Anda di halaman 1dari 24

PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DI

TINGKAT PELAYANAN KESEHATAN PRIMER DI


INDONESIA

Disusun Oleh :
Margareth Yosephine Tito (030.11.174)
Mitha Faramitha (030.11.191)
Aulia Wiratama Putra (030.12.041)
Danny Hermawan (030.12.063)
Dimas Rifqi Anantyo (030.12.082)
Fadhilah Aliyah Nur Imani (030.12.093)
Reika Ravenski (030.12.224)
Renata Eka Nindya (030.12.225)
Yunivera Irmanita (030.12.294)
Vanya Hermalia Puspita (030.13.197)

Dibimbing oleh :
Dr Raditya W, Sp.OG (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


PERIODE 4 JUNI 2018 – 25 AGUSTUS 2018
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan
ridha-Nya kami dapat menyelesaikan makalah berjudul “Pelayanan Kesehatan
Reproduksi Remaja di Tingkat Pelayanan Kesehatan Primer di Indonesia”.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kesehatan Masyarakat periode 6 November 2017–13 Januari 2018.
Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para staf
pengajar di Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat, Dr. dr. Raditya
Wratsangka, Sp.OG (K) atas bimbingannya dalam materi Obsgyn Sosial dan
makalah ini, serta teman-teman yang turut berpartisipasi dalam penyusunan
makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kami terbuka sekali bagi kritik dan saran yang membangun bagi perbaikan
makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, Juli 2018

Penyusun

2
BAB I
PENDAHULUAN

Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sehat atau sejahtera secara fisik,
psikis dan sosial dalam melaksanakan proses melanjutkan generasi atau keturunan.
Apabila ada gangguan dalam organ maupun fungsi seksual, baik gangguan fisik
maupun psikis maka proses melanjutkan keturunan akan terganggu sehingga
generasi yang akan dihasilkan nantinya akan jauh dari apa yang diharapkan, dan
bahkan dapat berakibat tidak dapat melanjutkan keturunan sama sekali.1
Persepsi remaja tentang kesehatan reproduksi, lebih cenderung kepada
hubungan seksual semata, dan seks biasanya secara otomatis di dalam pandangan
masyarakat akan dihubungkan dengan berbagai hal yang negatif, ditambah lagi
dengan asumsi masyarakat menyangkut seks, seks merupakan sesuatu yang kotor
tidak pantas dibicarakan. Seks masih dianggap tabu, tidak bisa dibacarakan dengan
bebas sehingga konsep seksual yang benar tidak dapat tersampaikan. Seks terkesan
sebagai konsumsi orang dewasa saja, sedangkan remaja atau siapapun yang belum
menikah tidak boleh membicarakanya. Inilah persoalan yang menjadi tantangan
mengenai pemahaman kesehatan reproduksi remaja yang ada di masyarakat. 1
Remaja dapat di defenisikan sebagai masa transisi dari anak-anak menuju
dewasa, dalam masa transisi tersebut, yang diiringi dengan peningkatan hormonal
yang cukup serta peningkatan gizi yang diperoleh, maka terjadilah perubahan-
perubahan internal (perubahan fisik dam psikis) maupun perubahan ekternal
(perubahan psikososial). Namun perubahan fisik terkesan lebih cepat ketimbang
perubahan psikososialnya. 1
Di Indonesia, menurut Biro Pusat Statistik (2009) kelompok umur 10-19
tahun adalah sekitar 22%, yang terdiri dari 50,9% remaja laki-laki dan 49,1%
remaja perempuan. Berdasarkan data Departemen Kesehatan (Depkes) Republik
Indonesia tahun 2006, remaja Indonesia berjumlah sekitar 20% dari jumlah
penduduk. Ini sesuai dengan proporsi remaja di dunia, dimana jumlah remaja
diperkirakan 1,2 miliar atau sekitar 1/5 dari jumlah penduduk dunia2
Sekitar 50 juta orang (20%) populasi Indonesia adalah remaja (usia 10 - 19
tahun). Dari jumlah tersebut tentunya akan banyak permasalahan yang dihadapi.
Beberapa masalah remaja antara lain kehamilan yang tidak diinginkan (33,79%)

