Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tuberculosis (TB) merupakan penyakit infeksi bakteri menahun yang
disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis, suatu basil tahan asam yang
ditularkan melalui udara (Asih, 2004). Penyakit ini ditandai dengan
pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi. Komplikasi. Penyakit
TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi
seperti: pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis dan TB usus.
Penderita tuberkulosis di kawasan Asia terus bertambah. Sejauh ini, Asia
termasuk kawasan dengan penyebaran tuberkulosis (TB) tertinggi di dunia.
Setiap 30 detik, ada satu pasien di Asia meninggal dunia akibat penyakit ini.
Sebelas dari 22 negara dengan angka kasus TB tertinggi berada di Asia, di
antaranya Banglades, China, India, Indonesia, dan Pakistan. Empat dari lima
penderita TB di Asia termasuk kelompok usia produktif (Kompas, 2007). Di
Indonesia, angka kematian akibat TB mencapai 140.000 orang per tahun atau
8 persen dari korban meninggal di seluruh dunia. Setiap tahun, terdapat lebih
dari 500.000 kasus baru TB, dan 75 persen penderita termasuk kelompok usia
produktif. Jumlah penderita TB di Indonesia merupakan ketiga terbesar di dunia
setelah India dan China.
Kehamilan dan tuberculosis merupakan dua stressor yang berbeda pada ibu
hamil. Stressor tersebut secara simultan mempengaruhi keadaan fisik dan
mental ibu hamil. Efek TB pada kehamilan tergantung pada beberapa faktor
antara lain tipe, letak dan keparahan penyakit, usia kehamilan saat menerima
pengobatan antituberkulosis, status nutrisi ibu hamil, ada tidaknya penyakit
penyerta, status imunitas, dan kemudahan mendapatkan fasilitas diagnosa dan
pengobatan TB. Selain itu, risiko juga meningkat pada janin, seperti abortus,
terhambatnya pertumbuhan janin, kelahiran prematur dan terjadinya penularan
TB dari ibu ke janin melalui aspirasi cairan amnion (disebut TB kongenital).
Mengingat akan bahaya TB paru dan pentingnya memberikan pelayanan pada
ibu untuk mempersiapkan kehamilan, terutama untuk mendeteksi dini,
memberikan terapi yang tepat serta pencegahan dan penanganan TB pada
masa prakonsepsi, maka dalam makalah ini akan di bahas segala teori tentang
TB paru dan hubungannya dengan masa prakonsepsi wanita untuk
mempersiapkan kehamilan. Selain itu, dalam makalah ini juga akan dibahas
peranan bidan dalam melaksanakan asuhan kebidanan prakonsepsi,
utamanya terhadap klien penderita TB paru.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi TB Paru?
2. Mengapa seseorang bisa sampai terkena penyakit TB Paru?
3. Bagaimana tanda dan gejala penyakit TB Paru?
4. Bagaimana hubungan antara TB Paru dengan kehamilan dan janin?

C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan Definisi TB Paru
2. Untuk menjelaskan penyebab penyakit TB Paru, tanda dan gejala serta
patofisiologinya dalam tubuh.
3. Untuk menjelasan hubungan antara TB Paru dengan kehamilan dan janin.
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. (Price dan Wilson, 2005).

Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri menahun pada paru yang


disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis, yaitu bakteri tahan asam yang
ditularkan melalui udara yang ditandai dengan pembentukan granuloma
pada jaringan yang terinfeksi. Mycobacterium tuberculosis merupakan
kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru / berbagai organ tubuh
lainnya yang bertekanan parsial tinggi. Penyakit tuberculosis ini biasanya
menyerang paru tetapi dapat menyebar ke hampir seluruh bagian tubuh
termasuk meninges, ginjal, tulang, nodus limfe. Infeksi awal biasanya terjadi
2-10 minggu setelah pemajanan. Individu kemudian dapat mengalami
penyakit aktif karena gangguan atau ketidakefektifan respon imun.

B. Etiologi
TB paru disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang merupakan
batang aerobic tahan asam yang tumbuh lambat dan sensitif terhadap panas
dan sinar UV. Bakteri yang jarang sebagai penyebab, tetapi pernah terjadi
adalah M. Bovis dan M. Avium.

