Anda di halaman 1dari 43

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Keselamatan Pasien Rumah Sakit

Keselamatan pasien (patient safety) saat ini telah menjadi prioritas utama

bagi sebuah rumah sakit. Ada lima hal penting yang berkaitan dengan

keselamatan pasien di rumah sakit, yaitu: keselamatan pasien itu sendiri,

keselamatan pekerja atau petugas kesehatan yang bekerja di rumah sakit tersebut,

keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit yang berdampak terhadap

keselamatan pasien dan petugas, keselamatan lingkungan (green productivity)

yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan, dan keselamatan bisnis rumah

sakit yang berkaitan dengan kelangsungan hidup rumah sakit. Kelima aspek

keselamatan pasien tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain dan bisa

berjalan maksimal bila ada pasien. Untuk itu, peningkatan pemberian pelayanan

kesehatan terutama keselamatan pasien akan memberikan dampak pada

peningkatan mutu dan citra rumah sakit (Depkes RI, 2008).

Peningkatan mutu pelayanan rumah sakit dilakukan dengan berbagai

macam kegiatan untuk menjamin kepuasan pelanggan. Peningkatan mutu pada

tiga elemen penting sebuah rumah sakit telah dilakukan sejak tahun 1900. Tiga

elemen yang dimaksud yaitu: struktur, proses, dan outcome dengan berbagai

macam konsep dasar, program regulasi (aturan) yang berwenang seperti

penerapan quality assurance, total quality management, continuous quality

14
15

improvement, perijinan, akreditasi, kredensialing, audit medis, indikator klinis,

clinical governance, ISO, dan lain sebagainya. Mutu pelayanan rumah sakit dapat

ditingkatkan melalui pengadaan program tersebut baik dari segi struktur, proses,

input maupun output rumah sakitnya (Depkes RI., 2008b).

2.1.1.1 Pengertian keselamatan pasien

Hal terpenting dalam pemberian pelayanan kesehatan adalah keselamatan

pasien (patient safety) itu sendiri. Rumah sakit sebagai institusi pemberi

pelayanan kesehatan harus dapat menjamin pelayanan kesehatan yang diberikan

kepada pasien karena keselamatan pasien di sebuah rumah sakit merupakan

bagian dari sistem rumah sakit untuk membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem

tersebut berkaitan dengan penanganan risiko, melakukan identifikasi dan

pengobatan yang berhubungan dengan risiko pasien, memberikan laporan dan

hasil analisis insiden atau kejadian yang terjadi, kemampuan untuk belajar dari

insiden dan tindak lanjut yang dilakukan serta solusi yang diambil untuk

mengurangi timbulnya risiko termasuk pencegahan untuk menghindari cidera

yang timbul akibat dari kesalahan dalam mengambil suatu tindakan atau tidak

mengambil tindakan yang seharusnya dilakukan (Permenkes RI, 2011).

Menurut The Institute of Medicine (IOM) mendefinisikan keselamatan

sebagai freedom from accidental injury. Keselamatan dinyatakan sebagai ranah

pertama dari mutu dan definisi mengenai keselamatan, ini merupakan pernyataan

dari perspektif pasien (Kohn Linda T. et al., 2000). Pengertian lainnya menurut

(CNA, 2009) menyatakan bahwa keselamatan pasien adalah mengurangi dan

meringankan tindakan-tindakan yang tidak aman atau berbahaya dalam sistem


16

pelayanan kesehatan dengan sebaik-baiknya melalui penggunaan penampilan

praktek yang baik untuk mengoptimalkan outcome pasien. Hal ini senada dengan

Hughes (2008), menyatakan bahwa keselamatan pasien merupakan pencegahan

cidera terhadap pasien. Pencegahan cidera adalah suatu upaya yang dilakukan

untuk mencegah terjadinya bahaya pada pasien pada tindakan medis yang

dilakukan oleh perawat. Sedangkan praktek keselamatan pasien didefinisikan

sebagai upaya untuk mengurangi resiko dari kejadian yang tidak diinginkan yang

berhubungan dengan paparan terhadap lingkungan diagnosis atau kondisi

perawatan medis.

Berdasarkan definisi dari berbagai sumber diatas dapat disimpulkan

bahwa keselamatan pasien merupakan suatu bagian penting dalam mutu

pelayanan yang menekankan pada suatu kondisi yang tidak merugikan pasien,

mengurangi dan meminimalkan risiko melalui berbagai upaya sistemik yang

berorientasi pada optimalisasi hasil pelayanan yang diteliti pasien.

2.1.1.2 Tujuan keselamatan pasien

Tujuan keselamatan pasien menurut Permenkes RI. (2011) adalah untuk

menciptakan budaya atau iklim keselamatan pasien di rumah sakit, meningkatkan

kepercayaan (akuntabilitas) pasien dan masyarakat terhadap rumah sakit,

mengurangi kejadian yang tidak diharapkan (KTD) dan terwujudnya pelaksanaan

program-program pencegahan sehingga tidak terjadi kembali kejadian yang tidak

diharapkan (KTD). Sedangkan menurut International Commission Joint (2013),

tujuan keselamatan pasien yaitu : 1) Meningkatkan keakuratan identifikasi pasien

dengan menggunakan dua identitas pasien untuk mengidentifikasi serta


17

mengeleminasi kesalahan tranfusi. 2) Meningkatkan komunikasi diantara pemberi

pelayanan kesehatan dengan menggunakan prosedur komunikasi, secara teratur

melaporkan informasi yang bersifat kritis dan memperbaiki pola serah terima

pasien. 3) Meningkatkan keselamatan penggunaan pengobatan dengan cara

pemberian label pada obat, mengurangi bahaya penggunaan antikoagulan. 4)

Mengurangi risiko yang berhubungan dengan infeksi dengan mencuci tangan

yang benar, mencegah resistensi penggunaan obat infeksi, menjaga central line

penyebaran infeksi melalui darah. 5) Menggunakan pengobatan selama perawatan

secara akurat dan lengkap, mengkomunikasikan pengobatan kepada petugas

selanjutnya, membuat daftar pengobatan pasien, mengupayakan pasien

mendapatkan pengobatan seminimal mungkin, 6) Mengurangi risiko bahaya

akibat jatuh. 7) Mencegah terjadinya luka tekan. 8) Organisasi mengidentifikasi

risiko keselamatan di seluruh populasi pasien. 9) Protokol umum untuk mencegah

kesalahan tempat, salah prosedur dan orang pada saat tindakan operasi.

2.1.1.3 Sasaran Keselamatan Pasien Rumah Sakit

MenurutPermenkes RI.(2011), semua rumah sakit yang terakreditasi oleh

Joint Commission International (JCI) wajibmengimplementasikan six

international safety goals atau enam sasaran keselamatan pasien. Adapun tujuan

sasaran international keselamatan pasien (SIKP) adalah untuk menggunakan

tindakan-tindakan perbaikan tertentu mengenai keselamatan pasien. Sasaran

utama dari SIKP ada pada bidang-bidang yang bermasalah dalam perawatan

kesehatan dan juga pemberian bukti dan solusi hasil konsensus menurut nasihat

para ahli. Dengan demikian solusi yang bisa diterapkan untuk keseluruhan sistem
18

akan diambil dengan pertimbangan bahwa pemberian perawatan kesehatan yang

aman dan berkualitas tinggi akan memerlukan desain sistem yang baik

(International Commission Joint, 2013).

Enam sasaran keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit menurut

Permenkes No. 1691/Menkes/Per/VIII/2011 yaitu ketepatan dalam

mengidentifikasi pasien; meningkatkan komunikasi yang efektif; peningkatan

keamanan obat yang perlu diwaspadai; kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat

pasien operasi; pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan; dan

pengurangan risiko pasien jatuh (Depkes RI, 2011). Adapun penjelasannya adalah

sebagai berikut:

a. Sasaran I: Ketepatan Mengidentifikasi Pasien

Kegagalan atau kesalahan dalam melakukan identifikasi terhadap

pasien bisa terjadi disemua aspek/tahapan diagnosis dan pengobatan, seperti

ketika pemberian obat dan darah, pengambilan darah dan spesimen lain untuk

pemeriksaan klinis serta penyerahan bayi kepada bukan keluarganya.

Kesalahan dalam mengidentifikasi pasien dapat juga terjadi saat pasien dalam

kondisi terbius/tersedasi, mengalami disorientasi, tidak sadar, bertukar tempat

tidur/kamar/lokasi di rumah sakit, adanya kelainan sensori, atau akibat situasi

lain (Depkes RI, 2011).

Tujuan dari sasaran yang pertama ini adalah untuk: 1) melakukan

identifikasi terhadap pasien sebagai individu yang akan mendapatkan

pelayanan kesehatan atau pengobatan, dan 2) untuk memastikan kesesuaian

pelayanan atau pengobatan yang diberikan terhadap individu atau pasien


19

tersebut. Sasaran ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Maryam

(2010) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

identifikasi pasien dengan tingkat kepuasan pasien.