3
remaja yang sudah siap, untuk melakukan aborsi (PKBI, 2005). Pada penelitian lain
didapatkan, dari 2,4 juta aborsi 21% (700 – 800 ribu) dilakukan oleh remaja
(BBKBN-LDFEUI, 2000). Sedangkan PMS pada remaja 4,18%, HIV/AIDS 50%,
terjadi pada umur 15 – 29 tahun (Jabar, 2001).3.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi
A. Remaja
Definisi mengenai remaja memiliki beberapa versi sesuai dengan
karakteristik biologis ataupun sesuai dengan kebutuhan penggolongannya.
Pada umumnya remaja di definisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-
kanak kemasa dewasa. Namun apabila pada usia remaja seseorang sudah
menikah maka ia tergolong dalam dewasa atau bukan lagi remaja. Menurut
World Health Organization (WHO) yang disebut remaja adalah mereka yang
berada pada tahap transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Batasan usia
remaja menurut WHO adalah 12 sampai 24 tahun. sedangkan berdasarkan
penggolongan umur masa remaja terbagi atas: 4
- Masa remaja awal : masa remaja yang berusia 12 – 15 tahun.
- Masa remaja tengah : masa remaja yang berusia 15 – 18 tahun.
- Masa remaja akhir : masa remaja yang berusia 18 – 21 tahun.
Sedangkan menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) yang termasuk kategori remaja adalah manusia usia 10 sampai
dengan 24 tahun. Sementara departemen kesehatan dalam program kerjanya
menjelaskan bahwa remaja adalah usia 10 sampai dengan 19 tahun. Di dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat menganggap remaja adalah mereka yang
belum menikah dan berusia antara 13 sampai 16 tahun atau mereka yang
bersekolah di sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas
(SMA)
B. Puskesmas
Menurut Depkes RI (2004), Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan
pembangunan kesehatan di suatu wilayah kesehatan. 5
Menurut PERMENKES nomor 75 tahun 2014, Pusat Kesehatan
Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upayakesehatan masyarakat dan
upaya kesehatan perseorangan tingkatpertama, dengan lebih mengutamakan

5
upaya promotif dan preventif,untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginyadi wilayah kerjanya.7
Menurut Ilham Akhsanu Ridho (2008:143) Puskesmas adalah suatu unit
organisasi yang bergerak dalam bidang pelayanan kesehatan yang berada di
garda terdepan dan mempunyai misi sebagai pusat pengembangan pelayanan
kesehatan, yang melaksanakan pembinaan dan pelayanan kesehatan secara
menyeluruh dan terpadu untuk masyarakat di suatu wilayah kerja tertentu yang
telah ditentukan secara mandiri dalam menentukan kegiatan pelayanan namun
tidak mencakup aspek pembiayaan.

C. Kesehatan reproduksi
Secara sederhana reproduksi berasal dari kata re yaitu kembali dan produksi
yaitu membuat atau menghasilkan, jadi reproduksi mempunyai arti suatu
proses kehidupan manusia dalam menghasilkan keturunan demi kelestarian
hidupnya.
Kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera sehat secara fisik, mental
dan social secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan
yang berkaitan dengan system, fungsi dan proses reproduksi. (pusat data dan
informasi kementrian kesehatan RI).5
Kesehatan reproduksi remaja menurut IDAI adalah suatu kondisi sehat
menyangkut sistem, fungsi dan proses reproduksi yang dimiliki oleh remaja.
Pengertian sehat disini tidak semata-mata berarti bebas penyakit atau bebas
dari kecacatan namun juga sehat secara mental serta social kultural.
Menurut WHO dan ICPD (International conference on Population and
Development) 1994 yang diselenggarakan di Kairo kesehatan reproduksi
adalah keadaan sehat yang menyeluru, meliputi aspek fisik, mental dan sosial
dan bukan sekedar tidak adanya penyakit atau gangguan segala hal yang
berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsinya maupun proses reproduksi itu
sendiri. 5

6
2.2. Tujuan Kesehatan Reproduksi Remaja
2.2.1. Tujuan Umum :
- Meningkatkan kesadaran kemandirian wanita dalam mengatur fungsi dan
proses reproduksinya, termasuk kehidupan seksualnya, sehingga hak-hak
reproduksinya dapat terpenuhi, yang pada akhirnya menuju peningkatan
kualitas hidupnya. 6
2.2.2. Tujuan Khusus :
- Meningkatkan kemandirian wanita dalam memutuskan peran dan fungsi
reproduksinya
- meningkatkan hak dan tanggung jawab sosial wanita dalam menentukan
kapan hamil, jumlah dan jarak kehamilan
- meningkatkan peran dan tanggung jawab sosial pria terhadap akibat dari
perilaku seksual dan fertilitasnya kepada kesehatan dan kesejahteraan
pasangan dan anak-anaknya
- memberi dukungan yang menunjang wanita untuk membuat keputusan yang
berkaitan dengan proses reproduksi, berupa pengadaan informasi dan
pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan untuk mencapai kesehatan
reproduksi secara optimal.6

2.3. Peraturan Mengenai Puskesmas, Kesehatan Reproduksi Remaja,


serta Batasan Kebijakan Pemerintah terkait kesehatan Reproduksi
Remaja
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indoneisa nomor 75 tahun
2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), menyatakan bahwa
Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya
kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan
lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.7

Pasal 2
(1) Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat yang :

7
a. memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat;
b. mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu
c. hidup dalam lingkungan sehat; dan
d. memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat.
(2) Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mendukung terwujudnya kecamatan sehat.

