Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

BRONKHOPNEUMONIA

KONSULEN
dr. Pramudito, Sp.A

Disusun Oleh :
Andi Prasetya

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
SMF ANAK RSUD 45 KUNINGAN
2014
A. PENDAHULUAN
Istilah pneumonia mencakup setiap keadaan radang paru dimana
beberapa atau seluruh alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah.
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada anak-anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah 5 tahun (balita).
Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih
kurang 2 juta anak balita meninggal setiap tahun akibat pneumonia,
sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia tenggara. Insiden pneumonia di
negara berkembang yaitu 30-45% per 1000 anak dibawah usia 5 tahun, 16-
22% per 1000 anak pada usia 5-9 tahun, dan 7-16% per 1000 anak pada
anak yang lebih tua. 6,7
Faktor sosial ekonomi yang rendah mempertinggi angka kematian.
Di Indonesia, pneumonia merupakan penyebab kematian nomer tiga
setelah kardiovaskuler dan tuberculosis. Menurut survei kesehatan
nasional (SKN) 2001, 27.6% kematian bayi dan 22.8% kematian balita di
Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem pernapasan, terutama
pneumonia. Di RSUD dr. Soetomo Surabaya, pneumonia menduduki
peringkat keempat dari sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat pertahun.
Angka kematian pneumonia yang dirawat inap berkisar antara 20-35%. 9,10
Bronkopneumonia lebih sering dijumpai pada anak kecil dan bayi.11
Berdasarkan data WHO, infeksi sauran nafas akut bagian bawah pada
tahun 2000 menyebabkan 2,1 juta kematian anak di bawah umur 5 tahun. 6
Menurut WHO kejadian pneumonia di Indonesia pada balita diperkirakan
antara 10%-20% per tahun. Secara teoritis diperkirakan bahwa 10% dari
penderita pneumonia akan meninggal bila tidak diberi pengobatan. Bila hal
ini benar maka diperkirakan tanpa pemberian pengobatan akan didapat
250.000 kematian balita akibat pneumonia setiap tahunnya.5

Faktor resiko yang meningkatkan insiden bronkopneumonia yaitu :


1. Pertusis
2. Morbili

2
3. Gizi kurang
4. Umur kurang dari 2 bulan
5. Berat badan lahir rendah
6. Tidak mendapat ASI yang memadai
7. Polusi udara
8. Laki-laki
9. Imunisasi yang tidak memadai
10. Defisiensi Vitamin A
11. Pemberian makanan tambahan terlalu dini
12. Kepadatan tempat tinggal.1,5,11,12

Menurut publikasi WHO, penelitian di berbagai negara


menunjukan bahwa di negara berkembang Streptokokus pneumonia dan
Hemofilus influenza merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada dua
pertiga dari hasil isolasi, yaitu 73,9 % aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi
dari spesimen darah.11

B. DEFINISI
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah
yang mengenai parenkim paru dimana asinus terisi dengan cairan radang,
dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel radang ke dalam interstitium.
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit), bahan
kimia, radiasi, aspirasi, obat-obatan dan lain-lain. Pneumonia yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedang
keradangan paru yang disebabkan oleh penyebab non infeksi (bahan
kimia, radiasi, obat-obatan dan lain- lain) lazimnya disebut pneumonitis.2
Bronkopneumonia merupakan radang dari saluran pernapasan yang
terjadi pada bronkus sampai dengan alveolus paru. Saluran pernapasan
tersebut tersumbat oleh eksudat yang mukopurulen, yang membentuk
bercak-bercak konsolidasi di lobulus yang berdekatan. Penyakit ini

3
bersifat sekunder yang biasanya menyertai penyakit ISPA (Infeksi
Salurann Pernapasan Atas), demam infeksi spesifik dan penyakit yang
melemahkan daya tahan tubuh. Sebagai infeksi primer biasanya hanya
dijumpai pada anak-anak dan orang tua. 4
Secara anatomis pneumonia dibagi 3, yaitu :
a. pneumonia lobaris
b. pneumonia intertitialis (bronkiolitis)
c. pneumonia lobularis (bronkopneumonia)

