Anda di halaman 1dari 96

PENERAPAN GOOD BREEDING PRACTICES SAPI POTONG

DI PT LEMBU JANTAN PERKASA


SERANG - BANTEN

SKRIPSI
TANTIA SAFITRI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN

TANTIA SAFITRI. D14070016. 2011. Penerapan Good Breeding Practices Sapi


Potong di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten. Skripsi. Departemen Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Rudy Priyanto


Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Henny Nuraini M.Si.

Peningkatan populasi ternak sapi yang terjadi di Indonesia dari tahun ke


tahun diikuti pula dengan peningkatan pemotongan ternak sapi. Hal ini
mengindikasikan adanya peningkatan pada kebutuhan akan daging sapi di Indonesia.
Pemerintah telah melakukan beberapa upaya dalam meningkatkan produksi daging
sapi di Indonesia yaitu diantaranya dengan melakukan impor daging dan sapi
bakalan. Sapi bakalan impor ini juga digunakan untuk usaha penggemukan di
Indonesia. Namun, usaha ini akan terus bergantung pada impor bakalan apabila tidak
ada usaha pembibitan ternak. Pelaksanaan usaha pembibitan sapi potong
memerlukan suatu pedoman yang harus diterapkan dengan baik yaitu Good Breeding
Practices (GBP). Penerapan GBP merupakan suatu tindakan untuk meningkatkan
produktivitas sapi potong yang dihasilkan. Wujud nyata dari adanya penerapan ini
adalah terbentuknya suatu manual mutu, yaitu semacam pedoman Standard
Operational Procedure (SOP) dalam melaksanakan kegiatan usaha ini.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan GBP sapi potong di PT
Lembu Jantan Perkasa (LJP), Serang-Banten. Penerapan GBP meliputi empat aspek,
yaitu sarana, proses produksi, pelestarian lingkungan, dan pengawasan. Kegiatan
magang penelitian dilakukan di PT LJP, Serang-Banten. Magang penelitian ini
dilakukan pada bulan Juli hingga Agustus 2010. Metode yang digunakan berupa
pengamatan, penyebaran kuisioner, dan wawancara. Analisis data penelitian
dilakukan secara deskriptif dengan peubah yang diamati, yaitu evaluasi pelaksanaan
GBP, calving interval (CI), service per conception (S/C), conception rate (C/R),
serta calving rate (CR).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan aspek GBP sapi potong di
PT LJP Serang-Banten telah dilakukan dengan baik. Penerapan GBP yang baik pada
perusahaan ini ditunjukkan pada ketercapaian produktivitas yang tinggi pada tahun
2010 yaitu CI sebesar 372 hari, S/C sebesar 1,5, CR sebesar 88%, dan C/R sebesar
84%. Kesimpulan yang diperoleh yaitu diperlukan adanya perbaikan pada aspek
GBP diantaranya, perbaikan tempat penampungan limbah, perusahaan
mempertimbangkan kembali mengenai replacement stock, peningkatan pengawasan
areal perusahaan, serta adanya fasilitas desinfeksi untuk staf/karyawan dan
kendaraan tamu di pintu masuk perusahaan.

Kata Kunci : Good Breeding Practices (GBP), penerapan, dan sapi potong
ABSTRACT

The Implementation of Good Breeding Practice for Beef Cattle


at PT Lembu Jantan Perkasa in Serang-Banten
T. Safitri, R. Priyanto, and Henny .N

Cow-calf production is fundamental to the other cattle production system, i.e


growing of stocker and cattle finishing. Good Breeding Practices (GBP) for beef
cattle is important for breeding goal achievement that is producing breeding animal.
The scope of GBP in beef cattle farming includes four aspects: facilities, cattle
breeding, environmental protection and supervision. The study aimed to examine the
Good Breeding Practices for beef cattle at PT Lembu Jantan Perkasa (LJP) in Serang
-Banten. Descriptive analysis was used to review the breeding operation in PT LJP
Serang-Banten. The breeding parameters observed were calving interval, service per
conception, conception rate, and calving rate. The result showed that in general the
company had applied well GBP in its operation. There were several aspects that
should be considered to improve the GBP operation those site plant building and
security, replacement stock, and animal health. Calving interval are 408 days in 2009
and 372 days in 2010. Service per conception are 1,6 in 2009 and 1,5 in 2010.
Conception rate are 78% in 2009 and 88% in 2010 and calving rate are 23% in 2009
and 84% in 2010.

Keywords: beef cattle, cow-calf production, implementation of good breeding


practices
PENERAPAN GOOD BREEDING PRACTICES SAPI POTONG
DI PT LEMBU JANTAN PERKASA
SERANG - BANTEN

TANTIA SAFITRI

D14070016

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk


memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
PENERAPAN GOOD BREEDING PRACTICES SAPI POTONG
DI PT LEMBU JANTAN PERKASA SERANG-BANTEN

Oleh
TANTIA SAFITRI
D14070016

Skripsi ini telah disetujui untuk disidangkan di hadapan


Komisi Ujian Lisan pada tanggal 19 April 2011

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Dr. Ir. Rudy Priyanto) (Dr. Ir. Henny Nuraini M.Si)


NIP : 19601216 198603 1 003 NIP : 19640202 198903 2 001
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 14 September 1989 di Tanjung Karang,


Bandar Lampung. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara pasangan
Bapak Mukrin Abdullah dan Ibu Darty Sabkie.
Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1995 di Sekolah Dasar
Negeri 2 Palapa, Bandar Lampung dan diselesaikan pada tahun 2001. Pendidikan
lanjutan menengah pertama dimulai pada tahun 2001 dan diselesaikan pada tahun
2004 di Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Bandar Lampung. Penulis melanjutkan
pendidikan di SMA Yayasan Pembina Universitas Lampung pada tahun 2004 dan
diselesaikan pada tahun 2007.
Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada
tahun 2007 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di
jurusan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor pada tahun 2008. Penulis aktif dalam unit kegiatan mahasiswa
(UKM) Century Institut Pertanian Bogor sebagai staf divisi ilmu teknologi pada
periode 2008-2009 dan sebagai ketua divisi ilmu teknologi pada periode 2009-2010.
Penulis menjadi sekretaris umum pada periode 2009-2010 di Himpunan Mahasiswa
Produksi dan Teknologi Peternakan (Himaproter). Penulis juga mengikuti kegiatan
Program Kreativitas Mahasiswa pada tahun 2009 dan 2010, serta menjadi peserta
dalam kegiatan Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional XXIII yang diselenggarakan oleh
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Nasional bekerjasama
dengan Universitas Mahasaraswati, Denpasar dalam bidang pengabdian pada
masyarakat. Penulis menjadi penerima beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik
(PPA) selama menyelesaikan studinya.
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb. Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT
atas karunia dan limpahan rahmat-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul Penerapan Good Breeding Practices Sapi Potong di PT Lembu
Jantan Perkasa Serang-Banten. Shalawat beriring salam semoga senantiasa tercurah
kepada Baginda Rasulullah SAW beserta keluarga dan sahabatnya. Penyelesaian
skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan.
Upaya dalam meningkatkan produksi daging sapi di Indonesia yaitu
diantaranya dengan melakukan impor daging dan sapi bakalan. Sapi bakalan impor
ini juga digunakan untuk usaha penggemukan di Indonesia. Namun, usaha ini akan
terus bergantung pada impor bakalan apabila tidak adanya usaha pembibitan ternak.
Pelaksanaan usaha pembibitan sapi potong memerlukan suatu pedoman yang harus
diterapkan dengan baik yaitu Good Breeding Practices (GBP). Selanjutnya, sebagai
wujud nyata dari adanya penerapan ini adalah terbentuknya suatu manual mutu, yaitu
semacam pedoman Standard Operational Procedure (SOP) dalam melaksanakan
kegiatan usaha ini. Maka dari itu Penulis tertarik untuk mengkaji penerapan GBP
pada PT Lembu Jantan Perkasa (LJP) Serang-Banten yang telah berkontribusi dalam
usaha pembibitan ternak. Pengkajian terhadap aspek GBP di PT LJP, Serang-Banten
ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan usaha pembibitan sapi
potong skala kecil hingga besar di Indonesia.
Penulis menyadari karya sederhana ini masih jauh dari sempurna. Penulis
berharap penelitian ini dapat menjadi masukan dan informasi yang bermanfaat
kepada pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, 02 Mei 2011

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ……........................................................................................ i
ABSTRACT ................................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iv
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………......... x
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………...... xi
PENDAHULUAN …………………………………………………............. 1

Latar Belakang ………………………………………………........... 1


Tujuan ................................................................................................ 2
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 3
Bangsa Sapi ........................................................................................ 3
Sapi Brahman Cross ............................................................... 3
Sapi Simmental ...................................................................... 5
Sapi Limousin ........................................................................ 5
Produktivitas Sapi Potong di Indonesia ............................................. 6
Produksi Sapi Potong ............................................................. 6
Reproduksi Sapi Potong ......................................................... 7
Inseminasi Buatan (IB) pada Sapi ...................................................... 8
Efisiensi Reproduksi .......................................................................... 9
Service per Conception (S/C) ................................................. 9
Conception Rate (CR) ............................................................ 10
Calving Interval (CI) .............................................................. 10
Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong .............................................. 11
Sistem Pemeliharaan Sapi Potong .......................................... 11
Bangunan dan Fasilitas Peternakan ........................................ 12
Perkandangan ......................................................................... 13
Manajemen Pakan .................................................................. 13
Iklim ....................................................................................... 14
Good Breeding Practice (GBP) ......................................................... 15
MATERI DAN METODE ............................................................................ 16
Lokasi dan Waktu .............................................................................. 16
Materi dan Alat .................................................................................. 16
Prosedur .............................................................................................. 16
Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 16
Analisis Data ...................................................................................... 16
Peubah yang diamati .............................................................. 17
1. Evaluasi pelaksanaan Good Breeding Practices .. 17
2. Calving Interval (CI) ............................................ 17
3. Service per Conception (S/C) ............................... 17
4. Conception Rate (CR) .......................................... 17
5. Calving Rate (C/R) ............................................... 17
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 18
Keadaan Umum Lokasi ...................................................................... 18
Stuktur Organisasi .................................................................. 20
Bangsa Sapi yang Dipelihara ................................................. 20
Evaluasi Penerapan Pembibitan Sapi Potong yang Baik ................... 22
Sarana dan Prasarana .............................................................. 37
Proses Produksi Bibit ............................................................. 43
Kesehatan Hewan ................................................................... 45
Pelestarian Lingkungan .......................................................... 46
Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan ...................................... 47
Ketercapaian Penerapan GBP di PT. LJP Serang-Banten ................. 48
Calving Interval (CI) .............................................................. 48
Service per Conception (S/C) ................................................. 49
Conception Rate (CR) ............................................................ 51
Calving Rate (C/R) ................................................................. 51
Evaluasi Penerapan Standard Operational Procedure (SOP) ........... 53
Penimbangan .......................................................................... 55
Seleksi Awal .......................................................................... 56
Pemeliharaan Calon Bibit (Cabit) dan Proses Pengawinan ... 57
Pemeriksaan Kebuntingan (PKB) .......................................... 59
Pemeliharaan Induk Bunting .................................................. 60
Kelahiran ................................................................................ 61
Perawatan Induk dan Anak .................................................... 63
Penjualan Sapi Bibit ............................................................... 65
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 66
Kesimpulan ........................................................................................ 66
Saran ................................................................................................... 66
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 68
LAMPIRAN ................................................................................................. 71

viii
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
1. Populasi Ternak Sapi di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten per- 19
Juli 2010 ...................................................................................................
2. Hasil Evaluasi Penerapan Aspek Sarana dan Prasarana di PT Lembu 24
Jantan Perkasa ..........................................................................................
3. Hasil Evaluasi Penerapan Aspek Proses Produksi Bibit di PT Lembu 29
Jantan Perkasa ..........................................................................................
4. Hasil Evaluasi Penerapan Aspek Pelestarian Lingkungan di PT Lembu 35
Jantan Perkasa ..........................................................................................
5. Hasil Evaluasi Penerapan Aspek Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan di 36
PT Lembu Jantan Perkasa........................................................................
6. Ketercapaian Penerapan Good Breeding Practices di PT Lembu Jantan 48
Perkasa Serang-Banten ............................................................................
7. Penjualan Ternak Breeding PT Lembu Jantan Perkasa Periode 2009- 65
2010 ........................................................................................................
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
1. Bagan Struktur Organisasi PT Lembu Jantan Perkasa ............................ 21
2. Sarana: (a) Kantor, (b) Mess Karyawan, (c) Mushola, dan (d) Unit 38
Kesehatan Hewan ....................................................................................
3. Prasarana: (a) Kandang pemeliharaan, (b) Kandang Isolasi, (c) Gudang 39
Pakan, dan (d) Unit Penanganan Limbah ................................................
4. Peralatan Kesehatan Hewan: (a) Obat-obatan dan (b) Alat Suntik ......... 43
5. Fasilitas Desinfeksi .................................................................................. 46
6. Alur Penanganan Sapi Pembibitan di PT Lembu Jantan Perkasa …….. 53
7. Penerimaan Sapi: (a) Loading Chute dan (b) Penampungan .................. 55
8. Penimbangan Awal: (a) Penimbangan Ternak dan (b) Pemasangan Ear- 56
Tag ...........................................................................................................
9. Pemeriksaan Alat Reproduksi ................................................................. 57
10. Peralatan Inseminasi Buatan ………………………………………….... 58
11. Kelahiran: (a) Induk Setelah Beranak dan (b) Induk Menjilati Anak ..... 61
12. Pengobatan Pedet Sakit ........................................................................... 64
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1. Kuisioner Good Breeding Practices ........................................................ 72
2. SOP Usaha Pembibitan Ternak ................................................................. 78
3. Data Perhitungan pada Tahun 2009 dan 2010 ......................................... 84
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Permasalahan mengenai pemenuhan akan daging sapi di Indonesia masih
belum teratasi dengan baik. Hal ini disebabkan populasi ternak sapi yang ada belum
dapat memenuhi kebutuhan akan konsumsi daging sapi di Indonesia. Berdasarkan
data Badan Pusat Statistika (2009), pada tahun 2007 populasi ternak sapi potong di
Indonesia berjumlah 11.514.900 ekor dan meningkat menjadi 11.869.200 ekor pada
tahun 2008. Jumlah ternak yang dipotong pun meningkat dari tahun ke tahun, pada
tahun 2007 jumlah ternak yang dipotong sebesar 1.218.560 ekor dan meningkat
menjadi 1.295.789 ekor pada tahun 2008. Kondisi ini menunjukkan adanya
peningkatan populasi ternak sapi yang diikuti dengan peningkatan kebutuhan akan
daging sapi. Pemerintah telah melakukan beberapa upaya dalam meningkatkan
produksi daging sapi di Indonesia yaitu diantaranya dengan melakukan impor daging
dan sapi bakalan. Impor daging sapi tahun 2009 mencapai 110.245,6 ton atau senilai
266,5 juta dollar AS. Impor sapi di Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1990-an
dan umumnya berasal dari Australia. Sapi bakalan impor ini juga digunakan untuk
usaha penggemukan di Indonesia. Usaha ini akan terus bergantung pada impor
bakalan apabila tidak ada usaha pembibitan ternak. Usaha pembibitan merupakan
salah satu upaya dalam mendukung swasembada daging pada tahun 2014.
Beberapa perusahaan yang bergerak di bidang sapi potong telah mulai
merintis usaha pembibitan sapi potong sejak tujuh tahun terakhir. Menurut Direktorat
Jenderal Peternakan (2006), usaha pembibitan adalah kegiatan budidaya
menghasilkan bibit ternak untuk keperluan sendiri atau untuk diperjualbelikan. Bibit
sapi potong merupakan salah satu faktor produksi yang menentukan dan mempunyai
nilai strategis dalam upaya mendukung terpenuhinya kebutuhan daging. Upaya
pengembangan pembibitan sapi potong secara berkelanjutan diperlukan untuk
mencapai tujuan tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha
ternak potong, antara lain penentuan bibit ternak potong yang baik, penyediaan dan
pemberian pakan hijauan yang baik, pembuatan kandang yang memenuhi
persyaratan kesehatan, pemeliharaan yang baik, sistem perkawinan yang baik, dan
pengawasan terhadap penyakit ternak (Direktorat Jenderal Peternakan, 1985).
Pelaksanaan usaha pembibitan sapi potong memerlukan suatu pedoman yang harus
diterapkan dengan baik yaitu Good Breeding Practices (GBP).
Direktorat Jenderal Peternakan (2006) telah mengeluarkan pedoman GBP
bagi pembibit, sebagai acuan dalam melakukan pembibitan sapi potong untuk
menghasilkan bibit yang bermutu baik serta bagi petugas dinas yang menangani
fungsi peternakan di daerah, sebagai pedoman dalam melakukan pembinaan,
bimbingan dan pengawasan dalam pengembangan pembibitan sapi potong. Ruang
lingkup pedoman pembibitan sapi potong yang baik meliputi empat aspek yaitu 1)
sarana dan prasarana, 2) proses produksi bibit, 3) pelestarian lingkungan, 4)
monitoring, evaluasi dan pelaporan (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006).
PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten merupakan salah satu perusahaan
swasta yang bergerak dalam pembibitan, penggemukan, dan pemasaran sapi potong.
Perusahaan ini telah berdiri sejak tahun 1996 hingga sekarang dan telah banyak
menyuplai bibit sapi untuk bakalan, calon pejantan, maupun calon induk, oleh sebab
itu penerapan GBP menjadi hal yang sangat penting bagi perusahaan ini. Penerapan
GBP merupakan suatu tindakan untuk meningkatkan produktivitas sapi potong yang
dihasilkan. Wujud nyata dari adanya penerapan ini adalah terbentuknya suatu manual
mutu, yaitu semacam pedoman Standard Operational Procedure (SOP) dalam
melaksanakan kegiatan usaha ini.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan GBP sapi potong di PT
Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten berdasarkan empat aspek, yaitu sarana dan
prasarana, proses produksi, pelestarian lingkungan, dan pengawasan.

2
TINJAUAN PUSTAKA

Bangsa Sapi
Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik
tertentu yang sama. Berdasarkan karakteristik tersebut, bangsa sapi dapat dibedakan
dari ternak lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama. Karakteristik yang
dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya.
Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi mempunyai klasifikasi
taksonomi sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Mamalia
Sub class : Theria
Infra class : Eutheria
Ordo : Artiodactyla
Sub ordo : Ruminantia
Infra ordo : Pecora
Famili : Bovidae
Genus : Bos (cattle)
Group : Taurinae
Spesies : Bos taurus (sapi Eropa)
Bos indicus (sapi India/sapi Zebu)
Bos sondaicus (banteng/sapi Bali)

Sapi Brahman Cross


Minish dan Fox (1979) menyatakan bahwa sapi Brahman di Australia secara
komersial jarang dikembangkan secara murni dan banyak disilangkan dengan sapi
Hereford-Shorthorn (HS). Hasil persilangan dengan Hereford dikenal dengan nama
Brahman Cross (BX). Sapi ini mempunyai keistimewaan karena tahan terhadap suhu
panas dan gigitan caplak, mampu beradaptasi terhadap makanan jelek, serta
mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi. Sapi Brahman Cross (BX) pada
awalnya dikembangkan di stasiun CSIRO‟S Tropical Cattle Research Centre di
Rockhampton Australia. Materi dasarnya adalah sapi American Brahman, Hereford,
dan Shorthorn. Sapi BX mempunyai proporsi 50% darah Brahman, 25% darah
Hereford, dan 25% darah Shorthorn. Secara fisik bentuk fenotif sapi BX lebih
cenderung mirip sapi American Brahman karena proporsi darahnya yang lebih
dominan, seperti punuk dan gelambir masih jelas, bentuk kepala dan telinga besar
menggantung, sedangkan pola warna kulit sangat bervariasi mewarisi tetuanya
(Turner, 1977).
Sapi BX memiliki sifat-sifat seperti: (1) persentase kelahiran 81,2%, (2)
rataan bobot lahir 28,4 kg, bobot umur 13 bulan mencapai 212 kg dan umur 18 bulan
bisa mencapai 295 kg, (3) angka mortalitas postnatal sampai umur 7 hari sebesar
5,2%, mortalitas sebelum disapih 4,4%, mortalitas lepas sapih sampai umur 15 bulan
sebesar 1,2% dan mortalitas dewasa sebesar 0,6%, (4) daya tahan terhadap panas
cukup tinggi karena produksi panas basal rendah dengan pengeluaran panas yang
efektif, (5) ketahanan terhadap parasit dan penyakit sangat baik, serta (6) efisiensi
penggunaan pakan terletak antara sapi Brahman dan persilangan Hereford-Shorthorn
(Turner, 1977).
Menurut Winks et al. (1979), jantan kebiri sapi BX di daerah tropik
Quensland secara normal memiliki performa di bawah bangsa sapi Eropa. Sapi
Hereford steer lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan sapi BX pada lingkungan
beriklim sedang. Bobot hidup finishing yang sama pada produksi karkas sapi BX
lebih berat dibandingkan sapi Frisian karena memiliki persentase karkas (dressing
percentage) yang lebih tinggi. Bobot karkas sapi Shorthorn terletak antara sapi
Brahman dan Hereford. Persentase karkas sapi Hereford lebih rendah dibandingkan
sapi BX dan lebih tinggi dibandingkan sapi Frisian. Karkas sapi Frisian memiliki
persentase tulang lebih tinggi dibandingkan sapi Shorthorn dan BX. Trim lemak
bervariasi mulai dari 4,2% sampai 11,2%, terendah pada sapi Frisian dan tertinggi
pada Shorthorn.
Sapi BX di Indonesia diimpor dari Australia sekitar tahun 1973 namun
penampilan yang dihasilkan tidak sebaik dengan di Australia. Hasil pengamatan di
ladang ternak Sulawesi Selatan memperlihatkan: (1) persentase beranak 40,91%, (2)
calf crop 42,54%, (3) mortalitas pedet 5,93%, (4) mortalitas induk 2,92%, (5) bobot
sapih umur 8-9 bulan 141,5 kg (jantan) dan 138,3 kg (betina), (6) pertambahan bobot

4
badan sebelum disapih sebesar 0,38 kg/hari (Hardjosubroto, 1994; Ditjen Peternakan
dan Fapet UGM, 1986).
Sebagian besar sapi di Australia merupakan sapi American Brahman dan
Santa Gertrudis yang diimpor dari Amerika. Persilangan antara kedua bangsa sapi ini
dengan sapi Zebu menghasilkan bangsa sapi yang sama dengan sapi American
Brahman dan Santa Gertrudis yakni Brangus dan Braford. Persilangan lebih lanjut
menghasilkan sapi Droughtmaster yang merupakan hasil persilangan dengan
komposisi darah 3/8 – 5/8 darah Zebu utamanya American Brahman yang diimpor
dari Texas (Payne, 1970). Sementara sapi Brangus mempunyai komposisi darah 5/8
Angus dan 3/8 Brahman (Minish dan Fox, 1979).

Sapi Simmental
Sapi Simmental berasal dari lembah Simme di Swiss, berwarna merah,
bervariasi mulai dari yang gelap sampai hampir kuning dengan totol-totol serta
mukanya berwarna putih. Sapi ini terkenal karena menyusui anak dengan baik
pertumbuhan cepat, serta badan panjang dan padat. Sapi Simmental berukuran besar,
baik pada kelahiran, penyapihan maupun saat mencapai dewasa (Blakely dan Bade,
1991). Pertumbuhan otot sangat baik dan tidak banyak terdapat penimbunan lemak di
bawah kulit. Warna bulu pada umumnya krem kecokelatan hingga sedikit merah dan
warna bulu pada muka putih, demikian pula dari lutut ke bawah dan pada ujung ekor
berwarna putih. Tanduk tidak begitu besar, meskipun berat lahir anaknya tidak
setinggi anak Charolais dan Maineanjou, tetapi berat sapih tinggi demikian pula
pertambahan berat badan setelah sapih. Produksi susu tinggi (rata-rata 3.900
kg/laktasi) dengan persentase lemak susu sebesar 4%. Berat sapi jantan dewasa kira-
kira 1.150 kg dan betina kira-kira 800 kg. Melihat daya gunanya yang luas (triguna),
diperkirakan sapi ini cocok untuk memperbaiki mutu sapi di Indonesia (Pane, 1986).

Sapi Limousin
Bangsa sapi Limousin berasal dari sebuah propinsi di Perancis yang banyak
berbukit batu. Warna mulai dari kuning sampai merah keemasan. Tanduk berwarna
cerah. Bobot lahir tergolong kecil sampai medium yang berkembang menjadi
golongan besar pada saat dewasa. Betina dewasa dapat mencapai 575 kg sedangkan
pejantan dewasa mencapai berat 1.100 kg. Fertilitas cukup tinggi, mudah melahirkan,

5
mampu menyusui dan mengasuh anak dengan baik serta pertumbuhan cepat (Blakely
dan Bade, 1991).

Produktivitas Sapi Potong di Indonesia

Produktivitas ternak sapi potong di Indonesia sebagai salah satu sumber


daging belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dikarenakan jumlahnya masih
rendah. Faktor yang menyebabkan produksi daging masih rendah adalah rendahnya
populasi ternak sapi dan tingkat produksi sapi.

Produksi Sapi Potong


Parakkasi (1999) menyatakan bahwa usaha peternakan ruminansia besar
penghasil daging dapat dikelompokkan ke dalam beberapa program produksi sapi
yang masing-masing memiliki kekhususan dalam pengelolaannya. Program tersebut
antara lain produksi anak (cow calf), pembesaran anak sapi sapihan (stocker), dan
penggemukan (finisher). Program Cow Calf (CC) bertujuan untuk menghasilkan
anak, batas program ini dengan program lain atau program selanjutnya ialah pada
waktu anak yang dihasilkan, disapih. Program ini merupakan dasar semua program
yang ada dalam industri beef, anak yang dihasilkan dalam program ini merupakan
materi untuk program lain. Program stocker atau pembesaran anak dapat dimulai dari
awal pemanfaatan anak yang disapih dari program CC sampai anak tersebut akan
digemukkan atau untuk replacement stock. Produk program ini adalah feeder untuk
digemukkan ataupun untuk replacement stock. Gabungan berbagai program bukanlah
suatu hal yang tidak mungkin apabila beberapa program bergabung bersama jika
kondisi yang memungkinkana atau mengharuskan. Program CC yang bersatu dengan
program pembesaran anak sering dilakukan oleh peternak (Parakkasi, 1999).
Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa produksi ternak sapi potong sangat
berhubungan dengan performa, seperti bobot badan, ukuran tubuh, komposisi tubuh
dan kondisi ternak. Penimbangan bobot badan ternak sapi tidak mungkin dilakukan
sehingga ukuran tubuh dapat digunakan sebagai alat penduga bobot hidup dan dapat
menggambarkan penampilan produksi ternak sapi. Beberapa ukuran tubuh seperti
lingkar dada, panjang badan, dan tinggi gumba dapat dijadikan indikator bagi bobot
hidup ternak sapi potong. Produksi ternak yang menguntungkan membutuhkan
ternak-ternak yang sehat karena penyakit merupakan faktor pembatas keuntungan

6
pada kebanyakan daerah tropis (Williamson dan Payne, 1993). Kondisi ternak sapi
dapat diamati dengan cara observasi, pengamatan, dan perabaan bagian tulang
belakang.

Reproduksi Sapi Potong

Aspek reproduksi merupakan dasar utama dalam peternakan dan menentukan


tingkat prestasi produksi. Semakin tinggi tingkat reproduksi yang dicapai, maka
produksi yang dihasilkan akan meningkat pula (Natasasmita dan Mudikdjo, 1979).
Sistem reproduksi jantan dan betina belum berfungsi secara sempurna sebelum
seekor sapi mencapai masak kelamin (pubertas), yakni umur pada saat dicapai
kematangan kelamin atau kematangan seksual. Hal ini ditandai dengan estrus yang
pertama sebagai akibat dari pengaruh hormon esterogen yang disekresikan oleh ovari
(Blakely dan Bade, 1991). Umur pada saat tercapainya masak kelamin bervariasi
diantara bangsa-bangsa sapi, dengan suatu kisaran umur 8-18 bulan (Blakely dan
Bade, 1991). Terjadinya estrus pertama pada hewan betina muda sangat mencolok
karena timbul secara tiba-tiba.
Umumnya sapi-sapi Brahman dan Zebu mencapai pubertas 6-12 bulan lebih
lambat dari pada bangsa-bangsa sapi Eropa. Pubertas pada ternak sapi betina bangsa
Eropa mulai timbul pada umur 6-18 bulan, sedangkan sapi Brahman dan Zebu pada
umur 12-30 bulan. Penurunan tingkat makanan pada sapi potong pada umumnya
dapat memperlambat pubertas (Toelihere, 1979). Menurut Wijono et al. (1998),
umur pubertas lebih awal dapat terjadi pada perkembangan sapi dara yang dipelihara
dengan baik atau memiliki kondisi badan yang baik. Adapun berat yang dicapai pada
saat pubertas berkisar antara 250-400 kg (Blakely dan Bade, 1991). Umur pubertas
sangat dipengaruhi oleh musim, suhu, makanan, dan genetik, oleh karena itu
perkawinan awal sebaiknya dilakukan pada umur 14-22 bulan atau pada bobot badan
160-270 kg (Toelihere, 2006). Sapi-sapi dara Eropa yang tumbuh baik tidak
dikawinkan sebelum mencapai umur 14-18 bulan karena pubertas berkembang jauh
sebelum dapat terjadi konsepsi, kebutingan, dan kelahiran normal. Sapi potong yang
kurang baik pertumbuhanya baru dapat dikawinkan sesudah mencapai umur 18-24
bulan (Toelihere, 1979).

7
Sapi betina hanya akan menerima pejantan selama periode estrus yang
lamanya rata-rata 16 jam, dan jika tidak terjadi perkawinan maka kondisi ini akan
berulang setiap 21 hari (Blakely dan Bade, 1991). Periode estrus ini menurut
Frandson (1993) ditentukan oleh tingkat sirkulasi esterogen. Arthur et al. (1989)
mengatakan bahwa lama estrus ini berkisar 12-30 jam dengan rata-rata 20 jam,
sedangkan ovulasi setelah estrus rata-rata 31 jam atau antara 18-48 jam.
Pembuahan atau konsepsi atau fertilisasi merupakan awal dari periode
kebuntingan (Salisbury dan Vandemark, 1985). Menurut Frandson (1993), periode
kebuntingan dimulai dari saat pembuahan (fertilisasi) ovum sampai anak lahir.
Periode kebuntingan yang normal berkisar antara 240-330 hari atau rata-rata 283 hari
(Blakely dan Bade, 1991).

Inseminasi Buatan (IB) pada Sapi

Fertilisasi maksimal akan dihasilkan jika mortalitas dan kesehatan sperma


yang dideposisikan ke dalam saluran kelamin betina berjumlah cukup serta pada
tempat dan waktu yang terbaik saat ovulasi (Gomes, 1977). Hal ini, menurut
Toelihere (1993), memerlukan deteksi dan pelaporan berahi yang tepat sehingga
inseminasi dapat dilakukan pada waktu yang tepat. Demikian juga teknik inseminasi
dilakukan secara cermat oleh tenaga terampil dan juga hewan betina yang sehat
dalam kondisi reproduksi yang optimal (Toelihere, 1993). Bearden dan Fuguay
(1997) menambahkan bahwa puncak keberhasilan inseminasi buatan (IB) tergantung
dari penempatan semen berkualitas tinggi yang tepat di dalam alat reproduksi betina.
Tanda-tanda visual sapi betina menjelang birahi adalah pembengkakan dan
vulva yang menjadi merah serta keadaan gelisah yang menunjukkan keinginan untuk
kawin, tetapi perilaku yang amat menonjol adalah mengusir atau diusir oleh
temannya. Kunci untuk menentukan yang mana di antara sapi-sapi itu yang sedang
birahi adalah sapi betina yang akan tetap diam apabila dinaiki (Blakely dan Bade,
1991). Menurut Frandson (1993), konsepsi masih dapat terjadi pada sapi yang
dikawinkan mulai dari 34 jam sebelum ovulasi sampai 14 jam setelah ovulasi.
Spermatozoa dari pejantan harus hadir sekurang-kurangnya 6 jam di dalam uterus
atau oviduk betina sebelum mampu membuahi sebuah ovum (Frandson, 1993).
Inseminasi yang tepat sebaiknya dilakukan pada saat mulai pertengahan estrus

8
sampai 6 jam sesudah puncak berahi (Salisbury dan Vandemark, 1985). Evaluasi
semen harus dilakukan untuk menentukan pergerakan (motilitas) dan daya hidup
(viabilitas) sperma yang diejakulasikan, meskipun keadaan fisik pejantan itu tidak
memperlihatkan kelemahan atau kekurangan tertentu (Blakely dan Bade, 1991).

Efisiensi Reproduksi

Payne (1970) menyatakan bahwa IB dapat dipakai untuk meningkatkan


efisiensi reproduksi terutama dalam mengatasi kegagalan reproduksi, tetapi tidak
selamanya IB dapat memberikan hasil yang lebih baik dari kawin alam, misalnya
jumlah pelayanan per kebuntingan atau service per conception . Balai Inseminasi
Buatan Singosari (1997) memberikan suatu gambaran efisiensi reproduksi ternak
dengan mengevaluasi nilai conception rate (CR) dan services per conception (S/C).
Direktorat Jenderal Peternakan (1991) memberikan pedoman dalam mengevaluasi
keberhasilan pelaksanaan IB dengan memberikan nilai standar dari calving interval
(CI) 12 bulan, service per conception (S/C) 1,6, dan conception rate (CR) 62,5%.

Service per Conception (S/C)


Service per conception adalah jumlah pelayanan inseminasi sampai seekor
ternak menjadi bunting (Salisbury dan Van Demark, 1985). Service per conception
merupakan ukuran berapa kali seekor ternak sapi melakukan perkawinan hingga
ternak tersebut bunting. Nilai S/C yang normal menurut Toelihere (1979) berkisar
antara 1,6-2,0. Penelitian Depison et al. (2003) pada persilangan Simmental dan
Brahman (Simbrah) dapat mencapai nilai S/C sebesar 1,45. Semakin rendah nilai
tersebut, makin tinggi nilai kesuburan hewan-hewan betina kelompok-kelompok
tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan S/C diantaranya kualitas
semen yang digunakan, deteksi birahi, body condition score (BCS), tingkat
kemampuan inseminator, dan bobot hidup (Kutsiyah et al., 2002). Menurut
Vandeplassche (1982), nilai S/C yang rendah sangat penting dalam arti ekonomis,
baik dalam perkawinan alam maupun melalui IB. Nilai S/C dianggap tidak baik
apabila melebihi angka 2,0 karena hal ini menunjukan gambaran reproduksi yang
tidak efisien dan akan merugikan secara ekonomis.

9
Conception Rate (CR)
Angka dari persentase sapi betina yang bunting disebut dengan nilai CR atau
angka konsepsi yang ditentukan berdasarkan hasil diagnosis kebuntingan oleh dokter
hewan dalam waktu 45–60 hari sesudah inseminasi (Partodihardjo 1987). Toelihere
(1993) menyatakan bahwa conception rate di negara maju dapat berkisar antara 60-
70%, namun untuk kondisi di Indonesia conception rate sebesar 50% sudah termasuk
normal, dan jika dibawah 50% berarti menunjukkan wilayah tersebut memiliki ternak
yang kurang subur. Menurut Toelihere (1993), angka konsepsi ditentukan oleh tiga
faktor, yaitu kesuburan pejantan, kesuburan betina dan teknik inseminasi. Pengaruh
ketiga kombinasi tersebut dapat menghasilkan angka konsepsi sebesar 64%. Teknik
inseminasi yang baik dan benar akan mempertahankan nilai tersebut. Penelitian
Depison et al. (2003) menunjukkan hasil persilangan Simmental dan Brahman
(Simbrah) dapat mencapai nilai CR sebesar 61,29%.

Calving interval (CI)


Jarak beranak (calving interval) adalah periode waktu antara dua kelahiran
yang berurutan dan dapat juga dihitung dengan menjumlahkan periode kebuntingan
dengan periode days open (interval antara saat kelahiran dengan terjadinya
perkawinan yang subur berikutnya) (Sutan, 1988). Interval kelahiran atau jangka
waktu antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya seharusnya 12-13 bulan
(Toelihere, 1979). Peters (1996) menyatakan bahwa CI yang optimum adalah 365
hari atau 12 bulan. Efisiensi yang buruk ditandai dengan interval kelahiran yang
lebih panjang. Umur sapih pedet cenderung memperpanjang jarak beranak. Sapi
menyusui pedet lebih lama akan menunda perkawinan pertama kali setelah beranak.
Nilai CI pada sapi peranakan Simmental yang dikawinkan secara IB yaitu sebesar
392,28±77,27 hari (Iswoyo dan Priyantini, 2008). Faktor -faktor yang mempengaruhi
jarak beranak, yaitu lama bunting, jenis kelamin pedet yang dilahirkan, umur
penyapihan pedet, S/C, bulan beranak, bulan saat terjadinya konsepsi, dan jarak
waktu sapi pertama kali dikawinkan setelah beranak (Bowker et al., 1978). Nilai CI
yang optimum tersebut akan dapat dicapai jika sapi-sapi betina yang telah
melahirkan dikawinkan lagi setelah 50-70 hari (Craig, 1981).

10
Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong

Sistem Pemeliharaan Sapi Potong


Kelangsungan hidup sapi potong yang sehat dengan pertumbuhan yang baik
dapat dijaga dengan pemeliharaan dan perawatan yang baik. Keberhasilan tahap
pemeliharaan sebelumnya merupakan pangkal pemeliharaan berikutnya sehingga
usaha pemeliharaan pada umumnya selalu disesuaikan dengan fase hidup sapi yang
bersangkutan, mulai dari pedet, sapi muda, dan sapi dewasa (finishing).
Parakkasi (1999) menyatakan bahwa sistem pemeliharaan ternak sapi dibagi
menjadi tiga, yaitu intensif, ektensif, dan mixed farming system. Pemeliharaan secara
intensif dibagi menjadi dua, yaitu (a) sapi di kandangkan terus-menerus dan (b) sapi
dikandangkan pada saat malam hari, kemudian siang hari digembalakan atau disebut
semi intensif. Pemeliharaan ternak secara intensif adalah sistem pemeliharaan ternak
sapi dengan cara dikandangkan secara terus-menerus dengan sistem pemberian pakan
secara cut and carry. Sistem ini dilakukan karena lahan untuk pemeliharaan secara
ekstensif sudah mulai berkurang. Keuntungan sistem ini adalah penggunaan bahan
pakan hasil ikutan dari beberapa industri lebih intensif dibanding dengan sistem
ekstensif. Kelemahan terletak pada modal yang digunakan lebih tinggi, masalah
penyakit, dan limbah peternakannya.
Pemeliharaan secara ekstensif adalah pemeliharaan ternak di padang
penggembalaan, pola pertanian menetap atau di hutan. Aktivitas perkawinan,
pembesaran, pertumbuhan dan penggemukan ternak sapi pada sistem ekstensif
biasanya dilakukan oleh satu orang yang sama di padang penggembalaan yang sama
(Parakkasi, 1999). Usaha peternakan secara ekstensif dapat dilakukan di daerah dan
padang rumput luas, tandus, dan iklimnya tidak memungkinkan untuk pertanian.
Dibeberapa daerah ternak dilepaskan di lapangan tanpa memperhatikan kecukupan
pakan dan keadaan padang rumput (Tafal, 1981). Sistem pemeliharaan mix farming
system atau sistem pertanian campuran dilakukan petani dengan memelihara
beberapa ekor ternak sapi untuk digemukkan dengan pakan yang ada di dalam atau di
sekitar usaha pertanian (Parakkasi, 1999).

11
Bangunan dan Fasilitas Peternakan
Office International des Epizooties (2006) menjelaskan bahwa bangunan dan
fasilitas peternakan harus dikontrol agar tidak membahayakan ternak karena di
dalamnya dapat merupakan sumber penyebab kontaminasi bagi ternak seperti
mikroba patogen, bahan kimia dan fisik yang dapat membahayakan tenak secara
langsung dan tidak langsung. Beberapa hal yang harus dilakukan untuk
meminimalisasi bahaya yang datang dari lingkungan terdekat ternak, yaitu (a)
menghindarkan setiap kegiatan beternak dekat dengan pabrik industri yang dapat
menjadi sumber polusi.
Lokasi sumber polusi meliputi: (i) pembakaran sampah lokal yang
melepaskan banyak senyawa dioksida, pabrik pengolahan yang melepaskan senyawa
pelarut dan logam berat, atau (ii) dalam suatu lingkungan yang mudah terkena polusi
udara (dekat dengan jalan raya yang padat banyak pelepasan timah dan hidrokarbon),
(iii) polusi tanah (industri pertanian atau tempat pembuangan bahan beracun), atau
(iv) tempat perkembangbiakan hama seperti tempat pembuangan sampah akhir, dan
(b) menempatkan bangunan atau fasilitas lain sehingga tersendiri dalam suatu
banguan khusus yang cukup jauh dari tempat penyimpanan limbah.
Tata letak bangunan diatur dengan berdasarkan fungsinya dan jarak antar
bangunan dalam peternakan yang berdekatan juga diatur agar tidak menambah resiko
terjadinya perpindahan penyakit antar peternakan, membuat kandang dengan luas
yang layak sesuai jumlah ternak dan ventilasi yang baik, membuat kandang isolasi
bagi ternak yang sakit dan kandang karantina bagi ternak yang sehat. Mengisolasi
kandang dari ganguan hama dan serangga, merancang kandang agar mudah
dibersihkan dan mengunakan bahan bangunan yang aman. Akses keluar masuk
peternakan dirancang agar orang yang tidak berkepentingan tidak sembarangan
masuk ke areal peternakan.
Bangunan peternakan harus dirancang untuk memfasilitasi kenyamanan,
kesehatan, dan produktivitas ternak. Ventilasi yang baik, tersedianya pakan dan air
dengan kualitas yang baik, serta penerangan dan kenyamanan ternak harus
diperhatikan untuk meningkatkan performan ternak (Ensminger dan Taylor, 2006).
Area yang terpisah diperlukan untuk mengisolasi ternak dan untuk perawatan ternak.
Area ini harus dibuat agar nyaman bagi ternak dan memiliki suplai obat-obatan serta

12
memiliki penerangan yang cukup. Area perawatan ini biasanya dibuat dekat dengan
kandang khusus untuk melahirkan dan untuk mengisolasi ternak yang sakit. Hal ini
dilakukan untuk efisiensi pekerja dan sering disebut dengan kandang untuk
kebutuhan khusus (Palmer, 2005).

