Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rumah Sederhana

Rumah Sederhana adalah rumah yang tidak bersusun dengan luas lantai bangunan

tidak lebih dari 70 𝑚2 yang dibangun di atas tanah dengan luas lahan 54-200 𝑚2 (Zaneti,

J.Holik, 2006). Bagaimana menurut peraturan pemerintah? Definisi sangat minim.!

2.1.2. Tipe-tipe Rumah Tinggal Sederhana

1. Tipe 36

Rumah tipe 36 adalah rumah yang mempunyai luas bangunan 36 m2.

Contohnya adalah sebuah rumah dengan ukuran 6m x 6m = 36 m2. Rumah tipe

36 ini dapat dibangun di atas tanah seluas 60 m2 atau 72 m2. Jadi biasanya

rumah tipe ini disebut dengan rumah tipe 36/60 atau 36/72.

2. Tipe 45

Rumah tipe 45 adalah tipe rumah yang mempunyai luas bangunan 45 m2,

contohnya ukuran rumah seperti 6 m x 7,5 m atau 8 m x 5,6 m. Rumah tipe 45

ini biasanya dibangun di atas tanah seluas 96 m2. Maka, rumah tipe ini sering

juga disebut dengan rumah tipe 45/96.

c. Tipe 60

Rumah tipe 60 biasanya mempunyai ukuran bangunan 6 m x 10 m. Rumah ini

cukup luas dengan 3 kamar tidur, 2 kamar mandi, 1 ruang tamu, ruang

keluarga, garasi mobil, dan teras rumah (Alfari Sabrina, 2016).


2.1.3 Komponen Struktur Rumah Sederhana

1. Pondasi

Secara umum sistem pondasi yang memikul beban kurang dari dua ton (beban kecil), yang

biasa digunakan untuk rumah sederhana dapat dikelompokan kedalam tiga sistem pondasi,

yaitu: pondasi langsung; pondasi setempat; dan pondasi tidak langsung. Sistem pondasi yang

digunakan pada Rumah Inti Tumbuh dan pengembangannya dalam hal ini Rumah Sederhana

Sehat ini adalah sistem pondasi setempat dari bahan pasangan batu kali atau pasangan beton

tanpa tulangan dan sistem pondasi tidak langsung dari bahan kayu ulin atau galam.

2. Dinding

Bahan dinding yang digunakan untuk rumah inti tumbuh dan pertumbuhannya adalah

conblock, apan, setengah conblock dan setengah papan atau bahan lain seperti bambu

tergantung pada potensi bahan yang dominan pada daerah dimana rumah ini akan dibangun.

Ukuran conblock yang digunakan harus memenuhi SNI PKKI NI-05. Untuk dinding papan

harus dipasang pada kerangka yang kokoh, untuk kerangka dinding digunakan kayu

berukuran 5/7 dengan jarak maksimum 100 cm. Kayu yang digunakan baik untuk papan dan

balok adalah kayu kelas kuat dan awet II. Apabila untuk kerangka digunakan kayu balok

berukuran 5/10 atau yang banyak beredar dipasaran dengan ukuran sepadan. Jarak tiang

rangkakurang lebih 150 cm. Papan yang digunakan dengan ketebalan minimal 2 cm setelah

diserut dan sambungan dibuat alur lidah atau sambungan lainnya yang menjamin kerapatan.

Ring-balok dan kolom dari kayu balok berukuran 5/10 atau yang banyak beredar dipasaran

dengan ukuran sepadan. Hubungan antara kolom dengan ringbalok dilengkapi dengan sekur-

sekur dari kayu 5/10 atau yang banyak beredar dipasaran dengan ukuran sepadan. Panjang

sekur maksimum 50 cm.


3. Kerangka

Bangunan Rangka dinding untuk rumah tembok dibuat dari struktur beton bertulang. Untuk

rumah setengah tembok menggunakan setengah rangka dari beton bertulang dan setengah

dari rangka kayu. Untuk rumah kayu tidak panggung rangka dinding menggunakan kayu.

Untuk sloof disarankan menggunakan beton bertulang. Sedangkan rumah kayu panggung

seluruhnya menggunakan kayu, baik untuk rangka bangunan maupun untuk dinding dan

pondasinya.

