TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
STEMI merupakan sindroma klinis yang ddidefinisikan dengan tanda
gejala dan karakteristik iskemi miokard dan berhubungan dengan persisten
ST elevasi dan pengeluaran biomarker dari nekrosis miokard.Cardiac
troponin merupakan biomarker yang digunakan untuk diagnosis infark
miokard. (AHA, 2012).
Infark miokard adalah kematian jaringan miokard yang diakibatkan oleh
kerusakan aliran darah koroner miokard (Carpenito, 2012). Infark miocard
akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang menyebabkan
sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi
sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh
darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak
mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat
mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark (Guyton &
Hall, 2011).
IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori, yaitu
ST-elevation infark miocard (STEMI) dan non ST-elevation infark miocard
(NSTEMI). STEMI merupakan oklusi total dari arteri koroner yang
menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan
miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG.
Sedangkan NSTEMI merupakan oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa
melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi
segmen ST pada EKG.
2. EPIDEMIOLOGI
The Thai Registry of Acute Coronary Syndrome (TRACS) melaporkan
bahwa dari data yang dikumpulkan dalam kurun waktu Oktober 2007 sampai
Desember 2008 terhadap 2007 pasien, didapatkan angka kejadian ST
elevation miocardial infarction (STEMI) sebesar 55%, non ST elevation
miocardial infarction (NSTEMI) 33% dan unstable angina pectoris (UAP)
sebesar 12% dimana angka mortalitas rumah sakit dari pasien STEMI
adalah sebesar 5,3%, NSTEMI sebesar 5,1%, dan pasien UAP sebesar
1,7% (Srimahachota dkk, 2012 ).
Tahun 2013 terdapat kurang lebih 478.000 pasien di Indonesia
didiagnosis penyakit jantung koroner, prevalensi STEMI meningkat dari 25%
menjadi 40% dari presentasi infark miokard, antara 10% hingga 30% terjadi
peningkatan dari pasien dengan angina tidak stabil mnjadi MI dalam 1 tahun
dan 29% kematian karena MI dalam 5 tahun. (Depkes, 2013).
Data prevalensi penyakit di Ruang CVCU Rumah Sakit Dr. Syaiful
Anwar Malang pada bulan Januari-Desember 2015 menunjukkan kejadian
tertinggi adalah kasus STEMI yaitu sebanyak 198 kasus atau 29,79% dari
data 10 penyakit tarbanyak.
3. Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak
stabil. Diperkirakan ada disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang
diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh
darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada
angina prinzmetal juga menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasme
sering kali terjadi pada plak yang tak stabil dan mempunyai peran dalam
pembentukan trombus.
Ras
Orang Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada orang
kulit putih
Geografi
Tingkat kematian akibat IMA lebih tinggi di Irlandia Utara,
Skotlandia, dan bagian Inggris Utara dan dapat merefleksikan
perbedaan diet, kemurnian air, merokok, struktur sosio-ekonomi,
dan kehidupan urban.
Kelas sosial
Tingkat kematian akibat IMA tiga kali lebih tinggi pada pekerja
kasar laki-laki terlatih dibandingkan dengan kelompok pekerja
profesi (missal dokter, pengacara dll). Selain itu frekuensi istri
pekerja kasar ternyata 2 kali lebih besar untuk mengalami
kematian dini akibat IMA dibandingkan istri pekerja
professional/non-manual.
Plak halus
↓
Protrombin thrombin
Fibrinogen fibrin
Perub. ↓
Stimulasi
Nyeri Akut Metabolik aerob
saraf Rupture plak
anaerob
↓
Thrombus
↓
Suplai O2 tidak Oklusi arteri koroner
seimbang dg ↑
permintaan O2
Aliran darah koroner
menurun
↓
Suplay O2 ke jaringan Kematian jaringan Gagal pompa ventrikel kiri
berkurang ↓
↓ Penurunan Cardiac
Kebutuhan O2 tidak Output
tercukupi
↓
Takipneu
↓
Ketidakefektifan pola
nafas
STEMI biasa terjadi ketika aliran darah koroner menurun secara tiba-tiba setelah
oklusi trombotik dari arteri koroner yang sebelumnya mengalami atherosclerosis.STEMI
terjadi ketika thrombus pada arteri koroner berkembang secara cepat pada tempat
terjadinya kerusakan vascular.Kerusakan ini difasilitasi oleh beberapa faktor, seperti
merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.Pada sebagian besar kasus, STEMI terjadi
ketika permukaan plak atherosclerotic mengalami ruptur sehingga komponen plak
tersebut terekspos dalam darah dan kondisi yang mendukung trombogenesis
(terbentuknya thrombus).Mural thrombus (thrombus yang menempel pada pembuluh
darah) terbentuk pada tempat rupturnya plak, dan terjadi oklusi pada arteri
koroner.Setelah platelet monolayer terbentuk pada tempat terjadinya ruptur plak,
beberapa agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) menyebabkan aktivasi
platelet.Setelah stimulasi agonis platelet, thromboxane A2 (vasokonstriktor local yang
kuat) dilepas dan terjadi aktivasi platelet lebih lanjut (Price, 2005).
Selain pembentukan thromboxane A2, aktivasi platelet oleh agonis meningkatkan
perubahan konformasi pada reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Ketika reseptor ini dikonversi
menjadi bentuk fungsionalnya, reseptor ini akan membentuk protein adhesive seperti
fibrinogen. Fibrinogen adalah molekul multivalent yang dapat berikatan dengan dua
plateet secara simultan, menghasilkan ikatan silang patelet dan agregasi.Kaskade
koagulasi mengalami aktivasi karena paparan faktor jaringan pada sel endotel yang
rusak, tepatnya pada area rupturnya plak.Aktivasi faktor VII dan X menyebabkan
konversi protrombin menjadi thrombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen
menjadi fibrin.Arteri koroner seringkali mengalami oklusi karena thrombus yang terdiri
dari agregat platelet dan benang-benang fibrin.
Pada sebagian kecil kasus, STEMI dapat terjadi karena emboli arteri koroner,
abnormalitas congenital, spasme koroner, dan berbagai penyakit sistemik, terutama
inflamasi. Besarnya kerusakan myocardial yang disebabkan oklusi koroner tergantung
pada :
a. daerah yang disuplai oleh pembuluh darah yang mengalami oklusi
b. apakah pembuluh darah mengalami oklusi total atau tidak
c. durasi oklusi koroner
d. kuantitas darah yang disuplai oleh pembuluh darah kolateral pada jaringan yang
terkena
e. kebutuhan oksigen pada miokardium yang suplai darahnya menurun secara tiba-
tiba
f. faktor lain yang dapat melisiskan thrombus secara dini dan spontan
g. keadekuatan perfusi miokard pada zona infark ketika aliran pada arteri koroner
epikardial yang mengalami oklusi telah dikembalikan.
5. MANIFESTASI KLINIS
1. Keluhan Utama Klasik
a. Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi
menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan
darah menurun atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu
beberapa minggu, tekanan darah kembali normal.
b. Nyeri
Nyeri merupakan manifestasi yang paling umum ditemukan pada pasien dengan
STEMI.Karakteristik nyeri yang dirasakan yaitu dalam dan visceral, yang biasa
dideskripsikan dengan nyeri terasa berat dan seperti diremas, seperti ditusuk,
atau seperti terbakar. Karakteristik nyeri pada STEMI hampir sama dengan
pada angina pectoris, namun biasanya terjadi pada saat istirahat, lebih berat,
dan berlangsung lebih lama. Nyeri biasa dirasakan pada bagian tengah dada
dan/atau epigastrium, dan menyebar ke daerah lengan.Penyebaran nyeri juga
dapat terjadi pada abdomen, punggung, rahang bawah, dan leher.Nyeri sering
disertai dengan kelemahan, berkeringat, nausea, muntah, dan ansietas (Fauci,
2009).
c. Dari auskultasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah.
Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi
sistolik abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan
suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara jantung dan
paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi ventrikel
jantung.
2. Temuan fisik
Sebagian besar pasien mengalami ansietas dan restless yang menunjukkan
ketidakmampuan untuk mengurangi rasa nyeri.Pallor yang berhubungan dengan
keluarnya keringat dan dingin pada ekstremitas juga sering ditemukan pada
pasien dengan STEMI.Nyeri dada substernal yang berlangsung selama >30
menit dan diaphoresis menunjukkan terjadinya STEMI. Meskipun sebagian besar
pasien menunjukkan tekanan darah dan frekuensi nadi yang normal selama satu
jam pertama STEMI, sekitar 25% pasien dengan infark anterior memiliki
manifestasi hiperaktivitas sistem saraf simpatik (takikardia dan/atau hipertensi),
dan 50% pasien dengan infark inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis
(bradikardi dan/atau hipotensi).
Impuls apical pada pasien dengan STEMI mungkin sulit untuk dipalpasi.
Tanda fisik dari disfungsi ventrikel lain antara adanya S3 dan S4, penurunan
intensitas bunyi jantung pertama, dan paradoxical splitting dari S2. Selain itu juga
sering terjadi penurunan volume pulsasi carotis, yang menunjukkan adanya
penurunan stroke volume. Peningkatan temperature tubuh di atas 380C mungkin
ditemukan selama satu minggu post STEMI.
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Nilai pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis STEMI dapat
dibagi menjadi 4, yaitu: ECG, serum cardiac biomarker, cardiac imaging, dan indeks
nonspesifik nekrosis jaringan dan inflamasi.
a. Electrocardiograf (ECG)
Adanya elevasi segmen ST pada sadapan tertentu
1. Lead II, III, aVF : Infark inferior
2. Lead V1-V3 : Infark anteroseptal
3. Lead V2-V4 : Infark anterior
4. Lead 1, aV L, V5-V6 : Infark anterolateral
5. Lead I, aVL : Infark high lateral
6. Lead I, aVL, V1-V6 : Infark anterolateral luas
7. Lead II, III, aVF, V5-V6 : Infark inferolateral
8. Adanya Q valve patologis pada sadapan tertentu
b. Serum Cardiac Biomarker
Beberapa protein tertentu, yang disebut biomarker kardiak, dilepas dari otot
jantung yang mengalami nekrosis setelah STEMI.Kecepatan pelepasan protein
spesifik ini berbeda-beda, tergantung pada lokasi intraseluler, berat molekul, dan
aliran darah dan limfatik local.Biomarker kardiak dapat dideteksi pada darah perifer
ketika kapasitas limfatik kardiak untuk membersihkan bagian interstisium dari zona
infark berlebihan sehingga ikut beredar bersama sirkulasi.
1. Cardiac Troponin (cTnT dan cTnI)
Cardiac-specific troponin T (cTnT) dan cardiac-specific troponin I (cTnI)
memiliki sekuens asam amino yang berbeda dari protein ini yang ada dalam
otot skeletal.Perbedaan tersebut memungkinkan dilakukannya quantitative
assay untuk cTnT dan cTnI dengan antibody monoclonal yang sangat
spesifik.Karena cTnT dan cTnI secara normal tidak terdeteksi dalam darah
individu normal tetapi meningkat setelah STEMI menjadi >20 kali lebih tinggi
dari nilai normal, pengukuran cTnT dan cTnI dapat dijadikan sebagai
pemeriksaan diagnostic.Kadar cTnT dan cTnI mungkin tetap meningkat
selama 7-10 hari setelah STEMI.
2. CKMB (Creatine Kinase-MB isoenzym)
Creatinine phosphokinase (CK) meningkat dalam 4-8 jam dan umumnya
kembali normal setelah 48-72 jam.Pengukuran penurunan total CK pada
STEMI memiliki spesifisitas yang rendah, karena CK juga mungkin meningkat
pada penyakit otot skeletal, termasuk infark intramuscular.Pengukuran
isoenzim MB dari CK dinilai lebih spesifik untuk STEMI karena isoenzim MB
tidak terdapat dalam jumlah yang signifikan pada jaringan ekstrakardiak.
Namun pada miokarditis, pembedahan kardiak mungkin didapatkan
peningkatan kadar isoenzim MB dalam serum.
3 5
2
10
Klasifikasi Killip
IMA dengan melihat derajat disfungsi ventrikel kiri secara klinis dinilai menggunakan
klasifikasi Killip:
Mortalitas
Kelas Definisi Proporsi pasien
(%)
c. Cardiac Imaging
1) Echocardiography (ECG)
Abnormalitas pergerakan dinding pada two-dimentional echocardiography
hampir selalu ditemukan pada pasien STEMI. Walaupun STEMI akut tidak
dapat dibedakan dari scar miokardial sebelumnya atau dari iskemia berat akut
dengan echocardiography, prosedur ini masih digunakan karena
keamanannya. Ketika tidak terdapat ECG untuk metode diagnostic STEMI,
deteksi awal maka nada atau tidaknya abnormalitas pergerakan dinding
dengan echocardiography dapat digunakan untuk mengambil keputusan,
seperti apakah pasien harus mendapatkan terapi reperfusi.
