Anda di halaman 1dari 5

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada

kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer,
2011). Cedera kepala merupakan trauma yang mengenai otak yang dapat mengakibatkan
perubahan fisik, intelktual, emosional, dan sosial. Trauma dari luar dapat mengakibatkan
terganggunya status kesadaran dan perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik dan
emosional (Judha & Rahil, 2011).

Menurut judha dan rahil (2011) otak merupakan pusat dari keseluruhan tubuh. Jika
otak sehat, maka akan mendorong kesehatan tubuh serta menunjang kesehatan mental.
Sebaliknya, apabila otak anda terganggu, maka kesehatan tubuh dan mental anda bisa ikut
terganggu.

Pada kondisi pasien Tn. B dengan CKS 225-335 terdapat kondisi agitasi. Agitasi
merupakan kondisi subtipe delirium, yang ditandai dengan kelebihan perilaku termasuk
agresi, akatisia, dan labilitas emosi (Rosenthal &Diane, 2013). Menurut Rosenthal &Diane
(2013) patologi yang mendasari agitasi tidak sepenuhnya dipahami penyebab kerusakan
pastinya melainkan terjadi karena multifaktorial seperti abnormalitas struktur dan kimia
serebral seperti kerusakan pada lobus frontal dan temporal, cedera pada korteks prefrontal,
cedera pada thalamus dan sistem limbik serta gangguan regulasi serotonin, norepinefrin, dan
dopamin.

Pada pasien bagus diketahui pasien mengalami CKS 225-335 yang dikategorikan
sebagai Cederas Kepala Sedang. Kerusakan otak pada cedera kepala dapat disebabkan karena
cedera kepala primer (akibat langsung) dan sekunder yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan,
edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan
perubahan neurokimiawi. Cedera kepala sedang dan berat memerlukan pemeriksaan CT scan
untuk membantu mengambil keputusan. CT Scan sangat bermanfaat untuk memantau
perkembangan pasien mulai dari awal trauma, pasca trauma, akan operasi, serta perawatan
pasca operasi sehingga perkembangan pasien senantiasa dapat dipantau. Hasil CT Scan
berhubungan dengan tanda gejala pada pasien cedera kepala. Dimana hal ini dapat
memperlihatkan pengaruh oleh efek buruk cedera kepala karena melalui mekanisme langsung
dan tidak langsung. Pengaruh secara langsung terjadi beberapa saat setelah trauma terjadi
sedangkan trauma secara tidak langsung merupakan cedera otak sekunder yang bisa terjadi
beberapa jam setelah kejadian bahkan beberapa hari setelah penderita terpapar trauma.
Cedera otak sekunder terjadi karena perubahan aliran darah ke otak dan juga terjadi
peningkatan tekanan intrakranial karena meningkatnya volume isi kepala. Kedua mekanisme
tersebut memperberat cedera otak yang sudah ada. Cedera otak bisa menimbulkan dampak
fisik, kognitif, emosi dan sosial. (Guerrero, J.L., Thurman, D.J., & Sniezek, J.E., (2010)
Berikut hasil gambaran CT-Scan pasien Bagus:

Hasil CT-scan kepala pada 25 Oktober 2018.


 Terdapat perdarahan epidural multiple regio frontal kiri volume ±9,5 cc, regio parietal
kiri volume ±28 cc
 Pneumocephalus regio frontoparietal kiri
 Edema cerebri
 Hematosinus pada sinus frontalis kanan kiri, sinus sphenoidalis kiri, sinus maxilaris
kanan
 Fraktur comminutive pada os. Frontoparietal kiri, fraktur dinding medial sinus
sphenoidalis kanan
 Hematome regio fascialis sisi kanan disertai vulnus appertum, subgaleal hematome regio
frontoparietal kiri

Terdapat perdarahan epidural pada region frontal kiri pada pasien Bagus sesuai
dengan teori dimana manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar ditandai
dengan perubahan GCS dan dengan bekas gejala (interval lucid) (Sudiharto, 2008).
Keadaan ini biasanya disusul oleh gangguan kesadaran progresif disertai kelainan neurologist
unilateral yang diikuti oleh timbulnya gejala neurologi yang secara progresif berupa pupil
anisokor maupun hemiparese. Ciri perdarahan epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai
lensa cembung dan hal ini sesuai pada yang ditemukan pada hasil CT Scan Bagus.
Dari gambaran hasil ct scan pasien diketahui terdapat kelainan intra kranial pada
region frontal kiri. Lobus frontal kiri adalah bagian depan serebrum kiri di otak, dan
mengendalikan emosi dan kepribadian. Sisi kiri bagian ini bertanggung jawab untuk
kemampuan bahasa, kemampuan pemecahan, kontrol impuls masalah, dan penilaian.

Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat terbentuk
garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya
merupakan pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-
tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain :
 Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign )
 Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )
 Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea) dan
 Parese nervus facialis ( N VII )

Pada pasien Bagus ditemukan gambaran ct scan fraktur comminutive pada os.
Frontoparietal kiri yang dimana ditemukan tanda klinis yang sesuai yaitu ottorhea pada
telinga kiri. Selain itu dengan hasil CT Scan yang tidak normal yang biasa ditemui dengan
pasien cera kepala sedang yang ditemui pada pasien Bagus ialah tanda seperti mual dan
muntah, kejang, perdarahan/keluar cairan dari telinga, nyeri kepala hebat, bingung dan
tingkah laku aneh, penglihatan dobel/gangguan visus, nadi yang terlalu cepat/terlalu pelan,
pola nafas yang abnormal.

Agitasi defensive yang dialami pasien Bagus juga dipengaruhi oleh gangguan pada
hipotalamus, periaqua ductal grey dan limbic structur (amigdala, hippocampus , septal area)
yang terganggu. Pada waktu dirawat di ruangan, pasien memperlihatkan perubahan ekstrem
dari tingkah laku emosionalnya. la menjadi agitasi, menggunakan bahasa yang kasar, marah
dan mengumpat pada perawat. Beberapa tanda dan gejala dalam pasien ini tak diragukan lagi
berasal dari hipotalamus. Berawal dari impuls yang berasal dan sistem otonom dapat
mencapai korteks orbitofrontalis melalui hipotalamus clan nukleus medial dorsal. Cetusan
emosional disertai oleh gangguan otonom (peningkatan tekanan darah sistemik, wajah merah,
pucat dan sebagainya); sebaliknya, gangguan otonom dapat menimbulkan ekspresi emosional
(psikosomatis).
Pada penelitian sebelumnya diketahui pada anak usia 14 tahun dengan agresi yang
memicu terjadinya perilaku pembunuhan ditemukan lesi pada systic lateral ke amygdala
kanan. Amigdala berfungsi dalam pengolahan informasi dan koordinasi perilaku emosional
dalam menanggapi stimulus sensorik. Selain itu, kesatuan rangsangan emosional yang terkait
dengan takut. Stimulasi percobaan dari bagian limbik amigdala yang memberikan striae
terminalis, menghasilkan ledakan emosional hebat. Reaksi seperti itu tidak terjadi jika
komponen lain dari sistem limbik dirangsang salah satunya dengan mekanisme cedera kepala
(Wells, 2007)

Hipotalamus sangat kecil, tetapi merupakan bagian yang sangat penting dari
diensefalon dalam mediasi dari kelenjar endokrin, fungsi autonomic dan perilaku. Fungsi
hipotalamus sendiri (1) mengontrol pengeluaran 8 hormon utama dari hipofisis, dan terlibat
dalam (2) peraturan suhu (3) mengontrol asupan makanan dan air, (4) perilaku seksual dan
reproduksi, (5) kontrol harian dalam siklus fisiologis dan perilaku, dan (6) mediasi tanggapan
dari emosional. Sehingga apabila pada bagian ini ditemui kelainan maka akan berpengaruh
pada perilaku yang dialami pasien. (Ono K, 2011)

Hubungan agitasi dengan cedera kepala- Cedera kepala yang dialami px dan tipe
agitasi yang dialaminya-gambaran agitasi yang dialami pasien
Tn. Bagus mengalami Cedera Kepala Sedang yang menimbulkan agitasi defensive.
Agitasi defensive merupakan sikap pertahanan diri dari gangguan yang bersifat actual, dapat
menyebabkan pendengaran, penglihatan dan pemikiran menjadi sempit. Hingga saat ini
belum ada penelitian yang menjelaskan mengenai perilaku agitasi defensive pada manusia,
namun sudah dilakukan penelitian pada kucing yang menunjukkan bahwa agresi defensive
dipengaruhi oleh gangguan pada hipotalamus, periaqua ductal grey dan limbic structur
(amigdala, hippocampus , septal area) yang terganggu.
Agitasi defensive dibagi menjadi tiga hal yang terdiri dari :
a. Terasa seperti
Dapat di artikan jika seseorang akan merasa seperti terjebak dalam masalah dan tidak bisa
mencari jalan keluar dari masalahnya. Ditandai dengan detak jantung yang cepat, nafas
menjadi cepat atau bahkan bisa menyebabkan sesak nafas, cemas, gelisah dan merasa
masalah tidak dapat dipecahkan.
b. Terlihat seperti
Seseorang akan terlihat memerlukan perlindungan pada setiap jarak namun disisi lain juga
terlihat cepat untuk berkerumun dengan orang lain. Selain itu, seseorang akan terlihat
seperti tidak mendengarkan serta tidak bisa duduk dengan tenang. Dapat ditandai dengan
mondar-mandir, terlihat gelisah, berkeringat, dan beberapa bagian tubuh berkedut.
c. Terdengar seperti
Seseorang yang mengalami agitasi defensive akan berbicara dengan cepat dan keras.
Ditandai dengan intonasi saat berbicara, volume suara serta ritme.

Dari tigal hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Tn. bagus mengalami agitasi
defensive yang ditandai dengan saat berbicara Tn. Bagus menggunakan bahasa yang kasar,
marah dan mengumpat pada perawat. Tn. Bagus terkadang terlihat gelisah, namun ada waktu
dimana juga terlihat tenang. Untuk dapat berkomunikasi dengan Tn. Bagus, maka diperlukan
Teknik Respon untuk Perilaku Defensif: Berkonsentrasi untuk menurunkan emosi. Agitasi
dapat atau akan meningkat menjadi perilaku agresif kecuali jika perawat tidak dapat
memahami cara untuk menanganinya. Perawat harus mencoba bekerja untuk melewati
shutdown sensorik (visual dan pendengaran) :
1. Pertahankan jarak yang nyaman dan gunakan bahasa tubuh dan nada suara untuk
mendapatkan perhatian.
2. Jelaskan perilaku saat ini dan bagaimana perilaku itu berbeda dari perilaku biasa atau
baseline.
3. Ajukan pertanyaan terbuka untuk mengumpulkan informasi, atau membuat pernyataan
yang membantu orang tersebut berpikir tentang perilaku mereka dan menghubungkan
pilihan mereka dengan konsekuensi.

Anda mungkin juga menyukai