Anda di halaman 1dari 5

Dahulu kala, ada cecak hidup bertetangga dengan buaya. Si cecak punya kebiasaan jelek.

Dia
tidak pernah mensyukuri rezeki makanan yang didapatnya. Meskipun memperoleh rejeki
banyak, dia selalu protes kepada siapa saja yang ditemuinya. Apalagi saat dia tidak mendapat
rejeki secuil pun. Dia akan melampiaskan kemarahan kepada siapa saja yang ditemuinya. Cacian
dan sumpah serapah selalu keluar dari mulutnya. Terkadang dia menyalahkan Tuhan. "Tuhan
memang tidak adil," katanya. "Kenapa aku cuma bertubuh kecil? Kenapa kakiku diberi lem
perekat? Aku khan jadi sulit berlari mengejar mangsaku? Kenapa aku hanya bisa berjalan
merayap di tembok-tembok? Sementara teman-temanku bisa berlarian di darat?
Uuuhhhhh....memang Tuhan tidak adil dalam menciptakan aku," gerutu si cecak.

Malam itu, si cecak pergi mencari makanan. Namun, sejak sore hingga tengah malam ia
tidak mendapatkan makanan sepotongpun. Ia terus berkeliling ke setiap sudut tembok, namun
sia-sia. Tidak ada sepotong makananpun yang dijumpainya.

"Sialan!," ia mulai menggerutu dalam hati. "Beginilah kalau kakiku dipenuhi lem perekat.
Aku kesulitan mencari makan. Uuuuhhhh......dasar!"

Dan tidak jauh dari tempat si cecak mencari makanan, ada seekor buaya yang sejak tadi
memperhatikannya. Si buaya tersenyum melihat si cecak selalu menyesali nasibnya. "Tidak
seharusnya dia berkata begitu," kata si buaya. "Tuhan tidak pernah salah design dalam
menciptakan semua makhluk-makhluk-Nya. Tuhan menciptakan makhluk-Nya tentu sudah
disesuaikan dengan cara mereka akan memperoleh makanannya. ," lanjut si buaya .

"Hei, cicak...kenapa kamu selalu marah-marah begitu?" teriak si buaya. "Setiap hari kok
kerjamu menyesali nasibmu melulu. Kamu sama sekali tidak pernah bersyukur kepada Tuhan
yang telah menciptakan tubuhmu."

Si cicak tidak menjawab pertanyaan buaya. Sebaliknya, kedua matanya menatap tajam
ke sekeranjang makanan yang ada di hadapan buaya. Melihat banyak makanan membuat air
liurnya keluar. Kemudian dia mencoba mendekati si buaya. Lalu dia mulai merayu si buaya agar
memberikan sedikit makanan yang ada di hadapannya.

"Waaaah...makananmu banyak sekali, pak buaya," kata si cicak. "Bagi-bagi dong...aku


sedang kelaparan, nih. Seharian belum mendapatkan makanan"

"Hah...kamu minta makananku?!," teriak pak buaya. "Tidak bisaaa...tidak bisaaa...tidak


boleeeeh! Sebab makanan ini bukan milikku. Aku cuma bertugas menjaganya saja. Buah-buah
ini milik tuanku. Aku tidak berhak memberikan sebuahpun kepada siapa saja. Aku takut
melanggar janji. Aku takut dianggap berkhianat. Aku takut dosa, kawan," kata si buaya memberi
alasan.

"Yaaaaa....minta sebuah saja masa nggak boleh? Buah di hadapanmu khan banyak tentu
kalau berkurang satu saja pasti tuanmu tidak akan tahu!

"Eitsss...sekali tidak boleh ya tidak boleh...aku takut dianggap sebagai pengkhianat," kata
pak buaya.

"Pak Buaya, aku sedang kelaparan, nih. Bukankah menolong teman yang sedang kelaparan
akan mendapat pahala dari Tuhan. Ayo dong beri sebuah saja. Pasti Tuhan akan memberi pahala
yang buaaannnyaaaakk kepadamu," demikian rayu si cecak.

"Waaahhh ya nggak bisa begitu, cicak! Kalau amanah ya tetap amanah. Apapun alasannya.
Kamu jangan membuat aku melakukan perbuatan dosa, ya."

"Lhoooo...menolong teman yang sedang kelaparan kok dikatakan berbuat dosa ," kata
Cicak terus merayu.