Pengembangan terhadap kebijakan dan/atau prosedur yang dilakukan

secara kolaboratif bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan proses

identifikasi, khususnya pada proses identifikasi terhadap pasien ketika

pemberian obat, darah, atau produk darah; pengambilan darah dan spesimen

lain untuk kepentingan pemeriksaan klinis; atau pemberian pengobatan atau

tindakan lain. Kebijakan dan/atau prosedur yang digunakan minimal harus

menerapkan dua cara dalam melakukan identifikasi terhadap pasien,

diantaranya: nama pasien, nomor rekam medis, tanggal lahir, gelang identitas

pasien dengan bar-code, dan lain-lain. Menurut Depkes RI. (2011), nomor

kamar pasien atau lokasi tidak tepat digunakan dalam mengidentifikasi

pasien. Proses identifikasi pasien dapat dilakukan perawat dengan bertanya

kepada pasien sebelum melakukan tindakan misalnya “nama ibu siapa?”.

Jika pasien menggunakan gelang tangan harus tetap dikonfirmasi secara

verbal, seandainya pasien tidak dapat menyebut nama maka perawat dapat

menanyakan pada penunggu atau keluarga. Pasien yang tidak mampu

menyebut nama, tidak memakai gelang dan tidak ada keluarga atau penunggu

maka identitas dipastikan dapat melihat rekam medik oleh dua orang petugas.

Kebijakan dan/atau prosedur juga menjelaskan penggunaan dua identitas

berbeda di lokasi yang berbeda di rumah sakit, seperti di pelayanan rawat

jalan, unit gawat darurat, atau ruang operasi termasuk identifikasi pada pasien
20

koma tanpa identitas. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk

mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur agar dapat memastikan semua

kemungkinan situasi untuk dapat diidentifikasi (Depkes RI, 2011).

Elemen penilaian sasaran ketepatan identifikasi pasien menurut

Depkes RI (2011) meliputi: 1) Pasien diidentifikasi menggunakan dua

identitas pasien (nama pasien, nomor rekam medis, tanggal lahir, gelang

identitas pasien dengan bar-code), tidak boleh menggunakan nomor kamar

atau lokasi pasien; 2) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah

atau produk darah; 3) Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan

spesimen lain untuk pemeriksaan klinis; 4) Pasien diidentifikasi sebelum

pemberian pengobatan dan tindakan/prosedur; 5) Kebijakan dan prosedur

mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang konsisten pada semua situasi dan

lokasi.

Strategi mengidentifikasi pasien dan mengurangi kesalahan meliputi

penciptaan dan pelaksanaan praktik keselamatan yang berkualitas secara

rutin, pemantauan indikator yang dapat diandalkan secara terus menerus,

analisis akar penyebab, penggunaan bar-code, kegiatan pendidikan

keselamatan pasien secara profesional dan bertanggung jawab, kerjasama

interdisipliner (perawat dengan dokter, laboratorium dan farmasi), menangani

masalah identifikasi pasien pada perawat baru dalam masa orientasi dan

pemantauan berkelanjutan (Hassan et al , 2011).


21

b. Sasaran II: Peningkatan Komunikasi yang Efektif

Komunikasi mempunyai arti penting bagi keselamatan pasien dan

kesinambungan pelayanan. Rumah sakit merencanakan proses manajemen

informasi keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi yang

bersifat internal dan eksternal dimana transmisi data dan informasi harus tepat

waktu dan akurat (Depkes RI, 2011).

Komunikasi yang buruk merupakan penyebab yang paling sering

menimbulkan efek samping pada semua aspek pelayanan kesehatan, sehingga

menimbulkan permasalahan dalam mengidentifikasi pasien, kesalahan

pengobatan dan tranfusi serta alergi diabaikan, salah prosedur operasi, dan

salah sisi bagian yang dioperasi. Semua hal tersebut berpotensi terhadap

terjadinya insiden keselamatan pasien dan dapat dicegah dengan

meningkatkan komunikasi (White, N., 2012).

Komunikasi dapat berbentuk elektronik, lisan, atau tertulis.

Komunikasi yang paling dominan mengalami kesalahan adalah komunikasi

lisan secara langsung maupun melalui telepon. Komunikasi yang mudah

terjadi kesalahan adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan klinis, seperti

melaporkan hasil laboratorium klinik cito melalui telepon ke unit pelayanan

(Depkes RI, 2011). Menurut Manojlovich (2007), menyatakan komunikasi

dokter dan perawat mempunyai peran penting dalam menentukan derajat

kesehatan pasien, dan kualitas pelayanan yang diberikan. Semakin baik

komunikasi diantara perawat dan dokter semakin baik hasil perawatan yang

mereka berikan.
22

Komunikasi efektif adalah saling bertukar informasi, ide,

kepercayaan, perasaan dan sikap antara dua orang atau kelompok yang

hasilnya sesuai dengan harapan. Komunikasi yang efektif diimplementasikan

dengan menggunakan metode S-BAR yang meliputi S (Situation) artinya

situasi yang menggambarkan keadaan pasien sehingga perlu dilaporkan, B

(Background) artinya gambaran riwayat atau hal yang mendukung terjadinya

kondisi atau situasi pasien saat ini, A (Assessment) artinya kesimpulan dari

hasil analisa terhadap gambaran situasi dan background, dan R

(Recomendation) artinya usulan pelapor kepada dokter tentang alternatif

tindakan yang mungkin dilakukan. S-BAR dilaksanakan melalui standar/baku

hand off (serah terima). Serah terima dapat dilakukan kapanpun disaat terjadi

pengalihan tanggung jawab pasien dari satu orang caregiver kepada orang

lain. Tujuan dari serah terima adalah untuk memberikan dan menyediakan

informasi secara akurat, tepat waktu tentang rencana keperawatan,

pengobatan, kondisi terkini dan perubahan kondisi pasien yang baru saja

terjadi ataupun yang dapat diantisipasi. Serah terima informasi pasien

dilakukan antar perawat antar shift, pengalihan tanggung jawab dari dokter ke

perawat, dan pengalihan tanggung jawab sementara (saat istirahat makan),

antar perawat per ruangan.

Hand off bedside (serah terima disamping tempat tidur pasien)

mempromosikan keselamatan pasien. Hand off bedside memungkinkan

perawat untuk bertukar informasi pasien, memberikan kesempatan untuk

memvisualisasikan pasien dan mengajukan pertanyaan terhadap hal yang


23

kurang dipahami. Selain itu dapat meningkatkan kesadaran perawat terhadap

dampak komunikasi pada keselamatan pasien dan kepuasan serta

meningkatkan komunikasi antara perawat, dokter dan pasien/keluarga serta

tim kesehatan lain. Hand off bedside juga memungkinkan pasien terlibat aktif

dalam perawatan dengan mengijinkan pasien untuk mengoreksi

kesalahpahaman konsep, memberikan masukan terhadap rencana perawatan,

mengklarifikasi dan memperbaiki ketidakakuratan (Maxson et al., 2012).

Elemen penilaian sasaran II menurut Depkes RI (2011), terdiri dari

empat hal diantaranya: 1) Penyampaian perintah lengkap secara lisan dan

melalui telepon atau penerima perintah menuliskan hasil pemeriksaan secara

lengkap; 2) penyampaian perintah lengkap secara lisan dan yang melalui

telepon atau penerima perintah membacakan hasil pemeriksaan secara

lengkap; 3) pemberi perintah atau yang menyampaikan hasil pemeriksaan

mengkonfirmasi perintah atau hasil pemeriksaan; dan 4) Pelaksanaan

verifikasi ketepatan komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten

diarahkan oleh kebijakan dan prosedur yang berlaku.

c. Sasaran III : Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai (High

Alert)

Kesalahan pengobatan dapat menyebabkan bahaya bagi pasien.

Perawat mempunyai peran penting dalam menyiapkan obat maka perawat

perlu waspada dalam mencegah keselahan obat (Potter, P.A., dan Perry,

2010). Hal yang paling sering menjadi penyebab kesalahan obat (medication
24

error) adalah nama obat, rupa dan ucapan mirip (NORUM) atau Look Alike

Sound Alike (LASA) yang membingungkan staf pelaksana.

Kesalahan pengobatan adalah peristiwa atau kejadian yang dapat

dihindari yang dapat membahayakan pasien yang timbul sebagai akibat dari

pemakaian obat yang tidak sesuai (Choo et al., 2010). Perilaku perawat dalam

melakukan keamanan obat yang perlu diwaspadai yaitu melakukan pemberian

pengobatan dalam prinsip enam benar yaitu benar obat, benar dosis, benar

rute, benar waktu dan benar pasien. Perawat masih banyak membuat

kesalahan meskipun telah diverifikasi dengan prinsip lima benar, untuk itu

perlu diverifikasi lagi dengan resep harus terbaca, lingkungan yang kondusif

tanpa gangguan selama putaran pengobatan dan pola staf yang memadai.

Faktor lain yang berkontribusi adalah stres tempat kerja, gangguan interupsi,

pelatihan memadai dan informasi terfragmentasi (Choo et al, 2010).

