Anda di halaman 1dari 27

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. ST ELEVATION INFARK MIOCARD (STEMI)

1. DEFINISI
STEMI merupakan sindroma klinis yang ddidefinisikan dengan tanda
gejala dan karakteristik iskemi miokard dan berhubungan dengan persisten
ST elevasi dan pengeluaran biomarker dari nekrosis miokard.Cardiac
troponin merupakan biomarker yang digunakan untuk diagnosis infark
miokard. (AHA, 2012).
Infark miokard adalah kematian jaringan miokard yang diakibatkan oleh
kerusakan aliran darah koroner miokard (Carpenito, 2012). Infark miocard
akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang menyebabkan
sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi
sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh
darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak
mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat
mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark (Guyton &
Hall, 2011).
IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori, yaitu
ST-elevation infark miocard (STEMI) dan non ST-elevation infark miocard
(NSTEMI). STEMI merupakan oklusi total dari arteri koroner yang
menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan
miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG.
Sedangkan NSTEMI merupakan oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa
melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi
segmen ST pada EKG.

2. EPIDEMIOLOGI
The Thai Registry of Acute Coronary Syndrome (TRACS) melaporkan
bahwa dari data yang dikumpulkan dalam kurun waktu Oktober 2007 sampai
Desember 2008 terhadap 2007 pasien, didapatkan angka kejadian ST
elevation miocardial infarction (STEMI) sebesar 55%, non ST elevation
miocardial infarction (NSTEMI) 33% dan unstable angina pectoris (UAP)
sebesar 12% dimana angka mortalitas rumah sakit dari pasien STEMI
adalah sebesar 5,3%, NSTEMI sebesar 5,1%, dan pasien UAP sebesar
1,7% (Srimahachota dkk, 2012 ).
Tahun 2013 terdapat kurang lebih 478.000 pasien di Indonesia
didiagnosis penyakit jantung koroner, prevalensi STEMI meningkat dari 25%
menjadi 40% dari presentasi infark miokard, antara 10% hingga 30% terjadi
peningkatan dari pasien dengan angina tidak stabil mnjadi MI dalam 1 tahun
dan 29% kematian karena MI dalam 5 tahun. (Depkes, 2013).
Data prevalensi penyakit di Ruang CVCU Rumah Sakit Dr. Syaiful
Anwar Malang pada bulan Januari-Desember 2015 menunjukkan kejadian
tertinggi adalah kasus STEMI yaitu sebanyak 198 kasus atau 29,79% dari
data 10 penyakit tarbanyak.

3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Etiologi menurut Tierney (2002):
1. Ruptur plak
Ruptur plak arterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina
pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari
pembuluh koroner yang sebelunya mempunyai penyempitan yang mininal.
Dua pertiga dari pembuluh yang mengalami ruptur sebelumnya mempunyai
penyempitan 50% atau kurang, dan pada 97% pasien dengan angina tak
stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70%. Plak arterosklerotik terdiri
dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotic
(fibrotic cap). Plak tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung
lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag.
Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan
intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang
keretakan timbul pada dinding plak yang paling lemah karena adanya
enzim protease yang di hasilkan makrofag dan secara enzimatik
melemahkan dinding plak (fibrous cap). Terjadinya ruptur menyebabkan
aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi
terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% akan
terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak
menyumbat 100% dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan
terjadi angina tak stabil.
2. Trombosis dan agregasi trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar
terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu di
sebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos dan sel
busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi faktor
jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor
jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi
enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin.

3. Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak
stabil. Diperkirakan ada disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang
diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh
darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada
angina prinzmetal juga menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasme
sering kali terjadi pada plak yang tak stabil dan mempunyai peran dalam
pembentukan trombus.

4. Erosi pada plak tanpa ruptur


Terjadinya penyempitan juga dapat di sebabkan karena terjadinya
proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan
endotel; adanya perubahan bentuk dari lesi karena bertambahnya sel otot
polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan
keluhan iskemia.

a) Faktor Resiko Yang Tidak Dapat Dimodifikasi


Merupakan faktor resiko yang tidak bisa dirubah atau dikendalikan, yaitu
di antaranya:
 Usia
Umur merupakan faktor risiko STEMI dimana penambahan usia
akan meningkatkan risiko terjadinya STEMI. Semakin tua umur
maka semakin besar kemungkinan timbulnya karat yang
menempel di dinding dan menyebabkan mengganggu aliran air
yang melewatinya (Diana Zahrawardani, 2013).
Telah dibuktikan adanya hubungan antara umur dan kematian
akibat STEMI. Sebagian besar kasus kematian terjadi pada laki-
laki umur 35-44 tahun dan meningkat dengan bertambahnya umur.
Kadar kolesterol pada laki-laki dan perempuan mulai meningkat
umur 20 tahun. Pada laki-laki kolesterol meningkat sampai umur
50 tahun. Pada perempuan sebelum menopause (45-50 tahun)
lebih rendah dari pada laki-laki dengan umur yang sama. Setelah
menopause kadar kolesterol perempuan meningkat menjadi lebih
tinggi dari pada laki-laki (Djohan, 2004).
 Jenis Kelamin
Pria lebih mungkin untuk mengalami STEMI, stroke, dan penyakit
kardiovaskular lainnya dibandingkan dengan perempuan. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena hormon androgen pada pria
meningkatkan resiko terjadinya atherosklerosis sedangkan hormon
esterogen yang bersifat melindungi dan mencegah terjadinya
atherosklerosis namun mekanisme kedua hormon tersebut masih
belum diketahui. Hal ini tampaknya didukung oleh fakta bahwa
penyakit cardiovaskular bagi perempuan meningkat secara
dramatis
setelah menopause, ketika tubuh mereka berhenti memproduksi
estrogen (Black, 2011).
 Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner
(saudara atau orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia
50 tahun) meningkatkan kemungkinan timbulnya aterosklerosis
prematur. Pentingnya pengaruh genetik dan lingkungan masih
belum diketahui. Komponen genetik dapat diduga pada beberapa
bentuk aterosklerosis yang nyata, atau yang cepat
perkembangannya, seperti pada gangguan lipid familial. Tetapi,
riwayat keluarga dapat pula mencerminkan komponen lingkungan
yang kuat seperti misalnya gaya hidup yang menimbulkan stres
atau obesitas.