BAB II
prinsip penyelenggaraan, tugas, fungsi dan wewenang

Pasal 3
(1) Prinsip penyelenggaraan Puskesmas meliputi:
a. paradigma sehat;
b. pertanggungjawaban wilayah;
c. kemandirian masyarakat;
d. pemerataan;
e. teknologi tepat guna; dan
f. keterpaduan dan kesinambungan
Berdasarkan UU no 36 tahun 2009 tentang kesehatan mencantumkan tentang
kesehatan reproduksi pada :8
BAB VI : Pasal 71 sampai dengan pasal 74. Pasal 71 ayat 3 mengamanatkan
bahwa kesehatan reproduksi dilaksanakan melalui kegiatan promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif. Setiap orang (termasuk remaja) berhak memperoleh
informasi, edukasi dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan
dapat dipertanggung jawabkan (pasal 71). Oleh sebab itu pemerintah wajib
menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan reproduksi yang
aman, bermutu dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana(73),
setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan
rehablititaif, termasuk termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman

8
dan sehat dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi
perempuan ( 74).8
BAB VII: Kesehatan Ibu, Bayi, Anak, Remaja, Lanjut Usia, dan Penyandang
Cacat
Bagian ke dua: kesehatan remaja yang terdiri atas:
a. Pasal 136
1) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja harus ditujukan untuk
mempersiapkan menjadi orag dewasa yang sehat dan produktif, baik social
maupun ekonomi.
2) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk untuk reproduksi remaja dilakukan agar terbebas dari berbagai
gangguan kesehatan yang dapat menghambat kemampuan menjalani
kehidupan reproduksi secara sehat.
3) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
b. Pasal 1378
1) Pemerintah berkewajiban menjamin agar remaja dapat memperoleh
edukasi, informasi, dan layanan mengenai kesehatan remaja agar mampu
hidup sehat dan bertanggung jawab.
2) Ketentuan mengenai kewajiban pemerintah dalam menjamin agar
remaja memperoleh edukasi, informasi dan layanan mengenai kesehatan
sebagimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
pertimbangan moral nilai agama dan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pada tahun 2014 dibentuk Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang
kesehatan reproduksi yaitu UU no 61 tahun 2014 menimbang bahwa untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 74 ayat (3), Pasal 75 ayat (4), Pasal 126 ayat (4), dan
Pasal 127 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Reproduksi, yang berisi:9

9
BAB I: mengenai ketentuan umum pasal 1 poin 3 berisi Pelayanan Kesehatan
Reproduksi Remaja adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang
ditujukan kepada remaja dalam rangka menjaga kesehatan reproduksi.9

BAB III: Pelayanan kesehatan Ibu


Bagian kesatu: umum
Pasal 8
1) Setiap perempuan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan ibu untuk
mencapai hidup sehat dan mampu melahirkan generasi yang sehat dan
berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu.
2) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedini
mungkin dimulai dari masa remaja sesuai dengan perkembangan mental dan
fisik.
3) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan
melalui :
a. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja;
b. Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Hamil, Persalinan, dan
Sesudah Melahirkan;
c. pengaturan kehamilan, pelayanan kontrasepsi dan kesehatan seksual; dan
d. Pelayanan Kesehatan Sistem Reproduksi.
4) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan
melaluipendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Bagian kedua: pelayanan kesehatan reproduksi remaja9
Pasal 11
1) Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja bertujuan untuk:
a. mencegah dan melindungi remaja dari perilaku seksual berisiko dan
perilaku berisiko lainnya yang dapat berpengaruh terhadap Kesehatan
Reproduksi; dan
b. mempersiapkan remaja untuk menjalani kehidupan reproduksi yang
sehat dan bertanggung jawab.
2) Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja diberikan dengan menggunakan
penerapan pelayanan kesehatan peduli remaja.

10
3) Pemberian Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja harus disesuaikan dengan
masalah dan tahapan tumbuh kembang remaja serta memperhatikan keadilan
dan kesetaraan gender, mempertimbangkan moral, nilai agama, perkembangan
mental, dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 12
1) Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 dilaksanakan melalui pemberian:
a. komunikasi, informasi, dan edukasi;
b. konseling; dan/atau
c. pelayanan klinis medis.
2) Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a meliputi materi:
a. pendidikan keterampilan hidup sehat;
b. ketahanan mental melalui ketrampilan sosial;
c. sistem, fungsi, dan proses reproduksi;
d. perilaku seksual yang sehat dan aman;
e. perilaku seksual berisiko dan akibatnya;
f. keluarga berencana; dan
g. perilaku berisiko lain atau kondisi kesehatan lain yang berpengaruh
terhadap kesehatan reproduksi.
3) Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan
dengan memperhatikan privasi dan kerahasiaan, dan dilakukan oleh tenaga
kesehatan, konselor dan konselor sebaya yang memiliki kompetensi sesuai
dengan kewenangannya.
4) Pelayanan klinis medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
termasuk deteksi dini penyakit/screening, pengobatan, dan rehabilitasi.
5) Pemberian materi komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui proses pendidikan formal dan
nonformal serta kegiatan pemberdayaan remaja sebagai pendidik sebaya
atau konselor sebaya.

