Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

SISTEM HUKUM INDONESIA

HUBUNGAN DPR DENGAN PRESIDEN DALAM PEMBENTUKAN


UNDANG-UNDANG

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah Sitem Hukum Indonesia

Dosen Pembimbing
Dr. Sholih Muadi, SH. M.Si

Disusun oleh:

JULIATI RAMBE 165120501111043

JURUSAN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2016
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
“Negara Indonesia adalah negara yang berdaulat, dalam artian bahwa bangsa Indonesia
memiliki kekuasaantertinggi untuk mengatur kehidupan rakyatnya dalam mencapai masyarakat
yang sejahtera adil dan makmur. Kedaulatan bangsa Indonesia diperoleh pada saat kemerdekaan
Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Dimana pada waktu itu bangsa Indonesia memiliki
kekuasaan penuh dan bebas melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta
mencapai tujuan dan cita-cita hidupnya. Negara yang sudah berdaulat adalah sebuah wilayah
yang telah diakui oleh wilayah negara lainnya baik secara eksistensi ekonomi, politik, budaya,
dan berbagai bidang yang biasanya disebut dengan pengakuan de facto dan pengakuan de jure.
Berdaulat juga berarti mempunyai kekuasaan penuh (kekuasaan tertinggi) untuk mengatur suatu
pemerintahan. Dengan demikian negara yang berdaulat adalah suatu negara yang telah
mendapatkan kekuasaan penuh untuk mengatur pemerintahannya. Tidak ada kekuasaan lain yang
dapat mendikte dan/atau mengontrol negara tersebut. Kekuasaan tertinggi di Indonesia ada di
tangan rakyat”.

“Kedaulatan rakyat merupakan suatu konsep kekuasaan di Indonesia yang biasa disebut
dengan demokrasi. Demokrasi adalah sebuah konsep pemerintahan oleh, dari, dan untuk rakyat,
dimana rakyat ikut berperan serta dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk pengurusan
kehidupan bersama dalam negara. Keseluruhan sistem penyelenggaraan negara itu pada dasarnya
juga diperuntukkan bagi seluruh rakyat itu sendiri. Bahkan negara yang baik diidealkan pula agar
diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat yang artinya dengan melibatkan masyarakat dalam
arti yang seluas-luasnya. Pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat dapat dilakukan melalui
demokrasi langsung maupun demokrasi perwakilan. Demokrasi langsung bercirikan rakyat
mengambil bagian secara pribadi dalam tindakan-tindakan dan pemberian suara untuk membahas
dan mengesahkan undang-undang. Sedangkan demokrasi perwakilan, rakyat memilih warga
lainnya sebagai wakil yang duduk di lembaga perwakilan rakyat untuk membahas dan
mengesahkan undang-undang”.
Arus reformasi yang melanda Indonesia memberikan perubahan yang mendasar terhadap
format kelembagaan negara republik ini. Salah satunya adalah adanya perubahan UUD 1945.
Implikasi dari perubahan ini yakni, tidak ada lagi status “lembaga tertinggi negara”. Lembaga
penyelenggara negara sekarang posisinya sejajar, sama-sama sebagai “lembaga
negara”. Hubungan antar lembaga negara menjadi horizontal tidak lagi vertikal.
Dalam UUD 1945 pra-amandemen, Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi “lembaga
tertinggi negara”, lembaga-lembaga negara dibawahnya menjadi “lembaga tinggi negara”
seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung, Mahkamah Agung
dan Badan Pemeriksa Keuangan. Lembaga tinggi negara harus bertanggung jawab kepada
lembaga tertinggi negara. Kedaulatan rakyat yang dipegang oleh MPR dalam pelaksanaannya
dijalankan oleh lembaga negara dibawahnya dan lembaga-lembaga negara tersebut
bertanggung jawab kepada MPR. Misalnya, Presiden sebagai mandataris MPR harus
mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada MPR.

Dengan digelarnya UUD 1945 pasca amandemen selanjutnya ditulis UUD NRI 1945,
status MPR sebagai lembaga tertinggi negara dihapus. Posisi MPR sekarang menjadi
lembaga tinggi negara sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya. Pasal 1 ayat 2 UUD
NRI 1945 mengatakan: “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”. Setiap lembaga tinggi negara mempunyai fungsi dan kerja masing-
masing serta terdapat pemisahan kekuasaan didalamnya. Lembaga tinggi negara yang satu
tidak bertanggung jawab kepada lembaga tinggi negara lainnya. Kinerja lembaga tinggi
negara dipertanggungjawabkan kepada rakyat.

Konsep pemisahan kekuasaan yang dijalankan republik ini mengantarkan setiap lembaga
negara mempunyai kewenangan dan kekuasaan yang berimbang. Eksistensi tiga kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus dipisah. Kekuasaan penyelenggaraan negara tidak
boleh berada ditangan satu badan.

Teori pemisahan kekuasaan muncul pertama kali dalam teori Montesquie pada
karyanya, Esprit des lois, yang diterbitkan pada tahun (1748). teori ini muncul atas kritik dan
pembelajaran Montesquie terhadap konstitusi Inggris.
Pemikiran Montesquie ini dianut pula oleh pemikir Inggris sendiri, Blackstone. Dalam
karyanya Commentaries on the Laws of England (1765), menyatakan: “Apabila hak untuk
membuat dan melaksanakan undang-undang diberikan kepada orang atau badan yang sama,
maka tidak akan ada lagi kebebasan publik.”

Dalam konteks keindonesiaan, perihal yang diutarakan oleh Mantesquieu dan Blackstone
sebelum diadakan perubahan (amandemen) UUD 1945 telah menjadi kenyataan. Pasal 5 ayat
(1) UUD 1945 sebelum amandemen selanjutnya ditulis UUD 1945, menuliskan:
“Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.” Penjelasan dari pasal ini adalah: “Kecuali executive power, Presiden
bersama-sama dengan dengan Dewan perwakilan Rakyat menjalankan legislative
power dalam negara.”

Konstitusi memberi ruang bagi Presiden untuk sekaligus menjalankan kekuasaan


legislatif (pembuat undang-undang) dan kekuasaan eksekutif (yang menjalankan undang-
undang). Akibatnya bisa dilihat, selama hampir 32 tahun (1966-1998) Presiden—dalam era
Orde Baru—menjadi penguasa “tangan besi”. Seluruh sabdanya menjadi perintah yang harus
dijalankan tanpa ada bantahan, rakyat dibungkam, siapa yang coba membantah apalagi
mengkoreksi perintahnya hanya akan tinggal nama belaka. Mereka akan “dikandangkan”.
Kebebasan bagi publik dikekang, mungkin juga dibuang di tempat sampah. Lahirlah apa
yang disebut dengan executive heavy.

Bandingkan dengan UUD NRI 1945. Pasal 5 ayat (1) menyatakan: “Presiden berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.” Kekuasaan
Presiden dalam kekuasaan legislatif (legislative power) dibatasi hanya pada mengajukan
rancangan undang-undang bukan membentuk undang-undang. Tidak ada lagi penyatuan
kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif di satu tangan. Pemisahan kekusaan terjadi,
Presiden hanya berhak mengajukan rancangan undang-undang. Sedangkan yang mempunyai
wewenang untuk membuat undang-undang berada ditangan DPR. Terdapat pembatasan
kekuasaan Presiden dan selanjutnya Presiden tidak dapat lagi menjalankan kekuasaannya
dengan sewenang-wenang.
Teori pemisahan kekuasaan ini pula yang mendasari adanya perubahan terhadap UUD
1945. secara filosofis, perubahan UUD 1945 dimaksudkan untuk menerangkan
bahwa, pertama, UUD 1945 hanya sebagai moment opname dari berbagai kekuatan politik
dan ekonomi yang dominan pada saat UUD 1945 tersebut dirumuskan. Kedua, UUD 1945
disusun oleh manusia yang sesuai kodratnya yang tidak akan pernah sampai kepada tingkat
kesempurnaan. Pekerjaan manusia tetap memiliki kelemahan maupun kekurangan. Secara
yuridis, para perumus UUD 1945 menunjukkan kearifan bahwa apa yang mereka lakukan
ketika UUD 1945 disusun tentu akan berbeda kondisinya dimasa yang akan datang dan
mungkin suatu saat akan mengalami perubahan. Secara sosiologis-historis, sejak awal
pembuatan UUD 1945 bersifat sementara, yang dikemudian hari dapat disempurnakan dan
dilengkapi.

Namun kemudian, tidak serta-merta perubahan UUD 1945 ini mempengaruhi


penyelenggaraan kekuasaan negara menjadi lebih baik. Semula sebelum UUD 1945
diamendemen kekuasaan negara cenderung bersifat executive heavy, setelah UUD 1945
diamandemen kekuasaan negara cenderung berubah menjadi legislative heavy. Lembaga
perwakilan (DPR) seakan menumpahkan seluruh dendam dan serapahnya karena hampir 32
tahun (1966-1998) dikekang dan berada dibawah komando eksekutif (Presiden).

Sekilas legislative heavy tersebut diakomodir ke dalam perubahan UUD 1945.


sebelumnya dalam UUD 1945, kewenangan DPR hanya pada tataran memberikan
persetujuan pada rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden (Pasal 20 ayat (1)
UUD 1945), sekarang dalam UUD NRI 1945, kewenangan DPR menjadi berlipat. Mulai dari
kewenangan kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945)
sampai “memaksa” Presiden untuk menyetujui pemberlakuan undang-undang dengan atau
tanpa pengesahan dari Presiden (Pasal 20 ayat (5) UUD NRI 1945).
1. Rumusan Masalah

a). Pergeseran kekuasaan eksekutif kepada kekuasaan legislatif nyata-nyata di akomodasi


dalam konstitusi. Lalu, apakah ini berarti teori pemisahan kekuasaan seperti yang
dikemukakan oleh Montesquie dan Blackstone—telah terjadi dalam konstitusi negeri ini?
b). Hal apa yang difok
uskan untuk mengetahui hubungan antara DPR dengan Presiden yang diakomodasi dalam
UUD NRI 1945? Sehingga dapat menjawab apakah pemisahan kekuasaan negara memang
benar-benar terdapat dalam konstitusi Indonesia sekarang dan diterapkan dalam hubungan
kelembagaan antara lembaga DPR dengan lembaga Presiden.
c). Apa saja hubungan DPR dan Presiden dalam UUD 1945 setelah perubahan?

2. Tujuan

a). Untuk memberikan suatu pengetahuan bagi seluruh rakyat Indonesia tentang
hubungan DPR dengan Presiden dalam berbagai perspektif.
b).membuka wawasan atau ide rakyat Indonesia terutama bagi kaum-kaum muda teutama
pada kaum mahasiswa/i untuk tau bagaimana sebenanrnya peran dan fungsi DPR dengan
Presiden dalam hal pembentukan UU di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Arti Lembaga Penyelenggara Kekuasaan Negara