4. Kuda-kuda

Rumah sederhana sehat ini menggunakan atap pelana dengan kuda-kuda kerangka kayu

dengan kelas kuat dan awet II berukuran 5/10 atau yang banyak beredar dipasaran dengan

ukuran sepadan. Disamping sistem sambungan kuda-kuda tradisional yang selama ini sudah

digunakan dan dikemb angkan oleh masyarakat setempat. Dalam rangka mempercepat

pelaksanaan pemasangan kerangka kuda-kuda disarankan menggunakan sistem kuda-kuda

papan paku, yaitu pada setiap titik simpul menggunakan klam dari papan 2/10 dari kayu

dengan kelas yang sama dengan rangka kuda-kudanya. Khusus untuk rumah tembok dengan

konstruksi pasangan, dapat menggunakan kuda-kuda dengan memanfaatkan ampig tembok

yang disekelilingnya dilengkapi dengan ring-balok konstruksi beton bertulang. Kemiringan

sudut atap harus mengikuti ketentuan sudut berdasarkan jenis penutup atap yang digunakan,

sesuai dengan spesifikasi yang dikeluarkan oleh pabrik atau minimal 200 untuk pertimbangan

kenyamanan ruang didalamnya (Jurnal PA Vol 06 No.01, 2011).


2.2 Kelebihan Dan Kekurangan Rumah Tinggal Sederhana

Beberapa kelebihan dan kekurangan struktur rumah tinggal sederhana (RTS) dalam

merespon beban luar disajikan seperti berikut ini. Kelebihan RTS diantaranya: Commented [SY1]: Setiap ada sub bab baru, WAJIB dimulai
dengan kata-kata pengantar, pendek saja sudah cukup agar
pembaca diarahkan kepada topik yang mau dibahas berikutnya/

1. Lebih ringan sehingga akan mengalami beban statik ekivalen yang lebih kecil Commented [Y2R1]:

pada saat gempa.

2. Defleksi dan deformasi komponen bangunan lebih kecil karena ketinggian

bangunan yang tidak besar.

3. Hanya mengalami ketidakberaturan horisontal sehingga respon terhadap

beban lateral lebih kecil.

4. Proses detail komponen struktur lebih sederhana karena hanya terdiri dari

elemen-elemen kolom praktis, sloof, ringbalk dan kuda-kuda atap sederhana.

Sebaliknya, struktur RTS memiliki beberapa kekurangan berikut:

1. Pada umumnya tidak dirancang untuk menahan beban lateral yang melampaui

berat sendiri bangunan

2. Tidak memberikan respon yang optimal terhadap beban gempa dinamis akibat

pendetailan yang sederhana

3. Ketidakberaturan horisontal menyebabkan terjadinya konsentrasi masa yang

berbeda dengan pusat kekakuan sehingga dapat menimbulkan kerusakan yang

signifikan

4. Dinding bata merah sering tidak diperkuat sehingga mudah retak dan runtuh

ketika dibebani.
2.3 Struktur Monolitik

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “mono” artinya satu, sedangkan monolit

artinya “satu kesatuan yang membentuk kekuatan tunggal yang kokoh dan kuat”. Dalam

ilmu teknik, monolit artinya menggabungkan berapa struktur menjadi satu kesatuan yang

utuh (tidak terpisah-pisahkan) sebelum pekerjaan pengecoran dilaksanakan.

2.4 Dinding Cor Beton

Beton adalah suatu campuran yang terdiri dari pasir, kerikil, batu pecah, atau

agregat-agregat lain yang dicampur menjadi satu dengan satu pasta yang terbuat dari

semen dan air membentuk suatu massa mirip batuan. Terkadang, satu atau lebih bahan

aditif ditambahkan untuk menghasilkan beton dengan karakteristik tertentu, seperti

kemudahan pengerjaan (workability), durabilitas dan waktu pengerasan. (Mc Cormac,

2004:1). Beton didapat dari pencampuran bahan-bahan agregat halus dan kasar yaitu

pasir, batu, batu pecah, atau bahan semacam lainnya dengan menambahkan secukupnya

bahan perekat semen, dan air sebagai bahan pembantu guna keperluan reaksi kimia

selama proses pengerasan dan perwatan beton berlangsung. (Dipohusodo, 1999:1).

Beton bertulang adalah gabungan logis dari dua jenis bahan : beton polos yang

memiliki kekuatan tekan yang tinggi akan tetapi kekuatan tarik yang rendah dan batang-

batang baja yang ditanamkan di dalam beton dapat memberikan kekuatan tarik yang

diperlukan. (Wang, 1993:1).

Dinding cor beton adalah dinding dengan campuran antara agregat kasar, agregat

halus, semen dan air serta kadang-kadang ditambahkan zat-zat additive (admixture)

sebagai bahan tambahan. Beton normal merupakan bahan yang cukup berat, dengan berat

jenis 2,4 atau 2400 kg/𝑚3 . Untuk mengurangi beban mati suatu struktur beton maka

dipakai beton ringan yang beratnya kurang dari 1800 kg/𝑚3 .


Kelebihan :

1. Kekuatannya tinggi dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan struktur seperti

beton mutu K-225, K-350 dan seterusnya.

2. Mudah dibentuk menggunakan begisting sesuai dengan kebutuhan struktur

bangunan

tahan terhadap temperatur tinggi jadi aman jika terjadi kebakaran gedung atau

setidaknya masih memberikan kesempatan kepada penghuni pada saat bencana

terjadi

3. Biaya pemeliharaan rendah karena setelah mengeras menjadi batu, asalkan besi

tulangan berada pada posisi yang baik didalam beton maka kemungkinan

terjadinya karat dapat dikurangi

4. Lebih murah jika dibandingkan dengan baja

5. Mempunyai kuat tekan yang tinggi

6. Umurnya tahan lama

Kekurangan :

1. Beton termasuk material yang mempunyai berat jenis 2499 kg/ cm2

2. Kuat tarik kecil (9%-15%) dari kuat tekan beton normal.

3. Menuntut ketelitian dalam pelaksanaannya (Ahadi. 2009. Beton)

2.5 Dinding Geser

Bangunan tahan gempa umumnya menggunakan elemen-elemen struktur kaku berupa

dinding geser untuk menahan kombinasi gaya geser, momen, dan gaya aksial yang timbul

akibat beban gempa. Dengan adanya dinding geser yang kaku pada bangunan, sebagian

besar beban gempa akan terserap oleh dinding geser tersebut. Dalam SNI 03-1726-2012

juga mengenalkan 3 sistem struktur lain, yaitu sistem struktur gedung kolom kantilever
(sistem struktur yang memanfaatkan kolom kantilever untuk memikul beban lateral), sistem

interaksi dinding geser dengan rangka, dan subsistem tunggal (subsistem struktur bidang

yang membentuk struktur gedung secara keseluruhan).

Dinding geser adalah struktur vertikal yang digunakan pada bangunan tingkat tinggi.

Fungsi utama dari dinding geser adalah menahan beban lateral seperti gaya gempa dan

angin.

1 2 3
Gambar 2.1 Bearing walls (1), Frame wall (2), Core walls (3)
Berdasarkan letak dan fungsinya, dinding geser dapat diklasifikasikan dalam 3 jenis yaitu :

1. Bearing walls adalah dinding geser yang juga mendukung sebagian besar beban

gravitasi . Tembok-tembok ini juga menggunakan dinding partisi antar apartemen yang

berdekatan.

2. Frame walls adalah dinding geser yang menahan beban lateral, dimana beban gravitasi

berasal dari frame beton bertulang. Tembok-tembok ini dibangun diantara baris kolom.

3. Core walls adalah dinding geser yang terletak di dalam wilayah inti pusat dalam

gedung yang biasanya diisi tangga atau poros lift. Dinding yang terletak dikawasan inti

pusat memiliki fungsi ganda dan dianggap menjadi pilihan paling ekonomis.

Pada umumnya dinding geser dikategorikan berdasarkan geometrinya, yaitu :

a. Flexural wall (dinding langsing), yaitu dinding geser yang memiliki rasio hw/lw ≥ 2,

dimana desain dikontrol terhadap perilaku lentur,

b. Squat wall (dinding pendek), yaitu dinding geser yang memiliki rasio hw/lw ≤ 2, dimana

desain dikontrol terhadap perilaku lentur,


c. Coupled shear wall (dinding berangkai), dimana momen guling yang terjadi akibat beban

gempa ditahan oleh sepasang dinding geser yang dihubungkan dengan balok-balok

penghubung sebagai gaya tarik dan tekan yang bekerja pada masing-masing dasar dinding

tersebut.

Dalam merencanakan dinding geser, perlu diperhatikan bahwa dinding geser yang

berfungsi untuk menahan gaya lateral yang besar akibat beban gempa tidak boleh runtuh

akibat gaya lateral, karena apabila dinding geser runtuh karena gaya lateral maka

keseluruhan struktur bangunan akan runtuh karena tidak ada elemen struktur yang mampu

menahan gaya lateral. Oleh karena itu, dinding geser harus didesain untuk mampu menahan

gaya lateral yang mungkin terjadi akibat beban gempa, dimana berdasarkan SNI 03-2847-

2013 pasal 14.5.3.1, tebal minimum dinding geser (td) tidak boleh kurang dari 100 mm.

2.6 Rumah Tinggal Sederhana Dengan Dinding Cor Beton

Dinding merupakan salah satu elemen bangunan yang berfungsi memisahkan/

membentuk ruang. Ditinjau dari segi struktur dan konstruksi, dinding ada yang berupa

dinding partisi/ pengisi (tidak menahan beban) dan ada yang berupa dinding struktural

(bearing wall). Dinding pengisi/ partisi yang sifatnya non struktural harus diperkuat dengan

rangka (untuk kayu) dan kolom praktis-sloof-ringbalk (untuk bata). Dinding dapat dibuat

dari bermacam-macam material sesuai kebutuhannya, antara lain : dinding batu buatan bata

dan batako, dinding batu alam/ batu kali, dinding kayu: kayu log/ batang, papan dan sirap,

dinding beton (struktural – dinding geser, pengisi – clayding wall/ beton pra cetak). Dari

macam-macam material yang paling kuat adalah dinding beton karna sangat kuat dalam

menahan gempa, (Rudini. 2012. Konstruksi dinding bangunan). Tebal dinding untuk rumah

tinggal sederhana 15 cm sedangkan tebal dinding rumah tinggal monolitik ±10 cm.

Rumah tinggal monolitik dapat bertahan hingga 300 tahun, sedangkan rumah tinggal

sederhana bertahan hanya 20 sampai 30 tahun, kelebihan rumah monolitik juga terhindar dari

kebisingan serta dapat mengisolasi suara. Kelebihan lain yang tak terbantahkan dari
bangunan jenis ini adalah kesederhanaan dan kecepatan konstruksi. Karena konstruksi

struktur seperti itu tidak menggunakan elemen masif, maka tidak perlu menarik alat berat.

Namun sayang rumah monolitik tidak mempunyai partisi internal secara umum.

2.7. Beban Pada Gedung

Perencanaan pembebanan pada gedung menggunakan beberapa acuan standar sebagai berikut

Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung (SNI 03-2847-2013);

1) Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung (SNI 03-

1726-2002);

2) Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non

Gedung (SNI 03-1726-2012);

3) Pedoman Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah dan Gedung (PPPURG-1987).

2.7.1. Beban Mati

Beban Mati (dead load/DL) : Semua beban yang berasal dari berat bangunan,

termasuk segala unsur tambahan tetap yang merupakan satu kesatuan dengannya. Beban mati

(DL) adalah berat dari semua bagian gedung yang bersifat tetap. Beban mati terdiri dari dua

jenis, yaitu berat struktur itu sendiri dan superimpossed deadload (SiDL). Beban

superimpossed adalah beban mati tambahan yang diletakkan pada struktur, dimana dapat

berupa lantai (ubin/keramik), peralatan mekanik elektrikal, langit-langit, dan sebagainya.

Perhitungan besarnya beban mati suatu elemen dilakukan dengan meninjau berat satuan

material tersebut berdasarkan volume elemen


Tabel 2.1. Berat Sendiri Bahan Bangunan

Tabel 2.2 Berat Sendiri Komponen Gedung

2.7.2. Beban hidup

Beban Hidup (live load/LL): semua beban tidak tetap, kecuali beban angin, beban

gempa dan pengaruh-pengaruh khusus yang diakibatkan oleh selisih suhu, pemasangan

(erection), penurunan pondasi, susut, dan pengaruh-pengaruh khusus lainnya. Beban hidup

adalah semua beban yang terjadi akibat penghunian atau penggunaan suatu gedung dan ke

dalamnya termasuk beban-beban pada lantai yang berasal dari barang-barang yang dapat
berpindah, mesin-mesin serta peralatan yang tidak merupakan bagian yang tak terpisahkan

dari gedung dan dapat diganti selam masa hidup gedung tersebut, sehingga mengakibatkan

perubahan pembebanan pada lantai atap. Beban hidup dapat menimbulkan lendutan pada

struktur, sehingga harus dipertimbangkan menurut peraturan yang berlaku agar struktur tetap

aman. Menurut Schueller (1998), beban yang disebabkan oleh isi benda-benda di dalam atau

di atas suatu bangunan disebut beban penghunian.