Kesalahan dalam pemberian obat bisa dikurangi bahkan dihilangkan

dengan cara meningkatkan pengaturan atau pengelolaan obat-obatan yang

perlu diwaspadai termasuk proses memindahkan elektrolit konsentrat dari

unit pelayanan pasien ke farmasi (Depkes RI, 2011). Aplikasi yang dilakukan

oleh perawat dalam mengurangi kesalahan pengobatan diantaranya perawat

mengecek alergi obat, menjelaskan tujuan dan kemungkinan efek obat,

mencatat/dokumen, bekerja sesuai Standar Asuhan Keperawatan (SAK) serta

Standar Prosedur Operasional (SPO), mengecek reaksi obat, mengecek

integritas kulit untuk injeksi, dan memonitor pasien. Dua orang staf

mengecek pemberian obat parenteral, memperbarui catatan obat. Memisahkan


25

obat yang mirip, kemasan obat yang mirip, memberikan pendidikan kepada

pasien/keluarga untuk mengenali obat, kegunaan obat, cara pakai obat dan

waktu penggunaan obat (KKPRS, 2008).

Perawat harus berkonsentrasi ketika mempersiapkan dan pemberian

obat serta tidak diminta untuk melakukan banyak tugas selama putaran

pengobatan. Gangguan dan interupsi harus diminimalkan untuk menyediakan

lingkungan yang kondusif untuk pemberian pengobatan yang aman. Selain

itu, dengan tidak mengalihkan perhatian perawat yang melaksanakan tindakan

pemberian obat kepada pasien (Choo et al., 2010)

Elemen penilaian Sasaran III menurut Depkes RI (2011) meliputi:

1) pengembangan dari kebijakan dan atau prosedur hendaknya

mencantumkan proses identifikasi, penetapan lokasi, pemberian label dan

penyimpanan elektrolit konsentrat; 2) penerapan kebijakan dan prosedur; 3)

unit pelayanan pasien tidak menyimpan elektrolit konsentrat kecuali jika

dibutuhkan secara klinis. Hal ini dilakukan untuk mencegah pemberian yang

kurang hati-hati di area tersebut sesuai dengan kebijakan yang berlaku; dan 4)

unit pelayanan pasien menyimpan elektrolit konsentrat dengan memberi label

yang jelas, dan menyimpannya pada tempat yang dibatasi secara ketat

(restricted).

d. Sasaran IV: Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, Tepat-Pasien Operasi.

Penyimpangan pada verifikasi (tepat lokasi, tepat prosedur dan tepat

pasien operasi) akan dapat mengakibatkan pelaksanaan prosedur yang keliru

atau pembedahan sisi tubuh yang salah. Penyebabnya karena kurangnya


26

komunikasi atau informasi yang diterima tidak benar bahkan tidak ada

informasi sama sekali, pasien kurang/tidak dilibatkan secara langsung dalam

melakukan penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada prosedur untuk

verifikasi lokasi operasi. Selain itu, pengkajian pasien yang tidak tepat,

pengecekan ulang rekam medis atau catatan medis yang tidak tepat, iklim

atau kondisi yang tidak mendukung adanya komunikasi terbuka antar anggota

tim bedah, permasalahan yang timbul karena tulisan tangan yang tidak

terbaca (illegible handwritting) dan penggunaan singkatan yang tidak sesuai

adalah faktor-faktor kontribusi yang sering terjadi (Depkes RI, 2011).

Tujuan dari proses verifikasi pre operatif adalah untuk

memverifikasi atau memperjelas lokasi, prosedur, dan pasien dengan benar;

Memastikan bahwa semua dokumen, foto (imaging), hasil pemeriksaan yang

relevan tersedia, diberi label dengan baik, dipandang; Dan melakukan

verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan/atau implant yang dibutuhkan.

Menandai lokasi operasi (marking) terutama pada organ yang

memiliki dua sisi (kanan dan kiri); Multiple structures (jari tangan, jari kaki);

Multiple level (operasi tulang belakang: cervical, thorakal, lumbal); Multiple

lesi yang pengerjaannya bertahap. Anjuran penandaan lokasi operasi

menggunakan tanda yang telah disepakati, dokter yang akan melakukan

operasi yang melakukan pemberian tanda pada atau dekat daerah

operasi/insisi. Menggunakan tanda yang tidak ambigu (contoh: tanda “X”

merupakan tanda yang tidak ambigu). Daerah yang tidak dioperasi, tidak

ditandai kecuali sangat diperlukan. Menggunakan penanda yang tidak mudah


27

terhapus misalnya gentain violet. Sebelum dilakukan operasi menerapkan

pengisian checklist keselamatan operasi untuk memastikan; tepat pasien; tepat

prosedur; tepat daerah/lokasi operasi.

Ruang operasi merupakan area pekerjaan yang kompleks dengan

lingkungan yang berpotensi tinggi terjadinya kesalahan. Untuk itu proses

verifikasi pre operatif semakin direkomendasikan dalam beberapa tahun

terakhir. Lima tahapan proses untuk meningkatkan keselamatan di ruang

bedah yaitu : briefing, sign in (sebelum induksi anastesi), time out (sebelum

insisi), sign out (sebelum meninggalkan kamar operasi), dan debriefing.Time

out memberikan kontribusi untuk meningkatkan keselamatan pasien 85%

dengan memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi dan memecahkan

masalah, konfirmasi identitas pasien, benar prosedur, benar insisi dan

pemeriksaan alergi atau penyakit menular (Nilsson et al., 2010).

Elemen penilaian sasaran IV menurut Depkes RI (2011) meliputi: 1)

Dalam mengidentifikasi lokasi operasi, rumah sakit menggunakan tanda yang

jelas dan mudah dipahami termasuk juga melibatkan pasien dalam proses

penandaan; 2) Rumah sakit menggunakan suatu cheklist atau proses lain

untuk memverifikasi saat pre operasi tepat-lokasi, tepat-prosedur, dan tepat-

pasien dan semua dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia, tepat,

dan fungsional; 3) Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat

prosedur sebelum "insisi/time out" tepat sebelum dimulainya suatu prosedur

tindakan pembedahan; dan 4) Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk

mendukung suatu proses yang seragam untuk memastikan tepat lokasi, tepat-
28

prosedur, dan tepat-pasien termasuk prosedur medis dan dental yang

dilaksanakan di luar kamar operasi.

e. Sasaran V: Pengurangan Resiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan

Tantangan terbesar yang dihadapi dalam memberikan pelayanan

kesehatan adalah pencegahan dan pengendalian infeksi. Mahalnya biaya yang

diperlukan dalam mengatasi infeksi yang berkaitan dengan pelayanan

kesehatan menjadi masalah tersendiri bagi pasien maupun stakeholder yang

berkecimpung dalamdunia kesehatan. Berbagai macam infeksi seperti infeksi

saluran kemih, infeksi pada aliran darah (blood stream infections) dan

pneumonia yang berkaitan dengan ventilasi mekanis juga sering ditemukan

dalam pemberian pelayanan kesehatan(Depkes RI, 2011).

Sumber dari timbulnya infeksi disebabkan karena kurangnya

kesadaran atau pemahaman dalam mencuci tangan (hand hygiene) yang tepat.

Bahkan mengingat pentingnya mencuci tangan maka mencuci tangan

memakai sabun sedunia atau global handwashing day diploklamirkan pada

tanggal 15 Oktober 2008 serentak di 70 negara dan 5 benua (Kemenkes RI,

2014). Pedoman hand hygiene dilakukan dengan enam langkah yang

dijadikan standar oleh WHO (2007), yaitu : 1) pada saat sebelum dan setelah

menyentuh pasien; 2) sebelum dan setelah melakukan tindakan aseptik; 3)

setelah terpapar cairan tubuh pasien; 4) sebelum dan setelah melakukan

tindakan invasif; 5)setelah menyentuh area sekitar pasien/lingkungan; dan 6)

memakai alat pelindung diri (APD) seperti sarung tangan, masker, tutup

kepala, kacamata pelindung, apron/jas dan sepatu pelindung yang digunakan


29

untuk melindungi petugas dari risiko pajanan darah, cairan tubuh ekskreta,

dan selaput lendir pasien.

WHO (2007) merekomendasikan penggunaan cairan alcohol-based

hand-rubs dan menyediakannya pada titik-titik pelayanan, menyediakan air

bersih pada semua kran air, memberikan pendidikan yang benar tentang

teknik kebersihan tangan kepada para staf, mengingatkan agar tangan selalu

dalam kondisi bersih di tempat kerja; dan melakukan pemantauan/observasi

dan menerapkan teknik-teknik lain untuk mengukur kepatuhan dalam

menerapkan kebersihan tangan.

Elemen penilaian Sasaran V menurut Depkes RI (2011) meliputi: 1)

Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene terbaru

yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum (misalnya WHO Guidelines

on Patient Safety; 2) Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang

efektif; 3) Kebijakan dan atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan

pengurangan secara berkelanjutan resiko dari infeksi yang terkait pelayanan

kesehatan.

f. Sasaran VI: Pengurangan Resiko Pasien Jatuh

Salah satu penyebab cidera bagi pasien rawat inap adalah kejadian

atau kasus jatuh pada pasien. Untuk itu rumah sakit perlu mengadakan

evaluasi dalam hal pemberian pelayanan kesehatan dan penyediaan fasilitas

kesehatan yang maksimal dan sesegera mungkin mengambil tindakan yang

tepat untuk mengurangi bahkan menghilangkan cidera pada pasien rawat inap

sebagai akibat dari kasus jatuh tersebut. Evaluasi yang dilakukan meliputi:
30

riwayat jatuh pada pasien, penggunaan atau pemakaian obat-obatan dan

alkohol, gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang

digunakan oleh pasien. Semua program tersebut harus diterapkan oleh rumah

sakit (Depkes RI, 2011).

Perawat harus melakukan pengkajian ulang secara berkala mengenai

risiko pasien jatuh, termasuk risiko potensial yang berhubungan dengan

jadwal pemberian obat serta mengambil tindakan untuk mengurangi semua

risiko yang telah diidentifikasi. Berdasarkan hasil penelitian faktor risiko

terjadinya jatuh adalah karena usia, jenis kelamin, efek obat-obatan tertentu,

status mental, penyakit kronis, faktor lingkungan, keseimbangan, kekuatan,

mobilitas dan ketinggian tempat tidur (Tzeng & Yin, 2008).

Perawat melakukan pedoman pencegahan pasien risiko jatuh untuk

mengurangi insiden jatuh yaitu dengan: 1) memastikan bel mudah dijangkau;

2) roda tempat tidur pada posisi terkunci; 3) memposisikan tempat tidur pada

posisi terendah; 4) pagar pengaman dinaikkan; 5) memonitor ketat pasien

risiko tinggi (kunjungi dan monitor pasien setiap 1 jam, tempatkan pasien di

kamar yang paling dekat dengan nurse station jika dimungkinkan); dan 5)

melibatkan pasien/keluarga dalam pencegahan jatuh (KKPRS, 2012).

Tindakan yang diambil untuk mengurangi risiko jatuh adalah dengan

mengidentifikasi obat yang bisa menjadi penyebab meningkatnya risiko jatuh

seperti obat sedatif, analgetik, antihipertensi, deuretik, lazatif, dan

psychotropika. Menggunakan protokol pemindahan pasien secara aman

(brankar, kursi roda, tempat tidur), lamanya respon staf terhadap panggilan
31

pasien, dan menggunakan instrumen untuk memprediksi risiko jatuh.

Menurut Potter, P.A. dan Perry (2010) beberapa intervensi yang dapat

dilakukan perawat untuk mencegah terjadinya jatuh pada pasien yaitu

mengorientasikan pasien yang baru masuk rumah sakit dan menjelaskan

sistem komunikasi yang ada, bersikap hati-hati saat mengkaji pasien yang

memiliki keterbatasan gerak, melakukan supervisi ketat terutama di malam

hari pada pasien yang baru dirawat, menganjurkan penggunaan bel bila

memerlukan bantuan, memberikan alas kaki yang aman dan tidak licin,

memberikan penerangan yang cukup, memasang pengaman tempat tidur

terutama pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran dan gangguan

mobilitas serta menjaga lantai kamar mandi agar tidak licin.

Menurut TheJoint Commission (2005) pengkategorian faktor-faktor

risiko jatuh pada pasien dapat terjadi secara intrinsik maupun ekstrinsik.

Faktor risiko intrinsik terintegrasi dalam sistem pasien dan juga dikaitkan

dengan perubahan-perubahan akibat penuaan, mencakup peristiwa jatuh

sebelumnya, penurunan penglihatan, keseimbangan yang labil, defisit sistem

muskuloskeletal, defisit status mental, penyakit akut, dan penyakit kronis.

Faktor-faktor ekstrinsik adalah kondisi eksternal pasien dan terkait dengan

lingkungan fisik, mencakup medikasi, kurangnya alat bantu di kamar mandi,

desain furniture, kondisi lantai, kurangnya pencahayaan, alas kaki yang tidak

tepat, penggunaan alat yang tidak tepat, dan alat bantu yang tidak memadai.

Faktor-faktor risiko ekstrinsik pasien jatuh menurut The Joint

Commission (2005) pada kejadian antara tahun 1995-2004 dan menemukan


32

penyebab yang paling utama insiden jatuh yang berakibat fatal dihubungkan

dengan komunikasi staf yang tidak adekuat, pelatihan dan orientasi yang

tidak lengkap, pengkajian awal dan pengkajian ulang pasien yang tidak

lengkap, masalah lingkungan, perencanaan asuhan yang tidak lengkap,

kepastian tindakan/perawatan yang lambat, dan tidak adekuatnya budaya

keselamatan pada organisasi.

Elemen penilaian Sasaran VI menurut Depkes RI (2011), meliputi:

1) Rumah sakit melakukan assesmen awal terhadap pasien yang memiliki

risiko jatuh dan melakukan assesmen ulang apabila pasien mengalami

perubahan kondisi atau pengobatan dan lain-lain; 2) melakukan upaya

pencegahan untuk mengurangi risiko jatuh bagi pasien yang pada hasil

pemeriksaan dianggap memiliki risiko jatuh; 3) Langkah-langkah dimonitor

hasilnya, baik keberhasilan, pengurangan cidera akibat jatuh dan dampak dari

kejadian yang tidak diharapkan; dan 4) Kebijakan dan atau prosedur

dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan berkelanjutan risiko pasien

cedera akibat jatuh di rumah sakit.

2.1.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan keselamatan pasien

Menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2010) menyatakan bahwa

ada tiga faktor yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja seseorang dalam

penerapan keselamatan pasien, yaitu: faktor predisposisi (prediposing faktors),

faktor pemungkin (enabling factor), dan faktor pendorong (reinforcing factor).


33

a. Faktor Predesposisi (Predisposing Factor)

Faktor ini merupakan faktor yang menjadi dasar untuk seseorang

berperilaku atau dapat pula dikatakan sebagai faktor prefensi “pribadi” yang

bersifat bawaan yang dapat bersifat mendukung atau menghambat seseorang

berperilaku tertentu. Faktor ini mencakup sikap dan pengetahuan.

1. Sikap

Sikap merupakan faktor yang paling menentukan perilaku seseorang karena

sikap berkaitan dengan persepsi, kepribadian dan motivasi. Sikap (attitude)

merupakan kesiapan mental yang diperoleh dari pengalaman dan memiliki

pengaruh yang kuat pada cara pandang seseorang terhadap orang lain, obyek

dan situasi yang berhubungan dengannya. Sikap adalah bagian hakiki dari

kepribadian seseorang. Sikap mencerminkan bagaimana seseorang merasakan

sesuatu. Hal ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Winardi

(2004) yang mengemukakan bahwa sikap adalah cerminan perilaku yang

berhubungan dengan pandangan seseorang, kepribadian dan motivasi yang

dimilikinya. Dalam berinteraksi dengan orang lain, sikap seseorang akan

mencerminkan kondisi sikap mental yang menimbulkan pengaruh tertentu

atas respon seseorang terhadap orang lain, objek atau situasi yang sedang

dihadapinya. Dalam pelayanan keperawatan sikap mental memegang peranan

sangat penting karena dapat berubah dan dibentuk sehingga dapat

mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja perawat.


34

2. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensori

khususnya mata dan telinga terhadap obyek tertentu. Pengetahuan merupakan

domain yang sangat penting untuk terbetuknya perilaku terbuka (overt

behavior). Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng

(Notoatmodjo, 2003).

b. Faktor Pemungkin (Enabling Factor)

Faktor pendukung merupakan faktor pemungkin. Faktor ini bisa

sekaligus menjadi penghambat atau mempermudah niat suatu perubahan perilaku

dan perubahan lingkungan yang baik (Green, 2000). Faktor ini meliputi biaya dan

jarak tempat tinggal. Faktor ini ditunjukkan oleh variabel :

1. Sumber daya keluarga, seperti pendapatan keluarga, keikutsertaan dalam

asuransi kesehatan, kemampuan membeli jasa pelayanan yang dibutuhkan.

2. Sumber daya manusia, seperti jumlah sarana pelayanan kesehatan disuatu

wilayah, jumlah tenaga kesehatan, rasio penduduk dan tenaga kesehatan dan

letak geografis.

Dalam penelitian ini bila dihubungkan dengan faktor-faktor yang

mempengaruhi dalam mengimplementasikan keselamatan pasien yang termasuk

faktor pemungkin (Enabling Factor), diantaranya yaitu Sumber Daya Manusia

(SDM), kepemimpinan, imbalan, struktur organisasi, dan desain pekerjaan.

1. Sumber Daya Manusia

Organisasi terdiri dari dua sumber daya yaitu sumber daya manusia dan

sumber daya alam. Pada sistem organisasi di rumah sakit, sumber daya
35

manusia terdiri dari tenaga profesional, non profesional, staf administrasi dan

pasien. Sedangkan sumber daya alam antara lain uang, metode, peralatan dan

barang habis pakai serta barang tidak habis pakai.

2. Kepemimpinan

Menurut Gillies (1994), kepemimpinan memiliki beberapa makna yaitu

memandu, menunjukkan arah tertentu, mengarahkan, berjalan didepan,

menjadi yang pertama, membuka permainan, dan cenderung hasil yang pasti.

Menurut Weirich & Koontz dalam Aditama (2006) menyatakan bahwa

kepemimpinan adalah seni atau proses untuk mempengaruhi orang lain

sehingga mereka bersedia dengan kemampuan sendiri dan secara antusias

bekerja untuk mencapai tujuan organisasi. Sementara itu Hellriegel dan

Slocum dalam Aditama (2006) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah

kemampuan untuk mempengaruhi, memotivasi dan mengarahkan orang lain

untuk mencapai tujuan. Ivancevich (1999) mengemukakan bahwa teori trait

tentang kepemimpinan merupakan identifikasi karakter khusus (fisik, mental,

keperibadian) yang terkait kesuksesan pemimpin. Terkait seorang pemimpin

juga diukur melalui perilaku dalam situasi kelompok, dengan pilihan dari

rekan (voting), nominasi dari pengamat dan analisis data biografi.

Swanburg (1999) mengemukakan bahwa prinsip kepemimpinan diantaranya

yaitu: 1) Mengarahkan yaitu seorang pemimpin harus membuat aturan yang

jelas, sehingga perawat dalam melakukan tindakan dapat dilakukan dengan

penuh tanggung jawab; 2) Mengawasi, meliputi memeriksa, menilai dan

memperbaiki kinerja pegawai. Artinya seseorang pemimpin harus


36

memberikan umpan balik kepada bawahannya baik secara lisan maupun

tertulis, umpan balik merupakan salah satu bentuk evaluasi dalam menilai

kinerja staf oleh pimpinan; 3) Mengkoordinasikan, meliputi pertukaran

informasi dan mengadakan pertemuan kelompok kerja. Hal ini diperlukan

dalam membentuk kerjasama tim (team work) agar lebih solid dan

terkoordinir.

Cara seseorang berperilaku menentukan keefektifan kepemimpinan orang

tersebut. Menurut Rensis Likert dalam Ivancevich (1999) menyatakan bahwa

manajer keperawatan di rumah sakit dapat meningkatkan perilaku yang lebih

memperhatikan pegawai dengan berbagai cara, yaitu memodifikasi perilaku

bawahan dengan menjaga komunikasi yang terbuka; mendengarkan bawahan;

memberikan imbalan yang positif bagi bawahan; memberikan kesempatan

pada bawahan untuk meningkatkan karier dan tidak takut untuk mengakui

kesalahan karena manusia tidak luput dari suatu kesalahan.

Kepemimpinan patient safety seharusnya memiliki kedudukan senior dalam

organisasi, memiki otoritas untuk bertindak dan mengambil keputusan guna

meningkatkan patient safety, memiliki hubungan langsung dengan CEO

(Chief Executive Officer), melaksanakan pelatihan, menguasai manajemen

risiko, menjamin cukup sumber daya untuk meningkatkan patient safety dan

dihargai semua profesi dan tingkat staf dalam organisasi.

3. Imbalan

Hasibuan (2007)mengutarakan imbalan atau kompensasi mengandung makna

pemberian imbalan atau bayaran baik secara langsung maupun tidak langsung
37

yang diterima karyawan sebagai hasil dari kinerjanya. Kinerja seseorang akan

meningkat ketika ia merasa diperlakukan adil baik dalam pekerjaan maupun

dalam pemberian imbalan atau penghargaan. Tetapi semangat kerja akan

menurun bila kontribusi pekerja tidak dihargai dengan imbalan atau

kompensasi yang tidak seimbang. Hal ini didukung oleh Bawono dan

Nugraheni (2015) yang mengatakan bahwa kinerja dan kesesuaian imbalan

berpengaruh terhadap kepuasan kerja pegawai.

Adanya imbalan/penghargaan yang baik akan memotivasi karyawan untuk

bekerja lebih produktif dan suksesnya suatu organisasi ditentukan oleh

besarnya imbalan yang diberikan. Kompensasi berkaitan dengan persyaratan

yang harus dipenuhi oleh karyawan pada jabatannya sehingga tercipta

keseimbangan antara input dan output. Kompensasi merupakan pemberian

balas jasa baik secara langsung berupa uang (finansial) maupun tidak

langsung berupa penghargaan (non finansial). Terdapat dua kategori imbalan,

yaitu imbalan instrinsik dan imbalan ekstrinsik. Imbalan instrinsik adalah

imbalan yang dinilai oleh mereka sendiri meliputi perasaan kompetensi

pribadi, perasaan pencapaian pribadi, tanggung jawab dan otonomi pribadi,

perasaan pertumbuhan dan pengembangan diri, status dan kepentingan kerja.

Imbalan ekstrinsik sebagian besar dikendalikan dan dibagikan secara

langsung oleh orang lain untuk mempengaruhi perilaku dan kinerja

anggotanya, meliputi: gaji, tunjangan karyawan, sanjungan, pengakuan

formal, promosi, hubungan sosial, lingkungan kerja dan pembayaran insentif.


38

4. Struktur Organisasi

Organisasi adalah sebuah wadah bagi sekelompok orang yang memiliki

tujuan yang sama dan berusaha untuk mewujudkannya bersama-sama (Griffin

dalam Cahyono, 2008). Didalam suatu organisasi terdapat struktur organisasi

yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya KTD.

Struktur organisasi adalah pembagian, pengelompokan dan pengkoordinasian

tugas atau pekerjaan secara formal. Struktur organisasi menunjukkan cara

suatu kelompok dibentuk, garis komunikasi dan hubungan otoritas serta

pembentukan keputusan (Marquin, B.L. dan Huston 2006). Struktur

organisasi menggambarkan garis komando, garis kewenangan dan garis

koordinasi dalam sebuah organisasi untuk memberikan arah dalam

melaksanakan tugas. Kualitas dan keselamatan pasien ditentukan oleh

berbagai faktor dalam sistem organisasi dan juga lingkungan kerjanya.

Menurut Cahyono (2008), rumah sakit harus membentuk struktur organisasi

Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit dengan kelompok kerja agar kebijakan

dan prosedur yang telah ditetapkan rumah sakit dapat dilaksanakan optimal,

misalnya (pokja tranfusi, pokja pencegahan kesalahan obat, dan pokja infeksi

nosokomial).

5. Desain Pekerjaan

Desain pekerjaan mencakup kedalaman dan tujuan dari setiap pekerjaan yang

membedakan antara pekerjaan yang satu dengan pekerjaan lainnya. Tujuan

pekerjaan dilaksanakan melalui analisis kerja, dimana para manajer

menguraikan pekerjaan sesuai dengan aktivitas yang dituntut agar


39

membuahkan hasil. Gybson (1997) menjelaskan desain pekerjaan mengacu

pada proses yang diterapkan pada manajer untuk memutuskan tugas

pekerjaan dan wewenang. Desain pekerjaan merupakan upaya seorang

manajer untuk mengelompokkan tugas dan tanggung jawab setiap individu.

Pekerjaan yang dirancang dengan baik akan meningkatkan motivasi yang

merupakan faktor penentu produktivitas seseorang maupun organisasi.

Kepuasan kerja dipengaruhi oleh tuntutan pekerjaan dan sejauh mana tuntutan

tugas tersebut sesuai dengan kemampuan seseorang.

6. Pelatihan

Pelatihan merupakan proses secara sistematik bagi individu untuk

memperoleh dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang

diperlukan untuk menunjang kinerjanya yang lebih baik (Greenberg, J. dan

Baron, R, 2005). Bernardin (2003) menyatakan pelatihan merupakan suatu

kegiatan untuk mendukung pengembangan kinerja staf/karyawan yang

berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukannya. George, J.M. dan Jone (2002)

menyatakan bahwa pelatihan memiliki makna efektif untuk meningkatkan

kemampuan karyawan.

c. Faktor Pendorong (Reinforcing Factor).

Faktor ini terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan (dalam

penelitian ini merupakan perawat pelaksana) atau petugas kesehatan lainnya.

Termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pemerintah

daerah maupun dari pusat. Faktor penguat juga merupakan faktor yang

menentukan apakah tindakan kesehatan memperoleh dukungan atau tidak. Dalam


40

penelitian ini bila dihubungkan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi

penerapan keselamatan pasien, yang termasuk faktor pendorong (reinforcing

factor), yaitu: pelatihan keselamatan pasien dan motivasi perawat dalam

pengimplementasian keselamatan pasien.

1. Motivasi

Menurut Herzberg dalam Robbins, S.P. dan Judge (2008) mengemukakan

tentang motivasi untuk bekerja. Pendapat ini merupakan bagian dari kegiatan

perilaku individu dalam proses perilaku organisasi yang memandang bahwa

sikap-sikap positif terhadap pekerjaan timbul dari pekerjaan itu sendiri dan

mereka berfungsi sebagai motivator.

