Dosen Pembimbing
Dr. Sholih Muadi, SH. M.Si
Disusun oleh:
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
“Negara Indonesia adalah negara yang berdaulat, dalam artian bahwa bangsa Indonesia
memiliki kekuasaantertinggi untuk mengatur kehidupan rakyatnya dalam mencapai masyarakat
yang sejahtera adil dan makmur. Kedaulatan bangsa Indonesia diperoleh pada saat kemerdekaan
Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Dimana pada waktu itu bangsa Indonesia memiliki
kekuasaan penuh dan bebas melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta
mencapai tujuan dan cita-cita hidupnya. Negara yang sudah berdaulat adalah sebuah wilayah
yang telah diakui oleh wilayah negara lainnya baik secara eksistensi ekonomi, politik, budaya,
dan berbagai bidang yang biasanya disebut dengan pengakuan de facto dan pengakuan de jure.
Berdaulat juga berarti mempunyai kekuasaan penuh (kekuasaan tertinggi) untuk mengatur suatu
pemerintahan. Dengan demikian negara yang berdaulat adalah suatu negara yang telah
mendapatkan kekuasaan penuh untuk mengatur pemerintahannya. Tidak ada kekuasaan lain yang
dapat mendikte dan/atau mengontrol negara tersebut. Kekuasaan tertinggi di Indonesia ada di
tangan rakyat”.
“Kedaulatan rakyat merupakan suatu konsep kekuasaan di Indonesia yang biasa disebut
dengan demokrasi. Demokrasi adalah sebuah konsep pemerintahan oleh, dari, dan untuk rakyat,
dimana rakyat ikut berperan serta dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk pengurusan
kehidupan bersama dalam negara. Keseluruhan sistem penyelenggaraan negara itu pada dasarnya
juga diperuntukkan bagi seluruh rakyat itu sendiri. Bahkan negara yang baik diidealkan pula agar
diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat yang artinya dengan melibatkan masyarakat dalam
arti yang seluas-luasnya. Pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat dapat dilakukan melalui
demokrasi langsung maupun demokrasi perwakilan. Demokrasi langsung bercirikan rakyat
mengambil bagian secara pribadi dalam tindakan-tindakan dan pemberian suara untuk membahas
dan mengesahkan undang-undang. Sedangkan demokrasi perwakilan, rakyat memilih warga
lainnya sebagai wakil yang duduk di lembaga perwakilan rakyat untuk membahas dan
mengesahkan undang-undang”.
Arus reformasi yang melanda Indonesia memberikan perubahan yang mendasar terhadap
format kelembagaan negara republik ini. Salah satunya adalah adanya perubahan UUD 1945.
Implikasi dari perubahan ini yakni, tidak ada lagi status “lembaga tertinggi negara”. Lembaga
penyelenggara negara sekarang posisinya sejajar, sama-sama sebagai “lembaga
negara”. Hubungan antar lembaga negara menjadi horizontal tidak lagi vertikal.
Dalam UUD 1945 pra-amandemen, Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi “lembaga
tertinggi negara”, lembaga-lembaga negara dibawahnya menjadi “lembaga tinggi negara”
seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung, Mahkamah Agung
dan Badan Pemeriksa Keuangan. Lembaga tinggi negara harus bertanggung jawab kepada
lembaga tertinggi negara. Kedaulatan rakyat yang dipegang oleh MPR dalam pelaksanaannya
dijalankan oleh lembaga negara dibawahnya dan lembaga-lembaga negara tersebut
bertanggung jawab kepada MPR. Misalnya, Presiden sebagai mandataris MPR harus
mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada MPR.
Dengan digelarnya UUD 1945 pasca amandemen selanjutnya ditulis UUD NRI 1945,
status MPR sebagai lembaga tertinggi negara dihapus. Posisi MPR sekarang menjadi
lembaga tinggi negara sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya. Pasal 1 ayat 2 UUD
NRI 1945 mengatakan: “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”. Setiap lembaga tinggi negara mempunyai fungsi dan kerja masing-
masing serta terdapat pemisahan kekuasaan didalamnya. Lembaga tinggi negara yang satu
tidak bertanggung jawab kepada lembaga tinggi negara lainnya. Kinerja lembaga tinggi
negara dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
Konsep pemisahan kekuasaan yang dijalankan republik ini mengantarkan setiap lembaga
negara mempunyai kewenangan dan kekuasaan yang berimbang. Eksistensi tiga kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus dipisah. Kekuasaan penyelenggaraan negara tidak
boleh berada ditangan satu badan.
