SKRIPSI
TANTIA SAFITRI
Kata Kunci : Good Breeding Practices (GBP), penerapan, dan sapi potong
ABSTRACT
TANTIA SAFITRI
D14070016
Oleh
TANTIA SAFITRI
D14070016
Menyetujui,
Assalamualaikum Wr. Wb. Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT
atas karunia dan limpahan rahmat-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul Penerapan Good Breeding Practices Sapi Potong di PT Lembu
Jantan Perkasa Serang-Banten. Shalawat beriring salam semoga senantiasa tercurah
kepada Baginda Rasulullah SAW beserta keluarga dan sahabatnya. Penyelesaian
skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan.
Upaya dalam meningkatkan produksi daging sapi di Indonesia yaitu
diantaranya dengan melakukan impor daging dan sapi bakalan. Sapi bakalan impor
ini juga digunakan untuk usaha penggemukan di Indonesia. Namun, usaha ini akan
terus bergantung pada impor bakalan apabila tidak adanya usaha pembibitan ternak.
Pelaksanaan usaha pembibitan sapi potong memerlukan suatu pedoman yang harus
diterapkan dengan baik yaitu Good Breeding Practices (GBP). Selanjutnya, sebagai
wujud nyata dari adanya penerapan ini adalah terbentuknya suatu manual mutu, yaitu
semacam pedoman Standard Operational Procedure (SOP) dalam melaksanakan
kegiatan usaha ini. Maka dari itu Penulis tertarik untuk mengkaji penerapan GBP
pada PT Lembu Jantan Perkasa (LJP) Serang-Banten yang telah berkontribusi dalam
usaha pembibitan ternak. Pengkajian terhadap aspek GBP di PT LJP, Serang-Banten
ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan usaha pembibitan sapi
potong skala kecil hingga besar di Indonesia.
Penulis menyadari karya sederhana ini masih jauh dari sempurna. Penulis
berharap penelitian ini dapat menjadi masukan dan informasi yang bermanfaat
kepada pihak-pihak yang membutuhkan.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ……........................................................................................ i
ABSTRACT ................................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iv
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………......... x
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………...... xi
PENDAHULUAN …………………………………………………............. 1
viii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Populasi Ternak Sapi di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten per- 19
Juli 2010 ...................................................................................................
2. Hasil Evaluasi Penerapan Aspek Sarana dan Prasarana di PT Lembu 24
Jantan Perkasa ..........................................................................................
3. Hasil Evaluasi Penerapan Aspek Proses Produksi Bibit di PT Lembu 29
Jantan Perkasa ..........................................................................................
4. Hasil Evaluasi Penerapan Aspek Pelestarian Lingkungan di PT Lembu 35
Jantan Perkasa ..........................................................................................
5. Hasil Evaluasi Penerapan Aspek Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan di 36
PT Lembu Jantan Perkasa........................................................................
6. Ketercapaian Penerapan Good Breeding Practices di PT Lembu Jantan 48
Perkasa Serang-Banten ............................................................................
7. Penjualan Ternak Breeding PT Lembu Jantan Perkasa Periode 2009- 65
2010 ........................................................................................................
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Bagan Struktur Organisasi PT Lembu Jantan Perkasa ............................ 21
2. Sarana: (a) Kantor, (b) Mess Karyawan, (c) Mushola, dan (d) Unit 38
Kesehatan Hewan ....................................................................................
3. Prasarana: (a) Kandang pemeliharaan, (b) Kandang Isolasi, (c) Gudang 39
Pakan, dan (d) Unit Penanganan Limbah ................................................
4. Peralatan Kesehatan Hewan: (a) Obat-obatan dan (b) Alat Suntik ......... 43
5. Fasilitas Desinfeksi .................................................................................. 46
6. Alur Penanganan Sapi Pembibitan di PT Lembu Jantan Perkasa …….. 53
7. Penerimaan Sapi: (a) Loading Chute dan (b) Penampungan .................. 55
8. Penimbangan Awal: (a) Penimbangan Ternak dan (b) Pemasangan Ear- 56
Tag ...........................................................................................................
9. Pemeriksaan Alat Reproduksi ................................................................. 57
10. Peralatan Inseminasi Buatan ………………………………………….... 58
11. Kelahiran: (a) Induk Setelah Beranak dan (b) Induk Menjilati Anak ..... 61
12. Pengobatan Pedet Sakit ........................................................................... 64
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Kuisioner Good Breeding Practices ........................................................ 72
2. SOP Usaha Pembibitan Ternak ................................................................. 78
3. Data Perhitungan pada Tahun 2009 dan 2010 ......................................... 84
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permasalahan mengenai pemenuhan akan daging sapi di Indonesia masih
belum teratasi dengan baik. Hal ini disebabkan populasi ternak sapi yang ada belum
dapat memenuhi kebutuhan akan konsumsi daging sapi di Indonesia. Berdasarkan
data Badan Pusat Statistika (2009), pada tahun 2007 populasi ternak sapi potong di
Indonesia berjumlah 11.514.900 ekor dan meningkat menjadi 11.869.200 ekor pada
tahun 2008. Jumlah ternak yang dipotong pun meningkat dari tahun ke tahun, pada
tahun 2007 jumlah ternak yang dipotong sebesar 1.218.560 ekor dan meningkat
menjadi 1.295.789 ekor pada tahun 2008. Kondisi ini menunjukkan adanya
peningkatan populasi ternak sapi yang diikuti dengan peningkatan kebutuhan akan
daging sapi. Pemerintah telah melakukan beberapa upaya dalam meningkatkan
produksi daging sapi di Indonesia yaitu diantaranya dengan melakukan impor daging
dan sapi bakalan. Impor daging sapi tahun 2009 mencapai 110.245,6 ton atau senilai
266,5 juta dollar AS. Impor sapi di Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1990-an
dan umumnya berasal dari Australia. Sapi bakalan impor ini juga digunakan untuk
usaha penggemukan di Indonesia. Usaha ini akan terus bergantung pada impor
bakalan apabila tidak ada usaha pembibitan ternak. Usaha pembibitan merupakan
salah satu upaya dalam mendukung swasembada daging pada tahun 2014.
Beberapa perusahaan yang bergerak di bidang sapi potong telah mulai
merintis usaha pembibitan sapi potong sejak tujuh tahun terakhir. Menurut Direktorat
Jenderal Peternakan (2006), usaha pembibitan adalah kegiatan budidaya
menghasilkan bibit ternak untuk keperluan sendiri atau untuk diperjualbelikan. Bibit
sapi potong merupakan salah satu faktor produksi yang menentukan dan mempunyai
nilai strategis dalam upaya mendukung terpenuhinya kebutuhan daging. Upaya
pengembangan pembibitan sapi potong secara berkelanjutan diperlukan untuk
mencapai tujuan tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha
ternak potong, antara lain penentuan bibit ternak potong yang baik, penyediaan dan
pemberian pakan hijauan yang baik, pembuatan kandang yang memenuhi
persyaratan kesehatan, pemeliharaan yang baik, sistem perkawinan yang baik, dan
pengawasan terhadap penyakit ternak (Direktorat Jenderal Peternakan, 1985).
Pelaksanaan usaha pembibitan sapi potong memerlukan suatu pedoman yang harus
diterapkan dengan baik yaitu Good Breeding Practices (GBP).
Direktorat Jenderal Peternakan (2006) telah mengeluarkan pedoman GBP
bagi pembibit, sebagai acuan dalam melakukan pembibitan sapi potong untuk
menghasilkan bibit yang bermutu baik serta bagi petugas dinas yang menangani
fungsi peternakan di daerah, sebagai pedoman dalam melakukan pembinaan,
bimbingan dan pengawasan dalam pengembangan pembibitan sapi potong. Ruang
lingkup pedoman pembibitan sapi potong yang baik meliputi empat aspek yaitu 1)
sarana dan prasarana, 2) proses produksi bibit, 3) pelestarian lingkungan, 4)
monitoring, evaluasi dan pelaporan (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006).
PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten merupakan salah satu perusahaan
swasta yang bergerak dalam pembibitan, penggemukan, dan pemasaran sapi potong.
Perusahaan ini telah berdiri sejak tahun 1996 hingga sekarang dan telah banyak
menyuplai bibit sapi untuk bakalan, calon pejantan, maupun calon induk, oleh sebab
itu penerapan GBP menjadi hal yang sangat penting bagi perusahaan ini. Penerapan
GBP merupakan suatu tindakan untuk meningkatkan produktivitas sapi potong yang
dihasilkan. Wujud nyata dari adanya penerapan ini adalah terbentuknya suatu manual
mutu, yaitu semacam pedoman Standard Operational Procedure (SOP) dalam
melaksanakan kegiatan usaha ini.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan GBP sapi potong di PT
Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten berdasarkan empat aspek, yaitu sarana dan
prasarana, proses produksi, pelestarian lingkungan, dan pengawasan.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Bangsa Sapi
Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik
tertentu yang sama. Berdasarkan karakteristik tersebut, bangsa sapi dapat dibedakan
dari ternak lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama. Karakteristik yang
dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya.
Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi mempunyai klasifikasi
taksonomi sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Mamalia
Sub class : Theria
Infra class : Eutheria
Ordo : Artiodactyla
Sub ordo : Ruminantia
Infra ordo : Pecora
Famili : Bovidae
Genus : Bos (cattle)
Group : Taurinae
Spesies : Bos taurus (sapi Eropa)
Bos indicus (sapi India/sapi Zebu)
Bos sondaicus (banteng/sapi Bali)
4
badan sebelum disapih sebesar 0,38 kg/hari (Hardjosubroto, 1994; Ditjen Peternakan
dan Fapet UGM, 1986).
Sebagian besar sapi di Australia merupakan sapi American Brahman dan
Santa Gertrudis yang diimpor dari Amerika. Persilangan antara kedua bangsa sapi ini
dengan sapi Zebu menghasilkan bangsa sapi yang sama dengan sapi American
Brahman dan Santa Gertrudis yakni Brangus dan Braford. Persilangan lebih lanjut
menghasilkan sapi Droughtmaster yang merupakan hasil persilangan dengan
komposisi darah 3/8 – 5/8 darah Zebu utamanya American Brahman yang diimpor
dari Texas (Payne, 1970). Sementara sapi Brangus mempunyai komposisi darah 5/8
Angus dan 3/8 Brahman (Minish dan Fox, 1979).
Sapi Simmental
Sapi Simmental berasal dari lembah Simme di Swiss, berwarna merah,
bervariasi mulai dari yang gelap sampai hampir kuning dengan totol-totol serta
mukanya berwarna putih. Sapi ini terkenal karena menyusui anak dengan baik
pertumbuhan cepat, serta badan panjang dan padat. Sapi Simmental berukuran besar,
baik pada kelahiran, penyapihan maupun saat mencapai dewasa (Blakely dan Bade,
1991). Pertumbuhan otot sangat baik dan tidak banyak terdapat penimbunan lemak di
bawah kulit. Warna bulu pada umumnya krem kecokelatan hingga sedikit merah dan
warna bulu pada muka putih, demikian pula dari lutut ke bawah dan pada ujung ekor
berwarna putih. Tanduk tidak begitu besar, meskipun berat lahir anaknya tidak
setinggi anak Charolais dan Maineanjou, tetapi berat sapih tinggi demikian pula
pertambahan berat badan setelah sapih. Produksi susu tinggi (rata-rata 3.900
kg/laktasi) dengan persentase lemak susu sebesar 4%. Berat sapi jantan dewasa kira-
kira 1.150 kg dan betina kira-kira 800 kg. Melihat daya gunanya yang luas (triguna),
diperkirakan sapi ini cocok untuk memperbaiki mutu sapi di Indonesia (Pane, 1986).
Sapi Limousin
Bangsa sapi Limousin berasal dari sebuah propinsi di Perancis yang banyak
berbukit batu. Warna mulai dari kuning sampai merah keemasan. Tanduk berwarna
cerah. Bobot lahir tergolong kecil sampai medium yang berkembang menjadi
golongan besar pada saat dewasa. Betina dewasa dapat mencapai 575 kg sedangkan
pejantan dewasa mencapai berat 1.100 kg. Fertilitas cukup tinggi, mudah melahirkan,
5
mampu menyusui dan mengasuh anak dengan baik serta pertumbuhan cepat (Blakely
dan Bade, 1991).
6
pada kebanyakan daerah tropis (Williamson dan Payne, 1993). Kondisi ternak sapi
dapat diamati dengan cara observasi, pengamatan, dan perabaan bagian tulang
belakang.
7
Sapi betina hanya akan menerima pejantan selama periode estrus yang
lamanya rata-rata 16 jam, dan jika tidak terjadi perkawinan maka kondisi ini akan
berulang setiap 21 hari (Blakely dan Bade, 1991). Periode estrus ini menurut
Frandson (1993) ditentukan oleh tingkat sirkulasi esterogen. Arthur et al. (1989)
mengatakan bahwa lama estrus ini berkisar 12-30 jam dengan rata-rata 20 jam,
sedangkan ovulasi setelah estrus rata-rata 31 jam atau antara 18-48 jam.
Pembuahan atau konsepsi atau fertilisasi merupakan awal dari periode
kebuntingan (Salisbury dan Vandemark, 1985). Menurut Frandson (1993), periode
kebuntingan dimulai dari saat pembuahan (fertilisasi) ovum sampai anak lahir.
Periode kebuntingan yang normal berkisar antara 240-330 hari atau rata-rata 283 hari
(Blakely dan Bade, 1991).
8
sampai 6 jam sesudah puncak berahi (Salisbury dan Vandemark, 1985). Evaluasi
semen harus dilakukan untuk menentukan pergerakan (motilitas) dan daya hidup
(viabilitas) sperma yang diejakulasikan, meskipun keadaan fisik pejantan itu tidak
memperlihatkan kelemahan atau kekurangan tertentu (Blakely dan Bade, 1991).
Efisiensi Reproduksi
9
Conception Rate (CR)
Angka dari persentase sapi betina yang bunting disebut dengan nilai CR atau
angka konsepsi yang ditentukan berdasarkan hasil diagnosis kebuntingan oleh dokter
hewan dalam waktu 45–60 hari sesudah inseminasi (Partodihardjo 1987). Toelihere
(1993) menyatakan bahwa conception rate di negara maju dapat berkisar antara 60-
70%, namun untuk kondisi di Indonesia conception rate sebesar 50% sudah termasuk
normal, dan jika dibawah 50% berarti menunjukkan wilayah tersebut memiliki ternak
yang kurang subur. Menurut Toelihere (1993), angka konsepsi ditentukan oleh tiga
faktor, yaitu kesuburan pejantan, kesuburan betina dan teknik inseminasi. Pengaruh
ketiga kombinasi tersebut dapat menghasilkan angka konsepsi sebesar 64%. Teknik
inseminasi yang baik dan benar akan mempertahankan nilai tersebut. Penelitian
Depison et al. (2003) menunjukkan hasil persilangan Simmental dan Brahman
(Simbrah) dapat mencapai nilai CR sebesar 61,29%.
10
Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong
11
Bangunan dan Fasilitas Peternakan
Office International des Epizooties (2006) menjelaskan bahwa bangunan dan
fasilitas peternakan harus dikontrol agar tidak membahayakan ternak karena di
dalamnya dapat merupakan sumber penyebab kontaminasi bagi ternak seperti
mikroba patogen, bahan kimia dan fisik yang dapat membahayakan tenak secara
langsung dan tidak langsung. Beberapa hal yang harus dilakukan untuk
meminimalisasi bahaya yang datang dari lingkungan terdekat ternak, yaitu (a)
menghindarkan setiap kegiatan beternak dekat dengan pabrik industri yang dapat
menjadi sumber polusi.
Lokasi sumber polusi meliputi: (i) pembakaran sampah lokal yang
melepaskan banyak senyawa dioksida, pabrik pengolahan yang melepaskan senyawa
pelarut dan logam berat, atau (ii) dalam suatu lingkungan yang mudah terkena polusi
udara (dekat dengan jalan raya yang padat banyak pelepasan timah dan hidrokarbon),
(iii) polusi tanah (industri pertanian atau tempat pembuangan bahan beracun), atau
(iv) tempat perkembangbiakan hama seperti tempat pembuangan sampah akhir, dan
(b) menempatkan bangunan atau fasilitas lain sehingga tersendiri dalam suatu
banguan khusus yang cukup jauh dari tempat penyimpanan limbah.
Tata letak bangunan diatur dengan berdasarkan fungsinya dan jarak antar
bangunan dalam peternakan yang berdekatan juga diatur agar tidak menambah resiko
terjadinya perpindahan penyakit antar peternakan, membuat kandang dengan luas
yang layak sesuai jumlah ternak dan ventilasi yang baik, membuat kandang isolasi
bagi ternak yang sakit dan kandang karantina bagi ternak yang sehat. Mengisolasi
kandang dari ganguan hama dan serangga, merancang kandang agar mudah
dibersihkan dan mengunakan bahan bangunan yang aman. Akses keluar masuk
peternakan dirancang agar orang yang tidak berkepentingan tidak sembarangan
masuk ke areal peternakan.
Bangunan peternakan harus dirancang untuk memfasilitasi kenyamanan,
kesehatan, dan produktivitas ternak. Ventilasi yang baik, tersedianya pakan dan air
dengan kualitas yang baik, serta penerangan dan kenyamanan ternak harus
diperhatikan untuk meningkatkan performan ternak (Ensminger dan Taylor, 2006).
Area yang terpisah diperlukan untuk mengisolasi ternak dan untuk perawatan ternak.
Area ini harus dibuat agar nyaman bagi ternak dan memiliki suplai obat-obatan serta
12
memiliki penerangan yang cukup. Area perawatan ini biasanya dibuat dekat dengan
kandang khusus untuk melahirkan dan untuk mengisolasi ternak yang sakit. Hal ini
dilakukan untuk efisiensi pekerja dan sering disebut dengan kandang untuk
kebutuhan khusus (Palmer, 2005).
Perkandangan
Direktorat Jenderal Peternakan (1985) menyatakan bahwa kandang bagi
ternak sapi potong merupakan sarana yang mutlak harus ada. Kandang merupakan
tempat berlindung ternak dari hujan, terik matahari, pengamanan ternak terhadap
binatang buas, pencuri, dan sarana untuk menjaga kesehatan. Persyaratan teknis
kandang menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2006) meliputi:
1. Konstruksi kandang harus kuat
2. Terbuat dari bahan yang ekonomis dan mudah diperoleh
3. Sirkulasi udara dan sinar matahari cukup
4. Drainase dan saluran pembuangan limbah baik, serta mudah dibersihkan
5. Lantai rata, tidak licin, tidak kasar, mudah kering, dan tahan injak
6. Luas kandang memenuhi persyaratan daya tampung
7. Kandang isolasi dibuat terpisah
Manajemen Pakan
Pakan ternak sapi potong merupakan salah satu unsur yang sangat penting
untuk menunjang kesehatan, pertumbuhan, dan reproduksi ternak. Bahan pakan
ternak dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu hijauan dan konsentrat. Hijauan
ditandai dengan jumlah serat kasar yang relatif banyak daripada berat keringnya,
yaitu lebih besar dari 18%. Konsentrat mengandung serat kasar lebih sedikit daripada
hijauan yaitu kurang dari 18% dan mengandung karbohidrat, protein, dan lemak yang
relatif banyak namun jumlahnya bervariasi dengan jumlah air yang relatif sedikit
(Williamson dan Payne, 1993).
Jerami termasuk salah satu hijauan yang sering digunakan pada ternak, tetapi
hijauan ini umumnya memiliki nilai nutrisi yang rendah (Williamson dan Payne,
1993). Jerami padi memiliki palatabitas yang cukup baik, tetapi apabila diberikan
terlalu banyak dalam pakan sapi akan menyebabkan kebutuhan hidup pokoknya tidak
terpenuhi karena kandung nutriennya rendah (Panjono et al., 2000). Tingkat
13
konsumsi ransum sapi berbeda-beda bergantung pada status fisiologinya. Sapi
dewasa dapat mengkonsumsi bahan kering minimal 1,4% bobot badan/hari,
sedangkan sapi kebiri umur 1 tahun dengan hijauan berkualitas baik dapat
mengkonsumsi 3% dari bobot badan (Parakkasi, 1999).
Office International des Epizooties (2006) menjelaskan bahwa pakan
komersial juga harus dipastikan bebas dari residu bahan kimia. Label pada pakan
komersial penting diantaranya untuk mengetahui cara pemakaian dengan benar,
tanggal kadaluarsa, dan identitas perusahaan. Kemasan pakan komersial tersebut
harus utuh tanpa cacat yang dapat mempengaruhi isi. Pencatatan atau recording
kualitas bahan pakan yang diterima juga sangat penting dan isinya harus sesuai
dengan label, serta tidak mengandung hasil ikutan ternak yang tidak diperbolehkan.
Pakan yang dicampur atau diproduksi sendiri mengandung resiko bahaya terdapat
residu bahan kimia, tumbuhnya jamur dan kapang. Proses pencampuran bahan-bahan
mentah harus dipastikan komposisinya dan tercampur dengan sempurna. Menurut
Parakkasi (1999), konsumsi adalah faktor esensial yang merupakan dasar untuk
hidup dan menentukan produksi. Hal ini antara lain disebabkan oleh: 1) segi
ekonomi, dengan fixed maintanance cost tingkat konsumsi penting dimaksimumkan
guna memaksimumkan produksi, 2) berdasarkan pengetahuan tingkat konsumsi
dapat ditentukan kadar suatu zat makanan dalam ransum untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidup pokok dan produksi, 3) makanan yang berkualitas baik, tingkat
konsumsinya relatif lebih tinggi dibanding dengan makanan berkualitas rendah, 4)
hewan yang mempunyai sifat dan kapasitas konsumsi yang lebih tinggi, produksinya
pun relatif akan lebih tinggi dibanding dengan hewan (yang sejenis) dengan
kapasitas/ sifat konsumsi rendah (dengan ransum yang sama), dan 5) variabilitas
kapasitas produksi yang disebabkan oleh makanan pada berbagai ternak karena
perbedaan dalam konsumsi (± 60%), kecernaan (± 25%) ataupun konversi hasil
pencernaan menjadi produksi ( ±15%).
Iklim
Iklim merupakan manifestasi dari berbagai unsur, seperti suhu, curah hujan,
kelembaban, gerakan udara, tekanan udara, kondisi cahaya, dan pengionan. Suhu dan
curah hujan merupakan faktor lingkungan yang paling penting (Tafal, 1981).
Indonesia termasuk daerah tropis sehingga tidak banyak dipengaruhi oleh perubahan
14
iklim yang berbeda-beda. Indonesia termasuk dalam wilayah iklim tropis yaitu tipe
iklim di bumi yang daerahnya berada di sekitar equator (Suharsono, 1995). Negara
yang cukup luas ini (± 52.000.000 km2) disertai banyaknya pegunungan dan bukit
yang dipisahkan lembah dan laut mengakibatkan terjadinya perbedaan suhu udara di
daerah-daerah tertentu. Keadaan tersebut menyebabkan Indonesia memiliki kondisi
tanah dan vegetasi yang berbeda-beda dan memiliki daerah-daerah yang beriklim
sangat basah, setengah basah, dan kering. Iklim tropis merupakan tipe iklim dengan
suhu dan kelembabann tinggi sepanjang tahun. Suhu rata-rata tahunan terendah di
daerah beriklim tropis yaitu 18 °C (Suharsono, 1995). Banyak daerah yang memiliki
iklim yang cocok untuk peternakan, baik untuk bangsa-bangsa sapi lokal (tropis)
maupun sapi impor dari luar negeri. Faktor iklim yakni suhu lingkungan yang tinggi
dapat menurunkan feed intake dan sebaliknya akan menaikkan konsumsi air minum.
Bila hal ini terus terjadi, akan mempengaruhi produktivitas yang diukur dari
pertumbuhan dan produksi ususnya serta dapat langsung mempengaruhi reproduksi
dari sapi (Williamson dan Payne, 1993).
15
MATERI DAN METODE
Prosedur
Teknik Pengumpulan Data
Data primer didapatkan melalui wawancara, kuisioner, dan lembar
pengamatan ceklist yang berisikan instrumen SOP serta observasi langsung di
lapangan. Kuisioner, wawancara, dan observasi berpedoman pada instrumen GBP
sapi potong. Pengisian kuisioner dilakukan oleh berbagai pihak yang berkompeten
atau ahli dalam perusahaan tersebut. Kuisioner yang telah disebar berjumlah 15
eksemplar. Wawancara dilakukan kepada farm manager, kepala unit, dan supervisor
masing-masing unit. Data sekunder diperoleh dari PT LJP, Serang-Banten.
Analisis Data
17
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Populasi Ternak Sapi di PT Lembu Jantan Perkasa Serang Banten per-Juli
2010
Jumlah 1435
19
Stuktur Organisasi
Struktur organisasi sangat dibutuhkan dalam menunjang operasional suatu
usaha. PT LJP Serang-Banten yang memiliki struktur kerja yang jelas dengan
didukung oleh staf dan karyawan dalam melaksanakan berbagai aktifitas hariannya.
Struktur organisasi di PT LJP dapat dilihat pada Gambar 1.
20
Direksi
General Manager
HHewan Hewan
Kandang Breeding Kandang Fattening
Gambar 1. Bagan Struktur Organisasi PT Lembu Jantan Perkasa (Sumber : LJP, 2010)
21
[Type a quote from the document or the summary of an interesting point. You can position the text box anywhere in the document.
Use the Text Box Tools tab to change the formatting of the pull quote text box.]
Evaluasi Penerapan Pembibitan Sapi Potong yang Baik
(Good Breeding Practices)
22
Tabel 2. Hasil Penerapan Good Breeding Practices Aspek Sarana dan Prasarana di PT Lembu Jantan Perkasa
23
perundang–undangan yang berlaku. 03.647/0423.07/2008
3. Sumber Air Air yang digunakan tersedia sepanjang Air selalu tersedia
tahun dalam jumlah yang mencukupi
Sumber air mudah dicapai atau mudah Sumber air berasal dari sumur bor dan
disediakan sumur summermersible yang ada di
dalam wilayah peternakan
Penggunaan sumber air tanah tidak Selama ini tidak terdapat keluhan
mengganggu ketersediaan air bagi masyarakat mengenai penggunaan air,
masyarakat kedalaman sumur summermersible
mencapai ± 100 m
4. Bangunan dan Bangunan: Telah memiliki unit penanganan limbah, Sebaiknya dibuat tempat
Peralatan - kandang pemeliharaan; namun limbah belum dikelola secara penampungan limbah
maksimal dikarenakan hanya ditumpuk yang berada di belakang
- kandang isolasi; pada areal terbuka dan dikarungkan kandang, agar lebih
- gudang pakan dan peralatan; terlihat bersih dan tidak
- unit penampungan dan pengolahan tampak secara langsung
limbah. oleh pengunjung atau
dengan cara perbaikan
tempat penampungan
limbah yang ada
Peralatan:
- tempat pakan dan tempat minum; - Tempat pakan dan minum terbuat
- alat pemotong dan pengangkut rumput; dari semen dan terdapat pada tiap
kandang
- alat pembersih kandang dan pembuatan - Alat pemotong rumput berupa
kompos; chooper, alat pengangkut rumput
24
- peralatan kesehatan hewan. yaitu mobil bak terbuka dan truk
- Tersedia alat pembersih kandang,
alas kandang menggunakan sistem
beding
- Perlatan kesehan hewan tersedia di
unit kesehatan hewan
Persyaratan teknis kandang:
- konstruksi harus kuat; - Konstruksi kuat terbuat dari beton dan
- terbuat dari bahan yang ekonomis dan besi
mudah diperoleh; - Bahan yang digunakan ekonomis dan
- sirkulasi udara dan sinar matahari mudah didapat
cukup;
- drainase dan saluran pembuangan - Sirkulasi udara berjalan lancar, sinar
limbah baik, serta mudah dibersihkan; matahari tidak langsung mengenai ternak
- lantai rata, tidak licin, tidak kasar, - Alas kandang berupa serbuk gergaji
mudah kering dan tahan injak; sehingga limbah yang dihasilkan berupa
- luas kandang memenuhi persyaratan limbah padat
daya tampung; - Lantai terbuat dari paving block dan
- kandang isolasi dibuat terpisah. semen dengan kemiringan 5º
- Daya tampung cukup, jumlah sapi tiap
pen 40 - 50 ekor dengan luasan sekitar 3
m2/ekor
- kandang isolasi terletak lebih landai
dibandingkan kandang pemeliharaan
Letak kandang memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
- mudah diakses terhadap transportasi; - Kandang mudah diakses terutama
25
- tempat kering dan tidak tergenang alat transportasi pengangkut pakan
saat hujan; - Areal kandang telah menggunakan
- dekat sumber air; paping blok sehingga terhindar dari
- cukup sinar matahari, kandang genangan saat hujan
tunggal menghadap timur, kandang - Setiap kandang memiliki tempat
ganda membujur utara-selatan; penampungan air
- tidak mengganggu lingkungan hidup; - Kandang membujur dari utara ke
- memenuhi persyaratan higiene dan selatan
sanitasi.
5. Bibit Bibit sapi potong diklasifikasikan Hanya terdapat bibit induk dan bibit
menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu: sebar
a. bibit dasar (elite/foundation stock)
b. bibit induk (breeding stock)
c. bibit sebar (commercial stock),
Persyaratan umum: Sapi bibit memiliki catatan kesehatan
i. sapi bibit harus sehat dan bebas dari yang lengkap dan dijual dalam keadaan
segala cacat fisik seperti cacat mata sehat.
(kebutaan), tanduk patah, pincang,
lumpuh, kaki dan kuku abnormal, serta Diterapkan sistem afkir / culling bagi
tidak terdapat kelainan tulang punggung bibit betina yang memiliki kualitas
atau cacat tubuh lainnya; reproduksi rendah
ii. semua sapi bibit betina harus bebas
dari cacat alat reproduksi, abnormal
ambing serta tidak menunjukkan gejala
kemandulan;
iii. sapi bibit jantan harus siap sebagai
pejantan serta tidak menderita cacat pada
26
alat kelaminnya.
6. Pakan Setiap usaha pembibitan sapi potong Pakan berupa hijauan dan konsentrat
harus menyediakan pakan yang cukup yang diproduksi sendiri oleh perusahaan
bagi ternaknya, baik yang berasal dari
pakan hijauan, maupun pakan konsentrat.
Pakan hijauan dapat berasal dari rumput, Pakan hijauan yaitu rumput Taiwan dan
leguminosa, sisa hasil pertanian dan jerami
dedaunan yang mempunyai kadar serat
yang relatif tinggi dan kadar energi
rendah.
Pakan konsentrat yaitu pakan dengan Pakan konsentrat diproduksi sendiri dan
kadar serat rendah dan kadar energi setiap status ternak berbeda-beda jenis
tinggi, tidak terkontaminasi mikroba, pakan konsentratnya.
penyakit, stimulan pertumbuhan,
hormon, bahan kimia, obat-obatan,
mycotoxin melebihi tingkat yang dapat
diterima oleh negara pengimpor.
Air minum disediakan ad libitum. Air minum disediakan ad libitum.
7. Obat hewan Obat hewan yang digunakan meliputi Obat hewan yang digunakan yaitu
sediaan biologik, farmasetik, premik dan sediaan biologik, farmasetik, premik dan
obat alami. obat alami.
Obat hewan yang dipergunakan seperti Setiap obat memiliki nomor pendaftaran
bahan kimia dan bahan biologik harus tersendiri.
memiliki nomor pendaftaran.
Untuk sediaan obat alami tidak
dipersyaratkan memiliki nomor
27
pendaftaran.
Penggunaan obat keras harus di bawah Penggunaan obat keras di bawah
pengawasan dokter hewan sesuai pengawasan tim kesehatan hewan
ketentuan peraturan perundang-udangan (Keswan) yaitu dokter hewan dan kepala
yang berlaku di bidang obat hewan. unit Keswan
8. Tenaga Kerja Sehat jasmani dan rohani Sehat jasmani dan rohani
Tidak memiliki luka terbuka Tidak memiliki luka terbuka
Jumlah tenaga kerja sesuai kebutuhan Satu orang mengawasi ± 100 ekor ternak
pada pembibitan sapi potong dengan dikarenakan efisiensi tenaga kerja
sistem intensif, setiap satu orang/hari
kerja, untuk 5 satuan ternak (ST)
Telah mendapat pelatihan teknis Ada sistem training khusus para
pembibitan sapi potong. karyawan baru
28
Tabel 3. Hasil Evaluasi Penerapan Aspek Proses Produksi Bibit di PT Lembu Jantan Perkasa
29
1-1,5 tahun di atas rata-rata;
d. bobot badan umur 2 tahun di atas rata-
rata;
e. libido dan kualitas spermanya baik;
f. penampilan fenotipe sesuai dengan
rumpunnya.
Calon induk Seleksi berdasarkan berat badan minimal
a. bobot sapih terkoreksi terhadap umur 270 kg dan kondisi tubuh serta saluran
205 hari umur induk dan musim reproduksi.
kelahiran, di atas rata-rata;
b. bobot badan umur 365 hari di atas rata-
rata;
c. penampilan fenotipe sesuai dengan
rumpunnya.
4. Perkawinan Dalam upaya memperoleh bibit yang Teknik perkawinan dilakukan dengan
berkualitas melalui teknik perkawinan Inseminasi Buatan (IB).
dapat dilakukan dengan cara kawin alam
dan Inseminasi Buatan (IB).
5. Ternak Calon bibit betina dipilih 25% terbaik Dikarenakan orientasi perusahaan ini untuk Lebih mempertimbang-
Pengganti untuk replacement, 10% untuk bisnis, sehingga sistem ini sangat minim kan kembali mengenai
(Replacement pengembangan populasi kawasan, 60% diterapkan masalah replacement
Stock ) dijual ke luar kawasan sebagai bibit dan stock ini.
5% dijual sebagai ternak afkir (culling)
Calon bibit jantan dipilih 10% terbaik Semua jantan dijual atau dijadikan bakalan
pada umur sapih dan bersama calon bibit penggemukan
30
betina 25% terbaik untuk dimasukkan
pada uji performan.
6. Afkir (Culling) Sapi betina yang tidak memenuhi Kriteria ternak afkir yaitu yang kelebihan
persyaratan sebagai bibit (10%) berat dan kualitas saluran reproduksi jelek.
dikeluarkan sebagai ternak afkir (culling).
Sapi induk yang tidak produktif segera
dikeluarkan
7. Pencatatan Pencatatan (recording) tersebut meliputi: Pencatatan yang ada yaitu pencatatan
(Recording) 1. Rumpun; perkawinan (tanggal, pejantan, IB/ kawin
alam), kelahiran (tanggal, bobot lahir),
2. Silsilah; penyapihan (tanggal, bobot badan),
3. Perkawinan (tanggal, pejantan, IB/ beranak kembali (tanggal, paritas), pakan
kawin alam); (jenis, konsumsi), vaksinasi, pengobatan
4. Kelahiran (tanggal, bobot lahir); (tanggal, perlakuan) dan mutasi
5. Penyapihan (tanggal, bobot badan);
6. Beranak kembali (tanggal, paritas);
7. Pakan (jenis, konsumsi);
8.Vaksinasi, pengobatan (tanggal,
perlakuan / treatment);
9. Mutasi (pemasukan dan pengeluaran
ternak)
8. Persilangan Komposisi darah sapi persilangan Persilangan diterapkan berdasarkan
sebaiknya dijaga komposisi darah kondisi induk dan diterapkan tiap satu
sapi temperatenya tidak lebih dari 50% siklus laktasi
31
dengan pada rumpun murni. culling
9. Sertifikasi Sertifikat induk elite untuk sapi induk Sertifikat diberikan oleh Dinas Kabupaten
yang telah terseleksi dan memenuhi dan Direktorat Jendral Peternakan
standar.
10. Kesehatan 1. Situasi penyakit Pembibitan sapi potong terletak di daerah
Hewan Pembibitan sapi potong harus terletak di yang bebas endemik penyakit zoonosis
daerah yang tidak terdapat gejala klinis
atau bukti lain tentang penyakit mulut
dan kuku (Foot and Mouth Disease),
ingus jahat (Malignant Catarhal Fever),
Bovine Ephemeral Fever, lidah biru
(Blue Tongue), radang limpa (Ánthrax),
dan kluron menular (Brucellosis).
a. Pencegahan/Vaksinasi Vaksin dilakukan saat ternak datang, saat 6
b. pembibitan sapi potong harus bulan setelah datang, dan pada induk
melakukan vaksinasi dan setelah weaning.
pengujian/tes laboratorium ter- Pemberian vaksin diawasi oleh tim
hadap penyakit tertentu yang Keswan.
ditetapkan oleh instansi yang
berwenang
c. mencatat setiap pelaksanaan
vaksinasi dan jenis vaksin yang
dipakai dalam kartu kesehatan
ternak
d. melaporkan kepada Dinas yang
membidangi fungsi peternakan
dan kesehatan hewan setempat
32
(instansi yang berwenang) setiap
timbulnya kasus penyakit
terutama yang diduga/dianggap
penyakit menular;
e. penggunaan obat harus sesuai
dengan ketentuan dan diper-
hitungkan secara ekonomis;
e. pemotongan kuku dilakukan minimal 3 Tidak dilakukan pemotongan kuku, sebab
bulan sekali; kebersihan kandang dijaga dan meng-
gunakan alas kandang berupa saw dust.
f. dilakukan tindakan Biosecurity lokasi mudah dimasuki hewan peliharaan pengawasan lebih di-
terhadap keluar masuknya ternak. lainnya sebab berdekatan dengan tingkatkan agar tidak
masyarakat, namun hanya mampu masuk terjadi penularan pe-
hingga wilayah kebun rumput. nyakit dari luar peternak-
1). Lokasi usaha tidak mudah dimasuki an, seperti penambahan
binatang liar serta bebas dari hewan alokasi tenaga kerja
peliharaan lainnya yang dapat untuk mengawasi areal
menularkan penyakit yang berdekatan lang-
sung dengan masyarakat.
2). Melakukan desinfeksi kandang dan Diterapkan pemakaian insektisida tabur
peralatan dengan menyemprotkan dan cair.
insektisida pembasmi serangga, lalat dan
hama lainnya
3). Untuk mencegah terjadinya penularan Terdapat pembagian tugas untuk para
penyakit dari satu kelompok ternak ke karyawan.
kelompok ternak lainnya, pekerja yang
melayani ternak yang sakit tidak
33
diperkenankan melayani ternak yang
sehat
4). Menjaga agar tidak setiap orang dapat Terdapat unit keamanan yang memantau
bebas keluar masuk kandang ternak yang setiap orang yang keluar masuk peternakan
memungkinkan terjadinya penularan
penyakit
5). Membakar atau mengubur bangkai Ternak mati segera dikuburkan setelah
kerbau yang mati karena penyakit diperiksa penyebab kematiaannya
menular
6). Menyediakan fasilitas desinfeksi Tidak tersedia lebih baik terdapat
untuk staf/karyawan dan kendaraan tamu fasilitas desinfeksi ini
di pintu masuk perusahaan; agar dapat menghindari
kemungkinan penyakit
dari luar peternakan
7). Segera mengeluarkan ternak yang Ternak mati segera dikuburkan setelah
mati dari kandang untuk dikubur atau diperiksa penyebab kematiaannya
dimusnahkan oleh petugas yang
berwenang
8). Mengeluarkan ternak yang sakit dari Terdapat kandang khusus ternak sakit
kandang untuk segera diobati atau (hospital pen)
dipotong oleh petugas yang berwenang
34
Tabel 4. Hasil Penerapan Good Breeding Practices Aspek Pelestarian Lingkungan di PT Lembu Jantan Perkasa
35
Tabel 5. Hasil Penerapan Good Breeding Practices Aspek Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan di PT Lembu Jantan Perkasa
36
Kuisioner yang telah diberikan pada pihak PT LJP Serang-Banten menunjukkan
bahwa secara keseluruhan, perusahaan ini telah mampu menerapkan GBP dengan
baik dalam menjalankan usahanya. Beberapa hal masih perlu diperbaiki lagi.