Perkandangan
Direktorat Jenderal Peternakan (1985) menyatakan bahwa kandang bagi
ternak sapi potong merupakan sarana yang mutlak harus ada. Kandang merupakan
tempat berlindung ternak dari hujan, terik matahari, pengamanan ternak terhadap
binatang buas, pencuri, dan sarana untuk menjaga kesehatan. Persyaratan teknis
kandang menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2006) meliputi:
1. Konstruksi kandang harus kuat
2. Terbuat dari bahan yang ekonomis dan mudah diperoleh
3. Sirkulasi udara dan sinar matahari cukup
4. Drainase dan saluran pembuangan limbah baik, serta mudah dibersihkan
5. Lantai rata, tidak licin, tidak kasar, mudah kering, dan tahan injak
6. Luas kandang memenuhi persyaratan daya tampung
7. Kandang isolasi dibuat terpisah

Manajemen Pakan
Pakan ternak sapi potong merupakan salah satu unsur yang sangat penting
untuk menunjang kesehatan, pertumbuhan, dan reproduksi ternak. Bahan pakan
ternak dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu hijauan dan konsentrat. Hijauan
ditandai dengan jumlah serat kasar yang relatif banyak daripada berat keringnya,
yaitu lebih besar dari 18%. Konsentrat mengandung serat kasar lebih sedikit daripada
hijauan yaitu kurang dari 18% dan mengandung karbohidrat, protein, dan lemak yang
relatif banyak namun jumlahnya bervariasi dengan jumlah air yang relatif sedikit
(Williamson dan Payne, 1993).
Jerami termasuk salah satu hijauan yang sering digunakan pada ternak, tetapi
hijauan ini umumnya memiliki nilai nutrisi yang rendah (Williamson dan Payne,
1993). Jerami padi memiliki palatabitas yang cukup baik, tetapi apabila diberikan
terlalu banyak dalam pakan sapi akan menyebabkan kebutuhan hidup pokoknya tidak
terpenuhi karena kandung nutriennya rendah (Panjono et al., 2000). Tingkat

13
konsumsi ransum sapi berbeda-beda bergantung pada status fisiologinya. Sapi
dewasa dapat mengkonsumsi bahan kering minimal 1,4% bobot badan/hari,
sedangkan sapi kebiri umur 1 tahun dengan hijauan berkualitas baik dapat
mengkonsumsi 3% dari bobot badan (Parakkasi, 1999).
Office International des Epizooties (2006) menjelaskan bahwa pakan
komersial juga harus dipastikan bebas dari residu bahan kimia. Label pada pakan
komersial penting diantaranya untuk mengetahui cara pemakaian dengan benar,
tanggal kadaluarsa, dan identitas perusahaan. Kemasan pakan komersial tersebut
harus utuh tanpa cacat yang dapat mempengaruhi isi. Pencatatan atau recording
kualitas bahan pakan yang diterima juga sangat penting dan isinya harus sesuai
dengan label, serta tidak mengandung hasil ikutan ternak yang tidak diperbolehkan.
Pakan yang dicampur atau diproduksi sendiri mengandung resiko bahaya terdapat
residu bahan kimia, tumbuhnya jamur dan kapang. Proses pencampuran bahan-bahan
mentah harus dipastikan komposisinya dan tercampur dengan sempurna. Menurut
Parakkasi (1999), konsumsi adalah faktor esensial yang merupakan dasar untuk
hidup dan menentukan produksi. Hal ini antara lain disebabkan oleh: 1) segi
ekonomi, dengan fixed maintanance cost tingkat konsumsi penting dimaksimumkan
guna memaksimumkan produksi, 2) berdasarkan pengetahuan tingkat konsumsi
dapat ditentukan kadar suatu zat makanan dalam ransum untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidup pokok dan produksi, 3) makanan yang berkualitas baik, tingkat
konsumsinya relatif lebih tinggi dibanding dengan makanan berkualitas rendah, 4)
hewan yang mempunyai sifat dan kapasitas konsumsi yang lebih tinggi, produksinya
pun relatif akan lebih tinggi dibanding dengan hewan (yang sejenis) dengan
kapasitas/ sifat konsumsi rendah (dengan ransum yang sama), dan 5) variabilitas
kapasitas produksi yang disebabkan oleh makanan pada berbagai ternak karena
perbedaan dalam konsumsi (± 60%), kecernaan (± 25%) ataupun konversi hasil
pencernaan menjadi produksi ( ±15%).

Iklim
Iklim merupakan manifestasi dari berbagai unsur, seperti suhu, curah hujan,
kelembaban, gerakan udara, tekanan udara, kondisi cahaya, dan pengionan. Suhu dan
curah hujan merupakan faktor lingkungan yang paling penting (Tafal, 1981).
Indonesia termasuk daerah tropis sehingga tidak banyak dipengaruhi oleh perubahan

14
iklim yang berbeda-beda. Indonesia termasuk dalam wilayah iklim tropis yaitu tipe
iklim di bumi yang daerahnya berada di sekitar equator (Suharsono, 1995). Negara
yang cukup luas ini (± 52.000.000 km2) disertai banyaknya pegunungan dan bukit
yang dipisahkan lembah dan laut mengakibatkan terjadinya perbedaan suhu udara di
daerah-daerah tertentu. Keadaan tersebut menyebabkan Indonesia memiliki kondisi
tanah dan vegetasi yang berbeda-beda dan memiliki daerah-daerah yang beriklim
sangat basah, setengah basah, dan kering. Iklim tropis merupakan tipe iklim dengan
suhu dan kelembabann tinggi sepanjang tahun. Suhu rata-rata tahunan terendah di
daerah beriklim tropis yaitu 18 °C (Suharsono, 1995). Banyak daerah yang memiliki
iklim yang cocok untuk peternakan, baik untuk bangsa-bangsa sapi lokal (tropis)
maupun sapi impor dari luar negeri. Faktor iklim yakni suhu lingkungan yang tinggi
dapat menurunkan feed intake dan sebaliknya akan menaikkan konsumsi air minum.
Bila hal ini terus terjadi, akan mempengaruhi produktivitas yang diukur dari
pertumbuhan dan produksi ususnya serta dapat langsung mempengaruhi reproduksi
dari sapi (Williamson dan Payne, 1993).

Good Breeding Practices (GBP)


Good Breeding Practices (GBP) ditetapkan bagi pembibit, sebagai acuan
dalam melakukan pembibitan sapi potong untuk menghasilkan bibit yang bermutu
baik serta bagi petugas dinas yang menangani fungsi peternakan di daerah, sebagai
pedoman dalam melakukan pembinaan, bimbingan dan pengawasan dalam
pengembangan pembibitan sapi potong (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006).
Tujuan ditetapkannya pedoman GBP yaitu agar dalam pelaksanaan kegiatan
pembibitan sapi potong dapat diperoleh bibit sapi potong yang memenuhi
persyaratan teknis minimal dan persyaratan kesehatan hewan. Ruang lingkup
pedoman pembibitan sapi potong yang baik meliputi empat aspek, yaitu 1) sarana
dan prasarana, 2) proses produksi bibit, 3) pelestarian lingkungan, 4) monitoring,
evaluasi, dan pelaporan (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006).
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha ternak potong, antara
lain penentuan bibit ternak potong yang baik, penyediaan dan pemberian makanan
hijauan yang baik, pembuatan kandang yang memenuhi persyaratan kesehatan,
pemeliharaan yang baik, sistem perkawinan yang baik, dan pengawasan terhadap
penyakit ternak (Direktorat Jenderal Peternakan, 1985).

15
MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu


Kegiatan magang penelitian dilakukan di PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-
Banten. Magang penelitian ini dilakukan pada bulan Juli hingga Agustus 2010.
Pengambilan data di perusahaan dilakukan pada bulan Januari hingga Februari 2011.

Materi dan Alat


Bahan-bahan yang digunakan pada magang penelitian ini yaitu ternak pada
unit breeding, data primer, dan data sekunder. Data primer terdiri atas hasil
pengamatan wawancara, kuisioner, dan lembar evaluasi penerapan Standard
Operational Prosedure. Data sekunder merupakan data periode tahun 2009-2010
yang terdiri atas sejarah perusahaan, struktur organisasi, SOP (penerimaan ternak,
penimbangan awal, perkandangan, manajemen pemberian pakan, pembersihan
kandang, seleksi ternak, recording ternak, pengawinan ternak, penanganan ternak
bunting, penanganan kelahiran, penanganan induk laktasi, penanganan anak,
pengelolaan limbah, penanganan kesehatan penjualan, dan pembelian ternak),
populasi sapi pembibitan, serta jumlah karyawan. Alat- alat yang digunakan pada
penelitian ini yaitu alat tulis, meteran, dan termohigrometer.

Prosedur
Teknik Pengumpulan Data
Data primer didapatkan melalui wawancara, kuisioner, dan lembar
pengamatan ceklist yang berisikan instrumen SOP serta observasi langsung di
lapangan. Kuisioner, wawancara, dan observasi berpedoman pada instrumen GBP
sapi potong. Pengisian kuisioner dilakukan oleh berbagai pihak yang berkompeten
atau ahli dalam perusahaan tersebut. Kuisioner yang telah disebar berjumlah 15
eksemplar. Wawancara dilakukan kepada farm manager, kepala unit, dan supervisor
masing-masing unit. Data sekunder diperoleh dari PT LJP, Serang-Banten.

Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif


dalam magang penelitian ini digunakan untuk menggambarkan keadaan atau kondisi
peternakan sapi di PT LJP, Serang-Banten terutama dalam penerapan GBP sapi
potong serta membandingkan penerapannya dengan pedoman Pembibitan Sapi
Potong yang Baik (Good Breeding Practices) yang dibuat oleh Direktorat Jenderal
Produksi Peternakan.

Peubah yang diamati


1. Evaluasi pelaksanaan Good Breeding Practices
Dilakukan dengan cara mengikuti kegiatan magang di PT Lembu Jantan
Perkasa, Serang-Banten dan terlibat langsung dalam kegiatan tersebut.

2. Calving Interval (CI)


Calving interval (CI) adalah selang waktu dari beranak sampai beranak
berikutnya (jarak beranak).
CI (bulan) : kelahiran ke-i – kelahiran ke (i-1)

3. Service per Conception (S/C)


Service per conception (S/C) adalah jumlah pelayanan IB (jumlah straw)
yang diperlukan untuk menghasilkan kebuntingan seekor sapi.

4. Conception Rate (CR)


Conception rate (CR) adalah jumlah positif bunting dibagi akseptor yang di
IB dkali 100%.

5. Calving Rate (C/R)


Calving rate adalah jumlah kelahiran dibagi jumlah bunting dikali 100%.

17
HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi


PT Lembu Jantan Perkasa (LJP) Serang-Banten didirikan pada tahun 1990
oleh Bapak Djaya Gunawan. Perusahaan ini merupakan perusahaan swasta Nasional
yang bergerak di bidang usaha breeding, fattening, dan trading. Visi perusahaan
adalah meningkatkan kualitas dan modernisasi tata niaga sapi potong, yang bertujuan
untuk menunjang usaha peningkatan gizi masyarakat melalui pemenuhan kebutuhan
ternak sapi potong dalam lingkup regional dan nasional. Perusahaan ini memiliki
kantor pusat yang terletak di Jalan Tarum Barat E11-12 No. 8, Jakarta Timur.
Perusahaan terdaftar sebagai anggota Apfindo (Asosiasi Produsen Daging dan
Feedlot Indonesia) dengan nomor registrasi 015/APFINDO/1995 tanggal 29 Agustus
1995 dan fokus pada usaha di bidang perdagangan, impor, dan penggemukan sapi
potong.
PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten, terletak di Jalan Raya Serang-
Pandeglang km. 9,6 Desa Sindang Sari, Kecamatan Pabuaran, Serang-Banten.
Perusahaan ini terletak sekitar 200 m dari jalan raya dan memiliki topografi yang
landai dan datar dengan ketinggian 200 m di atas permukaan laut. Rataan suhu di
sekitar lokasi perusahaan adalah 28 ºC dengan kisaran 24,5 – 31 ºC dan rataan
kelembaban udara 72% dengan kisaran 54 - 90%. Curah hujan di daerah ini sebesar
1500-3000 mm per tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata 141 hari per tahun.
Perusahaan ini sebelah Utara berbatasan dengan Kampung Rancang Lutung dan
Kampung Baruan, sebelah Selatan berbatasan dengan Kampung Tanjung dan
persawahan, sebelah Barat berbatasan dengan kebun masyarakat Desa Sindangsari,
dan sebelah Timur berbatasan dengan Kampung Tonggoh.
PT LJP merupakan salah satu perusahaan penggemukan sapi terbaik di
Indonesia dan didukung tenaga peternak berpengalaman sejak 1973, walaupun bukan
yang terbesar. PT Lembu Jantan Perkasa mengantisipasi penurunan populasi sapi
potong dan peningkatan kebutuhan dengan cara mulai merintis usaha pembibitan
sapi potong (breeding) secara intensif di Serang pada tahun 2004. Keadaan ini
menjadikan perusahaan ini sebagai perusahaan pertama di Indonesia yang bergerak
di bidang pembibitan sapi potong secara intensif. Usaha ini diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan daerah-daerah akan sapi bibit pilihan dan berkualitas. PT
Lembu Jantan Perkasa memiliki beberapa cabang perusahaan yaitu di Serang-
Banten, Cikalong-Bandung, Langkat-Medan, dan Sawah Lunto-Padang. Populasi
ternak sapi per-Juli 2010 di perusahaan ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Populasi Ternak Sapi di PT Lembu Jantan Perkasa Serang Banten per-Juli
2010

Kelas ternak Status Ternak Jumlah Sapi (ekor)

Heifer Calon bibit 42


IB 76
Bunting 421
Cow Laktasi 137
Kering 29
IB 117
Bunting 89
Calves Jantan 98
Betina 64
Weaners Jantan 110
Betina 248
Foster mother - 4

Jumlah 1435

Sumber : LJP (2010)

Fasilitas yang terdapat di PT LJP Serang-Banten adalah kantor, loading


chute, cattle yard, gang way, crush (kandang jepit), kandang pemeliharaan, kandang
isolasi, hospital pen, mess manager dan karyawan, pos satpam, gudang alat,
mushola, gudang pakan, dan unit penanganan limbah. Loading chute digunakan
untuk menurunkan dan menaikkan sapi dari atau ke truk dengan tinggi loading chute
sekitar 1,15 m. Cattle yard merupakan tempat penanganan ternak sementara seperti
bongkar muat sapi, penimbangan, pemasangan ear tag, pengobatan, pemeriksaan
kebuntingan (PKB), pemeriksaan alat reproduksi (PAR), seleksi sapi, inseminasi
buatan (IB), dan penyapihan. Gang way merupakan lorong tempat sapi berjalan dari
cattle yard menuju ke kandang ataupun sebaliknya. Kandang di PT LJP Serang-
Banten terdiri atas 2 jenis, yaitu kandang tertutup dan kandang terbuka.

19
Stuktur Organisasi
Struktur organisasi sangat dibutuhkan dalam menunjang operasional suatu
usaha. PT LJP Serang-Banten yang memiliki struktur kerja yang jelas dengan
didukung oleh staf dan karyawan dalam melaksanakan berbagai aktifitas hariannya.
Struktur organisasi di PT LJP dapat dilihat pada Gambar 1.

Bangsa Sapi yang Dipelihara


Spesies sapi yang dipelihara di PT LJP Serang-Banten yaitu Brahman Cross
(BX). Sapi ini mempunyai keistimewaan karena tahan terhadap suhu panas dan
gigitan caplak, mampu beradaptasi terhadap makanan jelek serta mempunyai
kecepatan pertumbuhan yang tinggi. Sapi BX mempunyai proporsi 50% darah
Brahman, 25% darah Hereford dan 25% darah Shorthorn. Secara fisik bentuk fenotif
sapi BX lebih cenderung mirip sapi American Brahman karena proporsi darahnya
yang lebih dominan, seperti punuk dan gelambir masih jelas, bentuk kepala dan
telinga besar menggantung, sedangkan pola warna kulit sangat bervariasi mewarisi
tetuanya (Turner, 1977).

20
Direksi

General Marketing Administrasi Head Office

General Manager

Farm manager Administrasi Farm

Unit Unit Feedmill Bagian Umum Unit Fattening Unit Manager


Unit Limbah Breeding Cikalong
MmMekanik
Hijauan
Keamanan Staf Makanan Staf
Ternak

Supervisor Kesehatan Hewan Supervisor Kesehatan Hewan

HHewan Hewan
Kandang Breeding Kandang Fattening

Gambar 1. Bagan Struktur Organisasi PT Lembu Jantan Perkasa (Sumber : LJP, 2010)
21

ktur Organisasi PT Lembu Jantan Perkasa (Sumber : Arsip PT Lembu Jantan) 21

[Type a quote from the document or the summary of an interesting point. You can position the text box anywhere in the document.

Use the Text Box Tools tab to change the formatting of the pull quote text box.]
Evaluasi Penerapan Pembibitan Sapi Potong yang Baik
(Good Breeding Practices)

PT Lembu Jantan Perkasa merupakan salah satu perusahaan swasta Nasional


yang telah merintis usaha pembibitan sapi potong sejak tahun 2004 hingga sekarang.
Usaha pembibitan ternak bukan merupakan usaha yang mudah untuk dijalankan,
dalam kegiatannya diperlukan suatu pedoman berupa Good Breeding Practices.
Direktorat Jenderal Produksi Peternakan (2006) menetapkan GBP bagi pembibit
sebagai acuan dalam melakukan pembibitan sapi potong untuk menghasilkan bibit
yang bermutu baik serta bagi petugas dinas yang menangani fungsi peternakan di
daerah dan sebagai pedoman dalam melakukan pembinaan, bimbingan dan
pengawasan dalam pengembangan pembibitan sapi potong. Tujuan ditetapkannya
pedoman GBP yaitu agar dalam pelaksanaan kegiatan pembibitan sapi potong dapat
diperoleh bibit sapi potong yang memenuhi persyaratan teknis minimal dan
persyaratan kesehatan hewan. Ruang lingkup pedoman pembibitan sapi potong yang
baik meliputi empat aspek yaitu 1) sarana dan prasarana, 2) proses produksi bibit, 3)
pelestarian lingkungan, 4) monitoring, evaluasi dan pelaporan (Direktorat Jenderal
Produksi Peternakan, 2006). Evaluasi terhadap penerapan GBP pada PT LJP dapat
dilihat pada Tabel 2 sampai 5.

22
Tabel 2. Hasil Penerapan Good Breeding Practices Aspek Sarana dan Prasarana di PT Lembu Jantan Perkasa

No. Aspek Kondisi Seharusnya Kondisi Di lapangan Kesesuaian/koreksi


1. Lokasi Tidak bertentangan dengan Rencana Sesuai dengan Rencana Umum Tata
Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Ruang (RUTR) dan Rencana Detail
Detail Tata Ruang Daerah (RDTRD) Tata Ruang Daerah (RDTRD) dengan
adanya izin pendirian bangunan
Mempunyai potensi sebagai sumber bibit Dibangun di wilayah Jawa yang
sapi potong serta dapat ditetapkan berpotensi untuk pengembangan usaha
sebagai wilayah sumber bibit ternak ternak sapi
Terkonsentrasi dalam satu kawasan atau Perusahaan ini melakukan kegiatan
satu Village Breeding Center (VBC) atau usaha pembibitan, penggemukan, dan
satu unit pembibitan ternak pemasaran ternak.
Tidak mengganggu ketertiban dan Jarak perusahaan dengan jalan raya ±
kepentingan umum setempat 200 m
Memperhatikan lingkungan dan topografi Memiliki topografi yang landai dan datar
sehingga kotoran dan limbah yang dengan ketinggian 200 m dpl
dihasilkan tidak mencemari lingkungan
Jarak antara usaha pembibitan sapi Jarak antara usaha pembibitan sapi
potong dengan usaha pembibitan unggas potong dengan usaha pembibitan unggas
minimal 1.000 meter yaitu 2.000 meter
2. Lahan Bebas dari jasad renik patogen yang Bukan merupakan daerah endemic
membahayakan ternak dan manusia penyakit antrax
Sesuai dengan peruntukannya menurut Izin pendirian bangunan dari pemerintah
Kabupaten Serang dengan No.
24

23
perundang–undangan yang berlaku. 03.647/0423.07/2008
3. Sumber Air Air yang digunakan tersedia sepanjang Air selalu tersedia
tahun dalam jumlah yang mencukupi
Sumber air mudah dicapai atau mudah Sumber air berasal dari sumur bor dan
disediakan sumur summermersible yang ada di
dalam wilayah peternakan
Penggunaan sumber air tanah tidak Selama ini tidak terdapat keluhan
mengganggu ketersediaan air bagi masyarakat mengenai penggunaan air,
masyarakat kedalaman sumur summermersible
mencapai ± 100 m
4. Bangunan dan Bangunan: Telah memiliki unit penanganan limbah, Sebaiknya dibuat tempat
Peralatan - kandang pemeliharaan; namun limbah belum dikelola secara penampungan limbah
maksimal dikarenakan hanya ditumpuk yang berada di belakang
- kandang isolasi; pada areal terbuka dan dikarungkan kandang, agar lebih
- gudang pakan dan peralatan; terlihat bersih dan tidak
- unit penampungan dan pengolahan tampak secara langsung
limbah. oleh pengunjung atau
dengan cara perbaikan
tempat penampungan
limbah yang ada
Peralatan:
- tempat pakan dan tempat minum; - Tempat pakan dan minum terbuat
- alat pemotong dan pengangkut rumput; dari semen dan terdapat pada tiap
kandang
- alat pembersih kandang dan pembuatan - Alat pemotong rumput berupa
kompos; chooper, alat pengangkut rumput

24
- peralatan kesehatan hewan. yaitu mobil bak terbuka dan truk
- Tersedia alat pembersih kandang,
alas kandang menggunakan sistem
beding
- Perlatan kesehan hewan tersedia di
unit kesehatan hewan
Persyaratan teknis kandang:
- konstruksi harus kuat; - Konstruksi kuat terbuat dari beton dan
- terbuat dari bahan yang ekonomis dan besi
mudah diperoleh; - Bahan yang digunakan ekonomis dan
- sirkulasi udara dan sinar matahari mudah didapat
cukup;
- drainase dan saluran pembuangan - Sirkulasi udara berjalan lancar, sinar
limbah baik, serta mudah dibersihkan; matahari tidak langsung mengenai ternak
- lantai rata, tidak licin, tidak kasar, - Alas kandang berupa serbuk gergaji
mudah kering dan tahan injak; sehingga limbah yang dihasilkan berupa
- luas kandang memenuhi persyaratan limbah padat
daya tampung; - Lantai terbuat dari paving block dan
- kandang isolasi dibuat terpisah. semen dengan kemiringan 5º
- Daya tampung cukup, jumlah sapi tiap
pen 40 - 50 ekor dengan luasan sekitar 3
m2/ekor
- kandang isolasi terletak lebih landai
dibandingkan kandang pemeliharaan
Letak kandang memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
- mudah diakses terhadap transportasi; - Kandang mudah diakses terutama

25
- tempat kering dan tidak tergenang alat transportasi pengangkut pakan
saat hujan; - Areal kandang telah menggunakan
- dekat sumber air; paping blok sehingga terhindar dari
- cukup sinar matahari, kandang genangan saat hujan
tunggal menghadap timur, kandang - Setiap kandang memiliki tempat
ganda membujur utara-selatan; penampungan air
- tidak mengganggu lingkungan hidup; - Kandang membujur dari utara ke
- memenuhi persyaratan higiene dan selatan
sanitasi.

5. Bibit Bibit sapi potong diklasifikasikan Hanya terdapat bibit induk dan bibit
menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu: sebar
a. bibit dasar (elite/foundation stock)
b. bibit induk (breeding stock)
c. bibit sebar (commercial stock),
Persyaratan umum: Sapi bibit memiliki catatan kesehatan
i. sapi bibit harus sehat dan bebas dari yang lengkap dan dijual dalam keadaan
segala cacat fisik seperti cacat mata sehat.
(kebutaan), tanduk patah, pincang,
lumpuh, kaki dan kuku abnormal, serta Diterapkan sistem afkir / culling bagi
tidak terdapat kelainan tulang punggung bibit betina yang memiliki kualitas
atau cacat tubuh lainnya; reproduksi rendah
ii. semua sapi bibit betina harus bebas
dari cacat alat reproduksi, abnormal
ambing serta tidak menunjukkan gejala
kemandulan;
iii. sapi bibit jantan harus siap sebagai
pejantan serta tidak menderita cacat pada

26
alat kelaminnya.
6. Pakan Setiap usaha pembibitan sapi potong Pakan berupa hijauan dan konsentrat
harus menyediakan pakan yang cukup yang diproduksi sendiri oleh perusahaan
bagi ternaknya, baik yang berasal dari
pakan hijauan, maupun pakan konsentrat.
Pakan hijauan dapat berasal dari rumput, Pakan hijauan yaitu rumput Taiwan dan
leguminosa, sisa hasil pertanian dan jerami
dedaunan yang mempunyai kadar serat
yang relatif tinggi dan kadar energi
rendah.
Pakan konsentrat yaitu pakan dengan Pakan konsentrat diproduksi sendiri dan
kadar serat rendah dan kadar energi setiap status ternak berbeda-beda jenis
tinggi, tidak terkontaminasi mikroba, pakan konsentratnya.
penyakit, stimulan pertumbuhan,
hormon, bahan kimia, obat-obatan,
mycotoxin melebihi tingkat yang dapat
diterima oleh negara pengimpor.
Air minum disediakan ad libitum. Air minum disediakan ad libitum.
7. Obat hewan Obat hewan yang digunakan meliputi Obat hewan yang digunakan yaitu
sediaan biologik, farmasetik, premik dan sediaan biologik, farmasetik, premik dan
obat alami. obat alami.
Obat hewan yang dipergunakan seperti Setiap obat memiliki nomor pendaftaran
bahan kimia dan bahan biologik harus tersendiri.
memiliki nomor pendaftaran.
Untuk sediaan obat alami tidak
dipersyaratkan memiliki nomor

27
pendaftaran.
Penggunaan obat keras harus di bawah Penggunaan obat keras di bawah
pengawasan dokter hewan sesuai pengawasan tim kesehatan hewan
ketentuan peraturan perundang-udangan (Keswan) yaitu dokter hewan dan kepala
yang berlaku di bidang obat hewan. unit Keswan
8. Tenaga Kerja Sehat jasmani dan rohani Sehat jasmani dan rohani
Tidak memiliki luka terbuka Tidak memiliki luka terbuka
Jumlah tenaga kerja sesuai kebutuhan Satu orang mengawasi ± 100 ekor ternak
pada pembibitan sapi potong dengan dikarenakan efisiensi tenaga kerja
sistem intensif, setiap satu orang/hari
kerja, untuk 5 satuan ternak (ST)
Telah mendapat pelatihan teknis Ada sistem training khusus para
pembibitan sapi potong. karyawan baru

28
Tabel 3. Hasil Evaluasi Penerapan Aspek Proses Produksi Bibit di PT Lembu Jantan Perkasa

No. Aspek Kondisi Seharusnya Kondisi dilapangan Kesesuaian/koreksi


1. Pemeliharaan Dalam pembibitan sapi potong, Pemeliharaan ternak dilakukan dengan
pemeliharaan ternak dapat dilakukan sistem intensif
dengan sistem pastura (penggembalaan),
sistem semi intensif, dan sistem intensif.
2. Produksi Berdasarkan tujuan produksinya, Pembibitan sapi potong yang dilakukan
pembibitan sapi potong dikelompokkan yaitu pembibitan sapi potong persilangan.
ke dalam pembibitan sapi potong
bangsa/rumpun murni dan pembibitan
sapi potong persilangan.
3. Seleksi Bibit Sapi Induk Seleksi bibit induk dilakukan dengan cara
a. sapi induk harus dapat menghasilkan pemeriksaan alat reproduksi (PAR) dengan
anak secara teratur; kriteria kondisi tubuh dan saluran
reproduksi baik, serta bobot badan ≤ 350
b. anak jantan maupun betina tidak cacat kg.
dan mempunyai rasio bobot sapih umur
205 hari (weaning weight ratio) di atas
rata-rata.
Calon Pejantan Tidak dipelihara untuk pembibitan sebab
a. bobot sapih terkoreksi terhadap umur menggunakan perkawinan dengan sistem
205 hari umur induk dan musim Inseminasi Buatan (IB).
kelahiran, di atas rata-rata;
b. bobot badan umur 365 hari di atas rata-
rata;
c. pertambahan bobot badan antara umur

29
1-1,5 tahun di atas rata-rata;
d. bobot badan umur 2 tahun di atas rata-
rata;
e. libido dan kualitas spermanya baik;
f. penampilan fenotipe sesuai dengan
rumpunnya.
Calon induk Seleksi berdasarkan berat badan minimal
a. bobot sapih terkoreksi terhadap umur 270 kg dan kondisi tubuh serta saluran
205 hari umur induk dan musim reproduksi.
kelahiran, di atas rata-rata;
b. bobot badan umur 365 hari di atas rata-
rata;
c. penampilan fenotipe sesuai dengan
rumpunnya.
4. Perkawinan Dalam upaya memperoleh bibit yang Teknik perkawinan dilakukan dengan
berkualitas melalui teknik perkawinan Inseminasi Buatan (IB).
dapat dilakukan dengan cara kawin alam
dan Inseminasi Buatan (IB).
5. Ternak Calon bibit betina dipilih 25% terbaik Dikarenakan orientasi perusahaan ini untuk Lebih mempertimbang-
Pengganti untuk replacement, 10% untuk bisnis, sehingga sistem ini sangat minim kan kembali mengenai
(Replacement pengembangan populasi kawasan, 60% diterapkan masalah replacement
Stock ) dijual ke luar kawasan sebagai bibit dan stock ini.
5% dijual sebagai ternak afkir (culling)
Calon bibit jantan dipilih 10% terbaik Semua jantan dijual atau dijadikan bakalan
pada umur sapih dan bersama calon bibit penggemukan

30
betina 25% terbaik untuk dimasukkan
pada uji performan.
6. Afkir (Culling) Sapi betina yang tidak memenuhi Kriteria ternak afkir yaitu yang kelebihan
persyaratan sebagai bibit (10%) berat dan kualitas saluran reproduksi jelek.
dikeluarkan sebagai ternak afkir (culling).
Sapi induk yang tidak produktif segera
dikeluarkan
7. Pencatatan Pencatatan (recording) tersebut meliputi: Pencatatan yang ada yaitu pencatatan
(Recording) 1. Rumpun; perkawinan (tanggal, pejantan, IB/ kawin
alam), kelahiran (tanggal, bobot lahir),
2. Silsilah; penyapihan (tanggal, bobot badan),
3. Perkawinan (tanggal, pejantan, IB/ beranak kembali (tanggal, paritas), pakan
kawin alam); (jenis, konsumsi), vaksinasi, pengobatan
4. Kelahiran (tanggal, bobot lahir); (tanggal, perlakuan) dan mutasi
5. Penyapihan (tanggal, bobot badan);
6. Beranak kembali (tanggal, paritas);
7. Pakan (jenis, konsumsi);
8.Vaksinasi, pengobatan (tanggal,
perlakuan / treatment);
9. Mutasi (pemasukan dan pengeluaran
ternak)
8. Persilangan Komposisi darah sapi persilangan Persilangan diterapkan berdasarkan
sebaiknya dijaga komposisi darah kondisi induk dan diterapkan tiap satu
sapi temperatenya tidak lebih dari 50% siklus laktasi

Prinsip-prinsip seleksi dan culling sama Diterapkan prinsip-prinsip seleksi dan

31
dengan pada rumpun murni. culling
9. Sertifikasi Sertifikat induk elite untuk sapi induk Sertifikat diberikan oleh Dinas Kabupaten
yang telah terseleksi dan memenuhi dan Direktorat Jendral Peternakan
standar.
10. Kesehatan 1. Situasi penyakit Pembibitan sapi potong terletak di daerah
Hewan Pembibitan sapi potong harus terletak di yang bebas endemik penyakit zoonosis
daerah yang tidak terdapat gejala klinis
atau bukti lain tentang penyakit mulut
dan kuku (Foot and Mouth Disease),
ingus jahat (Malignant Catarhal Fever),
Bovine Ephemeral Fever, lidah biru
(Blue Tongue), radang limpa (Ánthrax),
dan kluron menular (Brucellosis).
a. Pencegahan/Vaksinasi Vaksin dilakukan saat ternak datang, saat 6
b. pembibitan sapi potong harus bulan setelah datang, dan pada induk
melakukan vaksinasi dan setelah weaning.
pengujian/tes laboratorium ter- Pemberian vaksin diawasi oleh tim
hadap penyakit tertentu yang Keswan.
ditetapkan oleh instansi yang
berwenang
c. mencatat setiap pelaksanaan
vaksinasi dan jenis vaksin yang
dipakai dalam kartu kesehatan
ternak
d. melaporkan kepada Dinas yang
membidangi fungsi peternakan
dan kesehatan hewan setempat

32
(instansi yang berwenang) setiap
timbulnya kasus penyakit
terutama yang diduga/dianggap
penyakit menular;
e. penggunaan obat harus sesuai
dengan ketentuan dan diper-
hitungkan secara ekonomis;
e. pemotongan kuku dilakukan minimal 3 Tidak dilakukan pemotongan kuku, sebab
bulan sekali; kebersihan kandang dijaga dan meng-
gunakan alas kandang berupa saw dust.
f. dilakukan tindakan Biosecurity lokasi mudah dimasuki hewan peliharaan pengawasan lebih di-
terhadap keluar masuknya ternak. lainnya sebab berdekatan dengan tingkatkan agar tidak
masyarakat, namun hanya mampu masuk terjadi penularan pe-
hingga wilayah kebun rumput. nyakit dari luar peternak-
1). Lokasi usaha tidak mudah dimasuki an, seperti penambahan
binatang liar serta bebas dari hewan alokasi tenaga kerja
peliharaan lainnya yang dapat untuk mengawasi areal
menularkan penyakit yang berdekatan lang-
sung dengan masyarakat.
2). Melakukan desinfeksi kandang dan Diterapkan pemakaian insektisida tabur
peralatan dengan menyemprotkan dan cair.
insektisida pembasmi serangga, lalat dan
hama lainnya
3). Untuk mencegah terjadinya penularan Terdapat pembagian tugas untuk para
penyakit dari satu kelompok ternak ke karyawan.
kelompok ternak lainnya, pekerja yang
melayani ternak yang sakit tidak

33
diperkenankan melayani ternak yang
sehat
4). Menjaga agar tidak setiap orang dapat Terdapat unit keamanan yang memantau
bebas keluar masuk kandang ternak yang setiap orang yang keluar masuk peternakan
memungkinkan terjadinya penularan
penyakit
5). Membakar atau mengubur bangkai Ternak mati segera dikuburkan setelah
kerbau yang mati karena penyakit diperiksa penyebab kematiaannya
menular
6). Menyediakan fasilitas desinfeksi Tidak tersedia lebih baik terdapat
untuk staf/karyawan dan kendaraan tamu fasilitas desinfeksi ini
di pintu masuk perusahaan; agar dapat menghindari
kemungkinan penyakit
dari luar peternakan
7). Segera mengeluarkan ternak yang Ternak mati segera dikuburkan setelah
mati dari kandang untuk dikubur atau diperiksa penyebab kematiaannya
dimusnahkan oleh petugas yang
berwenang
8). Mengeluarkan ternak yang sakit dari Terdapat kandang khusus ternak sakit
kandang untuk segera diobati atau (hospital pen)
dipotong oleh petugas yang berwenang

34
Tabel 4. Hasil Penerapan Good Breeding Practices Aspek Pelestarian Lingkungan di PT Lembu Jantan Perkasa

No. Aspek Kondisi Seharusnya Kondisi dilapangan Kesesuaian/koreksi


1. Menyusun a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun Sesuai dengan persyaratan
rencana pen- 1997 tentang Ketentuan-Ketentuan
cegahan dan Pokok Pengelolaan Lingkungan
penanggula- Hidup
ngan pen-
cemaran b. Peraturan Pemerintah Nomor 27
lingkungan Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL);
c. Peraturan Pelaksanaan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL).
2. Melakukan a. mencegah terjadinya erosi dan Terdapat penanaman tanaman di areal
upaya membantu pelaksanaan penghijauan peternakan.
pencegahan di areal peternakan
pencemaran
lingkungan b. mencegah terjadinya polusi dan Belum terdapat keluhan masyarakat,
gangguan lain seperti bau busuk, pencegahan dilakukan dengan penaburan
serangga, pencemaran air sungai dan insektisida dan penanganan limbah
lain-lain padat.
c. membuat dan mengoperasionalkan Saat ini permintaan limbah sudah ada
unit pengolahan limbah peternakan meskipun hanya dikarungkan
(padat, cair, gas) sesuai kapasitas
produksi limbah yang dihasilkan.

35
Tabel 5. Hasil Penerapan Good Breeding Practices Aspek Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan di PT Lembu Jantan Perkasa

No. Aspek Kondisi Seharusnya Kondisi dilapangan Kesesuaian/koreksi


1. Monitoring 1. Monitoring dan evaluasi kualitas Monitoring dilakukan setiap bulan oleh
dan Evaluasi bibit dilakukan secara berkala tim Dinas Peternakan Kabupaten dan
dengan sampling acak minimal Propinsi.
sekali setahun.
2. Monitoring dan evaluasi dilakukan
dengan pengumpulan data performa
tubuh, produksi, reproduksi dan
kesehatan sapi bibit.
2. Pelaporan Pejabat fungsional pengawas bibit ternak Pelaporan ke pemeritah dilakukan setiap
atau petugas yang ditunjuk pada dinas 1 tahun sekali
yang membidangi fungsi peternakan dan
kesehatan hewan kabupaten/kota wajib
membuat laporan tertulis secara berkala
setiap 6 (enam) bulan sekali dan laporan
tahunan kepada Kepala Dinas yang
membidangi fungsi peternakan dan
kesehatan hewan kabupaten/kota.
Di samping laporan tersebut di atas, Laporan internal terdiri atas :
setiap pelaku usaha pembibitan sapi
potong wajib membuat laporan teknis - laporan bulanan
dan administratif secara berkala untuk - laporan per semester
kepentingan internal, sehingga apabila - laporan tahunan
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
dapat diadakan perbaikan secepatnya

36
Kuisioner yang telah diberikan pada pihak PT LJP Serang-Banten menunjukkan
bahwa secara keseluruhan, perusahaan ini telah mampu menerapkan GBP dengan
baik dalam menjalankan usahanya. Beberapa hal masih perlu diperbaiki lagi.

Sarana dan Prasarana


Aspek sarana terdiri atas lokasi, lahan, sumber air, bangunan dan peralatan,
bibit, pakan, obat hewan, dan tenaga kerja. Lokasi usaha ini tidak bertentangan
dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Detail Tata Ruang Daerah
(RDTRD) serta mempunyai potensi sebagai sumber bibit sapi potong dan dapat
ditetapkan sebagai wilayah sumber bibit ternak. Letak perusahaan dengan jalan raya
berjarak ± 200 m sehingga tidak mengganggu ketertiban dan kepentingan umum
setempat. Topografi yang landai dan datar dengan ketinggian 200 m dpl membuat
kotoran dan limbah yang dihasilkan tidak mencemari lingkungan. Persyaratan jarak
minimal dengan usaha pembibitan unggas yaitu 1000 m dan usaha pembibitan sapi
potong ini berjarak 2.000 m dengan usaha pembibitan unggas. Kegiatan usaha yang
dilakukan oleh perusahaan ini yaitu pembibitan, penggemukan, dan pemasaran
ternak.
PT Lembu Jantan Perkasa memiliki lahan seluas kurang lebih 26 ha. Lahan
tersebut digunakan untuk membangun kantor, kandang, mess manager dan
karyawan, pos satpam, gudang alat, mushola, gudang pakan, dan unit penanganan
limbah. Keseluruhan aspek lahan berdasarkan GBP telah dipenuhi oleh perusahaan
ini, yaitu bebas dari jasad renik patogen yang membahayakan ternak dan manusia
dikarenakan bukan merupakan daerah endemik penyakit Antrax dan sesuai dengan
peruntukannya menurut perundang–undangan yang berlaku. Hal ini dibuktikan
dengan adanya perizinan pendirian bangunan dari pemerintah Kabupaten Serang
dengan No. 03.647/0423.07/2008. Sumber air yang digunakan selalu tersedia
sepanjang tahun dalam jumlah yang mencukupi serta mudah dicapai atau mudah
disediakan. Sumber air berasal dari sumur bor dan sumur summersible yang ada di
dalam wilayah peternakan. Air tersebut ditampung dalam tower air yang berkapasitas
8000 liter dengan debit air 4000 liter per jam. Jumlah tower yang dimiliki perusahaan
yaitu sebanyak 14 buah. Air dialirkan melalui pipa ke seluruh kandang untuk
membersihkan kandang dan air minum sapi, sedangkan air yang dialirkan ke kantor
dan mess digunakan untuk kebutuhan karyawan sehari-hari seperti mandi, mencuci,

37
dan lainnya. Selama ini tidak terdapat keluhan masyarakat mengenai penggunaan air
sehingga mengindikasikan bahwa penggunaan sumber air tanah tidak mengganggu
ketersediaan air bagi masyarakat. Berikut gambaran sarana yang ada pada
perusahaan ini dapat dilihat pada Gambar 2.

