Anda di halaman 1dari 4

Timor Timur merupakan sebuah wilayah bekas koloni Portugis yang dianeksasi oleh militer Indonesia

menjadi sebuah provinsi di Indonesia antara 17 Juli 1976 sampai resminya pada 19 Oktober 1999. Kala
itu provinsi ini merupakan provinsi Indonesia yang ke-27. Timor Timur berintegrasi dengan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah dijajah selama 450 tahun oleh Portugal. Wilayah provinsi ini
meliputi bagian timur pulau Timor, pulau Kambing atau Atauro, pulau Jaco dan sebuah eksklave di Timor
Barat yang dikelilingi oleh provinsi Nusa Tenggara Timur.

Proses Integrasi

Berawal dari keinginan sebuah partai politik yaitu APODETI bersama UDT yang ingin berintegrasi dengan
Indonesia pada 28 November 1975, ABRI melakukan invasi militer ke Timor Timur pada 7 Desember
1975. Selama masa invasi, massa penolak integrasi (FRETILIN) dibantai oleh pasukan ABRI, sedangkan
anak-anaknya dibawa ke Indonesia untuk diasuh oleh keluarga militer Indonesia. Setelah berhasil
ditaklukkan, koalisi APODETI-UDT membentuk Pemerintah Sementara Timor Timur dengan Arnaldo dos
Reis Araújo sebagai ketuanya. Masyarakat merasa ingin bersatu dengan Indonesia karena persamaan
budaya dengan saudara serumpunnya, Timor Barat. Bahkan pada saat Presiden Soeharto menghadiri
peringatan 2 tahun Integrasi Timtim di Gedung DPRD Tingkat I Timor Timur, ia mengatakan bahwa Timor
Timur adalah 'anak yang hilang dan telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi'.

Proses Integrasi di Timor-Timur ke Dalam Wilayah Republik Indonesia

Sampai tahun 1975 Timor Timur merupakan jajahan Portugal. Kudeta militer yang dikenal sebagai
Revolusi Bunga di Portugal terjadi pada 25 April 1974 telah mengantarkan Jenderal Antonio de Spinola ke
tampuk kekuasaan sebagai Presiden Portugal. Pasca kudeta tersebut memunculkan kehidupan politik
yang lebih demokratis di Portugal.

Sejak 1974 sebenarnya penduduk Timor Timur telah diberi kesempatan untuk membentuk partai politik.
Maka sejak Mei 1974 berdirilah beberapa organisasi politik di Timor Timur, seperti:

a. Associacao Social Democratica Timorense (ASDT) yang kemudian berubah menjadi Frente
Revolucionaria de Timor Leste Independente (Fretilin),

b. Uniao Democratica Timorense (UDT),

c. Asscociacao Popular Democratica de Timor (Apodeti),

d. Klibun Oan Timor Aswain (KOTA),


e. Trabalhista.

f. Asscociacao Integracao Timor Indonesia (AITI),

g. Associacao Democratica Integracao Timor Leste Australia (ADITLA),

Setiap partai politik ini membawa ideologi politik serta tujuan yang berbeda bagi masa depan Timor
Timur. Pemerintah Portugal (Portugis) pun sebenarnya sudah mempersiapkan proses dekolonisasi bagi
Timor Timur. Berkaitan dengan hal tersebut, pada 17 Oktober 1974 di Jakarta dilangsungkan
pembicaraan antara Menteri Seberang Lautan Portugal Dr. Antonio de Almeida Santos dengan
pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri Luar negeri Adam Malik. Sebelum pertemuan Jakarta
tersebut, pada 31 Agustus 1974 Ketua Partai Apodeti, menyatakan bahwa partainya telah mengusulkan
agar Timor Timur menjadi provinsi bagian dari Indonesia.

Pada 9 Maret 1975 Menteri Seberang Lautan Portugal dengan Menlu Indonesia bertemu kembali di
London yang merupakan pertemuan lanjutan. Dalam pertemuan itu, Pemerintah Portugal masih
beranggapan bahwa apabila rakyat Timor Timur memilih untuk bergabung dengan Indonesia hal ini
merupakan yang masuk akal.

Perundingan menentukan status Timor Timur sedang berlangsung, pecah konflik horisontal antar
kelompok di TimorTimu UDT dan Fretilin berkoalisi untuk melawan Apodeti yang ingin bergabung
dengan Indonesia. Konflik pun berkembang, UDT tidak lagi sejalan dengan Fretilin. Maka sejak Agustus
1975 pecahlah perang saudara terjadi di Timor Timur, dimulai di kota Dili.

Perang saudara tersebut berkembang setelah melibatkan tentara dan amunisi Portugal. Rakyat menjadi
korban, Penduduk dibiarkan terjebak dalam perang saudara, dan ribuan orang menjadi korban atau
terpaksa melakukan pengungsian. Fretilin berhasil menduduki kota Dili, dan memproklamasikan
kemerdekaan Timor Timur dan berdirinya sebuah Republik Demokrasi Timor Timur di koloni Portugis
tersebut pada 28 November 1975. Namun, proklamasi itu tidak mendapat dukungan baik dari kelompok
lain di dalam masyarakat Timor Timur maupun dari dunia internasional.

Pada 30 November 1975 UDT, Apodeti, KOTA, dan Trabalista menyampaikan proklamasi tandingan di
Balibo. Deklarasi Balibo ini menyatakan keinginan Timor Timur untuk berintegrasi dengan Republik
Indonesia.

Konflik bersenjata di Timor Timur merupakan bagian integral dari Perang Dingin antara faham sosialis
komunis dan faham demokrasi liberal. Fretilin yang berhaluan komunis dikhawatirkan ol.eh pihak Barat
akan menjadi basis komunis di Asia Tenggara tepat di muka Australia. Hal tersebut menyebabkan pihak
Barat mendorong Indonesia untuk terlibat dalam konflik tersebut secara aktif. Maka melalui operasi
tempur Seroja, kota Dili berhasil diduduki kelompok pendukung integrasi yang dibantu militer RI pada
tanggal 7 Desember 1975. Para pendukung Fretilin terdesak ke daerah pinggiran dan ke daerah-daerah
pegunungan yang terpencil, dan tetap meneruskan perlawanan menentang integrasi Timor Timur
dengan Indonesia melalui berbagai gangguan keamanan.

Pada 17 Desember 1975 Pemerintahan sementara dibentuk di bawah pimpinan oleh Arnaldo dos Reis
Araujo. Pada Mei 1976 para anggota DPRD Timor Timur secara resmi menerima Petisi Integrasi Timor
Timur dengan Republik Indonesia dari Masyarakat Timor Timur sebagai wlayah yang menjadi satu
dengan Republik Indonesia. Integrasi Timor Timur ke dalam wilayah Republik Indonesia diajukan secara
resmi pada 29 Juni 1976. Sebuah rancangan undang-undang kemudian diajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia dan Timor Timur secara resmi menjadi sebuah provinsi dari
Republik Indonesia setelah UU No. 7 tahun 1976 disahkan oleh DPR pada 17 Juli 1976. Ketentuan ini
kemudian diperkuat oleh MPR melalui Ketetapan No. VI/MPR/1978 tanggal 22 Maret 1978.

Operasi tempur yang dilancarkan TNI di Timor Timur berlangsung sampai tahun 1986. Semenjak tahun
tersebut, TNI merubah strategi dalam mengatasi gangguan keamanan dengan menggelar operasi
teritorial (Opster). Operasi ini lebih bergerak pada bidang layanan sosial, pendidikan dan kesehatan.
Namun seiring dengan berakhirnya Perang Dingin, maka pihak Barat pun tidak melihat adanya
kepentingan strategis yang berkaitan dengan penguasaan Indonesia atas Timor Timur. Selain itu tokoh
Timor-Timur di pengasingan seperti Ramos Horta dkk yang dengan gigih selalu memunculkan isu
pelanggaran HAM yang dialami oleh masyarakat Timor Timur oleh Pemerntah Indonesia.

Lengsernya Suharto dari jabatan kepresidenan, dan digantikan oleh Habibie membawa warna tersendiri
pada penyelesaian masalah Timor Timur. Terutama ketika Presiden Habibie pada tanggal 27 anuari 1999
menawarkan opsi otonomi khusus kepada Timor Timur di dalam NKRI, atau merdeka lepas dari NKRI.

Setelah serangkaian perundingan yang dilakukan dengan disponsori PBB yang dilengpkapi dengan
berbagai resolusinya, Dewan Keamanan PBB membentuk sebuah misi perdamaian untuk Timor Timur
atau United Nation Mission for East Timor (UNAMET) pada 11 Juni 1999. Misi PBB ini bertugas untuk
menggelar jajak pendapat bagi warga Timor Timur, baik yang berada di dalam maupun di luar Timor
Timur.

Jajak pendapat pun dapat diselenggarakan pada 30 Agustus 1999, dan hasilnya diumumkan Sekjen PBB
Kofi Annan pada 4 September 1999. Sebanyak 78,5 % suara menginginkan merdeka lepas dari NKRI,
sedangkan 21,5% suara prointegrasi. Hasil jajak pendapat ini menimbulkan konflik horisontal yang
mengerikan antara pihak prontegrasi dan prokemerdekaan. Hal itu mengakibatkan terjadi kembali
jatuhnya korban jiwa dan gelombang pengungsian besar-besaran. Namun beberapa di antaranya ada
hal-hal yang terlalu dibesar-besarkan oleh pers Barat. Untuk mengatasi hal tersebut, sejak 20 September
1999 Dewan Keamanan PBB menugaskan International Force for East Timor (Interfet) yang dipimpin oleh
Australia untuk menciptakan keamanan dan penegakan hukum di Timor Timur.

Pada 19 Oktober 1999 melalui rapat paripurna ke-12 Sidang Umum MPR berdasarkan Ketetapan MPR
No. V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur menetapkan status kemerdekaan bagi
rakyat Timor Timur lepas dari Negara Republik Indonesia secara resmi. Dunia internasional menganggap
masalah Timor Timur telah selesai pada 17 Desember 1999, pada sidang ke-54 Majelis Umum PBB di
New York. Dalam sidang tersebut secara bulat diputuskan menerima resolusi yang diajukan Indonesia
dan Portugal untuk menghapus masalah Timor Timur dari agenda PBB.

Anda mungkin juga menyukai