37
dan lainnya. Selama ini tidak terdapat keluhan masyarakat mengenai penggunaan air
sehingga mengindikasikan bahwa penggunaan sumber air tanah tidak mengganggu
ketersediaan air bagi masyarakat. Berikut gambaran sarana yang ada pada
perusahaan ini dapat dilihat pada Gambar 2.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 2. Sarana: (a) Kantor, (b) Mess Karyawan, (c) Mushola, dan (d) Unit
Kesehatan Hewan
Office International des Epizooties (2006) menjelaskan bahwa bangunan dan
fasilitas peternakan harus dikontrol agar tidak membahayakan ternak karena di
dalamnya dapat merupakan sumber penyebab kontaminasi bagi ternak seperti
mikroba patogen, bahan kimia dan fisik yang dapat membahayakan tenak secara
38
langsung dan tidak langsung. Prasarana yang ada pada perusahaan ini dapat dilihat
pada Gambar 3.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 3. Prasarana: (a) Kandang Pemeliharaan, (b) Kandang Isolasi, (c) Gudang
Pakan, dan (d) Unit Penanganan Limbah
Aspek bangunan dan peralatan yang harus dimiliki dalam usaha pembibitan
sapi potong yaitu kandang pemeliharaan, kandang isolasi, gudang pakan dan
peralatan, serta unit penampungan dan pengolahan limbah. Kandang isolasi
merupakan area yang terpisah diperlukan untuk mengisolasi ternak dan untuk
perawatan ternak. Area ini harus dibuat agar nyaman bagi ternak dan memiliki suplai
obat-obatan serta memiliki penerangan yang cukup. Area perawatan ini biasanya
dibuat dekat dengan kandang khusus untuk melahirkan dan untuk mengisolasi ternak
39
yang sakit. Hal ini dilakukan untuk efisiensi pekerja dan sering disebut dengan
kandang untuk kebutuhan khusus (Palmer, 2005). Perusahaan ini telah memiliki
unit penanganan limbah, namun limbah belum dikelola secara maksimal dan hanya
ditumpuk pada areal terbuka dan dikarungkan. Sebaiknya dibuat tempat
penampungan limbah yang berada di belakang kandang, agar lebih terlihat bersih dan
tidak tampak secara langsung oleh pengunjung atau dengan cara pembuatan tanggul
pembatas pembuangan limbah pada unit yang telah ada. Peralatan penunjang yang
harus dimiliki dan telah ada pada perusahaan yaitu tempat pakan dan tempat minum,
alat pemotong dan pengangkut rumput, alat pembersih kandang, dan peralatan
kesehatan hewan. Perusahaan tidak memiliki peralatan pengomposan dikarenakan
menggunakan sistem beding yaitu penggunaan alas kandang dari sawdust atau
serbuk gergaji.
Ensminger dan Taylor (2006) menyatakan bahwa bangunan peternakan harus
dirancang untuk memfasilitasi kenyamanan, kesehatan dan produktifitas ternak.
Ventilasi yang baik, tersedianya pakan dan air dengan kualitas yang baik, penerangan
dan kenyamanan ternak harus diperhatikan untuk meningkatkan performa ternak.
Kandang bagi ternak sapi potong merupakan sarana yang mutlak harus ada. Kandang
merupakan tempat berlindung ternak dari hujan, terik matahari, pengamanan ternak
terhadap binatang buas, pencuri, dan kandang juga merupakan salah satu sarana
untuk menjaga kesehatan (Direktorat Jenderal Peternakan, 1985). Persyaratan teknis
kandang diantaranya yang telah terpenuhi oleh perusahaan yaitu konstruksi yang
kuat terbuat dari beton dan besi, bahan yang digunakan ekonomis dan mudah
didapat, sirkulasi udara berjalan lancar, sinar matahari tidak langsung mengenai
ternak, drainase dan saluran pembuangan limbah baik, serta mudah dibersihkan,
lantai rata, tidak licin, tidak kasar, mudah kering dan tahan injak, alas kandang
berupa serbuk gergaji, lantai terbuat dari paving block dan semen dengan kemiringan
5º, daya tampung kandang mencukupi dengan luasan sekitar 3 m2/ekor dan jumlah
sapi tiap pen 40 - 50 ekor, kandang isolasi terletak lebih landai dibandingkan
kandang pemeliharaan. Letak kandang memenuhi persyaratan karena mudah diakses
terhadap transportasi, tempat kering dan tidak tergenang saat hujan, dekat sumber air,
cukup sinar matahari, kandang tunggal menghadap timur, kandang ganda membujur
40
utara-selatan, tidak mengganggu lingkungan hidup, dan memenuhi persyaratan
hygiene dan sanitasi.
Bibit sapi potong diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu bibit
dasar (elite/foundation stock), bibit induk (breeding stock), dan bibit sebar
(commercial stock). PT Lembu Jantan Perkasa hanya memiliki bibit induk dan bibit
sebar saja. Persyaratan umum bibit sapi potong menurut GBP telah terpenuhi oleh
perusahaan sebab sapi-sapi bibit memiliki catatan kesehatan yang lengkap dan dijual
dalam keadaan sehat serta perusahaan menerapkan sistem afkir (culling) pada bagi
bibit betina yang memiliki kualitas reproduksi rendah.
Pakan ternak sapi potong merupakan salah satu unsur yang sangat penting
untuk menunjang kesehatan, pertumbuhan, dan reproduksi ternak. Bahan pakan
ternak dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu hijauan dan konsentrat. Setiap
usaha pembibitan sapi potong harus menyediakan pakan yang cukup bagi ternaknya,
baik yang berasal dari pakan hijauan, maupun pakan konsentrat. Perusahaan telah
memiliki kebun rumput dan dua unit gudang pengolahan pakan. Hijauan ditandai
dengan jumlah serat kasar yang relatif banyak yaitu lebih dari 18% daripada berat
keringnya, sedangkan konsentrat mengandung serat kasar lebih sedikit yaitu kurang
dari 18% daripada hijauan dan mengandung karbohidrat, protein, dan lemak yang
relatif banyak namun jumlahnya bervariasi dengan jumlah air yang relatif sedikit
(Williamson dan Payne, 1993). Pakan hijauan dapat berasal dari rumput, leguminosa,
sisa hasil pertanian dan dedaunan yang mempunyai kadar serat yang relatif tinggi
dan kadar energi rendah.
Pakan hijauan yang digunakan yaitu rumput Taiwan dan jerami. Rumput
Taiwan digunakan karena produksinya yang tinggi, mampu menyimpan air saat
musim kemarau, dan batang tidak terlalu cepat tua. Jerami termasuk salah satu
hijauan yang sering digunakan pada ternak. Namun, hijauan ini umumnya memiliki
nilai nutrisi yang rendah (Williamson dan Payne, 1993). Jerami padi memiliki
palatabitas yang cukup baik, tetapi apabila diberikan terlalu banyak dalam pakan sapi
akan menyebabkan kebutuhan hidup pokoknya tidak terpenuhi karena kandungan
nutriennya rendah (Panjono et al., 2000). Produksi hijauan yang ada telah mampu
mencukupi kebutuhan ternak di perusahaan ini. Produksi rumput pada tahun 2009
sebesar 1500 ton dan mencapai 1220 ton pada pertengahan tahun 2010.
41
Pakan konsentrat yaitu pakan dengan kadar serat rendah dan kadar energi
tinggi, tidak terkontaminasi mikroba, penyakit, stimulan pertumbuhan, hormon,
bahan kimia, obat-obatan, mycotoxin melebihi tingkat yang dapat diterima oleh
negara pengimpor. Pakan konsentrat diproduksi sendiri oleh perusahaan dan setiap
status ternak berbeda-beda jenis pakan konsentratnya. Kode konsentrat diantaranya
yaitu “weaner” untuk pedet, “R-Brd New” untuk calon bibit dan induk bunting, “R1
G048” untuk laktasi. Bahan-bahan pakan yang digunakan pada pembuatan
konsentrat “weaner “ diantaranya yaitu polard, kopra, bungkil kedelai, molases,
onggok, dan premix. Bahan-bahan pakan yang digunakan pada pembuatan konsentrat
“R-Brd New” dan “R1 G048” sama, namun berbeda pada komposisinya. Bahan
tersebut diantaranya yaitu polard, kopra, bungkil sawit, molases, onggok, gaplek,
kulit kopi, dan premix. Perusahaan membuat label pada setiap pakan komersial yang
dibuatnya meliputi kode pakan dan tanggal pembuatan. Pakan yang dicampur atau
diproduksi perusahaan mengandung resiko terdapat bahaya residu bahan kimia,
tumbuhnya jamur dan kapang. Proses pencampuran bahan-bahan mentah harus
dipastikan komposisinya dan tercampur dengan sempurna. Air minum disediakan ad
libitum.
Obat hewan yang digunakan oleh PT LJP meliputi sediaan biologik,
farmasetik, premik dan obat alami. Obat hewan yang dipergunakan seperti bahan
kimia dan bahan biologik telah memiliki nomor pendaftaran. Penggunaan obat keras
di bawah pengawasan tim kesehatan hewan (Keswan) yaitu kepala unit Keswan.
Berdasarkan ketentuan pada GBP diharuskan tenaga kerja yang ada sehat jasmani
dan rohani serta tidak memiliki luka terbuka. Tenaga kerja PT LJP terdiri atas tenaga
kerja tetap/staf, tenaga kerja harian, dan tenaga kerja borongan. Staf dan kepala unit
umumnya berpendidikan Diploma dan Sarjana. Tenaga kerja harian dan borongan
tidak terlalu mengutamakan pendidikan formal melainkan hanya kemampuan
menulis, membaca, menghitung dan bertanggung jawab. Jumlah tenaga kerja (TK)
yang ada di perusahaan sekitar 150 orang. Rasio TK dengan sapi yaitu 1 : 100 untuk
efisiensi tenaga kerja. Staf yang baru bergabung dalam perusahaan akan terlebih
dahulu mengikuti sistem training. Peralatan kesehatan hewan yang digunakan oleh
perusahaan disajikan pada Gambar 4.
42
(a) (b)
Gambar 4. Peralatan Kesehatan Hewan: (a) Obat-obatan dan (b) Alat Suntik
43
komersial jarang dikembangkan secara murni dan banyak disilangkan dengan sapi
Hereford-Shorthorn (HS). Hasil persilangan dengan Hereford dikenal dengan nama
Brahman Cross (BX). Sapi ini mempunyai keistimewaan karena tahan terhadap suhu
panas dan gigitan caplak, mampu beradaptasi terhadap makanan jelek serta
mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi.
Upaya untuk memperoleh bibit yang berkualitas melalui teknik perkawinan
dapat dilakukan dengan cara kawin alam dan IB. Teknik perkawinan di PT LJP
dilakukan dengan IB. Payne (1970) menyatakan bahwa IB dapat dipakai untuk
meningkatkan efisiensi reproduksi terutama dalam mengatasi kegagalan reproduksi.
Namun demikian tidak selamanya IB dapat memberikan hasil yang lebih baik dari
kawin alam. Bearden dan Fuguay (1997) menyatakan bahwa puncak keberhasilan IB
tergantung dari penempatan yang tepat semen berkualitas tinggi di dalam alat
reproduksi betina. Pemeriksaan kualitas semen dilakukan setiap 6 bulan sekali oleh
unit kesehatan hewan untuk mengetahui kualitas sperma yang berasal dari Balai
Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari.
Aspek proses produksi tentang ternak pengganti (Replacement Stock)
dinyatakan dalam GBP bahwa calon bibit betina dipilih 25% terbaik untuk
replacement, 10% untuk pengembangan populasi kawasan, 60% dijual ke luar
kawasan sebagai bibit, dan 5% dijual sebagai ternak afkir (culling). Namun
dikarenakan orientasi perusahaan untuk bisnis, sehingga sistem ini belum diterapkan.
Saran yang diberikan adalah untuk lebih mempertimbangkan kembali mengenai
masalah replacement stock ini. Selain untuk meningkatkan populasi bibit sapi, hal ini
dilakukan juga mengingat izin impor sapi yang semakin berkurang.
Semua calon bibit jantan dijual atau dijadikan bakalan penggemukan oleh
pihak perusahaan. Sapi betina yang tidak memenuhi persyaratan sebagai bibit (10%)
dikeluarkan sebagai ternak afkir (culling). Sapi induk yang tidak produktif segera
dikeluarkan dengan kriteria yaitu kelebihan berat dan kualitas saluran reproduksi
jelek. Sistem pencatatan (recording) pada perusahaan lengkap meliputi rumpun,
silsilah, perkawinan (tanggal, pejantan, IB), kelahiran (tanggal, bobot lahir),
penyapihan (tanggal, bobot badan), beranak kembali (tanggal, partus), pakan (jenis,
konsumsi), vaksinasi, pengobatan (tanggal, perlakuan/treatment), dan mutasi
(pemasukan dan pengeluaran ternak). Pencatatan berguna untuk mempermudah
44
kelengkapan data pada perusahaan dan menelusuri silsilah ternak. Persilangan yang
dilakukan tetap mengikuti jalur persilangan yang sesuai. Prinsip-prinsip seleksi dan
culling diterapkan oleh pihak perusahaan. Sertifikat diberikan oleh Dinas Kabupaten
dan Direktorat Jendral Peternakan.
Kesehatan Hewan
Pembibitan sapi potong diharuskan terletak di daerah yang bebas endemik
penyakit zoonosis. Selama berdirinya perusahaan ini, ternak yang ada tidak pernah
menderita penyakit zoonosis. Pembibitan sapi potong harus melakukan vaksinasi dan
pengujian/tes laboratorium terhadap penyakit tertentu yang ditetapkan oleh instansi
yang berwenang. Vaksinisasi pada PT LJP dilakukan saat ternak datang, saat 6 bulan
setelah datang, dan pada induk setelah weaning. Pemberian vaksin diawasi oleh tim
Keswan. Pencatatan setiap pelaksanaan vaksinasi dan jenis vaksin yang dipakai
dalam kartu kesehatan ternak. Pelaporan kepada Dinas yang membidangi fungsi
peternakan dan kesehatan hewan setempat atau dilakukan instansi yang berwenang
setiap timbul kasus penyakit terutama yang diduga/dianggap penyakit menular.
Penggunaan obat dalam menangani ternak harus sesuai dengan ketentuan dan
diperhitungkan secara ekonomis. Pemotongan kuku pada ternak tidak dilakukan di
PT LJP, sebab kebersihan kandang dijaga dan menggunakan alas kandang berupa
serbuk gergaji. Pemotongan kuku umumnya dilakukan pada ternak yang tidak
dikawinkan secara IB, sedangkan ternak di perusahaan ini dikawinkan secara IB.
Tindakan biosecurity berupa pemeriksaan kesehatan ternak dilakukan pada ternak
yang masuk atau keluar dari peternakan dilakukan.
Lokasi usaha tidak mudah dimasuki binatang liar serta bebas dari hewan
peliharaan lainnya yang dapat menularkan penyakit untuk menjamin kesehatan
hewan. Perusahaan ini mudah dimasuki hewan peliharaan masyarakat yaitu kambing
karena wilayah perusahaan berdekatan dengan masyarakat, namun hewan ini hanya
mampu masuk hingga wilayah kebun rumput. Saran yang diberikan yaitu
pengawasan lebih ditingkatkan agar tidak terjadi hal yang merugikan, ataupun
penularan penyakit dari luar perusahaan. Syarat lain adalah menyediakan fasilitas
desinfeksi untuk staf/karyawan dan kendaraan tamu dipintu masuk perusahaan.
Fasilitas desinfeksi (kolam desinfektan) pada praktiknya hanya tersedia untuk ternak
yaitu di pintu masuk unit breeding. Fasilitas desinfeksi dapat dilihat pada Gambar 5.
45
Gambar 5. Fasilitas Desinfeksi
Pelestarian Lingkungan
Aspek pelestarian lingkungan terdiri atas menyusun rencana pencegahan dan
penanggulangan pencemaran lingkungan, dan melakukan upaya pencegahan
pencemaran lingkungan. Perusahaan telah melakukan upaya pencegahan pencemaran
lingkungan serta mencegah terjadinya erosi dan membantu pelaksanaan penghijauan
di areal peternakan dengan cara penanaman tanaman di areal peternakan.
Pencegahan polusi dan gangguan lain seperti bau busuk, serangga,
pencemaran air sungai dan lain-lain dengan cara pengelolaan limbah dan
pembasmian lalat menggunakan insektisida berupa “musca down”, “racun lalat”,
ataupun “gusanex” yang mengandung azamethipo 1%. Dosis yang digunakan 2
gram/m2 dan pemberian dengan cara ditaburkan ke seluruh lingkungan kandang atau
dioleskan pada bambu atau lidi. Sesuai dengan pernyataan Blakely dan Bade (1991)
bahwa parasit eksternal dapat dikendalikan dengan cara penaburan insektisida secara
46
sistemik guna mencegah perkembangan larva „heel fly‟. Selama ini belum terdapat
keluhan masyarakat mengenai polusi dari kegiatan perusahaan ini. Operasionalisasi
unit pengolahan limbah padat yang dihasilkan dilakukan dengan cara dikarungkan
dan dijual. Permintaan limbah sudah ada meskipun saat ini hanya dikarungkan tanpa
perlakuan tambahan.
47
Ketercapaian Penerapan GBP di PT LJP Serang-Banten
Penerapan GBP bibit sapi potong yang baik dapat dilihat dari ketercapaian
produktivitasnya. Balai Inseminasi Buatan Singosari (1997) memberikan suatu
gambaran efisiensi reproduksi ternak dengan mengevaluasi nilai conception rate
(CR) dan services per conception (S/C). Selain dari nilai CR dan S/C, penelitian ini
juga mengevaluasi efisiensi reproduksi ternak di PT LJP melalui nilai calving
interval (CI) dan calving rate (C/R). Hasil ketercapaian pada penerapan GBP di PT
LJP Serang-Banten dapat dilihat pada Tabel 6.
2009 2010
48
hari ini lebih baik dibandingkan penelitian Iswoyo dan Priyantini (2008) yang
menunjukkan calving interval sebesar 392,28±77,27 hari.
Faktor-faktor yang mempengaruhi jarak beranak yaitu lama bunting, jenis
kelamin pedet yang dilahirkan, umur penyapihan pedet, S/C, bulan beranak, bulan
saat terjadinya konsepsi dan jarak waktu sapi pertama kali dikawinkan setelah
beranak (Bowker et al., 1978). Umur sapih pedet merupakan faktor yang
mempengaruhi jarak beranak. Hal ini dikarenakan induk sapi yang menyusui pedet
lebih lama akan menunda perkawinan pertama kali setelah beranak, sehingga dapat
memperpanjang jarak beranak. Namun, PT LJP menerapkan sistem perkawinan
kembali pada induk-induk laktasi yang masih menyusui anaknya. Perkawinan
dilakukan pada induk yang mengalami birahi kembali dengan persyaratan induk
tersebut telah mengalami involusi saluran reproduksi yaitu minimal 40 hari atau pada
siklus berahi ke-2 setelah beranak. Menurut Toelihere (2006), involusi atau regresi
uterus ke ukuran dan statusnya semula membutuhkan waktu yang relatif lama.
Selama involusi, lapisan urat daging uterus berkurang karena penurunan ukuran sel
dan kehilangan sel. Secara klinis involusi sudah selesai pada hari ke 30-40, tetapi
secara histologik, involusi baru benar-benar selesai 50-60 hari postpartus. Maka
sehubungan dengan kenyataan ini sebaiknya pihak perusahaan mengawinkan
kembali ternaknya lebih dari 50-60 hari setelah partus.
49
rendah sangat penting dalam arti ekonomis, baik dalam perkawinan alam maupun
melalui IB.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan S/C diantaranya kualitas
semen yang digunakan, deteksi birahi, body condition score (BCS), tingkat
kemampuan inseminator, dan bobot hidup (Kutsiyah et al., 2002). Bearden dan
Fuguay (1997) menambahkan bahwa puncak keberhasilan IB tergantung dari cara
meletakkan semen yang tepat di dalam alat reproduksi betina. Semen yang
digunakan oleh PT LJP berasal dari Balai Inseminasi Buatan Singosari. Kualitas
semen diperiksa secara berkala di unit kesehatan hewan yang dimiliki perusahaan
yaitu setiap 6 bulan sekali oleh unit kesehatan hewan. Evaluasi semen harus
dilakukan untuk menentukan pergerakan (motilitas) dan daya hidup (viabilitas)
sperma yang diejakulasikan, meskipun keadaan fisik pejantan itu tidak
memperlihatkan kelemahan atau kekurangan tertentu (Blakely dan Bade,1991).
Kondisi tubuh yang baik dan sehat serta dengan bobot hidup minimal 270 kg
merupakan kriteria sebagai calon bibit di PT LJP.
Nilai S/C yang rendah pada perusahaan ini dikarenakan pelaksanaan deteksi
birahi dan ketepatan waktu IB yang baik serta tingkat kemampuan inseminator yang
tinggi. Deteksi birahi diamati oleh petugas kandang dan kemudian dicatat pada papan
yang ada disetiap pen kandang. Sesuai dengan pendapat Toelihere (1993), bahwa
diperlukan deteksi dan pelaporan berahi yang tepat sehingga inseminasi dapat
dilakukan pada waktu yang tepat. Demikian juga teknik inseminasi dilakukan secara
cermat oleh tenaga terampil dan juga hewan betina yang sehat dalam kondisi
reproduksi yang optimal (Toelihere, 1993). Pencatatan terdiri atas nomor telinga
(notel) ternak dan waktu berahi yang teramati. Inseminasi yang tepat sebaiknya
dilakukan pada saat mulai pertengahan estrus sampai 6 jam sesudah puncak berahi
(Salisbury dan Vandemark, 1985). Calon bibit yang terdeteksi berahi akan dibawa ke
unit kesehatan hewan untuk dikawinkan secara IB. Waktu IB yang diterapkan di
perusahaan ini yaitu ± 10 jam setelah tanda birahi terlihat, hal ini dilakukan agar
sperma mencapai waktu yang bersamaan dengan terlontarnya ovum yaitu saat
ovulasi terjadi sehingga kebuntinganpun dapat terjadi.
50
Conception Rate (CR)
Angka dari persentase sapi betina yang bunting disebut dengan nilai CR atau
angka konsepsi yang ditentukan berdasarkan hasil diagnosa kebuntingan oleh dokter
hewan dalam waktu 45 – 60 hari sesudah inseminasi (Partodihardjo 1987). Toelihere
(1993) menyatakan bahwa CR di negara maju dapat berkisar antara 60-70%. Di
Indonesia nilai CR sebesar 50% sudah termasuk normal, dan jika dibawah 50%
berarti menunjukkan wilayah tersebut memiliki ternak yang kurang subur. Nilai CR
di PT LJP Serang-Banten pada tahun 2009 sebesar 78% dan meningkat pada tahun
2010 menjadi 88%. Nilai ini lebih besar dibandingkan CR pada persilangan
Simmental dan Brahman (Simbrah) yaitu 61,29% (Depison, 2003) dan standar
Direktorat Jenderal Peternakan (1991) yaitu sebesar 62,5%. Menurut Toelihere
(1993) angka konsepsi ditentukan oleh tiga faktor, yaitu kesuburan pejantan,
kesuburan betina dan teknik inseminasi. Kesuburan pejantan menjadi salah satu
faktor penentu CR dikarenakan kualitas sperma yang baik akan meningkatkan
kebuntingan. Induk yang subur memiliki kualitas ovarium dan kondisi fisik yang
baik sehingga mampu mempertahankan kebuntingan hingga tahap akhir kebuntingan.
Selain itu, teknik inseminasi dapat mempengaruhi tingkat CR dikarenakan puncak
keberhasilan IB tergantung dari penempatan yang tepat dari semen berkualitas tinggi
di dalam alat reproduksi betina (Bearden dan Fuguay, 1997). Angka kebuntingan
juga terkait dengan ketepatan waktu IB. Pemeriksaan kebuntingan (PKB) dilakukan
dua bulan setelah ternak di IB dan tidak mengalami birahi kembali dengan cara
palpasi rektal oleh tim unit breeding. Setelah dinyatakan bunting, sapi-sapi ini
diletakkan di kandang bunting. Bagi sapi-sapi ex-IB yang tidak berahi namun tidak
terdeteksi bunting, maka akan dilakukan PKB ulang 1 bulan kemudian untuk
menghindari kemungkinan kesalahan pada PKB awal.
51
dibandingkan pada tahun 2009 yang hanya mencapai 379 ekor. Pada tahun 2009
induk bunting yang terjual lebih banyak 166 ekor dibandingkan tahun 2010,
sehingga mempengaruhi jumlah kelahiran yang berlangsung di PT LJP. Calving rate
bergantung pada perlakuan ternak saat bunting dan saat beranak. Pemberian pakan
serta penempatan kandang dengan kapasitas ternak yang lebih sedikit dan
penanganan sebelum, saat, dan setelah beranak sangat diperhatikan.
52
Evaluasi Penerapan Standard Operational Procedure (SOP)
Penerimaan Sapi
Penimbangan
Seleksi
Pemeriksaan Kebuntingan
Penjualan Sapi
Kelahiran
53
Penerimaan Sapi
Penanganan pada penerimaan sapi terdiri atas penanganan sebelum dan
setelah ternak datang. Penanganan yang dilakukan sebelum kedatangan ternak yaitu:
a) pembentukan tim petugas bongkar, tim ini terdiri dari supervisor sebagai
pengawas serta petugas kandang, b) persiapan kandang yang terdiri atas jumlah dan
alokasi pen, kebersihan, bak pakan atau bak minum disesuaikan jumlah ternak yang
datang, c) penerangan yang cukup, d) persiapan cattle yard, loading chute, dan gang
way, e) peralatan yaitu ear tag, tang aplikator, alat komunikasi, dan tang, f) obat-
obatan dan vitamin yang terdiri atas antibiotik, elektrolit, dan gusanex, g) persiapan
pakan yaitu jumlah konsentrat dan hijauan, h) persiapan peralatan administrasi yang
terdiri dari form-form dan berita acara, i) kebutuhan/perlengkapan lain yaitu bambu,
tambang, sawdust, tali rafia,dan sarung tangan, dan j) melakukan koordinasi internal
dan eksternal.
