Anda di halaman 1dari 21

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CRHONIC KIDNEY DISEASE


DENGAN OSTEORENALDISTROPHY DI RUANG HEMODIALISA
RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG

Oleh:
Hamdani Rifki P.A., S.Kep.
NIM 182311101043

PPROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Crhonic Kidney


Disease Dengan Osteorenaldistrophy Di Ruang Hemodialisa Rsud Dr. Saiful
Anwar Malang RSUD/RSD Dr. Saiful Anwar telah disetujui dan disahkan pada :
Hari, Tanggal : , Oktober 2018
Tempat: Hemodialisa

Malang Oktober 2018

Mahasiswa

Hamdani Rifki P.A., S.Kep.


NIM 182311101043

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Fakultas Keperawatan Ruang HD
Universitas Jember RSUD/RSD Dr. Saiful Anwar

Jon Hafan Sutawardana, M.Kep., Sp.Kep. MB Giyatno, Amd. Kep

NIP. 198401022015041002 NIP. 2007011005


A. Konsep Teori tentang Penyakit
Gagal ginjal kronik (GGK) biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi
ginjal lanjut secara bertahap (Doenges, Moerhouse 1999) Gagal ginjal kronis atau
penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang
progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001)
B. Anatomi Fisiologi Sistem Urinaria.
Ginjal adalah organ utama sistem urinaria (tractus urinarius) yang berfungsi
menyaring hasil metabolisme dari dalam tubuh. Fungsi ginjal secara umum antara
lain yaitu sebagai ultrafiltrasi yaitu proses ginjal dalam menghasilkan urine,
keseimbangan elektrolit, pemeliharaan keseimbangan asam basa, eritropoesis
yaitu fungsi ginjal dalam produksi eritrosit, regulasi kalsium dan fosfor atau
mengatur kalsium serum dan fosfor, regulasi tekanan darah, ekresi sisa metabolik
dan toksin (Baradero, 2008).
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen terutama didaerah lumbal,
disebelah kanan dan kiri tulang belakang, dibungkus lapisan lemak yang tebal
dibelakang pritonium. Kedudukan gijal dapatdiperkirakan dari belakang, mulai
dari ketinggian vertebra torakalis terakhir sampai vertebra lumbalis ketiga. Dan
ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri karena tertekan oleh hati (Pearce
& Wilson, 2006).

Gambar 1. Anatomi Ginjal


Setiap ginjal panjangnya antara 12 cm sampai 13 cm, lebarnya 6 cm dan
tebalnya antara 1,5 cm sampai 2,5 cm, pada orang dewasa berat ginjal antara
140 gram sampai 150 gram. Bentuk ginjal seperti kacang dan sisi dalamnya
atau hilus. Struktur ginjal warnanya ungu tua dan terdiri dari bagian kapiler
disebelah luar, dan medulla disebelah dalam. Bagian medulla tersusun atas 15
sampai 16 bagian yang berbentuk piramid, yang disebut sebagai piramid ginjal.

Gambar 2. Struktur ginjal


Struktur mikroskopik ginjal tersusun atas banyak nefron yang merupakan
satuan fungsional ginjal, dan diperkirakan ada 1.000.000 nefron dalam setiap
ginjal. Setiap nefron mulai membentuk sebagai berkas kapiler (Badan
Malpighi/Glomerulus). Bagian pertama tubulus berkelok-kelok dan kelokan
pertama disebut tubulus proksimal, dan sesudah itu terdapat sebuah simpai yang
disebut simpai henle. Kemudian tubulus tersebut berkelok lagi yaitu kelokan
kedua yang disebut tubulus distal, yang bergabung dengan tubulus penampung
yang berjalan melintasi kortek dan medulla, dan berakhir dipuncak salah satu
piramid ginjal.
Struktur ginjal berisi pembuluh darah yaitu arteri renalis yang membawa darah
murni dari aorta abdominalis ke ginjal dan bercabang-cabang di ginjal dan
membentuk arteriola aferen (arteriola aferentes). serta masing-masing membentuk
simpul didalam glomerulus. Pembuluh eferen sebagai arteriola eferen (arteriola
eferentes), yang bercabang-cabang membentuk jaring kapiler disekeliling tubulus
uriniferus. Kapiler-kapiler ini kemudian bergabung lagi untuk membentuk vena
renalis, yang membawa darah kevena kava inferior. Maka darah yang beredar
dalam ginjal mempunyai dua kelompok kapiler, yang bertujuan agar darah lebih
lama disekeliling tubulus urineferus.
Fisiologi system urinaria terdiri dari filtrasi sebagai proses ginjal dalam
menghasilkan urine. Filtrasi plasma terjadi ketika darah melewati kapiler dari
glomerulus. Dari proses ultrafiltrasi ini, filtrat glomerular kira-kira 180 liter per
hari. Ultrafiltrasi diukur sebagai laju filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate,
GFR). Secara klinis, GFR diartikan sebagai jumlah filtrat glomerular yang
dihasilkan dalam satu menit. GFR pada orang dewasa kira-kira 125 ml per menit
(7,5 liter per jam).
Mekanisme lain yang dapat mencegah berkurangnya air dan elektrolit adalah
endokrin atau respons hormonal. Hormon antidiuretik (ADH) berperan sebagai
pengatur keseimbangan air dan elektrolit. ADH adalah hormon yang dihasilkan
oleh hipotalamus, disimpan dan dikeluarkan oleh kelenjar hipofisis sebagai
respons terhadap perubahan dalam osmolalitas plasma. Osmolaritas adalah
konsentrasi ion dalam suatu larutan. Dalam hal ini, larutannya adalah darah.
Apabila asupan air menjadi kurang atau air banyak yang hilang, ADH akan
dikeluarkan sehingga membuat ginjal menahan air. ADH mempengaruhi nefron
bagian distal untuk memperlancar permeabilitas air sehingga lebih banyak air
yang direabsoprsi dan dikembalikan ke dalam sirkulasi darah

Tabel 1. Bagian dan fungsi utama nefron


Bagian dan fungsi utama nefron
Kapsula Bowman Filtrasi: ultrafiltrasi dan plasma masuk ke
dalam kapsula Bowman dan mengalir ke
tubulus kontortus proksimal
Tubulus kontortus Obligatory rearbsorption (66% dari filtrat
proksimal glomeruli): natrium, kalium, klorida,
bikarbonat, dan elektrolit. Lainnya: glukosa,
asam amino, air, dan urea. Sekresi: ion
hidrogen, obat, dan toksin
Ansa Henle Reabsorpsi (25% dari filtrat glomeruli):
klorida, natrium, ion kalsium, air, dan urea
Tubulus kontortus Facilitatory rearbsorption (9% dari filtrat
distal glomeruli): natrium, klorida, bikarbonat, air,
dan urea. Sekresi: hidrogen, kalium, dan
ammonia
Duktus koligentes Facilitatory rearbsorption: air dan urea

Ginjal juga sebagai keseimbangan elektrolit. Mekanisme keseimbangan


elektrolit yang dikeluarkan dari kapsula bowman direabsorpsi dalam tubulus
proksimal. Konsentrasi elektrolit yang telah direabsorpsi diatur dalam tubulus
distal di bawah pengaruh hormon aldosteron dan ADH. Ginjal sebagai
keseimbangan asam basa Agar sel dapat berfungsi normal, perlu juga
dipertahankan pH plasma 7,35 untuk darah vena dan pH 7,45 untuk darah arteri.
Keseimbangan ini dapat dicapai dengan mempertahankan rasio darah bikarbonat
dan karbon dioksida pada 20:1. Ginjal dan paru-paru bekerja lama untuk
mempertahankan rasio ini. Paru-paru bekerja dengan menyesuaikan jumlah
karbon dioksida dalam darah. Ginjal menyekresi atau menahan bikarbonat dan ion
hidrogen sebagai respons terhadap pH darah.
Salah satu fungsi penting ginjal adalah mengatur kalsium serum dan fosfor.
Kalsium sangat penting untuk pembentukan tulang, pertumbuhan sel, pembekuan
darah, respons hormon, dan aktivitas listrik selular. Ginjal adalah pengatur utama
keseimbangan kalsium-fosfor. Ginjal melakukan hal ini dengan mengubah
vitamin D dalam usus (dari makanan) ke bentuk yang lebih aktif, yaitu 1,25-
dihidrovitamin D3. Ginjal meningkatkan kecepatan konversi vitamin D jika kadar
kalsium atau fosforus serum menurun. Vitamin D molekul yang aktif (1,25-
dihidrovitamin D3), bersama hormon paratiroid dapat meningkatkan absorpsi
kalsium dan fosfor oleh usus.
Selain sebagai mengatur kalsium serum dan fosfor ginjal juga berperan
sebagai pengatur pengaturan tekanan darah, terutama dengan mengatur volume
plasma dipertahankan melalui reabsorpsi air dan pengendalian komposisi cairan
ekstraselular (mis., terjadi dehidrasi). Korteks adrenal mengeluarkan aldosteron.
Aldosteron membuat ginjal menahan natrium yang dapat mengakibatkan
reabsorpsi air.

C. Definisi CKD.
Chronic Kidney Disease (CKD) atau biasa dikenal gagal ginjal kronik atau
penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer & Bare, 2002).
Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten
dan irreversible. Gangguan fungsi ginjal merupakan penurunan laju filtrasi
glomerulus (Glomerolus Filtration Rate/GFR) yang dapat digolongkan ringan,
sedang dan berat (Mansjoer, 2007). CKD atau penyakit ginjal kronis didefinisikan
sebagai kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa penurunan
glomerulus filtration rate (GFR) (Nahas & Levin, 2010).
Kriteria penyakit GGK menurut National Kidney Foundation (2002) yaitu
sebagai berikut:
1. Terjadi kerusakan ginjal selama 3 bulan atau lebih yang ditandai oleh
abnormalitas struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan laju
filtrasi glomerulus (GFR), yang dimanifestasikan oleh abnormalitas
patologis atau tanda kerusakan ginjal, meliputi abnormalitas komposisi
darah atau urin, atau abnormalitas hasil tes.
2. GFR< 60 ml/mnt/1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal (National Kidney Foundation, 2002).
Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui
penghitungan nilai Glumerular Filtration Rate (GFR). Untuk menghitung GFR
dokter akan memeriksakan sampel darah penderita ke laboratorium untuk
melihat kadar kreatinin dalam darah. Kreatinin adalah produk sisa yang berasal
dari aktivitas otot yang seharusnya disaring dari dalam darah oleh ginjal yang
sehat. Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :
1. Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
2. Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
3. Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat (30 s/d 59 ml/min)
4. Stadium 4, dengan penurunan GFR parah (15 s.d 29 ml/min)
5. Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Rumus menghitung GFR
Cearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatini serum
Untuk wanita (x0,85)

D. Epidemiologi.
Prevalensi Chronic Kidney Disease (CKD) meningkat setiap tahunnya.
Dalam kurun waktu tahun 1999 hingga 2004, terdapat 16.8% dari populasi
penduduk usia di atas 20 tahun mengalami PGK. Persentase ini meningkat bila
dibandingkan data pada 6 tahun sebelumnya, yakni 14.5% (Chelliah, 2011).
Di negara-negara berkembang, insidens ini diperkirakan sekitar 40-60
kasus per juta penduduk per tahun. Di Indonesia, dari data di beberapa bagian
nefrologi, diperkirakan insidens PGK berkisar 100-150 per 1 juta penduduk.
Menurut Suhardjono (2001), di Indonesia, berdasarkan Pusat Data dan
Informasi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PDPERS) jumlah
penderita PGK dianggarkan sekitar 50 orang per satu juta penduduk. Pada
tahun 2006 terdapat sekitar 100.000 orang penderita gagal ginjal kronik di
Indonesia (Chelliah, 2011).

E. Etiologi
Menurut Mansjoer (2000), penyebab gagal ginjal kronik adalah:
1. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis terjadi karena adanya peradangan pada glomerulus yang
diakibatkan karena adanya pengendapan kompleks antigen antibodi. Reaksi
peradangan di glomerulus menyebabkan pengaktifan komplemen, sehingga
terjadi peningkatan aliran darah dan peningkatan permeabilitas kapiler
glomerulus dan filtrasi glomerulus. Protein-protein plasma dan sel darah merah
bocor melalui glomerulus. Glomerulonefritis dibagi menjadi dua yaitu
glomerulonefritis akut dan kronis (Price, 2005).
2. Diabetes Melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya..
Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak
menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak,
buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut
dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut
pergi ke pelayanan kesehatan dan mengecek kadar glukosa darahnya. Diabetes
mellitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam bentuk nefropati diabetik
yaitu semua lesi yang terjadi diginjal pada diabetes mellitus (Price, 2005).
3. CKD dengan Osteorenaldisthrophy
Osteodistrofi ginjal adalah kelainan tulang pada GGK akibat gangguan
absorpsi kalsium, hiperfungsi paratiroid dan gangguan pembentukan vitamin D
aktif (kalsitriol) (Fatriyadi, 2017). Pada CKD, biasanya terdapat komplikasi
kronik seperti penyakit tulang, biasanya dengan kadar kalsium rendah, fosfat
tinggi dan hormon paratiroid tinggi. Peningkatan hormon paratiroid (PTH) bisa
terjadi akibat retensi fosfat, yang menyebabkan turunnya kalsium terionisasi.
Akibat klinisnya ialah osteoporosis akibat hiperparatiroidisme, osteomalasia
akibat kekurangan vitamin D dan kalsifikasi ektopik. Kadar kalsium yang
berlebihan meningkatkan penghambatan efek pada natrium dalam otot skelet.
Hal ini menimbulkan penurunan eksitabilitas baik pada otot dan saraf, yang
akhirnya menimbulkan flaksiditas. Hipokalsemia tersebut berasal dari
menurunnya penyerapan kalsium di usus akibat menurunnya kalsitriol dan juga
terkait dengan peningkatan fosfat atau hiperfosfatemia pada pasien CKD (Yauri
dkk, 2016). Gejala klinis berupa gangguan pertumbuhan, gangguan bentuk
tulang, fraktur spontan, dan nyeri tulang (Fatriyadi, 2017).
F. Patofisiologi
Infeksi (ISK, glomerulonephritis, pielonefritis), penyakit vaskuler, adanya
zat toksik serta penyakit kongenital dapat mempengaruhi GFR. Khususnya
penyakit vaskuler dapat menghambat suplai darah ke ginjal. Hal ini
menyebabkan GFR ginjal menjadi turun. Kondisi ini menyebabkan kerusakan
sebagian nefron. Nefron yang utuh mencoba untuk meningkatkan reabsorpsi
dan filtrasi, sehingga terjadilah hipertropfi nefron. Yang akan meningkatkan
jumlah nefron yang rusak. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak
bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana
timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-
gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% -
90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance
turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. Gagal ginjal kronis juga akan
mempengaruhi aktivasi RAA. Dimana renin akan diproduksi dan akan
merangsang angiotensin 1 yang selanjutnya akan diubah menjadi angiotensin 2
dan akan merangsang sekresi aldosterone. Proses ini akan menyebabkan retensi
natrium dan air sehingga terjadi peningkatan tekanan kapiler dan pada akhirnya
mempengaruhi volume interstitial yang meningkat. Pada penderita GGK akan
timbul sebagai kondisi edema yang biasanya terjadi pada area ektremitas.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah
maka gejala akan semakin tampak. Kemudian timbul kondisi perpospatemia
yang akan menimbulkan kondisi gatal-gatal dikulit. Sindrom uremia juga
menyebabkan gangguan asam basa dalam metabolisme tubuh yang akan
mempangaruhi produksi asam dalam lambung. Produksi asam lambung ini
selanjutnya akan mengiritasi lambung. Penderita CKD juga akan mengalami
peningkatan hormon paratiroid yang disebabkan oleh retensi fosfat. Pada GGK,
terjadinya hiperfosfatemia secara langsung mengakibatkan hipokalsemia, yaitu
melalui mekanisme keseimbangan kalsium dan fosfat: ion kalsium + hidrogen
fosfat (CaHPO4). Pada hiperfosfatemia, keseimbangan tersebut bergeser ke
kanan, sehingga kadar kalsium menurun. Hiperfosfatemia menyebabkan hal-
hal sebagai berikut: (1) hipokalsemia melalui keseimbangan fisikokimiawi, (2)
mengurangi aktivitas kalsitriol dengan menghambat 1α hidroksilase, (3) diduga
secara langsung meningkatkan sekresi hiperparatiroid. Hipokalsitriolemia
mengakibatkan hal-hal sebagai berikut: (1) hiperparatiroidemia melalui
hilangnya penghambatan terhadap sintesis pre-pro PTH, dan hiperplasia sel
kelenjar paratiroid, (2) hipokalsemia melalui: berkurangnya absorbsi kalsium
di saluran cerna, terhambatnya reabsorbsi kalsium di tubulus renalis, dan
terhambatnya mobilisasi kalsium dari tulang sehingga menurunkan
penyerapan kalsium di usus sehingga terjadi dimineralisasi kalsium pada tulang
dan terjadi oeteoporosis pada penderita CKD.

G. Manifestasi Klinis
1. Gangguan pada Gastrointestinal dapat berupa anoreksia, nausea, muntah
yang dihubungkan dengan terbentuknya zat toksik (amoniak, metal
guanidin) akibat metabolisme protein yang terganggu oleh bakteri usus
sering pula faktor uremikum akibat bau amoniak dari mulut. Gastritis erosif
hampir dijumpai pada 90 % kasus gagal ginjal kronik, bahkan
kemungkinan terjadi ulkus peptikum dan kolitis uremik
2. Kulit berwarna pucat, mudah lecet, rapuh, kering, timbul bintikbintik hitam
dan gatal akibat uremik atau pengendapan kalsium pada kulit.
3. Anemia merupakan gejala yang hampir selalu ada pada gagal ginjal kronik.
Hemolisis merupakan sering timbul anemi, selain anemi pada gagal ginjal
kronik sering disertai pendarahan akibat gangguan fungsi trombosit atau
dapat pula disertai trombositopeni. Fungsi leukosit maupun limposit dapat
pula terganggu sehingga pertahanan seluler terganggu sehingga pada
penderita gagal ginjal kronik mudah terinfeksi oleh karena imunitas yang
menurun
4. Pada gagal ginjal kronik hampir selalu disertai hipertensi. Mekanisme
terjadinya hipertensi pada gagal ginjal kronik oleh karena penimbunan
garam dan air, atau sistem renin angiostensin aldosteron (RAA). Sesak
nafas merupakan gejala yang sering dijumpai akibat kelebihan cairan tubuh,
dapat pula terjadi perikarditis yang disertai efusi perikardial. Gangguan
irama jantung sering dijumpai akibat gangguan elektrolit.
5. Gangguan seksual seperti penurunan libido, ion fertilitas sering dijumpai
pada gagal ginjal kronik, pada wanita dapat pula terjadi gangguan
menstruasi sampai aminore. Toleransi glukosa sering terganggu pada gagal
ginjal kronik, juga gangguan metabolik vitamin D
6. Gangguan hormone paratiroid
Kelenjar paratiroid mengeluarkan hormon paratiroid (parathiroid hormone,
PTH) yang bersama-sama dengan Vit D3 (1.25-dthydroxycholccalciferal),
dan kalsitonin mengatur kadar kalsium dalam darah. PTH akan merangsang
reabsorbsi kalsium pada tubulus ginjal, meningkatkan absorbsi kalsium
pada usus halus, sebaliknya menghambat reabsorbsi fosfat dan melepaskan
kalsium dari tulang. Efek hormon paratiroid terhadap konsentrasi kalsium
dan fosfat dalam cairan ekstraselular. Naiknya konsentrasi kalsium
terutama disebabkan oleh dua efek berikut ini: efek hormon paratiroid yang
menyebabkan terjadinya absorpsi kalsium dan fosfat dari tulang, dan efek
yang cepat dari hormon paratiroid dalam mengurangi ekskresi kalsium oleh
ginjal. Pada penderita gagal ginjal kronik menyebabkan hiperparatiroidisme
sehingga terganggunya penyerapan kalsium (hipokalsemia).

7. Gangguan muskoloskeletal
Manifestasi skeletal yang menyertai hiperparatiroidisme dapat terjadi akibat
demineralisasi tulang yang muncul berupa sel-sel raksasa benigna akibat
pertumbuhan osteoklast yang berlebihan disebut sebagai osteitis fibrosa
cystica. Pasien dapat mengalami nyeri skeletal dan nyeri tekan, khususnya
di daerah punggung, panggul, tungkai dan persendian lutut serta, nyeri
ketika menyangga tubuh, fraktur patologik, deformitas, osteomalasia dan
kiposkoliosis
H. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi ginjal.
1) Ultrasonografi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan
adanya massa kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
2) Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histologis.
3) Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
b. Pielografi Intravena
Menilai sistem pelviokalises dan ureter, beresiko terjadi penurunan faal
ginjal pada usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati asam urat.
c. USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkin ginjal, anatomi sistem
pelviokalises, dan ureter proksimal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi
sistem pelviokalises dan ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
d. Renogram
Menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi gangguan (vaskuler,
parenkhim) serta sisa fungsi ginjal
e. Pemeriksaan radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi (terutama pada falangks /jari) kalsifikasi metatastik
f. Biopsi Ginjal
dilakukan bila terdapat keraguan dalam diagnostik gagal ginjal kronis atau
perlu untuk mengetahui etiologinya

Pemeriksaan laboratorium yang menunjang untuk diagnosis gagal ginjal


1) Laju endap darah
2) Urin
a. Volume: Biasanya kurang dari 400 ml/jam
(oliguria atau urine tidak ada (anuria)
b. Warna: Secara normal perubahan urine
mungkin disebabkan oleh pus/nanah, bakteri, lemak, partikel koloid,
fosfat, sedimen kotor, warna kecoklatan menunjukkan adanya darah,
miglobin, dan porfirin
c. Berat Jenis: Kurang dari 1,015 (menetap
pada 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat)
d. Osmolalitas: Kurang dari 350 mOsm/kg
menunjukkan kerusakan tubular, amrasio urine/ureum sering 1:1.
3) Ureum dan Kreatinin
4) Hiponatremia
5) Hiperkalemia
6) Hipokalsemia dan hiperfosfatemia
7) Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia
8) Gula darah tinggi
9) Hipertrigliserida
10) Asidosis metabolik
I. Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah
memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan
akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara
optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar,
2006).
2. Terapi pengganti ginjal Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit
ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi
tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi
ginjal (Suwitra, 2006 dalam Fatriyadi, 2017).
3. Hemodialisis Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah
gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh
terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk
faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut
dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan
kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar,
2006 dalam Fatriyadi, 2017).
4. Dialisis peritoneal (DP) Akhir-akhir ini sudah populer Continuous
Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan
di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua
(umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit
sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting,
pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual
urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan
co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat
intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang
jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006 dalam Fatriyadi, 2017).
5. Pada kasus defisiensi vitamin D dapat dikoreksi dengan pemberian kapsul
vitamin D 50.000 IU/kapsul satu kali seminggu selama 8 minggu dan dapat
diulang 8 minggu lagi apabila tanda defisiensi masih terlihat. Pada kasus
gagal ginjal kronik, National Kidney Foundation (NKF) merekomendasikan
penurunan kadar PTH untuk menormalkan turnover mineral tulang dan
meminimalisasi terbentuknya kalsifikasi ektopik. Pasien yang mengalami
dialisis gagal ginjal, biasanya mengalami peningkatan kadar hormon
paratiroid. Berikut pilihan terapi non bedah yang dianjurkan bagi pasien
hiperparatiroidisme sekunder pada kasus gagal ginjal kronik:
a. Restriksi konsumsi
fosfat, jika dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar 25-
hydroxyvitamin D >30 ng/mL.
b. Phosphate binder
Calcium-based phosphate binders, seperti calcium carbonate atau
calcium acetate Non-calcium-based phosphate binders, seperti
sevelamer hydrochloride atau lanthanum carbonate.
c. Suplementasi kalsium
dibatasi kurang dari 2 gr/hari
d. Vitamin D dan
analognya: Calcitriol Penekanan sekresi hormon paratiroid dengan low-
dose calcitriol mungkin dapat mencegah hiperplasia kelenjar paratiroid
dan hiperparatiroidisme sekunder. Analog calcitriol: Paricalcitol,
doxercalciferol, maxacalcitol, dan falecalcitriol
e. Kalsimimetik, seperti
cinacalcet Kalsimimetik digunakan efeknya dalam meningkatkan
sensitivitas reseptor kalsium dan menghambat pengeluaran dari PTH.
Selain itu, kalsimimetik juga dapat menurunkan kadar fosfor dalam
darah. Penyembuhan dengan calcitriol dan kalsium dapat mencegah
atau meminimalisir hiperparatiroidisme sekunder. Kontrol kadar cairan
fosfat dengan diet rendah fosfat juga penting. Pasien yang mengalami
dialysis-dependent chronic failure membutuhkan calcitriol, suplemen
kalsium, fosfat bebas aluminium, dan cinacalcet (sensipar) untuk
memelihara level cairan kalsium dan fosfat.
J. Clinical Pathway

Imun:
penurunan Resiko
produksi infeksi
Gagal Ginjal Kronis Oliguri+anuria
Eliminasi urin antibodi

Kelebihan volume cairan

muskuloskeletal integumen Neuro +sensori respirasi kardiovaskuler


eritopoitin Gastrointestinal
terganggu Hb
rendah: hiperkalemia Pelepasan renin
hipokalsemia Urea asam uric anemia Diafragma
Uremik Edema
menumpuk Urea terdesak
encepalopati dalam
pada kulit menumpuk cairan disritmia
GI
hipertensi
Dimnineralis
Uremik Asidosis
asi kalsium Pruritus: Perubahan
neuropati halitosis metabolik
gatal kesadaran
Anoreksia, mual ,
muntah
deformitas Resiko Penurunan kardiak
Bubuk Kebas kaki ouput
uremik Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
hiperventilasi
kulit
Resiko/aktual gangguan Koma kejang
integritas kulit Pola napas tidak efektif

Resikocedera
Gangguan citra tubuh
K. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu
pada Doenges (2001), serta Carpenito (2006) sebagai berikut:
1) Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang
mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal
seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan sebagainya. CKD
dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan lingkungan juga mempunyai
peranan penting sebagai pemicu kejadian CKD. Karena kebiasaan kerja
dengan duduk/berdiri yang terlalu lama dan lingkungan yang tidak
menyediakan cukup air minum/mengandung banyak senyawa/zat logam dan
pola makan yang tidak sehat. Wanita mempunyai insiden infeksi traktus
urinarius dan pielonefritis lebih tinggi daripada pria yang dapat berlanjut
menjadi gagal ginjal kronik.
2) Keluhan utama
Keluhan utama yang didapat biasanya bervariasi, mulai dari urine output
sedikit sampai tidak dapat BAK, gelisah sampai penurunan kesadaran, tidak
selera makan (anoreksia), mual muntah, mulut terasa kering, rasa lelah,
napas berbau (urea) dan gatal pada kulit
3) Riwayat penyakit dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit gagal ginjal akut, hipertensi, infeksi saluran
kemih, payah jantung, penggunaan obat-obat nefrotoksik, benign prostatic
hyperplasia (BPH) dan prostatektomi, penyakit batu saluran kemih, infeksi
sistem perkemihan yang berulang, penyakit diabetes melitus, dan penyakit
terdahulu yang dapat menjadi penyebab GGK
4) Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran
klien dari compos mentis sampai coma.

Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi
meningkat dan reguler.
b. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan
nutrisi, atau terjadi peningkatan berat badan karena kelebihan cairan.
c. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning/kotor, konjungtiva pucat/putih, telinga
kotor dan terdapat kotoran telinga, hidung kotor dan terdapat kotoran
hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan pecah-pecah, mukosa mulut
pucat dan lidah kotor.
d. Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
peningkatan vena jugularis sebagai akibat dari peningkatan tekanan
pengisian pada atrium kanan pada kondisi gagal jantung kanan
e. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat
otot bantu napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara
tambahan pada paru (rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung,
terdapat suara tambahan pada jantung.
f. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut
buncit.
g. Pemeriksaan Ginjal
Kaji daerah abdomen pada garis midklavikula kiri dan kanan atau
daerah costovertebral angle (CVA), normal keadaan abdomen simetris,
tidak tampak masa dan tidak ada pulsasi, bila tampak ada masa pulsasi
kemungkinan ada polikistik, hidronefrosis ataupun nefroma. Apakah
adanya bunyi vaskuler aorta maupun arteri renalis, bila ada bunyi
desiran kemungkinan adanya RAS (Renal Arteri Stenosis), nefro
scelerotic. Bila terdengar desiran, jangan melakukan palpasi, cedera
pada suatu aneurisme di bawah kulit terjadi sebagai akibatnya tes CVA
bila adanya nyeri tekan di duga adanya implamasi akut.
Keadaan normal, ginjal tidak teraba. Apabila teraba membesar dan
kenyal, kemungkinan adanya polikistik maupun hidroneprosis. Bila
dilakukan penekanan klien mengeluh sakit, hal ini tanda kemungkinan
adanya peradangan.
h. Pemeriksaan Kandung Kemih
Di daerah supra pubis dipalpasi apakah ada distensi. Normalnya
kandung kemih terletak di bawah sympisis pubis, tetapi setelah
membesar organ ini dapat terlihat distensi pada supra pubis, pada
kondisi normal yang berarti urine dapat dikeluarkan secara lengkap dari
bendung kemih, kandung kemih tidak teraba. Bila ada obstuksi di
bawah dan prodiksi urine normal maka urine tidak dapat dikeluarkan,
hal ini mengakibatkan distensi kandung kemih.
i. Pemeriksaan Meatus Uretra
Inspeksi pada meatus uretra apakah ada kelainan sekitar labia, untuk
warna dan apakah ada kelainan pada orifisium uretra pada laki-laki dan
juga lihat cairan yang keluar.
j. Pemeriksaan Prostat Melalui Anus
Mengidentifikasi pembesaran kelenjar prostat bagi laki-laki yang
mempunyai keluhan mengarah kepada hypertropu prostat. Akibat
pembesaran prostat, berdampak penyumbatan partial atau sepenuhnya
kepada saluran kemih bagian bawah normalnya prostat dapat teraba
dengan diameter sekitar 4 cm dan tidak ada nyeri tekan.
k. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi,
terdapat ulkus.
l. Ekstremitas
Kelemahan fisik, aktifitas klien dibantu, terjadi edema, pengeroposan
tulang, dan Capillary Refill Time lebih dari 2 detik.
m. Kulit
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan
mengkilat / uremia, dan terjadi perikarditis.
5) Pemeriksaan fisik (B1-B6)
Setelah melakukan anamnesa yang mengarah pada keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik dilakukan secara persistem (B1-B6) yang terarah
dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari pasien (Muttaqin, 2009).
Keadaan umumpasien lemah dan terlihat sakit berat. Tingkat kesadaran
menurun sesuai dengan tingkat uremia dimana dapat mempengaruhi sistem
saraf pusat. Pada TTV sering didapatkan adanya perubahan RR meningkat dan
tekanan darah terjadi perubahan dari hipertensi ringan sampai berat.
a. B1 (Breathing)
Pasien bernapasdengan bau urine (fetor uremik) sering didapatkan pada fase
ini. Respon uremia didapatkan adanya pernapasan Kussmaul. Pola napas
cepat dan dalam merupakan upaya untuk melakukan pembuangan
karbondioksida yang menumpuk di sirkulasi.
b. B2 (Blood)
Pada kondisi uremia berat, saat auskultasi akan ditemukan adanya friction
rub yang merupakan tanda khas efusi perikardial, terdapat tanda dan gejala
gagal jantung kongestif, TD meningkat, akral dingin, CRT >3 detik,
palpitasi, nyeri dada atau angina, sesak napas, gangguan irama jantung,
edema penurunan perfusi perifer sekunder dari penurunan curah jantung
akibat hiperkalemi, dan gangguan konduksi elektrikal otot ventrikel. Pada
sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemis sebagai akibat
dari penurunan produksi eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik,
penurunan usia sel darah merah dan kehilangan darah, biasanya dari saluran
GI, kecenderungan mengalami perdarahan sekunder dari trombositopenia.
c. B3 (Brain)
Didapatkan penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral, seperti
perubahan proses pikir dan disorientasi. Pasien sering didapatkan adanya
kejang, adanya neuropati perifer, burning feet syndrome, restless leg
syndrome, kram otot, dan nyeri otot.
d. B4 (Bladder)
Penurunanurin output <400ml/hari sampai anuri, terjadi penurunan libido
berat.
e. B5 (Bowel)
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia, dan diare sekunder dari
bau mulut ammonia, peradangan mukosa mulut dan ulkus saluran cerna
sehingga sering didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
f. B6 (Bone)
Didapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki
(memburuk saat malam hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi, pruritus,
demam (sepsis, dehidrasi), petekie, area ekomosis pada kulit, fraktur tulang,
defosit fosfat kalsium pada kulit, jaringan lunak dan gerak sendi.
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum sekunder dari anemia dan
penurunan perfusi perifer dari hipertensi

No Diagnosa NOC NIC


1 Resiko infeksi b.d prosedur Setelah dilakukan perawatan 1x24 Perlindungan infeksi (6550)
invasive d.d kurang jam resiko infeksi dapat teratasi a. Monitor adanya tanda dan
pengetahuan untuk dengan kriteria hasil (1105): gejala infeksi (rubor dolor
menghindari pemajanan 1. Suhu kulit area akses normal kalor fungsiolesa)
pathogen (00004) 2. Warna kulit area akses dialysis b. Batasi jumlah pengunjung
c. Periksa kondisi sayatan atau
luka
d. Tingkatkan asupan nutrisi
yang cukup
e. Anjurkan istirahat
f. Ajarkan pasien dan kelurag
cara menghindari infeksi.
2 Resiko kerusakan integritas Setelah dilakukan perawatan 1x24 Manajemen elektrolit (2080)
kulit b.d gangguan sirkulasi jam resiko kerusakan integritas kulit a. berikan cairan yang sesuai
d.d gangguan volume teratasi dengan kriteria hasil (0601) : b. dapatkan specimen untuk
cairan (00047) 1. Turgor kulit pemantauan perubahan cairan
2. Keseimbangan intake dan output elektrolit
dalam 24 jam c. timbang berat badan
d. pantau adanya tanda gejala
retensi cairan
e. monitor tanda tanda vital yang
sesuai
f. berikan resep diet yang tepat
untuk cairan tertentu (rendah
sodium batasi garam)

3 Gangguan citra tubuh b.d Setelah dilakukan perawatan 1x24 Dukungan emosional (5270)
penyakit d.d perubahan jam gangguan citra rybyh teratasi a. Dorong passion meluapkan
struktur tubuh (00118) dengan kriteria hasil (1205): ekspresi cemas atau sedih
1. Komunikasi terbuka b. Beikan dukungan selama fase
2. Tingkat kepercayaan diri denial
c. Dorong untuk bicara atau
menangis sebagai cara
menurunkan emosi respon
emosi
d. Rujuk untuk konseling sessuai
kebutuhan
e. Dengarkan/dorong ekspresi
keyakinan dan perasaan
4 Resiko cedera b.d disfungsi Setelah dilakukan perawatan 1x24 Pencegahan jatuh (6490)
integrasi sensori d.d kurang jam resiko cedera dapat teratasi a. Identifikasi perilaku dan
sumber nutrisi (00035) dengan kriteria hasil (1910): factor yag mempengaruhi
1. Mampu menggunakan alat bantu resiko jatuh
b. Bantu ambulasi pasien yang
memiliki ketidakseimbangan
c. Dukung pasien untuk
menggunakan alat bantu
d. Kunci kursi roda selama
memindahkan pasien
e. Letakkan benda dalam
jangkauan pasien
f. Ajarkan pada pasien jika
jatuh untuk meminimalkan
cedera
5 Ketidakefektifan pola nafas Setelah dilakukan perawatan 1x24 Manajemen jalan nafas (3140)
b.d dengan hiperventilasi jam pola nafas klien kembali efektif a. Posisikan klien semi fowler
sekunder d.d takipnea dengan kriteria hasil (0415): b. Buka jalan nafas klien jika
(00032) 1. Menunjukkan jalan nafas perlu
yang paten c. Auskultasi suara nafas, catat
2. Tanda vital dalam batas adanya suara tambahan
normal (TD: 120/80 mmHg, (cracles)
RR 16-20 x/mnt, Nadi 80- d. Monitor respirasi dan status
100 x/mnt, Suhu 36,5-37,5o
O2
C)
e. Berikan terapi oksigenasi
f. Pertahankan jalan nafas yang
paten
g. Observasi adanya tanda-tanda
hipoventilasi
h. Monitor adanya kecemasan
klien terhadap oksigenasi
6 Kelebihan volume cairan Setelah dilakukan perawatan 1x24 Fluid Management (4120)
b.d gangguan mekanisme jam jam volume cairan klien a. Monitor masukan makanan
regulasi d.d edema (00026) seimbang dengan kriteria hasil dan cairan dengan catatan
(0601): intake dan output
1. Terbebas dari edema dan efusi b. Monitor status hemodinamik
2. Terbebas dari distensi vena c. Monitor vital sign
d. Kaji luas edema
jugularis
e. Pasang urin kateter jika
3. Tanda vital normal (TD: 120/80
diperlukan
mmHg, RR 16-20 x/mnt, Nadi
f. Monitor hasil laboratorium
80-100 x/mnt, Suhu 36,5-37,5o
yang sesuai dengan retensi
C)
cairan (BUN, Hematokrit,
4. Bunyi nafas bersih, tidak ada
osmolalitas urin)
dispnea/ortopnea
g. Kolaborasi dalam pemberian
diuretik

L. Discharge Planning
Pada pasien gagal ginjal kronis dengan ORD sama seperti dengan pasien
gagal ginjal lainya yang harus memperhatikan asupan cairan harian dan nutrisi
namun pada pasien gagl ginjal dengan ckd mungkin memerlukan tindakan
tambahan berupa pemberian edukasi dimana kondisi pasien yang mengalami
perubahan bentuk tubuh disarankan pengambilan edukasi yang benar terhadap
pasien yang meningkatkan kepercayaan diri pada pasien. Disisi lain modifikasi
lingkungan tempat tinggal juga perlu mengingat pasien dengan ORD rentan
terhadap resiko jatuh dan fraktur.

DAFTAR PUSTAKA

Baradero. 2008. Klien Gangguan Ginjal. Jakarta: EGC


Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Chelliah, 2011. Gambaran Tingkat Depresi dan Kualitas Hidup Klien penyakit
Ginjal Kronik Yang menjalani Haemodialisis di RSUP H. Adam Malik
Medan Tahun 2011. Karya Tulis Ilmiah. Medan: Universitas Sumatera
Utara
Doenges, Moorhouse. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Untuk Perencanaan
Dan Pendukomentasian Perawatan Pasien. Edisi-3. Jakarta: EGC
Fatriyadi. 2017. Laporan Pendahuluan Chronic Kidney Disease (Ckd) Dengan
Komplikasi Ord Di Ruang Hemodialisa Rsud Dr Saiful Anwar
Malang. Program Pendidikan Profesi Ners Fakultas Ilmu Kesehatan
Muhammadiyah Malang.
file:///C:/Users/User/Downloads/adoc.site_lp-ckd-dengan-ord-.pdf
[diakses pada 14 Oktober 2018]
Mansjoer, Arief. dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius.
Nahas, Meguid El & Adeera Levin. Chronic Kidney Disease: A Practical Guide
to Understanding and Management. USA : Oxford University Press. 2010
Pearce & Wilson. 2006. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC.
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta: EGC.
Yauri, dkk. 2016. Gambaran Hasil Produk Kalsium Dan Fosfor Pada Pasien
Penyakit Ginjal Kronik Stadium V Di Ruang Hemodialisis Rsup
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal E-Clinic
file:///C:/Users/User/Downloads/14596-29232-1-SM.pdf [diakses pada 14
oktober 2018]

Anda mungkin juga menyukai