11
1. Daftar masalah kesehatan reproduksi remaja
a. di luar nikah atau kehamilan tidak diinginkan
b. aborsi
c. pernikahan usia muda
d. pelecehan seksual
e. gangguan haid
f. sex pra nikah
g. dismenorhea
h. pacaran
i. infeksi menular seksual
j. leukore.
k. meningkatnya angka kejadian HIV/AIDS pada remaja
Terdapat indikasi pada remaja - baik di perkotaan maupun perdesaan - yang
menunjukkan meningkatnya perilaku seks pra-nikah. Berdasarkan studi di 3 kota
Jawa Barat (2009), perempuan remaja lebih takut pada resiko sosial (antara lain:
takut kehilangan keperawanan/ virginitas, takut hamil di luar nikah karena jadi
bahan gunjingan masyarakat) dibanding resiko seksual, khususnya menyangkut
kesehatan reproduksi dan kesehatan seksualnya.10
Padahal kelompok usia remaja merupakan usia yang paling rentan terinfeksi
HIV/AIDs dan Penyakit Menular Seksual (PMS) lainnya. Bahkan, dalam jangka
waktu tertentu, ketika perempuan remaja menjadi ibu hamil, maka kehamilannya
dapat mengancam kelangsungan hidup janin/bayinya.
Pada dasarnya, kerentanan perempuan, bukan hanya karena faktor
biologisnya, namun juga secara sosial dan kultural kurang berdaya untuk
menyuarakan kepentingan/haknya pada pasangan seksualnya demi keamanan,
kenyamanan, dan kesehatan dirinya. Kepasifan dan ketergantungan sebagai
karakter feminin yang dilekatkan pada perempuan juga melatari kerentanan
tersebut. Faktor ekonomi juga mengkondisikan kerentanan perempuan. 7
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengkompilasi, masalah kesehatan
reproduksi remaja yang telrjadi di seluruh dunia, yang dapat menjadi bahan
pembanding untuk masalah yang sama di Indonesia, atau asumsi kejadian di
Indonesia bila belum tersedia datanya. 7

12
Indikator-indikator untuk masalah kesehatan reproduksi dipresentasikan pada
bagian ini. Informasi mengenai masalah kesehatan reproduksi, selain penting
diketahui oleh para pemberi pelayanan kesehatan, pembuat keputusan, juga penting
untuk para pendidikan dan penyelenggara program bagi remaja, agar dapat
membantu menurunkan masalah kesehatan reproduksi remaja.7

2. Pelayanan kesehatan reproduksi remaja di Puskesmas


Program kesehatan reproduksi remaja di tingkat puskesmas pada dasarnya
sudah dimasukkan dalam lingkup pelayanan kesehatan reproduksi sejak tahun
1994/1995 dengan penyediaan materi konseling kesehatan remaja dan
pelayanan konseling remaja di puskesmas. Namun, program konseling ini
belum bersifat ramah terhadap remaja dan belum melibatkan remaja sebagai
subjek. Oleh karena itu, pemanfaatan pelayanan ini sangat minim karena
remaja merasa tidak nyaman dengan perlakuan petugas kesehatan. Upaya
penyebaran informasi kemudian difokuskan pada kegiatan usaha kesehatan
sekolah (UKS) dengan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan petugas
kesehatan yang bertanggungj awab, baik terhadap program UKS, guru BP,
maupun kader kesehatan sekolah seperti Palang Merah Remaja (PMR) dan
Saka Bhakti Husada (SBH). 11
Pada tahun 1996-1998, sebagai tindak lanjut dari Lokakarya Nasional
tentang Kesehatan Reproduksi, dibentuk Kelompok Kerja (Pokja) Nasional
Kesehatan Reproduksi Remaja dengan leading sector Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas). Pokja ini diharapkan mampu menggerakkan semua
pihak terkait dalam menunjang pelaksanaan program kesehatan reproduksi
remaja sesuai dengan ketetapan ICPD. Namun sampai sekarang, tampaknya
Pokja ini hanya mampu menyusun peran dan fungsi masing-masing sektor
terkait. Belum ada satu pun program nyata yang dihasilkan oleh Pokja ini.11
Pada tahun yang sama (1998), juga dikembangkan pelayanan kesehatan
remaja di puskesmas melalui pendekatan kemitraan dengan sektor terkait
(BKKBN, Depdiknas, Depag, dan Depsos). Depkes (Kemenkes) bertanggung
jawab dalam penyediaan pelayanan medis, sedangkan sektor terkait lainnya
bertanggung jawab mempersiapkan remaja agar siap untuk memanfaatkan