Tabel 2.2 Beban hidup pada lantai gedung

2.7.3. Beban Gempa SNI 1726-2012

Gempa bumi adalah fenomena getaran yang dikaitkan dengan kejutan pada kerak

bumi. Beban kejut ini dapat disebabkan oleh banyak hal, tetapi salah satu faktor utamanya

adalah benturan atau pergesekan kerak bumi yang mempengaruhi permukaan bumi dan

bangunan diatasnya bergetar. Pada saat bangunan bergetar timbul gaya-gaya pada struktur

bangunan karena adanya kecenderungan dari massa bangunan untuk mempertahankan dirinya

dari gerakan. Gaya yang timbul disebut gaya inersia, besar gaya tersebut bergantung pada

banyak faktor yaitu massa bangunan, pendistribusian massa bangunan, kekakuan struktur,

jenis tanah, mekanisme redaman dari struktur, perilaku dan besar alami getaran itu sendiri,

wilayah kegempaan dan periode getar alami. Analisa pembebanan gempa terdiri dari analisis

statis dan dinamis. Analisis beban statik ekuivalen adalah suatu cara analisis struktur di mana
pengaruh gempa pada struktur dianggap sebagai beban statik horisontal yang diperoleh

dengan hanya memperhitungkan respon ragam getar yang pertama. Biasanya distribusi gaya

geser tingkat ragam getar yang pertama ini disederhanakan sebagai segitiga terbalik.

Peraturan gempa Indonesia yang baru, SNI 1726-2002, membagi Indonesia dalam 6 wilayah

gempa, dimana wilayah gempa 6 merupakan daerah dengan resiko gempa sangat tinggi

seperti pada Gambar 2.2. Dalam perkembangannya pada SNI 1726-2012 tidak lagi

menggunakan pembagian wilayah gempa namun mengembangkan suatu website interaktif

pada halaman (http://puskim.pu.go.id/Aplikasi/desain_spektra_indonesia_2011/), yang di

dalamnya berisi karakteristik percepatan gempa di setiap lokasi di Indonesia. Dengan

demikian, perilaku gempa di setiap titik (koordinat) wilayah Indonesia telah memiliki

karakteristik gempanya masing-masing bergantung pada jenis struktur tanah di lokasi

tersebut.

Gambar 2.2 Pembagian Wilayah Gempa Indonesia


Sumber : SNI 03-1726-2002

Perhitungan beban gempa didasarkan nilai faktor respon spektrum (C) pada grafik

respon spektrum gempa rencana yang diperoleh dari website interaktif. Dalam grafik respon

spektrum gempa rencana, jenis tanah dasar menentukan besarnya faktor respon spektrum (C).

Terdapat 4 jenis tanah dasar yang dapat dipilih yaitu tanah lunak, tanah sedang dan tanah

keras dan batuan. Besarnya beban gempa statik ekivalen yang merupakan beban lateral pada

bangunan dapat diperoleh dengan rumus (Mochamad Solakin. 2012)


𝐶.𝐼 Commented [SY3]: Rumus diberi numbering seperti ini
V= 𝑅
𝑊𝑇………………………………………(2-1) Keterangan rumus: simbol-simbol cetak miring
Spasi1

dengan V = beban gempa rencana (kN)


C = faktor respon spectrum
I = faktor keutamaan Gedung
R = factor reduksi gempa
Wt = berat total bangunan (kN)

Geser dasar seismik, V, adalam arah yang ditetapkan harus ditentukan sesuai
dengan persamaan berikut :

V = CS.W (2.2)

Keterangan :
CS = koefisien respon seismik;
W = berat seismik efektif (kN/m 2) ;
V= gaya geser dasar (kN).

Koefisien Respon Seismik, CS, harus ditentukan sesuai dengan persamaan berikut:

CS = (2.3)

Keterangan :
SDS = parameter percepatan spektrum respon dasar dalam rentang perioda pendek;
R = faktor modifikasi respons;
Ie = faktor keutamaan gempa.

Nilai CS yang dihitung sesuai persamaan (2.3) tidak perlu melebihi nilai dari
persamaan berikut ini :

.
CS = (2.4)

Sebagai tambahan, untuk struktur yang berlokasi dimana S1 sama dengan atau lebih besar dari
0,69, maka CS harus tidak kurang dari :
,
CS = (2.5)

Keterangan :
SD1 = parameter percepatan spektrum respon desain pada perioda sebesar 1,0
detik; T = perioda fundamental struktur (detik);
S1 = parameter percepatan spektrum respon maksimum yang dipetakan;
Gaya gempa lateral (Fx) yang timbul di semua tingkat harus ditentukan dari:

Fx = Cvx. V (2.6)

Letak eksentrisitas beban Gempa SNI 1726-2002


Antara pusat massa dan pusat rotasi lantai tingkat harus ditinjau suatu eksentrisitas
rencana ed. Apabila ukuran horisontal denah struktur gedung pada lantai tingkat itu,
diukur tegak lurus pada arah pembebanan gempa dinyatakan dengan b dan e, maka
eksentrisitas rencana ed harus ditentukan sebagai berikut :
1. untuk 0 < e < 0,3 b :
ed = 1,5 e + 0,05 b (3)
atau
ed = e - 0,05 b (4)
dipilih di antara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan
2. untuk e > 0,3 b :
ed = 1,33 e + 0,1 b (5)
atau
ed = 1,17 e - 0,1 b (6)
dan dipilih di antara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan

2.8. Kombinasi Pembebanan

Struktur bangunan dirancang mampu menahan beban mati, beban hidup, dan beban
gempa sesuai peraturan SNI 03-1726-2012 pasal 4.1.1 dimana gempa rencana ditetapkan
mempunyai periode ulang 500 tahun, sehingga probabilitas terjadinya terbatas pada 10%
selama umur gedung 50 tahun. Kombinasi pembebanan mengacu pada SNI 03-2847-2013
pasal 8.2 sebagai berikut :

1. Kuat perlu U untuk menahan beban mati D paling tidak harus sama
dengan :
U = 1,4 D (2.7)
Kuat perlu U untuk menahan beban mati D dan beban hidup L dan juga
beban atap Atau beban hujan R paling tidak harus sama dengan :
U = 1,2 D + 1,6 L + 0,5 (A atau R) (2.8)
2. Bila ketahanan struktur terhadap beban E harus diperhitungkan maka nilai
kuat perlu U harus diambil sebagai :
U = 1,2 D + 1,0 L ± 1,0 E atau U = 0,9 D ± 1,0 E (2.9)
D = beban mati
Keterangan :
A = beban atap
U = kuat perlu W = beban angin
L = beban hidup
R = beban hujan
E = beban gempa
Peraturan gempa Indonesia yang baru, SNI
1726-2002, membagi Indonesia dalam 6 wilayah gempa, dimana wilayah gempa 6 merupakan daerah
dengan resiko gempa sangat tinggi. Perhitungan
beban gempa pada masing-masing wilayah gempa didasarkan nilai faktor respon spektrum (C) pada
grafik respon spektrum gempa rencana. Dalam grafik respon spektrum gempa rencana tersebut
selain faktor wilayah gempa, jenis tanah dasar juga mementukan besarnya faktor respon spektrum (C).
Terdapat 3 jenis tanah dasar yang dapat dipilih yaitu tanah lunak, tanah sedang dan tanah keras.
Besarnya beban gempa yang merupakan beban lateral pada bangunan dapat diperoleh dengan
rumus

Stabilitas Struktur
Beban beban lateral yang bekerja pada suatu struktur gedung, misalnya beban
gempa, akan
menimbulkan lendutan arah horizontal. Untuk menghindari lendutan yang berlebihan pada
struktur gedung yang mengalami beban lateral maka efek
torsional harus diminimalkan, dengan cara memperkecil eksentrisitas antara pusat masa dan
pusat rotasi (Paulay dan Priestly, 1992).
Peraturan gempa Indonesia, SNI 1726-2002, membatasi besarnya lendutan arah ke
samping
(simpangan) struktur gedung dalam 2 istilah, yaitu
kinerja batas layan dan kinerja batas ultimit. Kinerja batas layan struktur gedung
ditentukan oleh
simpangan antar-tingkat akibat pengaruh Gempa
Rencana, yaitu untuk membatasi terjadinya pelelehan baja dan peretakan beton yang
berlebihan, di samping untuk mencegah kerusakan non-struktur dan ketidaknyamanan
penghuni. Kinerja batas ultimit struktur gedung ditentukan oleh simpangan dan simpangan
antar-tingkat maksimum struktur gedung akibat pengaruh Gempa Rencana dalam kondisi
struktur gedung di ambang keruntuhan.
Untuk memenuhi persyaratan kinerja batas layan struktur gedung, dalam segala hal
simpangan antar-tingkat yang dihitung dari simpangan struktur

Anda mungkin juga menyukai