Penanganan yang dilakukan saat penerimaan sapi, yaitu a) memastikan sapi
tersebut sesuai order pembelian dari kantor pusat atas izin dewan direksi, b)
pemeriksaan dokumen yang lengkap dan sah surat jalan dan surat kesehatan ternak
dari tempat asal, c) sapi yang telah sampai terlebih dahulu ditimbang bersama dengan
truk pengangkutnya, d) sapi diturunkan di cattle yard segera setelah dokumen
dianggap sah oleh supervisor atau oleh petugas yang bertanggung jawab, e)
penanganan/handling sapi dilakukan dengan baik dan benar ( hati-hati, tidak gaduh,
tidak menyakiti ternak untuk menghindari stres pada ternak), f) sapi digiring ke
dalam pen yg sudah dipersiapkan, g) membuat berita acara apabila terdapat kondisi
sapi yang mati di perjalanan, lemah, patah kaki, atau kondisi tidak normal lainnya, h)
berita acara ditandatangani oleh petugas ekspedisi, supir truk, dan petugas penerima
sapi, i) pemberian obat stres (contra stress ATP plus) sampai dengan timbang awal
dengan dosis 100 gram per 200 L air minum. Vitamin ini berfungsi untuk mengatasi
stres transportasi, meningkatkan daya tahan tubuh, nafsu makan, dan meningkatkan
pertumbuhan, j) pakan dan air minum bersih sudah tersedia di bak pakan/ bak
minum, k) pembuatan laporan penerimaan jumlah dan kesusutan berat sapi dari
pelabuhan hingga ke peternakan. Rata-rata penyusutan bobot badan sapi dari
pelabuhan hingga ke peternakan yaitu 2%, l) catatan penimbangan dan penerimaan
atau penolakan sapi sebagai sapi bibit harus segera dilaporkan ke pimpinan langsung
54
untuk segera dilaporkan ke kantor pusat, m) petugas penerimaan harus setingkat
supervisor atau pejabat lain yang ditunjuk langsung oleh pimpinan, serta n)
penandatanganan dokumen/berita acara penerimaan sapi oleh supervisor ternak atau
pejabat lain yg telah ditunjuk oleh pimpinan dan diserahkan ke bagian administrasi
ternak. Pada kedatangan malam hari, petugas yang bertanggung jawab adalah
perwira piket dibantu oleh karyawan yang bertugas pada malam itu. Penerimaan sapi
berlangsung dapat dilihat pada Gambar 7.
(a) (b)
Penimbangan
Penimbangan awal dimulai minimal setelah sapi diistirahatkan selama dua
hari. Kondisi dan akurasi timbangan diperiksa, timbangan yang digunakan yaitu
timbangan elektrik yang berada di cattle yard. Kegiatan pada saat penimbangan awal
meliputi pemasangan ear tag, penimbangan individu, treatment berupa vitamin
(injectamin) dengan dosis 5 ml/ekor, vaksinasi serta pengelompokan sapi
berdasarkan jenis kelamin, berat, dan kondisi kesehatan. Pencatatan individu ternak
dilakukan meliputi berat, identifikasi, ex-property (asal), breed dan kondisi (sehat
dan sakit). Klasifikasi ternak berdasarkan berat yaitu ≤ 250 kg, 251-280 kg, 281-320
kg, 321-350 kg, dan > 350 kg. Ternak ditempatkan pada pen sesuai klasifikasi
beratnya untuk menghindari persaingan dalam mengkonsumsi pakan. Penanganan
55
sapi selama proses penimbangan dilakukan dengan hati-hati. Gambaran saat
penimbangan dapat dilihat pada Gambar 8.
(a) (b)
Gambar 8. Penimbangan Awal: (a) Penimbangan Ternak dan (b) Pemasangan
EarTag
Vitamin yang diberikan pada saat penimbangan yaitu Injectamin dengan
dosis pemberian 5 ml/ ekor. Vitamin ini berfungsi untuk mencegah dan mengobati
defisiensi vitamin, seperti gangguan pertumbuhan, pencernaan, reproduksi dan otot.
Vaksin yang diberikan yaitu vaksin SE (Septicaemia epizootica) dengan merk
dagang Septivak sebanyak 3 ml/ekor, pemberian vaksin dilakukan untuk
menimbulkan kekebalan terhadap penyakit Septicaemia epizootica. Obat anti stress
diberikan selama dua hari setelah penimbangan awal kemudian dibuat laporannya.
Seleksi Awal
Seleksi dilakukan pada sapi-sapi yang telah beradaptasi selama 2 – 3 minggu
dan telah masak kelamin guna mendapatkan calon bibit. Sistem reproduksi jantan
dan betina belum berfungsi secara sempurna sebelum seekor sapi mencapai masak
kelamin (pubertas), yaitu umur pada saat dicapai kematangan kelamin atau
kematangan seksual. Umur pada saat tercapainya masak kelamin, bervariasi di antara
bangsa-bangsa sapi, dengan suatu kisaran umur antara 8 – 18 bulan (Blakely dan
Bade, 1991). Untuk memudahkan pengerjaan sistem seleksi pada sapi tersebut,
perusahaan menerapkan sistem seleksi berdasarkan kelayakan dan kesehatan saluran
56
reproduksinya dengan berat badan minimal 270 kg. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Blakely dan Bade (1991) bahwa pada beberapa bangsa sapi tertentu, masak kelamin
lebih merupakan fungsi berat badan dan bukannya fungsi umur, dan banyak peternak
menggunakan berat badan 275 sampai 350 kg sebagai ukuran masak kelamin untuk
sapi betina.
Pemeriksaan alat reproduksi (PAR) dimulai dari bobot badan terbesar dan
diberikan vitamin A,D, dan E saat PAR. Pentingnya penggunaan sarung tangan yang
steril dan dilumasi saat PAR dilakukan guna melindungi sapi maupun manusianya
dari kemungkinan terjadinya infeksi (Blakely dan Bade, 1991). Gambar 9
menunjukkan saat PAR berlangsung.
Sapi yang lolos seleksi akan dilanjutkan ke proses adaptasi, perbaikan kondisi dan
pengamatan siklus berahi. Sapi yang lolos seleksi dipindahkan ke kandang calon
bibit (cabit). Pengamatan berahi ( oestrus/heat ) dilakukan selama 24 jam setiap
harinya. Sapi yang tidak lolos karena alasan reproduksi dan kesehatan akan
digemukkan dan dijual sebagai sapi potong. Klasifikasi ternak sapi bibit pada
umumnya ditentukan oleh a) umur, b) jenis kelamin, dan c) breed.
57
hijauan. Frekwensi pemberian pakan minimal 2 kali sehari untuk setiap jenis pakan.
Pakan untuk calon bibit yaitu konsentrat sebanyak 8 kg/ekor/hari dan hijauan
sebanyak 5 kg/ekor/hari. Pemberian pakan ini sesuai dengan NRC (1984) bahwa
konsumsi bahan kering dara yaitu 7,3 kg/ekor/hari. Sapi calon bibit akan dilakukan
pengamatan berahi setiap harinya oleh petugas kandang. Menurut Blakely dan Bade
(1991), tanda-tanda visual sapi betina menjelang birahi adalah pembengkakan dan
vulva yang menjadi merah serta keadaan gelisah yang menunjukkan keinginan untuk
kawin, tetapi perilaku yang amat menonjol adalah mengusir atau diusir oleh
temannya dan tetap diam bila dinaiki. Pengamatan termudah yang juga diterapkan
oleh perusahaan dalam mendeteksi berahi yaitu sapi betina yang akan tetap diam
apabila dinaiki. Sapi betina hanya mau menerima pejantan dalam periode birahi saja,
yang berlangsung sekitar 16 jam, dan hal ini akan terulang lagi tiap 21 hari, apabila
tidak terjadi kebuntingan (Blakely dan Bade, 1991). Sapi yang berahi dicatat ear tag
dan waktu berahinya, lalu dipindahkan ke unit kesehatan, ±10 jam setelah tanda
berahi terlihat sapi tersebut akan dikawinkan dengan cara Inseminasi Buatan (IB)
dengan semen berada pada straw plastik. Peralatan yang digunakan saat IB dapat
dilihat pada Gambar 10.
Menurut Blakely dan Bade (1991), dalam waktu inseminasi, semen yang
berasal dari straw plastik atau ampul dimasukkan ke dalam saluran reproduksi sapi
58
betina. Apabila semen tersebut berada di dalam straw plastik maka alat yang
digunakan yaitu straw gun. Keuntungan yang didapat dengan menggunakan straw
plastik adalah bahwa semen tersebut dapat secara langsung ditempatkan di dalam
saluran reproduksi, tanpa harus memindahkan semen dari ampul ke kateter. Hal ini
menyebabkan penggunaan straw menjadi lebih sederhana serta lebih menjamin
jumlah sperma hidup yang maksimum bisa diinseminasikan.
Masa hidup sel telur adalah 6 sampai 12 jam, sedangkan masa hidup sperma
adalah 30 jam. Jadi, agar dapat terjadi pembuahan maka perkawinan harus
berlangsung pada bagian akhir dari saat birahi (Blakely dan Bade, 1991). Menurut
Salisbury dan Vandemark (1985) inseminasi yang tepat sebaiknya dilakukan pada
saat mulai pertengahan estrus sampai 6 jam sesudah puncak berahi. Sapi yang telah
di IB dipindahkan ke kandang IB.
59
Pemeliharaan Induk Bunting
Sapi bunting ditempatkan di kandang bunting. Kandang sapi bunting dibuat
lebih longgar. Pakan disesuaikan dengan statusnya dan dicatat setiap hari. Persentase
kasus yang tinggi pada induk bunting di tahun 2010 yaitu abortus sebesar 4%.
Abortus atau keluron adalah pengeluaran fetus sebelum akhir masa kebuntingan
dengan fetus yang belum sanggup hidup. Abortus umumnya disebabkan oleh faktor
yang mempengaruhi fetus atau kedua-duanya. Secara ekonomis, abortus merupakan
masalah besar bagi peternak, karena kehilangan fetus dapat diikuti dengan penyakit
pada uterus dan sterilitas untuk waktu yang lama. Penyebab abortus antara lain
infeksi bakteri (Brucellosis), sejenis virus Herpes, jamur (Aspergillus spp), infeksi
protozoa (Trichomonas foetus), bahan kimia, obat, dan tanaman beracun, sebab-
sebab hormonal, defisiensi makanan, ataupun kecelakaan. Stres berat pada induk
juga dapat menyebabkan abortus (Toelihere, 2006).
Penanganan pada induk abortus yang dilakukan oleh pihak perusahaan yaitu
dengan pemisahan ternak dari kelompoknya dan dipindahkan ke hospital pen,
kemudian sampel darah ternak tersebutpun diambil untuk diidentifikasi penyebab
penyakitnya. Pengobatan abortus yang dilakukan di PT LJP yaitu dengan pemberian
antibiotik (Limoxin 200 LA) sebanyak 15 ml dan hormon oxytocin sebanyak 7 ml.
Ternak yang dinyatakan abortus akibat infeksi maka akan diculling agar tidak
menularkan ke ternak lainnya. Infeksi sering terjadi dikarenakan ingesti kotoran-
kotoran yang mengkontaminasi makanan dari alat kelamin hewan yang mengalami
abortus (Toelihere, 2006).
Pengamatan lebih ditingkatkan pada induk bunting menjelang 2–3 hari
sebelum beranak. Menurut Toelihere (2006) hewan betina bertambah tenang, lamban
dan hati-hati dalam pergerakannya sesuai dengan pertambahan umur kebuntingan,
terutama pada minggu-minggu terakhir dan terdapat kecenderungan pertambahan
berat badan. Ligamenta pelvis mulai mengendur, dan pada hewan yang kurus terlihat
pelegokan yang jelas pada pangkal ekor. Oedema dan relaksasi vulva terlihat pada
beberapa minggu terakhir kebuntingan. Satu minggu setelah beranak induk dan
anaknya dipindahkan kedalam kandang laktasi.
60
Kelahiran
Induk sapi yang dapat melahirkan normal hanya diamati oleh petugas
kandang, namun bila terjadi kesulitan beranak sapi tersebut akan digiring ke unit
kesehatan untuk dibantu proses beranaknya. Presentasi fetus yang normal adalah kaki
depan terlebih dahulu, dengan kepala berada di antaranya. Kontraksi uterus
menyebabkan kaki mendorong plasenta lalu terlepaslah cairan amnion yang berperan
sebagai pelumas untuk lewatnya fetus. Waktu kelahiran yang normal variasinya
besar, rata-rata sekitar 30 menit tanpa pertolongan (Blakely dan Bade, 1991).
Induk yang melahirkan normal atau eutokia diberi antibiotik (Limoxin LA)
sebanyak 15 ml, hormon oxytocin sebanyak 5 ml dan vitamin A, D, E (Vitol)
sebanyak 7 ml. Pedet yang baru lahir umumnya akan dijilati oleh induknya. Apabila
hal tersebut tidak dilakukan oleh induk guna membantu pernafasan pedet, peternak
haruslah yakin bahwa tidak ada selaput-selaput yang menutupi mulut dan lubang
hidung (Blakely dan Bade, 1991). Pemotongan tali pusat (disisakan ±5 cm dari
pangkal) dilakukan setelah pedet lahir, lalu tali pusat diberi desinfektan dan anti lalat.
Pemberian yodium pada pusar pedet yang baru lahir sangat dianjurkan untuk
mencegah timbulnya tetanus atau penyakit lain (Blakely dan Bade, 1991). Gambaran
pada saat setelah kelahiran dapat dilihat pada Gambar 11.
(a) (b)
Gambar 11. Kelahiran: (a) Induk Setelah Beranak dan (b) Induk Menjilati Anak
61
Penimbangan/pencatatan berat lahir dilakukan paling lambat 24 jam setelah
kelahiran dan dicatat ear tag induknya. Bobot badan pedet yang baru lahir rata-rata
20-25 kg. Pedet dipastikan mendapat kolostrum. Kolostrum yang merupakan susu
khusus yang dihasilkan selama 3 hari pertama sesudah kelahiran, diperlukan oleh
pedet yang baru lahir itu untuk kehidupannya. Kolostrum itu tidak saja mengandung
banyak energi, mineral dan vitamin yang dibutuhkan untuk memulai kehidupan bagi
pedet yang bersangkutan, tetapi juga mengandung antibodi yang merupakan
pelindung terhadap kemungkinan adanya infeksi dan penyakit (Blakely dan Bade,
1991). Situasi proses kelahiran dan kondisi pedet yang baru lahir harus dicatat dalam
buku induk. Pedet yang lahir dan induknya mati serta induknya tidak menghasilkan
susu dipelihara di dalam calves box (berukuran 100 cm x 126 cm x 135 cm) dan
diberikan susu yang berasal dari foster mother melalui dot. Induk yang tidak ingin
menyusui anaknya ditempatkan di dalam kandang jepit agar pedet tidak ditendang
saat menyusu, sedangkan induk yang memiliki puting besar, susunya diperah
kemudian diberikan pada pedet lain menggunakan dot.
Menurut Blakely dan Bade (1991), apabila kelahiran tidak juga terjadi dalam
waktu sekitar 2 jam sejak permulaan munculnya „labor pain‟, seorang dokter hewan
hendaknya mulai mengamati apakah ada masalah persentasi yang tidak normal.
Kasus yang umum dialami oleh induk saat melahirkan yaitu distokia. Menurut
Toelihere (2006), kesulitan melahirkan atau distokia merupakan salah satu kondisi
kebidanan yang harus ditangani oleh dokter hewan atau bidan ternak. Penyebab
distokia diantaranya sebab herediter, nutrisional dan manajemen, penyakit menular,
traumatik dan sebab-sebab campuran. Sebab herediter yaitu terdapat pada induk yang
berpredisposisi terhadap distokia, atau faktor-faktor tersembunyi yang dapat
menghasilkan foetus yang defektif. Sebab nutrisional dan manajemen diantaranya
kondisi makanan ternak yang sedang bunting dan manajemen saat partus. Distokia
dikarenakan ukuran induk yang kecil sering ditemukan pada sapi dara yang baru
pertama kali beranak. Penyebab lain distokia yaitu posisi fetus yang tidak normal.
Penanganan kasus ini yaitu dengan pemberian antibiotik (Limoxin 200 LA) sebanyak
15 ml, hormon oxytocin 5 ml dan multivitamin (vitol) 5 ml.
Pengeluaran atau eksplusi plasenta (setelah lahir) biasanya terjadi 2 atau 6
jam setelah kelahiran. Dalam keadaan biasa kotiledon yang menempel pada uterus
62
terpisah sehingga memungkinkan membran yang tidak menempel keluar melalui
saluran kelahiran. Apabila setelah 24 jam membran itu masih belum keluar, tentulah
terdapat keadaan yang abnormal dan perlu konsultasi dengan dokter hewan. Hal ini
perlu mendapat perhatian, sebab dapat terjadi infeksi. Kondisi tidak keluarnya
plasenta ini disebut retensio, perusahaan menanganinya dengan cara melepas satu per
satu kotiledon tersebut dan diberi amphoprim sebanyak 2 tablet, antibiotik (Limoxin
200 LA) sebanyak 15 ml, multivitamin (injectamin) sebanyak 5 ml dan hormon
oxytocin sebanyak 7 ml.
63
Gambar 12. Pengobatan Pedet Sakit
Pneumonia disebabkan oleh virus yang masuk ke dalam tubuh melalui udara,
air, maupun cairan yang diloloh ke dalam mulut, atau penghisapan zat-zat kimia atau
debu. Tanda-tanda pneumonia adalah sikap berdiri dengan kaki merenggang lebar,
kelainan dari dada dan paru-paru, adanya cairan yang keluar dari lubang hidung,
lidah yang menjulur serta kesulitan bernafas (Blakely dan Bade, 1991). Pengobatan
penyakit ini yaitu dengan cara pemindahan induk dan anak pada kandang tertentu
dan diberi elektrolit serta antibiotik (penstrep) sebanyak 5 ml dengan interval
pemberian 24 jam selama 5 hari. Apabila penyakitnya tergolong parah maka interval
pemberian menjadi setiap 12 jam selama 5 hari. Mortalitas calves dan weaner di
perusahaan ini sebesar 3,5 %.
Induk di perusahaan ini terkadang terjangkit mastitis, menurut Blakely dan
Bade (1991) penyebab penyakit mastitis adalah bakteri yang dapat menular dari
seekor hewan ke hewan yang lain karena keadaan sanitasi yang kurang baik. Infeksi
dapat terjadi hanya pada satu kuartir saja yang kemudian berkembang dan bersifat
fatal. Pengobatan pada mastitis awal dapat dilakukan dengan menggunakan
antibiotik dengan menyuntikkannya langsung ke dalam kanal puting. Induk yang
mengalami mastitis diberi suntikan antibiotik (mastilak) sebanyak 5 ml/quarter dan
pengeringan ambing atau dapat juga diberi antibiotik (penstrep) 20 ml/quarter
pemberian diulang 12 jam kemudian selama 3 hari setelah diperah. Kandang induk
64
laktasi tersedia shelter yaitu tempat yang hanya dapat dimasuki oleh pedet sehingga
pakan pedet hanya dikonsumsi oleh pedet saja. Shelter ini berukuran 265 cm x 345
cm x 150 cm. Pedet sudah dikenalkan konsentrat dan hijauan ± 2 minggu setelah
lahir.
Penjualan (ekor)
Status Ternak
Tahun 2009 Tahun 2010
65
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kegiatan dalam usaha pembibitan sapi potong memerlukan suatu pedoman
yaitu Good Breeding Practices (GBP). Penerapan aspek GBP sapi potong di PT LJP
Serang-Banten telah dilakukan dengan baik. Penerapan aspek sarana, proses produksi
bibit, pelestarian lingkungan, monitoring, evaluasi, dan laporan berdasarkan GBP
sebagian besar telah dilakukan dengan baik oleh perusahaan, namun diperlukan
perbaikan pada unit penanganan limbah, lebih mempertimbangkan mengenai
masalah replacement stock, peningkatan pengawasan pada areal peternakan yang
langsung berbatasan dengan masyarakat, serta pembuatan fasilitas desinfeksi untuk
staf/karyawan dan kendaraan tamu dipintu masuk perusahaan. Penerapan GBP yang
baik pula ditunjukkan pada ketercapaian produktivitas yang tinggi pada tahun 2010
yaitu calving interval sebesar 372 hari, service per conception sebesar 1,5 ,
conception rate sebesar 88%, dan calving rate sebesar 84%. Alur proses kegiatan
yang berlangsung di unit pembibitan PT Lembu Jantan Perkasa terdiri atas
penerimaan sapi, penimbangan, seleksi, pemeliharaan calon bibit, proses
pengawinan, pemeriksaan kebuntingan, pemeliharaan induk bunting, kelahiran,
perawatan induk dan anak, dan penjualan sapi bibit.
Saran
Saran yang diberikan bagi pihak perusahaan yaitu perbaikan pada dokumen
yang belum terekapitulasi dengan baik seperti penanganan kesehatan, agar tidak
bergantung pada beberapa karyawan saja. Perlu diadakan sosialisasi atau penyuluhan
mengenai aspek-aspek GBP dan SOP kepada seluruh karyawan agar penerapannya
dapat dilakukan secara optimal. Penelitian ini sebaiknya dilanjutkan mengenai GBP
di peternakan lainnya sehingga mutu usaha pembibitan sapi potong lainnya di
Indonesia lebih baik lagi.
66
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis
67
DAFTAR PUSTAKA
Arthur, G.H., E.N. David, & H. Pearson. 1989. Veterinary Reproduction and
Obstetrics (Theriogenology). 6th Ed. Bailliere Tindall, London.
Badan Pusat Statistika. 2009. Statistical Pocket Book of Indonesia. BPS-Statistics
Indonesia, Jakarta.
Balai Inseminasi Buatan Singosari. 1997. Petunjuk Penampungan, Produksi,
Distribusi dan Evaluasi Semen Beku BIB Singosari, Malang.
Bearden, H. J. & Fuguay, J.W. 1997. Applied Animal Reproduction. 4th Ed. Prentice
Hall, Upper Saddle River, New Jersey.
Blakely, J. & D.H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan. Edisi Ke-4. Terjemahan : B.
Srogandono. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta.
Bowker, W.A.T, R.G Dumday, J.E Frisch, R.A Swan, & M.M.Tulloh 1978. A
Course Manual Beef Cattle Management and Economic. A.A.U.C.S.
Canberra.
Craig, J.V. 1981. Domestic Animal Behaviour. Department of Animal Science and
Industry. Kansas State University, USA.
Depison, A.Y. Putra, & Z. Elymayzar. 2003. Evaluasi produktivitas sapi Brahman
dan sapi Simbrah di BPTU-Sembawa. J. Ilmiah ilmu-ilmu peternakan. 4: 251
– 259.
Direktorat Jenderal Peternakan. 1985. Pedoman Peningkatan Mutu Ternak.
Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan. 1991. Petunjuk Pelaksanaan Program Inseminasi
Buatan Terpadu. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan, [Fapet UGM] Fakultas Peternakan Universitas
Gadjah Mada. 1986. Laporan survai evaluasi pengadaan dan penyebaran
ternak impor crash program. Direktorat Bina Produksi, Ditjen Peternakan dan
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Pedoman Pembibitan Sapi Potong yang Baik
(Good Breeding Practices). Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
Ensminger, M.E & H.D. Taylor. 2006. Dairy Cattle Science. 4th Ed. Pearson
Education Inc , New Jersey.
Frandson, R.D. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed. Ke-4. Terjemahan B.
Srigandono dan Koen Praseno. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Gomes, W. R. 1977. Artificial insemination. In : Cole, H.H. and Cupps P.T. (eds).
Reproduction in Domestic Animal. 3th Ed. Academic Press, New York.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliaan Ternak di Lapang. PT Gramedia
Widiasarana Aksara Indonesia, Jakarta.
68
Iswoyo & W. Priyantini. 2008. Performans reproduksi sapi peranakan Simmental
(Psm) hasil inseminasi buatan di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah. J.
Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan. 3: 125 – 133.
Kutsiyah F, Kusmartono, & S. Trinil. 2002. Studi komparatif produktivitas antara
sapi Madura dan persilangannya dengan Limousin di Pulau Madura. J. Ilmu
ternak dan Veteriner. 8: 98 – 106.
Minish, J.L. & D.G. Fox. 1979. Beef Production and Management. Reston Pub. Co.
Inc. A Prentice-Hall Company. Reston, Viginia.
Natasasmita, A. & K. Mudikdjo. 1979. Beternak Sapi Pedaging. Unit Penataran,
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
NRC. 1984. Nutrient Requirement of Beef Cattle. 6th Revised Edition. Nasional
Academy of Science, Washington.
Office International des Epizooties. 2006. Guide to good farming practices for
animal production food safety. Animal Production Food Safety Working
Group. World Organization for Animal Health (OIE), Paris.
Palmer, R. W. 2005. Dairy Modernization. Thomson Delmar Learning, Canada.
Pane, I. 1986. Pemuliabiakan Ternak Sapi. PT Gramedia, Jakarta.
Panjono, Harmadji, E. Baliarti, & Kustono. 2000. Performans induk dan pedet sapi
Peranakan Ongole yang diberi ransum jerami padi dengan suplementasi daun
gamal. Buletin Peternakan Vol. 24 (2).
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas
Indonesia Press, Jakarta.
Partodihardjo, S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya, Jakarta.
Payne, W.J.A. 1970. Cattle Production in the Tropics. Logman Group Ltd., New
York.
Peters, A.R. 1996. Herd management for reproduction efficiency. J. Anim. Rep. Sci.
42 : 455-464.
Salisbury G.W & W.J. Vandemark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi
Buatan pada Sapi. Terjemahan : R. Djanuar. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Suharsono H. 1995. Klimatologi Dasar. Pustaka Jaya, Jakarta.
Sutan, S.M. 1988. Suatu perbandingan performans reproduksi dan produksi antara
sapi Brahman, Peranakan Onggole, dan Bali di daerah transmigrasi Batumarta
Sumatera Selatan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Tafal, Z. B. 1981. Ranci Sapi Usaha Peternakan yang Lebih Bermanfaat. Bharata
Karya Aksara, Jakarta.
69
Toelihere, M. R. 1979. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa,
Bandung.
Toelihere, M.R. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung.
Toelihere, M. R. 2006. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. UI Press,
Jakarta.
Turner H. G. 1977. The tropical adaptation of beef cattle. An Australian study. In:
animal breeding: Selected articles from the Word Anim. Rev. FAO Animal
Production and Health Paper 1:92-97.
Vandeplassche, M. 1982. Reproductive Efficiency in Cattle: A Guideline for Projects
in Developing Countries. Food and Agriculture Organization of the United
Nation, Rome.
Wijono, D.B., K. Ma‟sum, M. Ali Yusran, D.E. Wahyono & L. Abdullah. 1998.
Tampilan kondisi badan, pertumbuhan sapi potong dara dan kejadian estrus
pertama di peternakan rakyat. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Williamson, G. & W.J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan Daerah Tropis.
Terjemahan S.G.N. Djiwa Darmadja. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Winks L, A.E Holmes, P.O Grady, T.A James, & P.K Rourke. 1979. Comparative
growth and carcase characteristics of Shorthorn, Brahman-british Cross,
Friesian and Sahiwal-friesian Cross steers on the atherton tableland, North
Quensland. Aus J. Exp. Agr. Anim. Husb. 19:133-139.
