Anda di halaman 1dari 7

EPIDEMIOLOGI & EKONOMI VETERINER

Penyakit Endemik : Demam Berdarah Dengue


Oleh :

BRIGITA GALILEA ADU 1509005058

2015 A

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

TAHUN 2018
1. Pengertian dan Epidemiologi

Penyakit endemik adalah suatu penyakit yang menyerang wilayah geografis atau kelompok
populasi tertentu. Penyakit endemik masih berdampak luas terutama pada masyarakat di negara
berkembang. Hal ini antara lain berkaitan dengan pembangunan yang kurang merata, serta
tindakan pencegahan dan pengobatan yang sulit dijangkau.

Salah satu penyakit potensial wabah yang masih terus meningkat kejadiannya di Indonesia
adalah DBD (Demam Berdarah Dengue). DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
virus dengue dengan masa inkubasi 3–15 hari. Virus dengue dibawa oleh vektor
nyamuk Aedes aegypti, yang berkembangbiak di genangan air bersih. Tempat perindukan nyamuk
di lingkungan yang lembah, curah hujan tinggi, terdapat genangan air di dalam maupun di luar
rumah. Faktor lain penyebab DBD adalah sanitasi lingkungan yang buruk, perilaku masyarakat
tidak sehat, perilaku di dalam rumah pada siang hari dan mobilitas penduduk. Mobilitas penduduk
memegang peranan paling besar dalam penularan virus dengue.
Tingginya angka kesakitan DBD disebabkan karena adanya iklim yang tidak stabil dan
curah hujan cukup banyak pada musim penghujan yang merupakan sarana perkembangbiakan
nyamuk Aedes aegypti yang cukup potensial. Selain itu juga didukung dengan tidak maksimalnya
kegiatan PSN di masyarakat sehingga menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Angka kesakitan
DBD di kabupaten/kota hampir semuanya lebih dari 20/100.000 penduduk (Profil Kesehatan Jawa
Tengah, 2012).

 Epidemiologi DBD

Timbulnya suatu penyakit dapat diterangkan melalui konsep segitiga epidemiologik, yaitu
adanya agen (agent), host dan lingkungan (environment).

1. Agent (virus dengue)


Agen penyebab penyakit DBD berupa virus dengue dari
Genus Flavivirus (Arbovirus Grup B) salah satu Genus Familia Togaviradae. Dikenal ada
empat serotipe virus dengue yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4. Virus dengue ini
memiliki masa inkubasi yang tidak terlalu lamayaitu antara 3-7 hari, virus akan terdapat di
dalam tubuh manusia. Dalam masa tersebut penderita merupakan sumber penular penyakit
DBD.
2. Host
Host adalah manusia yang peka terhadap infeksi virus dengue. Beberapa faktor yang
mempengaruhi manusia adalah:
a) Umur
b) Jenis kelamin
c) Nutrisi
d) Populasi
e) Mobilitas penduduk
3. Lingkungan (environment)
Lingkungan yang mempengaruhi timbulnya penyakit dengue
4. Letak geografis
5. Musim

2. Penyidikan
Batasan Wilayah Pelacakan
A. Pemastian Diagnosa
Pemastian diagnosis dilakukan dengan melihat gejala klinis yang muncul pada
penderita dan melakukan pengambilan sampel darah pada beberapa orang penderita yang
sedang dirawat.

No Gejala Klinis
1 Demam
2 Sakit Ulu Hati
3 Torniket
4 Perdarahan
5 Muntah
6 Shock
7 Batuk
B. Pengumpulan Data Sekunder
Data dalam laporan ini diperoleh informasi dari masyarakat, dan data dari penyelidikan
epidemiologi di wilayah kerja puskesmas setempat.

C. Pengumpulan Data Primer


Data primer diperoleh dengan melakukan penyelidikan epidemiologi melalui wawancara
dari rumah ke rumah terhadap kasus atau keluarganya, daerah sekitar wilayah kerja puskesmas
setempat, melalui formulir pelacakan kasus dan wawancara mendalam.

D. Faktor Resiko
Menurut hasil penelitian Widyana (1998), faktor-faktor risiko yang mempengaruhi
kejadian DBD adalah:
1) Kebiasaan menggantung pakaian
Kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah merupakan indikasi menjadi
kesenangan beristirahat nyamuk Aedes aegypti. Kegiatan PSN dan 3M
ditambahkan dengan cara menghindari kebiasaan menggantung pakaian di dalam
kamar merupakan kegiatan yang mesti dilakukan untuk mengendalikan populasi
nyamuk Aedes aegypti, sehingga penularan penyakit DBD dapat dicegah dan
dikurangi.
2) Siklus pengurasan TPA > 1 minggu sekali
Salah satu kegiatan yang dianjurkan daelam pelaksanaan PSN adalah pengurasan
TPA sekurang-kurangnya dalam frekuensi 1 minggu sekali
3) TPA yang berjentik, halaman yang tidak bersih dan anak dengan golongan umur 5-9 tahun
Hasil penelitian Nugroho (1999) faktor–faktor yang mempengaruhi penyebaran
virus dengue antara lain:
a. Kepadatan nyamuk
Kepadatan nyamuk merupakan faktor risiko terjadinya penularan DBD. Semakin
tinggi kepadatan nyamuk Aedes aegypti, semakin tinggi pula risiko masyarakat untuk
tertular penyakit DBD.
Hal ini berarti apabila di suatu daerah yang kepadatanAedes aegypti tinggi terdapat
seorang penderita DBD, maka masyarakat sekitar penderita tersebut berisiko untuk tertular.
Kepadatan nyamuk dipengaruhi oleh adanya kontainer baik itu berupa bak mandi,
tempayan, vas bunga, kaleng bekas yang digunakan sebagai tempat perindukan nyamuk.
Agar kontainer tidak menjadi tempat perindukan nyamuk maka harus di kuras satu minggu
satu kali secara teratur dan mengubur barang bekas.
b. Kepadatan Rumah
Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang jarak terbangnya pendek (100
meter). Oleh karena itu nyamuk tersebut bersifat domestik. Apabila rumah penduduk saling
berdekatan maka nyamuk dapat dengan mudah berpindah dari satu rumah ke rumah
lainnya. Apabila penghuni salah satu rumah ada yang terkena DBD, maka virus tersebut
dapat ditularkan kepada tetangganya.
c. Kepadatan Hunian Rumah
Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang sangat aktif mencari makan,
nyamuk tersebut dapat menggigit banyak orang dalam waktu yang pendek. Oleh karena itu
bila dalam satu rumah ada penghuni yang menderita DBD maka penghuni lain mempunyai
risiko untuk tertular penyakit DBD.
Menurut hasil penelitian tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian
DBD, peneliti menyimpulkan bahwa kejadian DBD dipengaruhi oleh :
1) Faktor keadaan lingkungan yang meliputi kondisi fasilitas TPA, kemudahan
memperoleh air bersih, pengetahuan masyarakat, kualitas pemukiman dan pendapat
keluarga.
2) Faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah adanya kondisi
fasilitas TPA yang baik yang disebabkan karena pengurasannya yang lebih dari satu minggu
sekali, tidak ditutup rapat dan terdapatnya jentik pada fasilitas TPA (Arsin dan Wahiduddin,
2004).

E. Cara Analisis Data


Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi
dan grafik, untuk mendeteksi adanya peningkatan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD)
berdasarkan orang, tempat, dan waktu.
F. Definisi Operasional
Penyakit yang disebabkan oleh Virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti,
yang ditandai dengan demam mendadak 2-7 hari, lemah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai
tanda perdarahan di kulit berupa bintik perdarahan (petechiae), lebam (echymosis) atau ruam
(purpura), kadang-kadang mimisan, berak darah, muntah darah, kesadaran menurun atau
renjatan dan disertai diagnosis dari dokter atau hasil pemeriksaan darah dengan menggunakan
Rapid Test Diagnostic (RDT).