Hubungan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya yang diikat
dengan prinsip cheks and balances, dimana lembaga-lembaga negara tersebut diakui
sederajat tetapi tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat adanya
mekanisme hubungan yang sederajat itu, timbul kemungkinan dalam melaksanakan
kewenangan masing-masing terdapat perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD. Dengan
dihapuskannya penjelasan UUD, bisa jadi lembaga-lembaga negara menafsirkan sendiri
UUD dengan seenaknya sesuai dengan kepentingan kelembagaannya.
Tidak adanya penjelasan UUD ini juga bisa mengakibatkan hubungan antara lembaga-
lembaga negara menjadi kurang harmonis. Antara lembaga negara yang satu dengan lembaga
negara yang lain bisa-bisa saling menjatuhkan.
Secara sederhana dapat diketahui bahwa penyelenggaraan kekuasaan negara dijalankan
oleh 3 lembaga yakni, legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Legislatif berfungsi membuat
undang-undang. Menurut teori kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang berdaulat. Rakyat
yang berdaulat ini mempunyai kemauan (Rousseau menyebutnya dengan Volonte
Generale atau Generale Will). Rakyat memilih beberapa orang untuk duduk di lembaga
legislatif sebagai wakil rakyat guna merumuskan dan menyuarakan kemauan rakyat dalam
bentuk kebijaksanaan umum. Lembaga ini mempunyai kekuasaan membentuk undang-
undang sebagai cerminan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan umum tadi. Lembaga ini sering
disebut sebagai dewan perwakilan rakyat atau parlemen.
Parlemen dalam sejarah kuno, misalnya di Inggris, mempunyai kekuasaan hingga bisa
masuk ke urusan privat dan mencampuri urusan publik warga negara. Posisi parlemen sangat
kuat. Posisi parlemen yang seperti ini dikarenakan kekuasaan yang diterima oleh parlemen
berasal langsung dari rakyat. Akan tetapi, kekuasan parlemen ini bila tidak dikontrol akan
melahirkan sebuah kedaulatan parlemen yang tidak tak terbatas (absolut). Telah wajar bahwa
kekuasaan yang absolut akan melahirkan kekuasaan yang korup.
a. Kekuasaan diplomatik, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri.
b. Kekuasaan administratif, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang dan
administrasi negara.
c. Kekuasaan militer, yaitu berkaitan dengan organisasi angkatan bersenjata dan
pelaksanaan perang.
d. Kekuasaan yudikatif (kehakiman), yaitu menyangkut pemberian pengampunan,
penangguhan hukum dan sebagainya terhadap pelaku kriminal atau narapidana.
e. Kekuasaan legislatif, yaitu berkaitan dengan penyusunan rancangan undang-undang dan
mengatur pengesahannya menjadi undang-undang.
Sistem pelaksanaan kerja dan pertanggungjawaban ekesekutif didasarkan atas dua model
sistem pemerintahan, sistem pemerintahan presidensiil dan sistem pemerintahan parlementer.
Sistem pemerintahan presidensiil adalah apabila ekesekutif bertanggung jawab secara
langsung dengan periode waktu tertentu kepada suatu badan yang lebih luas dan tidak terikat
pada pembubaran oleh tindakan parlemen.
Beberapa ciri penting dari sistem pemerintahan presidensil adalah:
1. Presiden/Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan ditengah masa jabatannya karena
alasan politik.
2. Presiden/Wakil Presiden tidak bertanggung jawab kepada lembaga politik tertentu yang
biasa dikenal dengan parlemen, melainkan langsung bertanggung jawab kepada rakyat.
3. Pertanggungjawaban langsung Presiden/Wakil Presiden merupakan akibat dari dipilihnya
Presiden/Wakil Presiden secara langsung olehrakyat melalui pemilihan umum.
4. Presiden/Wakil Presiden tidak dapat membubarkan parlemen, begitu juga sebaliknya
parlemen tidak bisa membubarkan Presiden/Wakil Presiden.
5. Dalam sistem ini, tidak dikenal adanya pembedaan antara fungsi kepala negara dengan
fungsi kepala pemerintahan.
6. Tanggung jawab pemerintahan berada di pundak Presiden, oleh karenanya Presiden
berhak menyusun kabinetnya tanpa ada campur tangan dari parlemen.
Sedangkan sistem pemerintahan parlementer adalah bahwa eksekutif bertanggung jawab
secara langsung kepada parlemen-parlemen mempunyai kekuasaan untuk membubarkan
eksekutif jika parlemen kehilangan kepercayaan kepada eksekutif atau tunduk pada
pemeriksaan yang lebih tidak memihak, seperti misalnya lewat pemilihan presiden secara
berkala. Beberapa ciri dari sistem pemerintahan parlementer adalah:
1. Kepala pemerintahan (eksekutif) sewaktu-waktu dapat dijatuhkan oleh legislatif dengan
alasan politik (misalnya dengan mosi tidak percaya terhadap kinerja pemerintah.
2. Kepala pemerintahan beserta para menterinya bertanggung jawab kepada legislatif
(parlemen).
3. Kepala pemerintahan yang biasanya disebut dengan Perdana Menteri walau dipilih
langsung oleh rakyat, tetapi hakekatnya dia dipilih karena menjadi anggota dari
kelompok mayoritas yang duduk di lembaga perwakilan.
4. Legisaltif/parlemen sewaktu-waktu bisa membubarkan eksekutif.
5. Ada pemisahan fungsi antara kepala pemerintahan dengan kepala negara. Kepala
pemerintahan dijabat oleh Perdana Menteri sedangkan kepala negara dijabat oleh
Raja/Presiden/Sultan atau semacamnya.
Lembaga penyelenggara kekuasaan negara ketiga adalah lembaga yudikatif (kehakiman)
yang berfungsi mengadili undang-undang. Miriam Budiarjo mengawali pembahasan tentang
lembaga yudikatif dengan memaparkan dua sistem hukum yang biasa dianut oleh negara-
negara di dunia, yakni sistem hukum Common Law dan sistem hukum Civil Law.
Sistem hukum Common Law biasa dipakai oleh negara-negara Anglo Saxon. Pelopornya
adalah Inggris pada abad pertengahan. Dalam sistem hukum Common Law, selain undang-
undang yang dibuat oleh parlemen (statute law) masih terdapat undang-undang lain yang
disebut Common Law, yang dihasilkan dari keputusan hakim. Jadi dalam hal ini, hakim ikut
menciptakan hukum. Perihal ini dinamkan sebagai case law atau judge-made law (hukum
buatan hakim).
Hakim yang juga berperan membentuk hukum, dalam sistem hukum Common
Law dipandang tidak melangkahi kewenangan legislatif sebagai pembuat undang-undang,
karena hukum yang dibuat oleh hakim berbeda dengan hukum yang dibuat oleh legislatif. Di
Inggris misalnya, A.V. Dicey berujar bahwa “Kekuasaan hakim pada hakekatnya bersifat
legislatif.” Maksud hukum buatan hakim disini adalah bahwa putusan hakim terdahulu
mengikat pada hakim yang mendatang apabila diterapkan dalam perkara yang sama. Jadi
berbeda dengan hukum yang dibuat oleh legislatif yang memang berfungsi sebagai pembuat
undang-undang/hukum. Hukum yang dibuat oleh hakim ada, bila ada perkara yang diajukan
kepadanya, sedangkan hukum yang dibuat legislatif ada, meskipun tanpa ada perkara apapun,
karena ia berfungsi sebagai pembuat undang-undang.
Sistem hukum kedua adalah Civil Law yakni sistem hukum yang tidak mengenal
azas case law atau judge-made law. Penciptaan hukum secara sengaja oleh hakim itu tidak
mungkin. Di Prancis misalnya, dimana kodifikasi hukum telah diadakan semenjak zaman
Napoleon, para hakim dengan tegas dilarang menciptakan case law. Hakim harus mengadili
perkara hanya berdasarkan pada hukum yang termuat dalam kodifikasi atau hukum yang
telah dibuat oleh legislatif saja. Hal ini dalam ilmu hukum dinamakan dengan aliran Legisme
atau Positivisme perundang-undangan, yakni suatu aliran yang mempunyai pendapat bahwa:
“undang-undang menjadi sumber hukum satu-satunya.”
Perkara yang diajukan kepada hakim diadili dengan undang-undang yang telah ditetapkan
oleh lembaga legislatif. Namun, apabila undang-undang tidak mengatur, maka hakim boleh
menggunakan putusannya sendiri (tentunya hal ini berkenaan dengan azas ius curia
novit, hakim dilarang menolak perkara karena dianggap tahu akan hukumnya). Tetapi
putusan hakim yang terdahulu tidak mengikat pada hakim yang mendatang, walau perkara
yang diajukan serupa. Jadi tidak ada precedent dalam sistem hukum Civil Law.
Lembaga yudikatif menjadi lembaga penyelenggara kekuasaan negara yang tugasnya
menjadi pengadil dari undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga legisalatif. Mekanisme
peradilan untuk mengadili undang-undang ini dikenal dengan istilah judicial review. Di
Indonesia misalnya, fungsi judicial review dijalankan oleh Mahkamah Kontitusi (MK) yang
mengadili Undang-Undang terhadap UUD dan Mahkamah Agung yang mengadili peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.
2. Trias Politica dan Teori Separation of Power
Sebagaimana dituliskan pada lembar sebelumnya bahwa konsep Trias Politica pertama
kali dikenalkan oleh Montesquie dalam karyanya Esprit des Lois (1748) dan juga John
Locke, seorang filsuf Inggris, dalam karyanya Two Traetises on Civil
Goverment (1690). Trias Politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga
macam kekuasaan: pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang
(rule making function); kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-
undang (rule application function); ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili
pelanggaran undang-undang (rule adjudication function).
John Locke mengemukakan Trias Politica dengan pembagian kekuasaan negara menjadi
tiga kekuasaan yakni, pertama, kekuasaan legislatif sebagai pembuat peraturan dan undang-
undang. Kedua, kekuasaan eksekutif sebagai pelaksana dan pengadil undang-
undang. Ketiga, kekuasaan federatif sebagai kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk
menjaga keamanan negara dalam hubungannya dengan negara lain seperti membuat aliansi
dan sebagainya.
Untuk menciptakan sebuah dinamisasi dan mengurangi kekuasaan yang korup, maka
penyelenggaraan negara sebaiknya dijalankan oleh tiga lembaga dengan fungsi masing-
masing, yakni lembaga legislatif sebagai pembuat undang-undang, lembaga eksekutif sebagai
lembaga pelaksana kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah diatur dalam undang-undang,
dan lembaga yudikatif sebagai lembaga pengadil undang-undang. Disini diperlukan adanya
pemisahan kekuasaan (separation of power) antara ketiga lembaga tersebut.
Pada awalnya kekuasaan pembuat, pelaksana sekaligus pengadil undang-undang ada pada
satu tangan, yakni pada tangan raja sebagai penguasa tunggal. Kekuasaan raja yang
sedemikian menciptakan otoritas penuh bagi raja untuk menjalankan kekuasaannya tanpa
kritik. Salah satu implikasi yang ditimbulkan adalah absolutisme dan koruptisme kekuasaan.
Jelas absolutisme dan koruptisime ini tidak dibenarkan dalam penyelengaraan negara, apalagi
dalam tataran kedaulatan rakyat.
Pendapat menarik lahir dari Strong tentang teori Separation of Power. Menurut Strong,
teori Separation of Power dengan kajian sistem ketatanegaraan Inggris lahir dari tendensi
untuk mendelegasikan kekuasaan kerajaan dengan jalan mendelegasikan kekuasaan rangkap
tiga.
Pendapat Strong ini mengidentifikasikan bahwa Separation of Power tidak lahir dari
kebutuhan untuk mengurangi terjadinya kekuasaan yang absolut dan korup. Tetapi lahir
dari bertambahnya urusan negara yang kompleks dan dinamisasi masyarakat yang cepat.
Jadi adalah sebuah “kecelakaan” dan “salah” saat ada pandangan bahwa Separation of
Power adalah jalan untuk mengurangi kekuasaan yang absolut dan korup.
Tanpa berniat menafikan pendapat Strong, kenyataannya dengan adanya pemisahan
kekuasaan saja kekuasaan absolut dan korup kerap lahir, apalagi dengan tidak adanya
pemisahan kekuasaan bisa jadi absolutisme dan koruptisme kekuasaan menjadi
keniscayaan.
3. Hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Presiden/Wakil Presiden
dalam UUD NRI 1945
Dalam konstitusi pra-amandemen negara ini, kedaulatan negara berada ditangan rakyat
dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dari MPR inilah,
kedaulatan rakyat dibagi secara vertikal ke lembaga tinggi negara dibawahnya. Prinsip yang
dianut adalah pembagian kekuasaan (division or distribution of power).

Akan tetapi dalam konstitusi pasca-amandemen, kedaulatan rakyat itu ditentukan


dibagikan secara horizontal dengan cara memisahkannya (Separation of Power) menjadi
kekuasaan-kekuasaan yang dinisbatkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang
sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip checks and
balances (saling imbang dan saling awas).

Posisi antara legislatif (MPR/DPR) dan eksekutif (Presiden/Wakil Presiden) dalam


konstitusi pasca-amandemen adalah sejajar. Berbeda dengan konstitusi pra-amandemen,
legislatif (MPR) berada diatas ekeskutif (Presiden), walau pada kenyataannya eksekutiflah
yang sebenarnya berada diatas dan mengendalikan legislatif. Posisi yang sejajar dalam
konstitusi pasca-amandemen juga menimbulkan hubungan baru antara lembaga legislatif
dengan lembaga eksekutif, berbeda dengan hubungan antar-keduanya dalam konstitusi pra-
amandemen.

Dari studi singkat terhadap kontitusi (UUD NRI 1945), ditemukan beberapa bentuk
hubungan antara legislatif dan eksekutif tersebut misalnya dalam bidang, pertama, kekuasaan
legislasi (membuat undang-undang). Terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) “Presiden berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.” Pasal 20 ayat (2)
“Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
untuk mendapatkan persetujuan bersama.”

Kedua pasal ini mensuratkan adanya pengurangan kekuasaan legislasi Presiden. Presiden
dikembalikan ke posisi sebagai pelaksana undang-undang, bukan pembentuk undang-undang
dan DPR sebagai lembaga pembuat undang-undang. Posisi DPR sebagai pembuat undang-
undang ini semakin diperkuat oleh konstitusi dengan Pasal 20 ayat (5): “Dalam hal
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden
dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui,
rancangan undang-undang tersebut menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.” Pada
bidang kekuasaan legislasi, pemisahaan kekuasaan (Separation of Power) dalam konstitusi
pasca-amandemen (UUD NRI 1945) telah diakomodir.

Kedua, kekuasaan administratif dan kelembagaan. Terdapat dalam Pasal 7A “Presiden


dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah
melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.” Dan Pasal 7C “Presiden tidak
dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.”

Posisi Presiden/Wakil Presiden dikontrol oleh DPR melalui mekanisme pemakzulan


(impeachment process) serta posisi DPR sama kuat dengan Presiden, karena Presiden tidak
dapat membubarkan DPR. Sepertinya pada bidang kekuasaan ini, kekuasaan DPR lebih besar
dari Presiden, karena DPR bisa mengkontrol Presiden lewat mekanisme pemakzulan. Prinsip
saling awas (checks) bersifat searah dan cenderung legislative heavy. Lalu bagaimana bentuk
kontrol Presiden terhadap DPR? sejauh ini penulis tidak menemukan pasal dalam kontitusi
pasca-amandemen (UUD NRI 1945) yang menyebutkan kontrol Presiden terhadap DPR.
Pasal pemakzulan menurut hipotesa penulis dilandasi pada aksi sejarah Orde Baru yang
memberikan kewenangan sangat besar pada Presiden. Jadi Pasal ini bisa disebut “pasal
egois”.

Ketiga, kekuasaan militer dan diplomatik. Terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) “Presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian
dan perjanjian dengan negara lain.” Ayat (2) “Presiden dalam membuat perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Dan
Pasal 13 ayat (2) “Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat.” Ayat (3) Presiden menerima penempatan duta negara lain
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”

Presiden hanya memperhatikan pertimbangan DPR apabila mengangkat duta besar dan
menerima penempatan duta besar negara lain. Kata memperhatikan disini berarti bukan
sebuah keharusan? Kata “memperhatikan” menurut hemat penulis adalah sebuah bentuk
saling imbang (balances) antara DPR (legislatif) dengan Presiden (eksekutif).

Keempat, kekuasaan yudikatif. Terdapat dalam Pasal 14 ayat (2) “Presiden memberi
amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.” Pasal
ini jelas mensuratkan adanya prinsip saling imbang (balances) antara DPR dengan Presiden.

”Hubungan antara DPR dam Presiden terletak pada hubungan kerja. Hubungan kerja
tersebut antara lain adalah mengenai proses pembuatan undang-undang antara presiden dan DPR
yang diatur dalam pasal 20 ayat 2, 3, 4, dan 5. Yaitu setiap rancangan undang-undang harus
dibahas oleh presiden dan DPR untuk mendapat persetujuan bersama (ayat 2). Jika rancangan
undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, maka maka rancangan undang-undang
itu tidak dapat diajukan lagi pada masa persidangan itu (ayat 3). Presiden mengesahkan
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama, (ayat 4) dan apabila presiden dalam
waktu 30 hari setelah rancangan undang-undang itu disetujui bersama, undang-undang itu sah
menjadi undang-undang dan wajib diundangkan (ayat 5). Untuk terbentuknya undang-undang,
maka harus disetujui bersama antara presiden dengan DPR. Walaupun seluruh anggota DPR
setuju tapi presiden tidak, atau sebaliknya, maka rancangan undang-undang itu tidak dapat
diundangkan”.
Selanjutnya mengenai fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR. Yaiyu mengawasi
presiden dan wakil presiden dalam pelaksanaan kekuasaan eksekutif. Dan DPR dapat
mengusulkan pemberhentian Presisiden sebagai tindak lanjut pengawasan (pasal 7A). Dalam
bidang keuangan, RUU APBN diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama DPR dengan
memperhatikan pertimbangan DPD (pasal 23 ayat 2). Apabila DPR tidak menyetujui RAPBN
yang diusulkan presiden, pemerintah menjalankan APBN tahun lalu(pasal 23 ayat 3).
Hubungan kerja lain antara DPR dengan Presiden antara lain: melantik presiden dan atau
wakil presiden dalam hal MPR tidak dapat melaksanakan sidang itu (pasal 9), memberikan
pertimbangan atas pengangkatan duta dan dalam hal menerima duta negara lain (pasal 13),
memberikan pertimbangan kepada presiden atas pemberian Amnesti dan Abolisi (pasal 14 ayat
2), memberikan persetujuan atas pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan
negara lain (pasal 11), memberikan persetujuan atas pengangkatan komisi yudisial (pasal 24B
ayat 3), memberikan persetujuan atas pengangkatan hakim agung (pasal 24A ayat 3).

Hubungan Presiden dengan DPR dan DPD dalam pembentukan UU:

a) Kekuasaan untuk membentuk UU berada pada DPR sebagaimana di tuangkan dalam


pasal 20 ayat 1. rancangagn UU bisa dari RPR maupun dari Presiden yang disusun
berdasarkan program legislasi daerah(Proglegnas)
b) Masalah masalah yang dibahas antara lain pemekaran daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta berkaitan dengan perimbangan keuangan
antara pusat dan daerah dengan mengikutsertakan DPD.
c) Dalam hubungan dengan DPD, terdapat hubungan kerja dalam hal ikut membahas RUU
yang berkaitan dengan bidang tertentu, DPD memberikan pertimbangan atas RUU
tertentu, dan menyampaikan hasil pengawasan pelaksanaan UU tertentu pada DPR.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang sudah diuraikan datas, maka dapat ditarik
pokok-pokok kesimpulan:
a). Bahwa pasca amandemen/perubahan konstitusi Indonesia yakni Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 terdapat Pasal yang secara garis besar menerangkan
bahwa Presiden dan DPR yang merupakan lembaga tinggi negara yang sederajat mempunyai
hubungan kerja dalam pembentukan undang-undang. Hubungan kerja dalam pembentukan UU
terdapat pada Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Bahwa
selain diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,
hubungan kerja dimaksud juga diatur dalam Pasal 71 huruf (a) UU MD3 yang juga telah
menerangkan bahwa “DPR juga berwenang membentuk undang-undang yang dibahas dengan
Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama”;
b). Bahwa dalam hubungan kerja antara Presiden dan DPR dalam membentuk UU masih
terdapat beberapa faktor-faktor yang menghambat berjalanya pembentukan UU. Jika dikaji
secara tataran normatif yakni pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945, hambatan dimaksud justru terdapat pada Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 secara keseluruhan, hambatan yang paling mendasar pada Pasal dimaksud
terkait dengan “hak veto” Presiden dalam pembentukan UU. Pada pasal tersebut tentaang “hak
veto” Presiden hanya terlibat pada proses pembentukan UU, bukan pada pembentukan UU
sepertihalnya DPR. Lain dari itu pada UU MD3 memang belum ditemukan adanya pasal-pasal
maupun ayat-ayat yang menghambat jalannya pembentukan UU. Bahwa faktor-faktor yang
menghambat hubungan kerja antara Presiden dan DPR dalam pembentukan UU juga masih
ditemukan dalam tataran sosiologis. Dimana hambatan-hambatan dimaksut bisa kita lihat pada
praktik-praktif antara kedua lembaga dimaksud yakni Presiden dan DPR yang diantaranya yaitu :
*Masa reses yang berlarut-larut, masa kunjungan kerja yang begitu banyak, penambahan komisi-
komisi dalam DPR yang tidak begitu kompeten dalam bidangnya untuk pembentukan UU dan
juga keruhnya suasana perpolitikan dengan adanya koalisi-koalisi dalam tubuh DPR sehingga
dalam pembahasan pembentukan UU selalu berada pada perdebatan kusir yang berujung pada
jalan buntu (deadlock), serta lambanya lembaga pemerintahan (Presiden) dalam merespon
adanya pembentukan UU.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dirasa perlu untuk diberikan
beberapa saran setelah penulis menyimpulkan seperti yang sudah terurai di atas, adapun saran-
saran yang penulis ajukan adalah sebagai berikut:

1. Sebaiknya kedepan Presiden dan DPR harus lebih giat dan berkomitmen untuk
melaksanakan apa yang sudah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam
menjalankan kewenangan dibidang legislasi / membentuk undang-undang dengan baik.
2. Sebaiknya kedepan Presiden tidak hanya menunjuk menteri untuk melakukan
pembahasan RUU bersama DPR sampai dengan RUU tersebut disahkan menjadi UU. Karena
kehadiran Presiden dalam proses pembentukan UU sangatlah penting.
3. Sebaiknya kedepan Presiden maupun DPR juga harus benar-benar mempunyai komitmen
menyelesaikan pembentukan UU, karena produktifitas dalam pembentukan UU tidak boleh
menurun.
4. Sebaiknya kedepan Presiden dan DPR harus koordinatif dan tidak boleh lamban dalam
pembentukan UU, karena jika kedua lembaga tersebut masih lamban dalam proses
pembentukan UU maka RUU yang sudah ditargetkan tidak akan pernah menjadi UU.
5. Sebaiknya kedepan DPR memangkas masa reses, kunjungan kerja. Sehinga waktu kerja
DPR tidak terbuang sia-sia dan justru DPR yang bertugas menjalankan wewenang dalam
pembentukan UU agar bisa lebih fokus.
6. Sebaiknya kedepan perlu adanya amandemen/perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 yang ke-5. Hanya dengan cara begitulah ketimpangan
mekanisme checks and balances yang ada dapat diperbaiki terutama dalam menata ulang
fungsi legislasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Budiarjo, Miriam. 2002. Prof. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
2. Dicey, A.V. 2007. Pengantar Studi Hukum Konstitusi, (terj.), Bandung: Penerbit
Nusamedia.
3. Hakim Al Suparlan, dkk. 2014. Pendidikan Kewarganegaraan dalam konteks Indonesia.
Malang: Madani
4. Kaelan. Prof. Dr. M.S. 2014. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM
5. Mahfud MD, Moh. Prof. Dr. SH. SU. 2000. Dasar dan Struktur Kelembagaan Negara
Indonesia (edisi revisi). Jakarta: Rineka Cipta
6. Manan, Bagir. Prof. Dr. MCL. SH. 2004. DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945
Baru. Yogyakarta: FH UII Press
7. Muadi, Sholih. Dr. SH. MSi. 2015. Sistem Hukum Indonesia. Malang: IKIP Malang
8. Strong, C.F. 2004. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang
Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia (terj.) Bandung: Penerbit Nuansa dan Nusa
media
9. http://jurnal.unsyiah.ac.id/MIH/article/view/5746
10. http://www.kompasiana.com/setyodwinugroho/hubungan-antar-lembaga-lembaga-
negara-di-indonesia_552918e6f17e613d368b456f
11. https://books.google.co.id/books?
hl=id&lr=&id=tx2BchLHxP4C&oi=fnd&pg=PR5&dq=hubungan+dpr+dan+presiden+da
lam+pembentukan+uu&ots=tDDQHltFDa&sig=vq2RVRiYwgP_THt7rFi28DP7F0c&red
ir_esc=y#v=onepage&q=hubungan%20dpr%20dan%20presiden%20dalam
%20pembentukan%20uu&f=false
12. https://books.google.co.id/books?
hl=id&lr=&id=pm59uBw38OcC&oi=fnd&pg=PA32&dq=hubungan+dpr+dan+presiden+
dalam+pembentukan+uu&ots=rT7plHOwQR&sig=wwYEy6oYxBqEWoT7FYQrOnfOp
Nk&redir_esc=y#v=onepage&q=hubungan%20dpr%20dan%20presiden%20dalam
%20pembentukan%20uu&f=false

Anda mungkin juga menyukai