Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang meningkatkan kualitas hidup
pasien dan keluarga mereka menghadapi masalah yang terkait dengan penyakit
yang mengancam jiwa (Eti, 2011). Obat-obat paliatif adalah salah satu komponen
dari 'keseluruhan-orang' pendekatan untuk mendukung orang-orang dengan
penyakit membatasi kehidupan dan terminal. Obat mungkin diperlukan untuk
mengobati dan atau mencegah gejala yang berhubungan dengan diagnosis paliatif.
Ini termasuk masalah seperti sakit, mual dan muntah, depresi, sesak napas, antara
lain masalah.
Beberapa penyakit tertentu yang memodifikasi perawatan yang bertujuan
untuk mengendalikan dan memperlambat perkembangan penyakit (bukan
menyembuhkan itu), juga sering disebut 'Perawatan Paliatif'. Ini mungkin
termasuk kemoterapi, perawatan hormon dan radioterapi. Perawatan paliatif ini
bertujuan untuk membantu pasien yang sudah mendekati ajalnya, agar pasien aktif
dan dapat bertahan hidup selama mungkin (Alkaf, 2016). Pendekatan paliatif
untuk pengobatan, memberikan obat-obatan harus sesederhana dan tidak traumatis
mungkin, dengan potensi mereka untuk diberikan di rumah.

2.2 Fungsi Terapi Farmakologi


Wikipedia (2017) menyebutkan bahwa obat ialah suatu bahan atau paduan
bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis,
mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala
penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan
untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia termasuk
obat tradisional. Perawatan paliatif meningkatkan kenyamanan dengan
mengurangi rasa sakit, mengontrol gejala dan mengurangi stres untuk pasien dan
keluarga, meningkatkan kualitas hidup, mengurangi gejala depresi, dan
meningkatkan waktu kelangsungan hidup.
2.3 Prinsip Terapi Farmakologi
Pemberian medikasi sewajarnya dilakukan secara per oral, karena biasanya
lebih nyaman dan farmakodinamis yang lebih baik. Pemberian secara parenteral
biasanya memberikan onset yang lebih cepat, namun hanya mempunyai durasi
yang singkat saja. Setelah pasien tidak mampu mentolerir medikasi per oral, maka
medikasi per rectal, subkutaneus, intramuskuler, atau intravena dapat
dipergunakan. Pemakaian infus konstan (intravena, subcutaneus) analgesik opioid
telah terbukti berguna. Pada pasien lansia tujuan pengobatan paliatif adalah untuk
membuat pasien lanjut usia senyaman mungkin. Pengobatan yang mungkin tepat
untuk pasien akut belum tentu sesuai dengan pasien menjelang ajal. RJP, infus
intravena, NGT, dan antibiotik adalah tindakan suportif utama pada pasien akut
dan kronik untuk memulihkan kesehatannya. Pengobatan seperti itu tidak cocok
untuk pasien menjelang ajal.