Selain ketiga faktor diatas, ada juga faktor lain yang mempengaruhi

kinerja seseorang dalam penerapan budaya keselamatan pasien. Faktor lain

tersebut adalah faktor individu. Menurut Joint Commision Internatioal(JCI) 2007,

mengatakan bahwa faktor individu adalah salah satu komponen yang

mempengaruhi praktek klinis keperawatan. Karakteristik perawat dalam

penerapan keselamatan pasien menurut Ellis dan Hartley (2000) meliputi usia,

jenis kelamin, pendidikan, masa kerja dan status perkawinan. Adapun

penjelasannya sebagai berikut:

a. Usia

Usia berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan atau maturitas seseorang.

Semakin tinggi usia semakin mampu menunjukkan kematangan jiwa dan

semakin dapat berpikir rasional, semakin bijaksana, mampu mengendalikan

emosi dan semakin terbuka terhadap pandangan orang lain. Hal ini diperkuat
41

oleh Robbins, S.P. dan Judge (2008), yang mengatakan bahwa semakin

bertambah usia seseorang maka semakin banyak pengalaman yang

dimilikinya, pemikirannya semakin matang, memiliki etos kerja yang kuat,

dan komitmen yang tinggi terhadap peningkatan mutu. Dari berbagai periode

umur tersebut, umur yang produktif dalam bekerja dan yang merupakan

angkatan kerja ditunjukkan oleh periode dewasa muda (20-40 tahun) dan

dewasa madia (40-65 tahun). Dengan bertambahnya usia, maka seseorang

akan memiliki kebijaksanaan yang tinggi dalam mengambil keputusan,

memiliki pola pikir yang rasional, mampu mengontrol emosi dan memiliki

toleransi yang tinggi terhadap pendapat orang lain, yang berarti pula telah

terjadi peningkatan kinerja pada orang tersebut. Usia juga berpengaruh

terhadap kemampuan seseorang untuk bekerja, termasuk bagaimana

merespon stimulasi.

b. Jenis kelamin

Teori psikologis menemukan bahwa perempuan lebih patuh terhadap aturan

dibandingkan dengan pria. Pria biasanya memiliki tingkat keagresifan yang

tinggi dan memiliki harapan untuk sukses namun perbedaan ini kecil adanya

bila dibandingkan dengan perempuan (Robbins, S.P. dan Judge, 2008).

Pegawai perempuan yang berumah tangga akan memiliki tugas tambahan, hal

ini dapat menyebabkan kemungkinan yang lebih sering dibandingkan

pegawai laki-laki. Robbins juga menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan

mempunyai kemampuan yang sama dalam menangani atau memecahkan

masalah, memiliki keterampilan analitis, daya saing, motivasi, solidaritas dan


42

kemauan untuk belajar. Namun, disisi lain Sopiah (2009) mengatakan bahwa

karyawan wanita cenderung lebih rajin, disiplin, teliti dan sabar dalam

bekerja.

c. Pendidikan

Menurut Yosafianti dan Alfiyanti (2010) menyatakan bahwa tingkat

pendidikan memiliki hubungan atau keterkaitan dengan kepatuhan perawat

dalam menerapkan patient safety. Selanjutnya perawat harus melanjutkan

pendidikan dan kesempatan pelatihan untuk semua aspek keperawatan

misalnya magister nurse dan spesialis keperawatan. Latar belakang

pendidikan mempengaruhi kinerja perawat, artinya semakin tinggi tingkat

pendidikan seseorang maka kinerja yang ditunjukkan juga akan semakin baik

karena pengetahuan dan wawasan yang dimiliki lebih luas bila dibandingkan

dengan perawat yang tingkat pendidikannya lebih rendah.

d. Masa kerja

Masa kerja adalah lama seorang perawat bekerja pada suatu instansi yaitu dari

mulai perawat itu resmi dinyatakan sebagai pegawai atau karyawan suatu

rumah sakit. Senioritas dan produktivitas pekerjaan berkaitan secara positif.

Semakin lama seseorang bekerja semakin terampil dan akan lebih

berpengalaman dalam melaksanakan pekerjaannya. Masa kerja pada suatu

pekerjaan dimasa lalu akan mempengaruhi keluar masuknya karyawan

dimasa yang akan datang. Robbins, S.P. dan Judge (2008) memperkuat

pendapat ini, ia mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara

masa kerja dengan motivasi kerja perawat.


43

e. Status perkawinan

Status perkawinan seseorang memiliki pengaruh terhadap perilakunya dalam

kehidupan berorganisasi. Karyawan yang sudah menikah akan lebih rajin,

mengalami pergantian yang jarang dan lebih menikmati hasil pekerjaannya

dibandingkan dengan teman sekerjanya yang belum menikah (Robbins, S.P.

dan Judge, 2008). Berdasarkan hal tersebut sangatlah jelas bahwa status

perkawinan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja perawat.

Perkawinan membuat seorang individu mempunyai tanggung jawab dalam

pekerjaan, menjadi lebih berharga dan penting. Sopiah (2009) juga

mengatakan bahwa karyawan yang sudah menikah dengan karyawan yang

belum menikah akan berbeda dalam memaknai suatu pekerjaan. Karyawan

yang sudah menikah menilai pekerjaan sangat penting karena sudah memiliki

sejumlah tanggung jawab sebagai keluarga.

2.1.2 Pelatihan

2.1.2.1 Pengertian pelatihan

Pelatihan merupakan suatu proses pembelajaran untuk memperoleh

pengetahuan baru, mengembangkan dan meningkatkan keterampilan yang

dimiliki ke arah yang lebih baik yang terjadi di luar sistem pendidikan yang

berlaku dalam waktu yang relatif singkat. Keterampilan yang dimaksud dalam hal

ini adalah keterampilan dalam berbagai bentuk antara lain keterampilan fisik,

keterampilan intelektual, keterampilan sosial dan keterampilan memimpin (Rivai,

V. dan Sagala, 2009). Pelatihan juga merupakan teknik yang dipilih untuk

meningkatkan kualitas, efisiensi, dan kinerja staf. Marquin, B.L. dan Huston
44

(2006) mendefinisikan pelatihan adalah suatu cara yang diambil untuk menambah

pengetahuan dan keterampilan tertentu yang harus dimiliki oleh seseorang yang

berkaitan dengan pekerjaannya. Pengetahuan tersebut dapat meningkatkan

kemampuan efektif, motorik dan kognitif sehingga akan diperoleh suatu

peningkatan produktivitas atau hasil yang baik.

Baron dan Greenberg (2005) menyatakan bahwa pelatihan digunakan

untuk meningkatkan karyawan baru menghadapi tantangan dalam pekerjaannya.

Pelatihan juga dapat meningkatkan keterampilan karyawan yang telah ada.

Robbins, S.P. dan Judge (2008) menyatakan bahwa pelatihan merupakan sebuah

model yang bertujuan untuk mengambil perhatian peserta terhadap apa yang

dipelajari, mengembangkan motivasi, membantu peserta menerapkan apa yang

telah mereka pelajari, memberikan kesempatan untuk mempraktekkan perilaku

yang baru, serta memberikan penghargaan positif terhadap prestasi karyawan.

Marquin, B.L. dan Huston (2006) menyatakan bahwa program

pengembangan staf melalui pelatihan dan pendidikan merupakan program yang

efektif untuk meningkatkan produktivitas perawat. Dampak kognitif yang

diharapkan terjadi setelah seseorang mengikuti pelatihan adalah bahwa mereka

mampu mengambil keputusan yang tepat dengan risiko minimal. Hal ini berarti

bahwa kontribusi kegiatan kognitif karena pelatihan yang diikuti seseorang dapat

juga berdampak pada penurunan potensi tuntutan karena pelanggaran kode etik,

disiplin dan hukum.


45

2.1.2.2 Manfaat Pelatihan

Pelatihan secara umum berhubungan dengan proses belajar yang

mengarah pada perubahan perilaku. Spence dalam Morrison (2010) menyatakan

bahwa teori belajar melalui pelatihan yang berorientasi pada perilaku

dikembangkan untuk melakukan analisis formal dalam perubahan perilaku

tersebut. Terdapat dua metode prinsip dalam teori belajar yaitu instruksi verbal

dan demonstrasi. Aspek penting pada kemampuan belajar ini terkait dengan

bentuk hasil pengetahuan yang diberikan. Teori Law of Response by Analogy yang

dikemukakan oleh Thorndike dalam Suryabrata (2005) mengenai kecenderungan

individu untuk bereaksi dan menampilkan respon terhadap hal tertentu yang

dihadapinya. Reaksi yang terjadi dari intervensi pelatihan yang diberikan dapat

diharapkan sebagai pendorong tercapainya kemampuan yang optimal.

