Anda di halaman 1dari 16

Euthanasia Dalam Perspektif Filsafat

Disusun oleh :

Ratih Yolanda Syafitri

04031181320020

Program Studi Pendidikan Dokter Gigi

Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya 2013/2014


PENDAHULUAN

Euthanasia merupakan permasalahan medis yang aktual dan kompleks. Secara

umum euthanasia berarti mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit.

Euthanasia sudah sering dikaji berbagai bidang, seperti agama, medis, hukum dan

psikologi. Namun sejauh ini hasilnya masih mengandung ketidakpuasan karena sulit

dijawab secara objektif dan meyakinkan.

Karena euthanasia dilakukan oleh manusia yang berakal budi, maka tindakan

ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari tanggung jawab moral. Meski motif yang

mendasari euthanasia sendiri adalah belas kasihan. Bagaimanapun juga, tindakan

euthanasia tidak bisa disalahkan atau dibenarkan, banyak sekali unsur yang harus

diperhatikan untuk menilai benar tidaknya tindakan tersebut. Dengan melihatnya dari

sudut pandang filsafat dan filsafat moral, penulis mencoba mengkaji problematika

yang ada dalam permasalahan euthanasia ini.

Euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi

pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya

dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter

terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan

penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang

berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan

nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun. Oleh karena itu,
melalui makalah ini saya mencoba berusaha mencari kebenaran mengenai apa

hakekatnya, bagaimana prosesnya, manfaat secara etika dan nilai estetikanya, dan

menelusuri jejak-jejak penalarannya dari suatu pemikiran filsafat, menjadi

pengetahuan dan berakhir sebagai suatu ilmu (sains) yang ilmiah. Selain itu merujuk

pada dua aliran besar filsafat moral yaitu deontologisme dan teleology utilitarisme.

Dimana deontologisme mengkaji benar tidaknya suatu perbuatan yang dilakukan

seseorang. Apakah baik tindakan tersebut, wajib atau tidak, bukan pada tujuan akhir

atau hasilnya yang dinilai. Sedangkan teleology utilitarisme mengkaji kemanfaatan

atau hasil akhir yang hendak dicapai, jadi bukan perbuatan atau prosesnya yang

dinilai.
PEMBAHASAN

ONTOLOGIS EUSTHANASIA

EPISTEMOLOGIS EUTHANASIA

Telaah epistemologis merupakan cabang dari filsafat ilmu yang berurusan

dengan hakikat, teori dan ruang lingkup “bagaimana” proses menjadi ilmu. Meliputi

pengandaian-pengandaian dan dasar-dasar serta pertanggungjawaban atas pertanyaan

mengenai ilmu pengetahuan yang dimiliki. Epistemologis membahas secara

mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk memperoleh ilmu

pengetahuan terutama yang berkaitan dengan metode keilmiahan dan sistematika isi

dari berbagai ilmu termasuk ilmu euthanasia.

Metode keilmuan merupakan suatu prosedur wajib yang mencakup berbagai

tindakan, pemikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh ilmu

pengetahuan yang baru atau sebaliknya mengembangkan wawasan yang telah ada.

Sedangkan sistematisasi isi ilmu dalam hal ini berkaitan dengan batang tubuh dari

ilmu pengetahuan, letak peta dasar, pengembangan ilmu pokok dan cabang ilmu yang

akan dibahas di sini (Purnomo, 2007).

Salah satu ciri yang patut mendapat perhatian dalam epistemologis dari

perkembangan ilmu pada masa modern adalah munculnya pandangan baru mengenai
ilmu pengetahuan. Pandangan itu merupakan kritik terhadap pandangan Aristoteles,

yaitu bahwa ilmu pengetahuan yang sempurna tidak boleh mencari keuntungan,

namun haruslah bersikap kontemplatif. Diganti dengan pandangan bahwa ilmu

pengetahuan justru harus mencari untung yang artinya dipakai untuk memperkuat

kemampuan manusia di bumi ini (Bakhtiar, 2005).