"Tapi makanan ini bukan milikku, cicaaaak!" kata pak buaya mulai jengkel. "Aku dilarang
memberikannya pada siapapun. Apapun alasannya. Itu saja. Jadi aku takut melanggar sumpah.
Apakah kamu tidak mengerti juga?"

Si cicak semakin sewot. Seluruh rayuannya tidak bisa mengubah pendirian buaya. Ia masih
mencari cara lain agar si buaya mau memberikan makanan yang dijaganya.

"Hehehehe...iya dechhhh...waahhhh aku kagum terhadap keteguhan sikapmu menjaga


amanah tuanmu, kawan," kata cecak memulai rayuannya. "Aku mengaku salah dechhh..... Aku
tadi cuma mau mengujimu saja, kok. Dan kini aku sadar, aku akan belajar kepadamu agar aku
bisa memiliki sikap sepertimu. Aku ingin menjadi makhluk Tuhan yang punya sikap amanah
sepertimu. Tapiiiii.... maukah kamu mengajariku, pak buaya?"

"Heemmmmm," si buaya agak curiga dengan perubahan sikap si cicak.

"Benar, pak buaya. Aku merasa bersalah. Aku merasa berdosa mencoba membuat kamu
jadi berkhianat. Sekarang aku ingin belajar darimu. Aku ingin punya pendirian kuat sepertimu.
Aku ingin merobah sikapku yang salah. Aku ingin memiliki sikap amanah sepertimu. Aku ingin
berubah, kawan."

Rupanya pak Buaya mulai luluh hatinya. Ia mulai merasa iba pada perobahan sikap si
cecak. Ia akhirnya mulai percaya dan hanya berpikir positif terhadap perubahan sikap si cecak.
Oleh karena itu, ia menyatakan bersedia mengajari si cecak.
"Terima kasih, pak buaya. Terima kasih....terima kasih....ayoooo... kita segera
mempraktekkan pelajarannya sekarang saja ," kata si cicak kegirangan.

Pak buaya merasa senang dengan sikap si cecak yang penuh semangat ingin menjadi
teman yang amanah dan memiliki tanggung jawabterkejut mendengar kegembiraan si cecak
dan ingin langsung mempraktekkan saat itu juga.

"Hah....mempraktekkannya sekarang juga?," kata pak buaya keheranan. "Kenapa harus


secepat itu kamu ingin belajar dariku?"

"Yaaaa iyalah...khan aku kepingin secepatnya merobah sikap menjadi amanah sepertimu !
Kalau ditunda-tunda nanti aku bisa berobah pikiran." kata si cicak.

Si buaya berpikir, kalau si cecak berubah pikiran tentu ia tidak bisa lagi punya kesempatan
merobah sikap jeleknya. Nah, mumpung ia bersemangat mau belajar maka ia menyetujui saja
saran si cecak.

"Baiklah kalau begitu," kata buaya. "Kita mulai belajar darimana, kawan?"

Si cecak tertawa senang. "Akhirnya aku bisa menjalankan tipu muslihatku," pikir si cecak.
Dia sebenarnya berpura-pura ingin belajar merobah sikap kepada pak buaya. Namun tujuan
sebenarnya adalah ingin menguasai makanan yang sedang dijaga si buaya. Dan ternyata akal
liciknya mulai menemui keberhasilan. Kemudian, dia menyarankan agar pelajaran pertamanya
adalah belajar menjaga makanan yang ada dihadapan buaya.

"Begini, Buaya. Aku ingin belajar memiliki sikap amanah dengan menjaga makanan di
hadapanmu itu. Kamu bisa mengawasiku dari jauh. Bukankah kamu sudah lama menjaganya.
Tentu kamu merasa capek, khan? Nah, sekarang kamu bisa istirahat. Biarlah makanan-makanan
ini aku yang menjaganya."

Sebenarnya ada sedikit keraguan di hati pak buaya. Sebab dia harus pergi menjauhi
makanan yang ia jaga dan ia harus mengawasinya dari kejauhan. Namun, ia percaya dan yakin
bahwa si cicak tidak mungkin berani berbohong padanya. Bukankah dia sudah insyaf dan mulai
belajar memiliki sikap amanah? Lagian, dia hanyalah hewan kecil. Kalau sampai berani
berbohong maka pak buaya akan memukul tubuh si cecak dengan ekornya sampai tewas.