Estimasi echocardiographic untuk fungsi ventrikel kiri sangat berguna dalam
segi prognosis, deteksi penurunan fungsi ventrikel kiri menunjukkan indikasi
terapi dengan inhibitor RAAS.Echocardiography juga dapat mengidentifikasi
infark pada ventrikel kanan, aneurisma ventrikuler, efusi pericardial, dan
thrombus pada ventrikel kiri.Selain itu, Doppler echocardiography juga dapat
mendeteksi dan kuantifikasi VSD dan regurgitasi mitral, dua komplikasi STEMI.
Gambar 1. a) segmen ST elevasi pada STEMI inferior, ada juga ST depresi di lead aVL. b) STEMI
pada dinding lateral dengan ST elevasi di lead V5 dan V6.
2) Angiografi
Tes diagnostik invasif dengan memasukan katerterisasi jantung yang
memungkinkan visualisasi langsung terhadap arteri koroner besar dan
pengukuran langsung terhadap ventrikel kiri.
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat
(culprit) digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis
in myocardial infarction (TIMI) grading system:
Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang
terkena infark.
normal.
7. PENATALAKSANAAN
A. Umum
1) Pasang infus intravena: dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.
2) Pantau tanda vital: setiap ½ jam sampai stabil, kemudian tiap 4 jam atau sesuai
dengan kebutuhan, catat jika frekuensi jantung < 60 kali/mnt atau > 110 kali/mnt;
tekanan darah < 90 mmHg atau > 150 mmHg; frekuensi nafas <8 kali/mnt atau > 22
kali/mnt.
3) Aktifitas istirahat di tempat tidur dengan kursi commode di samping tempat tidur dan
mobilisasi sesuai toleransi setelah 12 jam.
4) Diet: puasa sampai bebas nyeri, kemudian diet cair. Selanjutnya diet jantung
(kompleks karbohidrat 50-55% dari kalori, monounsaturated dan unsaturated fats <
30% dari kalori), termasuk makanan tinggi kalium (sayur, buah), magnesium
(sayuran hijau, makanan laut) dan serat (buah segar, sayur, sereal).
5). Medika mentosa :
• Oksigen nasal mulai 2 l/mnt: dalam 2-3 jam pertama; dilanjutkan jika saturasi
oksigen arteri rendah (< 90%)
• Mengatasi rasa nyeri: Morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap lima
menit sampai dosis total 20 mg, atau Petidin 25-50 mg intravena, atau Tramadol
25-50 mg intravena. Nitrat sublingual/patch, intravena jika nyeri berulang dan
berkepanjangan.
6). Terapi reperfusi (trombolitik) streptokinase atau tPa:
• Tujuan: door to needle time < 30 menit, door to dilatation < 60 mnt.
• Rekomendasi:
Elevasi ST > 0,1 mV pada dua atau lebih sadapan ekstremitas berdampingan atau
> 0,2 mV pada dua atau lebih sadapan prekordial berdampingan, waktu mulai
nyeri dada sampai terapi < 12 jam, usia < 75 tahun; Blok cabang berkas (BBB)
dan anamnesis dicurigai infark miokard akut.
Dosis obat-obat trombolitik:
Streptokinase: 1,5 juta UI dalam 1 jam; Aktivator plasminogen jaringan (tPA):
bolus 15 mg, dilanjutkan 0,75 mg/kgBB (maksimal 50 mg) dalam jam pertama
dan 0,5 mg/kgBB (maksimal 35 mg) dalam 60 menit.
7). Antitrombotik :
• Aspirin (160-325 mg hisap atau telan)
• Heparin direkomendasi pada:
Pasien yang menjalani terapi revaskularisasi perkutan atau bedah.
Diberikan intravena pada pasien yang menjalani terapi reperfusi dengan alteplase:
dosis yang direkomendasikan 70 UI/kgBB bolus pada saat mulai infus alteplase,
dilanjutkan lebih dari 48 jam terbatas hanya pada pasien dengan risiko tinggi
terjadi tromboemboli sistemik atau vena.
Diberikan intravena pada infark non-Q.
Diberikan subkutan (SK) 2 x 7500 UI (heparin intravena merupakan trombolitik
yang tidak ada kontraindikasi heparin). Pada pasien fibrilasi atrial, riwayat emboli,
atau diketahui ada trombus di ventrikel kiri.
Diberikan intravena pada pasien yang mendapat terapi obat-obat trombolitik non-
selektif (streptokinase, anisreplase, urokinase) yang merupakan risiko tinggi
terjadinya emboli sistemik seperti di atas.
Keterangan: heparin direkomendasikan ditunda sampai 4 jam dan pada saat itu
diperiksa aPTT. Heparin mulai diberikan jika aPTT < 2 kali kontrol (sekitar 70 detik),
kemudian infus dipertahankan dengan target aPTT 1,5-2 kali kontrol (infus awal
sekitar 1000 UI/jam). Setelah 48 jam dapat dipertimbangkan diganti heparin
subkutan, warfarin, atau aspirin saja.
8). Mengatasi rasa takut dan cemas: diazepam 3 x 2-5 mg oral atau intravena.
9). Obat pelunak tinja: laktulosa (laksadin) 2 x 15 ml.
10).Terapi tambahan: Penyekat beta; jika tidak ada kontraindikasi. Penghambat ACE
terutama pada: IMA luas atau anterior, gagal jantung tanpa hipotensi, riwayat infark
miokard. Antagonis kalsium: diltiazem pada IMA non-Q.
Rekomendasi ACC/AHA yang baru tahun 2002, menganjurkan untuk memberikan
klopidogrel bersama aspirin pada semua pasien SKA di samping terapi standar. Juga
dianjurkan pemberian LMWH untuk mengantikan peran heparin pada semua pasien
SKA baik untuk pasien yang dirawat konservatif maupun mereka yang akan dilakukan
tindakan invasif. Pada SKA yang risiko tinggi perlu dipertimbangkan tindakan invasif
dini. Dari beberapa penelitian menganjurkan, pasien IMA yang diberi terapi fibrinolitik
juga diberi tambahan LMWH enoksaparin bersama-sama aspirin.
8. KOMPLIKASI
a. Disfungsi ventrikel
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan bentuk, ukuran, dan
ketebalan baik pada segmen yang infark maupun non infark. Proses ini
dinamakan remodeling ventricular.Secara akut, hal ini terjadi karena ekspansi
infark, disrupsi sel-sel miokardial yang normal, dan kehilangan jaringan pada
zona nekrotik.Pembesaran yang terjadi berhubungan dengan ukuran dan lokasi
infark.
b. Gagal pemompaan (pump failure)
Merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI.Perluasaan
nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan
mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya.Tanda klinis yang
sering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4
gallop.Pada pemeriksaan rontgen dijumpai kongesti paru.
c. Aritmia
Insiden aritmia setelah STEMI meningkat pada pasien setelah gejala
awal.Mekanisme yang berperan dalam aritmia karena infark meliputi
ketidakseimbangan sistem saraf otonom, ketidakseimbangan elektrolit, iskemia,
dan konduksi yang lambat pada zona iskemik.
d. Gagal jantung kongestif
Hal ini terjadi karena kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium.Disfungsi
ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menimbulkan kongesti vena pulmonalis,
sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan mengakibatkan
kongesti vena sistemik.
e. Syok kardiogenik
Diakibatkan oleh disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang massif,
biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri.Timbul lingkaran setan akibat
perubahan hemodinamik progresif hebat yang ireversibel dengan manifestasi
seperti penurunan perfusi perifer, penurunan perfusi koroner, peningkatan
kongesti paru-paru, hipotensi, asidosis metabolic, dan hipoksemia yang
selanjutnya makin menekan fungsi miokardium.
Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2009. Harrison’s Principles
of Internal Medicine 17th edition. The McGraw-Hill Companies, Inc.
Hall, Jhon E. 2009. Buku Saku Fisiologi Kedokteran, Guyton & Hall. Editor Bahasa
Indonesia: Irawati Setiawan Edisi 11. Jakarta: EGC
Kumar, Abbas, Fausto, Mitchel. 2009. Robbin’s Basic Pathology, The Kidney And Is
Collecting System. Elsevier Inc.
Mansjoer, A dkk. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2009. Buku AjarIlmu Penyakit Dalam. Ed 4. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit. Dalam FK UI.
Thaler. 2009. Satu-Satunya Buku EKG Yang Anda Perlukan, edisi 2. Jakarta: Hipokrates
Zainul Abidin and Roberth Corner .2009. ECG Interpretation The Self-Assesment
Approach second edititon .Blackwell Publishing: USA.
Diana Zahrawardani, K. S. H., Hema Dewi Anggraheny. (2013). Analisis Faktor Risiko
Kejadian Penyakit Jantung Koroner di RSUP Dr Kariadi Semarang. Jurnal
Kedokteran Muhammadiyah, 1(2), 13-20.