PUTUSAN
Nomor 33/PUU-XIV/2016
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
2. DUDUK PERKARA
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
3
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
6
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
8
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
10
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
13
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
17
putusan bebas dan lepas dari tuntutan hukum, Terpidana dan ahli warisnya
dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahakamah
Agung;
Bahwa ketentuan tersebut telah mengatur secara tegas dan limitatif bahwa
yang dapat mengajukan Peninjauan Kembali adalah Terpidana atau ahli
warisnya. Hal ini berarti bahwa yang bukan Terpidana atau ahli warisnya
tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali;
Bahwa due process of law tersebut berfungsi sebagai pembatasan
kekuasaan negara dalam bertindak terhadap warga masyarakat, dan
bersifat normatif, sehingga tidak dapat ditafsirkan dan tidak dapat
disimpangi, karena akan melanggar keadilan dan kepastian hukum;
Menimbang berdasarkan hal-hal tersebut disimpulkan bahwa Jaksa
Penuntut Umum tidak dapat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali
atas putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Oleh karenanya apa
yang dimohonkan oleh Jaksa Penuntut Umum merupakan kesalahan
dalam penerapan hukum acara, sehingga permohonan Peninjauan
Kembali yang diajukan Jaksa Penuntut Umum haruslah dinyatakan tidak
dapat diterima”
Pertimbangan tersebut di atas mencerminkan asas legalitas dalam fungsi
negatif yang membatasi kewenangan penegak hukum. Oleh karena Pasal
263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tidak menyebutkan Jaksa Penuntut
Umum, maka hal itu berarti bahwa Jaksa Penuntut Umum dilarang
mengajukan permohonan Peninjauan Kembali. Esensi pertimbangan
tersebut di atas sejalan dengan pandangan Mahkamah Konstitusi dalam
Putusan Nomor 120/PHP.BUP-XIV/2016 yang pada pokoknya menyatakan
keharusan untuk menaati dan mematuhi undang-undang, termasuk tetapi
tidak terbatas pada Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981. Meskipun
putusan Mahkamah Agung telah menyatakan Jaksa Penuntut Umum tidak
berwenang mengajukan Peninjauan Kembali, namun sampai saat ini masih
banyak ditemukan Jaksa Penuntut Umum yang mengajukan Peninjauan
Kembali. Untuk itu diperlukan peran serta Mahkamah Konstitusi bersama-
sama dengan Mahkamah Agung dalam mencegah pelanggaran UU, yakni
pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap
putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum, dengan cara memberikan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
20
tafsir konstitusional terhadap Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981
agar memberikan kepastian hukum dan menutup penafsiran yang
merugikan hak-hak masyarakat pencari keadilan;
15. Bahwa Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum
tidak berkaitan dengan implementasi norma, tetapi merupakan akibat dari
norma dan kaidah Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 yang tidak
tegas mengatur larangan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum,
sehingga menimbulkan berbagai penafsiran. Berbagai penafsiran tersebut
dapat dilihat dari beberapa pernyataan Kejaksaan Agung dalam beberapa
berita online sebagai berikut:
a. “Kejaksaan akan Terus Ajukan PK” (Republika Online) tanggal 5
September 2009
Terkait rencana Peninjauan Kembali Jaksa terhadap Joko S Tjandra,
Jaksa Agng Hendarman Supandji mengakui bahwa Pasal 263 KUHAP
hanya memberikan hak Peninjauan Kembali kepada terpidana dan ahli
warisnya, namun pasal tersebut tidak menyebutkan larangan jaksa
untuk mengajukan PK. (Bukti P-17)
b. “Dalam Kasus Akbar, Hak Jaksa untuk Ajukan PK Dipertanyakan”
(HukumOnline) tanggal 17 Februari 2004
“Menanggapi pendapat yang menolak Peninjauan Kembali Jaksa
terhadap Akbar Tanjung yang diputus bebas, Kapuspenkum Kejaksaan
Agung Kemas Yahya Rahman menyatakan bahwa ia sependapat
bahwa terpidana dan ahli warisnya diberikan hak Peninjauan Kembali.
Namun tidak ada larangan yang tegas bagi jaksa menempuh upaya
hukum luar biasa itu. Hak jaksa memang tidak diatur, tetapi juga
tidak ada larangan. (Bukti P-18)
Pernyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa persoalan utamanya
tidak terletak pada persoalan implementasi norma, melainkan pada
ketidakjelasan norma dan kaidah Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun
1981 sehingga Kejaksaan menganggap bahwa Jaksa Penuntut Umum
tidak dilarang mengajukan permohonan Peninjauan Kembali.
16. Bahwa ketidakjelasan pengaturan Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun
1981 tentang Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntutan Umum seringkali
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
21
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
22
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
23
Kesesuaian aturan hukum dengan asas hukum inilah yang menjadi tolak
ukur apakah suatu aturan dikatakan adil atau tidak adil. Dengan demikian,
keadilan bukanlah penilaian subyektif atas moralitas atau etis suatu hal
tertentu. Dalam konteks permohonan ini, maka Pasal 263 ayat (1) UU
Nomor 8 Tahun 1981 dapat dikatakan adil manakala aturan tersebut
berlandaskan asas hukum yang termuat secara jelas dalam batang
tubuhnya. Meskipun secara teleologis Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8
Tahun 1981 bertujuan untuk memberikan hak kepada warga negara yang
terjerat proses hukum dan membatasi kewenangan penegak hukum,
namun pasal tersebut tidak dapat menampakkan asas pemberian hak bagi
terpidana dan asas pembatasan kewenangan terhadap penegak hukum
dalam batang tubuhnya. Akibatnya, asas hukum tidak terejewantahkan
dengan baik dalam pasal tersebut sehingga tidak memberikan pedoman
yang jelas bagi Jaksa Penuntut Umum. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum
secara terus menerus, menunjukkan bahwa Pasal 263 ayat (1) UU Nomor
8 Tahun 1981 tidak menampakkan asasnya sehingga tidak dapat dipahami
dan dihayati dengan baik oleh Jaksa Penuntut Umum. Dengan demikian,
Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tidak memberikan kepastian
hukum dan keadilan. Dikatakan tidak memberikan kepastian hukum
karena rumusan dan batang tubuh pasal tersebut tidak menegaskan
larangan bagi Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan Peninjauan
Kembali, sehingga menimbulkan penafsiran bahwa Peninjauan Kembali
dapat diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Dikatakan tidak memberikan
keadilan, karena Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tidak
menampakkan asas pembatasan kewenangan penegak hukum yang
terkandung dalam Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1981, sehingga
menyebabkan Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tidak sejalan
dengan asas pembatasan kewenangan.
Berdasarkan hal itu, permohonan ini memohon kepada Mahkamah
Konstitusi untuk menegaskan kembali asas hukum dalam pasal tersebut
melalui tafsir konstitusional yang menjadi satu kesatuan yang tidak terpisah
dengan pasal dimaksud, sehingga dapat memenuhi amanat konstitusi
untuk memberikan kepastian hukum yang adil.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
24
19. Bahwa meskipun secara prinsipil hukum acara pidana tidak memuat sanksi
pidana, namun sanksi atau konsekuensi terhadap penegakan hukum yang
keliru dan sewenang-wenang sangat diperlukan untuk memastikan bahwa
amanat konstitusi untuk memberikan perlindungan hak asasi dan
kepastian hukum yang adil dapat terwujud dalam penegakan hukum di
Republik Indonesia. Untuk itu diperlukan penegasan tentang larangan
penegakan hukum yang menggunakan cara-cara yang tidak diatur dalam
UU Nomor 8 Tahun 1981 dengan menyatakan penegakan hukum
semacam itu batal demi hukum. Penafsiran ini bukanlah penambahan atau
perubahan norma, melainkan hanya menegaskan kembali asas-asas
hukum yang terkandung dalam Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun
1981 melalui tafsir konstitusional terhadap pasal tersebut. Hal ini
dimaksudkan sebagai sanksi yang diharapkan dapat mendorong penegak
hukum agar menegakkan hukum secara hati-hati, bertanggung jawab dan
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku;
20. Bahwa berdasarkan uraian-uraian di atas jelaslah kiranya bahwa norma
Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1) UU Nomor
8 Tahun 1981 tidak seusai dengan kaidah konstitusi yang menyatakan
bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Kaidah-
kaidah undang-undang itu juga tidak sesuai dengan kaidah konstitusi yang
mengatur tentang pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,
sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945. Hal ini sejalan dengan tidak dilaksanakannya kewajiban pemerintah
cq. Kejaksaan dalam menjamin perlindungan dan penegakan hak asasi
dalam penegakan hukum berdasarkan Pasal 28I ayat (4) Undang-
Undang Dasar 1945. Pada akhirnya, tidak adanya perlindungan hak asasi
dan kepastian hukum dalam penegakan hukum terhadap suami Pemohon
melahirkan perlakuan diskriminatif (vide Pasal 28I ayat (2) UUD 1945) dan
merugikan hak konstitusional Pemohon berupa hilangnya perlindungan
terhadap keluarga, hilangnya rasa aman dan perlindungan dari ketakutan
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sebagaimana
diamanatkan oleh Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
25
21. Bahwa menghadapi kenyataan di atas, sesuai dengan isi permohonan ini,
maka semestinya Mahkamah Konstitusi yang dikenal sebagai “the
guardian and the final interpreter of constitution” untuk menyatakan bahwa
kaidah-kaidah undang-undang yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) UU
Nomor 8 Tahun 1981 tidak sesuai dengan kaidah konstitusi tentang asas
negara hukum dan asas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta persamaan di hadapan hukum, perlindungan dari
perlakuan diskriminatif, perlindungan atas pribadi dan keluarga,
kehormatan, martabat, perlindungan atas rasa aman dan dari ketakutan
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal
28G, Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Oleh
karena itu, Mahkamah Konstitusi dimohon dapat memberikan penafsiran
konstitusional terhadap Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981
sebagaimana pernah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam
beberapa putusan Mahkamah, antara lain Putusan Nomor 46/PUU-
VIII/2010 dan Putusan Nomor 49/PUU-VIII/2010.
22. Bahwa penafsiran yang dimaksud adalah jika Pasal 263 ayat (1) UU
Nomor 8 Tahun 1981 dibiarkan tanpa perubahan dan penegasan, maka
kaidah undang-undang yang diatur dalam pasal itu secara kondisional
tetap inkonstitusional (conditionally unconstitutional), yakni bertentangan
dengan kaidah-kaidah konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat
(3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4)
Undang-Undang Dasar 1945.
23. Bahwa untuk menjadikan kaidah undang-undang dalam Pasal 263 ayat (1)
UU Nomor 8 Tahun 1981 menjadi conditionally constitutional, maka kaidah
itu haruslah diberi tafsir konstitusional sehingga selengkapnya berbunyi
“Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan
kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan Peninjauan Kembali
dari pihak selain Terpidana dan ahli warisnya batal demi hukum”.
24. Bahwa tafsir konstitusional tidak menjadikan Mahkamah Konsitusi sebagai
legislator (positive legislator) karena tafsir konstitusional tersebut tidak
melahirkan norma baru, tetapi hanya menegaskan secara tertulis asas-
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
26
asas yang melatarbelakangi Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981
yang merujuk kepada Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1981, yaitu pembatasan
kewenangan bagi Jaksa Penuntut Umum berupa larangan untuk
mengajukan permohonan Peninjauan Kembali terhadap putusan bebas
atau lepas dari tuntutan hukum. Penafsiran konstitusional guna
menegaskan prinsip-prinsip hukum dalam sebuah ketentuan adalah hal
yang wajar dan dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, antara lain
dalam Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang memberikan tafsir
konstitusional terhadap Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974,
sehingga seorang anak yang lahir di luar perkawinan tidak hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarganya, tetapi juga
mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya (Bukti
P-20). Hal ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar anak untuk
mendapatkan pengakuan dan kasih sayang kedua orang tuanya. Hak
tersebut tidak dapat dicabut dengan alasan tidak terpenuhinya kewajiban
administratif. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah Konstitusi
memberikan tafsir konstitusional yang menegaskan pemenuhan kebutuhan
anak sebagai prinsip dasar yang melatarbelakangi Pasal 43 ayat (1) UU
Nomor 1 Tahun 1974.
Sejalan dengan putusan di atas, permohonan ini memohon kepada
Mahkamah Konstitusi untuk memberikan tafsir konstitusional yang
menegaskan kembali asas-asas hukum yang tersirat dalam Pasal 263 ayat
(1) UU Nomor 8 Tahun 1981 dengan merujuk kepada Pasal 3 UU Nomor 8
Tahun 1981 yang mengandung asas legalitas dalam fungsi negatif dan
asas pembatasan kewenangan terhadap penegak hukum sebagai asas
fundamen dalam hukum acara pidana Indonesia, yakni bahwa hanya
terpidana dan ahli warisnya yang dapat mengajukan permohonan
Peninjauan Kembali terhadap putusan pemidanaan, sedangkan penegak
hukum termasuk tetapi tidak terbatas pada Jaksa Penuntut Umum dilarang
mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, khususnya terhadap
putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum;
25. Penafsiran semacam ini akan membuat kaidah-kaidah Undang-Undang
sebagaimana termaktub dalam Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun
1981 itu secara kondisional adalah konstitusional (conditionally
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
27
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
29
pada tanggal 6 April 2016, dan diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-20
sebagai berikut:
1. Bukti P-1 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Anna Boentaran;
2. Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana;
3. Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
4. Bukti P-4 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi;
5. Bukti P-5 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
6. Bukti P-6 : Fotokopi Akta Perkawinan Nomor 2440/1981, bertanggal 24
September 1981;
7. Bukti P-7 : Fotokopi Berita Acara Eksekusi Nomor WKMA/73/VIII/2002,
bertanggal 22 Agustus 2002, Perihal: Eksekusi;
8. Bukti P-8 : Fotokopi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel, bertanggal 28 Agustus 2000;
9. Bukti P-9 : Fotokopi Putusan Mahkamah Agung Nomor 1688K/Pid/2000,
bertanggal 28 Juni 2001;
10. Bukti P-10 : Fotokopi Putusan Mahkamah Agung Peninjauan Kembali
Nomor 12PK/Pid.Sus/2009, bertanggal 11 Juni 2009;
11. Bukti P-11 : Fotokopi Buku Roeslan Saleh berjudul; “Pembinaan Cita
Hukum dan Asas Hukum Nasional” (1996);
12. Bukti P-12 : Fotokopi Buku George P Fletcher, “Basic Concepts of the
Criminal Law” (1998);
13. Bukti P-13 : Fotokopi Buku Soedarto berjudul “Hukum dan Hukum
Pidana” (1981);
14. Bukti P-14 : Fotokopi Putusan Mahkamah Agung Nomor 84 PK/Pid/2006,
bertanggal 8 Juli 2007;
15. Bukti P-15 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan;
16. Bukti P-16 : Fotokopi Surat Perintah Pelaksanaan Putusan
Pengadilan/Mahkamah Agung RI No. Prin-
139/O.1.14/Fu.1/09/2001 tanggal 28 September 2001 dan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
30
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
[3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-
Undang terhadap UUD 1945;
Bahwa permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Pasal
263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) selanjutnya disebut UU
8/1981, yang menyatakan:
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
31
Terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, Pasal 28I ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disebut UUD 1945) yang menyatakan:
terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu
Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
33
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
34
Pokok Permohonan
hanya ada dua upaya hukum luar biasa yang dapat dilakukan yaitu, Kasasi demi
kepentingan hukum oleh Jaksa/Penuntut Umum atau Peninjauan Kembali yang
merupakan hak terpidana maupun ahli warisnya;
Jika putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu adalah putusan
yang oleh terpidana atau ahli warisnya dirasa merugikan terpidana karena
terpidana ataupun ahli warisnya merasa bahwa negara telah salah mempidana
seseorang yang sesungguhnya tidak bersalah atau memberatkan terpidana, maka
lembaga Peninjauan Kembali bisa menjadi upaya hukum luar biasa yang dilakukan
oleh terpidana ataupun ahli warisnya [vide Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981], dengan
memenuhi syarat yang ditentukan oleh Pasal 263 ayat (2) UU 8/1981;
Dengan demikian sistem hukum pidana yang dibangun oleh UU 8/1981
telah memberikan kesempatan yang sama baik kepada terpidana maupun kepada
Jaksa/Penuntut Umum yang mewakili kepentingan negara untuk melakukan upaya
hukum luar biasa terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum ataupun putusan
pemidanaan yang dinilai oleh Jaksa/Penuntut Umum tidak memberikan rasa
keadilan pada masyarakat, maka Jaksa/Penuntut Umum dapat mengajukan
banding atau kasasi, sedangkan terhadap putusan pemidanaan yang dinilai oleh
terpidana atau ahli warisnya tidak memberikan rasa keadilan kepada pihaknya,
maka dapat diajukan upaya hukum peninjauan kembali;
Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981 menyatakan, “Terhadap putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan
permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Dari rumusan Pasal
263 ayat (1) UU 8/1981 tersebut, menurut Mahkamah, ada empat landasan pokok
yang tidak boleh dilanggar dan ditafsirkan selain apa yang secara tegas tersurat
dalam Pasal dimaksud, yaitu:
1. Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde zaak);
2. Peninjauan Kembali tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum;
3. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau
ahli warisnya;
4. Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
36
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
37
mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu,
demi kepastian hukum, Mahkamah memandang penting untuk mengakhiri silang
pendapat dimaksud;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
38
4. KONKLUSI
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
1.1. Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209) bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, yaitu
sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam
norma a quo;
1.2. Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit
tersurat dalam norma a quo;
KETUA,
ttd.
Arief Hidayat
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd. ttd.
ttd. ttd.
ttd. ttd.
Aswanto Suhartoyo
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Yunita Rhamadani
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id