WHO memberikan pedoman klasifikasi pneumonia, sebagai berikut :


1. Usia kurang dari 2 bulan
a. Pneumonia berat
 Chest indrawing (subcostal retraction)
 Bila ada napas cepat (> 60 x/menit)
b. Pneumonia sangat berat
 tidak bisa minum
 kejang
 kesadaran menurun
 hipertermi / hipotermi
 napas lambat / tidak teratur
2. Usia 2 bulan-5 tahun
a. Pneumonia
 bila ada napas cepat
b. Pneumonia Berat
- Chest indrawing
 Napas cepat dengan laju napas
 > 50 x/menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun
 > 40 x/menit untuk anak > 1 – 5 tahun
c. Pneumonia sangat berat

tidak dapat minum

4

kejang

kesadaran menurun

malnutrisi.9,10

C. ETIOLOGI
Virus merupakan penyebab tersering pneumonia pada bayi usia 1
bulan sampai 2 tahun, . Pola kuman penyebab pneumonia biasanya
berubah sesuai dengan distribusi umur pasien. Namun secara umum
bakteri yang berperan penting dalam pneumonia adalah Streptococcus
pneumoniae, Haemophillus influenzae, Staphylococcus aureus,
Streptococcus group B serta kuman atipik Chlamydia pneumoniae dan
Mycoplasma pneumoniae. 9

Umur Bakteri Patogen


Neonatus E. Coli, Streptococcus group B, Listeria
monocytogenes
Klebsiella sp, Enterobacteriaceae
1-3 bulan Chlamydia trachomatis

Usia Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma


prasekolah pneumoniae
Haemophillus influenzae B, Streptococcus
pneumoniae
Staphylococcus aureus
Usia sekolah Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma
pneumoniae
Streptococcus pneumoniae9

D. PATOGENESIS dan PATOFISIOLOGI


Bronkopneumonia dimulai dengan masuknya kuman melalui
inhalasi, aspirasi, hematogen dr fokus infeksi atau penyebaran langsung.
Sehingga terjadi infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami
peradangan dan berlubang-lubang sehingga cairan dan bahkan sel darah

5
merah dan sel darah putih keluar dari darah masuk ke dalam alveoli.
Dengan demikian alveoli yang terinfeksi secara progresif menjadi terisi
dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi disebarkan oleh perpindahan bakteri
dari alveolus ke alveolus. Kadang-kadang seluruh lobus bahkan seluruh
paru menjadi padat (consolidated) yang berarti bahwa paru terisi cairan
dan sisa-sisa sel.5

Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di


nasopharing dan bersifat asimptomatik pada kurang lebih 50% orang
sehat. Adanya infeksi virus akan memudahkan Streptococcus pneumoniae
berikatan dengan reseptor sel epitel pernafasan. Jika Streptococcus
pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi sel pneumatosit tipe II.
Selanjutnya Streptococcus pneumoniae akan mengadakan multiplikasi dan
menyebabkan invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus
pneumoniae akan menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori dari
Kohn. Bakteri yang masuk kedalam alveolus menyebabkan reaksi radang
berupa edema dari seluruh alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel
PMN.2,14

Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu :

6
1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan
permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini
ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di
tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-
mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan
cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan
prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru.

Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam


ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.

2. Stadium II (48 jam berikutnya)


Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh
sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu
( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena
menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan
cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti
hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat
singkat, yaitu selama 48 jam.

7
Gambar 1. tampak alveolus terisi sel darah merah dan sel sel inflamasi
(netrofil)

3. Stadium III (3 – 8 hari)


Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah
putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi
fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,
warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi
mengalami kongesti.