C. Manifestasi Klinik

1. Demam
Biasanya sub febris menyerupai demam influenza tapi kadang-kadang
panas badan dapat mencapai 40-41oC. Serangan demam pertama
dapat sembuh kembali, begitu seterusnya hilang timbul, sehingga
pederita malas tidak pernah berobat dari serangan demam influenza.
Keadaan ini sangat dipengaruhi daya tahan tubuh penderita dan berat
ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.
2. Batuk
Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada
bronnchus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk
radang. Sifat batuk mulai dari yang kering, kemudian setelah timbul
peradangan menjadi produktif. Keadaan ini yang lanjut adalah berupa
batuk darah (haemaptoe) karena terdapat permbuluh-pembuluh darah
yang pecah.
3. Sesak Nafas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak
nafas, sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut,
dimana infasinya sudah setengah bagian paru-paru.
4. Nyeri Dada
Gejala ini jarang ditemukan, nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
5. Malaise
Penyakit tuberkulosis radang yang menahun, gejala malaise sering
ditemukan, anoreksia makin kurus (BB menurun), sakit kepala,
meriang, nyeri otot, keringat malam.

D. Patofisiologi
Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas
perantara sel-sel efektornya adalah makrofag, sedangkan limfosit T (sel T)
adalah sel imunoresponsifnya. Tipe imunitas ini biasanya lokal, melibatkan
makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh lomosit dan limokinnya.
Respon ini disebut sebagai reaksi hipersentifitas.

Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi


sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil, gumpalan basil
yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar
bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang
alveolus biasanya dibagian bawah lobus atas paru-paru atau bagian lobus
bawah basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit
polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfogosit bakteri
namun tidak membunuh organisme tersebut, sesudah hari-hari pertama
maka leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami
konsolidasi dan timbul gejala pneumoni akut. Pneumoni selular ini dapat
sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal atau
proses dapat juga terus berjalan dan bakteri terus difogosit atau kembang
biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening regional.
Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian
bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh
limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari.

Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan
seperi lesi nekrosis ini disebut caseosa. Daerah yang mengalami nekrosis
caseosa dan jaringan granulasi disekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan
fibroblas menimbulkan respon berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih
fibrosa, membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu
kapsul yang mengelilingi tuberkel.

Lesi primer paru-paru dinamakan fokus Ghan dan gabungan terserangnya


kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon.
Kompleks ghon yang mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada orang
seghat yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiologi rutin.

Respon lain yang terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana
bahan cair lepas ke dalam bronkhus dan menimbulkan kavitas. Kavitas yang
kecil dapat menutup tanpa peradangan dengan meninggalkan jaringan
parut. Bila peradangan mereda lumen bronkhus dapat menyempit dan
tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat perbatasan bronkhus.
Bahan perkijuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui
saluran penghubung, sehingga kavitas penuh dengan bahan perkijuan, dan
lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini akan
mengakibatkan peradangan aktif pada bronkhus.

Penyakit menyebar secara limohematogen melalui kelenjar-kelenjar getah


bening dan secara hemotogen ke seluruh organ tubuh.
E. Faktor Predisposisi/Faktor Pencetus
a. Rasial/Etnik group : Penduduk asli Amerika, Eskimo, Negro, Imigran dari
Asia Tenggara.
b. Klien dengan ketergantuangan alkhohol dan kimia lain yang menimbulkan
penurunan status kesehatan.
c. Bayi dan anak di bawah 5 tahun.
d. Klien dengan penurunan imunitas : HIV positip, terapi steroid & kemoterapi
kanker.

F. Penatalaksaan
Pengobatan tuberkulosis terutama pemberian obat antimikroba dalam
jangka waktu lama. Obat-obat ini juga dapat digunakan untuk mencegah
timbulnya penyakit klinis pada seorang yang sudah terjangkit infeksi.

Penderita tuberculosis dengan gejala klinis harus mendapat minimum dua


obat untuk mencegah timbulnya strain yang resisten terhadap obat.
Kombinasi obat-obat pilihan adalah isoniazid (hidradzid asam isonikotinat =
INH) dengan (EMB) atau rifampisin (RIF). Dosis lazim INH untuk orang
biasanya 5 – 10 mg/kg berat badan atau sekitar 300/mg/hari, EMB, 25mg/kg
selama 60 hari, kemudian 15 mg/kg, RIF, 600 mg sekali sehati. Efek samping
Etambutol adalah neuritis retrobular disertai penurunan ketajaman
penglihatan, uji ketajaman penglihatan dianjurkan setiap bulan agar keadaan
tersebut dapat diketahui. Efek samping INH yang berat jarang terjadi,
komplikasi yang berat adalah heatitis. Resiko hepatitis sangat rendah pada
penderita dibawah usia 20 tahun dan mencapai puncaknya pada mereka
yang berusia 50 tahun keatas. Disfungsi hati ringan, seperti terbukti dengan
peningkatan aktivitas serum amino transferase, ditemukan pada 10 – 20 %
kasus yang mendapat INH. Waktu minimal terapi kombinasi 18 bulan
sesudah konvensi biakan sputum menjadi negatif. Sesudah itu msih harus
dianjurkan terapi dengan INH saja selama satu tahun

