Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tugas negara yang utama adalah mensejahterakan rakyatnya. Di dalam pembukaan


UUD 1945 alinea keempat disebutkan salah satu tujuan negara Indonesia didirikan adalah
“…..memajukan kesejahteraan umum…”. Ksejahteraan rakyat dapat terwujud jika
perekonomian suatu negara berkembang maju. Salah satu sumber keuangan negara yang
sangat membantu perekonomian negara adalah pajak. Di sebagian besar negara Eropa sendiri
pajak merupakan sumber utama keuangan Negara. Kemajuan negaranya sangat bergantung
dengan besar kecilnya pajak yang dipungut oleh Negara (Fiscus) dari rakyatnya (wajib
pajak). Sekalipun di Negara-negara Eropa sangat besar tarif pajak yang dibebankan kepada
rakyatnya namun pajak tersebut tetap akan dikembalikan pada rakyatnya dalam bentuk
fasilitas-fasilitas umum yang pembangunannya menggunakan dana yang diperoleh dari pajak.
Majunya perekonomian suatu Negara juga harus didukung oleh hukumnya yang
dibuat dengan tujuan mensejahterakan rakyat juga, sehingga hukum dan ekonomi negara
berjalan dengan seimbang, jangan sampai perkembangan ekonomi dihambat oleh hukum itu
sendiri. Jika kita lihat dari uraian di atas ada suatu hubungan hukum dalam pajak yaitu antara
Negara sebagai pemungut pajak (fiscus) dan rakyat sebagai wajib pajak (wapa), hubungan ini
diatur berdasarkan suatu aturan hukum. Pajak sendiri harus berdasarkan undang-undang,
dalam Amandemen Ketiga UUD 1945 Pasal 23A yang berbunyi, “Pajak dan pungutan lain
yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang1. Mengapa
pajak diwajibkan oleh UUD 1945 menggunakan undang-undang ? sebab pajak merupakan
peralihan kekayaan dari rakyat kepada pemerintah yang tidak ada imbalannya yang secara
langsung dapat ditunjuk. Peralihan kekayaan demikian itu dalam kata sehari-hari hanya
dapat berupa penggarongan, perampokan, pencopetan (dengan paksa), atau pemberian hadiah
dengan sukarela dan ikhlas (tanpa paksaan). Maka supaya pajak tidak dikatakan perampokan

1
atau pemberian hadiah dengan sukarela maka pajak haruslah berdasarkan undang-undang.
Falsafah pajak yang dianut oleh Inggris sama dengan di Indonesia yaitu “No Taxation
Without Representation” dan juga di Amerika “Taxation Without Representation is Roberry”.
.
Sistem pajak indonesia menganut sistem self assessment yang memberikan
kepercayaan sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan,
menyetor, dan melaporkan kewajiban perpajakannya sendiri tanpa menunggu adanya surat
ketetapan dari fiskus karena wajib pajak dianggap paling tahu mengenai penghasilannya
sendiri.
Dengan sistem self assessment, apa yang telah dihitung, disetor, dan dilaporkan oleh
Wajib Pajak dianggap benar oleh fiskus, kecuali fiskus mempunyai data/informasi yang
mengindikasikan bahwa laporan tersebut salah. Untuk memperoleh keyakinan yang memadai
bahwa apa yang dihitung, disetor, dan dilaporkan Wajib Pajak sudah benar, maka diperlukan
sarana untuk melakukan pengawasan.
Pemeriksaan pajak merupakan salah satu sarana yang tujuannya adalah untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dalam melakukan pemeriksaan pajak, fiskus menghasilkan beberapa produk hukum
antara lain Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan
Pajak Nihil (SKPN), dan Surat Tagihan Pajak (STP).
Atas produk hukum yang dihasilkan dari pemeriksaan maupun yang bukan dari
pemeriksaan, tidak semuanya disetujui oleh Wajib Pajak. Ketidaksetujuan ini menimbulkan
suatu perselisihan yang biasa disebut sengketa pajak.
Hubungan hukum antara Negara dengan wajib pajak ini dapat menimbulkan
permasalahan atau dikatakan sebagai sengketa pajak. Sengketa ini timbul dari kurang
kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak yang dibebankan kepada. Disamping itu juga
akibat pelaksanaan penagihan pajak yang merugikan wajib pajak. Sengketa ini tentunya
diperlukan suatu lembaga yang dapat menyelesaikan masalah ini. Lembaga yang
menyelesaikan sengketa pajak salah satunya adalah Pengadilan Pajak

