Anda di halaman 1dari 19

Nia Noorrahmah, Rezza Munawir, Frans Almarta

Tugas Karya Tulis Kelompok


Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota

TANAH TIMBUL DI KOTA CIREBON,


CIREBON
PELUANG & TANTANGAN

1. PENDAHULUAN
Kota Cirebon merupakan kota yang memiliki luas wilayah yang relatif kecil dengan luas
3.810 ha dengan jumlah penduduk 301.720 jiwa (Cirebon Dalam Angka, 2013). Kota ini merupakan
salah satu Pusat Kegiatan
n Nasional (PKN) dan menjadi pusat pertumbuhan bagi kota
kota-kota lain di
sekitarnya
ya yang dikenal sebagai wilayah pertumbuhan Ciayumajakuning, meliputi Kabupaten
Cirebon, Kota Cirebon,
ebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, dan Kabupaten Kuningan.
Dengan perannya yang strategis, tak heran jika pusat Kota Cirebon memiliki intensitas aktivitas yang
cukup tinggi. Hal ini antara lain terlihat dari jumlah “penduduk siang” yang diperkirakan
diperkirakan lebih dari
1.000.000 jiwa yang merupakan penduduk dari kota sekitar yang bertujuan mengakses berbagai
fasilitas perdagangan, pendidikan, jasa kesehatan,
kesehatan, maupun bekerja. Adanya “penduduk siang”
tersebut menjadikan pusat kota menjadi sangat padat sementara
sementara luas wilayah pengembangan
kegiatan perkotaan yang ada sangat terbatas.
Berkaitan dengan kenyataan di atas, adanya isu
i penambahan luas lahan bagi kota yang
relatif kecil dengan beban aktivitas tinggi menjadi suatu hal yang menarik. Isu penambahan lahan ini
dipicu oleh adanya potensi tanah timbul di pesisir Kota Cirebon. Keberadaan daratan tanah timbul
dapat dilihat sebagai peluang untuk menambah luasan wilayah pembangunan kota. Secara normatif,
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun
T 2004 Tentang Penatagunaan
agunaan Lahan disebutkan
bahwa lahan tersebut semestinya
stinya dikuasai langsung Negara sehingga dapat dikelola dan
dimanfaatkan
manfaatkan oleh Pemerintah Kota sebagai aset lahan milik Pemerintah Kota dan dapat menjadi
cadangan lahan di masa depan.
Kenyataannya
enyataannya telah terjadi pengembangan lahan informal yang dilakukan oleh masyarakat.
Saat ini, di lokasi lahan tanah timbul tersebut telah berdiri permukiman padat penduduk dengan
banyak aktivitas, sehingga persoalan penguasaan lahan oleh pemerintah tak lagi sederhana. Di luar
hal tersebut, terdapat tantangan-tantangan
tantangan lain yang harus diselesaikan.
Berangkat
angkat dari kenyataan di atas, makalah ini berusaha mengangkat peluang dan tantangan
yang dihadapi oleh Pemerintah Kota Cirebon dalam pengelolaan pemanfaatan
pemanfaatan lahan tanah timbul
yang ada. Tulisan ini berusaha menemukan jawaban atas beberapa tujuan penulisan berikut ini.
1. Menggali/membaca peluang pemanfaatan lahan tanah timbul yang ada di Kota Cirebon
Cirebon.
2. Memetakan tantangan yang dihadapi dalam upaya pemanfaatan dan pengelolaan tanah
timbul oleh Pemerintah Kota Cirebon.
Cirebon

Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB 1


Nia Noorrahmah, Rezza Munawir, Frans Almarta
Tugas Karya Tulis Kelompok
Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota
3. Menemukan alternatif strategi penyelesaian masalah dalam mengatasi tantangan
optimalisasi pemanfaatan tanah timbul yang dihadapi oleh Pemerintah Kota Cirebon.
Cirebon

2. KEBERADAAN TANAH TIMBUL DI PESISIR KOTA CIREBON


Kota Cirebon terletak di pantai Utara Pulau Jawa, bagian timur Jawa Barat dengan luas
wilayah 3.810 hektar (RTRW Kota Cirebon, 2012). Secara administratif merupakan bagian dari
Propinsi Jawa Barat Kota Cirebon, tterdiri dari 5 wilayah Kecamatan, 22 Kelurahan, 247 Rukun Warga
(RW) dan 1.352 Rukun Tetangga (RT). Lokasi kota ini dapat ditempuh melalui jalan darat sejauh 130
Km dari arah Kota Bandung dan 258 Km dari arah kota Jakarta, merupakan lokasi yang sangat
strategis dan menjadi simpul pergerakan
pergerakan transportasi antara Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Secara geografis, kota ini berada pada posisi 6o04’1’’ - 6 o43’56” Lintang Selatan dan 108 o
34’57” – 108 o31’55’ Bujur Timur
ur pada Pantai Utara Pulau Jawa, membentang dari Barat ke Timur 8
kilometer, Utaraa ke Selatan 11 kilometer. Sisi utara kota berbatasan langsung dengan Laut Jawa
sehingga memiliki wilayah pesisir dengan panjang pantai sepanjang ± 7 Km. Pesisir
esisir Kota Cirebon
terdiri dari dataran pantai dan rawa alluvial pantai dengan kemiringan lereng 0—5
0 %.
Di kawasan pantai Kota Cirebon tterjadi pendangkalan yang cukup tinggi akibat sedimentasi
yang berlangsung menerus sehingga terbentuk tanah-tanah timbul. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah nomor 16 tahun 2004, pengertian tanah timbul dapat diartikan sebagai
sebagai daratan yang
terbentuk secara alami maupun buatan karena proses pengendapan di sungai, dana
danau, pantai dan
atau pulau timbul.
Keberadaan tanah timbul ini telah mempengaruhi luas wilayah administrasi Kota Cirebon
Cirebon.
Berdasarkan Perda No. 7 Tahun 1986 tentang Rencana Induk Kota (RIK),, diketahui luas wilayah Kota
Cirebon 3.735,82 hektar, namun hasil
hasil perhitungan berdasarkan citra satelit ikonos skala 1 : 25.000
Bakosurtanal 2005 menunjukkan adanya penambahan luas
luas daratan seluas ±79,18 hektar sehingga
luas kota menjadi 3.810 hektar. Luasan ini kemudian diakui dalam Perda No. 7 Tahun 2012 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah
ilayah (RTRW) Kota Cirebon Tahun 2012
2012-2032.
Untuk mengetahui lebih jelas mengenai perubahan luas lahan ini, tim penulis melakukan
simulasi sederhana
hana perhitungan perubahan luas daratan di pesisir Cirebon dengan melakukan
overlay citra tahun 1994 dan 2014. Rentang waktu 20 tahun dipandang dapat memberikan
gambaran adanya perubahan luas daratan yang telah terjadi selama kurun waktu tersebut. Hasil
pengolahan citra landsat 5 tahun 1994 dan landsat 8 tahun 2014 menunjukkan adanya proyeksi
perubahan tanah pesisir pantai dengan estimasi lebih kurang 100 Ha (tim penulis, 2014). Di sisi
utara, terlihat adanya kemunduran pantai, sedangkan di bagian tengah dan
dan sisi selatan terlihat
adanya penambahan pantai.

Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB 2


Nia Noorrahmah, Rezza Munawir, Frans Almarta
Tugas Karya Tulis Kelompok
Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota
Gambar 1. Hasil pengolahan citra landsat 5 tahun 1994 dan landsat 8 tahun 2014

Citra 1994 Citra 2014 Hasil overlay

Sumber : USGS, diolah

Kemunduran pantai di pantai Kesenden ditengarai disebabkan oleh abrasi (pengikisan)


pantai. Permasalahan abrasi ditanggulangi dengan dibangunnya pemecah gelombang ((break water)
tahun 2009. Setahun setelah pembangunan break water, di kawasan inii telah terbentuk
terbe sedimen
seperti yang direncanakan seluas kurang lebih 30 Ha. Sebaliknya, di bagian tengah dan sisi selatan
tejadi akresi karena
rena adanya proses pengendapan, dari material endapan yang dibawa oleh sungai
maupun endapan laut. Garis
aris pantai yang maju ke arah
ara laut, terutama di daerah yang
ang sedimentasinya
cukup tinggi, kemudian membentuk lahan daratan yang dikenal sebagai tanah timbul.

3. PENGEMBANGAN LAHAN DI AREA TANAH TIMBUL


Pada tanah timbul yang ada di Kota Cirebon, selain terbentuk secara alami dari sedimentasi
di area pantai yang berlangsung menerus,
menerus pembentukan tanah timbul juga dipercepat
ipercepat dengan
adanya kegiatan pengembangan lahan informal oleh penduduk yang umumnya digunakan sebagai
tempat tinggal.. Kegiatan yang umumnya dijumpai berupa upaya mengurug
mengurug laut dangkal dengan
menggunakan sampah hingga menjadi bidang tanah yang dipandang stabil untuk kemudian
dibangun rumah tinggal.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Ramadhan (2006), dapat ditemukan lima pola
tahapan pengembangan lahan berdasarkan aktivitas
aktiv pelaku sebagai berikut :
1. Mengurug laut dangkal untuk kemudian lahan tersebut dijual, kegiatan ini dilakukan
berulang dengan motif mendapatkan keuntungan secara finansial

Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB 3


Nia Noorrahmah, Rezza Munawir, Frans Almarta
Tugas Karya Tulis Kelompok
Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota
2. Mengurug laut dangkal kemudian dibangun rumah di atasnya untuk selanjutnya dijual
dijual,
kegiatan ini dilakukan berulang dengan motif mendapatkan keuntungan secara finansial
3. Mengurug laut dangkal kemudian dibangun rumah di atasnya untuk dihuni sebagai tempat
tinggal pelakunya
4. Membeli lahan dari pihak lain kemudian dibangun rumah di atasnya untuk
untuk dihuni sebagai
tempat tinggal pelakunya
5. Membeli rumah non/semi permanen dari pihak lain kemudian direnovasi untuk dihuni
sebagai tempat tinggal pelakunya
Jika dilihat dari pola dan pelaku pengembangan, kegiatan pengembangan lahan ini
berlangsung secaraa masif dengan proses dan tahapan yang teratur mengikuti pola OBSP
(Occupation, Buiding, Servicing, and Planning) yang terjadi akibat adanya simbiose dari kebutuhan
lahan yang meningkat sementara akses terhadap lahan formal terbatas dan adanya peluang
pengembangan
embangan lahan dari suplai lahan alamiah tanah timbul yang seolah dibiarkan tanpa ada
kebijakan tegas terhadap kegiatan pengembangan lahan tersebut (Ramadhan, 2006).
Terjadinya pengembangan
engembangan lahan informal yang berlangsung secara menerus ini hingga saat
inii turut mewarnai perkembangan wilayah pesisir Kota Cirebon. Kurang dari satu dekade, telah
terjadi pertumbuhan akitivitas yang sangat pesat, ditandai oleh munculnya bangunan rumah tinggal
yang kini telah menjadi permukiman padat. Sebagai gambaran, menurut Ramadhan (2006), p
pada
tahun 1935 diketahui telah terdapat sekelompok pendatang yang membangun sekitar 8-10
8 rumah
tinggal di pesisir pantai wilayah Kelurahan Lemahwungkuk. Berdasarkan data R
Rencana
Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Daerah (2012), di Kelurahan
Lemahwungkuk pada tahun 2010 terdapat jumlah penduduk
p 9.004 jiwa dengan luas wilayah 0,54
Km2 (kepadatan 16.674
674 jiwa/km2).
jiwa/km2). Jumlah tersebut tersebar merata di hampir seluruh wilayah
kelurahan, termasuk di kawasan pesisir pantai. Kawasan
an permukiman di sepanjang pesisir pada pada
kawasan kelurahan ini diidentifikasi sebagai kawasan permukiman kumuh dengan kepadatan
bangunan tinggi.
Kondisi serupa dapat dijumpai di hampir semua kelurahan yang memiliki kawasan pesisir.
Permukiman dengan kepadatan tinggi ini antara lain ditengarai oleh pertambahan jumlah penduduk
yang tinggi, ditandai oleh banyaknya rumah tinggal yang dihuni oleh lebih dari satu keluarga. Di RW
1 dan RW 10 Kelurahan Panjunan misalnya, banyak dijumpai sejumlah rumah tinggal yang dihuni
oleh 2 keluarga,
rga, dimana anak usia dewasa yang telah menikah dan memiliki keturunan masih tinggal
bersama orang tuanya karena tidak memiliki tempat tinggal.

Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB 4


Nia Noorrahmah, Rezza Munawir, Frans Almarta
Tugas Karya Tulis Kelompok
Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota
4. PELUANG PEMANFAATAN TANAH TIMBUL
Keberadaan tanah timbul dapat dipandang sebagai bagian dari ruang kota yang sangat
bernilai. Di luar beragam persoalan yang dijumpai terkait keberadaannya saat ini, terdapat peluang
pengelolaan ruang yang tentu saja eksistensinya akan mempengaruhi kualitas kehidupan kota secara
keseluruhan. Beberapa peluang dalam pengelolaan tanah timbul antara lain berupa potensi
penguasaan lahan oleh Pemerintah Kota, potensi pemanfaatan lahan yang dapat diarahkan untuk
memenuhi kebutuhan ruang kota, serta potensi pemenuhan
pemenuhan kebutuhan lahan permukiman bagi
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang saat ini banyak dijumpai bermukim di area tanah
timbul tersebut.

4.1. Potensi Penguasaan Lahan


Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor : 6 Tahun 2011 menyatakan bahwa tanah
timbul secara alami dikuasai oleh negara di bawah pengawasan Gubernur.
Gubernur. Sementara Pengaturan
lebih lanjut mengenai tanah timbul, ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kabupaten/Kota Lahan
tanah timbul ini dapat menjadi aset
set Pemerintah Kota sekaligus menjadi cadangan
n lahan di masa
depan.

4.2. Potensi Pemanfaatan Lahan


Terdapat banyak alternatif peluang pemanfaatan lahan tanah timbul, salah satunya terkait
dengan adanya kebutuhan lahan bagi pemenuhan Ruang
Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota. Ber
Berdasarkan
data Rencana Tata Ruang Wilayah
ilayah (RTRW)
(RTRW),, luasan RTH Kota Cirebon saat ini baru tercapai sekitar 9%.
Masih terdapat kekurangan sebanyak 421,31 Ha untuk mencapai jumlah RTH publik sebesar 20%
sesuai amanat UU no. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang.

Tabel 1. Luas Ruang Terbuka Hijau Kota Cirebon


Eksisting Ha %
Jumlah RTH Publik 341,46 8,96211811
Jumlah RTH Private 563,61 14,79285472

Rencana
RTH Publik 421,31 11,05795735
Jumlah RTH Publik 762,76 20,02007546
Total RTH Kota Cirebon s/d 2031 1.326,37 34,81293018
Sumber : RTRW Kota Cirebon, 2012

Lahan tanah timbul juga dapat dioptimalkan untuk mendukung potensi wisata bahari yang
yang telah banyak dikenal, mengingat Cirebon merupakan wilayah pesisir. Selain itu, lahan ini juga
dapat dimanfaatkan untuk fasilitas
asilitas sosial maupun fasilitasi umum serta dapat mendukung
pengembangan kawasan
awasan konservasi,
konservasi khususnya ekosistem mangrove.

Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB 5


Nia Noorrahmah, Rezza Munawir, Frans Almarta
Tugas Karya Tulis Kelompok
Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota
4.3. Potensi
otensi Lahan Bagi Permukiman M
Masyarakat Berpenghasilan Rendah
endah (MBR)
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, di lahan ini telah berkembang permukiman
dengan kepadatan tinggi. Hal ini dapat dipandang sebagai potensi lahan bagi permukiman MBR yang
menjadi salah
lah satu permasalahan perumahan di Kota Cirebon. Data jumlah backlog perumahan di
Kota Cirebon tahun 2010 sebanyak 17.238 unit rumah atau sebanyak 25,06%.
Di kawasan ini telah dilaksanakan beberapa program penyediaan permukiman bagi MBR,
antara lain Permukiman Squatter yang dilaksanakan sebagai upaya penanganan permukiman illegal
yangg berkembang di kawasan pesisir,
pesisir dimulai pada tahun 2004 di pesisir Lemahwungkuk, pesisir
Panjunan dan Pegambiran. Selain itu, pada tahun 2012 juga dilaksanakan Penataan Lingkungan
Lingkun
Permukiman Kawasan Kumuh Berbasis Lingkungan di sebagian wilayah kelurahan Kesepuhan dan
Panjunan. Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah pembangunan rusunawa,
r , antara lain melalui
konsolidasi lahan dengan kompensasi hak menempati bagi “pemilik” lahan.

5. TANTANGAN
Di luar potensi-potensi
potensi yang dapat dipandang sebagai peluang berharga, berbagai kendala
yang ada tentunya dapat disikapi sebagai sebuah konsekwensi yang dapat diselesaikan dengan jalan
keluar tepat. Beragam tantangan yang dijumpai dalam pengelolaan ruang tanah timbul dapat
dikelompokkan dalam aspek legal, lingkungan, tata ruang dan sosial ekonomi sebagai berikut.

5.1. Aspek Legal


Sejak munculnya tanah timbul di Kota Cirebon, banyak pihak yang melihat hal tersebut
sebagai suatu peluang untuk mendapatkan
mendapatkan lahan yang kadang menimbulkan konflik dan
permasalahan, namun konflik tersebut masih dapat diselesaikan oleh penduduk dan otoritas
otori
setempat.
Menurut beberapa peraturan perundang-undangan
perundang undangan yang berlaku, tanah timbul merupakan
tanah yang langsung dikuasai
kuasai negara, namun karena kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi
serta menyikapi keberadaan tanah timbul ini tidak jelas dan tidak tegas, maka tanah timbul tersebut
dikuasai oleh masyarakat setempat (Ramadhan, 2006). Legalisasi lahan secara formal dil
dilakukan oleh
masyarakat secara kolektif melalui program/proyek sertifikasi yang dibiayai oleh pemerintah (ibid).
Selain itu, meskipun status keberadaan permukiman masyarakat di tanah timbul tersebut masih
ilegal secara yuridis, namun berbagai bantuan pemerintah
pemerintah dikucurkan dengan tujuan untuk
mensejahterakan masyarakat tersebut (ibid).
Pengembangan lahan tanah timbul di Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon tidak
sepenuhnya terbentuk secara alami karena masyarakat setempat juga melakukan pengurugan
dengan sampah,
pah, tanah, dan bongkaran bangunan, sehingga laju pertambahan garis pantai hingga

Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB 6


Nia Noorrahmah, Rezza Munawir, Frans Almarta
Tugas Karya Tulis Kelompok
Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota
tahun 2002 diperkirakan mencapai 90 meter (Ramadhan, 2006). Selanjutnya, laju pertambahan garis
pantai melambat karena adanya larangan menimbun laut dangkal dan pemerintah te
telah
menetapkan batas garis pantai dengan membangun tembok sebagai batas garis pantai dan penahan
gelombang laut pada tahun 2002 (ibid).
Permasalahan lain yang turut membuat pemanfaatan ilegal tanah timbul semakin intensif
yaitu arus urbanisasi dari daerah sekitar seperti Brebes, Tegal, Gebang, Kuningan, dan Indramayu
Ramadhan, 2006). Intensitas pemanfaatan lahan yang tinggi ditandai dengan kepadatan bangunan
yang cukup tinggi (ibid).
Berbagai permasalahan yang telah diuraikan di atas, diduga karena dipicu pula
pula oleh belum
adanya peraturan serta penegakan hukum yang belum tegas. Hingga sampai saat ini, Pemerintah
Kota Cirebon belum mengeluarkan peraturan daerah untuk menetapkan peruntukan dan
penggunaan tanah timbul yang disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Wilayah Provinsi dan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota yang telah diamanatkan oleh Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat Nomor : 6 Tahun 2011 Tentang Pengurusan Hutan Mangrove dan
an Hutan Pantai
Pasal 30 ayat 4. Selain itu, penegakan hukum yang lemah diduga
diduga akibat masyarakat setempat
didukung oleh kekuatan legislatif terutama dalam mendulang suara pada saat pemilihan umum
daerah.

5.2. Aspek Lingkungan


Berdasarkan hasil survey primer yang dilakukan di sepanjang pesisir laut Kota Cirebon
diketahui telah terjadii kerusakan serius pada habitat mangrove di pesisir pantai Kota Cirebon,
sehingga kondisi ini berakibat menurunnya daya dukung ekosistem yang berkaitan dengan habitat
tersebut. Selain itu kawasan hutan mangrove yang diandalkan
diandalkan sebagai penyangga kualitas ai
air juga
telah mengalami kerusakan yang berat. Bahkan di banyak kawasan di sepanjang pesisir pantai Kota
Cirebon, hutan mangrove-nya
nya berada pada kondisi kerapatan yang jarang dan bahkan di beberapa
tempat telah habis. Minimnya luas hutan mangrove yang ada di pesisir pantai Kota Cirebon
menyebabkan tingginya tingkat abrasi pantai dan sedimentasi.
sedimentasi Akibat lain dari minimnya hutan
mangrove serta perusakan mangrove di pesisir pantai Kota Cirebon ini diduga juga telah
mempercepat proses intrusi air laut dan menyebabkan
menyebabkan berkurangnya biota laut dan fauna pantai
lainnya. Adapun sedimentasi terjadi pada semua sungai di Kota Cirebon mulai dari muara sampai
1000 meter dari pantai, akibat pembuangan limbah padat dan proses erosi di hulu sungai. Sumber
sampah banyak berasal dari sungai yang melintasi Kota Cirebon berasal dari daerah lain, sehingga
sampah-sampah
sampah yang berasal dari hulu sungai hanyut ke dalam sungai hingga mengotori pantai Kota
Cirebon.

Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB 7


Nia Noorrahmah, Rezza Munawir, Frans Almarta
Tugas Karya Tulis Kelompok
Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota
Morfologi perairan pantai juga dipengaruhi karakteristik wilayah pantai seperti keberadaan
aliran sungai, terutama sungai-sungai
sungai yang membawa material erosi dari bagian hulu, sehingga
dapat memberikan kontribusi terhadap kelandaian, pembentukan, lekukan teluk
teluk dan tanjung di
sepanjang pantai. Hal ini seperti terlihat pada perairan pesisir utara Provinsi Jawa Barat di wilayah
perairan Cirebon, dimana kondisi pantai umumnya landai dengan kemiringan antara 0,06 %.
Topografi wilayah pesisir yang datar dan ada beberapa
b sungai yangg bermuara di lokasi ini, maka
pada saat musim penghujan, potensi terjadinya banjir sangat besar. Di wilayah pesisir genangan
banjir kiriman disebabkan oleh kurang baiknya sistem drainase dari hulu, kondisi ini akan lebih parah
bila bersamaan dengan terjadinya pasang purnama dan bulan gelap dan penduduk sering
menyebutnya “ROB”. Wilayah yang sering terkena dampak banjir adalah di Kecamatan
Lemahwungkuk.
Selain itu, di kawasan pesisir Kota Cirebon juga masih banyak dijumpai areal tamb
tambak baik
yang masih diusahakan maupun yang sudah ditinggalkan dan sangat
sangat sedikit sekali kawasan pesisir
pantai yang luasan jalur hijaunya (g
greenbelt) masih baik dan memenuhi
nuhi ketentuan lingkungan hidup
hidup.
Perubahan kondisi lingkungan pantai akibat terjadinya aakresi
kresi yang menyebabkan munculnya
tanah timbul, yang perlu penanganan khusus untuk menghindari konflik vertikal dan hori
horizontal.
Perambahan tanah timbul oleh masyarakat dimanfaatkan menjadi permukiman kumuh. Selain itu,
pendangkalan yang cukup tinggi (akresi)
(akresi menyebabkan kesulitan pada pelayaran kapal nelayan.

5.3. Aspek Tata Ruang


Keberadaan tanah timbul di wilayah pesisir yang belum memiliki ketetapan status dan
kebijakan yang jelas dan tegas dari Pemerintah Kota telah memberikan dorongan bagi masyarakat
untuk memanfaatkannya dalam memenuhi kebutuhan lahan terutama untuk hunian. Hingga saat ini,
kegiatan pengembangan lahan secara informal terus berlangsung. Okupasi lahan yang dilakukan
oleh masyarakat umumnya dimanfaatkan untuk mendirikan bangunan rumah tinggal sederhana.
Bangunan-bangunan
bangunan rumah yang didirikan di area tanah timbul yang dibangun dengan
konstruksi sederhana telah berkembang menjadi kawasan permukiman kumuh yang ditandai antara
lain oleh banyaknya rumah tidak layak huni dan sanitasi lingkungan permukiman
permukiman yang buruk. Hal ini
menjadi persoalan tersendiri bagi pengelolaan ruang kota mengingat persoalan penataan
permukiman kumuh bukanlah hal yang sederhana dalam penyelesaiannya.
Pemanfaatan lahan tanah timbul oleh masyarakat juga memperlihatkan adanya pelanggaran
pemanfaatan ruang di tengah upaya pengendalian pemanfaatan ruang yang tengah dilakukan oleh
Pemerintah Kota. Banyaknya bangunan rumah yang berdiri tanpa IMB serta lokasi permukiman di
sempadan pantai tentu saja menjadi ironi tersendiri bagi berbagai bentuk kegiatan pengendalian

Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB 8


Nia Noorrahmah, Rezza Munawir, Frans Almarta
Tugas Karya Tulis Kelompok
Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota
pemanfaatan ruang yang berupaya menegakkan PePerda nomor 4 tahun 2010 tentang IIjin Mendirikan
Bangunan serta Peraturan Walikota nomor 46 tahun 2012 tentang Perizinan Pemanfaatan Ruang.
Di luar hal tersebut, terdapat persoalan batas sempadan pantai sebagai konsekwensi
munculnya tanah timbul. Sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang
Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Perubahan atas Undang-undang
undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wil
Wilayah Pesisir
dan pulau-Pulau Kecil, bahwa batasan sempadan pantai adalah “daratan sepanjang tepian yang
lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 m dari titik pasang
tertinggi”.. Sedimentasi yang menerus di area pesisir menyebabkan
menyebabkan adanya pergeseran batas
sempadan pantai yang terus berubah. Hal ini merupakan suatu persoalan yang harus segera
diselesaikan dan diantisipasi oleh Pemerintah Kota.
Tantangan besar lainnya yang terkait dengan aspek tata ruang perkotaan adalah persoa
persoalan
pengelolaan wilayah pesisir. Hingga saat ini Pemerintah kota telah memiliki beberapa
beberapa dokumen
perencanaan ruang yang di dalamnya turut mengatur pemanfaatan ruang di wilayah pesisir
pesisir, antara
lain Strategi Dan Program Pembangunan Permukiman dan Infrastruktur
Infrastrukt Perkotaan (2011), Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2012-2032,
2032, Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan
Permukiman Daerah Kota Cirebon (2012), serta Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau
Pulau-Pulau
Kecil (RSWP3-K)
K) Kota Cirebon Tahun 2012-2032.
2012
Di dalam berbagai dokumen perencanaan yang telah ada tersebut, terlihat adanya
kelemahan dalam sinkronisasi berbagai rencana berbeda yang berada pada ruang yang sama
sama, antara
lain diduga karena waktu penyusunan rencana yang bersamaan sehingga tidak saling mengacu satu
sama lain.. Hal ini merupakan suatu persoalan klasik yang mendesak untuk segera diselesaikan oleh
Pemerintah Kota Cirebon.

5.4. Aspek Sosial Ekonomi


Persoalan menyangkut aspek sosial ekonomi merupakan hal yang tidak dapat dilepaskan
dalam hampir semua
emua permasalahan perkotaan. Begitu juga persoalan yang mewarnai keberadaan
tanah timbul tentu tidak terlepas dari aspek sosial ekonomi, terutama terkait konsekwensi dari
adanya suplai lahan serta tingginya jumlah populasi yang bermukim di area tersebut.
Suplai
uplai lahan daratan yang muncul karena sedimentasi ini memunculkan konflik
konflik perebutan
tanah timbul di antara masyarakat.
masyarakat. Meski tidak muncul sebagai konflik terbuka yang langsung
dirasakan di permukaan, namun dalam kenyataannya konflik tersebut seringkali muncul
muncul akibat saling
klaim lahan maupun pergeseran batas patok pada perairan dangkal yang diharapkan akan menjadi
tanah timbul nantinya. Hal lain yang turut mewarnai konflik ini adalah adanya kegiatan jual beli
lahan tanah timbul yang dilakukan oleh mas
masyarakat
at yang bermukim di sana. Juga ditemui adanya
kegiatan sewa kamar kos dan sewa rumah sebagai bentuk investasi pihak-pihak
pihak pihak tertentu.

Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB 9


Nia Noorrahmah, Rezza Munawir, Frans Almarta
Tugas Karya Tulis Kelompok
Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota
Adanya daya tarik suplai lahan ditengarai turut menjadi salah satu alasan yang menjadikan
kawasan permukiman di pesisir sebagai
seba titik tujuan kaum pendatang di Kota Cirebon. Kehadiran
sejumlah pendatang yang umumnya tidak memiliki keahlian khusus sebagai bekal mencari pekerjaan
menjadikan permukiman makin padat oleh penduduk yang memiliki tingkat pendapatan rendah
sehingga sangatt berpotensi memperburuk kualitas sosial masyarakat.
masyarakat. Adakalanya hal ini memicu
munculnya stigma “kaum pesisir” yang dikhawatirkan akan berkembang menjadi bentuk persoalan
segregasi sosial yang dapat berdampak buruk bagi kualitas kehidupan perkotaan.
Persoalan
lan lainnya muncul sebagai dampak lingkungan atas adanya tanah endapan di pesisir
pantai. Pergeseran batas daratan dan perairan laut turut mempengaruhi populasi ikan tangkap yang
ada. Populasi ikan tangkapan secara alamiah akan berpindah ke titik lain yang sesuai dengan
habitatnya sehingga nelayan harus mencari titik tangkap ikan yang baru. Menurunnya jumlah
populasi ikan di tempat yang biasa dijumpai oleh nelayan turut menjadi salah satu penyebab
menurunnya jumlah nelayan sehingga menurunkan hasil tangkapan ikan dan menyebabkan Tempat
Pendaratan Ikan (TPI) menjadi sepi.
sepi. Pada akhirnya, penduduk setempat akan berupaya mencari
sumber penghasilan lain di daratan yang berarti meningkatnya tingkat kompetisi dalam mencari
pekerjaan ataupun sumber penghasilan lain.

6. STRATEGI
Dalam upaya optimalisasi peluang pemanfaatan tanah timbul, tentu saja dibutuhkan strategi
yang tepat untuk menyiasati dan mengatasi be
berbagai
rbagai tantangan yang dihadapi secara efektif. Untuk
menyikapi berbagai tantangan yang ada, dapat ditempuh strategi berupa upaya
paya memastikan
legalitas lahan, rehabilitasi
ehabilitasi kawasan pesisir pantai,
pantai pendekatan
endekatan pemanfaatan ruang berbasis daya
dukung lahan, serta pendekatan sosial ekonomi.

6.1. Upaya Memastikan Legalitas Lahan


Sesuai dengan pasal 33 UUD 1945, negara menguasai bumi atau tanah dan
menggunakannya untuk kemakmuran rakyat. Ketentuan pasal ini diterjemahkan lebih lanjut dalam
Undang-Undang
Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 pasal 2 ayat (1), yang makna penguasaan
itu ditentukan dalam ayat (2), sebagai berikut:
be
a. Kewajiban negara untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
orang dengan bumi,
air, dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
orang dan perbuatan
perbuatan-
perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB 10


Nia Noorrahmah, Rezza Munawir, Frans Almarta
Tugas Karya Tulis Kelompok
Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota
Kemudian, implementasinya ditegaskan oleh ayat (3), yang menentukan bahwa: “wewenang
yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk
mendapat sebesar-besar
besar kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan
makmur”.
Mengenai pelaksanaan
laksanaan dari hak menguasai oleh negara atas tanah, ditegaskan oleh ayat (4)
yang menentukan bahwa: “Hak menguasai dari negara tersebut di atas, pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah
daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat
masyarakat masyarakat hukum adat, sekedar
diperlukan
iperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan dan peraturan
pemerintah”.
Selain diatur dalam UUPA, tanah timbul juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16
Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Lahan disebutkan bahwa: “Tanah yang berasal dari tanah timbul
atau hasil reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai
langsung oleh Negara”.
Pengaturan mengenai tanah timbul juga telah diatur oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat
dalam Peraturan
an Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam pasal 16, antara lain:
a. Ayat (1): “Tanah
Tanah timbul pada wilayah pesisir harus dimanfaatkan dan dikelola untuk
mendukung pulihnya ekosistem pesisir.
pesisir.”
b. Ayat (2): “Pemanfaataan
Pemanfaataan dan pengelolaan tanah timbul sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.”
perundang

Penjelasan mengenai pasal 16 tersebut dalam ayat (1) yaitu:


yaitu “Yang
Yang dimaksud dengan “tanah
timbul” adalah daratan
atan yang terbentuk secara alami maupun buatan karena proses pengendapan di
sungai, danau, dan pantai, yang penguasaan tanahnya
t dikuasai negara” dan ayat (2): ““Pemanfaataan
dan pengelolaan tanah timbul diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomo
Nomor 6 Tahun
2011 tentang Pengelolaan Hutan Mangrove dan Hutan Pantai.”
Pengaturan tanah timbul oleh Pemerintah Provinsi diatur pula dalam Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat Nomor : 6 Tahun 2011 Tentang Pengurusan Hutan Mangrove dan
an Hutan Pantai,
Pantai
Bab IX Pasal 30 dan Pasal 34 sebagai berikut:
a. Pasal 30
(1) Tanah timbul merupakan kawasan lindung yang berfungsi sebagai kawasan perlindungan
setempat.
(2) Tanah yang timbul secara alami meliputi delta, tanah pantai, pulau timbul dan tanah
timbul secara alami lainnya dikuasai oleh negara di bawah pengawasan Gubernur.

Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB 11


Nia Noorrahmah, Rezza Munawir, Frans Almarta
Tugas Karya Tulis Kelompok
Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota
(4) Bupati/Walikota menetapkan peruntukan dan penggunaan tanah timbul sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
Kabu
b. Pasal 34
Pengaturan lebih lanjut mengenai tanah timbul, ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.

Berdasarkan uraian tentang pengaturan terkait tanah timbul di atas dan guna
mengantisipasi okupasi lahan oleh masyarakat secara terus-menerus,
terus erus, maka Pemerintah Kota
Cirebon harus melakukan upaya dengan menetapkan peruntukan dan penggunaan tanah timbul
yang disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota (Pasal 30 ayat 4) serta menyusun Peraturan
Peraturan Daerah Kota Cirebon (Pasal 34) tentang
pengaturan lebih lanjut mengenai tanah timbul.
Sedangkan pengaturan mengenai peruntukan dan penggunaan tanah timbul Kota Cirebon
akan mengacu pada pasal 31 sampai dengan pasal 33 sebagai berikut:
a. Pasal 31
(1) Untuk ketertiban penguasaan tanah timbul oleh pihak tertentu dan untuk menjaga tidak
terjadinya kerusakan pantai, di dalam menetapkan peruntukan dan penggunaan tanah
timbul, ditetapkan jalur lahan konservasi pantai (greenbelt)
( antara 100-400
400 meter dihi
dihitung
dari titik surut terendah sesuai dengan kondisi dan karakteristik pantai.
(2) Penetapan jalur lahan konservasi pantai (greenbelt) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan secara rinci berdasarkan hasil penelitian lapangan oleh Pemerintah Daerah
berkoordinasi
erkoordinasi dengan Instansi terkait, sesuai dengan kondisi dan karakteristik pantai yang
bersangkutan.
b. Pasal 32
Penggunaan tanah timbul di luar jalur konservasi pantai (greenbelt),
( ), ditetapkan berdasarkan
urutan prioritas kegiatan sebagai berikut :
a) kehutanan;
b) perikanan;
c) pertanian;
d) peternakan; dan
e) pariwisata.
c. Pasal 33
(1) Tanah timbul yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan, diprioritaskan menjadi
kawasan hutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
perundang

Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB 12


Nia Noorrahmah, Rezza Munawir, Frans Almarta
Tugas Karya Tulis Kelompok
Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota
(2) Tanah timbul yang berbatasan langsung de
dengan
ngan tanah di luar kawasan hutan, dikuasai
oleh negara di bawah pengawasan Gubernur.

Selain itu, pada Bab XIX Pasal 46 ayat 5 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 6
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Hutan Mangrove dan Hutan Pantai melarang mengubah dan/atau
mengurangi fungsi utamanya; mengubah bentang alam tanah timbul; menerbitkan surat izin
menggarap; dan menggarap tanah timbul tanpa izin.
Sengketa terkait penguasaan atau pemanfaatan tanah timbul sejatinya sudah terjadi sejak
beberapa tahun yang lalu. Oleh karena itu, pada tahun 1996, untuk menertibkan status tanah
tanah-tanah
timbul, Kepala Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Surat Edaran No. 401-1293.
1293. Poin yang
terkait tanah timbul adalah poin 3 dan 4,
4 sebagai berikut :
a. Poin 3: “Tanah-tanah
tanah timbul secara alami seperti delta, tanah pantai, tepi danau/situ,
endapan tepi sungai, pulau timbul dan tanah timbul secara alami lainnya dinyatakan sebagai
tanah yang langsung dikuasai oleh negara.
negara. Selanjutnya penguasaan/pemilikan serta
penggunaannya diatur oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku”.
b. Poin 4: “Sehubungan dengan hal
hal-hal tersebut
ut di atas maka para Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Propinsi agar segera melakukan inventarisasi tanah
tanah-tanah timbul
dan tanah hilang yang terjadi secara alami. Untuk tanah yang hilang apabila sudah ada
sertipikatnya agar disesuaikan. Untuk tanah yang akan direklamasi sebelumnya harus diberi
tanda-tanda
tanda batasnya sehingga bisa diketahui luas tanah yang nantinya selesai direklamasi”.

Berdasarkan uraian mengenai pengaturan terkait tanah timbul tersebut, Pemerintah Kota
Cirebon bekerja sama dengan
an Badan Pertanahan Nasional harus segera melakukan upaya
inventarisasi tanah timbul yang terjadi secara alami yang termasuk ke dalam wilayah Kota Cirebon.

6.2. Rehabilitasi Kawasan Pesisir Pantai


Tanah timbul mempunyai potensi yang cukup strategis untuk mengatasi
mengatasi beberapa masalah
yang dihadapi Kota Cirebon jika dikelola dengan baik, karena ekosistem wilayah pantai menyediakan
manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung bagi manusia untuk memenuhi kesejahteraan
mereka (Supriharyono, 2002). Lebih lanjut menurut
menurut Manning dan Sweet (1993) dalam
(Supriharyono, 2002)) menyebutkan manfaat ekosistem di wilayah pesisir dapat dikategorikan ke
dalam tiga kategori, yaitu: manfaat yang menyokong kehidupan, manfaat terhadap sosiobudaya, dan
manfaat terhadap produksi.
Idealnya,
alnya, pemerintah Kota Cirebon sejak awal telah melakukan antisipasi dengan
manajemen kawasan pesisir pantai di wilayahnya. French (1997) menyatakan tujuan dilakukannya

Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB 13


Nia Noorrahmah, Rezza Munawir, Frans Almarta
Tugas Karya Tulis Kelompok
Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota
manajemen kawasan pesisir, antara lain perlindungan terhadap badai, pertahanan terhadap erosi
garis pantai, perlindungan terhadap polusi dari daratan, konservasi habitat dan keanekaragaman
flora dan fauna, perlindungan akses ke daratan, perlindungan dari pembangunan di kawasan pantai,
dan mitigasi terhadap kenaikan muka air laut.
Clark (1996)) menyatakan bahwa polusi, konversi habitat, dan gangguan pada sirkulasi air, di
antara pengaruh lainnya, telah secara signifikan mengurangi keuntungan lingkungan dan ekonomi
dari system sumber daya dan lingkungan pesisir. Sehingga, habitat kritis yang sudah
sudah rusak harus
direhabilitasi ke level tertinggi yang paling memungkinkan dari produktivitas dan biodiversitas,
meskipun semua sumber daya pesisir yang telah hilang tidak dapat, secara praktis, dikembalikan
kepada produktivitasnya, namun masih banyak sumber
sumber daya lainnya yang bisa, antara lain tanah
rawa ditanami kembali, tambak-tambak
tambak dibongkar, air bersih dan air pasang ke hutan mangrove bisa
diperbaiki, dan terumbu karang diperbarui (ibid). Oleh karena itu, dibutuhkan langkah konkret
Pemerintah Kota Cirebon
on untuk segera merehabilitasi kawasan pesisir pantai yang telah rusak.
Langkah-langkah
langkah yang bisa dilakukan Pemerintah Kota Cirebon dalam merehabilitasi
kawasan pantai di sekitar tanah timbul, antara lain pengangkutan/pembersihan sampah, penanaman
kembali
bali hutan mangrove, dan menetapkan tanah timbul sebagai kawasan lindung. Selain itu,
diperlukan usaha lain yaitu pendidikan terhadap seluruh lapisan masyarakat untuk melawan laju
pengrusakan lingkungan. Rendahnya kesadaran tentang pentingnya menjaga keseimbangan
keseimbangan ekologi
telah membawa mereka melakukan pengrusakan yang masif. Pembuat kebijakan, pengembang
perumahan, dan masyarakat umum secara umum tidak memahami pentingnya melindungi semua
sumber daya lingkungan tersebut (Clark, 1997). Bahkan, menurut Beatley
Beatley et al (2002), dengan
masyarakat pesisir yang berkelanjutan, masyarakat yang termasuk seluruh perangkat pemerintah
daerah (kota hingga desa) yang menginginkan untuk meminimalisasi dampak kerusakan terhadap
sistem alami dan lingkungan alami, menciptakan ttempat
empat tinggal yang sangat nyaman, dan
membangun masyarakat yang bertujuan sosial dan saling membutuhkan.

6.3. Pendekatan Pemanfaatan Ruang Berbasis Daya Dukung dan Daya Tampung
Perkembangan pemanfaatan ruang yang terjadi di area tanah timbul tentu saja akan turut
mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan Kota Cirebon secara keseluruhan. Pengaruh
internal ini dapat bersifat membangun atau mendukung perkembangan dan pertumbuhan ruang
perkotaan ataupun sebaliknya. Oleh karenanya, pemanfaatan lahan tanah timbul semestinya
s
dilakukan dengan memperhatikan konteks pemanfaatan ruang perkotaan. Dalam hal ini, pendekatan
pemanfaatan berbasis daya dukung dan daya tampung ruang dapat menjadi kendali untuk
memastikan pengaruh positif yang dapat diberikan oleh kawasan pesisir
pesisir dalam mendukung
perkembangan dan pertumbuhan ruang perkotaan.
perkotaan

Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB 14


Nia Noorrahmah, Rezza Munawir, Frans Almarta
Tugas Karya Tulis Kelompok
Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota
Beberapa rencana yang telah dibuat telah mengatur pemanfaatan ruang di wilayah pesisir
dan memasukkan areaa tanah timbul dalam perencanaan spasialnya. Hal ini merupakan satu hal
positif, namun masih terdapat pekerjaan rumah untuk memastikan sinkronisasi dokumen
dokumen-dokumen
perencanaan yang telah dibuat sehingga dapat diimplementasikan secara efektif. Arahan yang jelas
dan padu dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan tanah timbul akan menjadi kunci keberhasilan
k
implementasi rencana-rencana
rencana yang telah dibuat. Di dalam arahan ini, daya dukung dan daya
tampung ruang menjadi isu penting dalam upaya sinkronisasi rencana arahan pemanfaatan lahan
tanah timbul.
Di luar dokumen rencana yang telah ada, dibutuhkan peraturan daerah atau peraturan
Walikota yang mengatur pengelolaan tanah timbul sebagai dasar pemanfaatan, pengawasan dan
pengendalian ruang yang terkait tanah timbul.
timbul Selain itu, secara teknis terdapat beberapa
berapa hal yang
mendesak untuk segera dilakukan, yakni dokumentasi data spasial terhadap
erhadap penambahan tanah
timbul, antisipasi
ntisipasi pergeseran batas sempadan pantai akibat bertambahnya tanah timbul
timbul, serta perlu
dibangunnya batasan fisik pada tanah timbul yang belum
bel diokupasi warga,, baik berupa jalur jalan
maupun green belt.

6.4. Fasilitasi dan Stimulasi Partisipasi Masyarakat


Pemenuhan kebutuhan hunian merupakan salah satu persoalan besar yang menjadi benang
merah beragam persoalan yang ada di permukiman kumuh yang berkembang di atas tanah timbul
kawasan pesisir Kota Cirebon. Karenanya, upaya menyelesaikan berbagai permas
permasalahan sosial
ekonomi yang terkait tanah timbul tidak dapat dilepaskan dari pemenuhan kebutuhan rumah tinggal
dari sekian banyak jiwa yang bermukim di sana.
Di tengah keterbatasan luas lahan wilayah Kota Cirebon, upaya penataan lingkungan
permukiman yang menyeluruh
uruh menjadi hal mendesak yang semestinya segera direalisasikan secara
sinergis. Melalui Instruksi Presiden 05 tahun 1990 tentang Peremajaan Permukiman Kumuh yang
Berada di atas Tanah Negara, Pemerintah memfasilitasi permukiman kembali masyarakat yang
tinggal di permukiman kumuh di atas tanah negara. Ada banyak alternatif yang dapat ditempuh
dengan memperhatikan kemampuan ekonomi masyarakat, antara lain fasilitasi penyediaan rumah
sewa ataupun rusunawa.
Beberapa upaya penataan lingkungan yang telah dilakukan
dilakuka selamaa ini dapat dipandang
sebagai upaya parsial yang kurang efektif. Hal ini ditengarai karena belum adanya satu rencana
menyeluruh dalam upaya menyelesaikan persoalan permukiman kumuh di Kota Cirebon. Dalam
implementasinya kelak, fasilitasi dan stimulasi
stimulasi partisipasi masyarakat menjadi hal penting bagi
keberhasilan pelaksanaan program. Sudah semestinya masyarakat difasilitasi dan distimulasi untuk
secara bersama memperbaikii kehidupan dan penghidupannya. Sebagaimana telah banyak diadopsi,

Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB 15


Nia Noorrahmah, Rezza Munawir, Frans Almarta
Tugas Karya Tulis Kelompok
Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota
konsep tribina, pemberdayaan dan keberpihakan
keberpihakan, yang disertai penguatan kapasitas kelembagaan
masyarakat menjadi isu penting yang dapat diadaptasi oleh pemerintah kota.