13
pelayanan tersebut. Melalui program ini mulai disusun materi-materi KIE
tentang kespro remaja berupa materi ini Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR).
Namun lagi-lagi, program kemitraan ini juga tidak berjalan dengan mulus
karena tiap sektor belum saling memperkuat satu sama lain. Sebagai akibat,
akses remaja untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi di
puskesmas juga menjadi sangat rendah.
Tahun 2000 mulai diperkenalkan komponen Youth Friendly Health Services
(YFHS) yang dimanfaatkan sebagai pintu masuk pelayanan kesehatan
reproduksi remaja. Pada tahun ini pula mulai dibentuk tim KRR di berbagai
tingkatan (provinsi, kabupaten kota, kecamatan, dan puskesmas). Karena
kegiatan program ini lebih banyak pada peningkatan fungsi kemitraan,
operasional YFHS sendiri belum berjalan dengan baik. Kemudian, YFHS
disosialisasikan ke provinsi lainnya dan sampai dengan tahun 2001, telah
tersosialisasi ke sepuluh provinsi di Indonesia.12
Pada tahun 2001, Kementerian Kesehatan memperkenalkan kebijakan
Kesehatan Reproduksi Esensial Terpadu (PKRT) yang di dalamnya mencakup
pelayanan kesehatan reproduksi remaja. Pada tahun 2002, pengembangan
program kesehatan remaja lebih diperluas dan dimantapkan dengan
memperkenalkan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR). Program ini
menggunakan pendekatan yang berbeda, yaitu puskesmas diberikan keleluasan
berinovasi kreativitas untuk meningkatkan akses remaja melalui pendekatan
UKS, kegiatan Karang Taruna, dan Anak Jalanan serta kegiatan-kegiatan
remaja lainnya yang dianggap potensial. Dengan demikian, puskesmas
berupaya juga dalam meningkatkan kualitas pelayanannya melalui penyediaan
layanan yang memenuhi kebutuhan remaja dan berdasarkan kriterianya (antara
lain bersifat privasi, kon:findensial). Selain itu, keterlibatan remaja sangat
ditonjolkan dalam kegiatan program dari perencanaan sampai dengan evaluasi.
Materi kesehatan tidak hanya KRR saja, tetapi meliputi semua materi
kesehatan remaja (ditambahkan dengan NAPZA dan Pendidikan Keterampilan
Hidup Sehat). Pelatihan tenaga kesehatan lebih difokuskan pada praktik
konseling. Pada akhir tahun 2003 telah ada sepuluh puskesmas di Jawa Barat
dengan PKPR sebagai model yang selanjutnya akan dipreplikasikan secara

14
bertahap didaerah lainnya. Selain itu, telah disusun juga strategi operasional
PKPR dan buku pedoman PKPR. Di dalam strategi pelaksanaan PKPR
dikembangkan jejaring kerja (networking) dengan LSM, pihak swasta dan
profesional serta adanya aktivitas peer educator (pendidik sebaya).
Kebijakan terkait kesehatan reproduksi remaja juga diperkuat dengan UU
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pada bagian enam pasal 71-73 UU
tersebut terkait Kesehatan Reproduksi, diamanatkan bahwa kesehatan
reproduksi dilaksanakan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif. Setiap orang (termasuk remaja) berhak memperoleh informasi,
edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat
Dipertanggungjawabkan (pasal72). Oleh sebab itu, pemerintah wajib
menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan
reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga
berencana (pasal 73).8
Namun, tampaknya berbagai kebijakan tersebut belum sepenuhnya dapat
dilaksanakan di puskesmas. Sampai tahun 2007, pada waktu penelitian terkait
pelaksanaan PKRT dilakukan, sebagian kecil puskesmas yang telah
mempunyai Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR). Puskesmas yang
mempunyai PKPR umumnya adalah puskesmas yang menjadi binaan
(pilotproject) UNFPA dan Kementerian Kesehatan terkait Program PK.RE
Terpadu di puskesmas, Sementara itu, puskesmas yang tidak masuk dalam
wilayah binaan UNFPA tidak ada yang melaksanakan PK.RE terpadu sehingga
tidak menyediakan pelayanan khusus terhadap remaja. Ada beberapa kendala
yang ditemukan dalam pelaksanaan PKPR. Kendala tersebut antara lain dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (a) kendala terkait keterbatasan pemahaman
tenaga kesehatan di puskesmas; (b) kendala terkait undang-undang dan
kebijakan; dan (c) terkait sosial budaya 9

3. Keterbatasan Pemahaman Tenaga Kesehatan di Puskesmas


a. Pemahaman tenaga kesehatan terkait pelayanan terhadap remaja masih
terbatas.10
Pelayanan untuk remaja masih cenderung dilaksanakan dengan
penyuluhan ke sekolah-sekolah melalui program Usaha Kesehatan

