Anda di halaman 1dari 9

D.

Tema-Tema Pluralisme Agama


1. Kebenaran dan Keselamatan Agama

Berbeda dengan kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan,


kebenaran agama ini berangkat dari keyakinan dan klaim bahwa kebenaran
itu datang dari Tuhan melalui utusan-Nya. Para penganut agama
mendapatkan suatu kebenaran dengan membaca kitab suci semisal al-
Kitab. (Rodian & Dkk, 2010, hal. 335)
Namun, setiap agama/aliran/mazhab mengklaim dirinya yang
paling benar, dan yang lain sesat semua. Klaim ini kemudian melahirkan
keyakinan yang biasa disebut doctrin of salvation (doktrin keselamatan),
bahwa keselamatan atau pencerahan (enlightenment), atau surga
merupakan hak para pengikut agama/aliran/mazhab tertentu saja.
Sedangkan, pemeluk agama/aliran/mahzab lain akan celaka, dan masuk
neraka. (Rodian & Dkk, 2010, hal. 335)

Apa yang dimaksud dengan kebenaran? Untuk menjawab


pertanyaan di atas setidaknya ada 3 teori untuk menjelaskan tentang hal
ini.

a. Teori Korespondensi

Teori pertama adalah teori korespondensi, the


correspondence theory of truth yang kadang disebut the accordance
theory of truth. Menurut teori ini, kebenaran atau keadaan benar itu
apabila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu
pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh
pernyataan atau pendapat tersebut.. dengan demikian, kebenaran
epistemologis adalah kemanunggalan antara subjek dan objek.
Pengetahuan itu dikatakan benar apabila didalam kemanunggalan
yang sifatnya intrinsik, intensional, dan pasif –aktif terdapat
kesesuaian antara apa yang ada didalam pengetahuan subjek
dengan apa yang ada didalam objek. (Sumbulan, 2010, hal. 48)

Dengan demikian, kebenaran dapat didefenisikan sebagai


kesetiaan pada realitas objektif. Yaitu suatu pernyataan yang sesuai
dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi. Kebenaran
ialah persesuaian (agreement) antar pernyataan (statement)
mengenai fakta dengan fakta aktual.Namun yang menjadi
permasaalahan sekarang adalah apakah realitas itu objektif atau
subjektif? Dalam hal ini ada dua pandangan realism epistemologis
dan idealisme epistemologis. Realisme epistemologis
berpandangan, bahwa terdapat realitas yang independen (tidak
bergantung), yang terlepas dari pemikiran, dan kita tidak dapat
mengubahnya bila kita mengalaminya atau memahaminya. Itulah
sebabnya realisme epistemologis kadangkala disebut objetivitas.
Sedangkan idealisme epistemologis berpandangan bahwa setiap
tindakan mengetahui berakhir didalam suatu ide, yang merupakan
suatu peristiwa subjektif. (Sumbulan, 2010, hal. 48-49)