Guna menjawab bagaimana proses umum menimba ilmu pengetahuan

khususnya ilmu euthanasia, maka selayaknya didahului dengan pemikiran sederhana

yang bersumber dari pengalaman empiris manusia. Berbagai fenomena yang terjadi,

faktual seputar kematian, seperti perbedaan konsep kematian, sikap pro-kontra

terhadap euthanasia, dan lainnya. Kemudian akan dirangkum, dibuatkan suatu karya

penelitian dengan metode tertentu yang rasional untuk mencari dan menjawab teori

secara ilmiah, apakah ilmu tersebut dapat diterima atau tidak.

 Pro-Kontra Euthanasia

Pendapat yang menyatakan kesetujuannya dalam praktek euthanasia.

EUTHANASIA PASIF bagi seorang yang memang menderita penyakit

yang sudah tidak bisa disembuhkan dengan jalan apapun. Euthanasia

merupakan istilah untuk pertolongan medis agar kesakitan atau penderitaan

yang dialami seseorang yang akan meninggal dunia diperingan. Juga

berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan

penderitaan hebat menjelang kematiannya karena penyakit yang


dideritanya berkemungkinan besar untuk tidak dapat disembuhkan. Dalam

praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif

dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat

kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien

tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah

sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut

perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan

lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan

yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak

akan mengurangi sakit yang memang sudah parah. Adapun euthanasia

pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang

menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat

disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian

pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan

ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk

pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut

perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang

bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan

pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin

sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah

ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi

membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi. Alasan-alasan inilah yang


digunakan sebagai dasar dalam terwujudnya euthanasia pasif, karena

euthanasia pasif ini merupakan sebagian wujud dari rasa sayang kita

terhadap seseorang, tidak mungkin ada yang tega melihat orang yang

dicintai menderita. Selain itu dalam islam euthanasia pasif dianggap

sebagai tidakan mengakhiri hidup dengan tidak mempergunakan alat-alat

atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia

hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan. Pasien dibiarkan begitu saja

karena pengobatan tidak berguna lagi dan tidak memberikan harapan apa-

apa kepada pasien. Pasien dibiarkan mengikuti saja hukum sunnatullah

(hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat. Secara

medis, orang yang seperti ini sudah tidak mungkin sembuh dan jika dia

hidup maka itu hanya akan menyiksa dirinya mengingat tubuhnya sudah

tidak bisa berbuat apa-apa. Dan satu-satunya alasan yang membuat dia

masih hidup (tentunya setelah izin Allah) adalah adanya alat bantu

pernafasan yang membuat dia masih bisa bernafas. Maka melihat

kenyataan seperti itu, si dokter melepaskan alat bantu pernafasan tersebut

sehingga akhirnya pasien meninggal karena memang sudah tidak bisa

bernafas. Yang menjadi pedoman adalah dimana tidak ada kewajiban

dalam islam dalam hal memperoleh dan mencari pengobatan, apalagi

pengobatan yang memang tidak ada faedahnya, sehingga euthanasia ini

insyaallah tidak akan menyalahi aturan agama islam. Seperti yang

dilakukan oleh Dr. Jack Kevorkian yang dikenal sebagai “doctor


death”kepada para pasien-pasiennya dan dalam kasus Terri Schiavo yang

terjadi di Amerika.

Dr. Jack Kevorkian yang diduga puluhan pasien telah “ditolong” oleh

Kevorkian untuk menjemput ajalnya di RS tersebut. Dia menyatakan

bahwa kematian adalah bukan perbuatan kriminal. Kevorkian berargumen

apa yang dilakukannya semata-mata demi “menolong” mereka karena

mereka yang meminta untuk di-euthanasia memang sudah tidak mampu

disembuhkan dan hidupnya hanya ada pada alat-alat bantu medis saja.