Pengembangan staf yang sering dihubungkan dengan pelatihan mengarah

pada adanya manfaat desain pembelajaran dalam pelatihan untuk membantu

pertumbuhan staf. Pelatihan yang efektif adalah pelatihan yang mencakup dan

mempertimbangkan pengalaman belajar, menjadi aktivitas terencana dari

organisasi serta didesain sebagai respon terhadap suatu kebutuhan. Untuk itu

seharusnya organisasi menawarkan program pelatihan yang bervariasi untuk

menemukan dan memenuhi kebutuhan organisasi akan hal tersebut. Sejalan

dengan hal ini Mc.Cutcheon, A.S. (2006) merekomendasikan bahwa SDM

keperawatan memiliki kebutuhan yang besar untuk mendapatkan pendidikan dan

pelatihan berkelanjutan dalam berbagai jenjang untuk mendukung penerapan

keselamatan pasien.
46

Pelatihan memiliki nilai kemanfaatan yang sangat besar baik dari aspek

staf maupun organisasi. Rivai, V. dan Sagala (2009) menyatakan bahwa transfer

ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh staf dalam pekerjaannya berhubungan

dengan kinerja staf selanjutnya. Manfaat lain yang dapat diperoleh staf melalui

pelatihan adalah berupa tanggung jawab dan prestasi yang lebih dapat

diinternalisasi, meningkatnya pengetahuan, keterampilan dan sikap serta

membantu menghilangkan rasa takut menghadapi tugas baru. Sikap yang lebih

positif terhadap orientasi yang akan dicapai oleh organisasi dan sikap moral yang

lebih baik juga dirasakan sebagai manfaat oleh organisasi.

Staf yang mendapatkan pelatihan perlu diberikan umpan balik atau hasil

pengetahuan yang diperoleh dari pelatihan yang diterima agar staf dapat

mengembangkan kinerjanya dengan lebih baik. Fakta yang ada memperlihatkan

bahwa adanya pelatihan dipandang secara positif oleh staf. Hasil survei

menunjukkan rata-rata dua pertiga staf memandang bahwa pelatihan yang

diterima staf bemanfaat dan membantu kinerja staf dalam melaksanakan tugas dan

kewajibannya (Bernardin, 2003).

Pelatihan dalam lingkup mutu dan keselamatan merupakan salah satu

sarana untuk menambah kebutuhan akan pengetahuan baru dan untuk

meningkatkan kinerja individu dan kinerja system (Henriksen, K. dan Dayton,

2006). Dukungan yang adekuat dalam bentuk pelatihan profesional dan

pengembangan pengetahuan merupakan salah satu upaya untuk menciptakan

lingkungan kerja yang positif bagi perawat agar asuhan yang aman dapat

diberikan (ICN, 2007). Sedangkan kunci dari program pelatihan yang efektif
47

terdiri atas partisipasi, pengulangan, pergantian pelatihan dan umpan balik (Baron,

2000).

Mayoritas KTD terjadi akibat kegagalan system (Cahyono, 2008). CNA,

(2008) menyatakan bahwa upaya untuk menganalisis dan menurunkan KTD lebih

efektif ketika suatu kejadian dilihat sebagai suatu kegagalan sistem. Mengacu

pada pendekatan sistem dalam memandang program keselamatan pasien tersebut

maka pelatihan merupakan aspek yang mendukung pilar sumber daya manusia

dalam membangun fondasi keselamatan pasien. Salah satu rekomendasi IOM

untuk memperkuat dukungan sumber daya manusia adalah membangun program

pelatihan secara interdisipliner. Terkait dengan pelatihan mengenai keselamatan

pasien, WHO (2009) mengemukakan bahwa salah satu area riset yang menjadi

prioritas untuk dikembangkan dalam lingkup keselamatan pasien adalah yang

berhubungan dengan tidak adekuatnya kompetensi pelatihan dan keterampilan.

Pertanyaan riset dasar yang perlu dikembangkan adalah apakah pemberi

pelayanan profesional telah dilatih secara profesional dan telah melakukan serta

mengkaji pasien dengan disertai pelaporan KTD dan kesalahan tindakan medis.

Kebijakan yang dikeluarkan oleh Steven et al (2013) mengenai langkah-

langkah menuju keselamatan pasien, terlihat bahwa pelatihan merupakan bagian

yang penting dari tujuh langkah yang ditetapkan. Memasukkan keselamatan

pasien dalam semua program latihan staf rumah sakit yang disertai pengukuran

terhadap aktivitasnya adalah rincian dari langkah untuk memimpin dan

mendukung staf dengan cara membangun komitmen dan fokus yang kuat serta

menjelaskan tentang keselamatan pasien di rumah sakit. Pelatihan yang diberikan


48

juga merupakan bentuk dukungan dan kepemimpinan terhadap staf serta upaya

untuk membangun komitmen dan fokus bagi semua tenaga kesehatan yang terlibat

dalam penerapan keselamatan pasien (ICN, 2007).

Tantangan perubahan pada abad 21 adalah mengorganisasi dan

mengelola sumber daya manusia. Pelatihan akan memungkinkan organisasi

kesehatan untuk memberikan pelayanan yang luar biasa terhadap pasien dan

mempertahankan sumber-sumber nilai yang dimiliki organisasi. Laporan IOM

pada tahun 2004 dalam Kowalski (2006) mengidentifikasi lima bentuk praktek

manajemen yang sangat esensial meliputi : 1) keseimbangan antara efisiensi dan

tantangan, 2) menciptakan dan membangun kepercayaan, 3) mengelola proses

perubahan, 4) melibatkan staf dalam pengambilan keputusan mengenai desain

kerja dan alur kerja, serta 5) membangun organisasi belajar. Penerapan kelima hal

tersebut secara konsisten akan berdampak pada budaya yang optimal untuk

menjamin keselamatan pasien.

Mayoritas pelatihan mengenai keselamatan pasien berfokus pada risiko,

regulasi dan peraturan mengenai keselamatan serta perilaku yang aman.

Organisasi yang mengedepankan keselamatan dalam pekerjaan staf akan

memperoleh keuntungan dari pelatihan yang dilakukan. Pelatihan keselamatan

yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat peningkatan sebanyak lebih

dari 20% perilaku yang mengarah pada keselamatan (Bernardin, 2003).

Pelatihan yang ditujukan pada staf dirancang dengan mempertimbangkan

proses belajar dalam kegiatan pelatihan. Robbins, S.P. dan Judge (2008)

menyatakan bahwa pola penerimaan pengetahuan dan pembelajaran yang ada


49

dalam kegiatan pelatihan staf merupakan hal yang penting untuk diperhatikan

dalam proses pemberian pelatihan. Dalam konteks keselamatan pasien, adanya

internalisasi pengetahuan kedalam nilai-nilai individu mengenai keselamatan

pasien merupakan hal yang harus diupayakan serta menjadi dasar untuk belajar

dari kejadian melalui diskusi mengenai kejadian yang berhubungan dengan

keselamatan pasien.

Despins, L.A. et al (2010) dalam penelitiannya berpendapat bahwa

pengembangan riset dalam bentuk intervensi mengenai keselamatan pasien

seharusnya diarahkan untuk meningkatkan kemampuan deteksi oleh perawat

mengenai tanda-tanda resiko cidera dan dapat meningkatkan keselamatan pasien

dalam lingkungan pelayanan yang semakin kompleks. Dinyatakan pula bahwa

teori mengenai deteksi terhadap risiko pasien dapat dijadikan sebagai rancangan

pengembangan pelatihan untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan

perawat dalam melakukan deteksi risiko pasien. Berkaitan dengan hal ini,

Cahyono (2008) menyatakan bahwa walaupun di Indonesia telah dilakukan upaya

sosialisasi mengenai keselamatan pasien, kebutuhan akan informasi yang adekuat

dan spesifik mengenai kontribusi perawat dan tenaga kesehatan lainnya tetap

menjadi faktor penentu dalam menciptakan budaya keselamatan pasien.

Uraian di atas memberikan gambaran bahwa upaya untuk melibatkan

SDM keperawatan dalam program keselamatan pasien secara spesifik telah

mengarah pada pentingnya melakukan pelatihan yang berfokus pada deteksi risiko

pasien dan peningkatan peran perawat dalam menciptakan budaya keselamatan

pasien. Penelitian ini dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai kajian di


50

atas dan berfokus pada penilaian terhadap pengaruh perlakuan berupa pelatihan

terhadap implementasi enam sasaran keselamatan pasien yang dilihat dari

perbedaan hasil observasi implementasi enam sasaran keselamatan pasien

sebelum dan setelah pelatihan. Berbagai kajian yang telah dikemukakan

sebelumnya secara jelas menggambarkan mengenai hubungan antara pelatihan

dengan kinerja perawat. Pelatihan merupakan sarana untuk mencapai kinerja

perawat yang adekuat dan penerapan keselamatan pasien sangat ditentukan dari

adanya komitmen untuk menerapkan budaya keselamatan.

2.1.2.3 Jenis Pelatihan

Jenis pelatihan yang dapat dikembangkan oleh organisasi dapat

menjadikan prinsip belajar dalam pelatihan menjadi lebih efektif (Marquis dan

Huston, 2006; Rivai dan Sagala, 2009). Berikut merupakan metode yang dapat

digunakan dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) berdasarkan

teknik dan prinsip belajar yang terkandung dalam berbagai jenis pelatihan yaitu:

a. On the job training

On the job training merupakan pelatihan dengan instruksi pekerjaan

dimana pekerja ditempatkan dalam situasi riil di bawah hubungan staf yang

berpengalaman atau seorang supervisor. Evaluasi dan umpan balik merupakan hal

penting yang dilakukan oleh supervisor agar pekerja pada akhirnya dapat

melakukan pekerjaannya dengan baik. Bentuk lain dari On the job training adalah

rotasi kerja dan magang.

Rotasi kerja merupakan suatu teknik pelatihan dimana peserta pelatihan

dipindahkan dari tempat kerja yang satu ke tempat kerja lainnya. Partisipasi
51

peserta pelatihan dan tingkat transfer pekerjaan yang tinggi merupakan manfaat

belajar dalam rotasi kerja yang efektif. Sedangkan magang merupakan program

yang memiliki aspek rancangan kurang begitu cermat dibandingkan dengan rotasi

kerja. Magang ditangani oleh supervisor atau manajer dan bukan oleh departemen

SDM. Walaupun demikian, partisipasi, umpan balik dan transfer pekerjaan lebih

tinggi dalam jenis pelatihan ini.

b. Off the job training

Beberapa pendekatan yang tercakup dalam off the job training antara lain

adalah ceramah kelas, case study, simulasi, praktek laboratorium, role playing dan

behavior modelling. Berikut merupakan penjelasan terkait hal tersebut yaitu:

1. Ceramah Kelas

Ceramah merupakan pendekatan yang sering digunakan karena

mengandalkan komunikasi daripada memberi model. Umpan balik dan

partisipasi peserta dengan metode ini dapat meningkat dengan adanya diskusi

selama ceramah.

2. Case Study

Metode kasus adalah metode pelatihan yang menggunakan deskripsi tertulis

dari suatu permasalahan riil yang dihadapi oleh perusahaan atau perusahaan

lain. Identifikasi masalah, memilih solusi dan mengimplementasikan solusi

tersebut merupakan proses yang dikelola agar staf dapat mengambil

keputusan melalui pengembangan keahlian dalam pengambilan keputusan.


52

3. Simulasi

Simulasi dilakukan dengan melibatkan simulator yang mengandalkan aspek-

aspek utama dalam situasi kerja. Pelatihandengan menggunakan teknik ini

umumnya digunakan untuk melatih staf karena tidak diperkenankannya trial

dan error dalam pengambilan keputusan.

4. Praktek Laboratorium

Pelatihan dengan pendekatan praktek di laboratorium dirancang untuk

meningkatkan keterampilan interpersonal. Selain itu juga dapat digunakan

untuk membangun perilaku yang diinginkan untuk tanggung jawab staf

selanjutnya. Pengalaman berbagi perasaan, perilaku, persepsi dan reaksi

merupakan hasil pelatihan dengan pendekatan ini.

5. Role Playing

Role playing adalah suatu metode pelatihan dimana peserta dihadapkan pada

satu situasi dan setiap peserta memainkan peranannya masing-masing dan

berinteraksi dengan yang lain. Metode ini merupakan perpaduan antara

metode kasus dan pengembangan sikap. Kesuksesan metode ini tergantung

pada kemampuan peserta untuk memainkan peranannya sebaik mungkin.

6. Behavior Modelling

Metode ini memungkinkan suatu proses psikologis dengan pembentukan pola

baru dan meninggalkan pola lama. Proses belajar terjadi melalui observasi

dan imajinasi melalui pengalaman orang lain dalam rangka meningkatkan

keahlian interpersonal.
53

2.1.2.4 Penilaian Pelaksanaan Program

Penilaian/evaluasi pelaksanaan program pelatihan dikatakan berhasil

apabila dalam diri peserta pelatihan terjadi suatu proses transformasi. Proses

transformasi tersebut dapat dinyatakan berlangsung dengan baik bila terjadi

peningkatan kemampuan dalam melaksanakan tugas, perubahan perilaku yang

tercermin pada sikap, disiplin dan etos kerja (Siagan, 2010). Pada tahap ini

dilakukan penilaian pelaksanaan program untuk memastikan kegiatan sesuai

dengan yang direncanakan. Penilaian program pelatihan dapat dilakukan

diantaranya dengan cara pre test dan post test, observasi perubahan perilaku

sebelum dan setelah peserta mengikuti program (Triton, 2010).

Dampak pelatihan terhadap suatu keterampilan dapat dilihat dengan

melakukan praktek ataupun tidak. Keterampilan yang dihasilkan dari suatu

pelatihan dapat diukur dalam rentang waktu hari, minggu, bulan bahkan tahun.

Kemampuan peserta untuk mengadopsi, mempertahankan dan memelihara

keterampilan dapat bertahan dalam kurun waktu 1-4 minggu, sebelum berlanjut ke

tahap perubahan perilaku yang memerlukan waktu lebih lama yaitu 4, 6 sampai 12

bulan (Morrison, 2009).

Dari uraian tentang pelatihan di atas dapat disimpulkan bahwa pelatihan

merupakan pengembangan sumber daya manusia yang dilakukan secara sistematis

untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perawat, sehingga dapat

merubah perilaku perawat dalam melaksanakan pekerjaan serta memotivasi

perawat dalam memperbaiki dan meningkatkan kinerja dan produktivitas kerja.


54

Pelatihan harus memiliki tujuan, sasaran, penentuan program, pelaksanaan, dan

penilaian/evaluasi pelatihan yang jelas.

2.1.3 Hubungan pelatihan terhadap implementasi keselamatan pasien

Beberapa teori menyebutkan bahwa dengan pelatihan dalam

pekerjaannya akan meningkatkan pengetahuan individu dan pengembangan yang

bermakna terhadap tingkat kebutuhan perawat akan ilmu (Marquin, B.L. dan

Huston, 2006). Pelatihan dalam lingkup mutu dan keselamatan merupakan salah

satu sarana untuk menambah kebutuhan akan pengetahuan baru dan untuk

meningkatkan kinerja individu dan kinerja sistem (Henriksen, K. dan Dayton,

2006). Sedangkan Mc.Cutcheon, A.S. (2006) merekomendasikan sumber daya

manusia khususnya keperawatan memiliki kebutuhan yang besar untuk mendapat

pendidikan dan pelatihan berkelanjutan dalam berbagai jenjang untuk mendukung

penerapan keselamatan pasien.

Dari pemaparan teori di atas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya

pelatihan dapat meningkatkan pengetahuan individu, yang nantinya akan

berpengaruh terhadap sikap dan keterampilan dalam pelaksanaan keselamatan

pasien (Selleya C. Bawelle, J. S. V. Sinolungan, 2013). Hal ini diperkuat juga oleh

penelitian Yulia et al (2012), yang menyatakan bahwa pelatihan sangat

berpengaruh terhadap pengetahuan perawat pelaksana dalam penerapan

keselamatan pasien. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sonal Arora, et al.

(2012), mengatakan bahwa dengan pelatihan dapat meningkatkan pengetahuan,

pemahaman, penerimaan dan analisis tentang keselamatan pasien. Sedangkan

hubungan pengetahuan sangat signifikan terhadap pelaksanaan keselamatan


55

pasien (Muthmainnah dan Noor Bahri, 2014). Pernyataan ini diperjelas lagi

dengan penelitian yang dilakukan Azimi et al, (2012) yang mengatakan bahwa

pelatihan patient safety merupakan strategi yang efektif untuk meningkatkan sikap

dan keterampilan perawat dalam penerapan keselamatan pasien.

2.2 Hasil Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitan ini yaitu

penelitian yang dilakukan Yulia, et al. (2012) dengan judul penelitiannya

“peningkatan pemahaman perawat pelaksana dalam penerapan keselamatan pasien

melalui pelatihan keselamatan pasien”. Adapun hasil penelitiannya adalah ada

peningkatan pemahaman perawat pelaksana setelah diberikan pelatihan. Penelitain

yang dilakukan Sonal Arora, et al. (2012) dengan judul penelitiannya safety skills

training for surgeons: A half-day intervention improves knowledge, attitudes and

awareness of patient safety. Adapun hasil penelitiannya adalah “pelatihan dapat

meningkatkan pengetahuan, pemahaman, penerimaan dan analisis tentang

keselamatan pasien”. Penelitian yang dilakukan oleh Selleya C. Bawelle, J. S. V.

Sinolungan (2013) dengan judul “hubungan pengetahuan dan sikap perawat

dengan pelaksanaan keselamatan pasien (patient safety) di Ruang Rawat Inap

RSUD. Liun Kendage Tahuna”. Adapun hasil penelitiannya adalah pelatihan

dapat meningkatkan pengetahuan individu, yang nantinya akan berpengaruh

terhadap sikap dan keterampilan dalam pelaksanaan keselamatan pasien. Dan

penelitian yang dilakukan oleh Muthmainnah dan Noor Bahri (2014) dengan judul

“hubungan pengetahuan, motivasi dan supervisi dengan kinerja penerapan


56

keselamatan pasiendi RSUD. Haji”. Adapun hasil penelitiannya adalah hubungan

pengetahuan sangat signifikan terhadap pelaksanaan keselamatan pasien.

Anda mungkin juga menyukai