Anda di halaman 1dari 36

Hoax Itu!

Oleh : Senapati Diwangkara

Ujaran kebencian dan hoax adalah fenomena yang tidak asing


lagi di telinga kita. Apalagi menuju pilpres 2019, proses tetek
bengek perpolitikan Indonesia mulai menyeruak ke permukaan
publik. Pihak-pihak yang ingin mengais suara pun
bermunculan, bersenjatakan strategi murahan macam hoax dan
hate speech, mereka menyasar masyarakat yang kurang kritis.
Tetapi kenapa berita dan konten hoax menjadi salah satu
strategi primadona yang marak digunakan?
Ampuhnya hoax bisa kita pahami dari beberapa penjelasan dari
keilmuan psikologi. Faktanya, seseorang cenderung
mempunyai tendensi untuk menerima, menginterpretasikan,
dan/atau mengingat informasi yang sesuai dengan hipotesis
atau kepercayaan yang sedang dipegangnya, terlepas dari status
kejelasan maupun keabsahannya. Hal tersebut dijelaskan oleh
teori confirmation bias dan primacy effect.
Manusia adalah salah satu dari sekian banyak mahluk yang
disetir oleh keinginan untuk mencari kenyamanan dan
kebahagiaan, juga menghindari kesusahan [1]. Otak kita,
secara biologis, adalah organ yang tidak suka berpikir keras,
karena hal tersebut menghabiskan banyak energi. Kita lebih
suka untuk menginterpretasikan sesuatu yang sesuai dengan
framework pemikiran kita, karena hal tersebut secara kognisi
adalah jalan pintas; kita sudah punya 'batu pijakan' di situ, dan
disonansi kognitif adalah hal berat bagi otak, maka timbulah
tendensi tersebut.
Bingung? contohnya gini: Semisal di masa pilkada ada 2
kandidat kepala daerah, sebut saja Hilih dan Kintil. Unyil,
seorang rakyat biasa, adalah pendukung setia kandidat Kintil.
Singkat cerita, dia percaya bahwa si Kintil adalah pemimpin
yang berpendidikan, merakyat, bersih, dan lain-lainnya.
Berbeda halnya dengan Hilih yang hanya mengincar jabatan
saja dan tidak mau bekerja, tidak pantas memimpin. Suatu hari,
sebuah headline berita online berkata "Bapak Hilih Suhilih
bersilaturahmi ke 4 pondok pesantren". Si Unyil dalam hati
berkata "Halah, pencitraan! Coba lihat nanti usai pilkada, apa
dia masih peduli?". Keesokan harinya, muncul headline berita
online lagi, sekarang judulnya "Kintil Sukintil: Perubahan
Iklim Hanyalah Konspirasi". Unyil, simpatisan Kintil pasti
akan menanggapi "Hmm ya, kita harus mengkritisi lagi para
ahli yang berkata bahwa perubahan iklim adalah hal genting".
Dalam dua kasus tersebut, tampak jelas bahwa Unyil hanya
mengonfirmasi berita yang sesuai dengan keyakinan awalnya,
bahwa Hilih itu punya kekurangan dan menampik berita
lainnya, Kintil juga punya kekurangan. Padahal bisa saja nilai
kedua berita itu benar, ataupun kedua berita itu salah. Opsi
rasional itu tak akan masuk akal di kepala Unyil.
Bias tersebut kita alami secara tidak sadar dalam kehidupan
sehari-hari, inilah yang menguatkan preferensi kita terhadap
sesuatu dibanding yang lain. Tentu ini berbahaya, hoax bisa
saja terkonfirmasi. Selain confirmation bias, yang menjadi
katalis dalam penyebaran hoax tentu saja adalah internet.
Adanya internet bak surga informasi, orang dapat membuat dan
menyebarkan suatu data ke seantero pelosok bumi secara
murah, bahkan terkadang gratis. Potensi ini tentu menjadi
senjata mutakhir bagi orang yang ingin menyebarkan sesuatu
untuk memengaruhi opini publik.
"The asymmetry between the costs of sending countless
messages and the likelihood that at least one recipient will take
their validity at face value is fundamental to the logic of online
trolling." [2]
Walaupun begitu, tidak sembarang informasi bisa tersebar luas
di internet, beberapa lebih influential dari yang lainnya. Lalu
apa yang membuat informasi cepat tersebar? Apa yg membuat
informasi menjadi viral dalam artian tersebar luas? Selain
platform, situs, dan jumlah pengikut, menurut sebuah studi
yang dilakukan oleh surat kabar The New York Times [3], hal
yang paling menentukan adalah emosi yang ditimbulkan oleh
informasi tersebut. Ngeshare sesuatu ke teman atau grup adalah
hal yang sering kita jumpai di zaman smartphone ini (di ITB,
kadang disertai dengan pesan "Punten, ada titipan dari
temen/kating nih"). Konten yang memancing aspek emosional
biasanya adalah konten yang mengundang jemari kita menekan
tombol like and share.
Nah ini bagian fatalnya: ketika sedang menyebar, terkadang
mutasi random terjadi. Paragraf tambahan, penggantian judul
yang lebih clickbait, pengadaan foto cover yang mengundang,
komentar yang memanaskan keadaan, dll. Hal-hal tersebutlah
yang mempermainkan dan mengamplifikasi faktor emosi
manusia, dan seperti yang saya tuliskan sebelumnya, konten
yang paling mengundang emosilah— not necessarily yang
paling akurat— yang akan paling cepat menyebar.
Ketika sudah menyebar, secara alami, suatu konten akan
perlahan-lahan mati, seiring dengan relevansinya yang setelah
sekian lama akan pudar. Namun hal berbeda akan terjadi
seorang penikmat konten triggering tadi bertemu dengan
seorang penikmat konten triggering lainnya yang mempunyai
pendapat yang bertentangan. Jika anda sering berjelajah
internet mengenai isu yang sedang panas, mungkin anda sudah
familiar dengan hal ini: argumen-argumen baru akan
bermunculan dan isu tersebut akan panas lebih lama dari
konten-konten pada umumnya, dan akan menyebar lebih luas
lagi.
---
Secara kasar, kira-kira seperti itulah bagaimana fenomena
konten hoax bisa mempunyai efek yang sedemikian rupa. Jadi
gimana kita mengatasinya? Mengetahui dan memahami
prinsip-prinsip bagaimana konten hoax dibuat, disebar, dan
diterima adalah langkah awal yang cukup vital dalam mengolah
informasi yang dunia berikan kepada kita.
Nah di sini biasanya adalah bagian dari tulisan yang
memerintahkan pembaca untuk melakukan hal-hal tertentu
untuk mencegah hoax: "kritisi dan konfirmasi dulu sebelum
disebar" lah, "jangan menggunakan kata-kata kebencian" lah,
dan lah-lah lainnya. Tapi sepertinya hal tersebut sudah banyak
digembar-gemborkan oleh pihak-pihak lainnya yang peduli,
jadi saya tidak akan menuliskannya. Tips dari tulisan ini cuma
satu: sadari bias dan emosi Anda.
Sedikit peringatan, tentu jangan telan mentah-mentah juga
tulisan ini begitu saja, baca juga referensi-referensi di bawah
untuk klarifikasi. Apakah tulisan anti-hoax ini ternyata adalah
hoax dalam bentuk yang lain?
Sekian.
===
[1] Pleasure principle theory: Sigmund Freud. Supported by
Epicurus, Jeremy Bentham
[2] Quote: Kevin Munger, The Outline
https://theoutline.com/post/3443/devumi-twitter-bots-
savviness-gap?zd=1&zi=huwpnchk
[3] Jonah Berger: What Makes Something Viral?
http://jonahberger.com/wp-
content/uploads/2013/02/ViralityB.pdf
CGP Grey: This Video Will Make You Angry
https://www.youtube.com/watch?v=rE3j_RHkqJc
Bahaya Bahasa
Andhika Bernad

“They got a lot of company in this country. There's a lot of


groups, a lot of institutions in this country want to control
your language ... Government wants to control information
and control language, because that's the way you control
thought, and basically that's the game they're in.”
-George Carlin