Oleh karena itulah kemudian Pengadilan pajak mempunyai peranan sebagai badan peradilan
yang melaksanakan Kekuasaan kehakiman di Indonesia bagi wajib pajak atau
penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Dimana yang dimaksud

2
sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dibidang perpajakan antara wajib pajak dengan
pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat
diajukanBanding atau Gugatan kepada Pengadilan pajak. Itu termasuk gugatan atas
pelaksanaan penagihan berdasarkan undang-undang penagihan dengan surat paksa

Pengadilan pajak dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002


tentang Pengadilan Pajak. Kedudukan Pengadilan Pajak berada di ibu kota negara.
Persidangan oleh Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya, dan dapat pula
dilakukan di tempat lain berdasarkan ketetapan Ketua Pengadilan Pajak.

Berdasarkan latar belakang ini penulis tertarik untuk membuat sebuah makalah yang
menjelaskan tentang “Proses Penyelesaian Sengketa Perpajakan Melalui Pengadilan
Pajak”

B. Perumusan Masalah
Dari Latar Belakang diatas maka dirumuskan masalah dalam bentuk kalimat tanya
sebagai berikut : “Bagaimanakah Proses Penyelesaian Sengketa Perpajakan Melalui
Pengadilan Pajak ?”

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana prosedur penyelesaian sengketa perpajakan.
2. Memberikan kemudahan bagi berbagai pihak yang sedang bersengketa di pengadilan
pajak
3. Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pajak

D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis.

a. menambah ilmu pengetahuan mengenai hukum pajak terutama tentang sengketa


pajak.
b. Disamping itu dapat memberikan pengetahuan mengenai peradilan pajak baik
tentang Prosedur penyelesaian sengketa perpajakan dalam sistem peradilan di
Indonesia serta kelemahannya.

3
2. Manfaat Praktis
a. Menyumbangkan pemikiran guna memecahkan permasalahan yang terjadi dalam
sengketa pajak.
b. Memberikan masukan kepada semua orang yang sedang mempelajari dan
mempraktekkan perihal penyelesaian sengketa pajak di peradilan pajak.

E. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan adalah metode penulisan deskriptif yaitu metode
penulisan yang berusaha memberikan gambaran atau penjelesan mengenai suatu
fenomena atau perbuata.Adapun penulis ingin mendeskripsikan lebih jauh dan mendetail
tentang prosedur penyelesaian sengketa pajak melalui peradilan pajak.
1. Sumber Bahan Hukum .
Penelitian ini menggunakan data bersumber dari bahan hukum primer dan sekunder.
a Bahan hukum primer adalah semua peraturan hukum yang dibentuk dan/atau
dibuat secara resmi oleh suatu lembaga negara, dan/atau badan-badan
pemerintahan, keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh komisi-komisi
internasional, dan seluruh amar putusan badan yudicial. Dalam penelitian ini
bahan hukum primer adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang pajak seperti Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No.6 Tahun
1983 serta perubahannya, Undang-Undang No.14 Tahun 2002 serta peraturan-
peraturan lain yang berkaitan tentang lembaga penyelesaian sengketa pajak.
b Bahan hukum sekunder yaitu seluruh informasi tentang hukum yang berlaku atau
yang pernah berlaku di suatu negeri. Bahan hukum yang terdiri atas buku-buku
teks yang ditulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum,
pendapat para sarjana, dan kasus-kasus hukum. Di penelitian in bahan hukum
sekunder adalah buku-buku ilmu hukum yang ditulis oleh ahli hukum, artikel-
artikel di internet serta contoh-contoh kasus tentang penyimpangan pajak.
2. Metode Pengumpulan Bahan Hukum.
Metode pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan metode
kepustakaan. Metode kepustakaan suatu cara pengumpulan data dengan melakukan
penelusuran tehadap bahan pustaka (literatur, hasil penelitian). Mengumpulkan

4
peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan dalam penelitian ini, serta
pemberitaan yang berkaitan dengan objek penelitian.

