PENDAHULUAN
kehidupan masyarakat ilmiah. Hal ini juga berlaku bagi ilmu hukum yang selalu
ini diperlukan suatu cara berpikir yang filsafati untuk mengenal lebih jauh esensi
dari hukum itu yang pada gilirannya dapat digunakan utnuk mengembangkan ilmu
hukum yang telah ada. Dalam prakteknya orang hanya menganggap hukum itu
mengikat terhadap seluruh masyarakat dan mempunyai ciri khusus berupa adanya
sanksi kepada orang yang melanggarnya (hukum positif). Di lain pihak filsafat
tidak hanya melihat hukum sebagai hukum positif saja, akan tetapi juga meliputi
hukum dalam arti inabstrakto, hukum dalam arti inkonkreto, living law, dan
hukum dalam arti keseutuhan. Dengan demikian dapat dilihat bahwa pandangan
filsaafat terhadap hukum tidak hanya satu sisi saja, tetapi sangat mendalam dan
dahulu pengertian dari filsafat itu sendiri. Filsafat bukanlah sesuatu yang mudah
untuk didefinisikan. Oleh karena itu setiap orang dapat mempunyai definisi yang
“Apakah filsafat itu, baru dapat dikatakan pada akhirnya; tidak pada
permulaan seperti barang kali diharapkan oleh seorang pemula.....satu-
satunya kemungkinan agar kita merasa dekat dengannya adalah bahwa kita
dengan keberanian cukup memasukinya.1
secara benar dan utuh kita diharuskan untuk memasukinya dalam arti
mengalami dengan cara berfilsafat itu sendiri. Sebab dengan membaca buku-
buku filsafat belumlah berarti bahwa kita sudah mengerti benar apa hakikat
membaca buku cerita silat tetapi jika disuruh melakukannya (bersilat) belum
tentu bisa. Berikut ini akan diberikan beberapa pengertian filsafat menurut
1. Menurut logatnya
“falsafah”. Akan tetapi jika ditelusuri kata falsafah itu sendiri merupakan kata
merupakan rangkaian kata yang terpisah pada mulanya, yaitu terdiri dari kata
“philo” dan “sophia”. Philo artinya cinta, sedangkan sophia artinya hikmah.
Dengan demikian philosophia artinya cinta akan hikmah, dan filsuf itu sendiri
merupakan orang yang mencintai hikmah dan karena itu berusaha untuk
kecakapan.
berpikir”. Jadi dapat disimpulkan bahwa berfilsafat itu adalah “berpikir”. 3 Namun
apakah yang dimaksud dengan berpikir dalam arti “berfilsafat”, apakah berpikir di
sini sama dengan kebanyakan orang berpikir atau setiap orang berpikir. Dalam hal
ini berpikir dalam arti “berfilsafat” pada dasarnya tidak sama dengan berpikir
pada umunya.
berfikir kefilsafatan sangat ketat, sehingga tidak ada satupun yang luput dari
pikirannya. Oleh karena itu wajarlah jika seorang filsuf memandang penjara
bukan suatu nestapa, melainkan taman firdaus pikiran. Filsafat itu merupakan
lain. Filsafat juga merupakan grundwissenchaft, yaitu ilmu dasar, yang hendak
menentukan kesatuan manusia dengan jalan menunjukkan dasar akhir yang sama
dan memikul sekaliannya.5 Kalau diteliti dari sejarah filsafat Yunani, maka dapat
diketahui bahwa filsafat merupakan induk dari ilmu pengetahuan. Dalam hal ini
orang harus berpikir secara filsafat, khususnya filsafat ilmu. Tujuan filsafat ialah
semuanya itu di dalam bentuk sistematis. Akhirnya filsafat dapat membawa kita
kepada pemahaman, dan pemahaman akan membawa kita kepada tindakan yang
lebih layak.6
FILSAFAT ILMU”
b. Rumusan Masalah
5
Sutan Takdir Alisyahbana, Pembimbing Kefilsafatan Fisika, Dian Rakyat, Jakarta, 1977, hal. 2.
6
Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, Dasar-dasar Filsafat Suatu Pengantar Kefilsafat Hukum,
Akademika Pressindo, Jakarta, 1992, hal. 15.
4
Adapun rumusan masalah yang penulis ambil adalah sebagai berikut :
BAB II
PEMBAHASAN
Ilmu hukum adalah ilmu tentang hukum. Objeknya ialah hukum. Ilmu
hukum dilihat sebagai konsep ilmu juga melekat pada ilmu hukum. Ilmu
hukum dilihat sebagai konsep ilmu dalam ilmu-ilmu alam maka dalam hukum
sama seperti ilmu-ilmu lainnya. Tetapi, jika konsep ilmu dalam ilmu hukum
dipandang sebagai konsep yang khas yang berbeda dalam konsep ilmu pada
ilmu-ilmu alam.
5
Apabila ilmu hukum dipandang sebagai suatu ilmu yang khas yang
bukan ilmu sosial maka ilmu hukum dapat dikategorikan sebagai ilmu tentang
kaidah. Dalam hal ini pandangan Hans Kelsen mewarnai sifat lmu hukum
seperti itu. Teori Hans Kelsen disebut Reine Rechtlehre atau The Pure Theory
of Law atau teori murni tentang hukum. Pandangan ini ingin melepaskan
hukum di masyarakat. Berbagai aspek dari hukum yang ingin kita ketahui
7
Sugijanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar Maju, Bandung,
1998, hal. 19.
8
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 7.
6
sosiologi hukum, perbandingan hukum dan pelajaran hukum umum sebagai
cabang-cabang ilmu hukum bantu dari ilmu hukum positif. Sedangkan dalam
ilmu hukum panduan mahasiswa susunan JB. Dalio, S.H. cs. berjudul
jenis-jenis ilmu hukum ke dalam ilmu hukum dogmatik dan ilmu hukum
empiris.9
Malahan dalam buku panduan dimasukkan juga politik hukum dan filsafat
hukum. Jadi, dapat dikatakan bahwa konsep ilmu dalam ilmu hukum yang
banyak dianut ialah konsep ilmu dalam arti luas, sebagai salinan atau
9
Sugijanto Darmadi, op. cit., hal. 20.
10
Ibid.
11
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1988, hal. 33.
7
Di lain pihak menurut C.A. Von Peursen filsafat ilmu adalah suatu
perpanjangan dari ilmu pengetahuan. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan
bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam
atau ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang filsafat yang bersifat otonom.
terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial,
terjadi gejala relatifitas dalam batas-batas antara ilmu dan filsafat. Walaupun
demikian adanya batas-batas itu masih begitu kuat. Para ahli masih membedakan
batas-batas ilmu dan filsafat. Ilmu dan filsafat masih memiliki otonomi dan batas-
batasnya masih dapat ditarik. Dalam hal ini antara ilmu dan filsafat masih ada
beberapa hal yang memisahkan. Masih ada otonomi antara ilmu dan filsafat yang
12
Von Peursen, C.A., Susunan Ilmu Pengetahuan, Gramedia, Jakarta, 1985, hal. 79.
13
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral Sosial dan Politik, Gramedia, Jakarta,
1986, hal. 301.
8
Prinsip ilmu adalah sebuah fundamental dan kebenaran universal yang
lengket di dalam ilmu, yang pada akhirnya memberi jawaban tentang keberadaan
ilmu.14 Dalam artian filsafat ilmu sebagai suatu cabang ilmu filsafat, fungsi dan
peranannya sebagai dasar dan arah penggalian serta pengembangan ilmu dengan
berbagai implikasinya.
seorang ilmuan kiranya tidak akan lagi sekedar hanyut dalam “biduk tradisi” ilmu.
Ia akan lebih siap untuk tidak memandang ilmu sebagai barang jadi, sebagai
pemahaman akan kendalanya.15 Filsafat ilmu yang kini semakin disadari oleh
masyarakat kita akan penting mutlaknya untuk diajarkan tidak saja ditingkat S1
melainkan juga program pasca sarjana, adalah suatu cabang filsafat yang sudah
lama dikenal dan dikembangkan di dunia barat semenjak abad ke-18, dengan
14
Ibid.
15
Ibid., hal. 303.
16
Koento Wibisono Siswamihardjo, Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai
Kelahiran dan Perkembangannya Sebagai Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu, Makalah ini
disajikan pada internship dosen-dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se-Indonesia, Yogyakarta,
tanggal 22 - 29 Agustus 1999, hal. 11.
9
memperdalam refleksinya dan agar semakin menangkap nuansa-nuansa
masalahnya, maka seorang ilmuwan tidak boleh menghindari dari diskusi tentang
ilmu dimasa lalu atau kini. Paham-paham filsafat tentang ilmu, katakanlah dari
Hundberg, Znaniecki, dan lain sebagainya dapat berfungsi sebagai pembuka mata.
sosial yang terpikul dibahunya, bukan saja karena dia adalah warga masyarakat
penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup
keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk
1. Ontologi
Ontologi ilmu, meliputi apa hakekat ilmu, apa hakekat kebenaran dan
kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari
persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang) “ada” itu (being, sein, het,
zijn) faham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spritualisme, dan
17
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral Sosial dan Politik, loc. cit.
10
faham ontologi yang pada akhirnya akan menentukan pendapat bahkan
nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Seperti
ilmiah.19 Semua permasalahan ini telah menjadi bahan kajian dari ahli-ahli filsafat
sejak dahulu kala. Tersedia segudang filsafat dalam menjawabnya. Kita bisa setuju
dengan mereka dan kita pun bisa tidak setuju dengan mereka, kita juga boleh
2. Epistemologi
dalam menentukan sarana yang akan dipilih. Akal (vestanda), akal budi
18
Koento Wibisono Siswamihardjo, op. cit., hal. 11 - 12.
19
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, op. cit., hal. 234.
11
model-model epistemologi seperti rasionalisme, empirisme, kristisme, atau
Ilmu sebagai alat, tanpa agama sebagai kompas, tidaklah akan membawa
membawa malapetaka dan kesengsaraan. Dipihak lain, agama tanpa ilmu, tujuan
yang mulia tanpa peralatan untuk mewujudkan, akan tetap merupakan utopia dan
diatur dan disusun. Diharapkan, bahwa apa yang tadinya sudah diketahui secara
umum, dalam ilmu pengetahuan akan diketahui dengan lebih masuk akal. Jika
semakin nampaknya suatu susunan menyeluruh yang bersifat abstrak. Proses ini
menjadi jelas dalam upaya setiap ilmu untuk menyusun beberapa modal. Modal
itu dimaksud sebagai penghadiran kembali yang padat dan ringkas dari apa yang
3. Aksiologi
dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial,
kawasan simbolik, ataupun dunia materil. Lebih dari nilai-nilai juga ditujukan
20
Koento Wibisono Siswomihardjo, op. cit., hal. 12.
12
oleh aksiologi ini sebagai suatu Conditio Sine Quano yang wajib dipatuhi dalam
dari objek permasalahan yang sedang menjadi pusat perhatian. Bertrand Russell
Memang kita harus bangga dengan julukan kita selaku manusia : Homo
Sapiens, makhluk yang berpikir. Segera terbayang di benak kita, makhluk yang
Sigmund Freud yang menyadarkan kita bahwa manusia itu bukan saja pandai
sebagai tujuan akhir mau tidak mau akan mempengaruhi pandangan moral.
Kebenaran berfungsi bukan saja sebagai jalan pikirannya namun seluruh jalan
21
Ibid.
22
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, op. cit., hal. 241.
23
Ibid., hal. 243.
13
hidupnya.Kenetralan dalam proses penemuan kebenaran ialah yang mengharuskan
maka dalam hal ini ilmuwan wajib bersikap dan tampil ke depan.24 Orang
intelektual adalah orang yang kritis. Ia meneliti latar belakang sebuah kejadian, ia
dampak sosial hasil-hasil penelitian ilmiah dan keputusan politik. Khas bagi orang
intelektual adalah sikap skeptis terhadap otoritas tradisional, norma dan lembaga
mengkaji hukum, yaitu hukum dalam arti inabstracto, hukum dalam arti
peraturan tertulis dan dibuat oleh negara, seperti Undang-undang atau Peraturan
24
Ibid., hal. 252.
25
Franz Magnis - Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik Butir-butir Pemikiran Kritis, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hal. 62.
26
Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, op. cit., hal. 53.
14
pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan lain-lain.
bersifat mengatur dalam arti bagaimana tingkah laku seharusnya. Oleh karena itu
pengertian hukum dalam arti tersebut di atas sangat mudah ditemukan, terutama
karena sifatnya yang tertulis.27 Walaupun demikian adanya, tetapi kadang kala
semua itu akhirnya hukum dirasakan hanya paksaan yang datang dari
sebagian atau seluruhnya tanpa hak dengan maksud untuk memiliki (pencurian),
atau dilarang mendirikan bangunan di sepanjang jalur hijau. Jadi hukum di sini
sering diidentikkan dengan hukum positif, yaitu hukum yang berlaku pada suatu
waktu di suatu tempat. Dari uraian di atas nampaklah bahwa tinjauan yang
digunakan untuk mengerti hukum terlalu sepihak, karena titik berat tinjauannya
hanya terbatas pada pengertian hukum sebagai kaidah yang bersifat seharusnya
disinggung. Jika kita pinjam istilah John Austin (1790 - 1859) yang membedakan
Law property so called atau hukum positif di sini menurut John Austin
1) Perintah (command)
2) Ancaman hukuman/sanksi (sanction)
3) Kewajiban (duty)
4) Kedaulatan (soverignity)
Jadi pengertian hukum di sini hanya diartikan limitatif tidak universal, karena
terbatas atau dibatasi oleh perintah kedaulatan dari sang penguasa (political
sperior
Hukum dalam artian ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pengertian
Cuma ada perbedaan di antara keduanya, jika yang pertama bersifat normatif,
abstrak dan unpersonal maka yang kedua bersifat konkret dan umumnya juga
individual dan kasuistis. Dengan kata lain, bahwa adanya hukum dalam artian
28
Ibid., hal. 71.
