Anda di halaman 1dari 8

HASIL FFA

KELOMPOK 1

FFA

Asam lemak bebas terbentuk dimulai dari pembentukan trigliserida yang merupakan hasil
proses kondensasi satu molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak (umumnya ketiga asam
lemak berbeda-beda) yang membentuk satu molekul gliserol dan tiga molekul air. Reaksi
pembentukan trigliserida dapat dilihat pada gambar berikut :

C3H5(OH)3 + 3RCOOH ↔ C3H5(00CR)3 + 3H2O

Gliserol Asam Lemak Trigliserida Air

Pada percobaan ini sampel yang digunakan sebanyak 2 gram dilarutkan dalam 50mL
alkohol netral dan dipanaskan. Fungsi penambahan alkohol adalah untuk melarutkan lemak atau
minyak dalam sampel agar dapat bereaksi dengan basa alkali. Alkohol adalah pelarut organik
amfipatik (mengandung ujung polar dan non polar ) saat alkohol dipanaskan akan memecah ion
sehingga ujung alkohol non polar akan melarutkan minyak yang bersifat non polar. Alkohol
digunakan untuk melarutkan minyak dan melepaskan asam lemak bebas. Sehingga konsentrasi
alkohol (etanol) yang digunakan berada di kisaran 95-96%. digunakannya etanol bukan alkohol
yang lain seperti heksan dikarenakan heksan belum tentu dapat bereaksi apabila dititrasi dengan
KOH. Oleh karena itu digunakan etanol karena merupakan pelarut yang paling bisa melarutkan
dan dapat bercampur ketika dititrasi dengan KOH, Alkohol akan melarutkan asam lemak yang
bersifat asam agar dapat bereaksi dengan larutan KOH yang bersifat basa alkali sehingga terjadi
reaksi sesuai dengan prinsip titrasi asam-basa (Indah, 2013). hal ini juga diperkuat karena etanol
95 % merupakan pelarut lemak yang baik (Anonim, 2012). Fungsi pemanasan saat percobaan
adalah agar reaksi antara alkohol dan minyak tersebut bereaksi dengan cepat, sehingga pada saat
titrasi diharapkan alkohol (etanol) larut seutuhnya (Himka, 2011).
Setelah dipanaskan, larutan ditetesi dengan indikator PP(Phenolphtealin). Fenolftalein ini
merupakan bentuk asam lemah. Pada kasus ini, asam lemah tidak berwarna dan ion-nya
berwarna merah muda terang. Penambahan ion hidrogen berlebih menggeser posisi
kesetimbangan ke arah kiri dan mengubah indikator menjadi tak berwarna. Penambahan ion
hidroksida menghilangkan ion hidrogen dari kesetimbangan yang mengarah ke kanan untuk
menggantikannya sehingga, mengubah indikator menjadi merah muda. Pemberian tiga tetes
indikator PP pada penelitian ini adalah sebagai indikator pembuktian bahwa bahan tersebut
bersifat asam atau basa. Dipilihnya indikator PP karena merupakan titrasi asam lemah dengan
basa kuat yang memiliki titik akhir (TE) 8,72 dimana terjadi penambahan ion hidroksida dan
pengurangan ion hydrogen. Pada penelitian ini, pada saat titrasi asam lemak bebas terjadi reaksi
asam basa (alkalimetri) yang sering disebut dengan reaksi penetralan, sampel yang mengandung
asam lemak bebas ketika dititrasi menggunakan basa kuat akan menghasilkan garam bersifat
basa.

Sampel kemudian dititrasi dengan KOH, yang merupakan larutan basa yang digunakan
sebagai penambah ion hidroksida untuk mencapai keseimbangan. Titrasi dengan KOH, larutan
alkohol dan minyak yang telah ditetesi indikator PP berubah warna menjadi merah muda. Hal ini
membuktikan bahwa larutan tersebut bersifat basa dan asam lemak bebas yang terkandung pada
sampel minyak telah habis bereaksi dengan KOH membentuk garam. Sehingga dapat dihitung
kadar asam lemak bebas yang terkandung pada sampel minyak. Asam lemak bebas pada minyak
merupakan asam organik yang tergolong asam lemah.Asam organik dicirikan oleh adanya atom
hidrogen yang terpolarisasi positif. Terdapat dua macam asam organik, yang pertama adanya
atom hidrogen yang terikat dengan atom oksigen, seperti pada metil alkohol dan asam asetat.
Kedua, adanya atom hidrogen yang terikat pada atom karbon di mana atom karbon tersebut
berikatan langsung dengan gugus karbonil (C=O).
Gambar 2. Reaksi Titrasi Asam Lemak Bebas dengan KOH

Dalam pengukuran FFA dibutuhkan larutan blanko untuk sampel pembanding. Dengan
cara mengganti sampel minyak dengan akudes ditambah etanol dan indikator PP, kemudian
dititrasi dengan KOH . Reaksi yang terjadi pada Gambar 3

Gambar 3. Reaksi Etanol dan Akuades

Konduktometri

Pada percobaan penentuan FFA selain menggunakan metode manual dilakukan juga
percobaan dengan metode konvensional yaitu Konduktometri. Metode titrasi konduktometri
merupakan metode analisa kuantitatif yang didasarkan pada perbedaan harga konduktansi
masing-masing ion atau didasarkan pada hantaran (daya hantar) yang bergantung pada jenis dan
konsentrasi lain yang ada didalam larutan. Adapun titrasi dengan menggunakan konduktometri
bertujuan untuk menentukan titik ekuivalen berdasarkan data kurva antara konduktivitas
terhadap volume titran. Titrasi konduktometri merupakan metode untuk menganalisa larutan
berdasarkan kemampuan ion dalam menghantarkan muatan listrik di antara dua elektroda
melalui tindakan titrasi.

Pada metode konduktometri, sampel dititrasi secara bertahap dengan penambahan KOH
dan dicatat setiap konduktivitasnya. Sehingga dapat dibuat kurva konduktivitas terhadap volume
titran. Pada saat titrasi tersebut larutan dihomogenkan menggunakan strirer dengan tujuan agar
sampel mudah tercampur dan dapat mengoptimalkan kempuan daya hantar sehingga ionnya
dapat menyebar merata.Dari kurva terlihat pada penambahan volume KOH dari 0 ml sampai titik
akhir titrasi terlihat konduktivitas larutan semakin naik. Pada teori yang ada dari titik awal
sampai dengan titik akhir titrasi seharusnya nilai konduktovitas menurun, hal ini dikarenakan
pada volume tersebut terjadi reaksi antara H+ dengan OH- membentuk H2O, sehingga jumlah
H+ didalam larutan berkurang sedangkan jumlah KOH bertambah. Pada titik akhir titrasi, H+
dalam larutan telah bereaksi seluruhnya dengan OH-, sehingga jika penambahan KOH lebih
lanjut akan menaikkan harga konduktivitas total larutan karena terdapat penambahan OH- dari
KOH. Dari data yang diperoleh Kelompok 1 diperoleh volume KOH berkisar 0-2,5 dan
percobaan kelompok 2 diperoleh volume KOH berkisar 0-0,2 nilai konduktovitasnya adalah 0
dan naik menjadi 10 diduga pada titik inilah yang merupakan titik akhir titrasi dikarenakan nilai
konduktivitas yang berubah secara signifikan. Penentuan titik akhir titrasi dihitung dengan
perhitungan matematis yg disebut dengan menentukan titik ujung. Titik ujung ditentukan
menggunakan grafik turunan ke 2 karena grafik hasil turunan ke dua ditemukan dua puncak
terindikasi sebagai titik akhir titrasi sehingga akan lebih valid dengan adanya titik ujung yg bisa
ditentukan dan memperoleh titik akhir titrasi.

Pada kelompok pertama, %FFA pada metode konvensional tidak dapat dibandingkan
dengan metode konduktometri. Hal ini dikarenakan

Sedangkan, pada kelompok kedua hasil %FFA secara konvensional dan koduktometri
memiliki rentang waktu percobaan tidak terlalu jauh sehingga percobaan tersebut dapat
dibandingkan. Hasil titik ekuivalen pada percobaan konduktometri lebih kecil dibandingkan
dengan titik ekuivalen metode konvensional. Hal ini dapat dikarenakan oleh beberapa factor.
Perbedaan besar yang terjadi antara titik ekuivalen perhitungan dengan titik akhir titrasi serta
nilai kesalahan titrasi yang sangat tinggi, dapat diakibatkn oleh konduktivitas yang dapat terjadi
antara etanol itu sendiri ataupun dengan KOH. Pada etanol 96% apabila dilakukan pengukuran
memiliki nilai konduktivitas yang sangat kecil. Selain itu nilai konduktivitas KOH yang
dilarutkan dalam air, memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan KOH dalam etanol.
Hal ini dapat terjadi karena air lebih mudah berikatan dengan ion-ion senyawa KOH
dibandingkan dengan pelarut etanol. Karena daya ikat antara ion-ion bebas dengan pelarut akan
mempengaruhi mobilitas ion-ion dalam larutannya. KOH akan terionisasi sempurna
menghasilkan ion-ion bebas yang akan menghantarkan listrik, sedangkan KOH dalam pelarut
etanol tidak terionisasi sempurna sehingga nilai konduktivitas lebih kecil. Dalam proses
pencampuran atau titrasi antara larutan KOH dan larutan minyak yang mengandung etanol,
terjadi inetraksi antra air-etanol dan KOH. Molekul KOH mengalami disosiasi dan molekul-
molekul air akan membentuk interaksi dengan kation dan anion dari zat elektrolit ( KOH). Dari
uraian diatas maka dapat saja terjadi apabila saat titrasi KOH dengan minyak yang diasumsikan
mengandung asam lemak bebas maka pada saat KOH diteteskan kedalam titran (minyak dan
etanol) maka yang terukur nilai konduktivitasnya adalah nilai konduktivitas dari KOH dan
etanol, hal ini juga dapat terjadi karena konsentrasi dari asam lemak yang terdapat dalam sampel
sangat sedikit.

BILANGAN PEROKSIDA

Penentuan tingkat kerusakan minyak selanjutnya adalah bilangan peroksida. Dalam kimia
organik peroksida adalah suatu gugus fungsional dari sebuah molekul organik yang mengandung
ikatan tunggal oksigen-oksigen (R-O-O-R'). Jika salah satu dari R atau R' merupakan
atom hidrogen, maka senyawa itu disebut hidroperoksida (R-O-O-H).Radikal bebas HOO
disebut juga radikal hidroperoksida, yang dianggap terlibat dalam reaksi pembakaran
hidrokarbon di udara(Anonim, 2013).

Proses oksidasi lemak dan minyak pada prinsipnya merupakan proses yang terjadi
disekitar ikatan rangkap dalam molekul gliserida penyusun lemak atau minyak.
Dari reaksi ini akan menghasilkan asam lemak bebas, alkohol, aldehid dan keton yang
volatil dan menimbulkan bau tengik pada lemak (winarno, 1997: 107).

Pengukuran bilangan peroksida ditentukan dengan metode iodometri. Asam lemak yang
tidak jenuh mampu menyerap sejumlah iod dan membentuk senyawa yang jenuh. Besarnya
jumlah iod yang diserap menunjukkan benyaknya ikatan rangkap atau ikatan tidak
jenuh (Ketaren, 1986).

Penentuan angka peroksida pada kelomok dua dalam penelitian ini dengan cara sejumlah
minyak dilarutkan dalam campuran asam asetat yang bersifat polar: MC (metil klorida) yang
bersifat semi polar dengan perbandingan (3:2). Campuran keduanya adalah campuran pelarut
polar dan non polar yang melarutkan minyak goreng dan mengekstrak senyawa peroksida pada
minyak goreng. Penambahan HCl berfungsi untuk membuka cincin epoksi yang terbentuk karena
reaksi antara gugus peroksida dan ikatan ganda reaktif dari lipid peroksida. Reaksi ini kemudian
membentuk derifat gugus hidroksil, kemudian derifat ini dapat direaksikan dengan KI dan
dititrasi dengan alkali seperti contohnya natrium tiosulfat.
Namun pada kelompok pertama, tidak ditambahkan dengan HCl, hal ini dimungkinkan
karena pada sampel minyak kelompok 1 tidak mengalami reaksi oksidasi lebih lanjut yang
menghasilkan turunan epoksi. Mekanisme reaksinya ditulis dalam persamaan berikut:

Kemudian , sampel ditambahkan KI jenuh, yang berfungsi membebaskan iodin yang


ditandai dengan terbentuknya warna kuning pada sampel. Sampel tersebut dipanaskan dan
ditambahkan akuades, dengan tujuan agar larutan dapat larut dan tercampur merata mempercepat
terjadinya reaksi. Iodin yang dibebaskan dititrasi dengan natrium thiosulfat, dengan penambahan
indikator amilum sampai terbentuk warna biru, kemudian dititrasi lagi dengan natrium thiosulfat
sampai warna biru hilang. Terbentuknya warna biru setelah penambahan amilum,
mengidentifikasikan masih adanya iodin dalam larutan. Warna biru terbentuk, dikarenakan
struktur molekul amilum yang berbentuk spiral mengikat molekul iodin (Winarno, 2002).
Reaksi yag terjadi seperti pada

Titrasi dengan natrium thiosulfat digunakan untuk menentukan kadar peroksida dalam
minyak yaitu ditentukan dengan menghitung jumlah natrium thiosulfat yang bereaksi dengan I2
yang dibebaskan pada saat penambahan KI, dimana jumlah I2 yang bereaksi dengan natrium
thiosulfat sama dengan banyaknya ikatan peroksida dalam minyak yang diputus oleh KI yang
membentuk KOH dan I2.

Dari kedua data yang diperoleh dapat kita lihat bahwa hasil peroksida dari berbagai
sampel minyak terdapat hasil yang tidak sesuai dengan standar SNI 01-3741-2013 dimana
maksimum kadar peroksida adalah 10 mEkO2/kg, karena pada dasarnya pengukuran angka
peroksida adalah mengukur kadar peroksida dan hidroperoksida yang terbentuk pada tahap awal
reaksi oksidasi minyak. Bilangan peroksida yang tinggi mengindikasikan minyak sudah
mengalami oksidasi, namun pada angka yang lebih rendah bukan selalu berarti menunjukkan
kondisi oksidasi yang masih dini. Angka peroksida rendah bisa disebabkan laju pembentukan
peroksida baru lebih kecil dibandingkan dengan laju degradasinya menjadi senyawa lain,
mengingat kadar peroksida cepat mengalami degradasi dan bereaksi dengan zat lain (Raharjo,
2006).

Anda mungkin juga menyukai