Kekuasaan membutuhkan sesuatu untuk memantapkan dirinya,


menyuarakan propaganda untuk melawan ‘para
pembangkang’, dan dengan demikian kekuasaan itu dapat
langgeng dan terus dominan. Di sini pemakaian bahasa
memegang peranan yang dapat dibilang signifikan. George
Orwell, seorang novelis Inggris, dengan fenomenal
mengangkat bahasan ini dalam magnum opus ‘1984’ dengan
gaya khas alegorisnya, dimana dalam novel distopian tersebut
diuraikan bagaimana suatu tirani berhasil untuk memanipulasi
publik dan mengebiri pemikiran independen melalui proyek
pemerintah yang disebut sebagai ‘Newspeak’. Newspeak
adalah suatu upaya ‘Big Brother’ – figur simbolis otoriter yang
memonitor massa dan mengadminstrasi total mereka – untuk
mengatur dan merekayasa bahasa sehari-hari agar
berkesesuaian dengan bahasanya anggota partai penguasa.
Melalui proyek ini, beberapa kata yang mengandung makna
subversif, pemberontakan, revolusi, atau yang dapat memantik
pemikiran-pemikiran yang berlawanan dengan kekuatan
penguasa, akan dihilangkan. Tanpa adanya kata-kata atau
bahasa untuk mengekspresikan rasa ketidaknyamanan,
perlawanan, dan revolusi, maka pemberontakan itu tidak akan
pernah ada.
Melalui karyanya tersebut, Orwell ingin menyampaikan
kepada kita bahwa melalui kontrol penggunaan bahasa, terjadi
semacam suatu pembatasan akan kebebasan berpikir dan
dengan itu kekuasaan menjadi tak terusik. Bahasa yang dipakai
dalam keseharian menjadi dimensi afirmatif atas tindak
otoriter, dan berlangsung suatu pendisiplinan yang mustahil
memungkinkan ‘kemunculan’ pemikiran baru yang tak sejalan
dengan logika otoritas dominan tersebut. Tentu dengan
demikian, kepentingan otoritas akan terjaga keberjalanannya
dan dengan serta merta semakin menutupi borok yang
semestinya disingkap. Chomsky pun menambahkan dalam
analisisnya bahwa terdapat dua makna dalam diskursus politik.
Pertama adalah makna literal sesuai kamus, dan lainnya adalah
makna yang berguna untuk melayani kekuasaan – yakni makna
doktrinal. Contohnya adalah makna demokrasi. Menurut
makna common sense, sebuah masyarakat dikatakan
demokratis bila rakyat dapat berpartisipasi penuh dalam
menentukan hubungan-hubungan mereka. Tetapi dalam makna
doktrinal, istilah tersebut merujuk pada sistem ketika
keputusan dibuat oleh komunitas bisnis dan elit-elit terkait;
masyarakat menjadi penonton aksi dan bukannya partisipan.
Bagaimana kontrol oleh otoritas tersebut dapat terjadi dalam
kehidupan sosio-politik kita? Media massa dapat menjadi agen
‘cuci otak’ yang penting di sini, pun bahkan begitu pula dengan
cendekiawan sosial yang berafiliasi dengan elit tersebut untuk
‘membumikan’ sistem Orwellian Newspeak, yang dapat
menyesatkan kebenaran tentang apa yang sesungguhnya
terjadi, sebagaimana diutarakan Julien Benda dalam bahasan
tentang pengkhianatan kaum intelektual. Melalui ini pula,
pemaknaan terhadap suatu kata dapat terarahkan dan mungkin
saja maknanya menjadi ‘tunggal’ atau sempit dan cenderung
doktrinal. Dengan begitu, propaganda dapat berlangsung
mudah dan penyalahgunaan istilah dalam upaya menjalankan
kepentingan dapat dengan sering dilakukan. Tetapi apakah
praktik kontrol tersebut sebatas terpusat pada satu sumber
otoritas seperti yang dinarasikan Orwell dalam novelnya?
Terkait hal ini, Michel Foucault hadir dengan memberikan
pandangannya menyoal kekuasaan. Baginya, kekuasaan itu
tersebar dan lebih digambarkan dalam tatanan disiplin. Teknik
kekuasaan membidik kepatuhan dan ingin secara riil
membentuk subjek yang patuh. Di sinilah disiplin menjadi
konsep kunci dan merupakan teknologi kekuasaan masyarakat
modern. Disiplin ingin mendidik dan mengoreksi. Ia pun tidak
identik dengan suatu aparatus tertentu, melainkan lebih
merupakan teknologi yang dapat dijalankan di berbagai
institusi seperti penjara, rumah sakit, sekolah, dan bahkan
keluarga, sebab objek dari operasi kekuasaan ini adalah semua
yang terlibat di dalam produksi dan mereka yang perlu
dikontrol. Dengan didukung oleh sistematisasi menggunakan
metode ‘panoptik’, pengawasan dapat dilakukan dengan lebih
total dan penegakan disiplin menjadi mudah untuk terlaksana.
Metode ‘panoptik’ ini diadaptasi dari model penjara yang
dikembangkan oleh Jeremy Bentham, dimana melalui
rancangan arsitekturalnya, para narapidana dikondisikan untuk
tidak mengetahui siapa atau berapa orang yang mengawasinya,
tetapi mereka tahu bahwa dirinya sedang diawasi.
Efek dari sistem ini adalah munculnya suatu kesadaran dalam
diri narapidana bahwa mereka senantiasa berada dalam suatu
pengawasan, padahal, pengawasan tersebut mungkin saja
dilakukan secara tidak teratur. Pelaksanaan pengawasan dapat
diskontinu, tetapi tetap memberi efek kontinu yang permanen.
Atau dengan kata lain, para narapidana terjerat di dalam situasi
kekuasaan karena mereka sendiri adalah pembawanya. Lantas,
apa relevansi model penjara panoptik ini dengan keseharian
kita?
Sebagaimana diutarakan sebelumnya, model tersebut membuat
praktik kontrol oleh penguasa dapat dilakukan secara efektif.
Panoptikon menciptakan subjek yang bertanggung jawab atas
penundukan dirinya sendiri; terjadi semacam perbudakan diri
yang mendukung potensi situasi dominasi. Ini yang dapat
teramati dalam keseharian kita kini. Yang empunya otoritas
tidak perlu lagi dengan melulu melakukan represi yang bersifat
fisik, keras, atau gamblang untuk mengoperasikan kontrolnya.
Hal-hal tersebut cukup dilakukan sesekali saja. Apa yang
dilakukan untuk menjalankan praktik kontrol tersebut kini
justru dengan memanfaatkan objek kekuasaan itu sendiri, yakni
masyarakat. Bermunculannya ‘moralis bahasa’, keseganan
dalam diri untuk mengungkapkan pendapat berbeda, adanya
preferensi dalam menggunakan kata-kata tertentu guna
menghindari konflik (normatif), adalah segelintir gejala yang
menunjukkan berlangsungnya praktik kekuasaan semacam
tadi.
Lalu, bagaimana mekanisme kontrol oleh penguasa ini
diterapkan sehingga apa yang terjadi terkesan alamiah atau
‘sudah oleh kodratnya demikian’ dalam masyarakat? Otoritas
melakukan ini melalui pendekatan kultural yang dibangun
semenjak institusi terdekat kita, semisal keluarga dan sekolah.
Ini serupa dengan ‘aparatus ideologis’-nya Louis Althusser.
Aparatus ini digunakan untuk membangun kesediaan/pondasi
kultural dan berlangsung secara lebih halus ketimbang
‘aparatus represif’ yang kasat mata seperti pengadilan, penjara,
angkatan bersenjata, dan lain sebagainya. Dengan demikian,
dominansi kekuasaan pun menjadi dapat terlaksana dengan
memanfaatkan internalisasi nilai secara ‘humanis’ sekaligus
menjangkau kehidupan paling intim melalui aparatus ideologis
tersebut (keluarga, sekolah, institusi keagamaan, media, dsb.).
[]
Tulisan Terjemahan Vote What For Karya Errico
Malatesta
Muhammad Rushdi

George : Bir ini tak terlalu buruk, bukan?


Jack : Ya, lumayan, tapi harganya bukan main!
George : Mengejutkan memang, terutama saat kau ingat harga
barang-barang di masa lalu. Tapi kau masih tak habis
pikir dengan semua pajak yang ada. Kita dihisap dua
kali lipat biaya untuk hidup di masa lalu. Mereka
menaikkan harga barang-barang dan, katakanlah, kau
bisa hidup tanpa barang tersebut. Tapi kau tak bisa
hidup tanpa roti, makanan, dan pakaian – kau harus
membayar harga sewa yang selalu sama, dan ada pajak
di sana, dan upah kita masih dipotong pajak juga! Dan
ini semua salah kita sendiri! Kalau kita mau, kita bisa
mengatasi ini. Kelas pekerja menggenggam
jawabannya di tangan mereka!
Jack : Apa yang kau maksud dengan “jawaban”?
George : Mudah saja, kau punya hak pilih?
Jack : Apa hubungan hak pilih dengan itu?
George : Jadi kau punya atau tidak?
Jack : Aku memang punya, tapi aku tak pernah
menggunakannya.
George : Itu dia! Kau punya hak pilih tapi kau memilih untuk
tidak ambil pusing dan kau bertanya-tanya kenapa
keadaan begitu sulit. Kau pantas menerima semua ini,
kalau aku boleh jujur! Orang-orang macam kau
bertanggungjawab atas semua kekacauan di dunia!
Jack : Baik, tenanglah. Sekarang kau beri tahu aku apa
bagusnya memilih?
George : Alasannya jelas, siapa yang membuat peraturan?
Anggota parlemen! Kau pilih anggota parlemen yang
bagus maka kau akan mendapatkan peraturan yang
baik pula.
Jack : Konselor dan anggota dewan yang baik? Itu lagu
lama. Kau mesti tuli, bodoh, dan buta untuk tidak
menyadari kalau mereka, yang jadi anggota parlemen,
adalah antek-antek yang sama setiap tahunnya.
Sungguh menakjubkan saat kita mendengar kampanye
mereka. Mereka memperhatikanmu, bertanya kabar
istri dan anak-anakmu, mencium bayi-bayi,
menjanjikanmu rel kereta, jembatan, pekerjaan, roti
yang murah, pajak lebih sedikit, upah yang lebih
tinggi, perlindungan – bahkan segalanya! Dan sekali ia
memasuki parlemen, pekerjaan tak berkurang atau
bertambah, seluruh kota bisa hancur berkeping-keping
dan mereka tak akan memperdulikannya. Mereka
punya hal lain untuk dipikirkan selain kesulitanmu.
Lalu beberapa tahun kemudian mereka akan
memasang baliho lagi. Tak peduli apa warna partainya:
mereka semua sama. Begitu mereka terpilih, mereka
melupakanmu. Mereka berada dalam kelompoknya
masing-masing dan makan malam mereka yang
mewah. Mereka tak akan mendatangimu sampai
pemilihan berikutnya.
George : Itu betul! Tapi kenapa memilih orang-orang kaya.
Tidakkah kau tahu kalau hidup mereka bergantung
pada pekerjaan rakyat? Jadi bagaimana bisa kau
mengharapkan mereka untuk peduli pada masyarakat?
Yang mereka pikirkan hanya menghisap sebanyak
mungkin orang.
Jack : Akhirnya omonganmu masuk akal! Namun tak cuma
orang kaya. Ada jenis yang lain yaitu mereka yang
ingin terpilih agar bisa menjadi kaya.
George : Betul, jangan sampai kita memilih mereka. Pilihlah
para pekerja, kawan-kawan kita yang berpengalaman
agar kita tak dibodohi.
Jack : Oh, kita punya “kawan yang berpengalaman” yang
telah terpilih sekarang, dan mereka tidak berbeda
daripada musuh yang tadi kita bahas! Omong-omong,
apa yang kamu maksud dengan “Ayo kita pilih.”
Seolah-olah kita -kau dan aku- bebas berbuat semau
kita.
George : Tak hanya kita berdua. Jika masing-masing dari kita
berusaha mengubah orang lain maka mereka pun akan
melakukan hal itu juga, buruh akan menjadi mayoritas,
dan kita bisa memilih siapapun yang kita inginkan.
Itulah saat kita bisa membentuk pemerintahan yang
terdiri dari para buruh, lalu..
Jack : Lalu itu hanya akan menjadi surga – maksudku hanya
untuk mereka yang berada di parlemen. Kau terlalu
cepat menyimpulkan! Mereka yang berkuasa selalu
menguasai mayoritas. Orang-orang kaya selalu
memiliki kekuasaan. Coba bayangkan seorang buruh
miskin, mungkin dengan istri yang jatuh sakit dan
empat anaknya yang kelaparan dan kau minta dia
mengorbankan pekerjaannya dan didera kelaparan
hanya untuk memilih calon yang tak disukai
majikannya. Cobalah yakinkan mereka yang bisa
dipecat kapan saja oleh majikannya. Mereka tak pernah
bebas; jika mereka ingin bebas, mereka tak akan
menghabiskan waktunya untuk memilih – cukup ambil
apa yang mereka butuhkan.
George : Tapi jika kita tak memilih, tak akan ada orang yang
akan memilih. Kita tak bisa mendatangi dan meminta
mereka untuk memilih partai kita sekaligus memberi
tahu mereka kalau vote itu tak berguna.
Jack : Justru itu intinya! Dan di atas itu semua kau harus
membuat janji Pemilu yang kau tahu tak mungkin
ditepati. Begitu orang-orangmu terpilih mereka harus
menjilat orang-orang yang kau sebut “musuh kaum
buruh” tadi. Jadi kenapa kita membahas propaganda
padahal yang mesti kita lakukan terlebih dulu adalah
menggagalkannya?
George : Namun kau mesti akui bahwa orang-orang parlemen
bisa menguntungkan kita.
Jack : Keuntungan bagi mereka sendiri. Dan mungkin untuk
beberapa teman mereka! Tapi untuk masyarakat
banyak? Kau bisa lihat apa yang terjadi begitu para
anggota dewan terpilih. Para sosialis pergi mendatangi
Tories (Partai politik di Inggris); mereka menjadi
Independen dan bermacam-macam oportunis lainnya.
Para begundal ini menipu pengikutnya – bahkan lebih
buruk dari yang gereja lakukan. Begitu para sosialis,
yang mungkin sudah dipersekusi layaknya kriminal
saat mereka lepas dari jabatannya (seperti halnya
Ramsay MacDonald) mendapat apresiasi dan disuap
oleh para orang kaya, dan bersalaman dengan
Kerajaan, maka mereka telah ditaklukkan.
George : Ah, kau terlalu keras pada mereka. Kita tahu mereka
cuma orang biasa yang punya kelemahan. Tapi yang
harus kita lakukan adalah memilih yang terbaik, bukan
yang sama dari waktu ke waktu.
Jack : Dengan terus-menerus mengganti pilihan kau hanya
akan menghasilkan penipu dalam jumlah banyak. Tak
cukupkah penghianat yang ada saat ini? Begitu kau
kirim mereka ke gedung-gedung itu maka kau
mengubah mereka menjadi penipu. Mereka berada di
antara para orang kaya dan ingin terus berada di sana.
Aku baru akan mengakui seseorang benar-benar
sosialis saat ia mengorbankan waktu dan energinya,
uang dan kemampuannya, berhadapan langsung
dengan hukuman penjara dan pembohongan, hanya
untuk memerangi korupsi dan kapitalisme. Tapi para
anggota dewanmu ini Cuma mengaku sosialis, berlari
bersama kelinci dan berburu dengan anjing, setara
dengan mereka yang mengaku Kristen yang
berkhotbah mencintai kebaikan padahal merekalah
sebenar-benarnya penjahat!
George : Ah, kau sekarang mulai melantur. Di antara para
pemimpin sosialis yang kau caci, adalah orang yang
tahu rasanya kelaparan, yang sudah bekerja dan
menderita karenanya, yang telah membuktikan..
Jack : Pergilah dengan bukti-buktimu! Bahkan Hitler
pernah kelaparan, dan bekerja untuk itu – apa kita
sekarang harus menghormatinya karena ia pernah
berada di titik terendah? Bahkan setiap pelacur pernah
jadi perawan!
Justru hormat yang berlebihan pada pemimpin yang
membuat sosialisme terpuruk. Sosialisme mestinya
menjadi harapan orang banyak, dan pemimpinmu
malah menjadikannya kutukan, begitu perwakilan
Partai Buruh masuk pemerintahan. Kau sebut itu
propaganda?
George : Tetap saja, kalau kau tak puas dengan beberapa
pemimpin, kau bisa menyingkirkan mereka, Para
pemilih bisa memilih siapapun yang mereka suka.
Jack : Kau yakin? Pilihan apa yang benar-benar pernah
dimiliki tiap orang? Kau bisa memilih Tweedledum
dan jika kau tidak menyukainya kau akan tetap melihat
dia di atas! Alih-alih mengaburkan pandangan
masyarakat tentang urusan pilih-memilih ini, kau
harusnya menghancurkan kepercayaan mereka
terhadap Pemilu, baik itu Parlemen mau pun dewan.
Penyebab utama penderitaan, pertama adalah
kepemilikan privat, yang mencegah orang bekerja
kecuali ia menyetorkan hasilnya pada pemilik lahan
dan alat, dan menerima kondisi tersebut: dan kedua,
Pemerintah, yang melindungi para eksploitator dan
ambil bagian di dalamnya.
George : Ya, tentu kau harus meyakinkan orang bahwa
kepentingan mereka dalam memilih adalah untuk
menentang majikan mereka. Kita mesti mengorganisir
untuk mencegah para eksploitator menghancurkan
kebebasan masyarakat.
Jack : Hanya agar bisa memilih Mr. Jones atau Mr. Brown?
Jelas kita mesti mengorganisir tapi bukan Cuma untuk
menambah satu anggota parlemen lainnya. Tapi untuk
meyakinkan orang bahwa mereka telah mencuri segala
hal baik di dunia dari kita; bahwa kita punya hak untuk
memiliki semua yang kita produksi, dan kita mampu
melakukannya tanpa menerima perintah dari siapapun.
George : Ya, tapi kita mesti punya seseorang yang memimpin,
agar semua dapat teratur.
Jack : Tidak sama sekali!
George : Tapi orang-orang terlalu masa bodoh untuk
menjalankan semuanya sendiri.
Jack : Masa bodoh kau bilang! Jika mereka tidak masa
bodoh maka mereka akan segera mendapat hasil dari
orang-orang yang mereka pilih! Jika kau biarkan
mereka sendiri, dan tidak menipu mereka, kau bisa
yakin semua hal akan mereka atur, lebih baik daripada
yang dilakukan para penipu itu, yang berkata mereka
ingin memerintah bagi kebaikan kita sendiri, lalu
memperlakukan kita seperti hewan ternak. Selain itu –
kau bilang masyarakat terlalu ignoran untuk memiliki
kebebasan. Tapi kau pikir mereka cukup cerdas untuk
memilih anggota dewan – dan jika mereka memilih
calonmu kau sebut mereka bijaksana.
Bukankah lebih mudah mengurus urusanmu sendiri
daripada menyuruh orang lain melakukannya? Jika
para anggota parlemen mau memperjuangkan
kepentingan kita, mereka akan bertanya apa yang kita
inginkan, dan bagaimana kita ingin memperolehnya,
bukan meminta kita percaya agar mereka bisa berlaku
semau mereka – dan mengkhianati kita saat mereka
harus.
George : Tetap saja masyarakat tak bisa melakukan segalanya
sendiri. Harus ada seorang yang mengurus kepentingan
umum dan politik.
Jack : Apa yang kau maksud dengan “politik”? Kalau
maksudmu itu seni mengelabui orang, maka aku bisa
meyakinkanmu kalau kita tak keberatan hidup tanpa
politik. Jika yang kau maksud dengan “politik” adalah
kepentingan umum dan kesejahteraan semua orang –
kami bisa mengurus semua itu sendiri. Kami tahu
bagaimana cara makan dan minum dan mendapat
hiburan. Betapa sialnya aku jika harus pergi ke
spesialis hanya untuk buang ingus, dan memberi dia
hak untuk mengeluarkannya jika aku tidak melakukan
sesuai dengan keinginan dia: para pembuat sepatu
membuat sepatu dan pembangun rumah membangung
rumah; tapi tak pernah ada yang terpikir memberi
mereka hak untuk memerintah dan membuat kita
kelaparan.
Orang-orang ini ingin masuk parlemen demi
kesejahteraan umum – apa yang mereka lakukan untuk
masyarakat? Kapan seorang anggota parlemen, yang
juga Sosialis, dan para konselor daerah jadi lebih baik
dari orang banyak? Tak pernah, mereka semua sama
saja!
George : Sekarang kau juga menyerang sosialis! Kau lupa
mereka sangat sedikit jumlahnya. Mereka harus
menjadi mayoritas. Selain itu, tangan mereka juga
terikat.
Jack : Lalu kenapa mereka mengambil jabatan itu kalau tahu
tangan mereka terikat? Hanya ada satu sebab – mereka
ingin mengurus kepentingan mereka sendiri.
George : Kau pasti seorang anarkis.
Jack : Memang, ada yang salah?
George : Bagiku, anarkisme itu terlalu jauh. Aku seorang
sosialis. Kau benar di banyak hal, tapi jika sejak awal
aku tahu kau seorang anarkis, aku tak perlu panjang
lebar menjelaskan kalau kita bisa mencapai kondisi
lebih baik lewat Parlemen, karena aku tahu selama
masih ada orang miskin, hukum akan dibuat oleh yang
kaya, dan akan selalu menguntungkan mereka.
Jack : Oh aku paham – kau tahu perubahan tak akan datang
lewat parlemen, tapi kau masih menyuruh orang
memilih di Pemilu. Saat kau tahu aku Anarkis, kau
tahu aku tak akan percaya dongeng itu – tentang voting
untuk perubahan, jadi kau mengaku bahwa kau
menyuruh orang untuk memilih calon tertentu yang tak
akan pernah memenuhi janjinya. Aku tahu kau tak
dibayar untuk berbohong dan menipu orang – jadi apa
alasanmu melakukan ini?
George : Tidak, tidak! Saat aku bilang ke orang-orang untuk
menggunakan hak pilihnya, yang aku lakukan saat itu
adalah propaganda. Tidakkah kau lihat betapa
bagusnya jika ada orang-orang kita yang berada di
parlemen? Mereka melakukan propaganda lebih baik
daripada yang lain – mereka akan mengatakan hal-hal
yang kita inginkan, dan media-media akan
menuliskannya.
Jack : Oh, jadi kau menjadi agen Pemilu demi propaganda?
Dengar, pertama kau bilang pada orang-orang kalau
kita bisa berharap pada parlemen, sehingga kita tak
perlu revolusi, bahwa semua yang harus pekerja
lakukan adalah memasukkan selembar kertas ke
sebuah kotak dan sisanya akan diurus olehmu Lalu kau
mengakui bahwa ini semua tak akan berhasil, bahwa
ini tak lebih dari propaganda. Bukankah propaganda
ini justru berlawanan dengan idemu sendiri?
Orang kaya akan selalu mati-matian mempertahankan
dua institusi ini, apapun risikonya. Tipu daya selalu
dipakai – dan mereka tak berhenti di penjara tapi tiang
gantung dan peluru panas! Pemilu tak ada gunanya
dengan itu semua. Kami tak mengiginkan pergantian
majikan tapi sebuah revolusi yang utuh, memutus habis
hubungan dengan masa lalu. Kita mesti memiliki
kekayaan bersama; dimana setiap orang tak perlu
mengkhawatirkan makanan, pakaian, dan tempat
tinggal. Tuan tanah mesti diusir oleh petani pekerja
supaya masing-masing mengerjakan lahannya sendiri.
Para pekerja harus mengusir majikannya dan mengatur
produksi demi kemaslahatan bersama. Mereka mesti
berdiri bersama dan menolak bentuk toleransi apapun
terhadap pemerintah. Setiap orang di setiap daerah dan
yang memiliki pekerjaan yang sama mesti membuat
sebuah kesepakatan. Buruh akan memegang kendali
pabrik, dan tiap distrik terhubung satu sama lain dalam
sebuah kesatuan industri – dan tentu saja akan sukses
bila semua orang bergantung padanya. Kita tak akan
saling berkelahi lagi atau mentolerir perang antar
pekerja yang berbeda kebangsaan. Perang dan
kompetisi akan lenyap. Mesin-mesin tak akan
membuat manusia jadi pengangguran tapi akan
membantu pekerjaan kita, membuatnya lebih produktif
dan tidak melelahkan.
Tak akan ada lagi tanah yang tak digarap, kita tak
hanya akan menghasilkan sepersepuluh dari yang kita
butuhkan, seperti terjadi sekarang. Sebaliknya, kita
akan mempraktikkan semua metode yang kita tahu
untuk meningkatkan jumlah makanan dan kualitas
barang. Seluruh masyarakat akan menjadi satu
kesatuan: produsen dan konsumen.
George : Sungguh yang kau katakan terdengar begitu manis
tapi nyaris tidak mungkin untuk diwujudkan. Bentuk
idealmu begitu menakjubkan tapi aku punya satu
pertanyaan: bagaimana kau akan mewujudkannya?
Aku setuju revolusi adalah satu-satunya jalan
keselamatan tapi karena kondisinya tak
memungkinkan sekarang maka jalan terbaik adalah
melalui Pemilu. Pada akhirnya ini semua adalah
propaganda.
Jack : Kau sebut itu propaganda? Kau masih tidak sadar
kemana semua propagandamu membawa kita? Kau
meninggalkan program sosialis kita, bergabung dengan
para penindas pekerja yang paling buruk, menjadi satu
dengan para penipu yang membuat gaduh demi
kekuasaan! Semua yang kau lakukan dengan
propagandamu adalah mengubah seorang yang
sebenarnya sudah menjadi seorang sosialis yang layak,
menjadi anggota dewan di parlemen. Kau menciptakan
ilusi parlemen yang membuat kita buta terhadap
revolusi. Kau mendiskreditkan sosialisme, menjadi
sesuatu yang orang-orang yakini sebagai sebagian dari
pemerintah yang mereka curigai dan benci. Itu adalah
akhir dari orang yang mencari kekuasaan.
George: Apa yang kau mau? Kenapa kau tak membantu kami
alih-alih hanya di luar sambil mengkritisi?
Jack : Aku memang belum bercerita apa yang kami, anarkis,
lakukan. Tapi kau perlu tahu ini: sosialis adalah salah
satu rintangan terbesar kami. Kegiatan kami terbatas
selama bertahun-tahun karena propagandamu tentang
parlemen, dan kau membutakan para pekerja untuk
mempercayai orang yang menipu mereka. Kami
menghabiskan banyak waktu untuk melawan
propagandamu, padahal kami mestinya bisa lebih
mendorong perubahan sosial yang revolusioner. Aku
harap lebih banyak orang merasa jijik karena telah
mempercayai partaimu! Hanya itu cara agar kita
mendapat perasaan revolusioner itu.
George : Well, silahkan bergegas dan wujudkan revolusimu!
Jika kau yakin semua orang akan berada di pihakmu,
entah bagaimana caranya.
Jack : Oh, aku paham –“ledakkanlah revolusi dan kami akan
bergabung denganmu.”. Kalau kau percaya akan
revolusi, kenapa tak kau bantu kami?
George : Kalau boleh jujur, jika aku tahu cara bagimana
mempraktikkan revolusi hari ini juga, aku akan
langsung memperliahatkannya padamu. Aku akui
urusan Pemilu ini begitu memuakkan, dan aku ingin
para pemimpin yang ada sekarang segera enyah, tapi
jujur aku tak tahu apa yang bisa dilakukan untuk
revolusi hari ini.
Jack : Semua yang kau ingin tahu adalah yang kau inginkan,
dan kau memperjuangkannya dan kau akan
menemukan apa yang bisa dilakukan. Pertama-tama
kita mesti mempropagandakan sosialisme yang
sebenarnya, bukan apa yang selama ini sudah dipelintir
seperti mempercayai politisi, memilih di Pemilu,
membuat orang membeci kegaduhan tentang parlemen,
dan seluruh mesin politiknya. Biarkan para orang kaya
melakukan pemilihannya sendiri – sementara publik
membenci mereka karenanya. Saat para pekerja tak lagi
mempercayai penipuan kotak suara, maka akan tampak
pada mereka (pekerja) keharusan akan revolusi sosial.
Mari kita pergi ke pertemuan Pemilu dan kita
tunjukkan kebohongan dan pretensi semua kandidat.
Ayo berpropaganda, bukan di antara para orang kaya,
tapi di antara organisasi buruh dan di pabrik, dan
membuat kelompok baru, dan menjelaskan ke
semuanya tentang bagaimana para buruh dapat
membebaskan dirinya sendiri. Ayo kita ambil peran
aktif dalam pemogokan dan menciptakan jurang
pemisah antara buruh, yang sekarang menjadi budak,
dan majikannya! Kita mesti ada di tiap tempat yang
sedang melakukan perlawanan terhadap penguasanya.
Kita harus berada di antara orang-orang yang
mengalami ketidakadilan, pemaksaan, kekurangan,
entah di manapun itu berada, dan membuat pergerakan
yang berjuang melawan kelas penguasa.
Begitu kita telah melihat pergerakan dimana-mana, ide
akan datang dengan sendirinya. Kita mesti selalu
berada di tengah-tengah masyarakat, dan mereka akan
paham apa yang mesti mereka lakukan. Mereka
sendirilah yang harus memperjuangkan kebebasannya:
kita tak bisa memberikannya pada mereka, dan kita
mesti berada di tengah-tengah mereka. Dan selagi kita
melakukan ini, dekatilah orang-orang yang kita mau,
yang pelan-pelan tapi pasti mulai mengerti dan
menerima ide kita – kita mesti mengajak mereka
bergabung, mempersiapkan elemen dan tindakan yang
menentukan, untuk pembebasan kelas pekerja.
George: Baik, aku sepakat! Persetan mereka dan hajat
Pemilunya!
Kemenangan Kecil Demokrasi Makassar
Muhammad Rushdi
Gaduhnya politik elektoral kian hari semakin mengolok-olok
akal sehat kita. Isi media sosial tak pernah sepi dari perseteruan
dua kubu: kaum hashtag #2019gantipresiden yang sejak kasus
penistaan agama Ahok konsisten mempersenjatai diri dengan
politisasi agama; dan kubu lawan tak kalah militan
mempertahankan tuannya yang tak lain adalah pemerintah
yang berkuasa hari ini. Namun sejak pencalonan pasangan
presiden dan wakil presiden untuk Pemilu 2019, agama tidak
lagi jadi bahan dagangan satu pihak semata.
Dampak dari pertarungan yang tidak sehat ini adalah miskinnya
wacana yang terangkat di khalayak warganet. Semua yang
melempar opini mengenai politik praktis dengan mudahnya
divonis sebagai kecebong, yang berarti pendukung pemerintah,
dan kampret yang berarti sebaliknya.
Beruntungnya, ada dua peristiwa yang sedikit banyak bisa
menenangkan kita, meskipun hanya sementara. Pertama, Piala
Dunia 2018 Rusia dan kedua adalah kemenangan kotak kosong
di Pemilihan Wali Kota Makassar.
Kekalahan Calon Tunggal Walikota Makassar atas Kotak
Kosong
Komisioner KPU, Pramono Ubaid, menjelaskan hadirnya
pilihan kotak kosong pada kertas suara ialah guna memberi
kesempatan selebar-lebarnya bagi masyarakat untuk
menyampaikan pendapat. Pramono berujar, “Orang tak bisa
dipaksa juga untuk memilih atau menerima satu pasangan
calon… pemilih kan berhak juga untuk menolak.”
Sebelumnya akan ada dua pasangan yang mengajukan diri
sebagai calon walikota Makassar pada Pilkada serentak 2018.
Tapi pasangan petahana Mohammad Ramdhan Pomanto –
Indira Mulyasari dinyatakan gugur karena dinyatakan
‘menyalahgunakan wewenang dalam proses pencalonan’.
Sehingga hanya pasangan Munafri Arifuddin – Andi
Rahmatika Dewi yang berhak mengikuti proses pemilihan.
Hanya di Kota Makassar, kotak kosong mengungguli paslon
walikota Munafri Arifuddin – Andi Rahmatika Dewi dengan
jumlah suara sebesar 53,23 persen. Dengan hasil ini, KPU Kota
Makassar memutuskan bahwa pemilihan ulang baru akan
kembali dilakukan pada tahun 2020. Maka sejak walikota
periode sekarang menjabat turun hingga pemilihan serentak
2020, pemerintahan Kota Makassar akan dipegang oleh
penanggung jawab yang ditunjuk oleh Kementerian Dalam
Negeri.
Selain di Kota Makassar, pertarungan pasangan calon tunggal
melawan kotak kosong juga terjadi di 15 daerah lainnya pada
Pilkada Serentak 2018. Perlawanan yang kentara dari kotak
kosong terjadi di tiga daerah di Banten. Di Lebak, Banten kotak
kosong meraup 23 persen suara; lalu 16,28 persen suara masuk
ke kotak kosong di Kabupaten Tangerang; dan 14,2 persen
suara didapat kotak kosong di Kota Tangerang.
Pilihan kotak kosong dihadirkan pada kertas suara sejak
disahkannya UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang
merupakan revisi dari UU No. 8 Tahun 2015. Dasar perubahan
ini berasal dari fenomena calon tunggal yang muncul di 269
wilayah (9 provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota) pada Pilkada
serentak 2015.
Kegagalan Kaderisasi Oleh Partai Politik
Meski di tingkat daerah pasangan independen dapat
mengajukan diri sebagai calon kontestan, tapi ketentuan ini tak
serta-merta memperluas pilihan masyarakat. Pasalnya, ada
ketidaksetaraan antara calon perorangan dan calon yang
diajukan partai politik (parpol).
Pada kebanyakan kasus, calon independen tidak memiliki
jaringan yang terlembagakan seperti parpol yang punya
kepengurusan di daerah. Jaringan ini begitu memudahkan
usaha paslon memenangkan pemilihan, bahkan sekadar di
tahap mencalonkan diri.
Untuk lolos sebagai pasangan calon, sebanyak 6,5 hingga 10
persen dukungan dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT)
pemilu terakhir harus dikumpulkan oleh paslon. Belum lagi
perhitungan strategi pada proses kampanye hingga
pemungutan suara dan penghitungan, tentu bukan sesuatu yang
sulit bagi calon yang didukung parpol. Selain dana, masalah
yang akan muncul terletak dari kemampuan calon mencari
sumber daya manusianya.
Lantas bagaimana pasangan calon yang diajukan oleh parpol?
Bukanlah lagu baru saat kita dengar ada anggota dewan atau
kepala daerah yang ditangkap KPK atas tuduhan korupsi.
Lantas tidak mengherankan jika kita menduga-duga mereka
yang berkuasa hanya menyasar kursi untuk menutup dana
kampanye dan memperkaya golongannya sendiri. Fenomena
politik dinasti, yang meski belum lama terkuak, menandakan
praktik pejabat yang menggunakan kuasanya untuk menjaring
harta sudah berumur panjang.
Kepala daerah yang sekalipun tidak terindikasi melakukan
korupsi tapi memiliki kebijakan pengembangan yang tidak
berpihak pada rakyat kecil juga tidak sulit ditemukan. Ambillah
contoh kasus konflik lahan yang terjadi di mana-mana. Tanah
yang ditempati rakyat untuk tinggal dan sumber
penghidupannya dipaksa mengalah pada rencana
pembangunan pemerintah yang tak melibatkan masyarakat
sama sekali. Kalaupun dilibatkan, ia hanya sebatas sosialisasi
dengan rencana yang sudah tidak bisa diganggu gugat.
Dua hal di atas – pemimpin yang korup dan tak berpihak pada
rakyat— seakan menggenapkan tuduhan rakyat akan
minimnya pemimpin yang benar-benar bisa mensejahterakan
rakyatnya tanpa terkecuali. Pertanyaannya sekarang menjadi:
kenapa kondisi seperti ini dapat terjadi? Merujuk pada UU No.
2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (“UU Parpol”) di ayat 1
poin (e) disebutkan bahwa
Partai politik berfungsi sebagai sarana rekrutmen
politik dalam proses pengisian jabatan politik
melalui mekanisme demokrasi dengan
memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
Berdasarkan pernyataan di atas maka masuk akal jika wacana
kegagalan partai politik sebagai lembaga kader pemimpin
muncul ke permukaan. Alih-alih melakukan pendidikan
demokrasi bagi rakyat, partai politik lebih suka menunjuk figur
publik populer macam selebriti untuk diangkat menjadi kader
politik yang mereka siapkan untuk mengisi kursi pemerintahan.
Di hadapan publik para elit politik malah sibuk melakukan
politisasi agama dan identitas daripada mengangkat wacana
yang lebih substansial. Sulit rasanya membayangkan atmosfer
politik seperti hari ini terus berkembang sampai Pilpres 2019
nanti.
Kotak Kosong Menang Lalu Apa?
Kemenangan kotak kosong pada Pilwalkot Makassar 2018
menandakan munculnya ketidakpercayaan masyarakat
terhadap calon pasangan pemimpin yang tersedia. Kondisi ini
tentu tidak muncul secara tiba-tiba namun merupakan
akumulasi dari berbagai peristiwa atau faktor yang terjadi
sebelumnya.
Sebagai pembeda dari daerah lainnya, kita mengenal Makassar
yang memiliki pergerakan politik yang terbilang dinamis.
Terlebih gerakan kelompok pro demokrasi di Makassar cukup
nyaring terdengar. Dengan atmosfer politik seperti ini tentunya
warga Makassar mendapat pendidikan demokrasi yang tidak
mereka dapat karena absennya lembaga partai politik. Kiranya
inilah yang membuat Kota Makassar menjadi satu-satunya
daerah dimana kotak kosong dapat mengungguli pasangan
calon tunggal walikota pada Pilkada Serentak 2018 ini.
Peristiwa ini rasanya perlu kita ingat baik-baik. Bahkan kalau
perlu kita harus menceritakannya turun-temurun atau
dimasukkan ke buku pelajaran sejarah. Kemenangan kotak
kosong menjadi tanda tumbuhnya kesadaran masyarakat
bahwa pilihan calon yang tersaji tak akan mampu memimpin
rakyatnya. Setidaknya secara simbolis, rakyat menyatakan
bahwa cukuplah para elit politik tua yang memimpin secara
serampangan selama ini.
Maka bolehlah kita sebut kemenangan kotak kosong ini sebagai
kemenangan demokrasi, kemenangan warga. Tapi kemenangan
ini hanyalah kemenangan kecil karena, seperti disebutkan
sebelumnya dan perlu kita ingat baik-baik, ini hanyalah
kemenangan simbolik. Semuanya tak akan berarti jika setelah
ini kita hanya berkehidupan politik seperti biasa.
Memang bukan sesuatu yang mudah untuk menghidupkan
ruang-ruang untuk demokrasi di sekitar kita. Ruang untuk
demokrasi yang dimaksud adalah sebuah wahana dimana
orang-orang dapat berkumpul dan bebas berdiskusi dan
mengkritisi suatu hal. Di dalam ruang-ruang ini kita semua
bersama-sama mendapat pendidikan demokrasi, tanpa
mengenal istilah guru atau murid.
Berkumpul dan berjejaring antar komunitas yang sama-sama
pro demokrasi juga penting kita lakukan untuk membangun
kesadaran dan kolektif yang lebih luas. Supaya demokrasi yang
bertempat di masyarakat tidak hanya berawal dan berakhir pada
satu hari pemilihan, namun di kehidupan sehari-hari kita.
Ketika sudah cukup banyak massa yang memiliki pemahaman
akan pentingnya demokrasi dan kemauan untuk mencapainya
bersama-sama maka saat itulah kita semua bisa berkata, “Sudah
cukup kami, rakyat banyak, yang diinjak di bawah permainan
elit politik. Sistem yang selama ini kita kenal sudah usang dan
terlampau korup sehingga diperlukan suatu sistem yang baru
untuk mencapai kesejahteraan semua orang tanpa terkecuali”.
Media dan Politik dalam Tinjauan Sistem Kontrol
Ismail Faruqi dan Sherin Widyasari

Tak terasa waktu merayap begitu cepat. Dalam jangka waktu


kurang dari setahun, masyarakat Indonesia akan kembali
merasakan pesta demokrasi terbesar dengan memilih presiden
(tentu sepaket dengan wakilnya) dan wakil legislatif mereka
pada Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif
(Pileg) 19 April 2019 mendatang. Tagar-tagar seperti
#2019gantipresiden dan #Jokowi2Periode makin kerap muncul
di berbagai media massa. Dunia persilatan politik Indonesia
menjadi makin menarik ketika Presiden incumbent menggaet
Ma’ruf Amin sebagai calon wakilnya dalam kontestasi Pilpres
2019 mendatang. Ma’ruf Amin yang notabene merupakan
tokoh agama Islam mampu digaet Jokowi yang selama ini
selalu diserang dengan sentimen agama. Media massa pun
tidak mau kalah dalam menyuplai konten-konten seputar
politik tanah air. Tirto.id melaporkan bahwa pada 15 Agustus
2018, jumlah berita seputar pilpres 2019 (57.94%)
mendominasi topik-topik berita lain seperti Asian Games 2018
(Tirto.id, 2018).
Frasa media massa sendiri terdiri dari 2 kata, media dan massa.
Kata ‘media’ merupakan bentuk jamak dari bahasa latin
‘medium’ yang berarti ‘sesuatu di pertengahan’. Sedangkan
kata ‘massa’ dalam frasa tersebut dapat dimaknai sebagai
sejumlah orang yang tidak berada dalam lingkup spasial yang
sama dan memiliki hanya sedikit kemungkinan untuk
berinteraksi (Lemos, 2010). Dengan kata lain media massa
adalah alat, teknologi, atau perantara yang mampu menjangkau
audiens yang luas melalui komunikasi massa. Diantara ciri dari
media massa adalah sebagai berikut (Ohiagu, 2011) :
1. Memiliki daya jangkau yang luas dalam artian mampu
menjangkau jumlah audiens yang besar
2. Memiliki kemampuan untuk memberikan informasi
pada khalayak ramai dalam waktu yang simultan
3. Pengirim informasi melalui media massa dapat
menjangkau audiens yang heterogen dan tidak dikenal
Karakteristik yang melekat pada sebuah media massa tersebut
menyebabkan media massa memiliki peran yang penting dalam
pembentukan opini publik (Tarde, 2005). Media massa sebagai
salah satu kanal informasi yang mudah diakses orang banyak
berperan dalam penyebaran informasi dan pengetahuan dalam
masyarakat yang menjadi salah satu basis dari kekuatan sosial.
Dalam skema kontrol umpan balik media massa menjadi alat
untuk mengontrol perilaku sistem sosial melalui proses
penyaringan informasi. Media massa dapat dipandang sebagai
satu subsistem dalam sistem sosial yang memainkan peran
penting dalam mengontrol ‘pengetahuan’ yang dimiliki
masyarakat dalam hal apapun termasuk soal politik elektoral
yang sedang ramai diperbincangkan di Indonesia belakangan.
Meminjam istilah dalam teori kontrol, media massa berperan
sebagai aktuator yang berperan untuk mengatur informasi yang
dikonsumsi oleh masyarakat dalam sistem sosial sehingga
memastikan nilai/opini publik sesuai dengan yang diinginkan.

Gambar 1 Ilustrasi Peran Media Massa Sebagai Pengontrol


Opini Publik dalam Skema Kontrol Umpan Balik
Sayangnya, media massa belakangan ini banyak menyoroti
tempat yang salah dalam duduk perkara menyoal politik
elektoral, utamanya soal Pilpres 2019. Alih-alih membicarakan
track record para calon, evaluasi janji politik incumbent atau
gagasan yang diusung calon (jika sudah muncul) media massa
kebanyakan justru terjerumus pada pemberitaan-pemberitaan
soal citra personal para calon belaka. Selain itu media turut pula
memproduksi, meminjam istilah dhandy laksono dalam
tulisannya (Laksono, 2018), gelembung-gelembung informasi
yang menyesatkan. Ia menjelaskan sifat bubble yang mudah
dibuat, ditiup kesana kemari, namun isinya kosong banyak
terdapat pada pemberitaan-pemberitaan media massa. Dhandy
mencontohkan bagaimana media massa gagal menangkap
masalah-masalah dibalik jargon ‘BBM satu harga’, atau tidak
mau repot menguliti soal klaim pemerintah yang menyatakan
angka kemiskinan terendah dalam sejarah Indonesia tercapai
(data statistik BPS). Soal angka kemiskinan terendah misalnya,
hanya sedikit media massa yang mau mengulik dan menguji
indikator ‘miskin’ yang ditetapkan BPS. Dalam konteks politik
elektoral sedikit sekali media massa yang mengangkat soal,
misalnya, janji politik incumbent dan sejauh apa
pencapaiannya. Jikapun ada, media massa disana hanya
berperan sebagai penerus informasi janji kampanye A
terealisasi sekian persen, janji B sekian persen. Telaah kritis
(dengan pembahasaan yang pop tentunya) dari janji janji
tersebut tidak pernah diakomodir dengan cukup.
Sebetulnya memandang suatu sistem sosial tidaklah dapat
dilakukan dengan sederhana. Kaitannya dengan tulisan ini
misalnya, adalah anggapan yang kurang pas jika memandang
media massa melulu sebagai pengontrol dari pandangan politik
dari masyarakat. Sistem sosial jauh lebih rumit dari itu.
Interaksi antara satu subsistem dengan subsistem lain tidak bisa
begitu saja diabaikan. Dalam teori kontrol dikenal sistem
MIMO (Multi Input Multi Output), sistem yang demikian
memiliki banyak variabel masukan dan luaran. Di dalamnya
terdapat banyak fungsi transfer yang saling mengcoupling satu
sama lain dan mempengaruhi luaran yang ada.

Gambar 2 Ilustrasi Sistem Multi Input Multi Output


(MIMO) (Maher Ben Hariz, Faouyzi Bouani, 2017)
Gambar diatas merupakan contoh sederhana dari sistem MIMO
dengan dua masukan U1 dan U2 serta dua luaran Y1 dan Y2.
Fungsi transfer direpresentasikan dengan G(s). G11(s) berarti
masukan 1 memiliki pengaruh terhadap luaran 1, G12(s) berarti
masukan 1 memiliki pengaruh terhadap luaran 2 dan
seterusnya. Bayangkan betapa rumitnya jika suatu sistem
memiliki 3, 4, atau 10 subsistem yang saling mempengaruhi.
Apalagi, dalam sistem sosial interaksi antar subsistem dapat
berlangsung lebih tidak teratur dan memiliki ketidakpastian
yang tinggi akibat variabel manusia yang ada didalamnya.
Media massa sebagai salah satu subsistem dalam sistem sosial
tentu juga mendapat pengaruh dari subsistem lainnya.
Misalnya, soal konten yang ditelurkan media massa, juga amat
dipengaruhi oleh karakteristik masyarakat yang ada. Media
massa bukan pahlawan yang secara serta merta rela melakukan
kerja-kerja intelektual demi menghasilkan konten berbobot.
Perlu penyesuaian-penyesuaian yang membuat konten dari
media massa dapat diterima di masyarakat agar media massa
tersebut dapat terus berjalan. Sebetulnya hal tersebut menjadi
sebuah siklus atau lingkaran setan yang memaksa media massa
untuk memproduksi konten-konten yang digemari masyarakat
terlepas dari kualitas kontennya. Masyarakat pun tidak akan
berjalan kemana-mana karena suplai informasi dari media
massa yang begitu-begitu saja.
Maka tidak mengherankan jika media massa seperti Koran dan
televisi justru menyajikan konten-konten yang memiliki nilai
entertainmen atau hiburan dalam pemberitaan politik,
seringkali talkshow maupun dialog mengenai seorang politisi
diselipi unsur hiburan seperti binatang peliharaan, lip balm
yang biasa digunakan, baju yang dikenakan, atau bahkan kisah
cinta politisi tersebut. Hal-hal seperti ini biasanya banyak
muncul di infotainment, dan yang diberitakanpun biasanya
selebriti, bukan politisi. Fenomena yang memadukan antara
politik dan entertainment seperti ini biasa disebut politainment,
politik entertainment.
Menurut Justus Nieland (Neiland, 2008), politainment bekerja
melalui dua proses yang saling berhubungan. Proses yang
pertama adalah hiburan politik , proses ini terjadi ketika media
mengemas momen-momen yang bersifat politis menjadi
konten yang menghibur. Drama Setya Novanto mulai terbaring
di Rumah Sakit, tragedi menabrak tiang listrik yang
menyebabkan benjolan di kepala sebesar bakpao, hingga
parfum Victoria secret dan Pucelle yang ditemukan di kamar
palsunya di lapas Sukamiskin yang telah menjadi guyonan di
masyarakat dapat menjadi contoh yang tepat untuk memahami
proses ini.
Proses yang kedua adalah politik yang menghibur, proses ini
merujuk pada bagaimana politisi menggunakan strategi
hiburan dalam mengkampanyekan pesan dan mendongkrak
popularitas mereka di media, yang biasanya sejalan dengan
kesan dan citra yang ingin mereka bangun. Contohnya iklan-
iklan politik menjelang pemilihan, hadirnya politisi ke acara-
acara tertentu di tengah masyarakat yang biasanya sejalan
dengan citra yang ingin mereka bangun.
Politainment sekilas memang tampak menguntungkan,
persentuhan antara politik dan entertainment menjadikan
politik tidak lagi terasa kaku dan berat, karena telah dikemas
dengan santai dan penuh drama. Namun, hal ini justru membuat
kita menjadi lebih fokus kepada informasi privat dan citra yang
ditampilkan seorang politisi kapablitas atupun kebijakan yang
dilakukan. Politainment telah membuat pandangan kita
teralihkan dari isu-isu yang lebih penting untuk dibahas.
Pada medium internet persoalannya bertambah dari sekedar
politainment belaka. Pada media daring dikenal istilah trafik,
sederhananya trafik adalah soal seberapa banyak orang yang
mengakses konten berita dan cerita yang tayang di media
daring. Trafik juga merupakan suatu daya tarik untuk
mendapatkan iklan dan acapkali dijadikan tujuan pragmatis
dalam membuat konten berita. Dalam media daring seringkali
jurnalis tidak mempunyai atau diberi cukup waktu untuk
memproduksi suatu berita layaknya media konvensional
seperti surat kabar, sehingga tak jarang sebagian media daring
mengeluarkan konten asal-asalan, demi trafik yang tinggi.
Ditambah lagi dengan derasnya arus infromasi seperti sekarang
ini menyebabkan media massa daring semakin berpacu dengan
waktu untuk menerbitkan suatu berita, karena banyak berita
lain yang menunggu untuk diproses. Demi kuantitas, kualitas
suatu beritapun seringkali dikorbankan.
Apalagi, media massa juga rawan akan bias politik. Fakta
bahwa media massa arus utama di Indonesia dikuasai elit
politik elektoral membuat media massa sulit mengeluarkan
pandangan-pandangan objektif tentang suatu peristiwa,
utamanya apabila menyangkut urusan politik pemiliknya.
Jelas kita sudah tidak dapat berharap pada media massa arus
utama untuk membikin konten-konten yang cerdas. Namun
beruntungnya, berkat perkembangan teknologi, tren
penyebaran informasi dalam masyarakat turut bergeser. Cara
penyebaran informasi satu pintu melalui media massa kian
tidak relevan di zaman digital. Semua orang dapat dengan
mudah mencari informasi pada mesin pencarian dan
membagikannya kembali. Pada era post-mass media seperti
sekarang tiap orang dapat menjadi ‘media massa’ itu sendiri
dan menyebabkan pola persebaran informasi berubah bentuk
dari ‘one for all’ menjadi ‘all for all’. Hal tersebut
memungkinkan bertambahnya variasi informasi yang diterima
oleh suatu individu. Sayangnya, banyaknya informasi yang
masuk tanpa dibarengi dengan kemampuan menyeleksinya
tidak akan membantu dalam melihat suatu permasalahan
dengan lebih objektif. Apalagi jika konten yang masuk
didominasi gelembung-gelembung kosong yang rawan
menyesatkan.
Disitulah celah bagi para pegiat media massa independen atau
individu yang sudah sadar akan hal tersebut untuk dapat
melakukan kerja-kerja jurnalisme yang mampu membantu
masyarakat dalam memahami informasi dengan lebih baik.
Setidaknya ada 3 poin penting untuk menuju kesana. Pertama
kerja jurnalisme harus selalu dibarengi dengan data, atau istilah
lazimnya jurnalisme data. Dalam urusan data, pemeriksaan
terhadap kesahihan metode pengambilan serta pengolahannya
perlu diteliti lebih dalam. Kedua, data-data tersebut harus
didudukkan dalam konteks yang pas—bukan sekadar pajangan
agar terlihat kredibel-- sehingga dapat memberikan informasi
yang sesuai. Dan terakhir adalah pembahasaan. Seringkali
konten yang berbobot akan sulit diterima dan dimengerti oleh
masyarakat. Penulisan konten konten tersebut dengan bahasa
yang lebih pop akan sangat membantu keberterimaan
informasi. Apalagi jika dibantu dengan karya visual seperti
infografis. Dengan demikian kerja jurnalisme yang sudah apik
disusun akan mudah diterima masyarakat luas.
Semakin dekat dengan tahun politik kita mesti menginsafi
bahwa pilihan politik masyarakat Indonesia akan sangat
bergantung pada informasi yang diterima. Disitulah seharusnya
kita melihat urgensi dari kerja jurnalisme yang mengandung
ketiga unsur diatas selain untuk tujuan jangka panjang dalam
rangka meningkatkan pemahaman masyarakat akan suatu isu.
Maka, pada setiap pegiat kerja jurnalisme kami ucapkan
selamat bekerja! Semoga selamat sampai tujuan!

Referensi
Laksono, D. (2018, Juli 28). Remotivi. Retrieved from
Remotivi:
http://www.remotivi.or.id/amatan/479/Media-dan-
Gelembung-Citra-Jokowi
Lemos, A. (2010). Post–Mass Media Functions, Locative
Media, and Informational Territories: New Ways of
Thinking About Territory, Place, and Mobility in
Contemporary Society. Space and Culture (pp. 403-
420). SagePub.
Maher Ben Hariz, Faouyzi Bouani. (2017). Robust Fixed
Low-Order Controller for Uncertain Decoupled
MIMO Systems. Journal of Dynamic Systems,
Measurement, and Control.
Neiland, J. (2008). Feeling Modern: The Eccentricities of
Publik Life. Chicago: University of Illinois Press.
Ohiagu, O. (2011). The Internet: The Medium of the Mass
Media. Kiabara, 225-232.
Tarde, G. d. (2005). A opinião e as massas [The opinion and
the masses]. Sao Paulo: Martins Fontes.
Tirto.id. (2018, Agustus 15). Retrieved from Tirto.id:
https://tirto.id/

Anda mungkin juga menyukai