Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya obstruksi
usus akut yang segera memerlukan pertolongan atau tindakan. Gangguan pasase
usus dapat disebabkan oleh obstruksi lumen usus yang disebut ileus obstruktif
atau oleh gangguan peristaltik yang selanjutnya disebut sebagai ileus paralitik.1
Merupakan kegawatan dalam bedah abdominalis yang sering dijumpai 60-
70% dari seluruh kasus akut abdomen yang bukan apendisitis akut. Ileus memiliki
mortalitas tinggi jika tidak segera didiagnosis dan ditangani dalam 24 jam.
Setiap tahunnya 1 dari 1000 penduduk dari segala usia didiagnosa ileus
(Davidson, 2006). Di Indonesia tercatat ada 7.059 kasus ileus paralitik dan
obstruktif tanpa hernia yang dirawat inap dan 7.024 pasien rawat jalan pada tahun
2004 (Departemen Kesehatan Indonesia).
Obstruksi usus halus menempati sekitar 20% dari seluruh pembedahan
darurat, dan mortalitas dan morbiditas sangat bergantung pada pengenalan awal
dan diagnosis yang tepat. Maingot melaporkan bahwa sekitar 70% penyebab dari
Ileus adalah perlekatan.
Ileus lebih sering terjadi pada obstruksi usus halus daripada usus besar.
Keduanya memiliki cara penanganan yang berbeda dengan tujuan yang berbeda
pula. Obstruksi usus halus yang dibiarkan dapat menyebabkan gangguan
vaskularisasi usus dan memicu iskemia, nekrosis, perforasi dan kematian,
sehingga penanganan obstruksi usus halus lebih ditujukan pada dekompresi dan
menghilangkan penyebab untuk mencegah kematian.
Obstruksi usus besar sering disebabkan oleh neoplasma atau kelainan
anatomic seperti volvulus, hernia inkarserata, striktur atau obstipasi. Penanganan
obstruksi kolon lebih kompleks karena masalahnya tidak bisa hilang dengan sekali
operasi saja. Terkadang cukup sulit untuk menentukan jenis operasi kolon karena
diperlukan diagnosis yang tepat tentang penyebab dan letak anatominya. Pada
kasus keganasan kolon, penanganan pasien tidak hanya berhenti setelah operasi
kolostomi, tetapi membutuhkan radiasi dan sitostatika lebih lanjut. Hal ini yang

1
menyebabkan manajemen obstruksi kolon begitu rumit dan kompleks daripada
obstruksi usus halus.
Dalam referat ini akan dibahas mengenai klasifikasi dan perbedaan dari
jenis-jenis ileus serta bagaimana mendiagnosis, pemeriksaan fisik dan
penatalaksanaan dari berbagai ileus tersebut.

2
BAB II
ANATOMI, HISTOLOGI, DAN FISIOLOGI USUS

2.1 Anatomi
Usus halus berbentuk tubuler, terbentang dari pylorum sampai caecum
dengan panjang sekitar 270 cm sampai 290 cm pada orang dewasa, yang terbagi
atas tiga segmen yaitu duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum, merupakan
segmen yang paling proksimal, terletak retroperitoneal berbatasan dengan kaput
dan batas inferior dari korpus pankreas. Panjangnya sekitar 25 cm, mulai dari
pylorus sampa jejunum. Doudenum dipisahkan dari gaster oleh adanya pylorus
dan dari jejunum oleh batas Ligamentum Treitz, yang berperan sebagai
ligamentum suspensorium. Kira-kira dua per lima dari sisa usus halus adalah
jejunum, dan tiga per lima bagian terminalnya adalah ileum. Jejunum dan ileum
terletak di intraperitoneal dan bertambat ke retroperitoneal melalui mesenterium.
Tak ada batas anatomi yang jelas untuk membedakan antara Jejunum dan Ileum;
40% panjang dari jejunoileal diyakini sebagai Jejunum dan 60% sisanya sebagai
Ileum. Ileum berbatasan dengan sekum di katup ileosekal (Whang et al., 2005).
Usus halus terdiri atas lipatan mukosa yang disebut plika sirkularis atau
valvula conniventes yang dapat terlihat dengan mata telanjang. Lipatan ini juga
terlihat secara radiografi dan membantu untuk membedakan antara usus halus dan
kolon. Lipatan ini akan terlihat lebih jelas pada bagian proksimal usus halus
daripada bagian distal. Hal lain yang juga dapat digunakan untuk membedakan
bagian proksimal dan distal usus halus ialah sirkumferensial yang lebih besar,
dinding yang lebih tebal, lemak mesenterial yang lebih sedikit dan vasa rekta yang
lebih panjang. Pemeriksaan makroskopis dari usus halus juga didapatkan adanya
folikel limfoid. Folikel tersebut, berlokasi di ileum, juga disebut sebagai Peyer
Patches. (Whang et al., 2005).

3
Gambar 2.1 Gambaran Usus Halus
(Sumber: Simatupang, 2010)

Usus besar terdapat diantara anus dan ujung terminal ileum. Usus besar
terdiri atas segmen awal (sekum), dan kolom asendens, transversum, desendens,
sigmoid, rectum dan anus. Sisa makanan dan yang tidak tercerna dan tidak
diabsorpsi di dalam usus halus didorong ke dalam usus besar oleh gerak peristaltik
kuat otot muskularis eksterna usus halus. Residu yang memasuki usus besar itu
berbentuk semi cair; saat mencapai bagian akhir usus besar, residu ini telah
menjadi semi solid sebagaimana feses umumnya. Meskipun terdapat di usus
halus, sel-sel goblet pada epitel usus besar jauh lebih banyak dibandingkan
dengan yang di usus halus. Sel goblet ini juga bertambah dari bagian sekum ke
kolon sigmoid. Usus besar tidak memiliki plika sirkularis maupun vili intestinales,
dan kelenjar usus/intestinal terletak lebih dalam daripada usus halus (Eroschenko,
2003).

4
Gambar 2.2 Sistem Saluran Pencernaan Manusia
(Sumber: Simatupang, 2010)

Suplai Vaskuler
Pada usus halus, A. Mesenterika Superior merupakan cabang dari Aorta
tepat dibawah A. Soeliaka. Arteri ini mendarahi seluruh usus halus kecuali
Duodenum yang sebagian atasnya diperdarahi oleh A. Pankreotikoduodenalis
Superior, suatu cabang dari A. Gastroduodenalis. Sedangkan separuh bawah
Duodenum diperdarahi oleh A. Pankreotikoduodenalis Inferior, suatu cabang A.
Mesenterika Superior. Pembuluh - pembuluh darah yang memperdarahi Jejunum
dan Ileum ini beranastomosis satu sama lain untuk membentuk serangkaian
arkade. Bagian Ileum yang terbawah juga diperdarahi oleh A. Ileocolica. Darah
dikembalikan lewat V. Messentericus Superior yang menyatu dengan V. lienalis
membentuk vena porta. (Price, 2003).
Pada usus besar, A. Mesenterika Superior memperdarahi belahan bagian
kanan (sekum, kolon ascendens, dan dua pertiga proksimal kolon transversum):
(1) ileokolika, (2) kolika dekstra, (3) kolika media, dan arteria mesenterika
inferior memperdarahi bagian kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon
descendens dan sigmoid, dan bagian proksimal rektum) : (1) kolika sinistra, (2)
sigmoidalis, (3) rektalis superior (Price, 1994) (Whang et al., 2005).

