Anda di halaman 1dari 1

Kelezatan Ruhani

Cinta misi hany bersemi pada nurani yang hidup. Tapi dari manakah nurani kita
menemukan kehidupan? Dari cinta Allah dan cinta kebenaran. Inilah cintanya cinta. Denyut
kehidupan nurani adalah tanda-tandanya. Cinta misi adalah buahnya.

Cerita-cerita keagungan yang kita warisi dari sejarah sesungguhnya merupakan menampakan
cinta misi dari waktu ke waktu. Ia mengejahwantah pada karya-karya ilmiah para ulama, pada
darah dan air mata syuhada, pada keadilan para pemimpin, pada kasih sayang para duat, pada
kelembutan para guru. Tidak ada karya besar tanpa cinta misi. Itu yang membuat cinta ini jadi
teramat agung. Sekaligus rumit. Karena seluruh isinya adalah karya. Adalah kerja. Adalah
memberi. Tanpa pernah terpengaruh oleh penerimaan dan penolakan. Penerimaan mungkin
menguatkannya. Tapi penolakan tidak mengendurkannya.

Pertanyaan kemudian muncul disini. Dari mana mereka menemukan energi itu? Apa yang
membuat mereka sanggup berkarya dan memberi terus menerus, sementara kadang atau bahkan
sering sekali mereka tidak dipahami atau terabaikan oleh orang-orang yang justru mereka cintai?
Pasti ada rahasia hati yang mereka simpan dengan rapih. Tapi apakah rahasia hati itu?

Kelezatan ruhani. Itu rahasianya. Yang mereka cinta sesungguhnya adalah Allah, adalah
kebenaran, adalah misi hidup mereka. Bukan orang, atau benda atau bentuk apapun. Yang
mereka rindukan adalah surga yang abadi, adalah bidadari-bidadari yang kelak akan mengitari
mereka, adalah pandangan mata pada cahaya wajah Allah. Bukan pujian dan penerimaan
manusia. Manusia hanya medan karya tempat cinta mengejawantah. Kelelahan-kelelahan itu
melahirkan kegembiraan ruhani, kelezatan yang melahirkan energi baru untuk terus
mengejawantahkan cinta. Seperti orgasme yang kita rasakan pada setiap keintiman fisik, dan
mengajak kita untuk mengulangi dan mengulangi, seperti itulah Allah memberi kelezatan ruhani
setiap kali cinta pada-Nya mengejawantah pada cinta misi, setiap kali cinta yang vertikal itu
mengejahwantah pada horizon kehidupan manusia. Kelezatan ruhani itulah sumber energinya.
Disana makna-makna penerimaan, keberartian, keterhormatan, keberanian hati, merasuk ke
serat-serat jiwa dan melapangkan serta meluaskannya sampai ia tampak sebagai karpet merah
nan empuk ditengah gurun luas yang tersambung dengan kaki langit.

Itulah kelezatan ruhani yang dirasakan Khalid dari kecamuk perang, atau Utsman saat berinfak,
atau Umar saat mengantar gandum ditengah malam pada rakyat miskin, atau Sayyid Quthub
menjelang digantung. Kelezatan ruhani itu adalah ledakan kegembiraan yang mendengung di
cakrawala kedaran batin kita. Orang-orang tidak menyaksikannya. Tapi mereka merasakan
penampakannya. Maka seorang ahli ibadah mengatakan: “Seandainya para raja mengetahui
kelezatan yang kita rasakan dalam ibadah ini mereka pasti akan menyiksa kita untuk merampas
kelezatan itu.” ~ Anis Matta ~

Anda mungkin juga menyukai