Selain itu euthanasia juga terjadi pada Terri Schiavo (usia 41 tahun) yang

meninggal dunia di negara bagian Florida, 13 hari setelah Mahkamah

Agung Amerika memberi izin mencabut pipa makanan (feeding tube) yang

selama ini memungkinkan pasien dalam koma. Komanya mulai pada tahun

1990 saat Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael

Schiavo, dalam keadaan gagal jantung. Setelah ambulans tim medis

langsung dipanggil, Terri dapat diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama

ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan otak yang berat, akibat

kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal jantung itu

disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya.

Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan koma, maka

pada bulan Mei 1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo


mengajukan permohonan ke pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada

istrinya bisa dicabut agar istrinya dapat meninggal dengan tenang, namun

orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan

keberatan dan menempuh langkah hukum guna menentang niat menantu

mereka tersebut. Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin

pengadilan, tetapi sesudah beberapa hari harus dipasang kembali atas

perintah hakim yang lebih tinggi. Ketika akhirnya hakim memutuskan

bahwa pipa makanan boleh dilepaskan, maka para pendukung keluarga

Schindler melakukan upaya-upaya guna menggerakkan Senat Amerika

Serikat agar membuat undang-undang yang memerintahkan pengadilan

federal untuk meninjau kembali keputusan hakim tersebut. Undang-undang

ini langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat dan

ditandatangani oleh Presiden George Walker Bush. Tetapi, berdasarkan

hukum di Amerika kekuasaan kehakiman adalah independen, yang pada

akhirnya ternyata hakim federal membenarkan keputusan hakim terdahulu.

Berdasarkan kedua contoh kasus di Amerika tersebut euthanasia

memang merupakan solusi akhir untuk dan dirasa lebih menghormati

seseorang yang memang sudah dalam keadaan koma dan otaknya sudah

tidak mampu bekerja lagi sehingga tim medis menyatakan sangat tidak ada

kemungkinan untuk sembuh. Mungkin sebagian orang menganggap bahwa

ini adalah sebuah dosa besar, tetapi ketika usaha pengobatan terus
dijalankan dan masalah ekonomi perlahan semakin membelit, apa yang

bisa kita lakukan. Bahkan dalam pandangan islam pengobatanpun juga

tidak diwajibkan apabila memang dalam pengobatan itu tidak ada

faedahnya. Jadi dalam konteks ini saya setuju akan adanya eutanasia pasif

pada penderita yang memang benar-benar tidak bisa disembuhkan.

Pendapat yang menyatakan kesetujuan terhadap praktek euthanasia.

Setelah menonton film Guzaarish dengan pemeran utama seorang ahli

sulap bernama Ethan Mascarenhas yang akhirnya menderita lumpuh dan

tidak berdaya, akhirnya dalam kasus ini saya setuju dengan keputusan

euthanasia yang diambil. Alasannya karena tindakan euthanasia tersebut

dilakukan dengan persetujuan dan kemauan langsung dari pasiennya

sendiri yang mengalami penderitaan dan dengan tujuan utama

menghentikan penderitaan pasien. Salah satu prinsip yang menjadi

pedoman adalah pendapat bahwa manusia tidak boleh dipaksa untuk

menderita. Jadi, tujuan utamanya adalah meringankan penderitaan pasien.

Selain itu dengan melihat kondisi penderitaan Ethan yang sangat menyiksa

dan memang ia tidak dapat sembuh yang akhirnya kematian menjadi jalan

yang dipilih demi menghindari rasa sakit yang luar biasa dan penderitaan

tanpa harapan karena sudah lelah hidup monoton hanya begitu saja dan tak

berdaya. Setiap manusia memiliki pilihan yang bebas sebagai hak asasi,

termasuk hak untuk hidup maupun atau mati. Jika pasien sudah sampai
akhir hidupnya, ia berhak meminta agar penderitaannya segera diakhiri.

Euthanasia hanya sekadar mempercepat kematiannya, sehingga

memungkinkan pasien mengalami “kematian yang baik” tanpa penderitaan

yang lama. Alasan lain adalah cara lega ketika kualitas hidup seseorang

rendah, membebaskan dana medis untuk membantu orang lain, dan kasus

lain dari kebebasan memilih.

AKSIOLOGIS EUTHANASIA

Dasar aksiologis berarti nilai yang berkaitan dengan “kegunaan” dari suatu

ilmu pengetahuan yang telah diperoleh, seberapa besar sumbangan ilmu tersebut bagi

kebutuhan umat manusia. Merupakan fase yang paling penting bagi manusia karena

dengan adanya ilmu, maka segala keperluan dan kebutuhan manusia menjadi

terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah (Purnomo, 2007).

Aksiologis ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari

pengetahuan yang dipelajarinya. Bila persoalan value free dan value bound ilmu yang

mendominasi fokus perhatian aksiologis pada umumnya, maka dalam hal

pengembangan ilmu euthanasia, dimensi aksiologis akan diperluas lagi sehingga

secara inheren mencakup dimensi nilai kehidupan manusia, seperti etika, estetika,

religius (sisi dalam) dan juga interelasi ilmu dengan aspek-aspek kehidupan manusia

dalam sosialitasnya (sisi luar). Kedua sisi merupakan aspek penting dari

permasalahan transfer ilmu pengetahuan Berdasarkan aksiologis, terlihat jelas bahwa


permasalahan utama dari ilmu berkaitan dengan nilai. Nilai yang dimaksud adalah

sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa

yang dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan

estetika. Etika mengandung dua arti, yaitu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian

terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan

antara hal, perbuatan atau manusia lainnya. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai

tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan

fenomena disekelilingnya.

Euthanasia dari sisi agama

Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori

pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk

meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan

pasien sendiri atau keluarganya.

Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang

mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh

diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk

membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam :

151)
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain),

kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha

Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).

Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu

kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan

kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu

ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan

mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan

manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu

pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang

muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit,

bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya

dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik

menghentikan pengobatan. Semua bergantung kepada pengetahuan kita tentang

hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, atau sunnah.

Namun terdapat hadits yang berbunyi“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali

menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR

Ahmad, dari Anas RA). Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para
dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter

berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan

sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah

termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak

tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi

pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan

dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan

segera tidak berfungsi.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada

pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah.

Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan

mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—

hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter.

DEONTOLOGISME EUTHANASIA

Dengan meletakkan dasar benar tidaknya suatuperbuatan pada nilai perbuatan

itu sendiri, deontologisme memandang bahwa tindakan euthanasia adalah tidak

diperbolehkan. Deontologisme melihat bahwa tindakan euthanasia bagaimanapun

juga tidak sesuai dengan sumpah Hypocrates yang dijadikan pedoman bagi tenaga
medis dalam melakukan setiap tindakan, karena pada dasarnya tugas bagi para pelaku

medis adalah untuk menghormati serta memberikan yang terbaik pada pasiennya

bukan untuk menyakitinya.

UTILITARISME EUTHANASIA

Utilitarisme sendiri memandang bahwa tindakan euthanasia apapun jenisnya

sebenarnya sah-sah saja silakukan. Dengan mendasarkan pada tujuan serta

kemanfaatan suatu tindakan. Utilitarisme menilai bahwa memberikan perawatan

dengan segala macam alat yang ada di dalamnya kepada yang lebih membutuhkan

adalah lebih baik daripada membiarkan perawatan yang mahal namun tidak

membawa hasil apapun.


DAFTAR PUSTAKA

Suriasumantri J.S. 1882. Filsafat Ilmu ; Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar
Harapan. Jakarta

Soeparto P., Putra S.T., Harjanto J.M. 7 Nopember 2000. Filsafat Ilmu
Kedokteran. Gramik FK Unair. Surabaya.

Hanafiah M .J. 2007. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. EGC. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai