Anda di halaman 1dari 16

Case Report Session

DIABETES MELITUS TIPE 2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Diabetes melitus didefinisikan oleh American Diabetes Association (ADA) sebagai suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. (PERKENI, 2015)

2. Epidemiologi
Diabetes melitus merupakan ancaman global dan serius dari kelompok penyakit tidak men-
ular. International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan ada sekitar 382 juta orang penderita
DM di seluruh dunia dan akan meningkat hingga 592 juta orang penderita DM pada tahun 2035.
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indo-
nesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. (Kemenkes RI,
2014).
Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 oleh Departemen Kesehatan,
menunjukkan bahwa proporsi DM di Indonesia untuk usia di atas 15 tahun sebesar 6,9% atau
sekitar 12 juta penderita DM. Angka tersebut hampir dua kali lipat nilainya dibandingkan angka
yang didapatkan pada Riskesdas 2007.

3. Klasifikasi Diabetes Melitus


Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Melitus

Tabel 2. Karakterikstik DM tipe 1 dan 2


DM Tipe 1 DM Tipe 2

Mudah terjadi ketoasidosis Tidak mudah terjadi ketoasidosis

Pengobatan harus dengan insulin Tidak harus menggunakan insulin

Onset akut Onset lambat

Biasanya pasien kurus Gemuk/tidak gemuk

Biasanya terjadi pada usia muda Biasanya >45 tahun

Berhubungan dengan Tidak berhubungan dengan HLA


gen HLA-DR3& DR4

Didapatkan islet cell antobody Tidak ada islet antiobody cell

Riwayat keluarga pada 10% Riwayat keluarga pada 30%

30-50% kembar identik yang terkena 100% kembar identik terkena

4. Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2


4.1. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Diubah
a) Usia
Risiko terjadinya diabetes melitus tipe 2 meningkat seiring dengan peningkatan usia, teru-
tama sejak usia 45 tahun ke atas (Sooriappragasarao, 2011). Hal ini mungkin disebabkan karena
berkurangnya aktivitas fisik dan bertambahnya berat badan seiring dengan pertambahan usia
(Shaw et al., 2010). Oleh sebab itu, ADA menganjurkan dilakukannya pemeriksaan skrining DM
terhadap orang yang berusia 45 tahun ke atas dengan interval 3 tahun sekali (Kurniawan, 2010).
b) Jenis kelamin
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang berbeda mengenai jenis kelamin
yang paling berisiko menderita DM. Centers for Disease Control and Prevention menyatakan
bahwa perempuan lebih rentan terkena diabetes dibandingkan laki-laki. Hal ini dibuktikan dari
data yang menyebutkan bahwa lebih dari 50% penderita diabetes melitus di Amerika Serikat ada-
lah perempuan (CDC, 2010). Namun, penelitian lainnya menyatakan bahwa kasus DM lebih ban-
yak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan (Grant et al., 2009).

3
c) Ras
Kelompok ras kulit hitam, Hispanik, Indian, dan Kepulauan Asia Pasifik merupakan ras
yang paling rentan menderita diabetes. Prevalensi diabetes di kelompok ras tersebut sekitar 2 – 4
kali lebih tinggi dibandingkan dengan ras kulit putih (Hicks, 2008; CDC, 2010).
d) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya diabetes melitus tipe 2
(Baptiste-Robertset al., 2007; Valdez, 2007). Menurut WHO, beberapa penelitian menemukan
bahwa individu dengan keluarga derajat pertama yang menderita DM tipe 2 memiliki risiko 3 kali
lebih besar untuk juga menderita DM tipe 2 dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki
riwayat keluarga. Selain itu, kembar monozigot juga lebih berisiko menderita DM tipe 2
dibandingkan dengan kembar dizigot. Menurut ADA, selain karena faktor genetik, hal ini juga
dapat terjadi akibat kecenderungan anak untuk meniru kebiasaan diet yang buruk dan kurangnya
latihan fisik yang dilakukan oleh orang tua atau keluarga mereka.
4.2. Faktor Risiko yang Dapat Diubah
a) Obesitas
Obesitas didefinisikan sebagai indeks massa tubuh yang lebih dari 25 kg/m2 berdasarkan
standar Asia Pasifik (WHO, 2000). Obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya DM
tipe 2 (Adiningsih, 2011). Obesitas menyebabkan terjadinya peningkatan massa jaringan adiposa
yang dikaitkan dengan resistensi insulin yang akan menyebabkan terganggunya proses penyim-
panan dan sintesis lemak (Sugondo, 2006; Suyono, 2006). Obesitas juga dikaitkan dengan faktor
diet yang tidak baik dan dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan trigliserida > 250 mg/dl) yang juga
merupakan faktor risiko DM tipe 2 (Sooriappragasarao, 2011).
b) Kurangnya aktivitas fisik
Aktivitas fisik yang kurang merupakan salah satu faktor risiko DM tipe 2 (Sooriappraga-
sarao, 2011). Menurut hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (susenas) 2004, kecenderungan fak-
tor resiko DM tipe 2 terutama di sebabkan oleh aktivitas fisik yang kurang sebanyak 82,9% (Adi-
ningsih, 2011).
Selain faktor-faktor di atas, faktor lainnya yang terkait dengan peningkatan risiko terkena
diabetes adalah penderita sindroma ovarium polikistik atau keadaan lainnya yang terkait dengan
resistensi insulin, sindroma metabolik, riwayat TGT atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT),
serta riwayat penyakit kardiovaskuler, seperti stroke dan penyakit jantung koroner (Sooriappra-
gasarao, 2011).

4
5. Patofisiologi dan Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2

Patofisiologi
Resistensi insulin didefinisikan sebagai munculnya respons biologis / gejala klinis akibat
meningkatnya kadar insulin (bisa normal). Hal ini sering dikaitkan dengan terganggunya sensitiv-
itas jaringan terhadap insulin yang diperantarai glukosa.
Mekanisme seluler dan molekuler resistensi insulin melibatkan mulai dari reseptor insulin,
molekul GLUT, dan enzim-enzim yang terlibat pada jalur downstream sinyal insulin di intrase-
luler sehingga menyebabkan molekul uptake glukosa yang terganggu. Mekanisme yang mungkin
sebagai penyebab resistensi insulin antara lain mekanisme down-regulasi, defisiensi atau po-
limorfisme genetic dari fosforilasi tyrosine reseptor insulin, protein IRS atau PIP-3 kinase, atau
abnormalitas fungsi GLUT 4 yang disebabkan berbagai hal. (Sheperd, 1999).

Gambar 1. Jalur sinyal insulin dalam metabolism glukosa di sel otot dan adiposa

Patogenesis
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal berikut atau dikenal
Ominous Octet yaitu :
1. Kegagalan sel beta pankreas. Fungsi sel beta pankreas sudah sangat berkurang.

5
2. Liver. Terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu glukoneogenesis sehingga produksi
glukosa dalam keadaan basal oleh liver meningkat.
3. Otot. Didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di intramuskular, akibat gangguan
fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transpor glukosa dalam sel otot, penurunan sin-
tesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.
4. Sel lemak. Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan pen-
ingkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas dalam plasma (FFA). Peningkatan FFA
akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot.
FFA juga akan mengganggu sekresi insulin.
5. Usus. Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding pemberian
secara intravena. Pada keadaan normal setelah makan maka sekresi insulin akan meningkat
Karena efek incretin yang diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (Glucagon-like polypeptide-1)
dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic peptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan
defisiensi GLP-1 dan resistensi terhadap GIP. Saluran pencernaan juga mempunyai peran da-
lam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa-glukokinase yang memecah polisakar-
ida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glu-
kosa darah setelah makan.
6. Sel alpha pankreas. Sel ini berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa ka-
darnya didalam plasma penderita meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP basal
meningkat secara signifikan dibanding normal.
7. Ginjal. Terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter) yang ber-
peran dalam reabsorpsi glukosa di ginjal.
8. Otak. Di otak juga terjadi resistensi insulin. Sementara dalam keadaan normal, insulin ber-
peran dalam penekan nafsu makan yang kuat.

6. Diagnosis
Diagnosis DM pada umumnya akan diperkirakan dengan ditemukannya gejala khas DM
berupa poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya. Gejala lain yang mungkin ditemukan pada pasien DM adalah lemah, kesemutan,
gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulvae pada pasien wanita. Kemudian,
diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Sampel darah yang
digunakan dapat berasal dari darah vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka
kriteria kadar gula darah yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO (Suyono, 2011).
Kriteria Diagnosis DM meliputi:

6
1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan
kalori minimal 8 jam. atau,
2. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan beban 75 gram. atau,
3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan keluhan klasik.
4. Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode high-permformance liquid
chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standari-
zation Program (NGSP).

7. Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus Tipe -
2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala klasik DM
yaitu :
1. Kelompok dengan berat badan lebih (IMT ≥ 23 kg/m2) yang disertai dengan salah satu
atau lebih faktor risiko sebagai berikut :
a. Aktivitas fisik yang kurang
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga)
c. Kelompok ras atau etnis tertentu
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BB>4 kg atau mempunyai ri-
wayat DM gestasional.
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi)
f. HDL< 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL
g. Wanita dengan sindrom poolikistik ovarium
h. Riwayat prediabetes
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.

Tabel 4. Kadar Glukosa darah sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM
(mg/mL)

7
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup penyandang
diabetes. Diharapkan dengan penatalaksaanaan yang tepat dapat menghilangkan keluhan dan
tanda DM, mempertahankan rasa nyaman,dan mencapai target pengendalian glukosa darah. Pe-
natalaksanaan berkesinambungan diharapkan dapat mencegah dan menghambat progresivitas,
penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.
Modalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes mellitus secara garis besar terdiri dari
terapi non fakrmakologi dan terapi farmakologi. Ada pilar penatalaksanaan DM yaitu edukasi,
terapi nutrisi medis, latihan jasmani, intervensi farmakologis.

8.1. Terapi Non Farmakologi


8.1.1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk
dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga
dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat.
Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan
upaya peningkatan motivasi.. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan
gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar
glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
8.1.2 Terapi Nutrisi Medis
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara to-
tal. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli
gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya).
Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan kebutuhannya guna
mencapai sasaran terapi melalui pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetisi
dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.
8
Komposisi bahan makanan terdiri dari makronutrien yang meliputi karbohidrat, protein,
dan lemak, serta mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral, harus diatur sedemikian rupa
sehingga dapat memenuhi kebutuhan diabetisi secara tepat.
Jenis Bahan Makanan
✓ Karbohidrat
Sebagai sumber energi karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan en-
ergi.
✓ Protein
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-20% dari total kalori per
hari.
✓ Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Anjuran konsumsi koles-
terol < 200 mg/hari.
3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur merupakan salah satu pilar
pengobatan dibetes mellitus tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan.Selain itu, kegiatan sehari-hari ini ditambah
dengan latihan jasmani yang kontinu. Prinsip latihan jasmani bagi diabetisi persis sama dengan
prinsip patihan jasmani secara umum, yaitu memenuhi beberapa hal, seperti: frekuensi, intensitas,
durasi, dan jenis.
b. Frekuensi : Jumlah olahraga per minggu sebaiknya dilakukan dengan teratur sebanyak 3-
5 kali per minggu
c. Intensitas : ringan dan sedang (60-70% maximum heart rate)
d. Durasi : 30 – 60 menit
e. Jenis : latihan jasmani endurans (aerobic) untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi
seperti jalan, jogging, berenang, dan bersepeda.
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga dapat memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jas-
mani yang dipilih sebaiknya yang disenangi serta memungkinkan untuk dilakukan dan hendaknya
melibatkan otot-otot besar. Namun, latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status
kesegaran jasmani seseorang.

2. Terapi Farmakologi
2.3. Obat Antidiabetik Oral

9
Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu penanganan pasien diabetes mellitus
tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau
kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
A. Pemicu Sekresi Insulin
1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pan-
kreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang. Namun
masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan
pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pem-
berian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia
post prandial.
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin
1. Tiazolidindion
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.
C. Penghambat glukoneogenesis
1. Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di
samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes
gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum krea-
tinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya pe-
nyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung).
Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut
dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian
metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek
samping obat tersebut.
D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai
efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek sam-
ping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.
E. DPP-IV inhibitor

10
Glucagon-like peptide-1(GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan oleh
sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke
dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus
sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim
dipeptidyl peptidase-4(DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amideyang tidak aktif. Sekresi
GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 ben-
tuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1
dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-
4), atau memberikan hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat
yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap
dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin
serta menghambat penglepasan glukagon.
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar
glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal
v Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan
v Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
v Metformin : sebelum / pada saat / sesudah makan
v Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
v Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
v DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan

2.4. Insulin
Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel β pankreas dalam merespon glukosa. Insu-
lin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino tersusun dalam 2 rantai, rantai A terdiri
dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin mempunyai peran yang sangat
penting dan luas dalam pengendalian metabolism. Efek kerja insulin adalah membantu transport
glukosa dari darah ke dalam sel.
Insulin diperlukan pada keadaan:
• Penurunan berat badan yang cepat
• Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
• Ketoasidosis diabetik
• Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
• Hiperglikemia dengan asidosis laktat
• Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
• Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

11
• Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan
makan.
• Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
• Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Macam-macam sediaan insulin:


1. Insulin kerja singkat (short-acting)
Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru sesudah setengah jam
(injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin Regular.
2. Insulin kerja panjang (long-acting)
Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya di cairan jaringan dan
menghambat resorpsinya dari tempat injeksi ke dalam darah. Metoda yang digunakan adalah men-
campurkan insulin dengan protein atau seng atau mengubah bentuk fisiknya, contoh: Monotard
Human.
3. Insulin kerja sedang (medium-acting)
Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan mencampurkan be-
berapa bentuk insulin dengan lama kerja berlainan, contoh: Mixtard 30 HM. Secara keseluruhan
sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2 kemudian akan memerlukan insulin untuk mengendalikan
kadar glukosa darahnya. Untuk pasien yang sudah tidak dapat dikendalikan kadar glukosa
darahnya dengan kombinasi metformin dan sulfonilurea, langkah selanjutnya yang mungkin
diberikan adalah insulin (Waspadji, 2010).

8.2.5. Terapi Kombinasi


Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian di-
naikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan penga-
turan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau
kombinasi OHO sejak dini.
Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk
tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja
berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga
OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai
dengan alasan klinis di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi
tiga OHO dapat menjadi pilihan. (lihat bagan 2 tentang algoritma pengelolaan DM tipe 2).

12
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insu-
lin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari
menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glu-
kosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah
adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut
dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas
kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan
terapi kombinasi insulin.

9. Penyulit Diabetes Melitus

Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun

9.1 Penyulit akut

1. Ketoasidosis diabetik(KAD)
Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa da-
rah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma-
keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion
gap

2. Hiperosmolar non ketotik (HNK)


Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa
tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton
(+/-), anion gapnormal atau sedikit meningkat.

3. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL.
Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia
akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi
dan waktu kerja obat telah habis.
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak keringat, ge-
metar, dan rasa lapar) dangejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah,
kesadaran menurun sampai koma).

13
9.2 Penyulit menahun

1. Makroangiopati

• Pembuluh darah jantung


• Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes. Biasanya
terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent, meskipun sering tanpa gejala. Terkadang
ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.
• Pembuluh darah otak

2. Mikroangiopati:
• Retinopati diabetik
• Nefropati diabetik

3. Neuropati
Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya
sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering dira-
sakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari. Semua pe-
nyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi perawatan kaki untuk
mengurangi risiko ulkus kaki.
4. Dislipidemia pada Diabetes
Dislipidemia pada penyandang diabetes lebih meningkatkan risiko timbulnya penyakit
kardiovaskular. Perlu pemeriksaan profil lipid pada saat diagnosis diabetes ditegakkan. Pada pa-
sien dewasa pemeriksaan profil lipid sedikitnya dilakukan setahun sekali dan bila dianggap perlu
dapat dilakukan lebih sering. Sedangkan pada pasien yang pemeriksaan profil lipid menunjukkan
hasil yang baik (LDL<100mg/dL; HDL>50 mg/dL (laki-laki >40 mg/dL, wanita >50 mg/dL);
trigliserid <150 mg/dL), pemeriksaan profil lipid dapat dilakukan 2 tahun sekali. Gambaran di-
slipidemia yang sering didapatkan pada penyandang diabetes adalah peningkatan kadar triglise-
rida, dan penurunan kadar kolesterol HDL, sedangkan kadar kolesterol LDL normal atau sedikit
meningkat.

14
15
16

Anda mungkin juga menyukai