2.4 Klasifikasi Obat dalam Perawatan Paliatif


Kelas obat yang paling umum digunakan dalam perawatan paliatif adalah:
2.3.1 Analgesik (untuk mengobati rasa sakit)
2.3.2 Antiemetics (untuk mengobati dan juga untuk mencegah mual dan
muntah)
2.3.3 Pencahar / aperients (untuk mencegah dan mengobati sembelit)
2.3.4 Obat-obatan ajuvan (obat yang bekerja dengan analgesik untuk
meningkatkan rasa sakit atau gejala kontrol)
2.3.5 Steroid (yang dapat mengurangi berbagai gejala yang berhubungan dengan
peradangan)
2.3.6 Antidepresan (untuk mengobati depresi, atau kadang-kadang rasa sakit)
dan obat-obatan yang menunjukan neuroleptic (untuk mengobati depresi,
kecemasan, atau sakit delirium) dan obat penenang.
2.5 Macam-Macam Terapi Farmakologi
2.4.1 Penderita Kanker
Pemberian obat analgesik memiliki peran yang utama dalam
penanggulangan nyeri kanker. Hoskins menyatakan bahwa dasar pengobatan
analgesik pada penderita kanker adalah:
a. Mencegah timbulnya nyeri dan bukan menghilangkan nyeri yang telah
ada,sebab rasa takut akan nyeri dapat menaikan dosis analgesik. Karena
itupemberian analgesik harus teratur, sesuai jadwal (“by the clock” dan bukan
“PRN”).
b. Pilih obat yang tidak menurunkan kesadaran, sebab kemampuan penderita
untuk berkomunikasi dengan sekitarnya merupakan hal penting yang harus
dipertahankan selama mungkin.
c. Kombinasi obat hanya untuk meningkatkan efek analgesik atau mengurangi
efek samping obat.
d. Tidak dibenarkan menggunakan plasebo untuk menilai nyeri.
e. Dosis ditentukan secara individual. Pada usia lanjut dan anak perlu
disesuaikan.
f. Pemberian sedapat mungkin secara oral. Jika tidak mungkin dapat perrektal.
g. Hindari pemberian parenteral, kecuali dalam keadaan terpaksa. Biasanya
menjelang ajal terpaksa diberikan perenteral.
h. Pada fase terminal dari stadium terminal (kematian diperkirakan dalam hari atau
minggu): (a) Jangan kurangi dosis opioid semata-mata karena penurunan tensi,
respirasi, atau kesadaran, namun pertahankan sampai mencapai kenyamanan, (b)
Perhatikan adanya neurotoksisitas karena opioid termasuk hyperglasia, (c) Bila
pengurangan dosis diperlukan, kurangi 50% dosis 24 jam, (d) Gantikan cara
pemberian opioid bila diperlukan (oral, sk, iv, transdermal) dengan dosis
konversi, (e) Bila terdapat refractory pain, pertimbangkan sedasi (Simatupang,
2017).
i. Menggunakan cara “Analgesic Ladder” sesuai pedoman WHO.
Skema 2.1 Analgesic Ladder
Analgesik yang digunakan dalam perawatan paliatif untuk pengobatan
nyeri kanker dalam Arita tahun 2011 adalah sebagai berikut:
a. Golongan non opiat
b. Golongan opiat
c. Golongan ajuvan
Obat yang merupakan golongan ajuvan adalah sebagai berikut
1. Antidepresan trisiklik misalnya : amitripilin, imipramin, desipramin dapat
meningkatkan khasiat analgesik dari obat analgesik pada terapi nyeri akibat
kerusakan atau penekanan saraf. Dosis : 25–150 mg per hari, terbagi dalam
tiga dosis atau satu dosis malam hari.
2. Antihistamin mis : Hydroxzine. Mempunyai efek antihistamin, juga
mempunyai efek analgesik, anti muntah dan sedatif. Dapat memperbesar
efek analgesik opiat.
3. Kafein : dapat meningkatkan efek analgesik dari asam asetil atau opiat.
4. Streoid : dapat mengurangi nyeri pada infiltrasi tumor dalam saraf dan
tulang. Juga dapat mengurangi nyeri akibat tekanan intrakranial yang
meningkat. Dapat menaikan berat badan dan menimbulkan perasaan
nyaman yang biasa digunakan ialah dexamethasone 4–16 mg atau
prednison 20–80 mg per hari.
5. Phenothiazine, misalnya : mathotrimeprazine, chlorpromazine,
danprochlorpherazine dapat mencegah rasa mual akibat opiat.
Mathotrimeprazine mempunyai efek analgesik, kurang menimbulkan
obstipasi, kurang mengadakan depresi pernafasan. Obat ini dapat
digunakan untuk mengobati nyeri kanker pada penderita yang mengalami
toleransi terhadap opiat.
6. Antikonvulsan antara lain phenytoin, carbamazepine, clonazepan,
sodiumvalproate. Dapat menghilangkan rasa nyeri deaferentasi yang
bersifat menusuk, misalnya pada neuralgia trigeminal, neuralgia post
herpetik atau neuralgia pasca trauma. Dosis carbamazepine dimulai dengan
dosis 100 mg sehari, ditingkatkan pelan-pelan sampai 400–800 mg, terbagi
atas 2–4 dosis sehari. Phenytoin ; 200–500 mg terbagi atas 2 dosis sehari.

Obat untuk mengatasi efek samping opiat dalam Arita tahun 2011 adalah
sebagai berikut:
a. Antiemetik : digunakan untuk mengatasi efek samping opiat. Prochloperasin
10–25 mg p.o atau (per rektal) 4 kali sehari. Trietilperasin 10 mg p.o atau p.r
3 kali sehari. Metoklopramid 10 mg p.o 4 kali sehari. Haloperidol 0.5–2 mg
p.o 3kali sehari.
b. Laksansia
Peran perawat sebelum memberikan obat untuk mengatasi konstipasi
adalah adalah:
1. Menganjurkan mengkonsumsi makanan tinggi serat dan tigkatkan jumlah
cairan
2. Menganjurkan pasien bergerak bila kondisinya memungkinkan
3. Berikan respon yang cepat bila pasien ingin buang air besar
4. Hentikan atau kurangi obat yang menyebabkan konstipasi,
5. Koreksi hiperkalsemia,
6. Atasi obstruksi bila mungkin
7. Gunakan penyangga kaki untuk meningkatkan kekuatan otot abdomen.
Untuk konstipasi yang merupakan efek samping yang lazim pada
penggunaan opiat. Preparat yang digunakan adalah : Milk of magnesia 20–
60ml tiap 4 jam. Senna, Metamuci, Bisakodil 10–15 mg p.r atau laktulosi 30–
60. Jika pemberian laksatif gagal, lakukan Rectal Touch: Jika feses encer berikan
2 tablet bisacodyl atau microlax; jika feses keras berikan 2 gliserin supositoria;
jika rectum kosong lakukan foto abdomen.
8. Stimulansia : efek samping mengantuk tidak selalu terjadi, dan sering hanya
sementara (terjadi toleransi). Bila perlu untuk mengatasi problem ini dapat
diberikan Amfetamin.

2.4.2 Bagi Penderita HIV/AIDS


Secara umum, penatalaksanaan HIV/AIDS dalam Simatupang (2017)
yaitu:
a. Pengobatan antiretroviral, pengobatan ARV terbukti dapat bermanfaat
memperbaiki kualitas hidup, tetapi ARV belum dapat menyembuhkan dan
membunuh virus. Kendalanya antara lain kesukaran pasien untuk minum obat
secara teratur, efek samping obat, harga yang relatif mahal, serta timbulnya
resistensi HIV terhadap obat ARV.
b. Pengobatan terhadap infeksi oportunistik, pengobatan ini ditujukan untuk
infeksi oportunistik dan dilakukan secara empiris
c. Pengobatan suportif, pengobatan ini untuk meningkatkan keadaan umum
penderita. Terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat simtomatik, vitamin
dan dukungan psikososial agar penderita dapat melakukan aktivitas seperti
semula/seoptimal mungkin.
Pada beberapa kasus, tatalaksana awal dilakukan dengan pemberian
terapi simtomatik, terapi ini diberikan untuk mengatasi gejala-gejala yang terjadi
pada pasien bersamaan dengan dilakukannya pemeriksaan penunjang yang
disarankan. Terapi simtomatik antara lain:
a. Pemberian cairan isotonik, dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan
elektrolik pasien dan mencegah terjadinya kekurangan cairan pada pasien.
b. Nystatin drop ditujukan untuk mengatasi oral candidiasis pasien.
c. Paracetamol sebagai antipiretik saat pasien demam.
d. Injeksi ciprofloksasin digunakan untuk mencegah adanya infeksi lebih lanjut
termasuk infeksi nosokomial.
e. Injeksi ranitidin digunakan untuk mencegah stres ulser pada pasien akibat
obat-obatan yang diberikan.
Edukasi tentang penyakit HIV yang diderita oleh pasien, baik itu
secara perorangan maupun keluarga setelah diagnosis ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan lab, serum anti HIV, dan konseling VCT. Pemberian dukungan
membantu pasien untuk meminimalisir isolasi, kesendirian, dan ketakutan.
Memberikan dukungan dan pengawasan terhadap pasien dapat meningkatkan
kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang diberikan.Sebelum memulai terapi,
pasien harus diperiksa jumlah CD4 terlebih dahulu dikarenakan :
a. Untuk memberikan dosis yang tepat pada pengobatan ARV
b. Pengobatan ARV pada pasien HIV diberikan ketika perhitungan CD4 telah
mencapai nilai kurang dari 350. Hitung sel CD4, kadar RNA HIV serum juga
digunakan untuk memantau resiko perkembangan penyakit dan menentukan
waktu yang tepat untuk memulai modifikasi regimen obat. Tujuan terapi
ARV ini adalah penekanan secara maksimum dan berkelanjutan jumlah virus,
pemulihan, atau pemeliharaan (atau keduanya) fungsi imunologik, perbaikan
kualitas hidup, dan pengurangan morbiditas dan mortalitas HIV.
ARV terdiri kombinasi golongan Nukleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor (NRTI), Non Nukleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) dan
Protase Inhibitor (PI). NRTI dan NNRTI dipakai secara bersama-sama agar tubuh
semakin kuat menghambat perkembangan replikasi virus. Kedua golongan obat
ini bekerja pada tahap awal perkembangan virus, saat proses perubahan Deoxyribo
Nucleic Acid (DNA) dan menjadi Ribo Nucleic Acid (RNA) NRTI dan NNRTI
menghambat terbentuknya RNA. Sedangkan antiretroviral golongan PI berfungsi
menghambat terbentuknya protein baru yang akan menjadi virus baru. Tujuan
terapi ARV antara lain:
a. Menurunkan angka kematian dan angka perawatan di rumah sakit
b. Menurunkan viral load
c. Meningkatkan CD4
d. Mengurangi resiko penularan
e. Menigkatkan kulaitas hidup
Adapun efek samping obat retroviral adalah:
a. Stavudin (mual, nyeri perut hebat, kelelahan, sesak napas).
b. Lamivudin (3TC) (Mual)
c. Nevirapin (NVP) (mual, mata kuning, ruam kulit, kelelahan, sesak napas,
demam).
d. Zidovudin (ZDV/AZT) (mual, sakit kepala, kelelahan, nyeri otot,
pucat/anemia).
e. Efavirenz (EFV) (mual, mimpi aneh, sukar tidur, masalah pengingatan, sakit
kepala, pusing, mata kuning, psikosis, ruam kulit).

2.6 Peran Perawat dalam Terapi Farmakologi


Lestari (2016) dalam modul farmakologi dalam keperawatan menyebutkan
bahwa dalam menjalankan perannya, perawat menggunakan pendekatan proses
keperawatan dengan memperhatikan 7 hal benar dalam pemberian obat, yaitu
benar pasien, obat, dosis, rute pemberian, waktu, dokumentasi dan benar dalam
informasi.
2.5.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses
keperawatan. Untuk menetapkan kebutuhan terhadap terapi obat dan respon
potensial terhadap terapi obat, perawat mengkaji banyak faktor. Adapun data hasil
pengkajian dapat dikelompokkan ke dalam data subyektif dan data obyektif.
a. Data subyektif
1. Riwayat kesehatan sekarang
Perawat mengkaji tentang Gejala-gejala yang dirasakan klien.
2. Pengobatan sekarang
Perawat mengkaji informasi tentang setiap obat, termasuk kerja, tujuan,
dosis normal, rute pemberian, efek samping, dan implikasi keperawatan
dalam pemberian dan pengawasan obat. Beberapa sumber harus sering
dikonsultasi untuk memperoleh keterangan yang dibutuhkan. Perawat
bertanggung jawab untuk mengetahui sebanyak mungkin informasi
tentang obat yang diberikan.
a) Dosis, rute, frekuensi, dokter yang meresepkan, jika ada
b) Pengetahuan klien mengenai obat dan efek sampingnya
c) Harapan dan persepsi klien tentang efektivitas obat
d) Kepatuhan klien terhadap aturan dan alasan ketidakpatuhan
e) Alergi dan reaksi terhadap obat
f) Obat yang dibeli sendiri
3. Riwayat kesehatan dahulu, meliputi
a) Riwayat Penyakit dahulu yang pernah diderita pasien
b) Obat yang disimpan dalam pemakaian waktu lampau
c) Obat yang dibeli sendiri /OTC

4. Sikap dan Lingkungan klien


a) Sikap klien terhadap obat menunjukkan tingkat ketergantungan pada
obat. Klienseringkali enggan mengungkapkan perasaannya tentang
obat,khususnya jika klien mengalami ketergantungan obat. Untuk
mengkaji sikap klien, perawat perlu mengobservasi perilaku klien
yang mendukung bukti ketergantungan obat.
1) Anggota keluarga
2) Kemampuan menjalankan Activity of Daily Living (ADL)
3) Pola makan, pengaruh budaya klien
4) Sumber keuangan klien
b. Data Obyektif
Dapat diketahui dengan beberapa cara, diantaranya adalah dengan
pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik dan pemeriksaan laboratorium. Jangan
lupa, anda harus memusatkan perhatian pada gejala-gejala dan organ organ yang
kemungkinan besar terpengaruh oleh obat.

2.5.2 Diagnosa Keperawatan


Lestari (2016) dalam modul farmakologi dalam keperawatan
menyebutkan bahwa diagnosa keperawatan dibuat berdasarkan hasil pengkajian.
Dibawah ini beberapa contoh diagnosa keperawatan NANDA untuk terapi obat.
a. Kurang pengetahuan tentang terapi obat yang berhubungan dengan:
1. Kurang informasi dan pengalaman
2. Keterbatasan kognitif
3. Tidak mengenal sumber informasi
b. Ketidakpatuhan terhadap terapi obat yang berhubungan dengan:
1. Sumber ekonomi yang terbatas
2. Keyakinan tentang kesehatan
3. Pengaruh budaya
c. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan:
1. Penurunan kekuatan
2. Nyeri dan ketidaknyamanan
d. Perubahan sensori atau persepsi yang berhubungan dengan:
1. Pandangan kabur
e. Ansietas yang berhubungan dengan :
1. Status kesehatan yang berubah atau terancam
2. Status sosial ekonomi yang berubah atau terancam
3. Pola interaksi yang berubah atau terancam
f. Gangguan menelan yang berhubungan dengan:
1. Kerusakan neuromuscular
2. Iritasi rongga mulut
3. Kesadaran yang terbatas
g. Penatalaksanaan program terapeutik tidak efektif yang berhubungan dengan :
1. Terapi obat yang kompleks
2. Pengetahuan yang kurang

2.5.3 Perencanaan
Fase perencanaan ditandai dengan penetapan lingkup tujuan, atau hasil
yang diharapkan. Lingkup tujuan yang efektif memenuhi hal berikut ini:
a. Berpusat pada klien dan dengan jelas menyatakan perubahan yang
diharapkan.
b. Dapat diterima (pasien dan perawat)
c. Realistik dan dapat diukur
d. Dikerjakan bersama
e. Batas waktu jelas
f. Evaluasi jelas
Sebagai salah satu contoh adalah klien mampu mandiri dalam
memberikan dosis insulin yang diresepkan pada akhir sesi ketiga dari pendidikan
kesehatan yang dilakukan perawat. Perawat mengatur aktivitas perawatan untuk
memastikan bahwa teknik pemberian obat aman. Perawat juga dapat
merencanakan untuk menggunakan waktu selama memberikan obat. Pada situasi
klien belajar menggunakan obat secara mandiri, perawat dapat merencanakan
untuk menggunakan semua sumber pengajaran yang tersedia. Apabila klien
dirawat di rumah sakit,sangat penting bagi perawat untuk tidak menunda
pemberian instruksi sampai hari kepulangan klien. Seorang klien mencoba
menggunakan obat secara mandiri maupun perawat yang bertanggung jawab
memberikan obat, sasaran berikut harus dicapai :
1. Tidak ada komplikasi yang timbul akibat rute pemberian obat yang
digunakan.
2. Efek terapeutik obat yang diprogramkan dicapai dengan aman sementara
kenyamana.
3. Klien tetap dipertahankan.
4. Klien dan keluarga memahami terapi obat.
5. Pemberian obat secara mandiri dilakukan dengan aman.
2.5.4 Implementasi
Implementasi meliputi tindakan keperawatan yang perlu untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Penyuluhan dan pengajaran pada fase ini
merupakan tanggungjawab perawat. Dalam beberapa ruang lingkup praktek,
pemberian obat dan pengkajian efek obat juga merupakan tanggung jawab
keperawatan yang penting. Selain itu, harus mampu mencegah resiko kesalahan
dalam pemberian obat. Kesalahan pengobatan adalah suatu kejadian yang dapat
membuat klien menerima obat yang salah atau tidak mendapat terapi obat yang
tepat. Kesalahan pengobatan dapat dilakukan oleh setiap individu yang terlibat
dalam pembuatan resep, transkripsi, persiapan, penyaluran, dan pemberian obat.
Perawat sebaiknya tidak menyembunyikan kesalahan pengobatan. Pada
catatan status klien, harus ditulis obat apa yang telah diberikan kepada klien,
pemberitahuan kepada dokter, efek samping yang klien alami sebagai respons
terhadap kesalahan pengobatan dan upaya yang dilakukan untuk menetralkan
obat. Perawat bertanggung jawab melengkapi laporan yang menjelaskan sifat
insiden tersebut. Laporan insiden bukan pengakuan tentang suatu kesalahan atau
menjadi dasar untuk memberi hukuman dan bukan merupakan bagian catatan
medis klien yang sah. Laporan ini merupakan analisis objektif tentang apa yang
terjadi dan merupakan penatalaksanaan risiko yang dilakukan institusi untuk
memantau kejadian semacam ini. Laporan kejadian membantu komite
interdisiplin mengidentifikasi kesalahan dan menyelesaikan masalah sistem di
rumah sakit yang mengakibatkan terjadinya kesalahan.

Anda mungkin juga menyukai