b. Teori Koherensi Tentang Kebenaran


Teori kedua adalah teori koherensi atau konsistensi, the
consistence theory of truth, sering pula dinamakanthe coherence
tyory of truth. Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas
hubungan antara putusan dengan sesuatu lain, yaitu fakta atau
realitas, tetapi atas hubungan antar putusan-putusan itu sendiri. Jadi
menurut teori ini, putusan yang lainnya saling berhubungan dan
saling menerangkan satu sama lain. Karenanya lahirlah rumusan ;
kebenaran adalah saling hubungan yang sistematis; kebenaran
adalah konsistensi dan kecocokan. (Anshari, 1991, hal. 67)
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan
teori koherensi suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu
bersifat koheren atau konisiten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar. (Anshari, 1991, hal. 67)
c. Teori pragmatisme tentang kebenaran
Teori ketiga adalah teori pragmatisme tentang kebenaran.
Menurut filsafat ini benar tidaknya suatu ucapan , dalil, atau teori
semata –mata bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap
benar jika mendatangkan manfaat dan akan dikatakan salah jika
tidak mendatangkan manfaat. Menurut teori pragmatisme , suatu
kebenaran dan suatu pernyataan diukur dengan krieria apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia.
Jadi kebenaran ialah apa saja yang berlaku. (Bakhtiar, 2009, hal.
51)
2. Pandangan Al-Qu’an Tentang Pluralisme Agama
Di dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa manusia adalah umat yang
satu (Ummatan Wahidah), “Manusia itu adalah umatyang satu, maka
Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar gembira
danperingatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang
benar untuk memberkeputusan di antara manusia tentang perkara yang
mereka perselisihkan.” Didalam ayat lain juga sacara tegas Allah
menerangkan kepada kita bahwa manusia diciptakan berbangsa;bangsa
dan bersuku-suku supaya mereka saling mengenal.Kemajemukan
adalah sebuah ketentuan Allah terhadap kehidupan. Keragaman
dalamhidup merupakan sebuah kenyataan yang harus disadari oleh
masing-masingindividu. (Muhammad, 1999, hal. 138)
Non-Muslim di sebuah Negara islam harus diperlakukan oleh
kaum Muslim dan pemerintahannya dengan baik dan adil
(60:80).Orang-orang Yahudi dan penduduk Muslim Madinah bersama-
sama bertanggung jawab menopang atau mempertahankan Negara kota
yang masih baru. Jika hubungan antarakaum Muslim dan Yahudi di
madinah dirusak karena alasan apapun tanpa memperdulikan siapa yang
bertanggung jawab atas kerusakan itu, maka prinsip Pluralisme akan
tetap sah secara moral dan hokum. Al-Qur’an berulang-ulang
menekankan bahwa perbedaan-perbedaan manusia dalam keyakinan
agama hendaknyasama sekali tidak menyebabkan suatu konflik. Adalah
hanya pelanggaran hukum danpeperangan yang membenarkan suatu
pertahanan diri yang sah, penduduk non-muslim sebagai mana
yangditekankan sebelumnya, mempunyai secara umum hak-hak dan
kewajiban yang samadengan kaum Muslim. (Supadi, 2001, hal. 72)
Pada al-Imran 19, Tuhan berfirman : Sesungguhnya agama itu di
sisi Allah adalah Islam. Menurut al-Qur’an, semua agama ituIslam. Ini
diperkuat dengan ayat-ayat yang lain : Ingatlah ketika Tuhannya
berkata kepadanya (Ibrahim); Islamlah kamu. Ibrahim berkata : Aku
Islam kepada Tuhan Pemelihara semesta Alam. Dan ketika Ibrahim dan
Ya’qub berwasiat dengannyakepada anak-anaknya : Wahai anak-
anakku, sesungguhnya Allah telah memilihbagi kamu agama, maka
janganlah kamu mati kecuali kamu menjadi orang-orang Islam.( QS.
Al-Baqarah : 131-132 ). Menurut Sayyid Husseyn Fadhlullah, Islam
yangdimaksud pada ayat tersebut adalah Islam yang “umum, yang
meliputi semuarisalah langit, bukan Islam dalam arti istilah”, bukan
Islam dalam arti agamaIslam yang dibawa Nabi Muhammad SAW.
Kemudian, ia Islam disini juga merupakan“kepasrahan total” terhadap
Tuhan, maka hendaknya kita berpasrah dirikepada-Nya. (Osman, 2006,
hal. 43)
3. Berteman dan Menikah dengan Orang Berbeda Agama
a. Berteman dengan Orang Beda Agama

