1. PENDAHULUAN
Kota Cirebon merupakan kota yang memiliki luas wilayah yang relatif kecil dengan luas
3.810 ha dengan jumlah penduduk 301.720 jiwa (Cirebon Dalam Angka, 2013). Kota ini merupakan
salah satu Pusat Kegiatan
n Nasional (PKN) dan menjadi pusat pertumbuhan bagi kota
kota-kota lain di
sekitarnya
ya yang dikenal sebagai wilayah pertumbuhan Ciayumajakuning, meliputi Kabupaten
Cirebon, Kota Cirebon,
ebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, dan Kabupaten Kuningan.
Dengan perannya yang strategis, tak heran jika pusat Kota Cirebon memiliki intensitas aktivitas yang
cukup tinggi. Hal ini antara lain terlihat dari jumlah “penduduk siang” yang diperkirakan
diperkirakan lebih dari
1.000.000 jiwa yang merupakan penduduk dari kota sekitar yang bertujuan mengakses berbagai
fasilitas perdagangan, pendidikan, jasa kesehatan,
kesehatan, maupun bekerja. Adanya “penduduk siang”
tersebut menjadikan pusat kota menjadi sangat padat sementara
sementara luas wilayah pengembangan
kegiatan perkotaan yang ada sangat terbatas.
Berkaitan dengan kenyataan di atas, adanya isu
i penambahan luas lahan bagi kota yang
relatif kecil dengan beban aktivitas tinggi menjadi suatu hal yang menarik. Isu penambahan lahan ini
dipicu oleh adanya potensi tanah timbul di pesisir Kota Cirebon. Keberadaan daratan tanah timbul
dapat dilihat sebagai peluang untuk menambah luasan wilayah pembangunan kota. Secara normatif,
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun
T 2004 Tentang Penatagunaan
agunaan Lahan disebutkan
bahwa lahan tersebut semestinya
stinya dikuasai langsung Negara sehingga dapat dikelola dan
dimanfaatkan
manfaatkan oleh Pemerintah Kota sebagai aset lahan milik Pemerintah Kota dan dapat menjadi
cadangan lahan di masa depan.
Kenyataannya
enyataannya telah terjadi pengembangan lahan informal yang dilakukan oleh masyarakat.
Saat ini, di lokasi lahan tanah timbul tersebut telah berdiri permukiman padat penduduk dengan
banyak aktivitas, sehingga persoalan penguasaan lahan oleh pemerintah tak lagi sederhana. Di luar
hal tersebut, terdapat tantangan-tantangan
tantangan lain yang harus diselesaikan.
Berangkat
angkat dari kenyataan di atas, makalah ini berusaha mengangkat peluang dan tantangan
yang dihadapi oleh Pemerintah Kota Cirebon dalam pengelolaan pemanfaatan
pemanfaatan lahan tanah timbul
yang ada. Tulisan ini berusaha menemukan jawaban atas beberapa tujuan penulisan berikut ini.
1. Menggali/membaca peluang pemanfaatan lahan tanah timbul yang ada di Kota Cirebon
Cirebon.
2. Memetakan tantangan yang dihadapi dalam upaya pemanfaatan dan pengelolaan tanah
timbul oleh Pemerintah Kota Cirebon.
Cirebon
Rencana
RTH Publik 421,31 11,05795735
Jumlah RTH Publik 762,76 20,02007546
Total RTH Kota Cirebon s/d 2031 1.326,37 34,81293018
Sumber : RTRW Kota Cirebon, 2012
Lahan tanah timbul juga dapat dioptimalkan untuk mendukung potensi wisata bahari yang
yang telah banyak dikenal, mengingat Cirebon merupakan wilayah pesisir. Selain itu, lahan ini juga
dapat dimanfaatkan untuk fasilitas
asilitas sosial maupun fasilitasi umum serta dapat mendukung
pengembangan kawasan
awasan konservasi,
konservasi khususnya ekosistem mangrove.
5. TANTANGAN
Di luar potensi-potensi
potensi yang dapat dipandang sebagai peluang berharga, berbagai kendala
yang ada tentunya dapat disikapi sebagai sebuah konsekwensi yang dapat diselesaikan dengan jalan
keluar tepat. Beragam tantangan yang dijumpai dalam pengelolaan ruang tanah timbul dapat
dikelompokkan dalam aspek legal, lingkungan, tata ruang dan sosial ekonomi sebagai berikut.
6. STRATEGI
Dalam upaya optimalisasi peluang pemanfaatan tanah timbul, tentu saja dibutuhkan strategi
yang tepat untuk menyiasati dan mengatasi be
berbagai
rbagai tantangan yang dihadapi secara efektif. Untuk
menyikapi berbagai tantangan yang ada, dapat ditempuh strategi berupa upaya
paya memastikan
legalitas lahan, rehabilitasi
ehabilitasi kawasan pesisir pantai,
pantai pendekatan
endekatan pemanfaatan ruang berbasis daya
dukung lahan, serta pendekatan sosial ekonomi.
Berdasarkan uraian tentang pengaturan terkait tanah timbul di atas dan guna
mengantisipasi okupasi lahan oleh masyarakat secara terus-menerus,
terus erus, maka Pemerintah Kota
Cirebon harus melakukan upaya dengan menetapkan peruntukan dan penggunaan tanah timbul
yang disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota (Pasal 30 ayat 4) serta menyusun Peraturan
Peraturan Daerah Kota Cirebon (Pasal 34) tentang
pengaturan lebih lanjut mengenai tanah timbul.
Sedangkan pengaturan mengenai peruntukan dan penggunaan tanah timbul Kota Cirebon
akan mengacu pada pasal 31 sampai dengan pasal 33 sebagai berikut:
a. Pasal 31
(1) Untuk ketertiban penguasaan tanah timbul oleh pihak tertentu dan untuk menjaga tidak
terjadinya kerusakan pantai, di dalam menetapkan peruntukan dan penggunaan tanah
timbul, ditetapkan jalur lahan konservasi pantai (greenbelt)
( antara 100-400
400 meter dihi
dihitung
dari titik surut terendah sesuai dengan kondisi dan karakteristik pantai.
(2) Penetapan jalur lahan konservasi pantai (greenbelt) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan secara rinci berdasarkan hasil penelitian lapangan oleh Pemerintah Daerah
berkoordinasi
erkoordinasi dengan Instansi terkait, sesuai dengan kondisi dan karakteristik pantai yang
bersangkutan.
b. Pasal 32
Penggunaan tanah timbul di luar jalur konservasi pantai (greenbelt),
( ), ditetapkan berdasarkan
urutan prioritas kegiatan sebagai berikut :
a) kehutanan;
b) perikanan;
c) pertanian;
d) peternakan; dan
e) pariwisata.
c. Pasal 33
(1) Tanah timbul yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan, diprioritaskan menjadi
kawasan hutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
perundang
Selain itu, pada Bab XIX Pasal 46 ayat 5 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 6
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Hutan Mangrove dan Hutan Pantai melarang mengubah dan/atau
mengurangi fungsi utamanya; mengubah bentang alam tanah timbul; menerbitkan surat izin
menggarap; dan menggarap tanah timbul tanpa izin.
Sengketa terkait penguasaan atau pemanfaatan tanah timbul sejatinya sudah terjadi sejak
beberapa tahun yang lalu. Oleh karena itu, pada tahun 1996, untuk menertibkan status tanah
tanah-tanah
timbul, Kepala Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Surat Edaran No. 401-1293.
1293. Poin yang
terkait tanah timbul adalah poin 3 dan 4,
4 sebagai berikut :
a. Poin 3: “Tanah-tanah
tanah timbul secara alami seperti delta, tanah pantai, tepi danau/situ,
endapan tepi sungai, pulau timbul dan tanah timbul secara alami lainnya dinyatakan sebagai
tanah yang langsung dikuasai oleh negara.
negara. Selanjutnya penguasaan/pemilikan serta
penggunaannya diatur oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku”.
b. Poin 4: “Sehubungan dengan hal
hal-hal tersebut
ut di atas maka para Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Propinsi agar segera melakukan inventarisasi tanah
tanah-tanah timbul
dan tanah hilang yang terjadi secara alami. Untuk tanah yang hilang apabila sudah ada
sertipikatnya agar disesuaikan. Untuk tanah yang akan direklamasi sebelumnya harus diberi
tanda-tanda
tanda batasnya sehingga bisa diketahui luas tanah yang nantinya selesai direklamasi”.
Berdasarkan uraian mengenai pengaturan terkait tanah timbul tersebut, Pemerintah Kota
Cirebon bekerja sama dengan
an Badan Pertanahan Nasional harus segera melakukan upaya
inventarisasi tanah timbul yang terjadi secara alami yang termasuk ke dalam wilayah Kota Cirebon.
6.3. Pendekatan Pemanfaatan Ruang Berbasis Daya Dukung dan Daya Tampung
Perkembangan pemanfaatan ruang yang terjadi di area tanah timbul tentu saja akan turut
mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan Kota Cirebon secara keseluruhan. Pengaruh
internal ini dapat bersifat membangun atau mendukung perkembangan dan pertumbuhan ruang
perkotaan ataupun sebaliknya. Oleh karenanya, pemanfaatan lahan tanah timbul semestinya
s
dilakukan dengan memperhatikan konteks pemanfaatan ruang perkotaan. Dalam hal ini, pendekatan
pemanfaatan berbasis daya dukung dan daya tampung ruang dapat menjadi kendali untuk
memastikan pengaruh positif yang dapat diberikan oleh kawasan pesisir
pesisir dalam mendukung
perkembangan dan pertumbuhan ruang perkotaan.