3. . Metode Pengolahan Bahan Hukum.


Bahan-bahan hukum dalam penelitian ini diolah dengan terlebih dahulu memilih
bahan-bahan hukum kemudian dikutip atau dirangkum dari bahan-bahan hukum
tentang hal-hal yang dianggap penting serta merupakan bagian dari objek penelitian
ini.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Terjadinya Sengketa Pajak


Berdasarkan Pasal 1 ayat (5) Undang-undang Pengadilan Pajak, “sengketa pajak
adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung
pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat
diajukan banding atau gugatan kepada pengadilan pajak berdasarkan peraturan perundang-
undangan perpajakan, terutama gugatan kepada pengadilan pajak berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan
berdasarkan Undang-undang Penagihan dengan Surat Paksa”.
Sengketa pajak dapat terjadi karena perbedaan cara pandang antara Wajib Pajak dan
fiskus tentang jumlah pajak terutang. Sengketa pajak biasanya terjadi ketika Wajib Pajak
keberatan atas produk hukum yang diterbitkan oleh otoritas pajak baik melalui pemeriksaan
dengan SKP dan STP maupun dengan cara lain. Banyak cara yang bisa ditempuh untuk
menyelesaikan sengketa ini diantaranya dengan keberatan, banding dan peninjauan kembali.
Sengketa pajak dalam proses banding atau sering disebut sengketa banding adalah
sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak dengan fiskus mengenai
keputusan keberatan yang tidak disetujui oleh wajib pajak. Seperti halnya dengan keberatan,
Wajib Pajak atau penanggung pajaklah yang harus mengajukan permohonan banding.
Sengketa banding bisa menyangkut masalah formal maupun material, namun
kebanyakan Wajib Pajak menyangka sengketa banding hanya menyangkut sengketa material,
sehingga seringkali tidak disadari bahwa sengketa mungkin sudah berawal saat fiskus mulai
melaksanakan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan.
Sengketa banding dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Sengketa Formal
Sengketa formal timbul apabila WP atau fiscus atau keduanya tidak mematuhi
prosedur dan tata cara yang telah ditetapkan oleh UU perpajakan, khususnya UU KUP dan
UU Pengadilan Pajak. Bagi fiskus, UU KUP telah menetapkan dan prosedur tata cara
pemeriksaan pajak, penerbitan ketetapan pajak, sempai penerbitan keputusan keberatan.
Apabila fiskus melanggar ketentuan tersebut, maka pelanggaran itulah yang menimbulkan
sengketa formal dari pihak fiskus. Contohnya fiskus menerbitkan SKP atau Surat Keputusan
Keberatan setelah melampaui jangka waktu yang ditetapkan.

6
Di lain pihak, sengketa formal dari pihak WP bisa terjadi apabila WP tidak
melaksanakan prosedur dan tata cara yang ditetapkan dalam UU KUP maupun UU
Pengadilan pajak. Contohnya WP tidak mengajukan keberatan atau banding dalam jangka
waktu yang telah ditetapkan.

b. Sengketa Material
Sengketa material atau lazim disebut materi sengketa terjadi apabila terdapat
perbedaan jumlah pajak yang terutang atau terdapat perbedaan jumlah pajak yang lebih
dibayar (dalam kasus restitusi) menurut perhitungan fiscus yang tercantum pada ketetapan
pajak- dengan jumlah menurut perhitungan Wajib Pajak.
Perbedaan tersebut bisa timbul karena adanya perbedaan pendapat mengenai :
· Dasar hukum yang seharusnya digunakan ;
· Persepsi atas ketentuan peraturan pajak ;
· Perselisihan atas suatu transaksi tertentu ; dll.
Kesemuanya itu dapat mengakibatkan jumlah pajak yang ditetapkan oleh fiscus
menjadi berbeda dibandingkan dengan jumlah pajak menurut perhitunan Wajib Pajak. Dan
perbedaan jumlah pajak menurut fiscus dengan WP itulah yang merupakan sengketa material.
Baik Sengketa formal maupun sengketa material sangat menentukan hasil akhir
putusan banding. Dalam proses banding, hakim akan melakukan pemeriksaan formal terlebih
dahulu sebelum mulai memeriksa materi sengketa.
Permohonan banding tidak akan diproses lebih lanjut oleh pengadilan pajak tanpa
pemeriksaan materi sengketa apabila banding WP tidak memenuhi ketentuan formal yang
telah ditetapkan.
Sebaliknya apabila ketetapan pajak atau keputusan keberatan tidak memenuhi
ketentuan formal, maka pengadilan pajak dapat menyatakan ketetapan pajak ataupun
keputusan keberatan harus batal demi hukum. Dalam hal ini, permohonan banding WP dapat
diterima seluruhnya atau diterima sebagian, tergantung hasil pemeriksaan keseluruhan oleh
hakim pengadilan pajak.

B. Proses Penyelesaian Sengketa Pajak


Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, maka
akan diterbitkan suatu surat ketetapan pajak, yang dapat mengakibatkan pajak terutang
menjadi kurang bayar, lebih bayar, atau nihil. Jika Wajib Pajak tidak sependapat maka dapat
mengajukan keberatan atas surat ketetapan tersebut. Selanjutnya apabila belum puas atas

7
putusan keberatan maka Wajib Pajak dapat mengajukan banding dan langkah terakhir apabila
banding ditolak adalah peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Gambar 1. Skema Penyelesaian Sengketa Pajak

Pemeriksaan Pajak
SKP

Keberatan
Putusan Keberatan

Banding
Putusan Banding

Peninjauan Kembali
Putusan MA

Hak wajib pajak untuk meminta keadilan atas materi yang menjadi sengketa pajak
dijamin dalam Undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007. Dalam Undang-undang KUP
mengatur mengenai tata cara pengajuan keberatan dan banding, serta hak dan kewajiban
wajib pajak apabila keberatan dan banding diterima atau ditolak.
Dalam mengajukan pemohonan keberatan dan banding ada resiko ditolak oleh pihak
yang berwenang baik karena tidak memenuhi syarat formal maupun material. Dalam hal
terjadinya keberatan dan banding yang ditolak berdasarkan perubahan Undang-undang KUP
No. 28 Tahun 2007 maka Wajib Pajak akan dikenakan denda.
Berdasarkan Pasal 25 ayat (9) UU KUP, “Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak
atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi berupa denda sebesar 50% (lima
puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak
yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan”. Apabila Wajib Pajak mengajukan
banding maka denda sebesar 50% tersebut tidak dikenakan.
Dalam Pasal 27 ayat (5d) UU KUP, “Dalam hal permohonan banding ditolak atau
dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi berupa denda sebesar 100% (seratus
persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran
pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan”.
Dalam hal keberatan dan Banding diterima sebagian atau seluruhnya yang
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak , maka kelebihan pembayaran pajak tersebut akan

8
dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Tata cara dalam proses keberatan dan banding adalah sebagai berikut:
1.) Keberatan
Berdasarkan Pasal 25 ayat (3) UU KUP, “Keberatan harus diajukan dalam jangka
waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan
bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.”
Jika lewat tiga bulan, surat keberatan tidak diproses karena tidak memenuhi syarat
formal. Tetapi UU KUP juga membolehkan jangka waktu lebih dari tiga bulan jika “dalam
keadaan diluar kekuasaannya.” Dalam hal terjadinya hal-hal diluar kekuasaan Wajib Pajak
yang menyebabkan terjadinya keterlambatan permohonan keberatan masih bisa diterima oleh
Direktorat Jenderal Pajak.
Dalam hal mengajukan keberatan Wajib Pajak harus melunasi pajak yang masih harus
dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir
hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan. Direktorat Jenderal Pajak wajib
memberikan keputusan keberatan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat
keberatan diterima.
Syarat pengajuan keberatan bisa diringkas sebagai berikut:
a. Mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor
Pelayanan Pajak setempat atas SKPKB, SKPKBT, SKPN, dan Pemotongan dan
Pemungutan oleh pihak ketiga.
b. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak
terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan menyebutkan alasan-alasan yang
jelas.
c. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak surat ketetapan
pajak, kecuali Wajib Pajak menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi
karena di luar kekuasaannya.
d. Keberatan yang tidak memenuhi persyratan di atas tidak dianggap sebagai Surat
Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.