Hubungan sosial di antaranya bersahabat, saling


mengunjungi, menengok yang sakit, saling bertukar hadiah, dan
menjalin hubungan pernikahan. Dan sesungguhnya interaksi antara
seorang muslim dengan kaum muslimin sangat berbeda dengan
interaksinya dengan selain kaum muslimin. Karena seorang muslim
wajib mencintai dan membela saudara muslimnya dengan
kecintaan hati, menghormati, dan memuliakan. Allah Ta’ala
berfirman,
‫وف َو َي ْن َه ْونَ َع ِن ْال ُم ْنك َِر‬ ِ ‫ض يَأْ ُم ُرونَ بِ ْال َم ْع ُر‬ ٍ ‫ض ُه ْم أَ ْو ِليَا ُء بَ ْع‬ ُ ‫َو ْال ُمؤْ ِمنُونَ َو ْال ُمؤْ ِمنَاتُ بَ ْع‬
ٌ ‫َّللاَ َع ِز‬
‫يز‬ َّ ‫َّللاُ ِإ َّن‬
َّ ‫سيَ ْر َح ُم ُه ُم‬ ُ
َ َ‫سولَهُ أولَئِك‬ َّ َ‫الزكَاة َ َوي ُِطيعُون‬
ُ ‫َّللاَ َو َر‬ َّ َ‫صالة َ َويُؤْ تُون‬ َّ ‫َويُ ِقي ُمونَ ال‬
‫َح ِكي ٌم‬
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain.
Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari
yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka
taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat
oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. Al-Taubah: 71) (Muhammad Abduh Tuasikal,
2011)
Terhadap saudaranya se-Islam dari kalangan kaum muslimin, maka
seorang muslim memiliki kewajiban yang harus ditunaikannya.
Sedangkan kepada selain orang Islam dia wajib berbara’ (berlepas
diri) darinya dan tidak boleh ada sedikitpun kecintaan hati
kepadanya. Allah Ta’ala berfirman,
‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َ َمنُوا ََل تَت َّ ِخذُوا َعد ُِوي َو َعد َُّو ُك ْم أَ ْو ِليَا َء ت ُ ْلقُونَ إِلَ ْي ِه ْم بِ ْال َم َودَّةِ َوقَدْ َكفَ ُروا بِ َما‬
‫اَّللِ َر ِب ُك ْم ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم خ ََرجْ ت ُ ْم ِج َهادًا ِفي‬ َّ ‫سو َل َو ِإيَّا ُك ْم أ َ ْن تُؤْ ِمنُوا ِب‬ َّ َ‫ق ي ُْخ ِرجُون‬
ُ ‫الر‬ ِ ‫َجا َء ُك ْم ِمنَ ْال َح‬
ُْ‫ضاتِي ت ُ ِس ُّرونَ إِلَ ْي ِه ْم بِ ْال َم َودَّةِ َوأَنَا أ َ ْعلَ ُم بِ َما أ َ ْخفَ ْيت ُ ْم َو َما أَ ْعلَ ْنت ُ ْم َو َم ْن يَ ْفعَله‬ َ ‫سبِي ِلي َوا ْب ِتغَا َء َم ْر‬ َ
‫س ِبي ِل‬ ‫ال‬ ‫ء‬‫ا‬ ‫و‬
َّ َ َ َ َ‫س‬ َّ
‫ل‬ ‫ض‬ ْ ‫د‬ َ ‫ق‬َ ‫ف‬ ‫م‬ ُ
ْ ‫ِم‬
‫ك‬ ْ
‫ن‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu
sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa
kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada
kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan
(mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu.
Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan
mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu
memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada
mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang
kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan
barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka
sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al-
Mumtahanah: 1) (Muhammad Abduh Tuasikal, 2011)
Dari sini, apabila berkunjungnya kepada orang muslim,
Nashrani ataupun yang lainnya untuk kepentingan dakwah illallah,
mengajarkan kebenaran, dan mengarahkannya kepada kebaikan;
bukan sebatas untuk kepentingan duniawi dan menggampangkan
syariat Allah, maka semua itu bernilai positif. Terlebih kalau yang
dikunjungi adalah saudaranya seakidah, menasihatinya agar
menjauhi maksiat atau apabila mengunjungi tetangganya yang
muslimah dan menasihatinya agar tidak bersolek dan membuka
aurat serta tidak meremehkan maksiat yang telah Allah haramkan,
maka ini sebuah kebaikan. Atau mengunjungi tetangganya yang
beragama Nashrani atau yang beragama lainnya seperti Budha dan
lainnya untuk menasihatinya, mengajarkan dan mengajaknya
kepada Islam, maka ini adalah perkara yang mulia dan termasuk
bagian dari sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, “Dien ini
adalah nasihat, Dien ini adalah nasihat, Dien ini adalah nasihat.”
Jika dia menerima dakwah, maka Alhamdulillah. Dan jika tetap
menolaknya, maka berkunjung yang tidak mendatangkan manfaat
tersebut harus mulai ditinggalkan. (Muhammad Abduh Tuasikal,
2011)
b. Menikah dengan Orang Berbeda Agama
Mengenai hukum perkawinan beda agama ini disatu sisi
melarang dan mengharamkannya. Namun harus terlebih dahulu
dipisahkan pelaku dari perkawinan itu, apakah antara wanita Islam
dengan laki-laki non-muslim baikahlu al-kitab atau musyrik,
ataukah antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non-
muslim baik ahlu al-kitab atau musyrik. (Majid, 2004, hal. 31)
Berikut pandangan mazhab yang empat tentang hukum
perkawinan beda agama. Walaupun pada prinsipnya ulama mazhab
empat ini mempunyai pandangan yang sama bahwa
wanita kitabiyah boleh dinikahi, untuk lebih jelas berikut
pandangan keempat mazhab fiqh tersebut mengenai hukum
perkawinan lintas agama:
1) Mazhab Hanafi
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara
pria muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah
mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita ahlu
al-kitab (Yahudi dan Nasrani), yang terpenting adalahahlu
alkitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab
ini yang dimaksud dengan ahlu al-kitab adalah siapa saja
yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah
diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya
kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang
percaya kepada nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka
wanitanya boleh dikawini. (Majid, 2004, hal. 162)
Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlu al-
kitab dzimmi atau wanita kitabiyah yang ada di Daaral-
Harbi boleh hukmnya, hanya saja menurut mazhab ini,
perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada diDaar al-
Harbihukumnya makruh tahrim, karena akan membuka
pintu fitnah, dan mengandungmafasid (kerusakan-
kerusakan) yang besar, sedangkan perkawinan dengan
wanitaahlu al-kitabzimmi hukumnya makruh tanzih, alasan
mereka adalah karena wanitaahlu al-kitab dzimmi ini
menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging
babi. (Majid, 2004, hal. 163)
2) Mazhab Syafi’i
Demikian halnya dengan mazhab Syafi’i, juga
berpendapat bahwa boleh menikahi wanita ahlu al-
kitab.Yang termasuk golongan wanita ahlu al-kitabmenurut
mazhab Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani
keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk
bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi dan
Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab ini adalah :
a) Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya
diutus untuk bangsa Israel, dan bukan bangsa
lainnya.
b) Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada
surat Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada dua
kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa
Israel.
Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan
Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut agama
tersebut sejak Nabi Muhammad sebelum diutus menjadi
Rasul, yaitu semenjak sebelum Al-Qur’an diturunkan,
tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani
sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan
Nasrani kategori ahlu al-kitab, karena tidak sesuai dengan
bunyi ayat min qoblikum tersebut. (al-Dusuqy, 2011, hal.
18)
3) Mazhab Maliki
Pandangan mazhab Maliki tentang hukum
perkawinan beda agama ini mempunyai dua pendapat yaitu:
a) Menikah dengan kitabiyah hukumnya makruh
mutlak baik dzimmiyah(wanita-wanita non muslim
yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk
pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun
makruh menikahi wanita harbiyah lebih besar.
Akan tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri
yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-
anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka
hukumnya haram.
b) Menikah dengan kitabiyahtidak makruh mutlak
karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlak.
Metodologi berpikir mazhab Maliki ini
menggunakan pendektan Sad al-Zarai’ (menutup
jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika
dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul
dalam perkawinan beda agama, maka diharamkan.
(Rahman, 1996, hal. 32)

4) Mazhab Hambali.
Mazhab Hambali mengemukakan bahwa haram
menikahi wanita-wanitamusyrik, dan boleh menikahi wanita
Yahudi dan Narani. Mazhab ini lebih kebanyakan
pengikutnya cenderung mendukung pendapat guru Ahmad
bin Hambal, yaitu Imam Syafi’i. Tetapi tidak membatasi,
bahwa yang termasukahlual-kitab adalah Yahudi dan
Nasrani dari Bangsa Israel saja, tetapi menyatakan bahwa
wanita-wanita yang menganut agama Yahudi dan Nasrani
sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.
(Rahman, 1996, hal. 34)
Kesimpulan

1. Kebenaran agama ini berangkat dari keyakinan dan klaim bahwa


kebenaran itu datang dari Tuhan melalui utusan-Nya. Para
penganut agama mendapatkan suatu kebenaran dengan membaca
kitab suci semisal al-Kitab. (Rodian & Dkk, 2010, hal. 335)
2. Di dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa manusia adalah umat yang
satu (Ummatan Wahidah), “Manusia itu adalah umatyang satu,
maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar gembira
danperingatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab
yang benar untuk memberkeputusan di antara manusia tentang
perkara yang mereka perselisihkan.” Didalam ayat lain juga sacara
tegas Allah menerangkan kepada kita bahwa manusia diciptakan
berbangsa;bangsa dan bersuku-suku supaya mereka saling
mengenal.Kemajemukan adalah sebuah ketentuan Allah terhadap
kehidupan. Keragaman dalamhidup merupakan sebuah kenyataan
yang harus disadari oleh masing-masingindividu. (Muhammad,
1999, hal. 138)
3. Hubungan sosial di antaranya bersahabat, saling mengunjungi,
menengok yang sakit, saling bertukar hadiah, dan menjalin
hubungan pernikahan. Dan sesungguhnya interaksi antara seorang
muslim dengan kaum muslimin sangat berbeda dengan
interaksinya dengan selain kaum muslimin.
Mengenai hukum perkawinan beda agama ini disatu sisi melarang
dan mengharamkannya. Namun harus terlebih dahulu dipisahkan
pelaku dari perkawinan itu, apakah antara wanita Islam dengan
laki-laki non-muslim baikahlu al-kitab atau musyrik, ataukah
antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim
baik ahlu al-kitab atau musyrik. (Majid, 2004, hal. 31)
DAFTAR PUSTAKA
al-Dusuqy, M. (2011). Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Madzhab al-Syafi’I. Kairo: Darussalam.

Anshari, E. S. (1991). Filsafat,Ilmu dan Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

Bakhtiar, A. (2009). Filsafat Ilmu. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada.

M. I. (1999). Islam dan Pluralisme. Yogyakarta: Gemalnsani Press.

Majid, N. (2004). Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis. Jakarta:


PARAMADINA.

Muhammad Abduh Tuasikal, M. (2011). Berteman Berbeda Agama .

Osman, M. F. (2006). Islam Pluralisme dan Toleransi Keagamaan. Jakarta: Yayasan


Paramadina.

Rahman, A. (1996). Perkawinan dalam Syariat Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Rodian, & Dkk. (2010). Studi Alquran Metodedan Konsep. Yogyakarta: eLSAQ.

Sumbulan, U. (2010). Islam Radikal dan Pluralisme Agama. Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI.

Supadi, D. A. (2001). Pengantar Studi ISlam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai