Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang masalah

Tidak dapat dipungkiri bahwa “berfilsafat” sebagai manifestasi kegiatan

intelektual telah meletakkan dasar-dasar paradigmatik bagi tradisi dalam

kehidupan masyarakat ilmiah. Hal ini juga berlaku bagi ilmu hukum yang selalu

berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat yang dinamis. Dalam hal

ini diperlukan suatu cara berpikir yang filsafati untuk mengenal lebih jauh esensi

dari hukum itu yang pada gilirannya dapat digunakan utnuk mengembangkan ilmu

hukum yang telah ada. Dalam prakteknya orang hanya menganggap hukum itu

sebagai produk perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah, berlaku

mengikat terhadap seluruh masyarakat dan mempunyai ciri khusus berupa adanya

sanksi kepada orang yang melanggarnya (hukum positif). Di lain pihak filsafat

tidak hanya melihat hukum sebagai hukum positif saja, akan tetapi juga meliputi

hukum dalam arti inabstrakto, hukum dalam arti inkonkreto, living law, dan

hukum dalam arti keseutuhan. Dengan demikian dapat dilihat bahwa pandangan

filsaafat terhadap hukum tidak hanya satu sisi saja, tetapi sangat mendalam dan

meninjaunya dari beberapa aspek yang berbeda.

Sebelum berbicara mengenai filsafat ilmu, seharusnya diketahui terlebih

dahulu pengertian dari filsafat itu sendiri. Filsafat bukanlah sesuatu yang mudah

untuk didefinisikan. Oleh karena itu setiap orang dapat mempunyai definisi yang

berbeda mengenai filsafat.


1
Menurut pendapat A. Paperzak mengatakan :

“Apakah filsafat itu, baru dapat dikatakan pada akhirnya; tidak pada
permulaan seperti barang kali diharapkan oleh seorang pemula.....satu-
satunya kemungkinan agar kita merasa dekat dengannya adalah bahwa kita
dengan keberanian cukup memasukinya.1

Dari pernyataan di atas nampaklah bahwa untuk mengerti filsafat

secara benar dan utuh kita diharuskan untuk memasukinya dalam arti

mengalami dengan cara berfilsafat itu sendiri. Sebab dengan membaca buku-

buku filsafat belumlah berarti bahwa kita sudah mengerti benar apa hakikat

filsafat, mungkin ini dapat disamakan dengan seseorang yang senang

membaca buku cerita silat tetapi jika disuruh melakukannya (bersilat) belum

tentu bisa. Berikut ini akan diberikan beberapa pengertian filsafat menurut

logatnya dan menurut pengertian praktis.

1. Menurut logatnya

Menurut logatnya, kata “filsafat” merupakan bentuk kata “Arab” yakni

“falsafah”. Akan tetapi jika ditelusuri kata falsafah itu sendiri merupakan kata

yang berasal dari perkataan Yunani, yakni “philosophia” 2. Philosophia sendiri

merupakan rangkaian kata yang terpisah pada mulanya, yaitu terdiri dari kata

“philo” dan “sophia”. Philo artinya cinta, sedangkan sophia artinya hikmah.

Dengan demikian philosophia artinya cinta akan hikmah, dan filsuf itu sendiri

merupakan orang yang mencintai hikmah dan karena itu berusaha untuk

mencapainya. Adapun yang dimaksud dengan perkataan hikmah di sini adalah


1
Gerard Beekman, Filsafat Para Filsuf Berfilsafat, Terjemahan R.A. Rivai, Erlangga, Jakarta,
1984, hal. 11.
2
Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat, Wijaya, Jakarta, 1970, hal. 20.
2
dalam arti yang umum, yaitu pengetahuan, dan juga kebijaksanaan atau

kecakapan.

2. Menurut pengertian praktis

Menurut pengertian praktis, filsafat berarti “alam pikiran” atau “alam

berpikir”. Jadi dapat disimpulkan bahwa berfilsafat itu adalah “berpikir”. 3 Namun

apakah yang dimaksud dengan berpikir dalam arti “berfilsafat”, apakah berpikir di

sini sama dengan kebanyakan orang berpikir atau setiap orang berpikir. Dalam hal

ini berpikir dalam arti “berfilsafat” pada dasarnya tidak sama dengan berpikir

pada umunya.

Menurut Louis O. Kattsof terdapat tujuh ciri berpikir filsafat, yaitu :4

a. Ia harus merupakan suatu bagan konsepsional.


b. Adanya saling hubungan antarjawaban-jawaban kefilsafatan.
c. Pemikiran filsafat harus merupakan pemikiran secara rasional.
d. Sebuah sistem filsafat harus bersifat koheren/runtut.
e. Bersifat menyeluruh.
f. Merupakan suatu pandangan dunia.
g. Suatu definisi pendahuluan.

Dari ciri-ciri berfikir kefilsafatan di atas dapat diketahui bahwa ciri

berfikir kefilsafatan sangat ketat, sehingga tidak ada satupun yang luput dari

jangkauannya. Filsafat juga benar-benar jauh dan mendalam bahkan menukik

sampai ke relung-relung paling dasar, seakan-akan dunia ini ada dalam

pikirannya. Oleh karena itu wajarlah jika seorang filsuf memandang penjara

bukan suatu nestapa, melainkan taman firdaus pikiran. Filsafat itu merupakan

wissenchaftlehre, artinya filsafat merupakan ilmu daripada ilmu. Maksudnya


3
Ibid.
4
Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1986, hal. 7 - 15.
3
bahwa filsafat itu adalah ilmu yang umum yang menjadi dasar segala ilmu yang

lain. Filsafat juga merupakan grundwissenchaft, yaitu ilmu dasar, yang hendak

menentukan kesatuan manusia dengan jalan menunjukkan dasar akhir yang sama

dan memikul sekaliannya.5 Kalau diteliti dari sejarah filsafat Yunani, maka dapat

diketahui bahwa filsafat merupakan induk dari ilmu pengetahuan. Dalam hal ini

ilmu pengetahuan yang dimaksud meliputi semua ilmu pengetahuan, termasuk di

dalamnya ilmu hukum. Dengan demikian untuk mengembangkan ilmu hukum

orang harus berpikir secara filsafat, khususnya filsafat ilmu. Tujuan filsafat ialah

mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan

menilai pengetahuan ini menemukan hakekatnya, dan menerbitkan serta mengatur

semuanya itu di dalam bentuk sistematis. Akhirnya filsafat dapat membawa kita

kepada pemahaman, dan pemahaman akan membawa kita kepada tindakan yang

lebih layak.6

Maka berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik mengambil judul

makalah : “PENGEMBANGAN ILMU HUKUM DALAM PERSPEKTIF

FILSAFAT ILMU”

b. Rumusan Masalah
5
Sutan Takdir Alisyahbana, Pembimbing Kefilsafatan Fisika, Dian Rakyat, Jakarta, 1977, hal. 2.
6
Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, Dasar-dasar Filsafat Suatu Pengantar Kefilsafat Hukum,
Akademika Pressindo, Jakarta, 1992, hal. 15.
4
Adapun rumusan masalah yang penulis ambil adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengembangan ilmu hokum presfektif filsafat ilmu?


2. Bagaimana kah paham-paham Filsafat tentang Ilmu dan

pengembangan ilmu hokum dalam presfektif filsafat ilmu?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

a. Tinjauan mengenai Ilmu Hukum

Ilmu hukum adalah ilmu tentang hukum. Objeknya ialah hukum. Ilmu

hukum dilihat sebagai konsep ilmu juga melekat pada ilmu hukum. Ilmu

hukum dilihat sebagai konsep ilmu dalam ilmu-ilmu alam maka dalam hukum

sama seperti ilmu-ilmu lainnya. Tetapi, jika konsep ilmu dalam ilmu hukum

dipandang sebagai konsep yang khas yang berbeda dalam konsep ilmu pada

ilmu-ilmu alam.

5
Apabila ilmu hukum dipandang sebagai suatu ilmu yang khas yang

bukan ilmu sosial maka ilmu hukum dapat dikategorikan sebagai ilmu tentang

kaidah. Dalam hal ini pandangan Hans Kelsen mewarnai sifat lmu hukum

seperti itu. Teori Hans Kelsen disebut Reine Rechtlehre atau The Pure Theory

of Law atau teori murni tentang hukum. Pandangan ini ingin melepaskan

hukum dari seperti yang diterapkan dalam ilmu-ilmu sosiologi, psikologi

dan lain-lain yang merupakan metode ilmu alam.7

Ilmu hukum mempunyai hakikat interdisipliner. Hakikat ini kita

ketahui dari digunakannya berbagai disiplin ilmu pengetahuan untuk

membantu menerangkan berbagai aspek yang berhubungan dengan kehadiran

hukum di masyarakat. Berbagai aspek dari hukum yang ingin kita ketahui

ternyata tidak dapat dijelaskan dengan baik tanpa memanfaatkan disiplin-

disiplin ilmu pengetahuan seperti politik, antropologi, ekonomi dan lain-

lainnya. Anthropologi misalnya membantu menjelaskan tentang kerja dari

hukum itu yang tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan kehidupan

masyarakat sebagai satu kesatuan budaya.8

Van Apeldoorn dalam bukunya Pengatur Ilmu Hukum (1980)

memasukkan ke dalam Ilmu Pengetahuan Hukum yakni sosiologi hukum,

sejarah hukum dan perbandingan hukum. Begitupun E. Utrecht dalam buku

Pengantar Dalam Hukum Indonesia (1966) memasukkan sejarah hukum,

7
Sugijanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar Maju, Bandung,
1998, hal. 19.
8
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 7.
6
sosiologi hukum, perbandingan hukum dan pelajaran hukum umum sebagai

cabang-cabang ilmu hukum bantu dari ilmu hukum positif. Sedangkan dalam

ilmu hukum panduan mahasiswa susunan JB. Dalio, S.H. cs. berjudul

Pengantar Hukum dimasukkan sejarah hukum, sosiologi hukum,

perbandingan hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, politik hukum

dan filsafat hukum. Sedangkan DHM Meuwissen (dalam artikel yang

diterjemahkan oleh B. Arief Sidarta) yang berjudul Ilmu Hukum membagi

jenis-jenis ilmu hukum ke dalam ilmu hukum dogmatik dan ilmu hukum

empiris.9

Perlu pula dicatat bahwa Van Apeldoorn menyebutkan pula adanya

ilmu pengetahuan hukum dogmatis atau sistematis. Utrecht sendiri hanya

menyebutkan cabang-cabang tersebut hanya sebagai ilmu hukum positif.

Malahan dalam buku panduan dimasukkan juga politik hukum dan filsafat

hukum. Jadi, dapat dikatakan bahwa konsep ilmu dalam ilmu hukum yang

banyak dianut ialah konsep ilmu dalam arti luas, sebagai salinan atau

terjemahan dari “Wissenschaft”.10

b. Tinjauan Tentang Filsafat Ilmu

Menurut pendapat Jujun :

“Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan)

yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu (ilmu pengetahuan ilmiah).” 11

9
Sugijanto Darmadi, op. cit., hal. 20.
10
Ibid.
11
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1988, hal. 33.
7
Di lain pihak menurut C.A. Von Peursen filsafat ilmu adalah suatu

perpanjangan dari ilmu pengetahuan. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan

penerapan teori pengetahuan pada pengetahuan ilmiah.12

Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu.

Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam

dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang

bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam

atau ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang filsafat yang bersifat otonom.

Ilmu memang berbeda dari pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak

terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial,

dimana keduanya mempunyai ciri-ciri keilmuan yang sama. Dengan demikian

terjadi gejala relatifitas dalam batas-batas antara ilmu dan filsafat. Walaupun

demikian adanya batas-batas itu masih begitu kuat. Para ahli masih membedakan

batas-batas ilmu dan filsafat. Ilmu dan filsafat masih memiliki otonomi dan batas-

batasnya masih dapat ditarik. Dalam hal ini antara ilmu dan filsafat masih ada

beberapa hal yang memisahkan. Masih ada otonomi antara ilmu dan filsafat yang

membedakan tetapi tidak memisahkan. Filsafat ilmu adalah filsafat. Filsafat

adalah refleksi yang mengakar terhadap prinsip-prinsip. Maka filsafat ilmu

adalah refleksi yang mengakar terhadap prinsip-prinsip ilmu.13

12
Von Peursen, C.A., Susunan Ilmu Pengetahuan, Gramedia, Jakarta, 1985, hal. 79.
13
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral Sosial dan Politik, Gramedia, Jakarta,
1986, hal. 301.
8
Prinsip ilmu adalah sebuah fundamental dan kebenaran universal yang

lengket di dalam ilmu, yang pada akhirnya memberi jawaban tentang keberadaan

ilmu.14 Dalam artian filsafat ilmu sebagai suatu cabang ilmu filsafat, fungsi dan

peranannya sebagai dasar dan arah penggalian serta pengembangan ilmu dengan

berbagai implikasinya.

B. Paham-Paham Filsafat Tentang Ilmu Dan Pengembangan Ilmu

Hokum Dalam Presfektif Filsafat Ilmu

Dengan menangkap dan menghayati pembicaraan tentang filsafat ilmu,

seorang ilmuan kiranya tidak akan lagi sekedar hanyut dalam “biduk tradisi” ilmu.

Ia akan lebih siap untuk tidak memandang ilmu sebagai barang jadi, sebagai

kumpulan bahan hapalan. Ia akan senantiasa gelisah dalam ikhtiar mencermatkan

kegiatan ilmiahnya. Simplisme pemikiran akan memuakkannya, sehingga

penalaran akan berkembang dan semangat ilmiah kembali berkobar dengan

pemahaman akan kendalanya.15 Filsafat ilmu yang kini semakin disadari oleh

masyarakat kita akan penting mutlaknya untuk diajarkan tidak saja ditingkat S1

melainkan juga program pasca sarjana, adalah suatu cabang filsafat yang sudah

lama dikenal dan dikembangkan di dunia barat semenjak abad ke-18, dengan

sebutan Philosophy Of Science, Wissenschaftlehre, atau Wetenschapsleer.16 Untuk

14
Ibid.
15
Ibid., hal. 303.
16
Koento Wibisono Siswamihardjo, Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai
Kelahiran dan Perkembangannya Sebagai Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu, Makalah ini
disajikan pada internship dosen-dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se-Indonesia, Yogyakarta,
tanggal 22 - 29 Agustus 1999, hal. 11.
9
memperdalam refleksinya dan agar semakin menangkap nuansa-nuansa

masalahnya, maka seorang ilmuwan tidak boleh menghindari dari diskusi tentang

ilmu dimasa lalu atau kini. Paham-paham filsafat tentang ilmu, katakanlah dari

Sokrates, Aristoteles, Galileo, Descartes, Kant, Bachelard, Bunge, Winch,

Hundberg, Znaniecki, dan lain sebagainya dapat berfungsi sebagai pembuka mata.

Diskusi-diskusi tersebut tentu dapat menambah bobot pada refleksinya,

memungkinkan pemahaman yang lebih dalam terhadap seluk-beluk ilmu.17

Jelaslah kiranya bahwa seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab

sosial yang terpikul dibahunya, bukan saja karena dia adalah warga masyarakat

yang kepentingannya telibat secara langsung dimasyarakat namun yang lebih

penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup

bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan

keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk

keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Adapun Bidang-

bidang garapan Filsafat Ilmu

1. Ontologi

Ontologi ilmu, meliputi apa hakekat ilmu, apa hakekat kebenaran dan

kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari

persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang) “ada” itu (being, sein, het,

zijn) faham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spritualisme, dan

materialisme, faham dualisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan

17
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral Sosial dan Politik, loc. cit.
10
faham ontologi yang pada akhirnya akan menentukan pendapat bahkan

“keyakinan” kita masing-masing mengenai apa dan bagaimana (yang) “ada”

sebagai manifestasi yang kita cari.18

Ontologi adalah sebagai pengkajian mengenai hakekat realitas dari objek

yang ditelaah dalam membuahkan pengetahuan. Aksiologi diartikan sebagai teori

nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Seperti

diketahui setiap pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmiah, mempunya tiga dasar

yakni ontologi, epistemologi dan aksiologi. Epistemologi membahas cara untuk

mendapatkan pengetahuan yang dalam kegiatan keilmuan disebut metode

ilmiah.19 Semua permasalahan ini telah menjadi bahan kajian dari ahli-ahli filsafat

sejak dahulu kala. Tersedia segudang filsafat dalam menjawabnya. Kita bisa setuju

dengan mereka dan kita pun bisa tidak setuju dengan mereka, kita juga boleh

mengajukan jawaban fisafati kita.

2. Epistemologi

Epistemologi ilmu, meliputi sumber sarana dan tata cara menggunakan

sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai

pilihan landasan ontologi akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan

dalam menentukan sarana yang akan dipilih. Akal (vestanda), akal budi

(vernunft), pangalaman atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi,

merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologi, sehingga dikenal adanya

18
Koento Wibisono Siswamihardjo, op. cit., hal. 11 - 12.
19
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, op. cit., hal. 234.
11
model-model epistemologi seperti rasionalisme, empirisme, kristisme, atau

rasionalisme kritis, positivisme, fenomologi dengan berbagai variasi.20

Ilmu sebagai alat, tanpa agama sebagai kompas, tidaklah akan membawa

manusia kearah kebaikan dan kebahagiaan. Sebaliknya ilmu akan berbalik

membawa malapetaka dan kesengsaraan. Dipihak lain, agama tanpa ilmu, tujuan

yang mulia tanpa peralatan untuk mewujudkan, akan tetap merupakan utopia dan

angan-angan belaka. Itulah kiranya yang terjadi dalam pembentukan ilmu

pengetahuan berdasarkan pengetahuan yang sudah ada, yang dikumpulkan lalu

diatur dan disusun. Diharapkan, bahwa apa yang tadinya sudah diketahui secara

umum, dalam ilmu pengetahuan akan diketahui dengan lebih masuk akal. Jika

dibandingkan dengan pengetahuan pada umumnya, jelaslah bahwa hasil

pengetahuan semakin mengorbankan sifat konkret pengetahuan langsung demi

semakin nampaknya suatu susunan menyeluruh yang bersifat abstrak. Proses ini

menjadi jelas dalam upaya setiap ilmu untuk menyusun beberapa modal. Modal

itu dimaksud sebagai penghadiran kembali yang padat dan ringkas dari apa yang

sudah dikumpul dalam pengetahuan umum maupun pengetahuan ilmiah.

3. Aksiologi

Aksiologi meliputi nilai-nilai (values) yang bersifat normatif dalam

pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana kita jumpai

dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial,

kawasan simbolik, ataupun dunia materil. Lebih dari nilai-nilai juga ditujukan

20
Koento Wibisono Siswomihardjo, op. cit., hal. 12.
12
oleh aksiologi ini sebagai suatu Conditio Sine Quano yang wajib dipatuhi dalam

kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan

ilmu.21Kemampuan analisis seorang ilmuwan mungkin pula menentukan alternatif

dari objek permasalahan yang sedang menjadi pusat perhatian. Bertrand Russell

umpamanya mengemukakan sebagai contoh berapa uang yang dipakai untuk

persenjataan dapat dipergunakan untuk meningkatkan dan mendistribusikan bahan

makanan serta mengurangi ledakan penduduk. Kemampuan analisis seorang

ilmuwan dapat dipergunakan untuk mengubah kegiatan nonproduktif menjadi

kegiatan produktif yang bermanfaat bagi masyarakat banyak.22

Memang kita harus bangga dengan julukan kita selaku manusia : Homo

Sapiens, makhluk yang berpikir. Segera terbayang di benak kita, makhluk yang

tercenung dengan tinju di dagu, menghadapi berbagai masalah secara rasional.

Namun bayangan ini kemudian luntur. Kemanusiaan berhutang budi kepada

Sigmund Freud yang menyadarkan kita bahwa manusia itu bukan saja pandai

membikin rasional namun juga cerdas membikin rasionalisasi.23Proses

menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi etis bagi seorang

ilmuwan. Karakteristik proses tersebut merupakan kategori moral yang melandasi

sikap etis seorang ilmuwan. Kegiatan intelektual yang meninggikan kebenaran

sebagai tujuan akhir mau tidak mau akan mempengaruhi pandangan moral.

Kebenaran berfungsi bukan saja sebagai jalan pikirannya namun seluruh jalan

21
Ibid.
22
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, op. cit., hal. 241.
23
Ibid., hal. 243.
13
hidupnya.Kenetralan dalam proses penemuan kebenaran ialah yang mengharuskan

ilmuwan untuk bersikap dalam menghadapi bagaimana penemuan itu digunakan.

Pengetahuan bisa merupakan berkah dan mungkin merupakan kutukan tergantung

bagaimana manusia memanfaatkan pengetahuan tersebut. Bila ilmu pengetahuan

dipergunakan tidak sebagaimana mestinya, tidak membawa berkah kepada

kemanusiaan sebagaimana yang diharapkan dan bahkan merupakan kutukan,

maka dalam hal ini ilmuwan wajib bersikap dan tampil ke depan.24 Orang

intelektual adalah orang yang kritis. Ia meneliti latar belakang sebuah kejadian, ia

mencari kecenderungan-kecenderungan spritual dan ideologis. Ia mempersoalkan

dampak sosial hasil-hasil penelitian ilmiah dan keputusan politik. Khas bagi orang

intelektual adalah sikap skeptis terhadap otoritas tradisional, norma dan lembaga

sosial. Ia menuntut pertanggung jawaban rasional.25

b. Tinjauan Filsafat Terhadap Hukum

Untuk menjawab tentang apakah hukum itu, sangat tergantung pada

metodologi yang digunakan. Filsafat mempunyai empat metode untuk

mengkaji hukum, yaitu hukum dalam arti inabstracto, hukum dalam arti

inconcreto, living law atau law is reality, dan teori keseutuhan.26

1. Hukum Inabstrakto (Inabstracto)

Menurut pengertian ini hukum sering diidentikkan dengan perangkat

peraturan tertulis dan dibuat oleh negara, seperti Undang-undang atau Peraturan

24
Ibid., hal. 252.
25
Franz Magnis - Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik Butir-butir Pemikiran Kritis, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hal. 62.
26
Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, op. cit., hal. 53.
14
pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan lain-lain.

Dengan kata lain hukum inabstrakto adalah merupakan ketentuan-ketentuan yang

bersifat mengatur dalam arti bagaimana tingkah laku seharusnya. Oleh karena itu

pengertian hukum dalam arti tersebut di atas sangat mudah ditemukan, terutama

karena sifatnya yang tertulis.27 Walaupun demikian adanya, tetapi kadang kala

keberhasilannya kurang dirasakan oleh masyarakat, bahkan tidak jarang pula

kurang menyentuh rasa keadilan masyarakat. Adapun konsekuensi logis dari

semua itu akhirnya hukum dirasakan hanya paksaan yang datang dari

penguasa/pemerintah semata, misalnya dilarang mengambil barang orang lain

sebagian atau seluruhnya tanpa hak dengan maksud untuk memiliki (pencurian),

atau dilarang mendirikan bangunan di sepanjang jalur hijau. Jadi hukum di sini

sering diidentikkan dengan hukum positif, yaitu hukum yang berlaku pada suatu

waktu di suatu tempat. Dari uraian di atas nampaklah bahwa tinjauan yang

digunakan untuk mengerti hukum terlalu sepihak, karena titik berat tinjauannya

hanya terbatas pada pengertian hukum sebagai kaidah yang bersifat seharusnya

(law as ought to be) sedangkan bagaimana realitanya kuranglah begitu

disinggung. Jika kita pinjam istilah John Austin (1790 - 1859) yang membedakan

hukum buatan manusia (human law) ke dalam :

a. Hukum yang dengan tepat disebut hukum (laws property so called/positive


law) yakni hukum yang dibuat oleh negara (penguasa politik); seperti
Undang-undang/peraturan perundang-undangan.
b. Hukum yang tidak dengan tepat dikatakan hukum (laws improperty so
called) seperti ketentuan yang dibuat oleh perkumpulan-perkumpulan
tertentu maka hukum inabstracto dapat disejajarkan dengan pengertiannya
27
Ibid., hal. 54.
15
yang pertama yakni laws property so called atau hukum yang dengan tepat
disebut hukum.

Law property so called atau hukum positif di sini menurut John Austin

mempunyai 4 unsur, yaitu :

1) Perintah (command)
2) Ancaman hukuman/sanksi (sanction)
3) Kewajiban (duty)
4) Kedaulatan (soverignity)

Jadi pengertian hukum di sini hanya diartikan limitatif tidak universal, karena

terbatas atau dibatasi oleh perintah kedaulatan dari sang penguasa (political

sperior

2. Hukum Inkonkreto (Inconcreto)

Hukum dalam artian ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pengertian

hukum inabstrakto, karena keduanya merupakan hukum dalam artian ketentuan

penguasa. Maksudnya baik hukum inkonkreto pembentuknya sama yaitu negara.

Cuma ada perbedaan di antara keduanya, jika yang pertama bersifat normatif,

abstrak dan unpersonal maka yang kedua bersifat konkret dan umumnya juga

individual dan kasuistis. Dengan kata lain, bahwa adanya hukum dalam artian

yang kedua (inkonkreto) merupakan perwujudan nyata dari hukum inabstrakto

dalam penerapannya, misalnya saja keputusan dalam proses peradilan pidana

tentang pencurian biasa (Pasal 362 KUHP).28

Kalau diperhatikan uraian di atas, sebenarnya seorang hakim di sini hanya

melaksanakan ketentuan aturan hukum inabstrakto dalam hal ini KUHP

28
Ibid., hal. 71.
16
khususnya Pasal 362. Tetapi secara tidak langsung iapun merupakan pembentuk

hukum yang mendapatkan delegasi kewenangan dari aturan hukum yang lebih

tinggi terhadap hal-hal yang konkret. Walaupun demikian adanya wewenang yang

didelegasikan untuk membentuk aturan hukum inkonkreto ini tidaklah sama

dengan wewenang yang diberikan kepada hukum inabstrakto, sebab ia dibatasi

oleh hal-hal yang bersifat kasuistis dan konkret. Dengan demikian badan yang

berwenang hanya dapat membentuk satu aturan hukum inkonkreto, terhadap suatu

kejadian konkret. Sedangkan pada yang pertama (pembentukan aturan hukum

inabstrakto) badan yang diberikan wewenang tidak dibatasi, artinya bebas di

dalam membentuk aturan hukum tersebut. Akhirnya dapatlah dikatakan bahwa

hukum dalam pengertian tersebut di atas adalah merupakan ketentuan penguasa

yang bersifat konkret, kasuistis dan individual.

3. Hukum In Realita

Jika hukum inabstrakto dan hukum inkonkreto sulit dirasakan keberadaannya

oleh masyarakat, maka sebaliknya hukum dalam arti yang hidup di tengah

masyarakat sangat dirasakan keberadaannya. Memang kalau kita menginginkan

wujud konkret dari hukum dalam artian ini nampaknya sulit karena tidak tertulis

atau tersistematisir dalam satu kodifikasi seperti UU No. 5 Th. 1960 atau yang

lainnya. Hukum dalam artian ini atau law is it umumnya tumbuh dan berkembang

dalam masyarakat, oleh karena itu keberadaannya dirasakan, walaupun terkadang

tidak sesuai dengan dengan hukum dalam arti inabstrakto atau kaidah bertingkah

17
laku yang seharusnya.29 Jadi dapatlah dikatakan bahwa hukum in realita bukan

hukum yang dibentuk oleh kekuasaan baik dalam arti negara maupun lainnya,

namun sumber sejati dari hukum itu terletak jauh di dalam jiwa manusia yang

secara naluri mempunyai kesadaran yang benar dan patut. Dengan demikian,

sulitlah bagi kita untuk mengerti hukum dalam arti kenyataan ini tanpa kita

mengenal lingkungan sosial dimana hukum itu berada, sebab hukum sangat

tergantung pada apa yang secara populer telah diterima masyarakat di mana setiap

kelompok masyarakat membangun hukumnya sendiri (living law) yang

mempunyai kekuatan kreatif. Jadi kesimpulannya hukum adalah merupakan nilai-

nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan dijunjung tinggi oleh

masyarakat.

4. Hukum dalam Arti Keseluruhan

Apakah hukum itu, kiranya kita tidak dapat hanya membaca pengertian

hanya dari satu sisi saja, sebab hukum itu terlalu luas ruang cakupannya sehingga

tidak dapat kita mengartikannya dengan ketentuan penguasa (normatif) belaka.

Apalagi jika kembali pada hakikat alam semesta yang merupakan sesuatu yang

teratur dalam arti segalanya selalu berada pada jalurnya masing-masing sebagai

satu kesatuan tata surya. Manusia sebagai bagian dari alam semesta merupakan

subsistem dan sistem itu sendiri, di samping itu di dalam kedudukannya sebagai

makhluk individu dan sosial manusia tidak akan pernah terlepas dari manusia

lainnya, dalam arti bahwa manusia secara naluri tidak bisa hidup sendiri, oleh

29
Ibid., hal. 72.
18
karena itu ia sangat membutuhkan orang lain. Maksudnya ia akan melakukan

interaksi sosial, dalam interaksi sosial inilah supaya tidak terjadi konflik

dibutuhkan pedoman.

Sesuai dengan hakikat alam dan manusia sebagaimana yang diuraikan

tadi, maka hukum yang merupakan subsistem dari sistem yang ada harus ditinjau

bukan dari satu sisi saja melainkan harus dari banyak wajah. Artinya baik dari segi

penyusunan dan pelaksanaan peraturan harus benar-benar dapat dipadukan dengan

kebutuhan yang nyata dari masyarakat yang aneka ragam dengan kehidupan yang

dikelola oleh penyelenggara negara dengan cita-cita luhur. Sehingga keberadaan

hukum tidak dianggap sebagai perintah penguasa terhadap mereka yang dikuasai

saja, tetapi lebih dirasakan sebagai instrumen hidup, penggerak dan pengayom

masyarakat (fungsi hukum). Dengan demikian hukum bukan hanya ketentuan

penguasa yang bersifat abstrak dan unpersonal (huukm dalam arti inabstrakto)

maupun ketentuan penguasa yang bersifat konkret, kasuistis dan individual

(hukum inkonkreto), tetapi juga nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang

merupakan ukuran tingkah laku operasional (law as it is). Jadi pengertian hukum

yang utuh adalah sebagai ketentuan yang ditetapkan penguasa (negara) melalui

aparaturnya yang berwenang dan yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di

dalam masyarakat. Hal ini tidak berarti tidak ada lagi kesenjangan hukum sebagai

ketentuan yang seharusnya dengan hukum yang nyata hidup dalam masyarakat.

c. Tahap Pengembangan Hukum

1. Tahap Teologi atau Fiktif


19
Dalam tahap ini manusia selalu berusaha untuk mencari dan menentukan

sebab yang pertama dari tujuan akhir segala sesuatu yang ada. Gejolak atau

fenomena yang menarik perhatian manusia selalu berusaha untuk

mempertanyakan hal-hal yang paling sukar, sejalan dengan tingkah laku dan

perbuatannya. Menurut Auguste Comte, tahap teologi ini tidak akan muncul

begitu saja, melainkan didahului pula oleh suatu perkembangan secara bertahap,

yaitu tahap :30

a. Fetisyisme yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh


pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan, bahwa segala sesuatu
yang berada di sekeliling manusia mempunyai suasana kehidupan yang
sama seperti manusia sendiri. Bahkan segala sesuatu yang berada di
sekeliling tadi mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap
kehidupan manusia sedemikian rupa sehingga manusia harus
menyesuaikan diri dengannya. Adapun yang dimaksud dengan segala
sesuatu itu adalah benda-benda alam seperti gunung, kali, pohon,
batu,dan lain-lain, termasuk benda-benda yang dibuat sendiri oleh
manusia seperti alat-alat, senjata, patung, cincin dan lain-lainnya.
b. Politeisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh
pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan bahwa daya pengaruh
atau kekuatan penentu itu tidak lagi berasal dari benda-benda yang
berada di sekeliling manusia, melainkan berasal dari makhluk-makhluk
yang tidak kelihatan yang berada di sekeliling manusia, karena itulah,
maka sekarang, segala pikiran, tingkah laku dan perbuatan manusia harus
disesuaikan dan diabadikan kepada keinginan para makhluk yang tidak
kelihatan tadi. Dalam bentuk kehidupan semacam inilah kepercayaan
timbul, bahwa setiap benda, setiap gejala dan peristiwa alam dikuasai dan
diatur oleh dewanya masing-masing, sehingga demi kepentingan dan
keselamatan dirinya, manusia harus mengabdikan dan menyembah para
dewa tadi melalui upacara-upacara ritual.
c. Monoteisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang disadari oleh
pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan bahwa pengaruh dan
kekuatan penentu itu tidak lagi berasal dari dewa-dewa yang menguasai
dan mengatur benda-benda atau gejala-gejala alam, melainkan berasal
dari satu kesatuan mutlak, adikodrati, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan
merupakan satu-satunya penentu, sebab pertama dan tujuan akhir segala
30
Franz Magnis Suseno, op. cit., hal. 62.
20
sesuatu yang ada, sehingga dengan demikian gejala pikiran, tingkah laku
dan perbuatan manusia selalu diorientasikan kepada Tuhan, sejalan
dengan dogma-dogma agama yang dianut manusia.

Baik fetisyisme maupun politeisme akan berkembang dalam suatu

masyarakat yang masih terkungkung (terisolir) dan memiliki kepercayaan adanya

kekuatan-kekuatan gaib yang juga menguasai kehidupan manusia. Suatu

masyarakat yang juga dikuasai oleh manusia-manusia dianggap mempunyai

“kelebihan” karena kemampuannya menjadi “perantara” dan “penterjemah” atas

rahasia-rahasia alam yang serba keramat itu. Suatu masyarakat yang juga dikuasai

oleh mite-mite.31 Pada bentuk monoteisme, tahap teologi atau fiktif akan datang

pada saat keakhirannya, suatu saat yang menurut Auguste Comte digambarkan

sebagai saat klasik, atau tahap kuno yang ditandai dengan bentuk masyarakat yang

diatur oleh para raja dan para rohaniawan, di atas susunan masyarakat yang

bersifat militer.32

2. Tahap Metafisik (Abstrak)

Dalam tahap metafisik jiwa manusia masih menunjukkan hal-hal yang

tidak berbeda dengan apa yang dilakukan dalam tahap teologi, namun di sini

manusia sudah mampu melepaskan diri dari kekuatan yang adikodrati, dan beralih

kepada kekuatan abstraksinya. Auguste Comte mengatakan bahwa di dalam

penelitian sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, biasanya kita hanya berhenti

sampai pada bentuk politeisme saja sehingga banyak di antara kita mengira bahwa

tahap metafisik ini sama tuanya dengan tahap teologi. Menurut Auguste Comte
31
Koento Wibisono Siswomihardjo, op. cit., hal. 13.
32
Ibid.
21
selanjutnya, dalam sejarah kehidupan manusia, apa yang dimaksud dengan tahap

metafisik, adalah tahap ketika umat manusia datang pada jaman pertengahan dan

renaissance. Apabila pada tahap teologi, kesatuan keluarga merupakan unsur yang

merupakan dasar kehidupan bermasyarakat, maka dalam tahap metafisik,

negaralah yang merupakan dasarnya. Rezim yang lama menjadi mundur karena

tampilnya kritisisme yang radikal.33 Perkembangan yang lebih lanjut akhirnya akal

budi inilah yang merupakan satu-satunya kekuatan yang dipergunakan manusia

untuk menenangkan adanya segala sesuatu, sehingga berkat kemampuan

beradaptasi tadi manusia mampu pula menerangkan hakekat atau substansi dari

segala sesuatu yang ada Inti filsafati sejarah Hegel adalah bahwa ia memahami

sejarah sebagai gerak perkembangan kearah kemerdekaan yang semakin besar.

Dobrakan menentukan ditemukan Hegel pada agama (dimana ia memusatkan

perhatiannya pada agama Kristen). Bagi Hegel inti munculnya agama Kristiani

adalah masuknya faham subjektifitas.34 Semula kesadaran itu masih abstrak,

artinya hanya merupakan kepercayaan tentang hakekat manusia dan panggilannya

oleh Allah, tetapi belum mewujudkan struktur-struktur sosial. Dobrakan

subjektifitas berikut menurut Hegel terjadi dalam reformasi Protestan. Reformasi

mengakui bahwa dalam hal iman setiap orang Kristen berhak membentuk

penilaian sendiri, setiap orang adalah bebas untuk membaca kitab suci sendiri dan

menafsirkan, ia tidak sekedar mengikuti tafsiran pimpinan gereja. 35Tahap

33
Ibid., hal. 14.
34
Franz Magnis - Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Penerbit Kanisius, Jakarta, 1993, hal. 106.
35
Ibid.
22
metafisik merupakan perubahan yang amat mendasar, karena tahap metafisik

merupakan masa peralihan yang akan mengantar jiwa manusia menuju

perkembangannya pada akhirnya. Hegel di sini berbicara tentang nilai manusia itu

terletak dalam kualitas atau dalam unsur lahir, melainkan dalam sikap batin

pribadi.

3. Tahap Positif Atau Riel

Tahap positif merupakan tahap di mana jiwa manusia sampai pada

pengetahuan yang tidak lagi abstrak, tetapi pasti jelas, dan bermanfaat. Apabila

tahap metafisik tumbuh dan berkembang dalam suatu susunan masyarakat feodal,

maka tahap positif ini menurut Auguste Comte merupakan tahap yang ia sendiri

harus berusaha untuk ikut membantu mewujudkannya, yaitu suatu tahap yang

dalam kehidupan bermasyarakatnya akan diatur oleh kaum elit cendekiawan dan

industrialis. Dengan rasa perikemanusiaan sebagai dasar untuk mengatur

kehidupan itu.36

Auguste Comte melihat tahap politik ini sebagai tahap perkembangan

masyarakat pada saat industrialisasi yang bersama-sama mengatur masyarakat

secara ilmiah. Apabila dalam tahap teologi kesatuan keluarga merupakan dasar

bagi kehidupan masyarakat, sedang dalam tahap metafisik negaralah yang

merupakan dasar, maka akhirnya dalam tahap positif ini, seluruh umat manusialah

yang merupakan dasar itu.37

36
Ibid., hal. 16.
37
Koento Wibisono Siswomihardjo, op. cit., hal. 16.
23
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Filsafat sebagai ilmu pengetahuan mempunyai pandangan yang

bersifat integral atau menyeluruh, Hal itu berarti dengan filsafat kita akan dibawa

kepada suatu pemasahaman yang sempurna, dengan demikian kita akan mampu

melihat sesuatu objek secara luas dan mendalam. Artinya dengan pemahaman

filsafat diharapkan kita tidak akan terjerumus ke dalam jurang taqlid (ikut-ikutan)

yang akhirnya dapat menjadikan kita manusia yang chauvinis. Apalagi jika

dihubungkan dengan hukum yang berlaku pada suatu wilayah negara. Oleh karena
24
itulah untuk mengembangkan hukum sangat perlu pengkajian secara filsafati yang

menyoroti suatu masalah secara mendalam dari berbagai aspek.

Filsafat sebagai ilmu pengetahuan tidak saja bersifat teoritis, artinya

filsafat tidak saja membawa kita pada suatu pemahaman tetapi juga dengan

pemahaman ia akan membawa kepada suatu tindakan yang lebih layak. Dari apa

yang dikemukakan di atas jika dikaitkan dengan perkembangan hukum, maka

jelaslah bahwa adanya pola pikir yang filsafati dalam mengembangkan hukum

akan membawa pengembangan hukum kepada hukum yang lebih baik. Hal ini

dikarenakan berpikir secara filsafat sebenarnya adalah menguji secara kritis akan

kemestian sesuatu yang dianggap semestinya.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku –Buku

Franz Magnis - Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik Butir-butir Pemikiran Kritis,


Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
Gerard Beekman, Filsafat Para Filsuf Berfilsafat, Terjemahan R.A. Rivai,
Erlangga, Jakarta, 1984
Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat, Wijaya, Jakarta, 1970
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral Sosial dan Politik,
Gramedia, Jakarta, 1986
_______________, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Penerbit Kanisius, Jakarta, 1999.
.
__________________, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1988
Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1986.
Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, Dasar-dasar Filsafat Suatu Pengantar
Kefilsafat Hukum, Akademika Pressindo, Jakarta, 1992.
Von Peursen, C.A., Susunan Ilmu Pengetahuan, Gramedia, Jakarta, 1985.
25
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
Sugijanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar
Maju, Bandung, 1998
Sutan Takdir Alisyahbana, Pembimbing Kefilsafatan Fisika, Dian Rakyat, Jakarta,
1977.

B. Jurnal

Koento Wibisono Siswamihardjo, Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum


Mengenai Kelahiran dan Perkembangannya Sebagai Pengantar untuk Memahami
Filsafat Ilmu, Makalah ini disajikan pada internship dosen-dosen Filsafat Ilmu
Pengetahuan se-Indonesia, Yogyakarta, tanggal 22 - 29 Agustus 1999.

26

Anda mungkin juga menyukai