 Ras
Orang Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada orang
kulit putih
 Geografi
Tingkat kematian akibat IMA lebih tinggi di Irlandia Utara,
Skotlandia, dan bagian Inggris Utara dan dapat merefleksikan
perbedaan diet, kemurnian air, merokok, struktur sosio-ekonomi,
dan kehidupan urban.
 Kelas sosial
Tingkat kematian akibat IMA tiga kali lebih tinggi pada pekerja
kasar laki-laki terlatih dibandingkan dengan kelompok pekerja
profesi (missal dokter, pengacara dll). Selain itu frekuensi istri
pekerja kasar ternyata 2 kali lebih besar untuk mengalami
kematian dini akibat IMA dibandingkan istri pekerja
professional/non-manual.

b) Faktor Resiko Yang Dapat Dimodifikasi


Merupakan faktor resiko yang bisa dikendalikan sehingga dengan
Intervensi tertentu maka bisa dihilangkan. Yang termasuk dalam
kelompok ini diantaranya:
 Mayor:
1. Hipertensi
Merupakan salah satu faktor resiko utama penyebab terjadinya
PJK. Penelitian di berbagai tempat di Indonesia (1978)
prevalensi Hipertensi untuk Indonesia berkisar 6-15%, sedang
di negara maju mis : Amerika 15-20%. Lebih kurang 60%
penderita Hipertensi tidak terdeteksi, 20% dapat diketahui tetapi
tidak diobati atau tidak terkontrol dengan baik.
Penyebab kematian akibat Hipertensi di Amerika adalah
Kegagalan jantung 45%, Miokard Infark 35% cerebrovaskuler
accident 15% dan gagal ginjal 5%. Komplikasi yang terjadi
pada hipertensi esensial biasanya akibat perubahan struktur
arteri dan arterial sistemik, terutama terjadi pada kasus-kasus
yang tidak diobati. Mula-mula akan terjadi hipertropi dari tunika
media diikuti dengan hialinisasi setempat dan penebalan
fibrosis dari tunika intima dan akhirnya akan terjadi
penyempitan pembuluh darah. Tempat yang paling berbahaya
adalah bila mengenai miokardium, arteri dan arterial sistemik,
arteri koroner dan serebral serta pembuluh darah ginjal.
Komplikasi terhadap jantung Hipertensi yang paling sering
adalah Kegagalan Ventrikel Kiri, PJK seperti angina Pektoris
dan Miokard Infark. Dari penelitian 50% penderita miokard
infark menderita Hipertensi dan 75% kegagalan Ventrikel kiri
akibat Hipertensi. Perubahan hipertensi khususnya pada
jantung disebabkan karena :
a. Meningkatnya tekanan darah.
Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk
jantung, sehingga menyebabkan hipertropi ventrikel kiri atau
pembesaran ventrikel kiri (faktor miokard). Keadaan ini
tergantung dari berat dan lamanya hipertensi.
b. Mempercepat timbulnya arterosklerosis.
Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan
trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri
koronaria, sehingga memudahkan terjadinya arterosklerosis
koroner (faktor koroner) Hal ini menyebabkan angina pektoris,
Insufisiensi koroner dan miokard infark lebih sering didapatkan
pada penderita hipertensi dibanding orang normal.
Tekanan darah sistolik diduga mempunyai pengaruh yang lebih
besar. Kejadian PJK pada hipertensi sering dan secara
langsung berhubungan dengan tingginya tekanan darah
sistolik. Penelitian Framingham selama 18 tahun terhadap
penderita berusia 45-75 tahun mendapatkan hipertensi sistolik
merupakan faktor pencetus terjadinya angina pectoris dan
miokard infark. Juga pada penelitian tersebut didapatkan
penderita hipertensi yang mengalami miokard infark
mortalitasnya 3x lebih besar dari pada penderita yang
normotensi dengan miokard infark.
Hasil penelitian Framingham juga mendapatkan hubungan
antara PJK dan Tekanan darah diastolik. Kejadian miokard
infark 2x lebih besar pada kelompok tekanan darah diastolik 90-
104 mmHg dibandingkan Tekanan darah diastolik 85 mmHg,
sedangkan pada tekanan darah diastolik 105 mmHg 4x lebih
besar. Penelitian stewart 1979 & 1982 juga memperkuat
hubungan antara kenaikan takanan darah diastolik dengan
resiko mendapat miokard infark. Apabila Hipertensi sistolik dari
Diastolik terjadi bersamaan maka akan menunjukkan resiko
yang paling besar dibandingkan penderita yang tekanan
darahnya normal atau Hipertensi Sistolik saja. Lichenster juga
melaporkan bahwa kematian PJK lebih berkolerasi dengan
Tekanan darah sistolik diastolik dibandingkan Tekanan darah
Diastolik saja.
2. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia menyatakan peningkatan kolesterol dan atau
trigliserida serum diatas batas normal (Brown, 2006).
Konsekuensi hiperlipidemia yang paling penting adalah
peningkatan kolesterol serum, terutama peningkatan LDL yang
merupakan predisposisi terjadinya aterosklerosis serta
meningkatnya risiko terjadinya PJK. LDL berperan dalam
proses penimbunan kolesterol dalam makrofag, sel otot polos
serta matriks ekstra seluler dalam pembuluh darah sehingga
bersifat aterogenik (Fathoni, 2011).
LDL belum berpotensi sebagai senyawa aterogenik sebelum
dirubah menjadi senyawa LDL teroksidasi. Oksidasi inilah yang
nantinya akan berpotensi dalam pembentukan sel busa sebagai
awal dari aterogenesis (Fathoni, 2011).
Sementara itu HDL dianggap kolesterol baik antiaterogenik,
terlibat dalam transportasi balik dari lipid. Studi epidemiologis
telah menemukan hubungan yang berbanding terbalik antara
kadar HDL dan risiko PJK. Bila dikelompokkan menurut tingkat
HDL, subjek dengan kadar HDL lebih dari 60 mg/dL memiliki
risiko PJK lebih rendah dibandingkan mereka yang memiliki
HDL 40-60 mg/dL, tingkat ini masih memiliki risiko yang lebih
rendah daripada mereka yang memiliki HDL kurang dari 40
mg/dL. Tidak ada batas optimal untuk efek menguntungkan dari
HDL pada risiko PJK yang telah diidentifikasi. Kadar HDL
plasma diatas 75 mg/dL berefek perlindungan dari
aterosklerosis dan kebebasan relatif dari PJK. Peningkatan 1
mg/dL dari HDL menurunkan risiko PJK sebesar 2% pada pria
dan 3% pada wanita (Rajagopal, et al, 2012).
HDL memiliki banyak efek, termasuk transportasi kolesterol
balik, antioksidan, anti-inflamasi, dan sifat antitrombotik yang
diyakini sebagai atheroprotektif. Efek anti-inflamasi HDL
termasuk membatasi ekspresi molekul adhesi leukosit pada
permukaan sel endotel, mengurangi kemotaksis leukosit, dan
penurunan ekspresi dari sejumlah sitokin, termasuk interleukin
1 dan 6 serta Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α). HDL
cenderung berkontribusi sebagai penaksiran "faktor risiko
negatif" pada penyakit koroner (Ansell, et al, 2006).
Penyakit kardiovaskular tidak secara otomatis terjadi hanya
karena memiliki kadar lipid abnormal, tetapi fakta menunjukkan
bahwa semakin tinggi kadar kolesterol total atau LDL dan
semakin rendah kadar kolesterol HDL, maka semakin tinggi
risiko terkena penyakit kardiovaskular. Kadar kolesterol tinggi
atau kadar lipid abnormal meningkatkan risiko serangan
jantung dan angina yang merupakan dua hal yang paling sering
terjadi pada PJK (Bull, 2007).
3. Obesitas
Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung
koroner. Sekitar 25-49% penyakit jantung koroner di negara
berkembang berhubungan dengan peningkatan indeks masa
tubuh (IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT > 25-30
kg/m2 dan obesitas dengan IMT > 30 kg/m2. Obesitas sentral
adalah obesitas dengan kelebihan lemak berada di abdomen.
Biasanya keadaan ini juga berhubungan dengan kelainan
metabolik seperti peninggian kadar trigliserida, penurunan
HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi
insulin dan diabetes melitus tipe II (Ramrakha, 2006).
4. Kadar Kolesterol Total dan LDL tinggi dan Kadar Kolesterol
HDL rendah.
Resiko terjadinya penyakit arteri koroner meningkat pada
peningkatan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL
(kolesterol jahat) dalam darah. Jika terjadi peningkatan kadar
kolesterol HDL (kolesterol baik), maka resiko terjadinya
penyakit arteri koroner akan menurun
5. Diabetes
Adalah kumpulan gejala akibat peningkatan kadar gula darah
akibat kekurangan hormon insulin baik absolut maupun relatif.
Resiko terjadinya penyakit IMA pada pasien dengan DM
sebesar 2- 4 lebih tinggi dibandingkan orang biasa. Hal ini
berkaitan dengan adanya abnormalitas metabolisme lipid,
obesitas, hipertensi sistemik, peningkatan trombogenesis
(peningkatan tingkat adhesi platelet dan peningkatan
trombogenesis). Berdasarkan hasil penelitian Framingham
dalam Dirjen P2PL (2011), satu dari dua orang penderita DM
akan mengalami kerusakan pembuluh darah dan peningkatan
risiko serangan jantung. Pada Diabetes mellitus akan timbul
proses penebalan membran basalis dari kapiler dan pembuluh
darah arteri koronaria, sehingga terjadi penyempitan aliran
darah ke jantung. Penyakit ini dapat dikendalikan dengan
menjaga kadar gula darah agar tetap normal.
6. Merokok
Risiko penyakit jantung koroner pada perokok 2-4 kali lebih
besar daripada yang bukan perokok. Kandungan zat racun
pada rokok antara lain tar, nikotin dan karbon monoksida.
Rokok akan menyebabkan penurunan kadar oksigen ke
jantung, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi,
penurunan kadar kolesterol HDL, peningkatan penggumpalan
darah dan kerusakan endotel pembuluh darah koroner.
Merokok meningkatkan risiko terkena PJK sebanyak 2-6 kali
lebih besar dibandingkan dengan bukan perokok. Rokok
menurunkan kadar level estrogen. Risiko juga sesuai dengan
jumlah rokok yang dihisap, dan penggunaan rokok dengan
nikotin rendah dan berfilter tidak menurunkan risiko.
Seseorang yang terkena paparan kronik terhadap rokok
meningkatkan terkena PJK (Lewis, et. al., 2007).
Nikotin dalam tembakau menyebabkan katekolamin seperti
epineprin, norepineprin dikeluarkan. Hal ini menyebabkan
peningkatan dari denyut jantung, periperal kontriksi dan
peningkatan tekanan darah dan meningkatkan peningkatan
kerja jantung, akibatnya terjadi peningkatan konsumsi oksigen
pada miokardium. Nikotin meningkatkan adhesi platelet yang
akan meningkatkan resiko pembentukan emboli (Lewis, et. al.,
2007).
Karbonmonoksida sebagai produk dari pembakaran pada saat
merokok, berpengaruh pada pengikatan oksigen oleh
hemoglobin. Selain itu juga karbonmonoksida merupakan zat
kimia yang bersifat iritasi yang menyebabkan injuri pada
bagian endotel pembuluh darah (Lewis, at al. 2007).
7. Diet: tinggi lemak jenuh, tinggi kalori
Resiko terkena infark miokard meningkat pada pasien yang
mengkonsumsi diet yang rendah serat, kurang vitamin C dan
E, dan bahan-bahan polisitemikal. Mengkonsumsi alkohol satu
atau dua sloki kecil per hari ternyata sedikit mengurangi resiko
terjadinya infark miokard. Namun bila mengkonsumsi
berlebihan, yaitu lebih dari dua sloki kecil per hari, pasien
memiliki peningkatan resiko terkena penyakit (Beers, 2004).
8. Hobi makan junk food
Makanan kaya lemak yang masuk ke dalam tubuh dapat
menyebabkan penumpukan zat-zat lemak (kolesterol,
trigliserida) di bawah lapisan terdalam (endotelium) dari
dinding pembuluh nadi bisa mengakibatkan penyumbatan dan
penyempitan pembuluh arteri kororner (arteroklerosis).
Sedangkan, lemak jenuh yang banyak terdapat dalam
makanan sejenis junk food juga mampu merangsang hati
untuk memproduksi banyak kolesterol. Kolesterol yang
mengendap lama-kelamaan akan menghambat aliran darah
dan oksigen sehingga menggangu metabolisme sel otot
jantung.
9. Mengkonsumsi alkohol
Mengkonsumsi alkohol satu atau dua sloki kecil per hari
ternyata sedikit mengurangi resiko terjadinya infark miokard.
Namun bila mengkonsumsi berlebihan, yaitu lebih dari dua
sloki kecil per hari, pasien memiliki peningkatan resiko terkena
penyakit (Beers, 2004).
 Minor:
1. Kepribadian tipe A (agresif, ambisius, emosional, kompetitif)
Tipe kepribadian A yang memiliki sifat agresif, kompetitif,
kasar, sinis, gila hormat, ambisius, dan gampang marah
sangat rentan untuk terkena IMA. Terdapat hubungan antara
stress dengan abnnormalitas metabolisme lipid.
2. Stress psikologis berlebihan
Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja, rendahnya
dukungan sosial, personalitas yang tidak simpatik, ansietas
dan depresi secara konsisten meningkatkan resiko terkena.
3. Inaktifitas fisik
Wanita yang tidak aktif bergerak mempunyai risiko 2-3 kali
lebih besar menderita serangan jantung. Selain mengurangi
berat badan, olahraga teratur dapat memperkuat otot jantung
dan memperbaiki sistem peredaran darah.
4. PATOFISIOLOGI
Faktor yang tidak dapat dimodifikasi: usia, Faktor yang dapat dimodifikasi: hipertensi,
jenis kelamin, riwayat keluarga, ras, geografi, dislipidemia, obesitas, diabetes, merokok, diet
kelas sosial tinggi lemak, alkohol, stress, inaktivitas fisik

Melekat pada dinding pembuluh darah



LDL menembus pembuluh darah melalui lapisan sel endotel

Masuk ke lapisan pembuluh darah lebih dalam (intina)

Menyempitkan pembuluh darah

LDL teroksidasi atau dirusak oleh radikal bebas

Mengubah monosit menjadi makrofag

LDL teroksidasi tahap 2

Mengubah makrofag menjadi sel busa

Sel busa berikatan membentuk gumpalan

Penyempitan lumen pembuhuh darah

Aliran darah tidak lancar
LDL teroksidasi

Timbul bercak lemak

Plak halus


Protrombin  thrombin
Fibrinogen  fibrin
Perub. ↓
Stimulasi
Nyeri Akut Metabolik aerob
saraf Rupture plak
 anaerob

Thrombus

Suplai O2 tidak Oklusi arteri koroner
seimbang dg ↑
permintaan O2
Aliran darah koroner
menurun

Suplay O2 ke jaringan Kematian jaringan Gagal pompa ventrikel kiri
berkurang ↓
↓ Penurunan Cardiac
Kebutuhan O2 tidak Output
tercukupi

Takipneu

Ketidakefektifan pola
nafas
STEMI biasa terjadi ketika aliran darah koroner menurun secara tiba-tiba setelah
oklusi trombotik dari arteri koroner yang sebelumnya mengalami atherosclerosis.STEMI
terjadi ketika thrombus pada arteri koroner berkembang secara cepat pada tempat
terjadinya kerusakan vascular.Kerusakan ini difasilitasi oleh beberapa faktor, seperti
merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.Pada sebagian besar kasus, STEMI terjadi
ketika permukaan plak atherosclerotic mengalami ruptur sehingga komponen plak
tersebut terekspos dalam darah dan kondisi yang mendukung trombogenesis
(terbentuknya thrombus).Mural thrombus (thrombus yang menempel pada pembuluh
darah) terbentuk pada tempat rupturnya plak, dan terjadi oklusi pada arteri
koroner.Setelah platelet monolayer terbentuk pada tempat terjadinya ruptur plak,
beberapa agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) menyebabkan aktivasi
platelet.Setelah stimulasi agonis platelet, thromboxane A2 (vasokonstriktor local yang
kuat) dilepas dan terjadi aktivasi platelet lebih lanjut (Price, 2005).
Selain pembentukan thromboxane A2, aktivasi platelet oleh agonis meningkatkan
perubahan konformasi pada reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Ketika reseptor ini dikonversi
menjadi bentuk fungsionalnya, reseptor ini akan membentuk protein adhesive seperti
fibrinogen. Fibrinogen adalah molekul multivalent yang dapat berikatan dengan dua
plateet secara simultan, menghasilkan ikatan silang patelet dan agregasi.Kaskade
koagulasi mengalami aktivasi karena paparan faktor jaringan pada sel endotel yang
rusak, tepatnya pada area rupturnya plak.Aktivasi faktor VII dan X menyebabkan
konversi protrombin menjadi thrombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen
menjadi fibrin.Arteri koroner seringkali mengalami oklusi karena thrombus yang terdiri
dari agregat platelet dan benang-benang fibrin.
Pada sebagian kecil kasus, STEMI dapat terjadi karena emboli arteri koroner,
abnormalitas congenital, spasme koroner, dan berbagai penyakit sistemik, terutama
inflamasi. Besarnya kerusakan myocardial yang disebabkan oklusi koroner tergantung
pada :
a. daerah yang disuplai oleh pembuluh darah yang mengalami oklusi
b. apakah pembuluh darah mengalami oklusi total atau tidak
c. durasi oklusi koroner
d. kuantitas darah yang disuplai oleh pembuluh darah kolateral pada jaringan yang
terkena
e. kebutuhan oksigen pada miokardium yang suplai darahnya menurun secara tiba-
tiba
f. faktor lain yang dapat melisiskan thrombus secara dini dan spontan
g. keadekuatan perfusi miokard pada zona infark ketika aliran pada arteri koroner
epikardial yang mengalami oklusi telah dikembalikan.

5. MANIFESTASI KLINIS
1. Keluhan Utama Klasik
a. Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi
menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan
darah menurun atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu
beberapa minggu, tekanan darah kembali normal.
b. Nyeri
Nyeri merupakan manifestasi yang paling umum ditemukan pada pasien dengan
STEMI.Karakteristik nyeri yang dirasakan yaitu dalam dan visceral, yang biasa
dideskripsikan dengan nyeri terasa berat dan seperti diremas, seperti ditusuk,
atau seperti terbakar. Karakteristik nyeri pada STEMI hampir sama dengan
pada angina pectoris, namun biasanya terjadi pada saat istirahat, lebih berat,
dan berlangsung lebih lama. Nyeri biasa dirasakan pada bagian tengah dada
dan/atau epigastrium, dan menyebar ke daerah lengan.Penyebaran nyeri juga
dapat terjadi pada abdomen, punggung, rahang bawah, dan leher.Nyeri sering
disertai dengan kelemahan, berkeringat, nausea, muntah, dan ansietas (Fauci,
2009).
c. Dari auskultasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah.
Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi
sistolik abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan
suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara jantung dan
paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi ventrikel
jantung.
2. Temuan fisik
Sebagian besar pasien mengalami ansietas dan restless yang menunjukkan
ketidakmampuan untuk mengurangi rasa nyeri.Pallor yang berhubungan dengan
keluarnya keringat dan dingin pada ekstremitas juga sering ditemukan pada
pasien dengan STEMI.Nyeri dada substernal yang berlangsung selama >30
menit dan diaphoresis menunjukkan terjadinya STEMI. Meskipun sebagian besar
pasien menunjukkan tekanan darah dan frekuensi nadi yang normal selama satu
jam pertama STEMI, sekitar 25% pasien dengan infark anterior memiliki
manifestasi hiperaktivitas sistem saraf simpatik (takikardia dan/atau hipertensi),
dan 50% pasien dengan infark inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis
(bradikardi dan/atau hipotensi).
Impuls apical pada pasien dengan STEMI mungkin sulit untuk dipalpasi.
Tanda fisik dari disfungsi ventrikel lain antara adanya S3 dan S4, penurunan
intensitas bunyi jantung pertama, dan paradoxical splitting dari S2. Selain itu juga
sering terjadi penurunan volume pulsasi carotis, yang menunjukkan adanya
penurunan stroke volume. Peningkatan temperature tubuh di atas 380C mungkin
ditemukan selama satu minggu post STEMI.

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Nilai pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis STEMI dapat
dibagi menjadi 4, yaitu: ECG, serum cardiac biomarker, cardiac imaging, dan indeks
nonspesifik nekrosis jaringan dan inflamasi.
a. Electrocardiograf (ECG)
Adanya elevasi segmen ST pada sadapan tertentu
1. Lead II, III, aVF : Infark inferior
2. Lead V1-V3 : Infark anteroseptal
3. Lead V2-V4 : Infark anterior
4. Lead 1, aV L, V5-V6 : Infark anterolateral
5. Lead I, aVL : Infark high lateral
6. Lead I, aVL, V1-V6 : Infark anterolateral luas
7. Lead II, III, aVF, V5-V6 : Infark inferolateral
8. Adanya Q valve patologis pada sadapan tertentu
b. Serum Cardiac Biomarker
Beberapa protein tertentu, yang disebut biomarker kardiak, dilepas dari otot
jantung yang mengalami nekrosis setelah STEMI.Kecepatan pelepasan protein
spesifik ini berbeda-beda, tergantung pada lokasi intraseluler, berat molekul, dan
aliran darah dan limfatik local.Biomarker kardiak dapat dideteksi pada darah perifer
ketika kapasitas limfatik kardiak untuk membersihkan bagian interstisium dari zona
infark berlebihan sehingga ikut beredar bersama sirkulasi.
1. Cardiac Troponin (cTnT dan cTnI)
Cardiac-specific troponin T (cTnT) dan cardiac-specific troponin I (cTnI)
memiliki sekuens asam amino yang berbeda dari protein ini yang ada dalam
otot skeletal.Perbedaan tersebut memungkinkan dilakukannya quantitative
assay untuk cTnT dan cTnI dengan antibody monoclonal yang sangat
spesifik.Karena cTnT dan cTnI secara normal tidak terdeteksi dalam darah
individu normal tetapi meningkat setelah STEMI menjadi >20 kali lebih tinggi
dari nilai normal, pengukuran cTnT dan cTnI dapat dijadikan sebagai
pemeriksaan diagnostic.Kadar cTnT dan cTnI mungkin tetap meningkat
selama 7-10 hari setelah STEMI.
2. CKMB (Creatine Kinase-MB isoenzym)
Creatinine phosphokinase (CK) meningkat dalam 4-8 jam dan umumnya
kembali normal setelah 48-72 jam.Pengukuran penurunan total CK pada
STEMI memiliki spesifisitas yang rendah, karena CK juga mungkin meningkat
pada penyakit otot skeletal, termasuk infark intramuscular.Pengukuran
isoenzim MB dari CK dinilai lebih spesifik untuk STEMI karena isoenzim MB
tidak terdapat dalam jumlah yang signifikan pada jaringan ekstrakardiak.
Namun pada miokarditis, pembedahan kardiak mungkin didapatkan
peningkatan kadar isoenzim MB dalam serum.
3 5

2
10

Waktu Awal Waktu Puncak Waktu Kembali Nilai Rujukan


Marker
Peningkatan (jam) Peningkatan (jam) Normal
CK 4–8 12 – 24 72 – 96 jam
CK-MB 4–8 12 – 24 48 – 72 jam 10-13 units/L
Mioglobin 2–4 4–9 < 24 jam < 110 ng/mL
LDH 10 – 12 48 – 72 7 – 10 hari
Troponin I 4–6 12 – 24 3 – 10 hari < 1,5 ng/mL
Troponin T 4–6 12 – 48 7 – 10 hari < 0,1 ng/mL

Tabel 1. Cardiac marker pada Miokard Infark

Klasifikasi Killip

Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca IMA. Prognosis

IMA dengan melihat derajat disfungsi ventrikel kiri secara klinis dinilai menggunakan

klasifikasi Killip:

Tabel 2. Klasifikasi Killip Pada IMA

Mortalitas
Kelas Definisi Proporsi pasien
(%)

I Tidak ada tanda gagal jantung kongestif 40-50% 6

Heart falure. Kriteria diagnosis disertai


adanya S3 gallop dan/atauronkibasah
II 30-40% 17
(rales) di basal paru dan hipertensi
pulmonal
Severe Heart Failure. Edema paru akut
III 10-15% 30-40
(ALO)
IV Syok kardiogenik 5-10% 60-80

c. Cardiac Imaging
1) Echocardiography (ECG)
Abnormalitas pergerakan dinding pada two-dimentional echocardiography
hampir selalu ditemukan pada pasien STEMI. Walaupun STEMI akut tidak
dapat dibedakan dari scar miokardial sebelumnya atau dari iskemia berat akut
dengan echocardiography, prosedur ini masih digunakan karena
keamanannya. Ketika tidak terdapat ECG untuk metode diagnostic STEMI,
deteksi awal maka nada atau tidaknya abnormalitas pergerakan dinding
dengan echocardiography dapat digunakan untuk mengambil keputusan,
seperti apakah pasien harus mendapatkan terapi reperfusi.
Estimasi echocardiographic untuk fungsi ventrikel kiri sangat berguna dalam
segi prognosis, deteksi penurunan fungsi ventrikel kiri menunjukkan indikasi
terapi dengan inhibitor RAAS.Echocardiography juga dapat mengidentifikasi
infark pada ventrikel kanan, aneurisma ventrikuler, efusi pericardial, dan
thrombus pada ventrikel kiri.Selain itu, Doppler echocardiography juga dapat
mendeteksi dan kuantifikasi VSD dan regurgitasi mitral, dua komplikasi STEMI.

Gelombang Q dengan ST elevasi yang signifikan menunjukkan keakutan.

Gambar 1. Gambaran EKG STEMI

Gambar 1. a) segmen ST elevasi pada STEMI inferior, ada juga ST depresi di lead aVL. b) STEMI
pada dinding lateral dengan ST elevasi di lead V5 dan V6.

2) Angiografi
Tes diagnostik invasif dengan memasukan katerterisasi jantung yang
memungkinkan visualisasi langsung terhadap arteri koroner besar dan
pengukuran langsung terhadap ventrikel kiri.
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat
(culprit) digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis
in myocardial infarction (TIMI) grading system:
 Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang

terkena infark.

 Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik

obstruksi tetapi tanpa perfusi vascular distal.

 Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke

bagian distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan arteri

normal.

 Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark

dengan aliran normal.

3) High Resolution MRI


Infark miokard dapat dideteksi secara akurat dengan high resolution cardiac
MRI.
d. Indeks Nonspesifik Nekrosis Jaringan dan Inflamasi
Reaksi nonspesifik terhadap injuri myocardial berhubungan dengan leukositosis
polimorfonuklear, yang muncul dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan
menetap selama 3-7 hari.Hitung sel darah putih seringkali mencapai 12.000-
15.000/L. Kecepatan sedimentasi eritrosit meningkat secara lebih lambat
dibandingkan dengan hitung sel darah putih, memuncak selama minggu pertama
dan kadang tetap meningkat selama 1 atau 2 minggu (Muttaqin, 2009).

7. PENATALAKSANAAN
A. Umum
1) Pasang infus intravena: dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.
2) Pantau tanda vital: setiap ½ jam sampai stabil, kemudian tiap 4 jam atau sesuai
dengan kebutuhan, catat jika frekuensi jantung < 60 kali/mnt atau > 110 kali/mnt;
tekanan darah < 90 mmHg atau > 150 mmHg; frekuensi nafas <8 kali/mnt atau > 22
kali/mnt.
3) Aktifitas istirahat di tempat tidur dengan kursi commode di samping tempat tidur dan
mobilisasi sesuai toleransi setelah 12 jam.
4) Diet: puasa sampai bebas nyeri, kemudian diet cair. Selanjutnya diet jantung
(kompleks karbohidrat 50-55% dari kalori, monounsaturated dan unsaturated fats <
30% dari kalori), termasuk makanan tinggi kalium (sayur, buah), magnesium
(sayuran hijau, makanan laut) dan serat (buah segar, sayur, sereal).
5). Medika mentosa :
• Oksigen nasal mulai 2 l/mnt: dalam 2-3 jam pertama; dilanjutkan jika saturasi
oksigen arteri rendah (< 90%)
• Mengatasi rasa nyeri: Morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap lima
menit sampai dosis total 20 mg, atau Petidin 25-50 mg intravena, atau Tramadol
25-50 mg intravena. Nitrat sublingual/patch, intravena jika nyeri berulang dan
berkepanjangan.
6). Terapi reperfusi (trombolitik) streptokinase atau tPa:
• Tujuan: door to needle time < 30 menit, door to dilatation < 60 mnt.
• Rekomendasi:
􀀹 Elevasi ST > 0,1 mV pada dua atau lebih sadapan ekstremitas berdampingan atau
> 0,2 mV pada dua atau lebih sadapan prekordial berdampingan, waktu mulai
nyeri dada sampai terapi < 12 jam, usia < 75 tahun; Blok cabang berkas (BBB)
dan anamnesis dicurigai infark miokard akut.
􀀹 Dosis obat-obat trombolitik:
Streptokinase: 1,5 juta UI dalam 1 jam; Aktivator plasminogen jaringan (tPA):
bolus 15 mg, dilanjutkan 0,75 mg/kgBB (maksimal 50 mg) dalam jam pertama
dan 0,5 mg/kgBB (maksimal 35 mg) dalam 60 menit.
7). Antitrombotik :
• Aspirin (160-325 mg hisap atau telan)
• Heparin direkomendasi pada:
􀀹 Pasien yang menjalani terapi revaskularisasi perkutan atau bedah.
􀀹 Diberikan intravena pada pasien yang menjalani terapi reperfusi dengan alteplase:
dosis yang direkomendasikan 70 UI/kgBB bolus pada saat mulai infus alteplase,
dilanjutkan lebih dari 48 jam terbatas hanya pada pasien dengan risiko tinggi
terjadi tromboemboli sistemik atau vena.
􀀹 Diberikan intravena pada infark non-Q.
􀀹 Diberikan subkutan (SK) 2 x 7500 UI (heparin intravena merupakan trombolitik
yang tidak ada kontraindikasi heparin). Pada pasien fibrilasi atrial, riwayat emboli,
atau diketahui ada trombus di ventrikel kiri.
􀀹 Diberikan intravena pada pasien yang mendapat terapi obat-obat trombolitik non-
selektif (streptokinase, anisreplase, urokinase) yang merupakan risiko tinggi
terjadinya emboli sistemik seperti di atas.
Keterangan: heparin direkomendasikan ditunda sampai 4 jam dan pada saat itu
diperiksa aPTT. Heparin mulai diberikan jika aPTT < 2 kali kontrol (sekitar 70 detik),
kemudian infus dipertahankan dengan target aPTT 1,5-2 kali kontrol (infus awal
sekitar 1000 UI/jam). Setelah 48 jam dapat dipertimbangkan diganti heparin
subkutan, warfarin, atau aspirin saja.
8). Mengatasi rasa takut dan cemas: diazepam 3 x 2-5 mg oral atau intravena.
9). Obat pelunak tinja: laktulosa (laksadin) 2 x 15 ml.
10).Terapi tambahan: Penyekat beta; jika tidak ada kontraindikasi. Penghambat ACE
terutama pada: IMA luas atau anterior, gagal jantung tanpa hipotensi, riwayat infark
miokard. Antagonis kalsium: diltiazem pada IMA non-Q.
Rekomendasi ACC/AHA yang baru tahun 2002, menganjurkan untuk memberikan
klopidogrel bersama aspirin pada semua pasien SKA di samping terapi standar. Juga
dianjurkan pemberian LMWH untuk mengantikan peran heparin pada semua pasien
SKA baik untuk pasien yang dirawat konservatif maupun mereka yang akan dilakukan
tindakan invasif. Pada SKA yang risiko tinggi perlu dipertimbangkan tindakan invasif
dini. Dari beberapa penelitian menganjurkan, pasien IMA yang diberi terapi fibrinolitik
juga diberi tambahan LMWH enoksaparin bersama-sama aspirin.

8. KOMPLIKASI
a. Disfungsi ventrikel
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan bentuk, ukuran, dan
ketebalan baik pada segmen yang infark maupun non infark. Proses ini
dinamakan remodeling ventricular.Secara akut, hal ini terjadi karena ekspansi
infark, disrupsi sel-sel miokardial yang normal, dan kehilangan jaringan pada
zona nekrotik.Pembesaran yang terjadi berhubungan dengan ukuran dan lokasi
infark.
b. Gagal pemompaan (pump failure)
Merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI.Perluasaan
nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan
mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya.Tanda klinis yang
sering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4
gallop.Pada pemeriksaan rontgen dijumpai kongesti paru.
c. Aritmia
Insiden aritmia setelah STEMI meningkat pada pasien setelah gejala
awal.Mekanisme yang berperan dalam aritmia karena infark meliputi
ketidakseimbangan sistem saraf otonom, ketidakseimbangan elektrolit, iskemia,
dan konduksi yang lambat pada zona iskemik.
d. Gagal jantung kongestif
Hal ini terjadi karena kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium.Disfungsi
ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menimbulkan kongesti vena pulmonalis,
sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan mengakibatkan
kongesti vena sistemik.
e. Syok kardiogenik
Diakibatkan oleh disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang massif,
biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri.Timbul lingkaran setan akibat
perubahan hemodinamik progresif hebat yang ireversibel dengan manifestasi
seperti penurunan perfusi perifer, penurunan perfusi koroner, peningkatan
kongesti paru-paru, hipotensi, asidosis metabolic, dan hipoksemia yang
selanjutnya makin menekan fungsi miokardium.

f. Edema paru akut


Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga
interstisial maupun dalam alveoli.Edema paru merupakan tanda adanya kongesti
paru tingkat lanjut, di mana cairan mengalami kebocoran melalui dinding kapiler,
merembes keluar, dan menimbulkan dispnea yang sangat berat.Kongesti paru
terjadi jika dasar vascular paru menerima darah yang berlebihan dari ventrikel
kanan yang tidak mampu diakomodasi dan diambil oleh jantung kiri.Oleh karena
adanya timbunan cairan, paru menjadi kaku dan tidak dapat mengembang serta
udara tidak dapat masuk, akibatnya terjadi hipoksia berat.
g. Disfungsi otot papilaris
Disfungsi iskemik atau ruptur nekrotik otot papilaris akan mengganggu fungsi
katup mitralis, sehingga memungkinkan eversi daun katup ke dalam atrium
selama sistolik. Inkompetensi katup mengakibatkan aliran retrograde dari
ventrikel kiri ke dalam atrium kiri dengan dua akibat yaitu pengurangan aliran ke
aorta dan peningkatan kongesti pada atrium kiri dan vena pulmonalis.
h. Defek septum ventrikel
Nekrosis septum interventrikular dapat menyebabkan rupture dinding septum
sehingga terjadi defek septum ventrikel.
i. Rupture jantung
Rupture dinding ventrikel yang bebas dapat terjadi pada awal perjalanan infark
selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum pembentukan parut. Dinding
nekrotik yang tipis pecah, sehingga terjadi peradarahan massif ke dalam kantong
pericardium yang relative tidak elastic dapat berkembang.Kantong pericardium
yang terisi oleh darah menekan jantung, sehingga menimbulkan tamponade
jantung. Tamponade jantung ini akan mengurangi aliran balik vena dan curah
jantung.
j. Aneurisma ventrikel
Aneurisma ini biasanya terjadi pada permukaan anterior atau apeks jantung.
Aneurisma ventrikel akan mengembang bagaikan balon pada setiap sistolik dan
teregang secara pasif oleh sebagian curah sekuncup.
k. Tromboembolisme
Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel menjadi kasar yang
merupakan predisposisi pembentukan thrombus. Pecahan thrombus mural
intrakardium dapat terlepas dan terjadi embolisasi sistemik.
l. Perikarditis
Infark transmural membuat lapisan epikardium langsung berkontak dan menjadi
kasar, sehingga merangsang permukaan pericardium dan menimbulkan reaksi
peradangan.
DAFTAR PUSTAKA

Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2009. Harrison’s Principles
of Internal Medicine 17th edition. The McGraw-Hill Companies, Inc.

GuytonA.C. and J.E. Hall.2009.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi 9. Jakarta: EGC.

Hall, Jhon E. 2009. Buku Saku Fisiologi Kedokteran, Guyton & Hall. Editor Bahasa
Indonesia: Irawati Setiawan Edisi 11. Jakarta: EGC

Kumar, Abbas, Fausto, Mitchel. 2009. Robbin’s Basic Pathology, The Kidney And Is
Collecting System. Elsevier Inc.

Mansjoer, A dkk. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius

Muttaqin, A. 2009.Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular


dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.

Price, S. A., & Wilson, L. M. 2005.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Volume 2.Edisi 6. Jakarta: EGC.

Ruhyanudin, F. 2009. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem


Kardiovaskuler. Malang: UMM Press.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2010.Keperawatan Medikal Bedah. Volume 9.Edisi


8.Jakarta : EGC.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2009. Buku AjarIlmu Penyakit Dalam. Ed 4. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit. Dalam FK UI.

Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI.

Thaler. 2009. Satu-Satunya Buku EKG Yang Anda Perlukan, edisi 2. Jakarta: Hipokrates

Udjianti, WJ. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika

Zainul Abidin and Roberth Corner .2009. ECG Interpretation The Self-Assesment
Approach second edititon .Blackwell Publishing: USA.

Diana Zahrawardani, K. S. H., Hema Dewi Anggraheny. (2013). Analisis Faktor Risiko
Kejadian Penyakit Jantung Koroner di RSUP Dr Kariadi Semarang. Jurnal
Kedokteran Muhammadiyah, 1(2), 13-20.

Djohan, T. B. A. (2004). Penyakit Jantung Koroner Dan Hypertens [Electronic Version], 1-


7. Retrieved 5 Mei 2016, from http://library.usu.ac.id/download/fk/gizi-bahri10.pdf

Anda mungkin juga menyukai