15
Sekolah (UKS) maupun Palang Merah Remaja (PMR). Hanya sebagian
kecil puskesmas yang telah melakukan screening dan konseling untuk
remaja tentang kesehatan reproduksi. Beberapa petugas puskesmas
mengaku sudah pemah mendapatkan pelatihan PKPR, tetapi karena di
pukesmas tempat mereka bekerja belum ada program khusus untuk
kesehatan reproduksi remaja, mereka belum memanfaatkan pengetahuan
tersebut.10
Selain itu, diperoleh informasi bahwa sering kali petugas yang
mendapatkan pelatihan di luar puskesmas selalu orang yang sama. Seorang
narasumber di salah satu puskesmas di Kabupaten Landak mengatakan
setiap ada tawaran untuk pelatihan dari Dinas Kesehatan Kabupaten,
sering kali dia yang selalu dikirim. Sebagai akibat, petugas tersebut tidak
bisa menyerap dan mengembangkan ilmu yang diperolehnya. Selain itu,
karena tidak ada dukungan dari pimpinan, menurutnya dia tidak dapat
menyerap informasi yang diperoleh selama pelatihan secara maksimal
karena tidak fokus.
Pemahaman yang terbatas terkait kesehatan reproduksi remaja juga
ditemui di kalangan dokter yang menjadi kepala puskesmas. Dalam
wawancara, seorang responsden yang juga merupakan kepala puskesmas
mengatakan bahwa di wilayah kerjanya, isu kesehatan reproduksi remaja
tidak menjadi prioritas karena usia kawin relatif muda. Dengan demikian,
permasalahan yang terkait kesehatan reproduksi remaja, seperti hubungan
seks di luar nikah, hamil di luar nikah, dan aborsi tidak banyak ditemukan.
Menurutnya, apabila telah menikah, pelayanan terkait kesehatan
reproduksi bagi remaja tidak perlu dibedakan dengan ibu lain yang telah
dewasa. Tentunya hal ini tidak sesuai dengan konsep PKPR.10
Hal lain yang juga sering diungkapkan oleh narasumber dalam studi
ini adalah adanya keengganan petugas kesehatan, termasuk dokter untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang komprehensif kepada remaja yang
belum menikah. Dari basil wawancara dengan petugas kesehatan di
puskesmas diperoleh informasi bahwa beberapa petugas puskesmas secara
pribadi tidak setuju memberikan kondom atau alat kontrasepsi kepada

16
pasien yang belum menikah. Ketika ditanya apakah mereka setuju bila
seorang remaja lelaki yang sudah pemah terkena penyakit kelamin diberi
informasi dan pelayanan kondom untuk tidakan preventif, sebagian besar
mengatakan kurang setuju. Sebagian lagi mengatakan secara personal
setuju, tetapi enggan melakukan karena takut disalahkan oleh tokoh
masyarakat di wilayahnya. Kekhawatiran tersebut biasanya dikaitkan
dengan norma agama dan budaya serta undang-undang yang mengatakan
alat kontrasepsi hanya untuk pasangan usia subur.
b. Kendala terkait Undang-Undang dan Kebijakan10
Berbeda dengan undang-undang kesehatan, undang-undang
kependudukan di Indonesia membatasi pemberian alat kontrasepsi kepada
individu yang belum menikah. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009
tentang Kependudukan mengatakan bahwa pelayanan keluarga berencana,
termasuk pemberian kontrasepsi, hanya diperuntukkan untuk pasangan usia
subur. Undang-undang yang merupakan revisi dari UU Nomor 10 Tahun
1992 tersebut sering digunakan oleh petugas kesehatan sebagai pedoman
untuk tidak memberikan alat kontrasepsi kepada remaja yang belum
menikah meskipun telah pemah terinfeksi penyakit seksual menular.
Di lain pihak belum ada peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut
dari Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009. Hal ini menjadi
hambatan bagi petugas kesehatan yang ingin menyediakan pelayanan
kesehatan reproduksi yang komprehensif terhadap remaja. Kebijakan terkait
pelayanan kespro remaja di puskesmas telah banyak dikeluarkan, tetapi
belum ada peraturan pelaksana yang jelas tentang penyediaan pelayanan
kesehatan reproduksi terhadap remaja, khususnya remaja yang belum
menikah. Sebagai contoh, belum ada peraturan yang jelas bagaimana
melayani remaja yang belum menikah, tetapi te1ah aktif secara seksual,
yang menginginkan pelayanan untuk melindungi dirinya dari kehamilan
atau terinfeksi penyakit seksual menular.
Sampai pada saat ini, pendekatan PKPR di puskesmas masih sarat
dengan muatan moral dan nilai-nilai normatif yang berlaku di masyarakat.
Dengan pendekatan ini, tentu saja kebutuhan sebagian remaja yang telah

17
aktif secara seksual menjadi tidak terpenuhi. Penelitian terdahulu, seperti
yang telah diungkapkan pada bagiannya sebelumnya, menunjukkan bahwa
banyak remaja di Indonesia yang melakukan aktivitas seksual yang berisiko
karena ketidaktahuan.10
Pengajaran terkait kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi
belum masuk ke dalam kurikulum nasional, sementara sebagian besar orang
tua merasa canggung untuk membicakan masalah seksual dengan anak
mereka. Hal ini menyebabkan, remaja yang secara psikologis berada pada
tahap keingintahuan yang besar, berusaha sendiri untuk mencari
pemahaman dan pengalaman terkait seksualitas. Sebagian besar mencari
tabu dari ternan sebaya yang juga mempunyai pemahaman yang terbatas
atau mencari informasi dari buku-buku atau video porno yang diperoleh
secara ilegal.
Pelayanan kesehatan reproduksi yang komprehensif masih
sepenuhnya bergantung pada lembaga atau organisasi nonpemerintah
seperti Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), organisasi di
bawah binaan International Planned Parenthood Federation (IPPF). Selain
pelayanan konseling terhadap remaja, PKBI juga memberikan pelayanan
kesehatan reproduksi remaja yang komprehensiftanpa diskriminasi
walaupun untuk beberapa pelayanan diperlukan persetujuan orang tua.
Organisasi ini telah mempunyai cabang di sebagian besar provinsi di
Indonesia, tetapi tentu saja tidak dapat menjangkau remaja di seluruh
kabupaten kota yang ada.10
c. Kendala terkait Sosial Budaya
Beberapa petugas kesehatan enggan memberikan informasi dan
pelayanan kesehatan yang menyeluruh kepada remaja karena khawatir akan
mendapat keluhan dari masyarakat. Banyak tokoh masyarakat, khususnya
di kalangan pemuka agama dan anggota legislatif, yang berpendapat bahwa
memberikan informasi dan pelayanan terkait hubungan seks yang aman
akan mendorong remaja untuk melakukan seks pranikah. Sebagian pembuat
kebijakan masih beranggapan bahwa seks adalah masalah pribadi yang tidak

18
perlu dibicarakan di ruang publik. Masalah yang terkait dengan perilaku
seksual remaja diserahkan kepada keluarga sepenuhnya.10
Hal ini tentu saja tidak dapat menyelesaikan masalah, mengingat
sebagian besar orang tua di Indonesia enggan atau malu berbicara mengenai
seks dengan anaknya. Sebagian masyarakat bahkan menganggap tabu bagi
orang tua untuk membahas seks dengan anaknya, apalagi yang belum
menikah. Selain itu, tidak sedikit orang tua yang juga mempunyai
pemahaman yang terbatas mengenai seks. Banyak orang tua yang
beranggapan bahwa remaja sudah mendapatkan informasi mengenai
kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi dari sekolah.
Namun, sampai sekarang, materi tentang kesehatan seksual dan
kesehatan reproduksi belum dimasukkan dalam kurikulum nasional. Hanya
sebagian kecil wilayah yang sudah mulai memasukkan kesehatan
reproduksi sebagai muatan lokal, meskipun masih terkendala dalam
penyediaan guru yang dapat menyampaikan isu tersebut secara
komprehensif. Adanya kendala tersebut mengakibatkan sebagian besar
puskesmas di daerah penelitian belum mempunyai progam PKPR yang
memadai. Di antara puskesmas yang mempunyai program PKPR, hanya
sebagian kecil yang sudah mempunyai petugas yang telah mendapatkan
pelatihan PKPR dan mempunyai ruang khusus untuk konseling remaja.1

4. Pro-Kontra Sosial Budaya Indonesia Terhadap Kesehatan Reproduksi


Remaja11,12,13
Dalam hal menyelenggarakan program puskesmas tentang
kesehatan reproduksi remaja, sebagian golongan masyarakat masih
memperdebatkan pentingnya pelaksanaan program tersebut di Indonesia,
keraguan ini akhirnya menjadi perbincangan pro dan kontra yang semakin
berlarut-larut. Berikut alasan-alasan yang dipertahankan masing-masing
pihak.
Alasan sebagian masyarakat menyetujui program pemerintah
melalui puskesmas tentang kesehatan reproduksi remaja :

19
1. Dengan diberikannya pendidikan tentang kesehatan reproduksi sejak
dini, diharapkan para remaja mampu mengerti dampak dari hubungan
seks bebas
2. Remaja juga diharapkan mampu membentengi dirinya dari melakukan
hubungan seks diluar nikah dikarenakan mewaspadai akibat yang
ditimbulkan dari kegiatan tersebut
3. Pendidikan kesehatan reproduksi akan mampu menurunkan tingkat
keingintahuan para remaja tentang organ reproduksi tubuh mereka,
sehingga tidak mencoba-cobanya sendiri diluar hubungan pernikahan
4. Dengan diberikannya pendidikan kesehatan reproduksi, diharapkan
dapat menurunkan tingkat pelecehan dan penganiayaan seksual yang
semakin marak terjadi
5. Puskesmas dapat menjadi wadah, sumber dan pedoman yang benar
dalam mempelajari kesehatan reproduksi, dibanding bila para remaja
mencarinya sendiri di tempat lain seperti internet dan majalah
6. Pendidikan kesehatan reproduksi remaja juga diaharapkan mampu
menurunkan tingkat penularan penyakit menular akibat hubungan
seksual dan HIV-AIDS
7. Pendidikan kesehatan reproduksi juga dapat membentuk watak remaja
agar dapat menjadi manusia yang lebih bertanggung jawab terhadap
kehidupan seksualnya
Namun demikian, banyak pula tanggapan kontradiksi yang
dilontarkan masyarakat, seperti :14,15
1. Ketakutan masyarakat terhadap pemikiran remaja kearah yang negatif
tentang kesehatan reproduksi remaja yang dapat semakin
menjerumuskan para remaja
2. Penyampaian tentang kesehatan reproduksi yang benar, tepat dan efisien
sulit dilakukan, karena topik tersebut sulit untuk dipandang serius dan
positif serta sumber daya manusia yang kurang cakap
3. Beberapa institusi pendidikan juga tidak menjadikan kesehatan
reproduksi remaja sebagai salah satu bahan pembelajaran pokok

20
4. Adanya pertentangan keagamaan terhadap pokok pembahasan
reproduksi dan hubungan seksual
5. Adanya pandangan bahwa remaja masih “anak kecil” sehingga tidak
perlu diajarkan tentang kesehatan reproduksi remaja

21
BAB III
KESIMPULAN

Rendahnya angka pengetahuan kesehatan reproduksi remaja menjadi salah


satu pendorong meningkatnya hubungan seksual di luar nikah di Indonesia oleh
para remaja. Hal ini juga berimbas pada semakin meningkatnya kehamilan remaja
diluar pernikahan, tingkat aborsi dan pernikahan usia muda. Rendahnya tingkat
pendidikan kesehatan reproduksi ini juga diakibatkan adanya keterbatasan
pemberian dan layanan informasi oleh pihak berwenang dikarenakan dilema yang
meresahkan beberapa pihak akibat ketakutan yang ditimbulkan oleh konteks
reproduksi itu sendiri. Maka dari itu, program puskesmas tentang pendidikan
kesehatan reproduksi remaja sepatutnya dapat memberikan pemahaman yang
medorong para remaja untuk lebih bijaksana dan bertanggung jawab terhadap
kesehatan reproduksi mereka. 16

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Amir N. Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR). November 1st, 2011


[cited 2015 April 10th]. Available:
http://www.kesehatananak.depkes.go.id/index.php?option=
com_content&view=article&id=68:pelayanan-kesehatan-peduli-remaja-
pkpr@catid= 39:subdit-4%Itemid=82.
2. Agustini NNM, Arsani NLKA, Remaja Sehat Melalui Pelayanan Kesehatan
Peduli Remaja di Tingkat Puskesmas. Jurnal Kesehatan Masyarakat. (1) (2013)
pg. 66-73
3. Adjie SJM. Kesehatan Reproduksi Remaja dalam Aspek Sosial. 2009 [cited
2015 April 10th]. Available:
http//www.idai.or.id/remaja/artikel.asp?q=20103211494.
4. World Health Organization. Global School-based Student Health Survey
(GSHS), Purpose and Methodology;2004. Available :
http://www.who.int/school_youth_health/assessment/gshs/development/en/inde
x.html
5. Made Okara Negara, Mengurangi Persoalan Kehidupan Seksual dan Reproduksi
Perempuan. Jurnal Perempuan cetakan No.41 . Jakarta : Yayasan Jurnal
Perempuan. 2005.
6. Peranan program PKPR (PELAYANAN KESEHATAN PEDULI REMAJA)
terhadap kesehatan reproduksi remaja di kecamatan buleleng. Available:
file:///C:/Users/Amelia%20Fadhila%20Husna/Downloads/1289-2436-1-
SM.pdf. Diakses 2 April 2018.
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indoneisa nomor 75 tahun 2014 tentang
Pusat Kesehatan Masyarakat
8. Undang - Undang no 36 tahun 2009 tentang kesehatan mencantumkan tentang
kesehatan
9. Problem Kesehatan Reproduksi Remaja. Available :
https://www.k4health.org/toolkits/indonesia/problem-kesehatan-reproduksi-
remaja. Diakses 2 April 2018.

23
10. Situmorang A. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja di Puskesmas: Isu
dan Tantangan. Cited on 3 April 2018. Available at:
http://ejurnal.kependudukan.lipi.go.id
11. Miswanto. Pentingnya Pendidikankesehatan Reproduksi dan Seksualitas
pada Remaja. Jurnal Studi Pemuda. Vol 3(2). 2014. p111-121
12. Arpita D. Pros and Cons of Sex Education in Schools. 2015. Cited on 3
April 2018. Available URL at : http://www.onlymyhealth.com/sex-education-
in-schools-pros-cons-1310535352
13. Suciyati, Fadila S. Pentingkah Pendidikan Seks di Sekolah? Berikut Pro-
Kontranya. Cited on 3 April 2018. Available URL at :
http://www.jitunews.com/read/39462/pentingkah-pendidikan-seks-di-sekolah-
berikut-pro-kontranya.
14. Adi P. Status Gizi dan Kesehatan Reproduksi Remaja Tantangan Bonus
Demografi. 2015. Cited on 3 April 2018. Available URL at :
http://www.kependudukankalbar.com/status-gizi-dan-kesehatan-reproduksi-
remaja-tantangan-bonus-demografi.html
15. Pertiwi KR. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Permasalahannya.
Pendidikan Biologi FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Cited on 3 April
2018. Available URL at :
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/PPM%20PEER%20KRR.pdf
16. Pinandari AW, Wilopo SA, Ismail D. Pendidikan Kesehatan Reproduksi
Formal dan Hubungan Seksual Pranikah Remaja Indonesia. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional. Vol. 10(1), Agustus. 2015. Departemen Pediatrik Fakultas
Kedokteran Universitas Gajah Mada

24

Anda mungkin juga menyukai