Holistik Approach.8th
ed. USA: Lippincot
Krisanty Paula, dkk. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Cetakan Pertama,
Jakarta, Trans Info Media, 2009.
Hyperglycemic crises in patients with diabetes mellitus.American Diabetes
Association. Diabetes Care vol27 supplement1 2004, S94-S102.
Gaglia JL, Wyckoff J, Abrahamson MJ . Acute hyperglycemic crisis in elderly.
Med Cli N Am 88: 1063-1084, 2004
Kitabchi AE, et.al. Management of Hyperglycemic Crises in Patients With
Diabetes, Diab Care. 2001;24(1):131-153.
Kitabchi AE et.al. Thirty Years of Personal Experience in Hyperglycemic Crises:
Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic Hyperosmolar State, J Clin
Endocrinol Metab. 2008; 93: 1541–1552.
Gaglia JL, Wyckoff J, Abrahamson MJ . Acute hyperglycemic crisis in elderly.
Med Cli N Am 88: 1063-1084, 2004.

Anda mungkin juga menyukai