Teori pemisahan kekuasaan muncul pertama kali dalam teori Montesquie pada
karyanya, Esprit des lois, yang diterbitkan pada tahun (1748). teori ini muncul atas kritik dan
pembelajaran Montesquie terhadap konstitusi Inggris.
Pemikiran Montesquie ini dianut pula oleh pemikir Inggris sendiri, Blackstone. Dalam
karyanya Commentaries on the Laws of England (1765), menyatakan: “Apabila hak untuk
membuat dan melaksanakan undang-undang diberikan kepada orang atau badan yang sama,
maka tidak akan ada lagi kebebasan publik.”
Dalam konteks keindonesiaan, perihal yang diutarakan oleh Mantesquieu dan Blackstone
sebelum diadakan perubahan (amandemen) UUD 1945 telah menjadi kenyataan. Pasal 5 ayat
(1) UUD 1945 sebelum amandemen selanjutnya ditulis UUD 1945, menuliskan:
“Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.” Penjelasan dari pasal ini adalah: “Kecuali executive power, Presiden
bersama-sama dengan dengan Dewan perwakilan Rakyat menjalankan legislative
power dalam negara.”
Bandingkan dengan UUD NRI 1945. Pasal 5 ayat (1) menyatakan: “Presiden berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.” Kekuasaan
Presiden dalam kekuasaan legislatif (legislative power) dibatasi hanya pada mengajukan
rancangan undang-undang bukan membentuk undang-undang. Tidak ada lagi penyatuan
kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif di satu tangan. Pemisahan kekusaan terjadi,
Presiden hanya berhak mengajukan rancangan undang-undang. Sedangkan yang mempunyai
wewenang untuk membuat undang-undang berada ditangan DPR. Terdapat pembatasan
kekuasaan Presiden dan selanjutnya Presiden tidak dapat lagi menjalankan kekuasaannya
dengan sewenang-wenang.
Teori pemisahan kekuasaan ini pula yang mendasari adanya perubahan terhadap UUD
1945. secara filosofis, perubahan UUD 1945 dimaksudkan untuk menerangkan
bahwa, pertama, UUD 1945 hanya sebagai moment opname dari berbagai kekuatan politik
dan ekonomi yang dominan pada saat UUD 1945 tersebut dirumuskan. Kedua, UUD 1945
disusun oleh manusia yang sesuai kodratnya yang tidak akan pernah sampai kepada tingkat
kesempurnaan. Pekerjaan manusia tetap memiliki kelemahan maupun kekurangan. Secara
yuridis, para perumus UUD 1945 menunjukkan kearifan bahwa apa yang mereka lakukan
ketika UUD 1945 disusun tentu akan berbeda kondisinya dimasa yang akan datang dan
mungkin suatu saat akan mengalami perubahan. Secara sosiologis-historis, sejak awal
pembuatan UUD 1945 bersifat sementara, yang dikemudian hari dapat disempurnakan dan
dilengkapi.
2. Tujuan
a). Untuk memberikan suatu pengetahuan bagi seluruh rakyat Indonesia tentang
hubungan DPR dengan Presiden dalam berbagai perspektif.
b).membuka wawasan atau ide rakyat Indonesia terutama bagi kaum-kaum muda teutama
pada kaum mahasiswa/i untuk tau bagaimana sebenanrnya peran dan fungsi DPR dengan
Presiden dalam hal pembentukan UU di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Dari studi singkat terhadap kontitusi (UUD NRI 1945), ditemukan beberapa bentuk
hubungan antara legislatif dan eksekutif tersebut misalnya dalam bidang, pertama, kekuasaan
legislasi (membuat undang-undang). Terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) “Presiden berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.” Pasal 20 ayat (2)
“Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
untuk mendapatkan persetujuan bersama.”
Kedua pasal ini mensuratkan adanya pengurangan kekuasaan legislasi Presiden. Presiden
dikembalikan ke posisi sebagai pelaksana undang-undang, bukan pembentuk undang-undang
dan DPR sebagai lembaga pembuat undang-undang. Posisi DPR sebagai pembuat undang-
undang ini semakin diperkuat oleh konstitusi dengan Pasal 20 ayat (5): “Dalam hal
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden
dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui,
rancangan undang-undang tersebut menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.” Pada
bidang kekuasaan legislasi, pemisahaan kekuasaan (Separation of Power) dalam konstitusi
pasca-amandemen (UUD NRI 1945) telah diakomodir.
Ketiga, kekuasaan militer dan diplomatik. Terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) “Presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian
dan perjanjian dengan negara lain.” Ayat (2) “Presiden dalam membuat perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Dan
Pasal 13 ayat (2) “Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat.” Ayat (3) Presiden menerima penempatan duta negara lain
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Presiden hanya memperhatikan pertimbangan DPR apabila mengangkat duta besar dan
menerima penempatan duta besar negara lain. Kata memperhatikan disini berarti bukan
sebuah keharusan? Kata “memperhatikan” menurut hemat penulis adalah sebuah bentuk
saling imbang (balances) antara DPR (legislatif) dengan Presiden (eksekutif).
Keempat, kekuasaan yudikatif. Terdapat dalam Pasal 14 ayat (2) “Presiden memberi
amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.” Pasal
ini jelas mensuratkan adanya prinsip saling imbang (balances) antara DPR dengan Presiden.
”Hubungan antara DPR dam Presiden terletak pada hubungan kerja. Hubungan kerja
tersebut antara lain adalah mengenai proses pembuatan undang-undang antara presiden dan DPR
yang diatur dalam pasal 20 ayat 2, 3, 4, dan 5. Yaitu setiap rancangan undang-undang harus
dibahas oleh presiden dan DPR untuk mendapat persetujuan bersama (ayat 2). Jika rancangan
undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, maka maka rancangan undang-undang
itu tidak dapat diajukan lagi pada masa persidangan itu (ayat 3). Presiden mengesahkan
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama, (ayat 4) dan apabila presiden dalam
waktu 30 hari setelah rancangan undang-undang itu disetujui bersama, undang-undang itu sah
menjadi undang-undang dan wajib diundangkan (ayat 5). Untuk terbentuknya undang-undang,
maka harus disetujui bersama antara presiden dengan DPR. Walaupun seluruh anggota DPR
setuju tapi presiden tidak, atau sebaliknya, maka rancangan undang-undang itu tidak dapat
diundangkan”.
Selanjutnya mengenai fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR. Yaiyu mengawasi
presiden dan wakil presiden dalam pelaksanaan kekuasaan eksekutif. Dan DPR dapat
mengusulkan pemberhentian Presisiden sebagai tindak lanjut pengawasan (pasal 7A). Dalam
bidang keuangan, RUU APBN diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama DPR dengan
memperhatikan pertimbangan DPD (pasal 23 ayat 2). Apabila DPR tidak menyetujui RAPBN
yang diusulkan presiden, pemerintah menjalankan APBN tahun lalu(pasal 23 ayat 3).
Hubungan kerja lain antara DPR dengan Presiden antara lain: melantik presiden dan atau
wakil presiden dalam hal MPR tidak dapat melaksanakan sidang itu (pasal 9), memberikan
pertimbangan atas pengangkatan duta dan dalam hal menerima duta negara lain (pasal 13),
memberikan pertimbangan kepada presiden atas pemberian Amnesti dan Abolisi (pasal 14 ayat
2), memberikan persetujuan atas pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan
negara lain (pasal 11), memberikan persetujuan atas pengangkatan komisi yudisial (pasal 24B
ayat 3), memberikan persetujuan atas pengangkatan hakim agung (pasal 24A ayat 3).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang sudah diuraikan datas, maka dapat ditarik
pokok-pokok kesimpulan:
a). Bahwa pasca amandemen/perubahan konstitusi Indonesia yakni Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 terdapat Pasal yang secara garis besar menerangkan
bahwa Presiden dan DPR yang merupakan lembaga tinggi negara yang sederajat mempunyai
hubungan kerja dalam pembentukan undang-undang. Hubungan kerja dalam pembentukan UU
terdapat pada Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Bahwa
selain diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,
hubungan kerja dimaksud juga diatur dalam Pasal 71 huruf (a) UU MD3 yang juga telah
menerangkan bahwa “DPR juga berwenang membentuk undang-undang yang dibahas dengan
Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama”;
b). Bahwa dalam hubungan kerja antara Presiden dan DPR dalam membentuk UU masih
terdapat beberapa faktor-faktor yang menghambat berjalanya pembentukan UU. Jika dikaji
secara tataran normatif yakni pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945, hambatan dimaksud justru terdapat pada Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 secara keseluruhan, hambatan yang paling mendasar pada Pasal dimaksud
terkait dengan “hak veto” Presiden dalam pembentukan UU. Pada pasal tersebut tentaang “hak
veto” Presiden hanya terlibat pada proses pembentukan UU, bukan pada pembentukan UU
sepertihalnya DPR. Lain dari itu pada UU MD3 memang belum ditemukan adanya pasal-pasal
maupun ayat-ayat yang menghambat jalannya pembentukan UU. Bahwa faktor-faktor yang
menghambat hubungan kerja antara Presiden dan DPR dalam pembentukan UU juga masih
ditemukan dalam tataran sosiologis. Dimana hambatan-hambatan dimaksut bisa kita lihat pada
praktik-praktif antara kedua lembaga dimaksud yakni Presiden dan DPR yang diantaranya yaitu :
*Masa reses yang berlarut-larut, masa kunjungan kerja yang begitu banyak, penambahan komisi-
komisi dalam DPR yang tidak begitu kompeten dalam bidangnya untuk pembentukan UU dan
juga keruhnya suasana perpolitikan dengan adanya koalisi-koalisi dalam tubuh DPR sehingga
dalam pembahasan pembentukan UU selalu berada pada perdebatan kusir yang berujung pada
jalan buntu (deadlock), serta lambanya lembaga pemerintahan (Presiden) dalam merespon
adanya pembentukan UU.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dirasa perlu untuk diberikan
beberapa saran setelah penulis menyimpulkan seperti yang sudah terurai di atas, adapun saran-
saran yang penulis ajukan adalah sebagai berikut:
1. Sebaiknya kedepan Presiden dan DPR harus lebih giat dan berkomitmen untuk
melaksanakan apa yang sudah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam
menjalankan kewenangan dibidang legislasi / membentuk undang-undang dengan baik.
2. Sebaiknya kedepan Presiden tidak hanya menunjuk menteri untuk melakukan
pembahasan RUU bersama DPR sampai dengan RUU tersebut disahkan menjadi UU. Karena
kehadiran Presiden dalam proses pembentukan UU sangatlah penting.
3. Sebaiknya kedepan Presiden maupun DPR juga harus benar-benar mempunyai komitmen
menyelesaikan pembentukan UU, karena produktifitas dalam pembentukan UU tidak boleh
menurun.
4. Sebaiknya kedepan Presiden dan DPR harus koordinatif dan tidak boleh lamban dalam
pembentukan UU, karena jika kedua lembaga tersebut masih lamban dalam proses
pembentukan UU maka RUU yang sudah ditargetkan tidak akan pernah menjadi UU.
5. Sebaiknya kedepan DPR memangkas masa reses, kunjungan kerja. Sehinga waktu kerja
DPR tidak terbuang sia-sia dan justru DPR yang bertugas menjalankan wewenang dalam
pembentukan UU agar bisa lebih fokus.
6. Sebaiknya kedepan perlu adanya amandemen/perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 yang ke-5. Hanya dengan cara begitulah ketimpangan
mekanisme checks and balances yang ada dapat diperbaiki terutama dalam menata ulang
fungsi legislasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Budiarjo, Miriam. 2002. Prof. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
2. Dicey, A.V. 2007. Pengantar Studi Hukum Konstitusi, (terj.), Bandung: Penerbit
Nusamedia.
3. Hakim Al Suparlan, dkk. 2014. Pendidikan Kewarganegaraan dalam konteks Indonesia.
Malang: Madani
4. Kaelan. Prof. Dr. M.S. 2014. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM
5. Mahfud MD, Moh. Prof. Dr. SH. SU. 2000. Dasar dan Struktur Kelembagaan Negara
Indonesia (edisi revisi). Jakarta: Rineka Cipta
6. Manan, Bagir. Prof. Dr. MCL. SH. 2004. DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945
Baru. Yogyakarta: FH UII Press
7. Muadi, Sholih. Dr. SH. MSi. 2015. Sistem Hukum Indonesia. Malang: IKIP Malang
8. Strong, C.F. 2004. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang
Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia (terj.) Bandung: Penerbit Nuansa dan Nusa
media
9. http://jurnal.unsyiah.ac.id/MIH/article/view/5746
10. http://www.kompasiana.com/setyodwinugroho/hubungan-antar-lembaga-lembaga-
negara-di-indonesia_552918e6f17e613d368b456f
11. https://books.google.co.id/books?
hl=id&lr=&id=tx2BchLHxP4C&oi=fnd&pg=PR5&dq=hubungan+dpr+dan+presiden+da
lam+pembentukan+uu&ots=tDDQHltFDa&sig=vq2RVRiYwgP_THt7rFi28DP7F0c&red
ir_esc=y#v=onepage&q=hubungan%20dpr%20dan%20presiden%20dalam
%20pembentukan%20uu&f=false
12. https://books.google.co.id/books?
hl=id&lr=&id=pm59uBw38OcC&oi=fnd&pg=PA32&dq=hubungan+dpr+dan+presiden+
dalam+pembentukan+uu&ots=rT7plHOwQR&sig=wwYEy6oYxBqEWoT7FYQrOnfOp
Nk&redir_esc=y#v=onepage&q=hubungan%20dpr%20dan%20presiden%20dalam
%20pembentukan%20uu&f=false