2.) Banding
Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan dengan keputusan keberatan yang
diajukannya, maka Wajib Pajak dapat mengajukan banding dengan gugatan ke Badan

9
Peradilan Pajak. Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU KUP, “Wajib Pajak dapat mengajukan
permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai
keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.”
Badan Peradilan Pajak adalah lembaga yang tidak memiliki hirarki dengan DJP
sehingga lebih independen dan kredibel dalam memutuskan suatu sengketa pajak daripada
pejabat penelaah keberatan di kanwil DJP.
Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak
keputusan diterima dilampiri surat Keputusan Keberatan tersebut. Dalam mengajukan
permohonan banding maka satu keputusan keberatan harus diajukan satu permohonan
banding. Jadi tidak diperbolehkan merangkap beberapa materi sengketa dalam satu
permohonan banding. Wajib Pajak harus memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang
menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan diterbitkan.
Dalam undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007 menyebutkan bahwa jangka
waktu pelunasan pajak terutang yang belum dibayar pada saat mengajukan keberatan
tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
Proses banding dapat diringkas sebagai berikut:
 Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia;
 Ditujukan kepada Badan Peradilan Pajak dengan melampirkan : salinan keputusan
yang disbanding, bukti pelunasan pajak yang terutang yang dibanding, data dan bukti-
bukti pendukung (SKP, Surat Permohonan Keberatan, SPT, Laporan Keuangan dll)
dan Surat Kuasa bermeterai bila diwakili oleh kuasanya;
 Paling lambat 14 hari sejak Banding disampaikan Pemohon Banding akan mendapat
permintaan kelengkapan apabila banding yang disampaikan ternyata tidak/kurang
lengkap;
 Paling lambat 3 bulan sejak tanggal diterimanya keputusan yang dibanding, Pemohon
Banding harus melengkapi permohonan bandingnya yang kurang lengkap/belum
memenuhi persyaratan;
 Paling lambat 14 hari sebelum persidangan dimulai, Pemohon Banding akan
mendapat pemberitahuan sidang.

10
Banding diajukan sendiri oleh pembayar pajak, ahli waris, seorang pengurus atau
kuasa hukumnya. Apabila selama proses banding, pemohon banding meninggal dunia,
banding dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya atau
pengampunya dalam hal pemohon banding pailit.

Apabila selama proses banding, pemohon banding melakukan penggabungan,


peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat
dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban, karena penggabungan,
peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha atau karena likuidasi dimaksud.

11
Gambar 2. Skema Banding

12
Ringkasan pelaksanaan banding adalah sebagai berikut:
1. Badan Penyelesaian Sengketa Pajak meminta Surat Uraian Banding kepada Terbanding
dalam jangka waktu 14 hari sejak diterima Surat Banding lengkap,
2. Dalam hal Pemohon Banding melengkapi surat atau dokumen susulan kepada Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak, jangka waktu 14 hari dihitung sejak tanggal diterima surat
atau dokumen susulan dimaksud,
3. Terbanding menyerahkan Surat Uraian Banding kepada Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal dikirim Permintaan Surat Uraian
Banding,
4. Salinan Surat Uraian Banding oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dikirimkan
kepada Pemohon Banding dalam jangka waktu 14 hari sejak tanggal diterima,
5. Pemohon Banding memberikan tanggapan/bantahan atas Surat Uraian Banding yang
diterimanya dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya salinan Surat Uraian Banding,
6. Apabila Terbanding atau Pemohon Banding tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud angka 3 dan 5, Badan Penyelesaian Sengketa Pajak tetap melanjutkan
pemeriksaan banding
Putusan Banding merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap,
serta bukan Keputusan Tata Usaha Negara.