70
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuisioner Good Breeding Practices
BAB I
A. Lokasi
1. Apakah anda mengetahui tentang Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan
Rencana Detail Tata Ruang Daerah (RDTRD)?
a. Tahu (lanjut pertanyaan no.2) b. Tidak tahu
2. Menurut anda sesuai atau tidak perusahaan ini didirikan di lokasi ini?
a. Ya b. Tidak (saran)
Saran:
3. Apakah lokasi ini berpotensi sebagai wilayah sumber bibit sapi potong?
a. Sangat berpotensi d. kurang berpotensi
b. Berpotensi e. tidak berpotensi
c. Biasa
4. Apakah lokasi ini telah terkonsentrasi menjadi satu unit pembibitan ternak
(village breeding center)?
a. Ya b. tidak (saran)
Saran:
5. Apakah peternakan ini menggangu ketertiban dan kepentingan umum
setempat?
a. Ya b. tidak
6. Apa yang selama ini menjadi keluhan masyarakat?
B. Lahan
1. Apakah lokasi ini bebas dari jasad renik pathogen yang membahayakan
ternak dan manusia?
a. ya b. tidak
2. Apakah lahan ini sesuai peruntukannya?
a. Ya b. tidak
C. Sumber Air
1. Air yang digunakan tersedia sepanjang tahun dalam jumlah yang mencukupi?
a. Ya b. tidak
2. Apakah sumber air mudah dicapai atau mudah disediakan?
a. Ya b. tidak
3. Sumber air yang digunakan berasal dari mana?
72
4. Apakah pengunaan sumber air tanah menggangu ketersediaan air bagi
masyarakat?
a. Ya b. tidak
E. BIBIT
1. Apakah klasifikasi bibit sapi potong yang ada dipeternakan ini?
Bibit dasar : diperoleh dari proses seleksi rumpun atau galur yang
mempunyai nilai pemuliaan diatas nilai rata-rata
Bibit induk (Breeding Stock) diperolah dari proses pengembangan bibit
dasar
73
Bibit sebar (Comersial Stock ) diperolah dari proses pengembangan bibit
induk
dll………………………………………………………………...........
2. Persyaratan dalam menjamin mutu produk yang sesuai dengan permintaan
konsumen
Sapi bibit harus sehat dan bebas dari segala cacat fisik
Semua sapi bbit betina bebas dari cacat alat reproduksi
Ambing normal
Tidak menunjukan kemandulan
F. Pakan
1. Apakah ketersediaan pakan cukup?
a. Ya b. tidak
2. Apakah jenis pakan yang diberikan?
G. Obat Hewan
1. Apakah jenis obat yang umum digunakan disini?
Sediaan biologik
Farmasetik
Premik
Obat alami
Dll…………………………………………………………………………
2. Bila menggunakan obat dengan bahan kimia atau bahan biologik, adakah
nomor pendaftaraannya??
a. Ya b.Tidak
3. Bagaimana sistem pemesanan obat dilakukan?
74
3. Berapa tenaga kerja yang ada disini?
4. Satu orang tenaga kerja bertanggungjawab untuk berapa sapi atau berapa
kandang?
BAB II
PROSES PRODUKSI BIBIT
A. Seleksi bibit
1. Bagaimana sistem seleksi bibit dilakukan?
C. Pencatatan (Recording)
1. Pencatatan yang ada di peternakan ini?
Rumpun
Silsilah
Perkawinan (tanggal, pejantan, IB/kawin alam)
Kelahiran (tanggal, bobot lahir)
Penyapihan (tanggal, bobot badan)
Peranakan kembali (tanggal, partus)
75
Pakan (jenis, konsumsi)
Vaksnasi, pengobatan (tanggal, perlakuan/treatment)
Mutasi (pemasukan dan pengeluaran ternak)
Dll……………………………………………………………………
2. Bagaimana sistem persilangan di peternakan ini?
D. Kesehatan Hewan
1. Bagaimana sistem pengelolaan kesehatan di peternakan ini?
BAB III
PELESTARIAN LIGKUNGAN
76
Mencegah timbulnya erosi serta membantu penghijauan di areal
usaha.
Menghindari timbulnya polusi dan ganguan lain yang berasal dari
lokasi usaha yang dapat mengganggu lingkungan berupa bau busuk,
suara bising, serangga, tikus serta pencemaran air sungai/air sumur?
Setiap usaha penggemukan sapi potong harus membuat unit
pengolahan limbah perusahaan (padat, cair dan gas) yang sesuai
dengan kapasitas produksi limbah yang dihasilkan.
Setiap penggemukan usaha sapi potong membuat pembuangan
kotoran dan penguburan bangkai.
BAB IV
A. Monitoring
1. Apakah monitoring dan evaluasi dilakukan oleh instansi yang berwenang?
a. Ya b. tidak
2. Kapankah jadwal monitoring dilakukan pada peternakan ini?
B. Sistem pengawasan
1. Apakah sistem pengawasan dilakukan secara baik?
a. Ya b. tidak
2. Apakah instansi yang berwenang dalam bidang peternakan melakukan
pengawasan manajemen mutu terpadu yang dilakukan?
a. Ya b. tidak
c. Sertifikasi
1. Apakah peternakan dilengkapi sertifikat ?
a. Ya b. tidak
2. Apakah sertifikat dikeluarkan oleh instansi berwenang setelah melalui
penilaian dan rekomendasi?
a. Ya b. tidak
77
Lampiran 2. SOP Usaha Pembibitan Ternak
No Kegiatan Juklak Ya Tidak
1. Persiapan Penerimaan Sapi a. Bentuk team petugas bongkar
1) Sebelum Kedatangan
b. Persiapkan kandang ( ∑ dan alokasi pen, kebersihan, cek bak pakan/
bak minum
c. Cukup penerangan ( Kandang, Cattle Yard, sarana lain)
d. Persiapkan Jalur dari Cattle Yard – Pen
e. Inventarisasi kebutuhan peralatan seperti : Ear Tag, Tang Aplikator,
Alat komunikasi, Tang ,dan lain-lain
f. Inventarisasi Obat seperti : Vitamin, antibiotik, elektrolit, gusanex, dll
g. Proyeksikan & persiapkan pakan (∑ Konsentrat dan Hijauan)
h. Persiapkan peralatan administrasi (Form-form, Berita Acara)
i. Kebutuhan /perlengkapan lain ( Bambu, tambang, Sawdust, tali rafia,
Sarung Tangan)
j. Melakukan koordinasi baik internal (antar unit, KP) dan eksternal
2) Saat Penerimaan sapi a) Sapi tersebut harus sesuai order pembelian dari kantor pusat (Ijin
direksi)
b) Sapi tersebut harus berdokumen lengkap dan sah :
c) Surat jalan, surat kesehatan ternak dari tempat asal,dan surat surat lain
yg dianggap perlu
d) Sapi diturunkan di Cattle Yard segera setelah dokumen dianggap sah
oleh supervisor atau oleh petugas yg bertanggung jawab. Peralatan /
perlengkapan penurunan Sapi ke CY harus sudah dipersiapkan dengan
baik
e) Penanganan/handling sapi dengan baik dan benar ( hati-hati, tidak
78
gaduh, tidak menyakiti ternak, menghindari stress pada ternak)
f) Sapi digiring ke dalam Pen yg sudah dipersiapkan
g) Membuat berita acara apabila terdapat kondisi sapi : mati di perjalanan,
lemah, patah kaki, kondisi tidak normal lainnya). BA ditandatangani
oleh Petugas Expedisi, supir truk, dan petugas penerima sapi
h) Pemberian obat stress (contra stress ATP plus) sesuai administer (dosis
dan petunjuk label) sampai dengan timbang awal
i) Pakan dan air minum bersih sudah tersedia di bak pakan/ bak minum
j) Laporan penerimaan jumlah dan kesusutan berat sapi dari pelabuhan ke
timbang terima truk
k) Catatan timbang dan catatan diterima atau ditolaknya sapi sebagai sapi
bibit harus segera dilaporkan ke pimpinan langsung untuk segera
dilaporkan ke kantor Pusat.
l) Petugas penerimaan harus setingkat Supervisor atau pejabat lain yang
ditunjuk langsung oleh Pimpinan.
m) Dokumen / berita acara penerimaan sapi harus ditandatangani oleh
Supervisor atau pejabat lain yg telah ditunjuk oleh pimpinan dan
diserahkan ke Bagian Administrasi Ternak
n) Pada kedatangan malam hari, petugas yang bertanggung jawab adalah
Perwira Piket di bantu oleh karyawan yg piket pada malam itu
2. Timbang Awal (TA) a) TA dimulai minimal setelah sapi istirahat 2 hari (2x24jam) setelah
penerimaan
b) Pemeriksaan kondisi dan akurasi timbangan
c) Pemasangan ear tag, penimbangan individu, treatment, dan drafting/
pengelompokan sapi berdasarkan jenis kelamin, berat, kondisi
sakit/sehat
d) Pencatatan berat, identifikasi, ex-property (asal), breed dan kondisi
(sehat dan sakit)
e) Penanganan / handling sapi selama proses TA dilakukan dengan hati-
hati
79
f) Pemberian obat anti stress selama 2 hari setelah TA, ikuti petunjuk label
administer ( dosis dan aturan pemberian)
g) Laporan Timbang Awal
3 Seleksi Awal a) Sapi yang sudah beradaptasi awal selama 2 bulan , akan diseleksi / uji
kelayakan Reproduksi dan kesehatan Reproduksi, berat minimal badan
minimal ( untuk breed non- local : 270 kg)
b) Sapi yg lolos seleksi awal ini akan dilanjutkan ke proses
adaptasi,perbaikan kondisi dan pengamatan siklus berahi
c) Sapi yang tidak lolos karena alasan reproduksi dan kesehatan
digemukkan dan dijual sebagai sapi potong
d) Sapi yang lolos seleksi terus diamati kondisinya dan diberikan vit ADE
saat PAR, pengamatan berahi ( oestrus , heat ) dilakukan selama 24 jam
e) Sapi yg berahi dicatat no telinganya dan dikirim ke Cattle yard untuk di
IB
4. Perawatan Sapi Bibit Induk Bunting
80
e) Pada kasus pedet sulit menyusui (lemah dll) harus dibantu untuk disusui
f) Pedet dibiarkan menyusui Induk secara bebas selama 2-3 bulan
(Tergantung kondisi Pedet dan kondisi Induk)
g) Diberi vit ADE @ 2ml / ekor saat pemberian ear tag ( 3 hari setelah
lahir)
h) Diberi pengobatan / pencegahan penyakit bila diperlukan.
i) Pedet umur > 3 bulan harus di identifikasi ( pemberian notel)
Induk Laktasi
a) Pakan disesuaikan dengan kebutuhan dan dicatat setiap hari
b) Induk yang mengalami Mastitis ( Radang Ambing ) harus mendapatkan
suntikan antibiotik (mastilak),dan pengeringan ambing
c) Kondisi pengobatan harus dicatat dalam buku Induk
d) Situasi proses kelahiran harus dicatat ( Kesulitan beranak, Abortus dll )
dalam buku Induk
e) Kondisi Pedet yang baru lahir harus dicatat ( Lemah, sehat ,dapat
menyusu sendiri dll)
5. Perkawinan Heifer / Cow
a) Umur ; Minimal : 1.5 - 2 tahun
b) Berat : Minimal : 270 non Lokal
c) Alat Reproduksi : Normal
d) Siklus Heat : Normal
e) Exterior : Bagus (ex: tinggi gumba min 120 cm)
f) Temperament : Bagus
g) Kesehatan : Bagus
Metoda Perkawinan
a) Artificial Insemination ( Inseminasi Buatan)
b) Kawin Alam
81
6. Penjualan Sapi Bibit
1) Waktu Penjualan a) Pelayanan penjualan reguler dimulai jam 13.00, kecuali ada
pertimbangan khusus dan disposisi manajemen
b) Adanya dokumen kesehatan ternak (surat ket.sehat dari disnak,ket.
Bebas penyakit dri balitnak) Catatan Individu Sapi Bibit dll
2) Teknis Penjualan a) Petugas mengetahui pen sapi yang kan dijual dan harga sapi
b) Mempersiapkan dan memeriksa timbangan, sebelum sapi dikeluarkan
dari pen (sesuai spesifikasi konsumen)
3) Pengiriman Ternak a) Untuk kasus Pengiriman Ternak dengan memakai Truk, harus benar
benar memenuhi syarat antara lain: Bak Truk harus cukup tinggi, kokoh,
beralas sawdust (serbuk gergaji) yang cukup tebal ( +/- 20 cm )
b) Persiapan pakan hijauan segar dan air minum harus cukup
c) Sebaiknya setiap beberapa saat pengawal sapi harus mengontrol kondisi
Sapi
d) Perjalan sebaiknya pada sore / malam hari
e) Kecepatan kendaraan sebaiknya stabil
f) Pada proses penurunan, Sapi harus diturunkan pada tangga turun yang
berdekatan dengan kandang
g) Sapi yang baru sampai diberi obat anti stress ( suntikan atau via air
minum
7. Sistim Pencatatan / a) Record Harian
Rekording / Pelaporan b) Record Layak Servis
c) Record Servis IB
d) Record / kartu IB
e) Record Populasi
f) Record Peralatan IB Individu Induk/Heifer
8. Penanganan Sapi sakit a) Treatment sesuai diagnosa , ikuti petunjuk label administer ( dosis dan
aturan pemberian)
b) Ditempatkan dalam kandang khusus perawatan (hospital pen)
c) Pola pakan untuk sapi sakit
82
d) Pengamatan dan Evaluasi kondisi sapi secara periodik ( catatan
konsumsi)
e) Untuk sapi yang kondisinya semakin menurun, dibuat tertulis ajuan
untuk di jual ke marketing
f) Laporan Sapi Sakit
9. Pengelolaan Lingkungan a) Lingkungan tempat kerja dan sekitarnya harus tertata dengan baik, asri ,
bersih dan nyaman
b) Penanganan limbah bersih dan baik
83
Lampiran 3. Data Perhitungan pada Tahun 2009 dan 2010
84