perkotaan
7. KESIMPULAN
Tanah timbul pantai merupakan fenomena alam yang terjadi akibat sedimentasi yang
berlangsung secara terus-menerus
menerus di suatu pesisir pantai;
Fenomena tanah timbul telah terjadi di kawasan pesisir pantai Kota Cirebon selama puluhan
tahun ;
Berdasarkan peraturan perundang-undangan
perundang undangan yang berlaku, tanah timbul merupakan milik
negara dan ditetapkan sebagai
sebagai kawasan lindung yang berfungsi sebagai kawasan
perlindungan setempat;
Tanah timbul di pesisir pantai Kota Cirebon merupakan potensi lahan yang dapat
dimanfaatkan oleh pemerintah untuk kawasan lindung sesuai peraturan perundang
perundang-
undangan yang berlaku;
Namun,
un, beragam tantangan dihadapi Pemerintah Kota Cirebon dalam menerapkan
kebijakan pengelolaan tanah timbul yang menyangkut aspek legal, aspek lingkungan, aspek
tata ruang, dan aspek sosial ekonomi;
Permasalahan utama yang dihadapi, antara lain okupasi lahan
lahan secara masif oleh masyarakat
yang telah berlangsung lama, pengurugan tanah timbul yang belum matang dengan sampah
untuk mempercepat pembangunan permukiman warga setempat, pendirian bangunan yang
secara prinsip melanggar peraturan perundang-undangan
perundang yang berlaku namun sebagiannya
telah mendapat sertifikat tanah, dan permukiman kumuh;
Upaya optimalisasi pengelolaan tanah timbul membutuhkan sinkronisasi berbagai
perencanaan spasial dan non spasial yang terkait kawasan pesisir;
Terkait aspek legal, Pemerintah Kota Cirebon dapat melakukan upaya inventarisasi tanah
timbul, penyusunan dan penetapan peraturan peruntukan dan penggunaan tanah timbul
yang disesuaikan dengan RTRW Provinsi dan RTRW Kota, serta menyusun perda tentang
pengaturan lebih lanjut mengenai tanah
tan timbul;
Terkait aspek lingkungan, Pemerintah Kota Cirebon dapat melakukan upaya rehabilitasi
kawasan pantai di sekitar tanah timbul dengan pengelolaan sampah, penanaman kembali
hutan mangrove, serta pendidikan terpadu kepada seluruh lapisan masyarakat ttermasuk
perangkat pemerintah desa untuk melawan laju pengrusakan lingkungan;
REFERENSI
• Ramadhan, Muhammad. 2006. Proses Pengembangan Lahan Secara Informal di Tanah-
Tanah
Timbul Kecamatan Lemahwungkuk Cirebon. Tesis. Prodi MPWK ITB.
• Timothy Beatley, David J. Brower, Anna K. Schwab. 2002. An Introduction To Coastal Zone
Management. Ed. 2. Island Press.
Pre Washington DC, USA
• French, Peter W. 1997. Coastal and Estuarine Management. Routledge. New York, USA
• Clark, John R. 1996. Coastal Zone Management Handbook. CRC Press. Florida, USA
• Supriharyono. 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wila
Wilayah Pesisir
Tropis. Ed 2. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
• Instruksi Presiden 05 tahun 1990 tentang Peremajaan Permukiman Kumuh yang Berada di
atas Tanah Negara
• Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Hutan
Mangrove dan Hutan Pantai
• Strategi Dan Program Pembangunan Permukiman dan Infrastruktur Perkotaan (2011)
• Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2012-2032
2012
• Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Daerah Kota
Cirebon (2012)
• Rencana
encana Strategis Wilayah Pesisir
Pes dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP3-K)
K) Kota Cirebon Tahun
2012-2032
• Cirebon dalam Angka, 2013
1. PENDAHULUAN ...............................................................................................................................
................................ ...............................1
2. KEBERADAAN TANAH TIMBUL DI PESISIR KOTA CIREBON..............................................................
CIREBON .............................. 2
3. PENGEMBANGAN LAHAN DI AREA TANAH TIMBUL ................................................................
....................................... 3
4. PELUANG PEMANFAATAN TANAH TIMBUL ................................................................
.................................................... 5
4.1. Potensi Penguasaan Lahan ................................................................................................
..................................... 5
4.2. Potensi Pemanfaatan Lahan ................................................................................................
................................... 5
4.3. Potensi Lahan Bagi Permukiman Masyarakat
M Berpenghasilan Rendah (MBR).......................
....................... 6
5. TANTANGAN ................................................................................................................................
................................ ................................... 6
5.1. Aspek Legal .............................................................................................................................
................................ ............................. 6
5.2. Aspek Lingkungan ................................................................................................
................................ ................................................... 7
5.3. Aspek Tata Ruang................................
................................................................................................
.................................................... 8
5.4. Aspek Sosial Ekonomi................................
................................................................................................
.............................................. 9
6. STRATEGI................................................................
................................................................................................
.......................................10
6.1. Upaya Memastikan Legalitas Lahan......................................................................................
Lahan ......................10
6.2. Rehabilitasi Kawasan Pesisir Pantai ......................................................................................
......................13
6.3. Pendekatan Pemanfaatan Ruang Berbasis Daya Dukung dan Daya Tampung.....................
Tampung .....................14
6.4. Fasilitasi dan Stimulasi Partisipasi Masyarakat................................................................
Masyarakat .....................................15
7. KESIMPULAN ................................................................................................................................
................................ ................................. 16
REFERENSI ................................................................
................................................................................................
............................................. 18
DAFTAR ISI................................................................
................................................................................................
............................................. 19