5
Pembuluh limfe
Pembuluh limfe duodenum mengikuti arteri dan mengalirkan cairan limfe:
1. Ke atas melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis ke nodi
lymphatici gastroduodenalis dan kemudian ke nodi lymphatici
coeliacus.
2. Ke bawah, melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis ke nodi
lyphatici mesentericus superior sekitar pangkal arteri mesenterica
superior.
Pembuluh limfe jejunum dan ileum berjalan melalui banyak nodi
lymphatici mesentericus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici mesentericus
suprior, yang terletak sekitar pangkal arteri mesentericus superior. Pembuluh limfe
sekum berjalan melewati banyak nodi lymphatici mesentericus dan akhirnya
mencapai nodi lymphatici msentericus superior. Pembuluh limfe untuk kolon
mengalirkan cairan limfe ke kelenjar limfe yang terletak di sepanjang perjalanan
arteri vena kolika. Untuk kolon ascendens dan dua pertiga dari kolon transversum
cairan limfenya akan masuk ke nodi limphatici mesentericus superior, sedangkan
yang berasal dari sepertiga distal kolon transversum dan kolon descendens akan
masuk ke nodi limphatici mesentericus inferior (Snell, 2004).

Persarafan
Saraf - saraf duodenum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis
(vagus) dari pleksus mesentericus superior dan pleksus coeliacus. Saraf untuk
jejunum dan ileum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (nervus vagus)
dari pleksus mesentericus superior (Snell, 2004). Rangsangan parasimpatis
merangasang aktivitas sekresi dan pergerakan, sedangkan rangsangan simpatis
menghambat pergerakan usus. Serabut - serabut sensorik sistem simpatis
menghantarkan nyeri, sedangkan serabut - serabut parasimpatis mengatur refleks
usus. Suplai saraf intrinsik, yang menimbulkan fungsi motorik, berjalan melalui
pleksus Auerbach yang terletak dalam lapisan muskularis, dan pleksus Meissner
di lapisan submukosa (Price, 2003).
Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan
pengecualian pada sfingter eksterna yang berada dibawah kontrol voluntar (Price,
2003). Sekum, appendiks dan kolon ascendens dipersarafi oleh serabut saraf

6
simpatis dan parasimpatis nervus vagus dari pleksus saraf mesentericus superior.
Pada kolon transversum dipersarafi oleh saraf simpatis nervus vagus dan saraf
parasimpatis nervus pelvikus. Serabut simpatis berjalan dari pleksus mesentericus
superior dan inferior. Serabut - serabut nervus vagus hanya mempersarafi dua
pertiga proksimal kolon transversum; sepertiga distal dipersarafi oleh saraf
parasimpatis nervus pelvikus. Sedangkan pada kolon descendens dipersarafi
serabut - serabut simpatis dari pleksus saraf mesentericus inferior dan saraf
parasimpatis nervus pelvikus (Snell, 2004). Perangsangan simpatis menyebabkan
penghambatan sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum,
sedangkan perangsangan parasimpatis mempunyai efek berlawanan. (Price, 2003).

2.2 Histologi
Lapisan usus halus dibagi kedalam empat lapisan:
 Tunica Serosa. Tunica serosa atau lapisan peritoneum, tak lengkap di atas
duodenum, hampir lengkap di dalam usus halus mesenterica, kekecualian
pada sebagian kecil, tempat lembaran visera dan mesenterica peritoneum
bersatu pada tepi usus.
 Tunica Muscularis. Dua selubung otot polos tak bergaris membentuk
tunica muscularis usus halus. Ia paling tebal di dalam duodenum dan
berkurang tebalnya ke arah distal. Lapisan luarnya stratum longitudinale
dan lapisan dalamnya stratum circulare. Yang terakhir membentuk massa
dinding usus. Plexus myentericus saraf (Auerbach) dan saluran limfe
terletak diantara kedua lapisan otot.
 Tela Submucosa. Tela submucosa terdiri dari jaringan ikat longgar yang
terletak diantara tunica muskularis dan lapisan tipis lamina muskularis
mukosa, yang terletak di bawah mukosa. Dalam ruangan ini berjalan
jalinan pembuluh darah halus dan pembuluh limfe. Di samping itu, di sini
ditemukan neuroplexus meissner.
 Tunica Mucosa. Tunica mucosa usus halus, kecuali pars superior
duodenum, tersusun dalam lipatan sirkular tumpang tindih yang
berinterdigitasi secara transversa. Masing-masing lipatan ini ditutup
dengan tonjolan, villi.

7
Usus halus ditandai oleh adanya tiga struktur yang sangat menambah luas
permukaan dan membantu fungsi absorpsi yang merupakan fungsi
utamanya:
 Lapisan mukosa dan submukosa membentuk lipatan-lipatan sirkular yang
dinamakan valvula koniventes (lipatan kerckringi) yang menonjol ke
dalam lumen sekitar 3 ampai 10 mm. Lipatan-lipatan ini nyata pada
duodenum dan jejenum dan menghilang dekat pertengahan ileum. Adanya
lipatan-lipatan ini menyerupai bulu pada radiogram.
 Vili merupakan tonjolan-tonjolan seperti jari-jari dari mukosa yang
jumlahnya sekitar 4 atau 5 juta dan terdapat di sepanjang usus halus. Villi
panjangnya 0,5 sampai 1 mm (dapat dilihat dengan mata telanjang) dan
menyebabkan gambaran mukosa menyerupai beludru.
 Mikrovili merupakan tonjolan menyerupai jari-jari dengan panjang sekitar
1 μ pada permukaan luar setiap villus. Mikrovilli terlihat dengan
mikroskop elektron dan tampak sebagai brush border pada mikroskop
cahaya.

Bila lapisan permukaan usus halus ini rata, maka luas permukaannya
hanyalah sekitar 2.00 cm². Valvula koniventes, vili dan mikrovili bersama-sama
menambah luas permukaan absorpsi sampai 2 juta cm², yaitu menigkat seribu kali
lipat (Price&Wilson, 2002).
Usus besar memiliki empat lapisan morfologik seperti juga bagian usus
lainnya. Akan tetapi, ada beberapa gambaran yang khas pada usus besar saja.
Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna, tetapi terkumpul dalam tiga
pita yang dinamakan taenia koli. Taenia bersatu pada sigmoid distal, dengan
demikian rektum mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang lengkap. Panjang
taenia lebih pendek daripada usus, hal ini menyebabkan usus tertarik dan berkerut
membentuk kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak dan melekat di
sepanjang taenia. Lapisan mukosa usus besar jauh lebih tebal daripada lapisan
mukosa usus halus dan tidak mengandung villi atau rugae. Kriptus lieberkūn
(kelenjar intestinal) terletak lebih dalam dan mempunyai lebih banyak sel goblet
daripada usus halus. (Price&Wilson, 2002).

8
2.3 Fisiologi
Usus halus mempunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan absorbsi
bahan–bahan nutrisi, air, elektrolit dan mineral. Proses pencernaan dimulai dalam
mulut dan lambung oleh kerja ptialin, asam klorida dan pepsin terhadap makanan
yang masuk. Proses dilanjutkan di dalam duodenum terutama oleh kerja enzim –
enzim pankreas yang menghidrolisis karbohidrat, lemak, dan protein menjadi zat
– zat yang lebih sederhana. Adanya bikarbonat dalam sekret pankreas membantu
menetralkan asam dan memberikan pH optimal untuk kerja enzim – enzim.
Sekresi empedu dari hati membantu proses pencernaan dengan mengemulsikan
lemak sehingga memberikan permukaan yang lebih luas bagi kerja lipase
pankreas.
Proses pencernaan disempurnakan oleh sejumlah enzim dalam getah usus
(sukus enterikus). Banyak di antara enzim – enzim ini terdapat pada brush border
vili dan mencernakan zat – zat makanan sambil diabsorbsi. Pergerakan segmental
usus halus akan mencampur zat –zat yang dimakan dengan sekret pankreas,
hepatobiliar dan sekresi usus dan pergerakan peristaltik mendorong isi dari salah
satu ujung ke ujung lainnya dengan kecepatan yang sesuai untuk absorbsi optimal
dan suplai kontinu isi lambung. Absorbsi adalah pemindahan hasil akhir
pencernaan karbohidrat, lemak dan protein melalui dinding usus ke sirkulasi darah
dan limfe untuk digunakan oleh sel – sel tubuh. Selain itu, air, elektrolit dan
vitamin juga diabsorbsi.
Pergerakan usus halus berfungsi agar proses digesti dan absorbsi bahan –
bahan makanan dapat berlangsung secara maksimal. Pergerakan usus halus terdiri
dari:
a. Pergerakan mencampur (mixing) atau pergerakan segmentasi yang
mencampur makanan dengan enzim – enzim pencernaan agar mudah
untuk dicerna dan diabsorbsi.
b. Pergerakan propulsif atau gerakan peristaltik yang mendorong makanan ke
arah usus besar.

Kontraksi usus halus disebabkan oleh aktifitas otot polos usus halus yang
terdiri dari 2 lapis yaitu lapisan otot longitudinal dan lapisan otot sirkuler. Otot
yang terutama berperan pada kontraksi segmentasi untuk mencampur makanan

9
adalah otot longitudinal. Bila bagian mengalami distensi oleh makanan, dinding
usus halus akan berkontraksi secara lokal. Tiap kontraksi ini melibatkan segmen
usus halus sekitar 1 – 4 cm. Pada saat satu segmen usus halus yang berkontraksi
mengalami relaksasi, segmen lainnya segera akan memulai kontraksi, demikian
seterusnya. Bila usus halus berelaksasi, makanan akan kembali ke posisinya
semula. Gerakan ini berulang terus sehingga makanan akan bercampur dengan
enzim pencernaan dan mengadakan hubungan dengan mukosa usus halus dan
selanjutnya terjadi absorbsi.
Kontraksi segmentasi berlangsung oleh karena adanya gelombang lambat
yang merupakan basic electric rhytm (BER) dari otot polos saluran cerna. Proses
kontraksi segmentasi berlangsung 8 sampai 12 kali/menit pada duodenum dan
sekitar 7 kali/menit pada ileum. Gerakan peristaltik pada usus halus mendorong
makanan menuju ke arah kolon dengan kecepatan 0,5 sampai 2 cm/detik, dimana
pada bagian proksimal lebih cepat daripada bagian distal. Gerakan peristaltik ini
sangat lemah dan biasanya menghilang setelah berlangsung sekitar 3 sampai 5 cm.
Pengaturan frekuensi dan kekuatan gerakan segmentasi terutama diatur
oleh adanya gelombang lambat yang menghasilkan potensial aksi yang
disebabkan oleh adanya sel – sel pace maker yang terdapat pada dinding usus
halus, dimana aktifitas dari sel – sel ini dipengaruhi oleh sistem saraf dan
hormonal.
Aktifitas gerakan peristaltik akan meningkat setelah makan. Hal ini
sebagian besar disebabkan oleh masuknya makanan ke duodenum sehingga
menimbulkan refleks peristaltik yang akan menyebar ke dinding usus halus.
Selain itu, hormon gastrin, CCK, serotonin, dan insulin juga meningkatkan
pergerakan usus halus. Sebaliknya sekretin dan glukagon menghambat pergerakan
usus halus.
Setelah mencapai katup ileocaecal, makanan kadang – kadang terhambat
selama beberapa jam sampai seseorang makan lagi. Pada saat tersebut, refleks
gastrileal meningkatkan aktifitas peristaltik dan mendorong makanan melewati
katup ileocaecal menuju ke kolon. Makanan yang menetap untuk beberapa lama
pada daerah ileum oleh adanya sfingter ileocaecal berfungsi agar makanan dapat

10
diabsorbsi pada daerah ini. Katup ileocaecal berfungsi untuk mencegah makanan
kembali dari caecum masuk ke ileum.
Fungsi sfingter ileocaecal diatur oleh mekanisme umpan balik. Bila
tekanan di dalam caecum meningkat sehingga terjadi dilatasi, maka kontraksi
sfingter ileocaecal akan meningkat dan gerakan peristaltik ileum akan berkurang
sehingga memperlambat pengosongan ileum. Bila terjadi peradangan pada
caecum atau pada appendiks maka sfingter ileocaecal akan mengalami spasme,
dan ileum akan mengalami paralisis sehingga pengosongan ileum sangat
terhambat.

BAB III
ILEUS OBSTRUKSI

3.1 Definisi

11
Ileus obstruktif merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi
karena adanya daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi dinding usus
sehingga menyebabkan penyempitan/penyumbatan lumen usus. Hal tersebut
menyebabkan pasase lumen usus terganggu.
Obstruksi intestinal secara umum didefinisikan sebagai kegagalan isi
intestinal untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke anus. Obstruksi intestinal
ini merujuk pada adanya sumbatan mekanik atau nonmekanik parsial atau total
dari usus besar dan usus halus.

3.2 Etiologi
a. Penyempitan lumen usus
 Isi Lumen: Benda asing, skibala, ascariasis.
 Dinding Usus: Stenosis (radang kronik), keganasan.
 Ekstra lumen: Tumor intraabdomen.
b. Adhesi
c. Invaginasi
d. Volvulus
e. Malformasi Usus

12
Gambar 3.1 Penyebab ileus obstruktif
(Sumber: Simatupang, 2010)

Penyebab terjadinya ileus obstruktif beragam jumlahnya berdasarkan umur


dan tempat terjadinya obstruksi. Adhesi post operatif merupakan penyebab utama
dari terjadinya obstruksi usus halus. Pada pasien yang tidak pernah dilakukan
operasi laparotomi sebelumnya, adhesi karena inflamasi dan berbagai hal yang
berkaitan dengan kasus ginekologi harus dipikirkan. Adhesi, hernia, dan
malignansi merupakan 80 % penyebab dari kasus ileus obstruktif. Pada anak-
anak, hanya 10 % obstruksi yang disebabkan oleh adhesi; intususepsi merupakan
penyebab tersering dari ileus obstruktif yang terjadi pada anak-anak. Volvulus dan
intususepsi merupakan 30 % kasus komplikasi dari kehamilan dan kelahiran.
Kanker harus dipikirkan bila ileus obstruktif ini terjadi pada orang tua. Metastasis
dari genitourinaria, kolon, pankreas, dan karsinoma gaster menyebabkan obstruksi
lebih sering daripada tumor primer di intestinal. Malignansi, divertikel, dan
volvulus merupakan penyebab tersering terjadinya obstruksi kolon, dengan
karsinoma kolorektal. (Thompson, 2005).

LOKASI PENYEBAB

Tumor (umumnya di kolon kiri),


divertikulitis (umumnya di kolon
KOLON
sigmoid), volvulus di sigmoid atau
caecum, fekalit, penyakit Hirschprung.

DUODENUM

Kanker di duodenum atau kanker


Dewasa
kepala pancreas, ulkus.

13
Neonatus Atresia, volvulus, adhesi.

JEJUNUM DAN ILEUM

Hernia, adhesi (paling sering), tumor,


benda asing di vertikulum Meckel,
Dewasa penyakit Crohn (jarang), ascariasis,
volvulus, intususepsi karena tumor
(jarang).
Ileus meconium, volvulus, atresia,
Neonatus
intususepsi.

Tabel 1. Penyebab Ileus Obstruksi


(Sumber: Amari, 2007)

3.3 Patofisiologi
Respon Usus Halus Terhadap Obstruksi
Normalnya, sekitar 2 L asupan cairan dan 8 L sekresi dari gaster, intestinal
dan pankreaticobilier ditansfer ke intestinal setiap harinya. Meskipun aliran cairan
menuju ke intestinal bagian proksimal, sebagian besar cairan ini akan diabsorbsi
di intestinal bagian distal dan kolon. Ileus obstruktif terjadi akibat akumulasi
cairan intestinal di proksimal daerah obstruksi disebabkan karena adanya
gangguan mekanisme absorbsi normal proksimal daerah obstruksi serta kegagalan
isi lumen untuk mencapai daerah distal dari obstruksi.
Akumulasi cairan intralumen proksimal daerah obstruksi terjadi dalam
beberapa jam dan akibat beberapa faktor. Asupan cairan dan sekresi lumen yang
terus bertambah terkumpul dalam intestinal. Aliran darah meningkat ke daerah

14
intestinal segera setelah terjadinya obstruksi, terutama di daerah proksimal lesi,
yang akhirnya akan meningkatkan sekresi intestinal. Hal ini bertujuan untuk
menurunkan kepekaan vasa splanknik pada daerah obstruksi terhadap mediator
vasoaktif. Pengguyuran cairan intravena juga meningkatkan volume cairan
intralumen. Sekresi cairan ke dalam lumen terjadi karena kerusakan mekanisme
absorpsi dan sekresi normal. Distensi lumen menyebabkan terjadinya kongestif
vena, edema intralumen, dan iskemia.
Gas intestinal juga mengalami akumulasi saat terjadinya ileus obstruktif.
Sebagian kecil dihasilkan melalui netralisasi bikarbonat atau dari metabolisme
bakteri. Gas di Intestinal terdiri atas Nitrogen (70%), Oksigen (12%), dan Karbon
Dioksida (8%), yang komposisinya mirip dengan udara bebas. Hanya karbon
dioksida yang memiliki cukup tekanan parsial untuk berdifusi dari lumen.
Intestinal, normalnya, berusaha untuk membebaskan obstruksi mekanik
dengan cara meningkatkan peristaltik. Periode yang terjadi ialah berturut-turut:
terjadinya hiperperistaltik, intermittent quiescent interval, dan pada tingkat akhir
terjadi ileus. Bagian distal obstruksi segera menjadi kurang aktif. Obstruksi
mekanik yang berkepanjangan menyebabkan penurunan dari frekuensi gelombang
- lambat dan kerusakan aktivitas gelombang spike, namun intestinal masih
memberikan respon terhadap rangsangan. Ileus dapat terus menetap bahkan
setelah obstruksi mekanik terbebaskan.
Tekanan intralumen meningkat sekitar 20 cmH2O, sehingga menyebabkan
aliran cairan dari lumen ke pembuluh darah berkurang dan sebaliknya aliran dari
pembuluh darah ke lumen meningkat. Perubahan yang serupa juga terjadi pada
absorbsi dan sekresi dari Natrium dan Khlorida. Namun, peningkatan tekanan
intralumen tidak selalu terjadi dan mungkin terdapat mekanisme lain yang
menyebabkan perubahan pada mekanisme sekresi. Peningkatan sekresi juga
dipengarui oleh hormon gastrointestinal, seperti peningkatan sirkulasi vasoaktif
intestinal polipeptida, prostaglandin, atau endotoksin.
Peningkatan volume intralumen menyebabkan terjadinya distensi intestinal
di bagian proksimal obstruksi, yang bermanifestasi pada mual dan muntah. Proses
obstruksi yang berlanjut, kerusakan progresif dari proses absorbsi dan sekresi
semakin ke proksimal. Selanjutnya, obstruksi mekanik ini mengarah pada

15
peningkatan defisit cairan intravaskular yang disebabkan oleh terjadinya muntah,
akumulasi cairan intralumen, edema intramural, dan transudasi cairan
intraperitoneal. Pemasangan nasogastric tube malah memperparah terjadinya
defisit cairan melalui external loss. Hipokalemia, hipokhloremia, alkalosis
metabolik merupakan komplikasi yang sering dari obstruksi letak tinggi.
Hipovolemia yang tak dikoreksi dapat mengakibatkan terjadinya insufisiensi
renal, syok, dan kematian.
Stagnasi isi intestinal dapat memfasilitasi terjadinya proliferasi bakteri.
Bakteri Aerob dan Anaerob berkembang pada daerah obstruksi. Koloni berlebihan
dari bakteri dapat merangsang absorbtif dan fungsi motorik dari intestinal dan
menyebabkan terjadinya translokasi bakteri dan komplikasi sepsis.

16
Gambar 2. Patofisiologi Ileus Obstruktif
(Sumber: Simatupang, 2010)
Strangulasi
Obstruksi strangulasi adalah hilangnya aliran darah di segmen obtruksi
dari intestinal. Hal ini dapat terjadi karena adanya penekanan langsung dari vasa
mesenteric atau sebagai akibat perubahan lokal pada dinding intestinal.
Komplikasi ini sering berhubungan dengan obstruksi yang disebabkan oleh hernia
dan volvulus. Obstruksi strangulasi pada kolon paling sering disebabkan oleh
volvulus.
Iskemia intramural dapat terjadi karena berbagai sebab. Distensi dan
peningkatan tekanan pada intramural dapat menyebabkan kongesti dari vena,
kebocoran kapiler, edema dinding usus besar dan perdarahan serta thrombosis dari
arteri dan vena. Peningkatan pertumbuhan bakteri terjadi dalam beberapa jam
setelah strangulasi. Hal ini menyebabkan produksi toksin intralumen dan dapat
merangsang pelepasan mediator vasoaktif seperti prostaglandin. Mukosa dari
intestinal lebih peka terhadap iskemia dan beberapa faktor tampaknya memainkan
peranan penting untuk mendukung terjadinya iskemia, termasuk hipoksia,
protease pankreas dan radikal bebas. Mukosa pada intestinal lebih peka terhadap
terjadinya iskemia dibandingkan mukosa pada kolon. Saat terjadi nekrosis
mukosa, bakteri dan toksin dapat dengan segera berpindah tempat dari dinding
intestinal menuju ke cavum peritoneal, limfe pada mesenterikum, dan sirkulasi
sistemik. Hal ini menggiring pada terjadinya iskemia, sepsis, perforasi frank yang
dapat disertai dengan peritonitis dan kematian akibat syok sepsis. Gut iskemia dan
terjadinya reperfusion juga mendukung terjadinya gagal organ, seperti paru.

17
Simple Strangulata

Nyeri Abdomen Kolik Menetap

Muntah + +

Distensi Abdomen + +

Obstipasi + +

Peristaltik + / Meningkat + / Menurun

Leukosit N / naik Naik

KU memburuk Lambat Cepat

Tabel 2. Perbedaan ileus obstruktif simple dan strangulate


(Sumber : Bickle dan Kelly, 2002)

Obstruksi Gelung Tertutup


Terjadi saat obstruksi terdapat di dua tempat. Volvulus merupakan sebab
yang paling sering dan dapat juga menyebabkan terjadinya perputaran
mesenterium. Obstruksi di bagian distal dari usus besar juga dapat menyebabkan
terjadinya closed loop obstruction jika katup ileocekal masih tersisa. Saat tekanan
intralumen di segmen obstruksi meningkat, sekresi cairan ke dalam lumen
meningkat sementara absorbsinya menurun. Kepentingan klinis yang mungkin
terjadi akibat fenomena ini ialah meningkatnya resiko kejadian strangulasi.
Distensi pada obstruksi gelung tertutup terjadi sangat cepat sehingga biasanya
strangulasi terjadi lebih dahulu bahkan sebelum gejala klinis dari obstruksi
tampak jelas.

18
Obstruksi Parsial Intestinal
Pada obstruksi parsial, lumen tak sepenuhnya tersumbat. Adhesi
merupakan penyebab tersering dari gangguan ini dan jarang sekali mengakibatkan
terjadinya strangulasi. Obstruksi parsial kronis dapat menyebabkan terjadinya
penebalan dinding intestinal akibat hipertrofi otot. Perpanjangan waktu kontraksi
dan peningkatan kelompok kontraksi merupakan karakteristik yang dapat
ditemukan. Kelainan motoris ini dan kemungkinan berhubungan dengan
pertumbuhan bakteri dapat menyebabkan terjadinya malabsorbsi, distensi dan
diare sekretorik.

Obstruksi kolon
Patofisiologi terjadinya obstruksi pada kolon berbeda dengan intestinal.
Kolon khususnya yang bagian distal memiliki kemampuan yang terbatas pada
absorbsi. Akumulasi Cairan dan gas di kolon terjadi lebih lambat karena posisinya
yang berada paling distal dari saluran pencernaan dan karena sebagian besar
cairan telah diabsorbsi di usus halus. Distensi yang terjadi secara perlahan ini
memungkinkan kolon untuk beradaptasi dan dekompresi dapat terjadi karena
katup ileocecal yang inkompeten. Seperti disebutkan sebelumnya, katup ileocecal
yang kompeten dapat menyebabkan terjadinya closed loop obstruction. Dilatasi
cecal dan penipisan dinding cecum akibat penambahan diameter dapat
meningkatkan resiko terjadinya rupture. Rupture dapat disebabkan oleh iskemia
yang terjadi pada dinding kolon, diastasis dari lapisan otot, ataupun karena invasi
bakteri di dinding kolon. Obstruksi kolon berakibat pada motilitas abnormal
namun tidak hiperperistaltik.

Usus Halus Usus Besar

Nyeri Abdomen +++ +

Muntah +++ +

Muntah Feculen - ++

19
Distensi Abdomen + +++

Dehidrasi Cepat Lambat

Tabel 3. Perbedaan ileus obstruktif usus halus dan usus besar


(Sumber : Bickle dan Kelly, 2002)

3.4 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya ileus obstruktif dibedakan menjadi tiga
kelompok (Yates, 2004):
a. Lesi-lesi intraluminal, misalnya fekalit, benda asing, bezoar, batu empedu.
b. Lesi-lesi intramural, misalnya malignansi atau inflamasi.
c. Lesi-lesi ekstramural, misalnya adhesi, hernia, volvulus atau intususepsi.
Berdasarkan Lokasi Obstruksi:
a. Letak Tinggi : Duodenum-Jejunum
b. Letak Tengah : Ileum Terminal
c. Letak Rendah : Colon-Sigmoid-rectum

Ileus obstruktif dibagi lagi menjadi tiga jenis dasar (Sjamsuhidajat & Jong,
2005):
1. Ileus obstruktif sederhana, dimana obstruksi tidak disertai dengan
terjepitnya pembuluh darah.
2. Ileus obstruktif strangulasi, dimana obstruksi yang disertai adanya
penjepitan pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir
dengan nekrosis atau gangren yang ditandai dengan gejala umum berat
yang disebabkan oleh toksin dari jaringan gangren.
3. Ileus obstruktif jenis gelung tertutup, dimana terjadi bila jalan masuk dan
keluar suatu gelung usus tersumbat, dimana paling sedikit terdapat dua
tempat obstruksi.

Untuk keperluan klinis dan berdasarkan letak sumbatan, ileus obstruktif


dibagi dua (Ullah et al., 2009):

20
1. Ileus obstruktif usus halus, yaitu obstruksi letak tinggi dimana mengenai
duodenum, jejunum dan ileum
2. Ileus obstruktif usus besar, yaitu obstruksi letak rendah yang mengenai
kolon, sigmoid dan rectum.

3.5 Manifestasi Klinis


Terdapat 4 tanda kardinal gejala ileus obstruktif:
1. Nyeri abdomen
2. Muntah
3. Distensi
4. Kegagalan buang air besar atau gas (konstipasi)

Gejala ileus obstruktif tersebut bervariasi tergantung kepada:


1. Lokasi obstruksi
2. Lamanya obstruksi
3. Penyebabnya
4. Ada atau tidaknya iskemia usus (Ullah et al., 2009)
Gejala utama dari obstruksi ialah nyeri kolik, mual dan muntah dan
obstipasi. Adanya flatus atau feses selama 6-12 jam setelah gejala merupakan ciri
khas dari obstruksi parsial. Nyeri kram abdomen bisa merupakan gejala penyerta
yang berhubungan dengan hipermotilitas intestinal proksimal daerah obstruksi.
Nyerinya menyebar dan jarang terlokalisir, namun sering dikeluhkan nyeri pada
bagian tengah abdomen. Saat peristaltik menjadi intermiten, nyeri kolik juga
menyertai. Saat nyeri menetap dan terus menerus kita harus mencurigai telah
terjadi strangulasi dan infark. (Whang et al., 2005).
Tanda-tanda obstruksi usus halus juga termasuk distensi abdomen yang
akan sangat terlihat pada obstruksi usus halus bagian distal ileum, atau distensi
bisa tak terjadi bila obstruksi terjadi di bagian proksimal usus halus, dan
peningkatan bising usus. Hasil laboratorium terlihat penurunan volume
intravaskuler, adanya hemokonsentrasi dan abnormalitas elektrolit. Mungkin
didapatkan leukositosis ringan.

21
Muntah terjadi setelah terjadi obstruksi lumen intestinal dan menjadi lebih
sering saat telah terjadi akumulasi cairan di lumen intestinal. Derajat muntah
linear dengan tingkat obstruksi, menjadi tanda yang lebih sering ditemukan pada
obstruksi letak tinggi. Obstruksi letak tinggi juga ditandai dengan bilios vomiting
dan letak rendah muntah lebih bersifat malodorus. (Thompson, 2005).
Kegagalan untuk defekasi dan flatus merupakan tanda yang penting untuk
membedakan terjadinya obstruksi komplit atau parsial. Defekasi masih terjadi
pada obstruksi letak tinggi karena perjalan isi lumen di bawah daerah obstruksi.
Diare yang terus menerus dapat juga menjadi tanda adanya obstruksi partial.
Tanda-tanda pada pemeriksaan fisik dapat saja normal pada awalnya,
namun distensi akan segera terjadi, terutama pada obstruksi letak rendah. Tanda
awal yang muncul ialah penderita segera mengalami dehidrasi. Massa yang teraba
dapat di diagnosis banding dengan keganasan, abses, ataupun strangulasi.
Auskultasi digunakan untuk membedakan pasien menjadi tiga kategori: loud, high
pitch dengan burst ataupun rushes yang merupakan tanda awal terjadinya
obstruksi mekanik. Saat bising usus tak terdengar dapat diartikan bahwa obstruksi
telah berlangsung lama, ileus paralitik atau terjadinya infark. Seiring waktu,
dehidrasi menjadi lebih berat dan tanda-tanda strangulasi mulai tampak.
Pemeriksaan lipat paha untuk mengetahui adanya hernia serta rectal toucher untuk
mengetahui adanya darah atau massa di rectum harus selalu dilakukan.
Tanda-tanda terjadinya strangulasi seperi nyeri terus menerus, demam,
takikardia, dan nyeri tekan bisa tak terdeteksi pada 10-15% pasien sehingga
menyebabkan diagnosis strangulasi menjadi sulit untuk ditegakkan. Pada
obstruksi karena strangulasi bisa terdapat takikardia, nyeri tekan lokal, demam,
leukositosis dan asidosis. Level serum dari amylase, lipase, lactate dehidrogenase,
fosfat, dan potassium mungkin meningkat. Penting dicatat bahwa parameter ini
tak dapat digunakan untuk membedakan antara obstruksi sederhana dan
strangulasi sebelum terjadinya iskemia irreversible.

3.6 Diagnosis
Diagnosis ileus obstruktif tidak sulit; salah satu yang hampir selalu harus
ditegakkan atas dasar klinik dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik,

22
kepercayaan atas pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan laboraorium harus
dilihat sebagai konfirmasi dan bukan menunda mulainya terapi yang segera.
Diagnosa ileus obstruktif diperoleh dari:

1. Anamnesis
Pada anamnesis ileus obstruktif usus halus biasanya sering dapat
ditemukan penyebabnya, misalnya berupa adhesi dalam perut karena pernah
dioperasi sebelumnya atau terdapat hernia (Sjamsuhudajat & Jong, 2004). Pada
ileus obstruktif usus halus kolik dirasakan di sekitar umbilkus, sedangkan pada
ileus obstruktif usus besar kolik dirasakan di sekitar suprapubik. Muntah pada
ileus obstruktif usus halus berwarna kehijaun dan pada ileus obstruktif usus besar
onset muntah lama.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Dapat ditemukan tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang mencakup
kehilangan turgor kulit maupun mulut dan lidah kering. Pada abdomen harus
dilihat adanya distensi, parut abdomen, hernia dan massa abdomen. Inspeksi pada
penderita yang kurus/sedang juga dapat ditemukan “darm contour” (gambaran
kontur usus) maupun “darm steifung” (gambaran gerakan usus), biasanya nampak
jelas pada saat penderita mendapat serangan kolik yang disertai mual dan muntah
dan juga pada ileus obstruksi yang berat. Penderita tampak gelisah dan menggeliat
sewaktu serangan kolik.

23
Gambar 3. Gerakan Peristaltik Usus
(Sumber: Faradilla, 2009)
b. Palpasi dan perkusi
Pada palpasi didapatkan distensi abdomen dan perkusi Hipertympani yang
menandakan adanya obstruksi. Palpasi bertujuan mencari adanya tanda iritasi
peritoneum apapun atau nyeri tekan, yang mencakup ‘defance muscular’
involunter atau rebound dan pembengkakan atau massa yang abnormal.

c. Auskultasi
Pada ileus obstruktif pada auskultasi terdengar kehadiran episodik
gemerincing logam bernada tinggi dan gelora (rush’) diantara masa tenang. Tetapi
setelah beberapa hari dalam perjalanan penyakit dan usus di atas telah berdilatasi,
maka aktivitas peristaltik (sehingga juga bising usus) bisa tidak ada atau menurun
parah. Tidak adanya nyeri usus bisa juga ditemukan dalam ileus paralitikus atau
ileus obstruktif strangulata.
Bagian akhir yang diharuskan dari pemeriksaan adalah pemeriksaan
rectum dan pelvis. Pada pemeriksaan colok dubur akan didapatkan tonus sfingter
ani biasanya cukup namun ampula recti sering ditemukan kolaps terutama apabila
telah terjadi perforasi akibat obstruksi. Mukosa rectum dapat ditemukan licin dan
apabila penyebab obstruksi merupakan massa atau tumor pada bagian anorectum
maka akan teraba benjolan yang harus kita nilai ukuran, jumlah, permukaan,
konsistensi, serta jaraknya dari anus dan perkiraan diameter lumen yang dapat
dilewati oleh jari. Nyeri tekan dapat ditemukan pada lokal maupun general

24
misalnya pada keadaan peritonitis. Kita juga menilai ada tidaknya feses di dalam
kubah rektum. Pada ileus obstruktif usus feses tidak teraba pada colok dubur dan
tidak dapat ditemukan pada sarung tangan. Pada sarung tangan dapat ditemukan
darah apabila penyebab ileus obstruktif adalah lesi intrinsik di dalam usus
(Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Diagnosis harus terfokus pada membedakan antara obtruksi mekanik
dengan ileus; menentukan etiologi dari obstruksi; membedakan antara obstruksi
parsial atau komplit dan membedakan obstruksi sederhana dengan strangulasi. Hal
penting yang harus diketahui saat anamnesis adalah riwayat operasi abdomen
(curiga akan adanya adhesi) dan adanya kelainan abdomen lainnya (karsinoma
intraabdomen atau sindroma iritasi usus) yang dapat membantu kita menentukan
etiologi terjadinya obstruksi. Pemeriksaan yang teliti untuk hernia harus
dilakukan. Feses juga harus diperiksa untuk melihat adanya darah atau tidak,
kehadiran darah menuntun kita ke arah strangulasi.

3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada pasien yang diduga mengalami obstruksi
intestinal terutama ialah darah lengkap dan elektrolit, Blood Urea Nitrogen,
kreatinin dan serum amylase. Obstruksi intestinal yang sederhana tidak akan
menyebabkan perubahan pada hasil laboratorium jadi pemeriksaan ini tak akan
banyak membantu untuk diagnosis obsruksi intestinal yang sederhana.
Pemeriksaan elektrolit dan tes fungsi ginjal dapat mendeteksi adanya hipokalemia,
hipokhloremia dan azotemia pada 50% pasien.

4. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos abdomen (foto posisi supine, posisi tegak abdomen atau posisi
dekubitus) dan posisi tegak thoraks
Temuan spesifik untuk obstruksi usus halus ialah dilatasi usus halus
(diameter > 3 cm), adanya air-fluid level pada posisi foto abdomen tegak, dan
kurangnya gambaran udara di kolon. Sensitifitas foto abdomen untuk mendeteksi

25
adanya obstruksi usus halus mencapai 70-80% namun spesifisitasnya rendah.
Pada foto abdomen dapat ditemukan beberapa gambaran, antara lain:
1) Distensi usus bagian proksimal obstruksi
2) Kolaps pada usus bagian distal obstruksi
3) Posisi tegak atau dekubitus: Air-fluid levels
4) Posisi supine dapat ditemukan:
a) distensi usus
b) step-ladder sign
5) String of pearls sign, gambaran beberapa kantung gas kecil yang
berderet
6) Coffee-bean sign, gambaran gelung usus yang distensi dan terisi udara
dan gelung usus yang berbentuk U yang dibedakan dari dinding usus
yang oedem.
7) Pseudotumor Sign, gelung usus terisi oleh cairan. (Moses, 2008)

Ileus paralitik dan obstruksi kolon dapat memberikan gambaran serupa


dengan obstruksi usus halus. Temuan negatif palsu dapat ditemukan pada
pemeriksaan radiologis ketika letak obstruksi berada di proksimal usus halus dan
ketika lumen usus dipenuhi oleh cairan saja dengan tidak ada udara. Dengan
demikian menghalangi tampaknya air-fluid level atau distensi usus. Keadaan
selanjutnya berhubungan dengan obstruksi gelung tertutup. Meskipun terdapat
kekurangan tersebut, foto abdomen tetap merupakan pemeriksaan yang penting
pada pasien dengan obstruksi usus halus karena kegunaannya yang luas namun
memakan biaya yang sedikit.

26
Gambar 4. Dilatasi usus
(Sumber: Nobie, 2009)

Gambar 5. Multipel air fluid level dan “string of pearls” sign


(Sumber: Nobie, 2009)

27
Gambar 6. Herring bone appearance
(Sumber: Nobie,2009)

Gambar 7. Coffee bean appearance


(Sumber: Bickle dan Kelly, 2002)

28
Gambar 8. Step ledder sign
(Sumber: Nobie, 2009)

b. Enteroclysis
Enteroclysis berfungsi untuk mendeteksi adanya obstruksi dan juga untuk
membedakan obstruksi parsial dan total. Cara ini berguna jika pada foto polos
abdomen memperlihatkan gambaran normal namun dengan klinis menunjukkan
adanya obstruksi atau jika penemuan foto polos abdomen tidak spesifik. Pada
pemeriksaan ini juga dapat membedakan adhesi oleh karena metastase, tumor
rekuren dan kerusakan akibat radiasi. Enteroclysis memberikan nilai prediksi
negative yang tinggi dan dapat dilakukan dengan dua kontras. Barium merupakan
kontras yang sering digunakan. Barium sangat berguna dan aman untuk
mendiagnosa obstruksi dimana tidak terjadi iskemia usus maupun perforasi.
Namun, penggunaan barium berhubungan dengan terjadinya peritonitis dan
penggunaannya harus dihindari bila dicurigai terjadi perforasi. (Nobie, 2009)

29
Gambar 9. Intususepsi (coiled-spring appearance)
(Sumber: Khan,2009)
c. CT-Scan
CT-Scan berfungsi untuk menentukan diagnosa dini atau obstruksi
strangulate dan menyingkirkan penyebab akut abdomen lain terutama jika klinis
dan temuan radiologis lain tidak jelas. CT-scan juga dapat membedakan penyebab
obstruksi intestinal, seperti adhesi, hernia karena penyebab ekstrinsik dari
neoplasma dan penyakit Chron karena penyebab intrinsik. Obstruksi ditandai
dengan diametes usus halus sekitar 2,5 cm pada bagian proksimal menjadi bagian
yang kolaps dengan diameter sekitar 1 cm. (Nobie, 2009).
Tingkat sensitifitas CT scan sekitar 80-90% sedangkan tingkat
spesifisitasnya sekitar 70-90% untuk mendeteksi adanya obstruksi intestinal.
Temuan berupa zona transisi dengan dilatasi usus proksimal, dekompresi usus
bagian distal, kontras intralumen yang tak dapat melewati bagian obstruksi dan
kolon yang mengandung sedikit cairan dan gas. CT scan juga dapat memberikan
gambaran adanya strangulasi dan obstruksi gelung tertutup. Obstruksi Gelung
tertutup diketahui melalui gambaran dilatasi bentuk U atau bentuk C akibat
distribusi radial vasa mesenteric yang berpusat pada tempat puntiran. Strangulasi
ditandai dengan penebalan dinding usus, intestinal pneumatosis (udara didinding
usus), gas pada vena portal dan kurangnya uptake kontras intravena ke dalam

30
dinding dari bowel yang affected. CT scan juga digunakan untuk evaluasi
menyeluruh dari abdomen dan pada akhirnya mengetahui etiologi dari obstruksi.
Keterbatasan CT scan ini terletak pada tingkat sensitivitasnya yang rendah
(<50%) untuk mendeteksi grade ringan atau obstruksi usus halus parsial. Zona
transisi yang tipis akan sulit untuk diidentifikasi. (Nobie, 2009).

Gambar 10. CT Scan Ileus Obstruktif akibat tumor mesenterium


(Sumber: Khan, 2009)

Gambar 11. CT Scan Ileus Obstruksi Akibat Intususepsi


Tampak distensi usus halus yang tidak diikuti dengan distensi kolon
(Sumber: Vriesman dan Robin, 2005)

d. CT enterography (CT enteroclysis)


Pemeriksaan ini menggantikan enteroclysis pada penggunaan klinis.
Pemeriksaan ini merupakan pilihan pada ileus obstruksi intermiten atau pada

31
pasien dengan riwayat komplikasi pembedahan (seperti tumor, operasi besar).
Pada pemeriksaan ini memperlihatkan seluruh penebalan dinding usus dan dapat
dilakukan evaluasi pada mesenterium dan lemak perinerfon. Pemeriksaan ini
menggunakan teknologi CT-scan dan disertai dengan penggunaan kontras dalam
jumlah besar. CT enteroclysis lebih akurat disbanding dengan pemeriksaan CT
biasa dalam menentukan penyebab obstruksi (89% vs 50%), dan juga lokasi
obstruksi (100% vs 94%). (Nobie, 2009)
e. MRI
Keakuratan MRI hampir sama dengan CT-scan dalam mendeteksi
adanya obstruksi. MRI juga efektif untuk menentukan lokasi dan etiologi dari
obstruksi. Namun, MRI memiliki keterbatasan antara lain kurang terjangkau
dalam hal transport pasien dan kurang dapat menggambarkan massa dan
inflamasi. (Nobie, 2009)

Gambar 12. Kehamilan dengan ileus obstruktif


(Sumber: Edelman, 2010)

f. USG
Ultrasonografi dapat menberikan gambaran dan penyebab dari obstruksi
dengan melihat pergerakan dari usus halus. Pada pasien dengan ilues obtruksi,
USG dapat dengan jelas memperlihatkan usus yang distensi. USG dapat dengan
akurat menunjukkan lokasi dari usus yang distensi. Tidak seperti teknik radiologi
yang lain, USG dapat memperlihatkan peristaltic, hal ini dapat membantu

32
membedakan obstruksi mekanik dari ileus paralitik. Pemeriksaan USG lebih
murah dan mudah jika dibandingkan dengan CT-scan, dan spesifitasnya
dilaporkan mencapai 100%. (Nobie, 2009)

Gambar 13. USG Abdomen tumor dinding epigastrium


(Sumber: Khan, 2009)

Gambar 14. USG Longitudinal dari abdomen bagian bawah menunjukkan distensi
multiple dari usus halus akibat invaginasi
(Sumber: Hagen-Ansert, 2010).

3.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari ileus obstruktif, yaitu (Nobie, 2009)
1. Ileus paralitik
2. Appensicitis akut
3. Kolesistitis, koleliathiasis, dan kolik bilier
4. Konstipasi

33
5. Dysmenorhoe, endometriosis dan torsio ovarium
6. Gastroenteritis akut dan inflammatory bowel disease
7. Pancreatitis akut

3.8 Tata Laksana


Pasien dengan obstruksi intestinal biasanya mengalami dehidrasi dan
kekurangan Natrium, Khlorida dan Kalium yang membutuhkan penggantian
cairan intravena dengan cairan salin isotonic seperti Ringer Laktat. Urin harus di
monitor dengan pemasangan Foley Kateter. Setelah urin adekuat, KCl harus
ditambahkan pada cairan intravena bila diperlukan. Pemeriksaan elektrolit serial,
seperti halnya hematokrit dan leukosit, dilakukan untuk menilai kekurangan
cairan. Antibiotik spektrum luas diberikan untuk profilaksis atas dasar temuan
adanya translokasi bakteri pada ostruksi intestinal. (Evers, 2004)

Dekompresi
Pada pemberian resusitasi cairan intravena, hal lain yang juga penting
untuk dilakukan ialah pemasangan nasogastric tube. Pemasangan tube ini
bertujuan untuk mengosongkan lambung, mengurangi resiko terjadinya aspirasi
pulmonal karena muntah dan meminimalkan terjadinya distensi abdomen. Pasien
dengan obstruksi parsial dapat diterapi secara konservatif dengan resusitasi dan
dekompresi saja. Penyembuhan gejala tanpa terapi operatif dilaporkan sebesar 60
– 85% pada obstruksi parsial. (Evers, 2004)

Terapi Operatif
Secara umum, pasien dengan obstruksi intestinal komplit membutuhkan
terapi operatif. Pendekatan non – operatif pada beberapa pasien dengan obstruksi
intestinal komplit telah diusulkan, dengan alasan bahwa pemasangan tube intubasi
yang lama tak akan menimbulkan masalah yang didukung oleh tidak adanya
tanda-tanda demam, takikardia, nyeri tekan atau leukositosis. Namun harus
disadari bahwa terapi non operatif ini dilakulkan dengan berbagai resikonya
seperti resiko terjadinya strangulasi pada daerah obstruksi dan penundaan terapi
pada strangulasi hingga setelah terjadinya injury akan menyebabkan intestinal
menjadi ireversibel. Penelitian retrospektif melaporkan bahwa penundaan operasi

34
12 – 24 jam masih dalam batas aman namun meningkatkan resiko terjadinya
strangulasi.
Pasien dengan obstruksi intestinal sekunder karena adanya adhesi dapat
diterapi dengan melepaskan adhesi tersebut. Penatalaksanaan secara hati hati
dalam pelepasan adhesi tresebut untuk mencegah terjadinya trauma pada serosa
dan untuk menghindari enterotomi yang tidak perlu. Hernia incarcerata dapat
dilakukan secara manual dari segmen hernia dan dilakukan penutupan defek.
Penatalaksanaan pasien dengan obstruksi intestinal dan adanya riwayat
keganasan akan lebih rumit. Pada keadaan terminal dimana metastase telah
menyebar, terapi non-operatif, bila berhasil, merupakan jalan yang terbaik;
walaupun hanya sebagian kecil kasus obstruksi komplit dapat berhasil di terapi
dengan non-operatif. Pada kasus ini, by pass sederhana dapat memberikan hasil
yang lebih baik baik daripada by pass yang panjang dengan operasi yang rumit
yang mungkin membutuhkan reseksi usus.
Pada saat dilakukan eksplorasi, terkadang susah untuk menilai viabilitas
dari segmen usus setelah strangulasi dilepaskan. Bila viabilitas usus masih
meragukan, segmen tersebut harus dilepaskan dan ditempatkan pada kondisi
hangat, salin moistened sponge selama 15-20 menit dan kemudian dilakukan
penilaian kembali. Bila warna normalnya telah kembali dan didapatkan adanya
peristaltik, berarti segmen usus tersebut aman untuk dikembalikan. Ke depannya
dapat digunakan Doppler atau kontras intraoperatif untuk menilai viabilitas usus.
Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang dikerjakan
pada obstruksi ileus.
1. Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan bedah
sederhana untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia
incarcerata non-strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus
ringan.
2. Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang "melewati"
bagian usus yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn
disease, dan sebagainya.
3. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat
obstruksi, misalnya pada Ca stadium lanjut.

35
4. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-
ujung usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada
carcinomacolon, invaginasi strangulata, dan sebagainya.
Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan operatif
bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun karena keadaan
penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid obstruktif, mula-mula dilakukan
kolostomi saja, kemudian hari dilakukan reseksi usus dan anastomosis. (Ullah et
al., 2009).
Suatu problematik yang sulit pada keadaan pasca bedah adalah distensi
usus yang masih ada. Pada tindakan operatif dekompressi usus, gas dan cairan
yang terkumpul dalam lumen usus tidak boleh dibersihkan sama sekali oleh
karena catatan tersebut mengandung banyak bahan-bahan digestif yang sangat
diperlukan. Pasca bedah tidak dapat diharapkan fisiologi usus kembali normal,
walaupun terdengar bising usus. Hal tersebut bukan berarti peristaltik usus telah
berfungsi dengan efisien, sementara ekskresi meninggi dan absorpsi sama sekali
belum baik.
Sering didapati penderita dalam keadaan masih distensi dan disertai diare
pasca bedah. Tindakan dekompressi usus dan koreksi air dan elektrolit serta
menjaga keseimbangan asam basa darah dalam batas normal tetap dilaksanakan
pada pasca bedahnya. Pada obstruksi yang lanjut, apalagi bila telah terjadi
strangulasi, monitoring pasca bedah yang teliti diperlukan sampai selama 6 - 7
hari pasca bedah. Bahaya lain pada masa pasca bedah adalah toksinemia dan
sepsis. Gambaran kliniknya biasanya mulai nampak pada hari ke 4-5 pasca bedah.
Pemberian antibiotika dengan spektrum luas dan disesuaikan dengan hasil kultur
kuman sangatlah penting.
3.9 Komplikasi
Komplikasi pada pasien ileus obstruktif dapat meliputi gangguan
keseimbangan elektrolit dan cairan, serta iskemia dan perforasi usus yang dapat
menyebabkan peritonitis, sepsis, dan kematian (Ullah et al., 2009).

3.10 Prognosis

36
Mortalitas obstruksi tanpa strangulata adalah 5% sampai 8% asalkan
operasi dapat segera dilakukan. Keterlambatan dalam melakukan pembedahan
atau jika terjadi strangulasi atau komplikasi lainnya akan meningkatkan mortalitas
sampai sekitar 35% atau 40%. Prognosisnya baik bila diagnosis dan tindakan
dilakukan dengan cepat (Nobie, 2009).

BAB IV
KESIMPULAN

Ileus obstruktif adalah terjadinya kerusakan atau hilangnya pasase usus


yang disebabkan oleh sumbatan mekanik, yaitu oleh karena obstruksi dalam

37
lumen usus, dinding usus atau luar usus yang menekan pada usus halus maupun
usus besar.
Gejala utama dari ileus obstruksi antara lain nyeri kolik abdomen, mual,
muntah, perut distensi dan tidak bisa buang air besar serta flatus. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan adanya demam, takikardi, hipotensi dan gejala
dehidrasi yang berat. Pada pemeriksaan abdomen yang terlihat adalah abdomen
yang distensi, terdapat Darm Contour dan Darm Steifung, pada auskultasi
terdapat hiperperistaltik berlanjut dengan Borborygmi (bunyi usus mengaum)
menjadi bunyi metalik (klinken) atau metallic sound. Pada fase lanjut, bising usus
dan peristaltik melemah sampai hilang. Pada foto posisi tegak akan didapatkan
bayangan air fluid level yang banyak di beberapa tempat yang tampak
terdistribusi dalam susunan tangga (step ladder appearance), juga terlihat
gambaran distensi. Dasar pengobatan ileus adalah koreksi keseimbangan cairan
dan elektrolit, menghilangkan peregangan dan muntah dengan dekompresi traktus
gastrointestinal, mengatasi peritonitis dan syok bila ada serta menghilangkan
obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali normal
dengan cara operasi. Prognosis baik bila diagnosis dan tindakan dilakukan dengan
segera.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidayat R, De Jong Wim. Usus halus, apendiks, kolon, dan anorektum.


Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2005. p. 623-31.

38
2. Yates K. Bowel obstruction. In: Cameron P, Jelinek G, Kelly AM, Murray L,
Brown AFT, Heyworth T, editors. Textbook of Adult Emergency Medicine.
2nd ed. New York: Churchill Livingstone; 2004. p. 306-9.
3. Price SA, Wilson LM. Gangguan Usus Halus dan Usus Besar. Dalam:
Wijaya, Caroline, editors. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Volume 1. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2006. p. 437-59.
4. Sabiston DC. Kelainan Bedah Usus Halus. Dalam: Andrianto P, Oswari J,
editors. Buku Ajar Bedah Bagian 1. Jakarta: EGC; 1995. p. 544-59.
5. Geneser F. Histologi Usus Besar. Dalam: Gunawijaya AF, editor. Buku Teks
Histologi Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara; 1994.
6. Anonymous. Ileus. September 13, 2008. Available from URL:
http://medlinux.blogspot.com/2007/09/ileus.html. Accessed December 12,
2017.
7. Mukherjee S. Ileus. December 28, 2009. Available from URL:
http://www.emedicine.medscape.com. Accessed December 12, 2017.
8. Ansari p. Intestinal Obstruction. 2007 September. Available from URL:
http://www.merck.com/mmpe/sec02/choll/chollh.html. Accessed December
12, 2017.
9. Anonym. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Lab/UPF Ilmu Bedah. Rumah
Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo. Surabaya, 1994.
10. Evers BM. Small intestine. In: Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM,
Mttox KL, editors. Sabiston textbook of surgery. The biological basis of
modern surgical practice. 17th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2004. p.
1323-42.
11. Sjamsuhidayat R, De Jong Wim. Hambatan Pasase Usus. Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2005. p. 841-5.

39

Anda mungkin juga menyukai