7. KESIMPULAN
 Tanah timbul pantai merupakan fenomena alam yang terjadi akibat sedimentasi yang
berlangsung secara terus-menerus
menerus di suatu pesisir pantai;
 Fenomena tanah timbul telah terjadi di kawasan pesisir pantai Kota Cirebon selama puluhan
tahun ;
 Berdasarkan peraturan perundang-undangan
perundang undangan yang berlaku, tanah timbul merupakan milik
negara dan ditetapkan sebagai
sebagai kawasan lindung yang berfungsi sebagai kawasan
perlindungan setempat;
 Tanah timbul di pesisir pantai Kota Cirebon merupakan potensi lahan yang dapat
dimanfaatkan oleh pemerintah untuk kawasan lindung sesuai peraturan perundang
perundang-
undangan yang berlaku;
 Namun,
un, beragam tantangan dihadapi Pemerintah Kota Cirebon dalam menerapkan
kebijakan pengelolaan tanah timbul yang menyangkut aspek legal, aspek lingkungan, aspek
tata ruang, dan aspek sosial ekonomi;
 Permasalahan utama yang dihadapi, antara lain okupasi lahan
lahan secara masif oleh masyarakat
yang telah berlangsung lama, pengurugan tanah timbul yang belum matang dengan sampah
untuk mempercepat pembangunan permukiman warga setempat, pendirian bangunan yang
secara prinsip melanggar peraturan perundang-undangan
perundang yang berlaku namun sebagiannya
telah mendapat sertifikat tanah, dan permukiman kumuh;
 Upaya optimalisasi pengelolaan tanah timbul membutuhkan sinkronisasi berbagai
perencanaan spasial dan non spasial yang terkait kawasan pesisir;
 Terkait aspek legal, Pemerintah Kota Cirebon dapat melakukan upaya inventarisasi tanah
timbul, penyusunan dan penetapan peraturan peruntukan dan penggunaan tanah timbul
yang disesuaikan dengan RTRW Provinsi dan RTRW Kota, serta menyusun perda tentang
pengaturan lebih lanjut mengenai tanah
tan timbul;
 Terkait aspek lingkungan, Pemerintah Kota Cirebon dapat melakukan upaya rehabilitasi
kawasan pantai di sekitar tanah timbul dengan pengelolaan sampah, penanaman kembali
hutan mangrove, serta pendidikan terpadu kepada seluruh lapisan masyarakat ttermasuk
perangkat pemerintah desa untuk melawan laju pengrusakan lingkungan;

Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB 16


Nia Noorrahmah, Rezza Munawir, Frans Almarta
Tugas Karya Tulis Kelompok
Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota
 Terkait aspek spasial, Pemerintah Kota Cirebon dapat melakukan upaya mengintegrasikan
rencana pemanfaatan tanah timbul dengan rencana spasial lainnya yang sudah berlaku,
antara lain RTRW, RDTR,, SPPIP, dan RP4D;
Terkait aspek sosial ekonomi, Pemerintah Kota Cirebon dapat melakukan upaya penyediaan
rumah sewa ataupun konsolidasi lahan untuk pembangunan rumah susun sewa bagi masyarakat
berpenghasilan rendah setempat.

Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB 17


Nia Noorrahmah, Rezza Munawir, Frans Almarta
Tugas Karya Tulis Kelompok
Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota

REFERENSI
• Ramadhan, Muhammad. 2006. Proses Pengembangan Lahan Secara Informal di Tanah-
Tanah
Timbul Kecamatan Lemahwungkuk Cirebon. Tesis. Prodi MPWK ITB.
• Timothy Beatley, David J. Brower, Anna K. Schwab. 2002. An Introduction To Coastal Zone
Management. Ed. 2. Island Press.
Pre Washington DC, USA
• French, Peter W. 1997. Coastal and Estuarine Management. Routledge. New York, USA
• Clark, John R. 1996. Coastal Zone Management Handbook. CRC Press. Florida, USA
• Supriharyono. 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wila
Wilayah Pesisir
Tropis. Ed 2. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
• Instruksi Presiden 05 tahun 1990 tentang Peremajaan Permukiman Kumuh yang Berada di
atas Tanah Negara
• Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Hutan
Mangrove dan Hutan Pantai
• Strategi Dan Program Pembangunan Permukiman dan Infrastruktur Perkotaan (2011)
• Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2012-2032
2012
• Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Daerah Kota
Cirebon (2012)
• Rencana
encana Strategis Wilayah Pesisir
Pes dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP3-K)
K) Kota Cirebon Tahun
2012-2032
• Cirebon dalam Angka, 2013

Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB 18


Nia Noorrahmah, Rezza Munawir, Frans Almarta
Tugas Karya Tulis Kelompok
Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota
DAFTAR ISI

1. PENDAHULUAN ...............................................................................................................................
................................ ...............................1
2. KEBERADAAN TANAH TIMBUL DI PESISIR KOTA CIREBON..............................................................
CIREBON .............................. 2
3. PENGEMBANGAN LAHAN DI AREA TANAH TIMBUL ................................................................
....................................... 3
4. PELUANG PEMANFAATAN TANAH TIMBUL ................................................................
.................................................... 5
4.1. Potensi Penguasaan Lahan ................................................................................................
..................................... 5
4.2. Potensi Pemanfaatan Lahan ................................................................................................
................................... 5
4.3. Potensi Lahan Bagi Permukiman Masyarakat
M Berpenghasilan Rendah (MBR).......................
....................... 6
5. TANTANGAN ................................................................................................................................
................................ ................................... 6
5.1. Aspek Legal .............................................................................................................................
................................ ............................. 6
5.2. Aspek Lingkungan ................................................................................................
................................ ................................................... 7
5.3. Aspek Tata Ruang................................
................................................................................................
.................................................... 8
5.4. Aspek Sosial Ekonomi................................
................................................................................................
.............................................. 9
6. STRATEGI................................................................
................................................................................................
.......................................10
6.1. Upaya Memastikan Legalitas Lahan......................................................................................
Lahan ......................10
6.2. Rehabilitasi Kawasan Pesisir Pantai ......................................................................................
......................13
6.3. Pendekatan Pemanfaatan Ruang Berbasis Daya Dukung dan Daya Tampung.....................
Tampung .....................14
6.4. Fasilitasi dan Stimulasi Partisipasi Masyarakat................................................................
Masyarakat .....................................15
7. KESIMPULAN ................................................................................................................................
................................ ................................. 16
REFERENSI ................................................................
................................................................................................
............................................. 18
DAFTAR ISI................................................................
................................................................................................
............................................. 19

Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB 19

Anda mungkin juga menyukai