Gambar 2. tampak alveolus terisi dengan eksudat dan netrofil

4. Stadium IV (7 – 11 hari)

8
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon
imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan
diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya
semula.15

Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi


kuman atau penyebaran langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya
sebagian kecil merupakan akibat sekunder dari bakterimia atau
viremia atau penyebaran dari infeksi intra abdomen. Dalam keadaan
normal mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Dalam
keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru.
Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh,
mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat masuk,
berkembang biak dan menimbulkan penyakit.2

Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme :



Filtrasi partikel di hidung

Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis

Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk

Pembersihan kearah kranial oleh mukosiliar

9

Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar

Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal

Drainase melalui sistem limfatik.13

E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda klinis bervariasi tergantung kuman penyebab, usia
pasien, status imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Manifestsi klinis
bisa sangat berbeda, bahkan pada neonatus mungkin tanpa gejala. Gejala
dan tanda pneumonia meliputi gejala infeksi pada umumnya demam,
menggigil, sefalgia, rewel, dan gelisah. Beberapa pasien mungkin
mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare, atau
sakit perut. 9
Walaupun tanda pulmonal paling berguna, namun mungkin tanda-
tanda itu tidak muncul sejak awitan penyakit. Tanda-tanda itu meliputi
nafas cuping hidung (neonetus), takipneu, dipsneu, dan apneu. Otot bantu
nafas interkosta dan abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya
dijumpai pada anak besar, tapi pada neonatus bisa tanpa batuk. Tanda
pneumonia berupa retraksi (penarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam saat bernafas bersama dengan peningkatan frekuensi nafas), perkusi
redup, fremitus melemah, suara nafas melemah dan ronkhi. 13
Frekwensi nafas merupakan indeks paling sensitif untuk
mengetahui beratnya penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung
diagnosis dan memantau tatalaksana. Pengukuran frekwensi nafas
dilakukan dalam keadaan anak tenang atau tidur. Perkusi thorak tidak
bernilai diagnostik karena umumnya kelainan patologisnya menyebar.
Suara redup pada perkusi biasanya karena adanya efusi pleura.

WHO menetapkan kriteria takipneu berdasarkan usia, sebagai berikut :



usia kurang dari 2 bulan : ≥ 60 kali per menit

usia 2 bulan -1 tahun : ≥ 50 kali per menit

usia 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali per menit. 9

10
Suara nafas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi.
Ronkhi basah halus khas untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidak
terdengar pada bayi. Pada bayi dan anak kecil karena kecilnya volume
thorak biasanya suara nafas saling berbaur dan sulit diidentifikasi.13

F. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan
infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam
tinggi terus-menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada
anak), kejang (pada bayi), dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka
berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering menunjukkan gejala
non spesifik seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang atau
kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen
disertai muntah.3,8

2. Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok
umur tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding
dada, grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih besar jarang
ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat adalah takipneu, retraksi,
sianosis, batuk, panas, dan iritabel.8
Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk
(non produktif / produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai dengan
retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja, dapat
dijumpai panas, batuk (non produktif / produktif), nyeri dada, nyeri kepala,
dehidrasi dan letargi.8
Pedoman klinis membedakan penyebab pneumonia, sebagai berikut :

Pemeriksaan Bakteri Virus Mikoplasma


Anamnesis
Umur Berapapun, bayi Berapapun Usia sekolah
Awitan Mendadak Perlahan Tidak nyata

11
Sakit serumah Tidak Ya, bersamaan Ya, berselang
Batuk Produktif nonproduktif kering
Gejala penyerta Toksik Mialgia, ruam, Nyeri kepala, otot,
organ bermukosa tenggorok
Fisik
Keadaan umum Klinis > temuan Klinis ≤ temuan Klinis < temuan
Demam Umumnya ≥ 39ºC Umumnya < 39ºC Umumnya < 39ºC
Auskultasi Ronkhi ±, suara Ronkhi bilateral, Ronkhi unilateral,
Napas melemah Difus, mengi mengi. 14

3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan
Lekositosis hingga > 15.000/mm3 seringkali dijumpai dengan dominasi
netrofil pada hitung jenis. Lekosit > 30.000/mm 3 dengan dominasi netrofil
mengarah ke pneumonia streptokokus. Trombositosis > 500.000 khas
untuk pneumonia bakterial. Trombositopenia lebih mengarah kepada
infeksi virus. Biakan darah merupakan cara yang spesifik namun hanya
positif pada 10-15% kasus terutama pada anak- anak kecil.9,13

4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologis
Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama
untuk menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk
menentukan lokasi anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering
dijumpai, terutama pada pasien bayi. Pada bronkopneumonia bercak-
bercak infiltrat didapatkan pada satu atau beberapa lobus. Jika difus
(merata) biasanya disebabkan oleh Staphylokokus pneumonia.3

12
Gambar 3 : Foto toraks PA pada pneumonia lobaris: tampak bercak-bercak
infiltrat pada paru kanan

Gambar 4 : Foto toraks PA pada bronkopneumonia. 16

b. C-Reactive Protein
Adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit.
Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP distimulai
oleh sitokin, terutama interleukin 6 (IL-6), IL-1 dan tumor necrosis factor
(TNF). Secara klinis CRP digunakan sebagai diagnostik untuk
membedakan antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus dan
bakteri, atau infeksi superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih
rendah pada infeksi virus dan bakteri. CRP kadang-kadang digunakan
untuk evaluasi respon terapi antibiotik. 10

13
c. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi
pada infeksi bakteri atipik. Peningkatan IgM dan IgG dapat
mengkonfirmasi diagnosis.10

d. Pemeriksaan mikrobiologi
Diagnosis terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan
pemeriksaan mikrobiologi spesimen usap tenggorok, sekresi nasopharing,
sputum, aspirasi trakhea, fungsi pleura. Sayangnya pemeriksaan ini
banyak sekali kendalanya, baik dari segi teknis maupun biaya. Bahkan
dalam penelitianpun kuman penyebab spesifik hanya dapat diidentifikasi
pada kurang dari 50% kasus.13

G. KRITERIA DIAGNOSIS

Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk tahun 1993

adalah ditemukannya paling sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini :

a. sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan

dinding dada

b. panas badan

c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)

d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus

e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan

limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm 3 neutrofil yang

predominan)

H. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana pasien pneumonia meliputi terapi suportif dan terapi
etiologik.

14
Terapi suportif yang diberikan pada penderita pneumonia adalah :
1. Pemberian oksigen 2-4 L/menit melalui kateter hidung atau nasofaring.
Jika penyakitnya berat dan sarana tersedia, alat bantu napas mungkin
diperlukan terutama dalam 24-48 jam
2. Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan yang diberikan
mengandung gula dan elektrolit yang cukup.
3. Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi.
4. Mengatasi penyakit penyerta.
5. Pemberian terapi inhalasi dengan nebulizer bukan merupakan tata
laksana rutin yang harus diberikan. 9

Tatalaksana pneumonia sesuai dengan kuman penyebabnya.


Namun karena berbagai kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien
pneumonia diberikan antibiotik secara empiris. Walaupun sebenarnya
pneumonia viral tidak memerlukan antibiotik, tapi pasien tetap diberi
antibiotik karena kesulitan membedakan infeksi virus dengan bakteri. 9

Usia Rawat jalan Rawat Inap Bakteri Patogen


0-2 minggu 1. Ampisillin + - E. Coli
Gentamisin - Streptococcus B
2. Ampisillin + - Nosokomial
Cefotaksim enterobacteria
>2-4 1. Ampisillin + - E. Coli
minggu Cefotaksim atau - Nosokomial
Ceftriaxon Enterobacteria
2. Eritromisin - Streptococcus B
- Klebsiella
- Enterobacter
- C. trachomatis
>1-2 bulan 1. Ampisillin + - E. Coli and other
Gentamisin Enterobacteria
2. Cefotaksim atau - H. influenza
Ceftriaxon - S. pneumonia
- C. trachomatis
>2-5 bulan 1. Ampisillin 1. Ampisillin - H. influenza
2. Sefuroksim 2. Ampisillin + - S. pneumonia
sefiksim Kloramfenikol
Sefuroksim

15
Ceftriaxon
>5 tahun 1. Penisillin A 1. Penisillin G - S. pneumonia
2. Amoksisilin 2. Sefuroksim - Mycoplasma 9
Eritromisin Seftriakson
Vankomisin

Antibiotik parenteral diberikan sampai 48-72 jam setelah panas


turun, dilanjutkan dengan pemberian per oral selama 7-10 hari. Bila
diduga penyebab pneumonia adalah S. Aureus, kloksasilin dapat segera
diberikan. Bila alergi terhadap penisilin dapat diberikan cefazolin,
klindamisin, atau vancomycin. Lama pengobatan untuk stafilokokkus
adalah 3-4 minggu. 8

I. KOMPLIKASI
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran
bakteri dalam rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan
perikarditis) atau penyebaran bakteremia dan hematologi. Meningitis,
artritis supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari
penyebaran infeksi hematologi.

J. DIAGNOSA BANDING
a. Bronkiolitis
b. Aspirasi pneumonia
c. Tb paru primer

K. PROGNOSIS
Pada era sebelum ada antibiotik, angka mortalitas pada bayi dan
anak kecil berkisar dari 20% sampai 50% dan pada anak yang lebih tua
dari 3% sampai 5%.13 Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan
adekuat, mortalitas dapat diturunkan sampai kurang dari 1%, anak dalam
keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat menunjukkan
mortalitas yang lebih tinggi.5

16
L. PENCEGAHAN
Pencegahan terhadap pneumonia dapat dicegah dengan pemberian
imunisasi/vaksinasi. saat ini sudah tersedia banyak vaksin untuk mencegah
pneumonia. Setiap vaksin mencegah infeksi bakteri/virus tertentu sesuai
jenis vaksinnya.

Berikut vaksin yang sudah tersedia di Indonesia dan dapat mencegah


pneumonia :
1. vaksin PCV (imunisasi IPD) untuk mencegah infeksi pneumokokkus
(Invasive Pneumococcal diseases, IPD). vaksin PCV yang sudah
tersedia adalah PCV-7 dan PCV-10. PCV 13 belum tersedia di
Indonesia.
2. Vaksin Hib untuk mencegah infeksi Haemophilus Influenzae tipe b
3. Vaksin DPT untuk mencegah infeksi difteria dan pertusis
4. Vaksin campak dan MMR untuk mencegah campak
5. Vaksin influenza untuk mencegah influenza

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Alberta Medical Association. 2001. Guideline for The Diagnosa and


Management of Community Acquired Pneumonia Pediatric.
http:/www.albertadoctor.org.

2. Alsagaff, Hood dkk. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu
Penyakit Paru dan Saluran Napas FK Unair : Surabaya.

3. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. 2006. Pedoman Diagnosis


dan Terapi. Surabaya.

4. Coder, J. 2008. Bronkopneumonia.


http:/www.IyaLaMedicalInformation.com

5. Departemen Kesehatan RI. 2002.Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi


Saluran Pernafasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita.
Jakarta.

6. Feldman, William. 2000. Evidence-Based Pediatrics, Pneumonia and


Bronchiolitis. University of Toronto: Canada.

7. Guyton & Hall. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC: Jakarta.

8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan


Anak. Badan Penerbit IDAI : Jakarta

9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2007. Simposium Penatalaksanaan Penyakit


Paru Pada Anak Terkini. Jember.

10. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak. Badan
Penerbit IDAI : Jakarta

18
11. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 1537.A / MENKES/ SK/XII/ 2002
Tanggal : 5 Desember 2002. Pemberantasan Penyakit ISPA

12. Laskmi, A. 2006. Pneumonia pediatric.http://www.emedicine.com.

13. PP IDAI UKK Pulmologi Bagian IKA FK USU/RS HAM MEDAN. 2003.
Tatalaksana Mutakhir Penyakit Respiratorik pada Anak. Medan.

14. Sarma, S. 2005. Pneumonia, bacterial. http:/www.emedicine.com.

15. Soegijanto, Soegeng dr.SpA(K). 2002. Ilmu Penyakit Anak Diagnosis dan
Penatalaksanaan. Penerbit Salemba Medika : Jakarta

16. Rector & Visitors of the University of Virginia.2003. Pneumonia. www.med-


ed.virginia.edu/.../pathology3chest.html

19

Anda mungkin juga menyukai