"Tapi ada satu permintaanku, Cicak." kata pak buaya. " Bila sewaktu-waktu pemiliknya
datang maka kamu harus berpura-pura menjadi aku lho...kamu harus memegang amanah.
Jangan suka berdusta." lanjut pak buaya. Pak buaya hanya mengawasinya dari kejauhan.
"Iyaaaa...iyaaaa... pak buaya, ayo segeralah beristirahat di kejauhan sana!" bentak si cicak
sambil berjalan menuju ke sekeranjang makanan di depannya.

Si cicak tertawa dalam hati. Kini dia berhasil mengelabui pak buaya. "Dasar buaya
tolol...akhirnya aku bisa menipunya," pikir si cecak. Lalu si cicak mulai merencanakan
menghabiskan makanan di hadapannya tanpa sepengetahuan pak buaya. Namun, ia masih
menunggu kesempatan yang tepat yaitu pada saat pak buaya sudah tertidur.

Beberapa saat kemudian ketika si buaya benar-benar sudah tertidur, lalu si cecak cepat-
cepat mendekati sekeranjang makanan yang dijaganya. Dia mulai memilih makanan yang
terlezat untuk disantapnya.

Namun, ketika si cecak akan melaksanakan niatnya, tiba-tiba dari kejauhan datanglah
seekor singa mendekat sambil bernyanyi-nyanyi dan berteriak-teriak.

"Hohoho...hihihi...hahahaha...huhuhuhuu...aku datang...aku dataaaaannngggg aku


datang....Pak Buaya aku datang......pak buaya aku datang....Pak buaya aku mau mengambil
makananku," teriak pak singa.

Si cicak nyalinya menjadi ciut melihat kedatangan si singa. "Hah ...pemilik makanan ini
ternyata Pak Singa? Gawaaatttt!!!! Bagaimana ini?!" pikir si cecak ketakutan. Maka niat ingin
menghabiskan makanan di hadapannya akhirnya batal. Dia kini merasa ketakutan menghadapi
pak singa. Ia berniat mau melarikan diri, namun tubuhnya bergetar ketakutan. Dia sulit
menggerakkan kakinya. Dia berpikir kalau sampai pak singa tahu bahwa yang menjaga
makanannya bukan pak buaya maka pak singa akan marah besar. Dan ia ingat pesan pak buaya
bahwa bila pemiliknya datang maka ia harus berpura-pura menjadi pak buaya.

"Tapi tubuhku kecil," pikir si cecak. "Lalu bagaimana caranya agar aku bisa berpura-pura
menjadi buaya dalam waktu sesingkat ini? Aduuuuhhhhh....gawat si singa semakin dekat saja."
kata si cicak makin resah dan ketakutan.

Si cicak semakin kebingungan. Dan tanpa pikir panjang ia segera minum air sungai di
hadapannya sebanyak-banyaknya. Dia berpikiran bahwa dengan minum air sebanyak-banyaknya
maka tubuhnya akan membesar menyamai tubuh pak buaya. Dia tidak memikirkan akibatnya.
Dia cuma berusaha menyelamatkan diri dengan cara menyamai bentuk tubuh pak buaya.

Namun, rupanya usaha si cicak berhasil. Kini tubuhnya nampak membesar berisi air.
Tubuhnya sekilas nampak seperti tubuh pak buaya. Tapi, akibat memaksakan diri minum air
sebanyak-banyaknya membuat daya tahan tubuhnya mulai melemah. Dia tidak bisa
menggerakkan tubuhnya. Dan tidak berapa lama tubuhnya mulai mengambang di permukaan
air. Ia telah mati sebelum bisa menikmati makanan yang dijaganya.
Sementara itu, pak singa nampak senang melihat makanannya masih utuh.Tidak ada secuil
makanan pun yang hilang. Dia bangga dengan sikap amanah pak buaya dalam menjaga
makanannya. Dia senang dengan kejujuran pak buaya. Untuk itu, pak singa memberikan hadiah
beberapa biji buah kepada pak buaya agar bisa dinikmati bersama keluarganya. Pak buaya
gembira menerima hadiah sambil terus memandangi tubuh si cicak yang semakin menjauh
terbawa arus sungai.

selesai

moral cerita : Memegang amanah adalah perbuatan yang mulia. Sedang kelicikan akan
membawa petaka kepada siapapun yang melakukannya.

Anda mungkin juga menyukai