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 2. Sarana: (a) Kantor, (b) Mess Karyawan, (c) Mushola, dan (d) Unit
Kesehatan Hewan
Office International des Epizooties (2006) menjelaskan bahwa bangunan dan
fasilitas peternakan harus dikontrol agar tidak membahayakan ternak karena di
dalamnya dapat merupakan sumber penyebab kontaminasi bagi ternak seperti
mikroba patogen, bahan kimia dan fisik yang dapat membahayakan tenak secara

38
langsung dan tidak langsung. Prasarana yang ada pada perusahaan ini dapat dilihat
pada Gambar 3.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 3. Prasarana: (a) Kandang Pemeliharaan, (b) Kandang Isolasi, (c) Gudang
Pakan, dan (d) Unit Penanganan Limbah
Aspek bangunan dan peralatan yang harus dimiliki dalam usaha pembibitan
sapi potong yaitu kandang pemeliharaan, kandang isolasi, gudang pakan dan
peralatan, serta unit penampungan dan pengolahan limbah. Kandang isolasi
merupakan area yang terpisah diperlukan untuk mengisolasi ternak dan untuk
perawatan ternak. Area ini harus dibuat agar nyaman bagi ternak dan memiliki suplai
obat-obatan serta memiliki penerangan yang cukup. Area perawatan ini biasanya
dibuat dekat dengan kandang khusus untuk melahirkan dan untuk mengisolasi ternak

39
yang sakit. Hal ini dilakukan untuk efisiensi pekerja dan sering disebut dengan
kandang untuk kebutuhan khusus (Palmer, 2005). Perusahaan ini telah memiliki
unit penanganan limbah, namun limbah belum dikelola secara maksimal dan hanya
ditumpuk pada areal terbuka dan dikarungkan. Sebaiknya dibuat tempat
penampungan limbah yang berada di belakang kandang, agar lebih terlihat bersih dan
tidak tampak secara langsung oleh pengunjung atau dengan cara pembuatan tanggul
pembatas pembuangan limbah pada unit yang telah ada. Peralatan penunjang yang
harus dimiliki dan telah ada pada perusahaan yaitu tempat pakan dan tempat minum,
alat pemotong dan pengangkut rumput, alat pembersih kandang, dan peralatan
kesehatan hewan. Perusahaan tidak memiliki peralatan pengomposan dikarenakan
menggunakan sistem beding yaitu penggunaan alas kandang dari sawdust atau
serbuk gergaji.
Ensminger dan Taylor (2006) menyatakan bahwa bangunan peternakan harus
dirancang untuk memfasilitasi kenyamanan, kesehatan dan produktifitas ternak.
Ventilasi yang baik, tersedianya pakan dan air dengan kualitas yang baik, penerangan
dan kenyamanan ternak harus diperhatikan untuk meningkatkan performa ternak.
Kandang bagi ternak sapi potong merupakan sarana yang mutlak harus ada. Kandang
merupakan tempat berlindung ternak dari hujan, terik matahari, pengamanan ternak
terhadap binatang buas, pencuri, dan kandang juga merupakan salah satu sarana
untuk menjaga kesehatan (Direktorat Jenderal Peternakan, 1985). Persyaratan teknis
kandang diantaranya yang telah terpenuhi oleh perusahaan yaitu konstruksi yang
kuat terbuat dari beton dan besi, bahan yang digunakan ekonomis dan mudah
didapat, sirkulasi udara berjalan lancar, sinar matahari tidak langsung mengenai
ternak, drainase dan saluran pembuangan limbah baik, serta mudah dibersihkan,
lantai rata, tidak licin, tidak kasar, mudah kering dan tahan injak, alas kandang
berupa serbuk gergaji, lantai terbuat dari paving block dan semen dengan kemiringan
5º, daya tampung kandang mencukupi dengan luasan sekitar 3 m2/ekor dan jumlah
sapi tiap pen 40 - 50 ekor, kandang isolasi terletak lebih landai dibandingkan
kandang pemeliharaan. Letak kandang memenuhi persyaratan karena mudah diakses
terhadap transportasi, tempat kering dan tidak tergenang saat hujan, dekat sumber air,
cukup sinar matahari, kandang tunggal menghadap timur, kandang ganda membujur

40
utara-selatan, tidak mengganggu lingkungan hidup, dan memenuhi persyaratan
hygiene dan sanitasi.
Bibit sapi potong diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu bibit
dasar (elite/foundation stock), bibit induk (breeding stock), dan bibit sebar
(commercial stock). PT Lembu Jantan Perkasa hanya memiliki bibit induk dan bibit
sebar saja. Persyaratan umum bibit sapi potong menurut GBP telah terpenuhi oleh
perusahaan sebab sapi-sapi bibit memiliki catatan kesehatan yang lengkap dan dijual
dalam keadaan sehat serta perusahaan menerapkan sistem afkir (culling) pada bagi
bibit betina yang memiliki kualitas reproduksi rendah.
Pakan ternak sapi potong merupakan salah satu unsur yang sangat penting
untuk menunjang kesehatan, pertumbuhan, dan reproduksi ternak. Bahan pakan
ternak dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu hijauan dan konsentrat. Setiap
usaha pembibitan sapi potong harus menyediakan pakan yang cukup bagi ternaknya,
baik yang berasal dari pakan hijauan, maupun pakan konsentrat. Perusahaan telah
memiliki kebun rumput dan dua unit gudang pengolahan pakan. Hijauan ditandai
dengan jumlah serat kasar yang relatif banyak yaitu lebih dari 18% daripada berat
keringnya, sedangkan konsentrat mengandung serat kasar lebih sedikit yaitu kurang
dari 18% daripada hijauan dan mengandung karbohidrat, protein, dan lemak yang
relatif banyak namun jumlahnya bervariasi dengan jumlah air yang relatif sedikit
(Williamson dan Payne, 1993). Pakan hijauan dapat berasal dari rumput, leguminosa,
sisa hasil pertanian dan dedaunan yang mempunyai kadar serat yang relatif tinggi
dan kadar energi rendah.
Pakan hijauan yang digunakan yaitu rumput Taiwan dan jerami. Rumput
Taiwan digunakan karena produksinya yang tinggi, mampu menyimpan air saat
musim kemarau, dan batang tidak terlalu cepat tua. Jerami termasuk salah satu
hijauan yang sering digunakan pada ternak. Namun, hijauan ini umumnya memiliki
nilai nutrisi yang rendah (Williamson dan Payne, 1993). Jerami padi memiliki
palatabitas yang cukup baik, tetapi apabila diberikan terlalu banyak dalam pakan sapi
akan menyebabkan kebutuhan hidup pokoknya tidak terpenuhi karena kandungan
nutriennya rendah (Panjono et al., 2000). Produksi hijauan yang ada telah mampu
mencukupi kebutuhan ternak di perusahaan ini. Produksi rumput pada tahun 2009
sebesar 1500 ton dan mencapai 1220 ton pada pertengahan tahun 2010.

41
Pakan konsentrat yaitu pakan dengan kadar serat rendah dan kadar energi
tinggi, tidak terkontaminasi mikroba, penyakit, stimulan pertumbuhan, hormon,
bahan kimia, obat-obatan, mycotoxin melebihi tingkat yang dapat diterima oleh
negara pengimpor. Pakan konsentrat diproduksi sendiri oleh perusahaan dan setiap
status ternak berbeda-beda jenis pakan konsentratnya. Kode konsentrat diantaranya
yaitu “weaner” untuk pedet, “R-Brd New” untuk calon bibit dan induk bunting, “R1
G048” untuk laktasi. Bahan-bahan pakan yang digunakan pada pembuatan
konsentrat “weaner “ diantaranya yaitu polard, kopra, bungkil kedelai, molases,
onggok, dan premix. Bahan-bahan pakan yang digunakan pada pembuatan konsentrat
“R-Brd New” dan “R1 G048” sama, namun berbeda pada komposisinya. Bahan
tersebut diantaranya yaitu polard, kopra, bungkil sawit, molases, onggok, gaplek,
kulit kopi, dan premix. Perusahaan membuat label pada setiap pakan komersial yang
dibuatnya meliputi kode pakan dan tanggal pembuatan. Pakan yang dicampur atau
diproduksi perusahaan mengandung resiko terdapat bahaya residu bahan kimia,
tumbuhnya jamur dan kapang. Proses pencampuran bahan-bahan mentah harus
dipastikan komposisinya dan tercampur dengan sempurna. Air minum disediakan ad
libitum.
Obat hewan yang digunakan oleh PT LJP meliputi sediaan biologik,
farmasetik, premik dan obat alami. Obat hewan yang dipergunakan seperti bahan
kimia dan bahan biologik telah memiliki nomor pendaftaran. Penggunaan obat keras
di bawah pengawasan tim kesehatan hewan (Keswan) yaitu kepala unit Keswan.
Berdasarkan ketentuan pada GBP diharuskan tenaga kerja yang ada sehat jasmani
dan rohani serta tidak memiliki luka terbuka. Tenaga kerja PT LJP terdiri atas tenaga
kerja tetap/staf, tenaga kerja harian, dan tenaga kerja borongan. Staf dan kepala unit
umumnya berpendidikan Diploma dan Sarjana. Tenaga kerja harian dan borongan
tidak terlalu mengutamakan pendidikan formal melainkan hanya kemampuan
menulis, membaca, menghitung dan bertanggung jawab. Jumlah tenaga kerja (TK)
yang ada di perusahaan sekitar 150 orang. Rasio TK dengan sapi yaitu 1 : 100 untuk
efisiensi tenaga kerja. Staf yang baru bergabung dalam perusahaan akan terlebih
dahulu mengikuti sistem training. Peralatan kesehatan hewan yang digunakan oleh
perusahaan disajikan pada Gambar 4.

42
(a) (b)

Gambar 4. Peralatan Kesehatan Hewan: (a) Obat-obatan dan (b) Alat Suntik

Proses Produksi Bibit


Aspek proses produksi bibit terdiri atas pemeliharaan, produksi, seleksi bibit,
perkawinan, ternak pengganti (replacement stock), afkir (culling), pencatatan,
(recording), persilangan, sertifikasi, dan kesehatan hewan. Menurut GBP, sistem
pemeliharaan dalam pembibitan sapi potong dilakukan dengan sistem pastura
(penggembalaan), sistem semi intensif, dan sistem intensif. Sistem pemeliharaan
ternak sapi dibagi menjadi tiga yaitu intensif, ektensif, dan mixed farming system
(Parakkasi, 1999). Sistem pemeliharaan yang dilakukan oleh PT LJP adalah sistem
pemeliharaan intensif, yaitu ternak dikandangkan terus menerus dan pakan diatur
pemberiannya. Menurut Parakkasi (1999), pemeliharaan ternak secara intensif yaitu
sistem pemeliharaan ternak sapi dengan cara dikandangkan secara terus-menerus
dengan sistem pemberian pakan secara cut and carry. Keuntungan sistem ini adalah
penggunaan bahan pakan hasil ikutan dari beberapa industri lebih intensif dibanding
dengan sistem ekstensif, sedangkan kelemahannya modal yang digunakan lebih
tinggi, masalah penyakit dan limbah peternakannya.
Berdasarkan tujuan produksinya, pembibitan sapi potong dikelompokkan ke
dalam pembibitan sapi potong bangsa/rumpun murni dan pembibitan sapi potong
persilangan. Pembibitan sapi potong yang dilakukan perusahaan ini yaitu pembibitan
sapi potong persilangan. Sapi potong yang dijadikan indukan yaitu sapi Brahman
Cross. Minish dan Fox (1979) menyatakan bahwa sapi Brahman di Australia secara

43
komersial jarang dikembangkan secara murni dan banyak disilangkan dengan sapi
Hereford-Shorthorn (HS). Hasil persilangan dengan Hereford dikenal dengan nama
Brahman Cross (BX). Sapi ini mempunyai keistimewaan karena tahan terhadap suhu
panas dan gigitan caplak, mampu beradaptasi terhadap makanan jelek serta
mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi.
Upaya untuk memperoleh bibit yang berkualitas melalui teknik perkawinan
dapat dilakukan dengan cara kawin alam dan IB. Teknik perkawinan di PT LJP
dilakukan dengan IB. Payne (1970) menyatakan bahwa IB dapat dipakai untuk
meningkatkan efisiensi reproduksi terutama dalam mengatasi kegagalan reproduksi.
Namun demikian tidak selamanya IB dapat memberikan hasil yang lebih baik dari
kawin alam. Bearden dan Fuguay (1997) menyatakan bahwa puncak keberhasilan IB
tergantung dari penempatan yang tepat semen berkualitas tinggi di dalam alat
reproduksi betina. Pemeriksaan kualitas semen dilakukan setiap 6 bulan sekali oleh
unit kesehatan hewan untuk mengetahui kualitas sperma yang berasal dari Balai
Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari.
Aspek proses produksi tentang ternak pengganti (Replacement Stock)
dinyatakan dalam GBP bahwa calon bibit betina dipilih 25% terbaik untuk
replacement, 10% untuk pengembangan populasi kawasan, 60% dijual ke luar
kawasan sebagai bibit, dan 5% dijual sebagai ternak afkir (culling). Namun
dikarenakan orientasi perusahaan untuk bisnis, sehingga sistem ini belum diterapkan.
Saran yang diberikan adalah untuk lebih mempertimbangkan kembali mengenai
masalah replacement stock ini. Selain untuk meningkatkan populasi bibit sapi, hal ini
dilakukan juga mengingat izin impor sapi yang semakin berkurang.
Semua calon bibit jantan dijual atau dijadikan bakalan penggemukan oleh
pihak perusahaan. Sapi betina yang tidak memenuhi persyaratan sebagai bibit (10%)
dikeluarkan sebagai ternak afkir (culling). Sapi induk yang tidak produktif segera
dikeluarkan dengan kriteria yaitu kelebihan berat dan kualitas saluran reproduksi
jelek. Sistem pencatatan (recording) pada perusahaan lengkap meliputi rumpun,
silsilah, perkawinan (tanggal, pejantan, IB), kelahiran (tanggal, bobot lahir),
penyapihan (tanggal, bobot badan), beranak kembali (tanggal, partus), pakan (jenis,
konsumsi), vaksinasi, pengobatan (tanggal, perlakuan/treatment), dan mutasi
(pemasukan dan pengeluaran ternak). Pencatatan berguna untuk mempermudah

44
kelengkapan data pada perusahaan dan menelusuri silsilah ternak. Persilangan yang
dilakukan tetap mengikuti jalur persilangan yang sesuai. Prinsip-prinsip seleksi dan
culling diterapkan oleh pihak perusahaan. Sertifikat diberikan oleh Dinas Kabupaten
dan Direktorat Jendral Peternakan.

Kesehatan Hewan
Pembibitan sapi potong diharuskan terletak di daerah yang bebas endemik
penyakit zoonosis. Selama berdirinya perusahaan ini, ternak yang ada tidak pernah
menderita penyakit zoonosis. Pembibitan sapi potong harus melakukan vaksinasi dan
pengujian/tes laboratorium terhadap penyakit tertentu yang ditetapkan oleh instansi
yang berwenang. Vaksinisasi pada PT LJP dilakukan saat ternak datang, saat 6 bulan
setelah datang, dan pada induk setelah weaning. Pemberian vaksin diawasi oleh tim
Keswan. Pencatatan setiap pelaksanaan vaksinasi dan jenis vaksin yang dipakai
dalam kartu kesehatan ternak. Pelaporan kepada Dinas yang membidangi fungsi
peternakan dan kesehatan hewan setempat atau dilakukan instansi yang berwenang
setiap timbul kasus penyakit terutama yang diduga/dianggap penyakit menular.
Penggunaan obat dalam menangani ternak harus sesuai dengan ketentuan dan
diperhitungkan secara ekonomis. Pemotongan kuku pada ternak tidak dilakukan di
PT LJP, sebab kebersihan kandang dijaga dan menggunakan alas kandang berupa
serbuk gergaji. Pemotongan kuku umumnya dilakukan pada ternak yang tidak
dikawinkan secara IB, sedangkan ternak di perusahaan ini dikawinkan secara IB.
Tindakan biosecurity berupa pemeriksaan kesehatan ternak dilakukan pada ternak
yang masuk atau keluar dari peternakan dilakukan.
Lokasi usaha tidak mudah dimasuki binatang liar serta bebas dari hewan
peliharaan lainnya yang dapat menularkan penyakit untuk menjamin kesehatan
hewan. Perusahaan ini mudah dimasuki hewan peliharaan masyarakat yaitu kambing
karena wilayah perusahaan berdekatan dengan masyarakat, namun hewan ini hanya
mampu masuk hingga wilayah kebun rumput. Saran yang diberikan yaitu
pengawasan lebih ditingkatkan agar tidak terjadi hal yang merugikan, ataupun
penularan penyakit dari luar perusahaan. Syarat lain adalah menyediakan fasilitas
desinfeksi untuk staf/karyawan dan kendaraan tamu dipintu masuk perusahaan.
Fasilitas desinfeksi (kolam desinfektan) pada praktiknya hanya tersedia untuk ternak
yaitu di pintu masuk unit breeding. Fasilitas desinfeksi dapat dilihat pada Gambar 5.

45
Gambar 5. Fasilitas Desinfeksi

Fasilitas desinfeksi yang ada di perusahaan ini yaitu berupa kolam


desinfektan yang berada di pintu masuk unit breeding PT LJP. Kolam ini digunakan
pada saat ternak masuk ke unit breeding untuk menghindari kemungkinan
penyebaran penyakit dari luar wilayah perusahaan. Kolam desinfektan ini berisi
campuran air dan kaporit. Fasilitas ini sebaiknya tersedia untuk pekerja agar dapat
menghindari kemungkinan penyakit dari luar peternakan.

Pelestarian Lingkungan
Aspek pelestarian lingkungan terdiri atas menyusun rencana pencegahan dan
penanggulangan pencemaran lingkungan, dan melakukan upaya pencegahan
pencemaran lingkungan. Perusahaan telah melakukan upaya pencegahan pencemaran
lingkungan serta mencegah terjadinya erosi dan membantu pelaksanaan penghijauan
di areal peternakan dengan cara penanaman tanaman di areal peternakan.
Pencegahan polusi dan gangguan lain seperti bau busuk, serangga,
pencemaran air sungai dan lain-lain dengan cara pengelolaan limbah dan
pembasmian lalat menggunakan insektisida berupa “musca down”, “racun lalat”,
ataupun “gusanex” yang mengandung azamethipo 1%. Dosis yang digunakan 2
gram/m2 dan pemberian dengan cara ditaburkan ke seluruh lingkungan kandang atau
dioleskan pada bambu atau lidi. Sesuai dengan pernyataan Blakely dan Bade (1991)
bahwa parasit eksternal dapat dikendalikan dengan cara penaburan insektisida secara

46
sistemik guna mencegah perkembangan larva „heel fly‟. Selama ini belum terdapat
keluhan masyarakat mengenai polusi dari kegiatan perusahaan ini. Operasionalisasi
unit pengolahan limbah padat yang dihasilkan dilakukan dengan cara dikarungkan
dan dijual. Permintaan limbah sudah ada meskipun saat ini hanya dikarungkan tanpa
perlakuan tambahan.

Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan


Aspek monitoring, evaluasi dan pelaporan pada perusahaan ini sudah
diterapkan dengan baik yaitu sesuai dengan GBP. Monitoring dilakukan setiap bulan
oleh tim Dinas Peternakan Kabupaten dan Propinsi dengan mengumpulkan data
performan tubuh, performan produksi, performan reproduksi, dan kesehatan sapi
bibit. Pelaporan ke pada pihak pemeritah dilakukan setiap satu tahun sekali.
Perusahaan juga membuat laporan teknis dan administratif secara berkala untuk
kepentingan internal, sehingga apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dapat
diadakan perbaikan secepatnya. Laporan internal terdiri atas laporan bulanan, laporan
per semester, dan laporan tahunan.

47
Ketercapaian Penerapan GBP di PT LJP Serang-Banten

Penerapan GBP bibit sapi potong yang baik dapat dilihat dari ketercapaian
produktivitasnya. Balai Inseminasi Buatan Singosari (1997) memberikan suatu
gambaran efisiensi reproduksi ternak dengan mengevaluasi nilai conception rate
(CR) dan services per conception (S/C). Selain dari nilai CR dan S/C, penelitian ini
juga mengevaluasi efisiensi reproduksi ternak di PT LJP melalui nilai calving
interval (CI) dan calving rate (C/R). Hasil ketercapaian pada penerapan GBP di PT
LJP Serang-Banten dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Ketercapaian Penerapan Good Breeding Practice di PT Lembu Jantan


Perkasa Serang-Banten

Peubah yang diamati Tahun

2009 2010

Calving interval (hari) 408 372

Service per conception (S/C) 1,6 1,5


Concep Conception rate (%) 78 88
Calving Calving rate ( %) 23 84

Sumber : PT LJP Serang-Banten (2010)

Calving Interval (CI)


Jarak beranak (calving interval) adalah periode waktu antara dua kelahiran
yang berurutan dapat juga dihitung dengan menjumlahkan periode kebuntingan
dengan periode days open (interval antara saat kelahiran dengan terjadinya
perkawinan yang subur berikutnya) (Sutan, 1988). Interval kelahiran atau jangka
waktu antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya seharusnya 12-13 bulan
(Toelihere, 1979). Hasil data menunjukkan CI pada tahun 2009 sebesar 408 hari dan
372 hari pada tahun 2010. Calving interval menurun dari tahun 2009 ke 2010 sebesar
36 hari yang menunjukkan bahwa perusahaan ini berhasil memperbaiki kinerjanya.
Efisiensi yang baik ditandai dengan interval kelahiran yang lebih pendek. Direktorat
Jenderal Peternakan (1991) memberikan nilai standar dari calving interval (CI)
sebesar 365 hari, perusahaan belum dapat memenuhi kriteria ini, namun nilai 372

48
hari ini lebih baik dibandingkan penelitian Iswoyo dan Priyantini (2008) yang
menunjukkan calving interval sebesar 392,28±77,27 hari.
Faktor-faktor yang mempengaruhi jarak beranak yaitu lama bunting, jenis
kelamin pedet yang dilahirkan, umur penyapihan pedet, S/C, bulan beranak, bulan
saat terjadinya konsepsi dan jarak waktu sapi pertama kali dikawinkan setelah
beranak (Bowker et al., 1978). Umur sapih pedet merupakan faktor yang
mempengaruhi jarak beranak. Hal ini dikarenakan induk sapi yang menyusui pedet
lebih lama akan menunda perkawinan pertama kali setelah beranak, sehingga dapat
memperpanjang jarak beranak. Namun, PT LJP menerapkan sistem perkawinan
kembali pada induk-induk laktasi yang masih menyusui anaknya. Perkawinan
dilakukan pada induk yang mengalami birahi kembali dengan persyaratan induk
tersebut telah mengalami involusi saluran reproduksi yaitu minimal 40 hari atau pada
siklus berahi ke-2 setelah beranak. Menurut Toelihere (2006), involusi atau regresi
uterus ke ukuran dan statusnya semula membutuhkan waktu yang relatif lama.
Selama involusi, lapisan urat daging uterus berkurang karena penurunan ukuran sel
dan kehilangan sel. Secara klinis involusi sudah selesai pada hari ke 30-40, tetapi
secara histologik, involusi baru benar-benar selesai 50-60 hari postpartus. Maka
sehubungan dengan kenyataan ini sebaiknya pihak perusahaan mengawinkan
kembali ternaknya lebih dari 50-60 hari setelah partus.

Service per Conception (S/C)


Service per Conception adalah jumlah pelayanan inseminasi sampai seekor
ternak menjadi bunting (Salisbury dan Vandemark, 1985). Service per Conception
merupakan ukuran berapa kali seekor ternak sapi melakukan perkawinan hingga
ternak tersebut bunting. Menurut Toelihere (1979), nilai S/C yang normal yaitu
berkisar antara 1,6-2,0. Berdasarkan data perusahaan didapatkan hasil bahwa nilai
S/C pada tahun 2009 sebesar 1,6 dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 1,5.
Sedangkan penelitian Depison et al. (2003) pada persilangan Simmental dan
Brahman (Simbrah) dapat mencapai nilai S/C sebesar 1,45. Nilai S/C sebesar 1,6
pada perusahaan ini masih lebih baik dari standar Direktorat Jenderal Peternakan
(1991). Semakin rendah nilai tersebut, makin tinggi nilai kesuburan hewan-hewan
betina kelompok-kelompok tersebut. Menurut Vandeplassche (1982), nilai S/C yang

49
rendah sangat penting dalam arti ekonomis, baik dalam perkawinan alam maupun
melalui IB.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan S/C diantaranya kualitas
semen yang digunakan, deteksi birahi, body condition score (BCS), tingkat
kemampuan inseminator, dan bobot hidup (Kutsiyah et al., 2002). Bearden dan
Fuguay (1997) menambahkan bahwa puncak keberhasilan IB tergantung dari cara
meletakkan semen yang tepat di dalam alat reproduksi betina. Semen yang
digunakan oleh PT LJP berasal dari Balai Inseminasi Buatan Singosari. Kualitas
semen diperiksa secara berkala di unit kesehatan hewan yang dimiliki perusahaan
yaitu setiap 6 bulan sekali oleh unit kesehatan hewan. Evaluasi semen harus
dilakukan untuk menentukan pergerakan (motilitas) dan daya hidup (viabilitas)
sperma yang diejakulasikan, meskipun keadaan fisik pejantan itu tidak
memperlihatkan kelemahan atau kekurangan tertentu (Blakely dan Bade,1991).
Kondisi tubuh yang baik dan sehat serta dengan bobot hidup minimal 270 kg
merupakan kriteria sebagai calon bibit di PT LJP.
Nilai S/C yang rendah pada perusahaan ini dikarenakan pelaksanaan deteksi
birahi dan ketepatan waktu IB yang baik serta tingkat kemampuan inseminator yang
tinggi. Deteksi birahi diamati oleh petugas kandang dan kemudian dicatat pada papan
yang ada disetiap pen kandang. Sesuai dengan pendapat Toelihere (1993), bahwa
diperlukan deteksi dan pelaporan berahi yang tepat sehingga inseminasi dapat
dilakukan pada waktu yang tepat. Demikian juga teknik inseminasi dilakukan secara
cermat oleh tenaga terampil dan juga hewan betina yang sehat dalam kondisi
reproduksi yang optimal (Toelihere, 1993). Pencatatan terdiri atas nomor telinga
(notel) ternak dan waktu berahi yang teramati. Inseminasi yang tepat sebaiknya
dilakukan pada saat mulai pertengahan estrus sampai 6 jam sesudah puncak berahi
(Salisbury dan Vandemark, 1985). Calon bibit yang terdeteksi berahi akan dibawa ke
unit kesehatan hewan untuk dikawinkan secara IB. Waktu IB yang diterapkan di
perusahaan ini yaitu ± 10 jam setelah tanda birahi terlihat, hal ini dilakukan agar
sperma mencapai waktu yang bersamaan dengan terlontarnya ovum yaitu saat
ovulasi terjadi sehingga kebuntinganpun dapat terjadi.

50
Conception Rate (CR)
Angka dari persentase sapi betina yang bunting disebut dengan nilai CR atau
angka konsepsi yang ditentukan berdasarkan hasil diagnosa kebuntingan oleh dokter
hewan dalam waktu 45 – 60 hari sesudah inseminasi (Partodihardjo 1987). Toelihere
(1993) menyatakan bahwa CR di negara maju dapat berkisar antara 60-70%. Di
Indonesia nilai CR sebesar 50% sudah termasuk normal, dan jika dibawah 50%
berarti menunjukkan wilayah tersebut memiliki ternak yang kurang subur. Nilai CR
di PT LJP Serang-Banten pada tahun 2009 sebesar 78% dan meningkat pada tahun
2010 menjadi 88%. Nilai ini lebih besar dibandingkan CR pada persilangan
Simmental dan Brahman (Simbrah) yaitu 61,29% (Depison, 2003) dan standar
Direktorat Jenderal Peternakan (1991) yaitu sebesar 62,5%. Menurut Toelihere
(1993) angka konsepsi ditentukan oleh tiga faktor, yaitu kesuburan pejantan,
kesuburan betina dan teknik inseminasi. Kesuburan pejantan menjadi salah satu
faktor penentu CR dikarenakan kualitas sperma yang baik akan meningkatkan
kebuntingan. Induk yang subur memiliki kualitas ovarium dan kondisi fisik yang
baik sehingga mampu mempertahankan kebuntingan hingga tahap akhir kebuntingan.
Selain itu, teknik inseminasi dapat mempengaruhi tingkat CR dikarenakan puncak
keberhasilan IB tergantung dari penempatan yang tepat dari semen berkualitas tinggi
di dalam alat reproduksi betina (Bearden dan Fuguay, 1997). Angka kebuntingan
juga terkait dengan ketepatan waktu IB. Pemeriksaan kebuntingan (PKB) dilakukan
dua bulan setelah ternak di IB dan tidak mengalami birahi kembali dengan cara
palpasi rektal oleh tim unit breeding. Setelah dinyatakan bunting, sapi-sapi ini
diletakkan di kandang bunting. Bagi sapi-sapi ex-IB yang tidak berahi namun tidak
terdeteksi bunting, maka akan dilakukan PKB ulang 1 bulan kemudian untuk
menghindari kemungkinan kesalahan pada PKB awal.

Calving rate (C/R)


Calving rate (C/R) di perusahaan ini tahun 2010 sebesar 84%, berbeda jauh
dengan pada tahun 2009 yang hanya mencapai 23%. Hal ini dikarenakan adanya
perbedaan populasi induk bunting dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 populasi
induk bunting yaitu 1635 ekor sementara pada tahun 2010 sebanyak 882 ekor.
Kelahiran yang berlangsung pada tahun 2010 sebanyak 738 ekor lebih tinggi

51
dibandingkan pada tahun 2009 yang hanya mencapai 379 ekor. Pada tahun 2009
induk bunting yang terjual lebih banyak 166 ekor dibandingkan tahun 2010,
sehingga mempengaruhi jumlah kelahiran yang berlangsung di PT LJP. Calving rate
bergantung pada perlakuan ternak saat bunting dan saat beranak. Pemberian pakan
serta penempatan kandang dengan kapasitas ternak yang lebih sedikit dan
penanganan sebelum, saat, dan setelah beranak sangat diperhatikan.

52
Evaluasi Penerapan Standard Operational Procedure (SOP)

Prosedur Operasional Baku (POB) atau Standard Operational Procedure


(SOP) merupakan pedoman yang ditetapkan perusahaan dalam menjalankan aktivitas
di perusahaan. Alur penanganan ternak pada unit breeding di PT LJP Serang-Banten
dapat dilihat pada Gambar 6.

Penerimaan Sapi

Penimbangan

Seleksi

Tidak lolos seleksi Lolos seleksi

Pemeliharaan Calon Bibit dan


Digemukkan di Unit Fattening Proses Pengawinan

Pemeriksaan Kebuntingan
Penjualan Sapi

Pemeliharaan Induk Bunting

Kelahiran

Perawatan Induk dan Anak

Penjualan Sapi Bibit

Gambar 6. Alur Penanganan Ternak Sapi Pembibitan di PT Lembu Jantan Perkasa

53
Penerimaan Sapi
Penanganan pada penerimaan sapi terdiri atas penanganan sebelum dan
setelah ternak datang. Penanganan yang dilakukan sebelum kedatangan ternak yaitu:
a) pembentukan tim petugas bongkar, tim ini terdiri dari supervisor sebagai
pengawas serta petugas kandang, b) persiapan kandang yang terdiri atas jumlah dan
alokasi pen, kebersihan, bak pakan atau bak minum disesuaikan jumlah ternak yang
datang, c) penerangan yang cukup, d) persiapan cattle yard, loading chute, dan gang
way, e) peralatan yaitu ear tag, tang aplikator, alat komunikasi, dan tang, f) obat-
obatan dan vitamin yang terdiri atas antibiotik, elektrolit, dan gusanex, g) persiapan
pakan yaitu jumlah konsentrat dan hijauan, h) persiapan peralatan administrasi yang
terdiri dari form-form dan berita acara, i) kebutuhan/perlengkapan lain yaitu bambu,
tambang, sawdust, tali rafia,dan sarung tangan, dan j) melakukan koordinasi internal
dan eksternal.
Penanganan yang dilakukan saat penerimaan sapi, yaitu a) memastikan sapi
tersebut sesuai order pembelian dari kantor pusat atas izin dewan direksi, b)
pemeriksaan dokumen yang lengkap dan sah surat jalan dan surat kesehatan ternak
dari tempat asal, c) sapi yang telah sampai terlebih dahulu ditimbang bersama dengan
truk pengangkutnya, d) sapi diturunkan di cattle yard segera setelah dokumen
dianggap sah oleh supervisor atau oleh petugas yang bertanggung jawab, e)
penanganan/handling sapi dilakukan dengan baik dan benar ( hati-hati, tidak gaduh,
tidak menyakiti ternak untuk menghindari stres pada ternak), f) sapi digiring ke
dalam pen yg sudah dipersiapkan, g) membuat berita acara apabila terdapat kondisi
sapi yang mati di perjalanan, lemah, patah kaki, atau kondisi tidak normal lainnya, h)
berita acara ditandatangani oleh petugas ekspedisi, supir truk, dan petugas penerima
sapi, i) pemberian obat stres (contra stress ATP plus) sampai dengan timbang awal
dengan dosis 100 gram per 200 L air minum. Vitamin ini berfungsi untuk mengatasi
stres transportasi, meningkatkan daya tahan tubuh, nafsu makan, dan meningkatkan
pertumbuhan, j) pakan dan air minum bersih sudah tersedia di bak pakan/ bak
minum, k) pembuatan laporan penerimaan jumlah dan kesusutan berat sapi dari
pelabuhan hingga ke peternakan. Rata-rata penyusutan bobot badan sapi dari
pelabuhan hingga ke peternakan yaitu 2%, l) catatan penimbangan dan penerimaan
atau penolakan sapi sebagai sapi bibit harus segera dilaporkan ke pimpinan langsung

54
untuk segera dilaporkan ke kantor pusat, m) petugas penerimaan harus setingkat
supervisor atau pejabat lain yang ditunjuk langsung oleh pimpinan, serta n)
penandatanganan dokumen/berita acara penerimaan sapi oleh supervisor ternak atau
pejabat lain yg telah ditunjuk oleh pimpinan dan diserahkan ke bagian administrasi
ternak. Pada kedatangan malam hari, petugas yang bertanggung jawab adalah
perwira piket dibantu oleh karyawan yang bertugas pada malam itu. Penerimaan sapi
berlangsung dapat dilihat pada Gambar 7.

(a) (b)

Gambar 7. Penerimaan Sapi: (a) Loading Chute dan (b) Penampungan

Penimbangan
Penimbangan awal dimulai minimal setelah sapi diistirahatkan selama dua
hari. Kondisi dan akurasi timbangan diperiksa, timbangan yang digunakan yaitu
timbangan elektrik yang berada di cattle yard. Kegiatan pada saat penimbangan awal
meliputi pemasangan ear tag, penimbangan individu, treatment berupa vitamin
(injectamin) dengan dosis 5 ml/ekor, vaksinasi serta pengelompokan sapi
berdasarkan jenis kelamin, berat, dan kondisi kesehatan. Pencatatan individu ternak
dilakukan meliputi berat, identifikasi, ex-property (asal), breed dan kondisi (sehat
dan sakit). Klasifikasi ternak berdasarkan berat yaitu ≤ 250 kg, 251-280 kg, 281-320
kg, 321-350 kg, dan > 350 kg. Ternak ditempatkan pada pen sesuai klasifikasi
beratnya untuk menghindari persaingan dalam mengkonsumsi pakan. Penanganan

55
sapi selama proses penimbangan dilakukan dengan hati-hati. Gambaran saat
penimbangan dapat dilihat pada Gambar 8.

(a) (b)
Gambar 8. Penimbangan Awal: (a) Penimbangan Ternak dan (b) Pemasangan
EarTag
Vitamin yang diberikan pada saat penimbangan yaitu Injectamin dengan
dosis pemberian 5 ml/ ekor. Vitamin ini berfungsi untuk mencegah dan mengobati
defisiensi vitamin, seperti gangguan pertumbuhan, pencernaan, reproduksi dan otot.
Vaksin yang diberikan yaitu vaksin SE (Septicaemia epizootica) dengan merk
dagang Septivak sebanyak 3 ml/ekor, pemberian vaksin dilakukan untuk
menimbulkan kekebalan terhadap penyakit Septicaemia epizootica. Obat anti stress
diberikan selama dua hari setelah penimbangan awal kemudian dibuat laporannya.

Seleksi Awal
Seleksi dilakukan pada sapi-sapi yang telah beradaptasi selama 2 – 3 minggu
dan telah masak kelamin guna mendapatkan calon bibit. Sistem reproduksi jantan
dan betina belum berfungsi secara sempurna sebelum seekor sapi mencapai masak
kelamin (pubertas), yaitu umur pada saat dicapai kematangan kelamin atau
kematangan seksual. Umur pada saat tercapainya masak kelamin, bervariasi di antara
bangsa-bangsa sapi, dengan suatu kisaran umur antara 8 – 18 bulan (Blakely dan
Bade, 1991). Untuk memudahkan pengerjaan sistem seleksi pada sapi tersebut,
perusahaan menerapkan sistem seleksi berdasarkan kelayakan dan kesehatan saluran

56
reproduksinya dengan berat badan minimal 270 kg. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Blakely dan Bade (1991) bahwa pada beberapa bangsa sapi tertentu, masak kelamin
lebih merupakan fungsi berat badan dan bukannya fungsi umur, dan banyak peternak
menggunakan berat badan 275 sampai 350 kg sebagai ukuran masak kelamin untuk
sapi betina.
Pemeriksaan alat reproduksi (PAR) dimulai dari bobot badan terbesar dan
diberikan vitamin A,D, dan E saat PAR. Pentingnya penggunaan sarung tangan yang
steril dan dilumasi saat PAR dilakukan guna melindungi sapi maupun manusianya
dari kemungkinan terjadinya infeksi (Blakely dan Bade, 1991). Gambar 9
menunjukkan saat PAR berlangsung.

Gambar 9. Pemeriksaan Alat Reproduksi

Sapi yang lolos seleksi akan dilanjutkan ke proses adaptasi, perbaikan kondisi dan
pengamatan siklus berahi. Sapi yang lolos seleksi dipindahkan ke kandang calon
bibit (cabit). Pengamatan berahi ( oestrus/heat ) dilakukan selama 24 jam setiap
harinya. Sapi yang tidak lolos karena alasan reproduksi dan kesehatan akan
digemukkan dan dijual sebagai sapi potong. Klasifikasi ternak sapi bibit pada
umumnya ditentukan oleh a) umur, b) jenis kelamin, dan c) breed.

Pemeliharaan Calon Bibit (Cabit) dan Proses Pengawinan


Pemberian pakan pada ternak sapi di perusahaan ini disesuaikan dengan
status fisiologis ternak tersebut. Pakan terdiri atas dua jenis yaitu konsentrat dan

57
hijauan. Frekwensi pemberian pakan minimal 2 kali sehari untuk setiap jenis pakan.
Pakan untuk calon bibit yaitu konsentrat sebanyak 8 kg/ekor/hari dan hijauan
sebanyak 5 kg/ekor/hari. Pemberian pakan ini sesuai dengan NRC (1984) bahwa
konsumsi bahan kering dara yaitu 7,3 kg/ekor/hari. Sapi calon bibit akan dilakukan
pengamatan berahi setiap harinya oleh petugas kandang. Menurut Blakely dan Bade
(1991), tanda-tanda visual sapi betina menjelang birahi adalah pembengkakan dan
vulva yang menjadi merah serta keadaan gelisah yang menunjukkan keinginan untuk
kawin, tetapi perilaku yang amat menonjol adalah mengusir atau diusir oleh
temannya dan tetap diam bila dinaiki. Pengamatan termudah yang juga diterapkan
oleh perusahaan dalam mendeteksi berahi yaitu sapi betina yang akan tetap diam
apabila dinaiki. Sapi betina hanya mau menerima pejantan dalam periode birahi saja,
yang berlangsung sekitar 16 jam, dan hal ini akan terulang lagi tiap 21 hari, apabila
tidak terjadi kebuntingan (Blakely dan Bade, 1991). Sapi yang berahi dicatat ear tag
dan waktu berahinya, lalu dipindahkan ke unit kesehatan, ±10 jam setelah tanda
berahi terlihat sapi tersebut akan dikawinkan dengan cara Inseminasi Buatan (IB)
dengan semen berada pada straw plastik. Peralatan yang digunakan saat IB dapat
dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Peralatan Inseminasi Buatan

Menurut Blakely dan Bade (1991), dalam waktu inseminasi, semen yang
berasal dari straw plastik atau ampul dimasukkan ke dalam saluran reproduksi sapi

58
betina. Apabila semen tersebut berada di dalam straw plastik maka alat yang
digunakan yaitu straw gun. Keuntungan yang didapat dengan menggunakan straw
plastik adalah bahwa semen tersebut dapat secara langsung ditempatkan di dalam
saluran reproduksi, tanpa harus memindahkan semen dari ampul ke kateter. Hal ini
menyebabkan penggunaan straw menjadi lebih sederhana serta lebih menjamin
jumlah sperma hidup yang maksimum bisa diinseminasikan.
Masa hidup sel telur adalah 6 sampai 12 jam, sedangkan masa hidup sperma
adalah 30 jam. Jadi, agar dapat terjadi pembuahan maka perkawinan harus
berlangsung pada bagian akhir dari saat birahi (Blakely dan Bade, 1991). Menurut
Salisbury dan Vandemark (1985) inseminasi yang tepat sebaiknya dilakukan pada
saat mulai pertengahan estrus sampai 6 jam sesudah puncak berahi. Sapi yang telah
di IB dipindahkan ke kandang IB.

Pemeriksaan Kebuntingan (PKB)


Pemeriksaan kebuntingan (PKB) pada sapi IB yang tidak mengalami berahi
kembali dilakukan dengan cara palpasi rektal. Sapi yang akan diperiksa ditempatkan
di dalam kandang jepit yang berukuran 160 cm x 70 cm x 170 cm untuk mencegah
bahaya bagi pemeriksa terhadap tendangan, pergerakan ke depan dan ke samping
oleh ternak yang diperiksa. Sapi yang terkejut dapat menendang ke belakang dan
biasanya tendangan terjadi menjelang atau pada saat tangan dimasukkan ke dalam
rektum (Toelihere, 2006). Palang diletakkan di bagian belakang kandang jepit atau di
belakang sapi, di atas legokan kaki belakang untuk menghindari tendangan tersebut.
Pemeriksaan kebuntingan (PKB) dilakukan setelah semua persiapan selesai. Prinsip
palpasi rektal adalah memasukkan tangan dan lengan ke dalam rektum seekor sapi
betina dan dari dinding rektum dirasakan adanya tanda-tanda kebuntingan (Blakely
dan Bade, 1991).
Pemeriksaan kebuntingan dilakukan dua bulan setelah IB, sama halnya
dengan Toelihere (2006) yang menyatakan bahwa diagnosis menggunakan metode
ini dapat dilakukan paling cepat 35 hari setelah inseminasi dan ketepatan di atas 95%
dapat diperoleh sesudah 60 hari kebuntingan. Sapi yang dinyatakan bunting akan
dipindahkan ke kandang bunting, sedangkan sapi yang tidak dinyatakan bunting
akan dipindahkan ke kandang ex-PKB untuk dilakukan PKB ulang 1 bulan
kemudian.

59
Pemeliharaan Induk Bunting
Sapi bunting ditempatkan di kandang bunting. Kandang sapi bunting dibuat
lebih longgar. Pakan disesuaikan dengan statusnya dan dicatat setiap hari. Persentase
kasus yang tinggi pada induk bunting di tahun 2010 yaitu abortus sebesar 4%.
Abortus atau keluron adalah pengeluaran fetus sebelum akhir masa kebuntingan
dengan fetus yang belum sanggup hidup. Abortus umumnya disebabkan oleh faktor
yang mempengaruhi fetus atau kedua-duanya. Secara ekonomis, abortus merupakan
masalah besar bagi peternak, karena kehilangan fetus dapat diikuti dengan penyakit
pada uterus dan sterilitas untuk waktu yang lama. Penyebab abortus antara lain
infeksi bakteri (Brucellosis), sejenis virus Herpes, jamur (Aspergillus spp), infeksi
protozoa (Trichomonas foetus), bahan kimia, obat, dan tanaman beracun, sebab-
sebab hormonal, defisiensi makanan, ataupun kecelakaan. Stres berat pada induk
juga dapat menyebabkan abortus (Toelihere, 2006).
Penanganan pada induk abortus yang dilakukan oleh pihak perusahaan yaitu
dengan pemisahan ternak dari kelompoknya dan dipindahkan ke hospital pen,
kemudian sampel darah ternak tersebutpun diambil untuk diidentifikasi penyebab
penyakitnya. Pengobatan abortus yang dilakukan di PT LJP yaitu dengan pemberian
antibiotik (Limoxin 200 LA) sebanyak 15 ml dan hormon oxytocin sebanyak 7 ml.
Ternak yang dinyatakan abortus akibat infeksi maka akan diculling agar tidak
menularkan ke ternak lainnya. Infeksi sering terjadi dikarenakan ingesti kotoran-
kotoran yang mengkontaminasi makanan dari alat kelamin hewan yang mengalami
abortus (Toelihere, 2006).
Pengamatan lebih ditingkatkan pada induk bunting menjelang 2–3 hari
sebelum beranak. Menurut Toelihere (2006) hewan betina bertambah tenang, lamban
dan hati-hati dalam pergerakannya sesuai dengan pertambahan umur kebuntingan,
terutama pada minggu-minggu terakhir dan terdapat kecenderungan pertambahan
berat badan. Ligamenta pelvis mulai mengendur, dan pada hewan yang kurus terlihat
pelegokan yang jelas pada pangkal ekor. Oedema dan relaksasi vulva terlihat pada
beberapa minggu terakhir kebuntingan. Satu minggu setelah beranak induk dan
anaknya dipindahkan kedalam kandang laktasi.

60
Kelahiran
Induk sapi yang dapat melahirkan normal hanya diamati oleh petugas
kandang, namun bila terjadi kesulitan beranak sapi tersebut akan digiring ke unit
kesehatan untuk dibantu proses beranaknya. Presentasi fetus yang normal adalah kaki
depan terlebih dahulu, dengan kepala berada di antaranya. Kontraksi uterus
menyebabkan kaki mendorong plasenta lalu terlepaslah cairan amnion yang berperan
sebagai pelumas untuk lewatnya fetus. Waktu kelahiran yang normal variasinya
besar, rata-rata sekitar 30 menit tanpa pertolongan (Blakely dan Bade, 1991).
Induk yang melahirkan normal atau eutokia diberi antibiotik (Limoxin LA)
sebanyak 15 ml, hormon oxytocin sebanyak 5 ml dan vitamin A, D, E (Vitol)
sebanyak 7 ml. Pedet yang baru lahir umumnya akan dijilati oleh induknya. Apabila
hal tersebut tidak dilakukan oleh induk guna membantu pernafasan pedet, peternak
haruslah yakin bahwa tidak ada selaput-selaput yang menutupi mulut dan lubang
hidung (Blakely dan Bade, 1991). Pemotongan tali pusat (disisakan ±5 cm dari
pangkal) dilakukan setelah pedet lahir, lalu tali pusat diberi desinfektan dan anti lalat.
Pemberian yodium pada pusar pedet yang baru lahir sangat dianjurkan untuk
mencegah timbulnya tetanus atau penyakit lain (Blakely dan Bade, 1991). Gambaran
pada saat setelah kelahiran dapat dilihat pada Gambar 11.

(a) (b)

Gambar 11. Kelahiran: (a) Induk Setelah Beranak dan (b) Induk Menjilati Anak

61
Penimbangan/pencatatan berat lahir dilakukan paling lambat 24 jam setelah
kelahiran dan dicatat ear tag induknya. Bobot badan pedet yang baru lahir rata-rata
20-25 kg. Pedet dipastikan mendapat kolostrum. Kolostrum yang merupakan susu
khusus yang dihasilkan selama 3 hari pertama sesudah kelahiran, diperlukan oleh
pedet yang baru lahir itu untuk kehidupannya. Kolostrum itu tidak saja mengandung
banyak energi, mineral dan vitamin yang dibutuhkan untuk memulai kehidupan bagi
pedet yang bersangkutan, tetapi juga mengandung antibodi yang merupakan
pelindung terhadap kemungkinan adanya infeksi dan penyakit (Blakely dan Bade,
1991). Situasi proses kelahiran dan kondisi pedet yang baru lahir harus dicatat dalam
buku induk. Pedet yang lahir dan induknya mati serta induknya tidak menghasilkan
susu dipelihara di dalam calves box (berukuran 100 cm x 126 cm x 135 cm) dan
diberikan susu yang berasal dari foster mother melalui dot. Induk yang tidak ingin
menyusui anaknya ditempatkan di dalam kandang jepit agar pedet tidak ditendang
saat menyusu, sedangkan induk yang memiliki puting besar, susunya diperah
kemudian diberikan pada pedet lain menggunakan dot.
Menurut Blakely dan Bade (1991), apabila kelahiran tidak juga terjadi dalam
waktu sekitar 2 jam sejak permulaan munculnya „labor pain‟, seorang dokter hewan
hendaknya mulai mengamati apakah ada masalah persentasi yang tidak normal.
Kasus yang umum dialami oleh induk saat melahirkan yaitu distokia. Menurut
Toelihere (2006), kesulitan melahirkan atau distokia merupakan salah satu kondisi
kebidanan yang harus ditangani oleh dokter hewan atau bidan ternak. Penyebab
distokia diantaranya sebab herediter, nutrisional dan manajemen, penyakit menular,
traumatik dan sebab-sebab campuran. Sebab herediter yaitu terdapat pada induk yang
berpredisposisi terhadap distokia, atau faktor-faktor tersembunyi yang dapat
menghasilkan foetus yang defektif. Sebab nutrisional dan manajemen diantaranya
kondisi makanan ternak yang sedang bunting dan manajemen saat partus. Distokia
dikarenakan ukuran induk yang kecil sering ditemukan pada sapi dara yang baru
pertama kali beranak. Penyebab lain distokia yaitu posisi fetus yang tidak normal.
Penanganan kasus ini yaitu dengan pemberian antibiotik (Limoxin 200 LA) sebanyak
15 ml, hormon oxytocin 5 ml dan multivitamin (vitol) 5 ml.
Pengeluaran atau eksplusi plasenta (setelah lahir) biasanya terjadi 2 atau 6
jam setelah kelahiran. Dalam keadaan biasa kotiledon yang menempel pada uterus

62
terpisah sehingga memungkinkan membran yang tidak menempel keluar melalui
saluran kelahiran. Apabila setelah 24 jam membran itu masih belum keluar, tentulah
terdapat keadaan yang abnormal dan perlu konsultasi dengan dokter hewan. Hal ini
perlu mendapat perhatian, sebab dapat terjadi infeksi. Kondisi tidak keluarnya
plasenta ini disebut retensio, perusahaan menanganinya dengan cara melepas satu per
satu kotiledon tersebut dan diberi amphoprim sebanyak 2 tablet, antibiotik (Limoxin
200 LA) sebanyak 15 ml, multivitamin (injectamin) sebanyak 5 ml dan hormon
oxytocin sebanyak 7 ml.

Perawatan Induk dan Anak


Pedet dibiarkan menyusu pada induk secara bebas selama 2-3 bulan. Pedet
diberi vitamin A, D, dan E sebanyak 2 ml/ekor saat pemberian ear tag ( 3 hari
setelah lahir), selain untuk memudahkan dalam mengenalinya, “ear tag” disarankan
untuk dipasang agar tidak perlu melakukan cek ulang (Blakely dan Bade, 1991).
Pencegahan penyakit diberikan pada pedet bila diperlukan. Kondisi pengobatan,
harus dicatat dalam buku induk. Penyakit yang umum diderita oleh pedet adalah
diare dan pneumonia. Menurut Blakely dan Bade (1991), diare dianggap berasal dari
adanya invasi bakteri atau virus. Penyebabnya adalah kompleks, mulai dari bakteri,
virus dan keadaan lingkungan, kepadatan ternak yang terlalu tinggi, kekurangan
kolostrum, terlalu banyak mengkonsumsi pakan, defisiensi vitamin A dan adanya
parasit-parasit. Pengobatan yang dilakukan yaitu dengan pemberian antibiotik
(amphoprim) 1 bolus dan vitamin A,D,E sebanyak 2 ml. Anak dan induk lalu
dipisahkan selama 12 jam. Menurut Blakely dan Bade (1991), waktu 12 jam adalah
waktu efektif maksimum bagi antibiotika yang disuntikkan. Pencegahan terhadap
penyakit ini yaitu pemberian elektrolit yang terdiri dari campuran antibiotik, soda
kue, gula merah, garam dan air hangat. Soda kue digunakan sebagai pengembang
usus dikarenakan usus ternak akan mengkerut saat menderita diare. Gula merah
digunakan sebagai sumber energi tambahan, garam digunakan dalam cairan lambung
untuk mempertahankan persentase air tubuh (Blakely dan Bade, 1991) sedangkan air
hangat digunakan untuk melarutkan semua bahan. Gambar 12 menunjukkan saat
pengobatan pedet yang sakit.

63
Gambar 12. Pengobatan Pedet Sakit
Pneumonia disebabkan oleh virus yang masuk ke dalam tubuh melalui udara,
air, maupun cairan yang diloloh ke dalam mulut, atau penghisapan zat-zat kimia atau
debu. Tanda-tanda pneumonia adalah sikap berdiri dengan kaki merenggang lebar,
kelainan dari dada dan paru-paru, adanya cairan yang keluar dari lubang hidung,
lidah yang menjulur serta kesulitan bernafas (Blakely dan Bade, 1991). Pengobatan
penyakit ini yaitu dengan cara pemindahan induk dan anak pada kandang tertentu
dan diberi elektrolit serta antibiotik (penstrep) sebanyak 5 ml dengan interval
pemberian 24 jam selama 5 hari. Apabila penyakitnya tergolong parah maka interval
pemberian menjadi setiap 12 jam selama 5 hari. Mortalitas calves dan weaner di
perusahaan ini sebesar 3,5 %.
Induk di perusahaan ini terkadang terjangkit mastitis, menurut Blakely dan
Bade (1991) penyebab penyakit mastitis adalah bakteri yang dapat menular dari
seekor hewan ke hewan yang lain karena keadaan sanitasi yang kurang baik. Infeksi
dapat terjadi hanya pada satu kuartir saja yang kemudian berkembang dan bersifat
fatal. Pengobatan pada mastitis awal dapat dilakukan dengan menggunakan
antibiotik dengan menyuntikkannya langsung ke dalam kanal puting. Induk yang
mengalami mastitis diberi suntikan antibiotik (mastilak) sebanyak 5 ml/quarter dan
pengeringan ambing atau dapat juga diberi antibiotik (penstrep) 20 ml/quarter
pemberian diulang 12 jam kemudian selama 3 hari setelah diperah. Kandang induk

64
laktasi tersedia shelter yaitu tempat yang hanya dapat dimasuki oleh pedet sehingga
pakan pedet hanya dikonsumsi oleh pedet saja. Shelter ini berukuran 265 cm x 345
cm x 150 cm. Pedet sudah dikenalkan konsentrat dan hijauan ± 2 minggu setelah
lahir.

Penjualan Sapi Bibit


Pelayanan penjualan regular dimulai pukul 13:00 WIB, kecuali terdapat
pertimbangan khusus dan disposisi manajemen. Petugas mengetahui pen dan harga
sapi yang akan dijual lalu mempersiapkan dokumen kesehatan ternak dan memeriksa
timbangan sebelum sapi dikeluarkan dari pen. Kondisi ternak dan alat transportasi
harus memenuhi syarat pada kasus pengiriman ternak dengan menggunakan truk
yaitu bak truk harus cukup tinggi, kokoh, beralas sawdust (serbuk gergaji) yang
cukup tebal ( +/- 20 cm ), persiapan pakan hijauan segar dan air minum, sebaiknya
setiap beberapa saat pengawal sapi harus mengontrol kondisi sapi, pengiriman
sebaiknya pada sore/malam hari, kecepatan kendaraan yang digunakan stabil, serta
pada proses penurunan, sapi harus diturunkan pada tangga turun yang berdekatan
dengan kandang. Sapi yang baru tiba diberi obat anti stres (suntikan atau via air
minum). Berikut merupakan hasil penjualan ternak bibit di PT LJP dapat dilihat pada
Tabel 7.
Tabel 7. Penjualan Ternak Breeding PT Lembu Jantan Perkasa Periode 2009-2010

Penjualan (ekor)
Status Ternak
Tahun 2009 Tahun 2010

Bunting 553 387


Weaner 521 486
Ex-Breed 795 913
Reject 21 56
Total 1.890 1.842

Sumber : LJP (2010)

65
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Kegiatan dalam usaha pembibitan sapi potong memerlukan suatu pedoman
yaitu Good Breeding Practices (GBP). Penerapan aspek GBP sapi potong di PT LJP
Serang-Banten telah dilakukan dengan baik. Penerapan aspek sarana, proses produksi
bibit, pelestarian lingkungan, monitoring, evaluasi, dan laporan berdasarkan GBP
sebagian besar telah dilakukan dengan baik oleh perusahaan, namun diperlukan
perbaikan pada unit penanganan limbah, lebih mempertimbangkan mengenai
masalah replacement stock, peningkatan pengawasan pada areal peternakan yang
langsung berbatasan dengan masyarakat, serta pembuatan fasilitas desinfeksi untuk
staf/karyawan dan kendaraan tamu dipintu masuk perusahaan. Penerapan GBP yang
baik pula ditunjukkan pada ketercapaian produktivitas yang tinggi pada tahun 2010
yaitu calving interval sebesar 372 hari, service per conception sebesar 1,5 ,
conception rate sebesar 88%, dan calving rate sebesar 84%. Alur proses kegiatan
yang berlangsung di unit pembibitan PT Lembu Jantan Perkasa terdiri atas
penerimaan sapi, penimbangan, seleksi, pemeliharaan calon bibit, proses
pengawinan, pemeriksaan kebuntingan, pemeliharaan induk bunting, kelahiran,
perawatan induk dan anak, dan penjualan sapi bibit.

Saran
Saran yang diberikan bagi pihak perusahaan yaitu perbaikan pada dokumen
yang belum terekapitulasi dengan baik seperti penanganan kesehatan, agar tidak
bergantung pada beberapa karyawan saja. Perlu diadakan sosialisasi atau penyuluhan
mengenai aspek-aspek GBP dan SOP kepada seluruh karyawan agar penerapannya
dapat dilakukan secara optimal. Penelitian ini sebaiknya dilanjutkan mengenai GBP
di peternakan lainnya sehingga mutu usaha pembibitan sapi potong lainnya di
Indonesia lebih baik lagi.

66
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur Alhamdulillah, penulis sampaikan kehadirat Allah SWT yang


selalu melimpahkan nikmat-Nya yang tak terhingga sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dan studi ini. Shalawat beriring salam semoga senantiasa
tercurah kepada Baginda Rasulullah SAW beserta keluarga dan sahabat-Nya.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Rudy Priyanto
selaku dosen pembimbing utama dan pembimbing akademik atas bimbingan,
motivasi, ilmu, saran serta dukungan yang diberikan kepada penulis. Penulis
menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Henny Nuraini M.Si selaku dosen
pembimbing anggota atas bimbingan, motivasi, ilmu, saran serta dukungan yang
diberikan kepada penulis. Terima kasih Penulis juga ucapkan kepada Bapak Ahmad
Yani S.TP, M.Si. dan Bapak Dr. Ir. Didid Diapari M.Si. selaku dosen penguji serta
Bapak Dr. Rudi Afnan S.Pt, M.Sc.Agr selaku panitia ujian sidang atas saran dan
masukan yang diberikan. Terima kasih kepada Pimpinan PT LJP serta staf khususnya
unit breeding atas ilmu dan perizinannya untuk melakukan penelitian.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Mukrin Abdullah
dan Ibunda Darty Sabkie atas segala doa, kasih sayang, dukungan moril, dan materil
sehingga Penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini, juga kepada kakak
Sepriniasula Putra, Noverdiansyah Putra dan Apririandi Putra atas nasihat,
kebersamaan serta kasih sayangnya selama ini.
Terima kasih kepada Melati Lestari Z dan Nailla Rachmawati selaku rekan
penelitian atas bantuan serta kebersamaannya selama melakukan penelitian. Terima
kasih juga kepada sahabat-sahabat Desi A, Riri S.N, Annisa O.R, Wike R.P,
Ramadhani S, Revy P, Mayang M, Ade F, Tri S, Paulina Y, Handa H, dan Fuad H.
atas keceriaan dan persahabatan manis selama ini juga kepada rekan-rekan IPTP 44
atas bantuan dan kerjasamanya selama ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
dunia peternakan.
Bogor, Mei 2011

Penulis

67
DAFTAR PUSTAKA

Arthur, G.H., E.N. David, & H. Pearson. 1989. Veterinary Reproduction and
Obstetrics (Theriogenology). 6th Ed. Bailliere Tindall, London.
Badan Pusat Statistika. 2009. Statistical Pocket Book of Indonesia. BPS-Statistics
Indonesia, Jakarta.
Balai Inseminasi Buatan Singosari. 1997. Petunjuk Penampungan, Produksi,
Distribusi dan Evaluasi Semen Beku BIB Singosari, Malang.
Bearden, H. J. & Fuguay, J.W. 1997. Applied Animal Reproduction. 4th Ed. Prentice
Hall, Upper Saddle River, New Jersey.
Blakely, J. & D.H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan. Edisi Ke-4. Terjemahan : B.
Srogandono. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta.
Bowker, W.A.T, R.G Dumday, J.E Frisch, R.A Swan, & M.M.Tulloh 1978. A
Course Manual Beef Cattle Management and Economic. A.A.U.C.S.
Canberra.
Craig, J.V. 1981. Domestic Animal Behaviour. Department of Animal Science and
Industry. Kansas State University, USA.
Depison, A.Y. Putra, & Z. Elymayzar. 2003. Evaluasi produktivitas sapi Brahman
dan sapi Simbrah di BPTU-Sembawa. J. Ilmiah ilmu-ilmu peternakan. 4: 251
– 259.
Direktorat Jenderal Peternakan. 1985. Pedoman Peningkatan Mutu Ternak.
Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan. 1991. Petunjuk Pelaksanaan Program Inseminasi
Buatan Terpadu. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan, [Fapet UGM] Fakultas Peternakan Universitas
Gadjah Mada. 1986. Laporan survai evaluasi pengadaan dan penyebaran
ternak impor crash program. Direktorat Bina Produksi, Ditjen Peternakan dan
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Pedoman Pembibitan Sapi Potong yang Baik
(Good Breeding Practices). Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
Ensminger, M.E & H.D. Taylor. 2006. Dairy Cattle Science. 4th Ed. Pearson
Education Inc , New Jersey.
Frandson, R.D. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed. Ke-4. Terjemahan B.
Srigandono dan Koen Praseno. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Gomes, W. R. 1977. Artificial insemination. In : Cole, H.H. and Cupps P.T. (eds).
Reproduction in Domestic Animal. 3th Ed. Academic Press, New York.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliaan Ternak di Lapang. PT Gramedia
Widiasarana Aksara Indonesia, Jakarta.

68
Iswoyo & W. Priyantini. 2008. Performans reproduksi sapi peranakan Simmental
(Psm) hasil inseminasi buatan di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah. J.
Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan. 3: 125 – 133.
Kutsiyah F, Kusmartono, & S. Trinil. 2002. Studi komparatif produktivitas antara
sapi Madura dan persilangannya dengan Limousin di Pulau Madura. J. Ilmu
ternak dan Veteriner. 8: 98 – 106.
Minish, J.L. & D.G. Fox. 1979. Beef Production and Management. Reston Pub. Co.
Inc. A Prentice-Hall Company. Reston, Viginia.
Natasasmita, A. & K. Mudikdjo. 1979. Beternak Sapi Pedaging. Unit Penataran,
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
NRC. 1984. Nutrient Requirement of Beef Cattle. 6th Revised Edition. Nasional
Academy of Science, Washington.
Office International des Epizooties. 2006. Guide to good farming practices for
animal production food safety. Animal Production Food Safety Working
Group. World Organization for Animal Health (OIE), Paris.
Palmer, R. W. 2005. Dairy Modernization. Thomson Delmar Learning, Canada.
Pane, I. 1986. Pemuliabiakan Ternak Sapi. PT Gramedia, Jakarta.
Panjono, Harmadji, E. Baliarti, & Kustono. 2000. Performans induk dan pedet sapi
Peranakan Ongole yang diberi ransum jerami padi dengan suplementasi daun
gamal. Buletin Peternakan Vol. 24 (2).
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas
Indonesia Press, Jakarta.
Partodihardjo, S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya, Jakarta.
Payne, W.J.A. 1970. Cattle Production in the Tropics. Logman Group Ltd., New
York.
Peters, A.R. 1996. Herd management for reproduction efficiency. J. Anim. Rep. Sci.
42 : 455-464.
Salisbury G.W & W.J. Vandemark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi
Buatan pada Sapi. Terjemahan : R. Djanuar. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Suharsono H. 1995. Klimatologi Dasar. Pustaka Jaya, Jakarta.
Sutan, S.M. 1988. Suatu perbandingan performans reproduksi dan produksi antara
sapi Brahman, Peranakan Onggole, dan Bali di daerah transmigrasi Batumarta
Sumatera Selatan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Tafal, Z. B. 1981. Ranci Sapi Usaha Peternakan yang Lebih Bermanfaat. Bharata
Karya Aksara, Jakarta.

69
Toelihere, M. R. 1979. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa,
Bandung.
Toelihere, M.R. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung.
Toelihere, M. R. 2006. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. UI Press,
Jakarta.
Turner H. G. 1977. The tropical adaptation of beef cattle. An Australian study. In:
animal breeding: Selected articles from the Word Anim. Rev. FAO Animal
Production and Health Paper 1:92-97.
Vandeplassche, M. 1982. Reproductive Efficiency in Cattle: A Guideline for Projects
in Developing Countries. Food and Agriculture Organization of the United
Nation, Rome.
Wijono, D.B., K. Ma‟sum, M. Ali Yusran, D.E. Wahyono & L. Abdullah. 1998.
Tampilan kondisi badan, pertumbuhan sapi potong dara dan kejadian estrus
pertama di peternakan rakyat. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Williamson, G. & W.J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan Daerah Tropis.
Terjemahan S.G.N. Djiwa Darmadja. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Winks L, A.E Holmes, P.O Grady, T.A James, & P.K Rourke. 1979. Comparative
growth and carcase characteristics of Shorthorn, Brahman-british Cross,
Friesian and Sahiwal-friesian Cross steers on the atherton tableland, North
Quensland. Aus J. Exp. Agr. Anim. Husb. 19:133-139.

70
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuisioner Good Breeding Practices
BAB I

SARANA DAN PRASARANA

A. Lokasi
1. Apakah anda mengetahui tentang Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan
Rencana Detail Tata Ruang Daerah (RDTRD)?
a. Tahu (lanjut pertanyaan no.2) b. Tidak tahu
2. Menurut anda sesuai atau tidak perusahaan ini didirikan di lokasi ini?
a. Ya b. Tidak (saran)
Saran:
3. Apakah lokasi ini berpotensi sebagai wilayah sumber bibit sapi potong?
a. Sangat berpotensi d. kurang berpotensi
b. Berpotensi e. tidak berpotensi
c. Biasa
4. Apakah lokasi ini telah terkonsentrasi menjadi satu unit pembibitan ternak
(village breeding center)?
a. Ya b. tidak (saran)
Saran:
5. Apakah peternakan ini menggangu ketertiban dan kepentingan umum
setempat?
a. Ya b. tidak
6. Apa yang selama ini menjadi keluhan masyarakat?

7. Apakah lokasi memperhatikan lingkungan dan topografi sehingga kotoran


dan limbah yang dihasilkan tidak mencemari lingkungan?
a. Ya b. tidak
Saran:
8. Adakah usaha pembibitan unggas disekitar lokasi ini?
a. Ada (jarak: m) b. tidak

B. Lahan
1. Apakah lokasi ini bebas dari jasad renik pathogen yang membahayakan
ternak dan manusia?
a. ya b. tidak
2. Apakah lahan ini sesuai peruntukannya?
a. Ya b. tidak

C. Sumber Air
1. Air yang digunakan tersedia sepanjang tahun dalam jumlah yang mencukupi?
a. Ya b. tidak
2. Apakah sumber air mudah dicapai atau mudah disediakan?
a. Ya b. tidak
3. Sumber air yang digunakan berasal dari mana?

72
4. Apakah pengunaan sumber air tanah menggangu ketersediaan air bagi
masyarakat?
a. Ya b. tidak

D. Bagunan dan Peralatan


1. Apakah ada Cattle Yard (berapa jumlah)?
a. Ya ( ) b. tidak
2. Bangunan apa saja yang ada diareal peternakan?
kandang pemeliharaan
kandang isolasi
gudang peralatan
unit penampungan
unit pengolahan limbah
gudang pakan
dll………………………………………………………………………
3. Peralatan apa saja yang ada diareal peternakan?
Tempat pakan dan tempat minum
Alat pemotong dan pengangkut rumput
Alat pembersih kandang
Alat pembuat kompos
Peralatn kesehatan ternak
dll…………………………………………………………………………
4. Persyaratan Teknis Kandang
Konstruksi harus kuat
Bahan ekonomis dan mudah diperoleh
Sirkulasi udara dan sinar matahari cukup
Drainase dan saluran pembuangan limbah baik serta mudah dibersihkan
Lantai rata, tidak licin, tidak kasar, mudah kering, tahan injak
Luas kandang memenuhi persyaratan daya tamping
Kandang isolasi dibuat terpisah
5. Persyaratan letak kandang
Mudah diakses terhadap transportasi
Tempat kering dan tidak tergenang saat hujan
Dekat sumber air
Cukup sinar matahari
Kandang tunggal menghadap timur
Kandang ganda membujur utara selatan
Tidak mengganggu lingkungan hidup
Memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi

E. BIBIT
1. Apakah klasifikasi bibit sapi potong yang ada dipeternakan ini?
Bibit dasar : diperoleh dari proses seleksi rumpun atau galur yang
mempunyai nilai pemuliaan diatas nilai rata-rata
Bibit induk (Breeding Stock) diperolah dari proses pengembangan bibit
dasar

73
Bibit sebar (Comersial Stock ) diperolah dari proses pengembangan bibit
induk
dll………………………………………………………………...........
2. Persyaratan dalam menjamin mutu produk yang sesuai dengan permintaan
konsumen
Sapi bibit harus sehat dan bebas dari segala cacat fisik
Semua sapi bbit betina bebas dari cacat alat reproduksi
Ambing normal
Tidak menunjukan kemandulan

F. Pakan
1. Apakah ketersediaan pakan cukup?
a. Ya b. tidak
2. Apakah jenis pakan yang diberikan?

3. Bagaimana sistem pemberian pakan?

4. Bagaimana sistem pemberian minum?


a. Ad-libitum b. terbatas

G. Obat Hewan
1. Apakah jenis obat yang umum digunakan disini?
Sediaan biologik
Farmasetik
Premik
Obat alami
Dll…………………………………………………………………………
2. Bila menggunakan obat dengan bahan kimia atau bahan biologik, adakah
nomor pendaftaraannya??
a. Ya b.Tidak
3. Bagaimana sistem pemesanan obat dilakukan?

4. Bagaimana sistem pemberian obat dilakukan?

5. Adakah pengawasan saat pemberian obat dilakukan?


a. Ada b.Tidak
jika ada, siapakah yang memberi pengawasan? ……………………………....
H. Tenaga Kerja
1. Bagaimana sistem perekrutan karyawan yang ada?
2. Adakah persyaratan dalam perekrutan pegawai, selain criteria di bawah ini?
Sehat jasmani dan rohani
Tidak memiliki luka terbuka
Telah mendapat pelatihan teknis pembibitan sapi potong
Dll…………………………………………………………………………..

74
3. Berapa tenaga kerja yang ada disini?

4. Satu orang tenaga kerja bertanggungjawab untuk berapa sapi atau berapa
kandang?

5. Bagaimana sistem penempatan tenaga kerja disini?

BAB II
PROSES PRODUKSI BIBIT
A. Seleksi bibit
1. Bagaimana sistem seleksi bibit dilakukan?

1.1 Seleksi Sapi induk


Sapi induk harus dapat menghasilkan anak secara teratur
Anak jantan maupun betina tidak cacat dan mempunyai rasio bobot
sapih umur 205 hari (weaning weight ration) diatas rata-rata.
Dll……………………………………………………………………
1.2 seleksi calon induk
bobot sapih terkoreksi terhadap umur 205 hari umur induk dan musim
kelahiran, diatas rata-rata
bobot badan umur 365 hari diatas rata-rata
penampilan fenotipe sesuai dengan rumputnya
dll………………………………………………………………………

B. Perkawinan, ternak pengganti, dan afkir


1. Apakah sistem perkawinan di peternakan ini?
Kawin alam
Inseminasi buatan
Transfer embrio
Jika perkawinan dilakukan secara (IB), darimana semen cair diperoleh?
2. Bagaimana sistem ternak pengganti (Replacement stock) dilakukan?
Calon betina dipilih 25% untuk replacement
10% untuk pengembangan populasi kawasan
60% dijual ke luar kawasan sebagai bibit
5% dijual sebagai ternak afkir (culling)
Tidak ada sistem ternak pengganti
Dll……………………………………………………………………..
3. Apakah yang menjadi ketentuan dalam afkir (culling) ternak disini?

C. Pencatatan (Recording)
1. Pencatatan yang ada di peternakan ini?
Rumpun
Silsilah
Perkawinan (tanggal, pejantan, IB/kawin alam)
Kelahiran (tanggal, bobot lahir)
Penyapihan (tanggal, bobot badan)
Peranakan kembali (tanggal, partus)

75
Pakan (jenis, konsumsi)
Vaksnasi, pengobatan (tanggal, perlakuan/treatment)
Mutasi (pemasukan dan pengeluaran ternak)
Dll……………………………………………………………………
2. Bagaimana sistem persilangan di peternakan ini?

3. Apakah lembaga yang memberikan sertifikasi untuk peternakan ini?

D. Kesehatan Hewan
1. Bagaimana sistem pengelolaan kesehatan di peternakan ini?

2. Apakah pernah terdapat penyakit menular di peternakan ini?


a. Ada (jenis penyakit : …………………………………………………….)
b. Tidak
3. Bagaimana penjadwalan pemberian vaksin di peternakan ini?

4. Adakah kartu kesehatan ternak di peternakan ini?


a. Ada b. Tidak
5. Adakah penjadwalan khusus mengenai kesehatan ternak kepada Dinas
setempat?
a. Ada (jadwal :……………….) b. Tidak
6. Adakah jadwal pemotongan kuku di peternakan ini?
a. Ada (jadwal :……………….) b. Tidak
7. Apakah sistem Biosecurity telah diterapkan pada peternakan ini?
a. Ya b. Tidak
jika ya, jelaskan

BAB III

PELESTARIAN LIGKUNGAN

1. Bagaimana sistem pengelolaan limbah di peternakan ini?

2. Adakah keluhan masyarakat sekitar mengenai pencemaran limbah di


peternakan ini?
a. Ya b. Tidak
Jika ya, jelaskan penanggulangannya

3. Apakah ada rencana penanggulangan pencemaran lingkungan sebagaimana


diatur di dalam
undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang ketentuan-ketentuan
pokok pengolahan lingkungan hidup.
Peraturan pemerintan nomor 27 tahun 1999 tentang analisa mengenai
dampak lingkungan
Peraturan pelaksanaan analisis mengenai dampak lingkungan
(AMDAL).
4. Apakah dilakukan pencegahan pencemaran lingkungan?

76
Mencegah timbulnya erosi serta membantu penghijauan di areal
usaha.
Menghindari timbulnya polusi dan ganguan lain yang berasal dari
lokasi usaha yang dapat mengganggu lingkungan berupa bau busuk,
suara bising, serangga, tikus serta pencemaran air sungai/air sumur?
Setiap usaha penggemukan sapi potong harus membuat unit
pengolahan limbah perusahaan (padat, cair dan gas) yang sesuai
dengan kapasitas produksi limbah yang dihasilkan.
Setiap penggemukan usaha sapi potong membuat pembuangan
kotoran dan penguburan bangkai.

BAB IV

MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN

A. Monitoring
1. Apakah monitoring dan evaluasi dilakukan oleh instansi yang berwenang?
a. Ya b. tidak
2. Kapankah jadwal monitoring dilakukan pada peternakan ini?

3. Siapakah yang berperan sebagai tim monitoring?

4. Apakah dilakukan pembuatan laporan tertulis secara berlaka kepada instansi?


a. Ya b. tidak
5. Apakah dilakukan pembutan laporan baik teknis maupun administrasi secara
berkala?
a. Ya b. tidak
6. Kapankah jadwal pelaporan kepada pemerintah dilakukan?

B. Sistem pengawasan
1. Apakah sistem pengawasan dilakukan secara baik?
a. Ya b. tidak
2. Apakah instansi yang berwenang dalam bidang peternakan melakukan
pengawasan manajemen mutu terpadu yang dilakukan?
a. Ya b. tidak

c. Sertifikasi
1. Apakah peternakan dilengkapi sertifikat ?
a. Ya b. tidak
2. Apakah sertifikat dikeluarkan oleh instansi berwenang setelah melalui
penilaian dan rekomendasi?
a. Ya b. tidak

77
Lampiran 2. SOP Usaha Pembibitan Ternak
No Kegiatan Juklak Ya Tidak
1. Persiapan Penerimaan Sapi a. Bentuk team petugas bongkar
1) Sebelum Kedatangan
b. Persiapkan kandang ( ∑ dan alokasi pen, kebersihan, cek bak pakan/
bak minum
c. Cukup penerangan ( Kandang, Cattle Yard, sarana lain)
d. Persiapkan Jalur dari Cattle Yard – Pen
e. Inventarisasi kebutuhan peralatan seperti : Ear Tag, Tang Aplikator,
Alat komunikasi, Tang ,dan lain-lain
f. Inventarisasi Obat seperti : Vitamin, antibiotik, elektrolit, gusanex, dll
g. Proyeksikan & persiapkan pakan (∑ Konsentrat dan Hijauan)
h. Persiapkan peralatan administrasi (Form-form, Berita Acara)
i. Kebutuhan /perlengkapan lain ( Bambu, tambang, Sawdust, tali rafia,
Sarung Tangan)
j. Melakukan koordinasi baik internal (antar unit, KP) dan eksternal
2) Saat Penerimaan sapi a) Sapi tersebut harus sesuai order pembelian dari kantor pusat (Ijin
direksi)
b) Sapi tersebut harus berdokumen lengkap dan sah :
c) Surat jalan, surat kesehatan ternak dari tempat asal,dan surat surat lain
yg dianggap perlu
d) Sapi diturunkan di Cattle Yard segera setelah dokumen dianggap sah
oleh supervisor atau oleh petugas yg bertanggung jawab. Peralatan /
perlengkapan penurunan Sapi ke CY harus sudah dipersiapkan dengan
baik
e) Penanganan/handling sapi dengan baik dan benar ( hati-hati, tidak

78
gaduh, tidak menyakiti ternak, menghindari stress pada ternak)
f) Sapi digiring ke dalam Pen yg sudah dipersiapkan
g) Membuat berita acara apabila terdapat kondisi sapi : mati di perjalanan,
lemah, patah kaki, kondisi tidak normal lainnya). BA ditandatangani
oleh Petugas Expedisi, supir truk, dan petugas penerima sapi
h) Pemberian obat stress (contra stress ATP plus) sesuai administer (dosis
dan petunjuk label) sampai dengan timbang awal
i) Pakan dan air minum bersih sudah tersedia di bak pakan/ bak minum
j) Laporan penerimaan jumlah dan kesusutan berat sapi dari pelabuhan ke
timbang terima truk
k) Catatan timbang dan catatan diterima atau ditolaknya sapi sebagai sapi
bibit harus segera dilaporkan ke pimpinan langsung untuk segera
dilaporkan ke kantor Pusat.
l) Petugas penerimaan harus setingkat Supervisor atau pejabat lain yang
ditunjuk langsung oleh Pimpinan.
m) Dokumen / berita acara penerimaan sapi harus ditandatangani oleh
Supervisor atau pejabat lain yg telah ditunjuk oleh pimpinan dan
diserahkan ke Bagian Administrasi Ternak
n) Pada kedatangan malam hari, petugas yang bertanggung jawab adalah
Perwira Piket di bantu oleh karyawan yg piket pada malam itu
2. Timbang Awal (TA) a) TA dimulai minimal setelah sapi istirahat 2 hari (2x24jam) setelah
penerimaan
b) Pemeriksaan kondisi dan akurasi timbangan
c) Pemasangan ear tag, penimbangan individu, treatment, dan drafting/
pengelompokan sapi berdasarkan jenis kelamin, berat, kondisi
sakit/sehat
d) Pencatatan berat, identifikasi, ex-property (asal), breed dan kondisi
(sehat dan sakit)
e) Penanganan / handling sapi selama proses TA dilakukan dengan hati-
hati

79
f) Pemberian obat anti stress selama 2 hari setelah TA, ikuti petunjuk label
administer ( dosis dan aturan pemberian)
g) Laporan Timbang Awal
3 Seleksi Awal a) Sapi yang sudah beradaptasi awal selama 2 bulan , akan diseleksi / uji
kelayakan Reproduksi dan kesehatan Reproduksi, berat minimal badan
minimal ( untuk breed non- local : 270 kg)
b) Sapi yg lolos seleksi awal ini akan dilanjutkan ke proses
adaptasi,perbaikan kondisi dan pengamatan siklus berahi
c) Sapi yang tidak lolos karena alasan reproduksi dan kesehatan
digemukkan dan dijual sebagai sapi potong
d) Sapi yang lolos seleksi terus diamati kondisinya dan diberikan vit ADE
saat PAR, pengamatan berahi ( oestrus , heat ) dilakukan selama 24 jam
e) Sapi yg berahi dicatat no telinganya dan dikirim ke Cattle yard untuk di
IB
4. Perawatan Sapi Bibit Induk Bunting

a) Sapi yang bunting ditempatkan di kandang bunting


b) Kandang sapi bunting dibuat lebih luas
c) Pakan disesuaikan dengan kebutuhan dan dicatat setiap hari
d) Sapi yang akan segera beranak (2 – 3 hr) dipindahkan ke kandang
beranak dalam kondisi bersih. Setelah 1 minggu beranak dimasukkan
kedalam kandang Laktasi
e) Sapi kelompok ini tidak boleh banyak gangguan (Stress)
Saat Lahir
a) Tali pusat dipotong ( sisa +/- 2 cm dr pangkal )
b) Tali pusat diberi desinfektan dan anti Lalat ( Yodium , Gusanex dll )
c) Dilakukan penimbangan / pencatatan berat lahir (Maksimal 24 jam
setelah kelahiran),dan ear tag induknya
d) Harus mendapat kolostrum induk semaksimal mungkin

80
e) Pada kasus pedet sulit menyusui (lemah dll) harus dibantu untuk disusui
f) Pedet dibiarkan menyusui Induk secara bebas selama 2-3 bulan
(Tergantung kondisi Pedet dan kondisi Induk)
g) Diberi vit ADE @ 2ml / ekor saat pemberian ear tag ( 3 hari setelah
lahir)
h) Diberi pengobatan / pencegahan penyakit bila diperlukan.
i) Pedet umur > 3 bulan harus di identifikasi ( pemberian notel)
Induk Laktasi
a) Pakan disesuaikan dengan kebutuhan dan dicatat setiap hari
b) Induk yang mengalami Mastitis ( Radang Ambing ) harus mendapatkan
suntikan antibiotik (mastilak),dan pengeringan ambing
c) Kondisi pengobatan harus dicatat dalam buku Induk
d) Situasi proses kelahiran harus dicatat ( Kesulitan beranak, Abortus dll )
dalam buku Induk
e) Kondisi Pedet yang baru lahir harus dicatat ( Lemah, sehat ,dapat
menyusu sendiri dll)
5. Perkawinan Heifer / Cow
a) Umur ; Minimal : 1.5 - 2 tahun
b) Berat : Minimal : 270 non Lokal
c) Alat Reproduksi : Normal
d) Siklus Heat : Normal
e) Exterior : Bagus (ex: tinggi gumba min 120 cm)
f) Temperament : Bagus
g) Kesehatan : Bagus
Metoda Perkawinan
a) Artificial Insemination ( Inseminasi Buatan)
b) Kawin Alam

81
6. Penjualan Sapi Bibit
1) Waktu Penjualan a) Pelayanan penjualan reguler dimulai jam 13.00, kecuali ada
pertimbangan khusus dan disposisi manajemen
b) Adanya dokumen kesehatan ternak (surat ket.sehat dari disnak,ket.
Bebas penyakit dri balitnak) Catatan Individu Sapi Bibit dll
2) Teknis Penjualan a) Petugas mengetahui pen sapi yang kan dijual dan harga sapi
b) Mempersiapkan dan memeriksa timbangan, sebelum sapi dikeluarkan
dari pen (sesuai spesifikasi konsumen)
3) Pengiriman Ternak a) Untuk kasus Pengiriman Ternak dengan memakai Truk, harus benar
benar memenuhi syarat antara lain: Bak Truk harus cukup tinggi, kokoh,
beralas sawdust (serbuk gergaji) yang cukup tebal ( +/- 20 cm )
b) Persiapan pakan hijauan segar dan air minum harus cukup
c) Sebaiknya setiap beberapa saat pengawal sapi harus mengontrol kondisi
Sapi
d) Perjalan sebaiknya pada sore / malam hari
e) Kecepatan kendaraan sebaiknya stabil
f) Pada proses penurunan, Sapi harus diturunkan pada tangga turun yang
berdekatan dengan kandang
g) Sapi yang baru sampai diberi obat anti stress ( suntikan atau via air
minum
7. Sistim Pencatatan / a) Record Harian
Rekording / Pelaporan b) Record Layak Servis
c) Record Servis IB
d) Record / kartu IB
e) Record Populasi
f) Record Peralatan IB Individu Induk/Heifer
8. Penanganan Sapi sakit a) Treatment sesuai diagnosa , ikuti petunjuk label administer ( dosis dan
aturan pemberian)
b) Ditempatkan dalam kandang khusus perawatan (hospital pen)
c) Pola pakan untuk sapi sakit

82
d) Pengamatan dan Evaluasi kondisi sapi secara periodik ( catatan
konsumsi)
e) Untuk sapi yang kondisinya semakin menurun, dibuat tertulis ajuan
untuk di jual ke marketing
f) Laporan Sapi Sakit
9. Pengelolaan Lingkungan a) Lingkungan tempat kerja dan sekitarnya harus tertata dengan baik, asri ,
bersih dan nyaman
b) Penanganan limbah bersih dan baik

83
Lampiran 3. Data Perhitungan pada Tahun 2009 dan 2010

Peubah yang diamati

Service per Straw yang


conception (%)
digunakan (buah) Akseptor (ekor) Total

Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun


2009 2010 2009 2010 2009 2010
1697 891 1084 594 1,6 1,5

Conception Rate Akseptor yang


(%)
Induk bunting (ekor) bunting (ekor) Total

Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun

2009 2010 2009 2010 2009 2010

1084 594 1398 675 78 88

Calving Rate (%) Akseptor yang

Kelahiran (ekor) bunting (ekor) Total

Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun

2009 2010 2009 2010 2009 2010

379 738 1635 882 23 84

84

Anda mungkin juga menyukai