16
khususnya Pasal 362. Tetapi secara tidak langsung iapun merupakan pembentuk
hukum yang mendapatkan delegasi kewenangan dari aturan hukum yang lebih
tinggi terhadap hal-hal yang konkret. Walaupun demikian adanya wewenang yang
oleh hal-hal yang bersifat kasuistis dan konkret. Dengan demikian badan yang
berwenang hanya dapat membentuk satu aturan hukum inkonkreto, terhadap suatu
3. Hukum In Realita
oleh masyarakat, maka sebaliknya hukum dalam arti yang hidup di tengah
wujud konkret dari hukum dalam artian ini nampaknya sulit karena tidak tertulis
atau tersistematisir dalam satu kodifikasi seperti UU No. 5 Th. 1960 atau yang
lainnya. Hukum dalam artian ini atau law is it umumnya tumbuh dan berkembang
tidak sesuai dengan dengan hukum dalam arti inabstrakto atau kaidah bertingkah
17
laku yang seharusnya.29 Jadi dapatlah dikatakan bahwa hukum in realita bukan
hukum yang dibentuk oleh kekuasaan baik dalam arti negara maupun lainnya,
namun sumber sejati dari hukum itu terletak jauh di dalam jiwa manusia yang
secara naluri mempunyai kesadaran yang benar dan patut. Dengan demikian,
sulitlah bagi kita untuk mengerti hukum dalam arti kenyataan ini tanpa kita
mengenal lingkungan sosial dimana hukum itu berada, sebab hukum sangat
tergantung pada apa yang secara populer telah diterima masyarakat di mana setiap
nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan dijunjung tinggi oleh
masyarakat.
Apakah hukum itu, kiranya kita tidak dapat hanya membaca pengertian
hanya dari satu sisi saja, sebab hukum itu terlalu luas ruang cakupannya sehingga
Apalagi jika kembali pada hakikat alam semesta yang merupakan sesuatu yang
teratur dalam arti segalanya selalu berada pada jalurnya masing-masing sebagai
satu kesatuan tata surya. Manusia sebagai bagian dari alam semesta merupakan
subsistem dan sistem itu sendiri, di samping itu di dalam kedudukannya sebagai
makhluk individu dan sosial manusia tidak akan pernah terlepas dari manusia
lainnya, dalam arti bahwa manusia secara naluri tidak bisa hidup sendiri, oleh
29
Ibid., hal. 72.
18
karena itu ia sangat membutuhkan orang lain. Maksudnya ia akan melakukan
interaksi sosial, dalam interaksi sosial inilah supaya tidak terjadi konflik
dibutuhkan pedoman.
tadi, maka hukum yang merupakan subsistem dari sistem yang ada harus ditinjau
bukan dari satu sisi saja melainkan harus dari banyak wajah. Artinya baik dari segi
kebutuhan yang nyata dari masyarakat yang aneka ragam dengan kehidupan yang
hukum tidak dianggap sebagai perintah penguasa terhadap mereka yang dikuasai
saja, tetapi lebih dirasakan sebagai instrumen hidup, penggerak dan pengayom
penguasa yang bersifat abstrak dan unpersonal (huukm dalam arti inabstrakto)
(hukum inkonkreto), tetapi juga nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang
merupakan ukuran tingkah laku operasional (law as it is). Jadi pengertian hukum
yang utuh adalah sebagai ketentuan yang ditetapkan penguasa (negara) melalui
dalam masyarakat. Hal ini tidak berarti tidak ada lagi kesenjangan hukum sebagai
ketentuan yang seharusnya dengan hukum yang nyata hidup dalam masyarakat.
sebab yang pertama dari tujuan akhir segala sesuatu yang ada. Gejolak atau
mempertanyakan hal-hal yang paling sukar, sejalan dengan tingkah laku dan
perbuatannya. Menurut Auguste Comte, tahap teologi ini tidak akan muncul
begitu saja, melainkan didahului pula oleh suatu perkembangan secara bertahap,
rahasia-rahasia alam yang serba keramat itu. Suatu masyarakat yang juga dikuasai
oleh mite-mite.31 Pada bentuk monoteisme, tahap teologi atau fiktif akan datang
pada saat keakhirannya, suatu saat yang menurut Auguste Comte digambarkan
sebagai saat klasik, atau tahap kuno yang ditandai dengan bentuk masyarakat yang
diatur oleh para raja dan para rohaniawan, di atas susunan masyarakat yang
bersifat militer.32
tidak berbeda dengan apa yang dilakukan dalam tahap teologi, namun di sini
manusia sudah mampu melepaskan diri dari kekuatan yang adikodrati, dan beralih
sampai pada bentuk politeisme saja sehingga banyak di antara kita mengira bahwa
tahap metafisik ini sama tuanya dengan tahap teologi. Menurut Auguste Comte
31
Koento Wibisono Siswomihardjo, op. cit., hal. 13.
32
Ibid.
21
selanjutnya, dalam sejarah kehidupan manusia, apa yang dimaksud dengan tahap
metafisik, adalah tahap ketika umat manusia datang pada jaman pertengahan dan
renaissance. Apabila pada tahap teologi, kesatuan keluarga merupakan unsur yang
negaralah yang merupakan dasarnya. Rezim yang lama menjadi mundur karena
tampilnya kritisisme yang radikal.33 Perkembangan yang lebih lanjut akhirnya akal
beradaptasi tadi manusia mampu pula menerangkan hakekat atau substansi dari
segala sesuatu yang ada Inti filsafati sejarah Hegel adalah bahwa ia memahami
perhatiannya pada agama Kristen). Bagi Hegel inti munculnya agama Kristiani
mengakui bahwa dalam hal iman setiap orang Kristen berhak membentuk
penilaian sendiri, setiap orang adalah bebas untuk membaca kitab suci sendiri dan
33
Ibid., hal. 14.
34
Franz Magnis - Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Penerbit Kanisius, Jakarta, 1993, hal. 106.
35
Ibid.
22
metafisik merupakan perubahan yang amat mendasar, karena tahap metafisik
perkembangannya pada akhirnya. Hegel di sini berbicara tentang nilai manusia itu
terletak dalam kualitas atau dalam unsur lahir, melainkan dalam sikap batin
pribadi.
pengetahuan yang tidak lagi abstrak, tetapi pasti jelas, dan bermanfaat. Apabila
tahap metafisik tumbuh dan berkembang dalam suatu susunan masyarakat feodal,
maka tahap positif ini menurut Auguste Comte merupakan tahap yang ia sendiri
harus berusaha untuk ikut membantu mewujudkannya, yaitu suatu tahap yang
dalam kehidupan bermasyarakatnya akan diatur oleh kaum elit cendekiawan dan
kehidupan itu.36
secara ilmiah. Apabila dalam tahap teologi kesatuan keluarga merupakan dasar
merupakan dasar, maka akhirnya dalam tahap positif ini, seluruh umat manusialah
36
Ibid., hal. 16.
37
Koento Wibisono Siswomihardjo, op. cit., hal. 16.
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
bersifat integral atau menyeluruh, Hal itu berarti dengan filsafat kita akan dibawa
kepada suatu pemasahaman yang sempurna, dengan demikian kita akan mampu
melihat sesuatu objek secara luas dan mendalam. Artinya dengan pemahaman
filsafat diharapkan kita tidak akan terjerumus ke dalam jurang taqlid (ikut-ikutan)
yang akhirnya dapat menjadikan kita manusia yang chauvinis. Apalagi jika
dihubungkan dengan hukum yang berlaku pada suatu wilayah negara. Oleh karena
24
itulah untuk mengembangkan hukum sangat perlu pengkajian secara filsafati yang
filsafat tidak saja membawa kita pada suatu pemahaman tetapi juga dengan
pemahaman ia akan membawa kepada suatu tindakan yang lebih layak. Dari apa
jelaslah bahwa adanya pola pikir yang filsafati dalam mengembangkan hukum
akan membawa pengembangan hukum kepada hukum yang lebih baik. Hal ini
dikarenakan berpikir secara filsafat sebenarnya adalah menguji secara kritis akan
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku –Buku
B. Jurnal
26