3. Data Laporan DBD di Indonesia (1968-2017)

Di Indonesia, data kematian akibat DBD secara umum menurun. Namun, di beberapa
propinsi seperti, Gorontalo (6,1%), Maluku (6,0%) dan Papua Barat (4,6%) masih tinggi. Di
beberapa propinsi, DBD pernah menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) pada tahun 1998 dan 2004
yang menyebabkan 79.480 orang penderita dan 800 orang lebih meninggal (Kusriastuti, 2010).
Pada tahun-tahun selanjutnya memang dilaporkan terjadi penurunan dalam kasus kematian
tetapi perlu diketahui bahwa jumlah kasus terus bertambah. Pada tahun 2008, tercatat
sebanyak 137.469 kasus dan kematian 1.187 orang. Pada 2009, sebanyak 154.855 kasus dan
kematian 1.384 orang (Kusriastuti, 2010). Untuk informasi DBD tahun 2016, diinformasikan
jumlah kasus meninggal (Gambar 4), Incidence Rate per 100.000 penduduk dan Case Fatality
Rate menurut provinsi dan Indonesia. Kasus meninggal DBD Tahun 2016 Per Propinsi dan
Indonesia (Sumber data : Ditjen P2P Kemenkes RI, 2017, Sumber gambar : Yostan Absalom
Labola. Diperoleh informasi bahwa jumlah kasus DBD di Indonesia terdapat 4 propinsi yang
sangat tinggi yaitu, Jawa Timur (340 kasus), Jawa Barat 270 kasus), Jawa Tengah (213 kasus) dan
Kalimantan Timur (103 kasus). Jumlah kasus terendah dicapai oleh Papua (0 kasus), NTT
dan Sulawesi Barat (2 kasus) serta Kepulauan Bangka Belitung (3 kasus). Incidence Rate (IR)
untuk setiap 100 ribu penduduk pada setiap provinsi pada 2016. Terlihat bahwa terdapat tujuh
(7) provinsi memiliki IR di atas seratus atau rawan terjadi kasus DBD. Ke-tujuh provinsi
tersebut adalah Bali (484), Kalimantan Timur (306), DKI Jakarta (198.7), DI Yogyakarta
(167.9), Kalimatan Utara (158.3), Sulawesi Tenggara (123.3) dan Kalimantan Selatan (101.1).
IR terendah dicapai oleh propinsi Papua (11.8) dan Kalimantan Barat (12.1). Keseluruhan
Indonesia terbilang tinggi karena IR sebesar 78.0. Diperoleh informasi persentase Case Fatality
Rate (CFR) tertinggi pada tahun 2016, Propinsi Maluku (5.8%), Gorontalo (2.7%) dan Maluku
Utara (2.7%). Propinsi dengan CFR terendah dicapai oleh Papua (0%), DKI Jakarta (0.1%) dan
NTT (0.2%). Pada 2016, Indonesia mencatat CFR sebesar 0.8%. CFR merupakan satu
indikator untuk menunjukkan tingkat angka kematian akibat satu penyakit tertentu. Semakin
tinggi angka CFR mengindikasikan tingkat angka kematian semakin tinggi. Ini biasanya terkait
dengan sarana dan prasarana kesehatan yang minim. Secara umum Indonesia dapat menekan
kasus meninggal akibat DBD pada tahun 2016 (1.6 kasus meninggal), CFR (0.8%) dan IR
(78.0). Namun, angka Incidence Rate masih tergolong tinggi. Ini artinya Indonesia perlu
menekan angka insiden DBD dan menurunkan persentase CFR. Selain itu, berdasarkan
informasi dari data tersebut, masih terjadi kesenjangan akibat DBD pada beberapa provinsi.
Oleh karena itu, upaya semua pihak sangat diharapkan untuk peduli terhadap DBD karena
bisa berakibat fatal yaitu, kematian.

Anda mungkin juga menyukai