3.) Peninjauan Kembali (PK)


Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Putusan Banding, maka Wajib Pajak
masih memiliki hak mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung.
Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah
Agung melalui Pengadilan Pajak.
Alasan-alasan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung antara lain:
1. Putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada kebohongan atau tipu muslihat;
2. Terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan;
3. Dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut.
4. Ada suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
5. Putusan nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pengajuan permohonan PK dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga)
bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim
Pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap atau ditemukannya bukti tertulis baru

13
atau sejak putusan banding dikirim. Mahkamah Agung mengambil keputusan dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan PK diterima.
Catatan penting dalam pengajuan Peninjauan Kembali adalah sebagai berikut:
1. Dalam waktu 14 hari, pemberitahuan dan penyerahan memori peninjauan kembali tersebut
harus sudah dikirim kepada Termohon PK sejak surat permohonan peninjauan kembali
diterima di Sekretariat Pengadilan pajak;
2. Dalam waktu 30 hari, Termohon PK mengirimkan kontra memori peninjauan kembali
sejak surat pemberitahuan dan penyerahan memori peninjauan kembali dikirim kepada
Termohon PK;
3. Dalam waktu 14 hari sejak kontra memori peninjauan kembali diterima di Sekretariat
Pengadilan Pajak, pihak Sekretariat Pengadilan Pajak mengirimkan surat pemberitahuan
dan penyerahan kontra memori peninjauan kembali;
4. Biaya perkara peninjauan kembali atas Putusan Pengadilan Pajak adalah Rp 2.500.000,00
untuk satu putusan yang diajukan peninjauan kembali sesuai dengan Keputusan Ketua
Mahkamah Agung Nomor : KMA/042/SK/VIII/2001 dan Keputusan Ketua Pengadilan
Pajak Nomor : KEP-003/PP/2006.

C. Analisis Penyelesaian Sengketa Pajak


Semakin meningkatnya pemahaman Wajib Pajak, tidak dapat dihindari timbulnya
sengketa pajak karena perbedaan persepsi antara Wajib Pajak dan fiskus. Dalam
menyelesaikan sengketa pajak ini pemerintah menjamin adanya penyelesaian yang adil,
dengan proses cepat, murah dan sederhana.
Proses penyelesaian sengketa pajak secara internal di Direktorat Jenderal Pajak adalah
Penelaah Keberatan di tingkat Kanwil DJP. Penelaah keberatan dalam kapasitasnya untuk
menelaah keberatan Wajib Pajak yang masuk memutuskan dengan menjunjung tinggi azas
keadilan dan berdasarkan Undang-undang yang berlaku. Namun seringkali Wajib Pajak
merasa kurangnya rasa keadilan karena penelaah keberatan sendiri masih berada di bawah
DJP sehingga putusannya masih bisa memihak ke hasil pemeriksaan pajak.
Proses penyelesaian sengketa pajak yang dianggap paling memenuhi rasa keadilan
adalah Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadialan
terhadap sengketa pajak.

14
Proses lahirnya kebijakan perpajakan berupa Undang-Undang No. 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak, tidak terlepas dari adanya keinginan pemerintah untuk
memperbaiki sistem penyelesaian sengketa dalam bidang perpajakan. Hal ini dapat kita lihat
dari keinginan pemerintah untuk mengadakan perubahan dalam penyelesaian sengketa pajak
yang dilakukan sebelumnya oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP).
Selain itu pula ada tuntutan-tuntutan dari pihak yang bersengketa baik Wajib Pajak
maupun Fiskus bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) belum memberi jaminan
kepastian hukum dan rasa keadilan bagi pihak yang bersengketa, serta proses persidangan
belum dilakukan secara cepat, transparan, murah dan sederhana.
Kelemahan lainnya adalah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) belum
merupakan badan peradilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung sesuai dengan sistem
kekuasaan kehakiman sebagaimana halnya dengan peradilan lainnya. Karena hal itu BPSP
akhirnya dirubah menjadi Badan Peradilan Pajak yang berdiri di bawah PTUN dan bermuara
di Mahkamah Agung sehingga lebih independen dalam memutus perkara.
Dalam konsideran Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
dapat dilihat latar belakang lahirnya kebijakan Undang-Undang No. 14 tahun 2002 tersebut
yaitu :

 Bahwa untuk melaksanakan pembangunan nasional yang berkesinambungan dan


berkelanjutan serta merata di seluruh tanah air memerlukan dana yang memadai
terutama dari sumber perpajakan.
 Bahwa dengan meningkatnya jumlah Wajib Pajak dan pemahaman akan hak dan
kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan tidak
dapat dihindarkan timbulnya Sengketa Pajak yang memerlukan penyelesaian yang
adil dengan prosedur dan proses yang cepat, murah dan sederhana.
 Bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang
berpuncak pada Mahkamah Agung.
 Bahwa karena diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sistem
kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian
hukum dalam penyelesaian Sengketa Pajak.

Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak bersifat khusus yang
menyangkut acara penyelenggaraan persidanggan sengketa perpajakan yaitu :

15
1. Sidang peradilan Pajak pada prinsipnya dilaksanakan secara terbuka, namun dalam
hal tertentu dan khusus guna menjaga kepentingan pemohon Banding atau tergugat,
sidang dapat dinyatakan tertutup, sedangkan pembacaan putusan Hakim Pengadilan
Pajak dilaksanakan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Lain halnya dengan
Badan Penyelesaian Sengketa yang persidangannya dinyatakan tertutup untuk umum (
Pasal 49 ayat 1 UU No. 17 tahun 1997 ).
2. Penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga Hakim khusus yang
mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah Sarjana Hukum atau Sarjana
lain.
3. Sengketa yang diproses dalam Pengadilan Pajak khusus menyangkut sengketa
perpajakan.
4. Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya Pajak terutang dari Wajib
Pajak, berupa hitungan secara teknis perpajakan, sehingga Wajib Pajak langsung
memperoleh kepastian hukum tentang besarnya Pajak terutang yang dikenakan
kepadanya. Sebagai akibatnya jenis putusan Pengadilan Pajak, disamping jenis-jenis
putusan yang umum diterapkan pada Peradilan Umum, juga berupa mengabulkan
sebagian, mengabulkan seluruhnya, atau menambah jumlah pajak yang masih harus
dibayar.

Sebagai konsekuensi dari kekhususan tersebut dalam undang-undang nomor 14 tahun


2002 diatur hukum secara tersendiri untuk menyelenggarakan pengadilan pajak. Proses
penyelesaian sengketa perpajakan melalui Pengadilan Pajak perlu dilakukan secara cepat oleh
karena itu dalam undang-undang tersebut diatur pembatasan waktu penyelesaian, baik
ditingkat Pengadilan Pajak maupun ditingkat Mahkamah Agung.
Menurut UU Pengadilan Pajak menjelaskan bahwa Pengadilan Pajak dalam
menjalankan tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak, berkedudukan di
Ibukota Negara sedangkan sidangnya pada hakekatnya dilakukan ditempat kedudukannya
namun dengan pertimbangan untuk memperlancar dan mempercepat penanganan sengketa
pajak, tempat sidang dapat dilakukan ditempat lain. Hal ini sesuai dengan prinsip
penyelesaian perkara yang dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam
memeriksa dan memutus Sengketa Pajak, maka dari itu pemeriksaan atas sengketa pajak
hanya dilakukan oleh Pengadilan Pajak dan putusan Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan
gugatan ke Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, atau Badan Peradilan lain,

16
kecuali putusan berupa "tidak dapat diterima" yang menyangkut kewenangan/kompetensi.
Meskipun demikian, masih dimungkinkan untuk mengajukan Peninjauan Kembali ke
Mahkamah Agung.
Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung merupakan upaya hukum luar biasa, di
samping akan mengurangi jenjang pemeriksaan ulang vertikal, juga penilaian terhadap kedua
aspek pemeriksaan yang meliputi aspek penerapan hukum dan aspek fakta-fakta yang
mendasari terjadinya sengketa perpajakan, akan dilakukan sekaligus oleh Mahkamah Agung,
Dengan demikian UU No. 14 tahun 2002 memberikan pelayanan kepada warga
masyarakat sebagai Wajib Pajak untuk menjamin hak dan kewajiban wajib pajak sesuai
dengan undang-undang perpajakan yang mencerminkan keadilan dan kepastian hukum.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Proses penyelesaian sengketa pajak dimulai dari tahap :
1. Proses Pemeriksaan yang merupakan Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan
menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan
secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain
dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
2. Proses Pengajuan Keberatan Berdasarkan Pasal 25 ayat (3) UU KUP, “Keberatan
harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal
pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kecuali
apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.” Dalam hal mengajukan
keberatan Wajib Pajak harus melunasi pajak yang masih harus dibayar paling
sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil
pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
3. Proses Pengajuan Banding Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan
dengan keputusan keberatan yang diajukannya, maka Wajib Pajak dapat
mengajukan banding dengan gugatan ke Badan Peradilan Pajak. Berdasarkan
Pasal 27 ayat (1) UU KUP, “Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan
banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai
keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.”Badan Peradilan
Pajak adalah lembaga yang tidak memiliki hirarki dengan DJP sehingga lebih
independen dan kredibel dalam memutuskan suatu sengketa pajak daripada
pejabat penelaah keberatan di kanwil DJP.
4. Proses Peninjauan Kembali Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan
Putusan Banding, maka Wajib Pajak masih memiliki hak mengajukan
Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan Peninjauan
Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui

18
Pengadilan Pajak. Dengan alasan-alasan tertentu, sebagaimana yang telah diatur
dalam undang-undang

B. Saran
Dampak dari kebijakan perpajakan dalam penyelesaian sengketa pajak berupa UU
Pengadilan Pajak tersebut agar upaya pemerintah dalam meningkatkan penerimaan dari
sektor pajak yang merupakan salah satu penerimaan negara terus ditingkatkan dan dikelola
secara bijak dan adil.
Upaya meningkatkan penerimaan pajak lebih mudah dilakukan dibanding
meningkatkan keadilannya. Dampak dari upaya meningkatkan penerimaan pajak seringkali
menimbulkan berbagai masalah yang dihadapi instansi perpajakan dengan pihak Wajib Pajak,
terutama dalam menyelaraskan beban pajak yang harus dipikul oleh Wajib Pajak dengan
pemenuhan kewajiban dan penggunaan hak di bidang perpajakan
Penyelesaian sengketa pajak pada hakekatnya harus didasarkan pada keadilan dan
kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun bagi penerimaan negara. Terjaminnya hak
Wajib Pajak maupun pemerintah merupakan goal yang ingin dicapai dengan terbitnya UU
KUP dan UU Pengadilan Pajak.

19
Daftar Pustaka

1. Waluyo dan Wirawan, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Edisi 8, 2008


2. Parwito, Membaca arah aturan peralihan UU KUP , Bisnis Indonesia, 17 September
2007
3. Darussalam & Danny Septriadi, Menyoal denda atas keberatan dan banding yang
ditolak, Minggu, 2009 April 12
4. Artikel Rizky Harta Cipta, SH, Meninjau Dasar Filosofis Dilakukannya Pemungutan
Pajak, 10 November 2008
5. Raden Suparman, Keberatan dan Banding, 17 Juli 2007
6. Triyani Budianto, Bagaimana Mempersiapkan Keberatan dan Banding, 30 April
2005
7. Arief Wibisono, Kompas Online, Badan Peradilan Pajak dan Dualisme Penyelesaian
Perkara Pajak, Makalah Seminar tax-ina,Rabu, 11 Desember 1996
8. H. Yodi Martono Wahyunadi, S.H., M.H, Perumusan Kebijakan Perpajakan Dalam
Penyelesaian Sengketa Pajak, 2 Februari 2009
9. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan
10. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
11. Undang-Undang No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
12. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor : KMA/042/SK/VIII/2001
13. Keputusan Ketua Pengadilan Pajak Nomor : KEP-003/PP/2006.

20

Anda mungkin juga menyukai