Baru-baru ini CDC dan America Thoracic Society (ATS) mengeluarkan


pernyataan mengenai rekomendasi kemoterapi jangka pendek bagi penderita
tuberkulosis dengan riwayat tuberkulosis paru yang tidak diobati sebelumnya.
Rekomendasi lama pengobatan 6 atau 9 bulan berkaitan dengan rejimen
yang terdiri dari INH dan RIF (tanpa atau dengan obat-obat lainnya), dan
hanya diberikan pada pasien tuberkulosis paru tanpa komplikasi, isalnya :
pasien tanpa penyakit lain seperti diabetes, silikosis atau kanker.

Pada fase pertama pengobatan pengobatan 6 bulan mendapat rejimen


harian yang terdiri dari INH, RIF dan pirazinamid untuk sekurang-kurangnya
2 bulan, obat-obat ini dapat juga ditambah dengan streptomisin atau EMB bila
diduga terdapat resistensi terhadap INH. Pada fase kedua diberikan INH dan
RIF setiap hari dua kali seminggu dalam 4 bulan.

Rejimen 9 bulan terdiri dari pemberian INH dan RIF setiap hari selama 1 atau
2 bulan, diikuti pemberian INH dan RIF tiap hari atau dua kali seminggu
selama 9 bulan. Seperti rejimen 6 bulan, streptomisin dan EMB harus
diberikan diawal pengobatan bila diduga ada resistensi terhadap INH.

Ada orang dewasa, dosis terapi lazim setiap hari biasanya 300 mg INH dan
600 mg RIF. Setelah fase permulaan dengan komoterapi yang berlangsung
2 minggu sampai 2 bulan, dokter dapat memberikan pengobatan dua kali
seminggu. Dosis Inh dua kali seminggu adalah 15 mg/kg berat badan,
sedangkan dosis RIF tetap 600 mg.

Meskipun rekomendasi pengobatan jangka pendek juga sesuai untuk anak-


anak, tetapi data-data pemakaian RIF pada anak-anak masih sangat
terbatas. Pengurangan dosis INH sampai 10 mg/kg dan RIF sampai 15 mg/kg
pada anak-anak dapat mengurangi kemungkinan terjadinya hepatotoksik.

G. Pemeriksaan Penunjang
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat untuk
menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mikobakterium tuberkulosa dan
sering digunakan dalam “Screening TBC”. Efektifitas dalam menemukan
infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Pembacaan hasil
tuberkulin dilakukan setelah 48 – 72 jam; dengan hasil positif bila terdapat
indurasi diameter lebih dari 10 mm, meragukan bila 5-9 mm. Uji tuberkulin
bisa diulang setelah 1-2 minggu. Pada anak yang telah mendapat BCG,
diameter indurasi 15 mm ke atas baru dinyatakan positif, sedangkan pada
anak kontrak erat dengan penderita TBC aktif, diameter indurasi ≥ 5 mm
harus dinilai positif. Alergi disebabkan oleh keadaan infeksi berat, pemberian
immunosupreson, penyakit keganasan (leukemia), dapat pula oleh gizi
buruk, morbili, varicella dan penyakit infeksi lain.

Gambaran radiologis yang dicurigai TB adalah pembesaran kelenjar nilus,


paratrakeal, dan mediastinum, atelektasis, konsolidasi, efusipieura, kavitas
dan gambaran milier. Bakteriologis, bahan biakan kuman TB diambil dari
bilasan lambung, namun memerlukan waktu cukup lama. Serodiagnosis,
beberapa diantaranya dengan cara ELISA (Enzyime Linked
Immunoabserben Assay) untuk mendeteksi antibody atau uji peroxidase –
anti – peroxidase (PAP) untuk menentukan IgG spesifik. Teknik
bromolekuler, merupakan pemeriksaan sensitif dengan mendeteksi DNA
spesifik yang dilakukan dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction).
Uji serodiagnosis maupun biomolekular belum dapat membedakan TB aktif
atau tidak.

Tes tuberkulin positif, mempunyai arti :

1. Pernah mendapat infeksi basil tuberkulosis yang tidak berkembang


menjadi penyakit.

2. Menderita tuberkulosis yang masih aktif

3. Menderita TBC yang sudah sembuh

4. Pernah mendapatkan vaksinasi BCG

5. Adanya reaksi silang (“cross reaction”) karena infeksi mikobakterium


atipik.
BAB III
PEMBAHASAN

1. Pengaruh tuberculosis terhadap kehamilan

Kehamilan dan tuberculosis merupakan dua stressor yang berbeda pada ibu
hamil. Stressor tersebut secara simultan mempengaruhi keadaan fisik mental
ibu hamil. Lebih dari 50 persen kasus TB paru adalah perempuan dan data
RSCM pada tahun 1989 sampai 1990 diketahui 4.300 wanita hamil,150
diantaranya adalah pengidap TB paru

Efek TB pada kehamilan tergantung pada beberapa factor antara lain tipe,
letak dan keparahan penyakit, usia kehamilan saat menerima pengobatan
antituberkulosis, status nutrisi ibu hamil, ada tidaknya penyakit penyerta,
status imunitas, dan kemudahan mendapatkan fasilitas diagnosa dan
pengobatan TB. Status nutrisi yang jelek, hipoproteinemia, anemia dan
keadaan medis maternal merupakan dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas maternal.

Usia kehamilan saat wanita hamil mendapatkan pengobatan antituberkulosa


merupakan factor yang penting dalam menentukan kesehatan maternal
dalam kehamilan dengan TB. Jika pengobatan tuberkulosis diberikan awal
kehamilan, dijumpai hasil yang sama dengan pasien yang tidak hamil,
sedangkan diagnosa dan perewatan terlambat dikaitkan dengan
meningkatnya resiko morbiditas obstetric sebanyak 4x lipat dan
meningkatnya resiko preterm labor sebanyak 9x lipat. Status sosio-ekonomi
yang jelek, hypo-proteinaemia, anemia dihubungkan ke morbiditas ibu.

Kehamilan dapat berefek terhadap tuberculosis dimana peningkatan


diafragma akibat kehamilan akan menyebabkan kavitas paru bagian bawah
mengalami kolaps yang disebut pneumo-peritoneum. Pada awal abad 20,
induksi aborsi direkomondasikan pada wanita hamil dengan TB.
Selain paru-paru, kuman TB juga dapat menyerang organ tubuh lain seperti
usus, selaput otak, tulang, dan sendi, serta kulit. Jika kuman menyebar hingga
organ reproduksi, kemungkinan akan memengaruhi tingkat kesuburan
(fertilitas) seseorang. Bahkan, TB pada samping kiri dan kanan rahim bisa
menimbulkan kemandulan. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran pada pengidap
TB atau yang pernah mengidap TB, khususnya wanita usia reproduksi. Jika
kuman sudah menyerang organ reproduksi wanita biasanya wanita tersebut
mengalami kesulitan untuk hamil karena uterus tidak siap menerima hasil
konsepsi.

Harold Oster MD,2007 dalam mengatakan bahwa TB paru (baik laten maupun
aktif) tidak akan memengaruhi fertilitas seorang wanita di kemudian hari.
Namun, jika kuman menginfeksi endometrium dapat menyebabkan gangguan
kesuburan. Tapi tidak berarti kesempatan untuk memiliki anak menjadi
tertutup sama sekali, kemungkinan untuk hamil masih tetap ada. Idealnya,
sebelum memutuskan untuk hamil, wanita pengidap TB mengobati TB-nya
terlebih dulu sampai tuntas. Namun, jika sudah telanjur hamil maka tetap
lanjutkan kehamilan dan tidak perlu melakukan aborsi.

2. Pengaruh tuberkulosis terhadap janin

Menurut Oster, 2007 jika kuman TB hanya menyerang paru, maka akan ada
sedikit risiko terhadap janin. Untuk meminimalisasi risiko,biasanya diberikan
obat-obatan TB yang aman bagi kehamilan seperti Rifampisin, INH dan
Etambutol. Kasusnya akan berbeda jika TB juga menginvasi organ lain di luar
paru dan jaringan limfa, dimana wanita tersebut memerlukan perawatan di
rumah sakit sebelum melahirkan. Sebab kemungkinan bayinya akan
mengalami masalah setelah lahir. Penelitian yang dilakukan oleh Narayan
Jana, KalaVasistha, Subhas C Saha, Kushagradhi Ghosh, 1999 dalam
tentang efek TB ekstrapulmoner tuberkuosis, didapatkan hasil bahwa
tuberkulosis pada limpha tidak berefek terhadap kahamilan, persalinan dan
hasil konsepsi. Namun juka dibandingkan dengan kelompok wanita sehat
yang tidak mengalami tuberculosis selama hamil mempunyai resiko
hospitalisasi lebih tinggi (21% : 2%), bayi dengan APGAR skore rendah
segera setelah lahir (19% : 3%), berat badan lahir rendah (<2500 gram).

Selain itu, risiko juga meningkat pada janin, seperti abortus, terhambatnya
pertumbuhan janin, kelahiran prematur dan terjadinya penularan TB dari ibu
ke janin melalui aspirasi cairan amnion (disebut TB congenital). Gejala TB
congenital biasanya sudah bisa diamati pada minggu ke 2-3 kehidupan
bayi,seperti prematur, gangguan napas, demam, berat badan rendah, hati
dan limpa membesar. Penularan kongenital sampai saat ini masih belum
jelas,apakah bayi tertular saat masih di perut atau setelah lahir.

3. Pengaruh kehamilan terhadap tuberkolosis

Pengetahuan akan meningkatnya diafragma selama kehamilan yang


mengakibatkan kolapsnya paru di daerah basal paru masih dipegang sampai
abad 19. Awal abad ke-20, aborsi merupakan pilihan terminasi pada wanita
hamil dengan tuberculosis. Sekarang, TB diduga semakin memburuk selama
kehamilan, khususnya di hubungakann dengan status sosio-ekonomi jelek,
imunodefisiensi atau adanya penyakit penyerta. Kehilangan antibodi
pelindung ibu selama laktasi juga menguntungkan perkembangan TB. Akan
tetapi, lebih banyak studi diperlukan untuk menyokong hipotesa.

4. Tes Diagnosis TB pada Kehamilan

Bakteri TB berbentuk batang dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan


terhadap asam. Karena itu disebut basil tahan asam (BTA). Kuman TB cepat
mati terpapar sinar matahari langsung,tetapi dapat bertahan hidup beberapa
jam di tempat gelap dan lembap.

Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat melakukan dormant (tertidur lama
selama beberapa tahun). Penyakit TB biasanya menular pada anggota
keluarga penderita maupun orang di lingkungan sekitarnya melalui batuk atau
dahak yang dikeluarkan si penderita. Hal yang penting adalah bagaimana
menjaga kondisi tubuh agar tetap sehat.

Seseorang yang terpapar kuman TB belum tentu akan menjadi sakit jika
memiliki daya tahan tubuh kuat karena sistem imunitas tubuh akan mampu
melawan kuman yang masuk. Diagnosis TB bisa dilakukan dengan beberapa
cara, seperti pemeriksaan BTA dan rontgen (foto torak). Diagnosis dengan
BTA mudah dilakukan,murah dan cukup reliable.

Kelemahan pemeriksaan BTA adalah hasil pemeriksaan baru positif bila


terdapat kuman 5000/cc dahak. Jadi, pasien TB yang punya kuman 4000/cc
dahak misalnya, tidak akan terdeteksi dengan pemeriksaan BTA (hasil
negatif). Adapun rontgen memang dapat mendeteksi pasien dengan BTA
negatif, tapi kelemahannya sangat tergantung dari keahlian dan pengalaman
petugas yang membaca foto rontgen. Di beberapa negara digunakan tes
untuk mengetahui ada tidaknya infeksi TB, melalui interferon gamma yang
konon lebih baik dari tuberkulin tes.

Diagnosis dengan interferon gamma bisa mengukur secara lebih jelas


bagaimana beratnya infeksi dan berapa besar kemungkinan jatuh sakit.
Diagnosis TB pada wanita hamil dilakukan melalui pemeriksaan fisik (sesuai
luas lesi), pemeriksaan laboratorium (apakah ditemukan BTA?), serta uji
tuberkulin.

Uji tuberkulin hanya berguna untuk menentukan adanya infeksi TB,


sedangkan penentuan sakit TB perlu ditinjau dari klinisnya dan ditunjang foto
torak. Pasien dengan hasil uji tuberkulin positif belum tentu menderita TB.
Adapun jika hasil uji tuberkulin negatif, maka ada tiga kemungkinan, yaitu
tidak ada infeksi TB, pasien sedang mengalami masa inkubasi infeksi TB, atau
terjadi anergi.

Kehamilan tidak akan menurunkan respons uji tuberkulin. Untuk mengetahui


gambaran TB pada trimester pertama, foto toraks dengan pelindung di perut
bisa dilakukan, terutama jika hasil BTA-nya negatif.
5. Pengobatan TB pada kehamilan

Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan


pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman
untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada
kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier
placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan
pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan
dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan
pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat
berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan
tertular TB.

Anda mungkin juga menyukai