Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Antenatal Care (ANC) merupakan pelayanan pemeriksaan kesehatan
rutin ibu hamil untuk mendiagnosis komplikasi obstetri serta untuk
memberikan informasi tentang gaya hidup, kehamilan dan persalinan (Backe et
al, 2015). Setiap ibu hamil sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
ANC komprehensif yang berkualitas minimal 4 kali yaitu minimal 1 kali pada
trimester pertama (sebelum usia kehamilan 14 minggu), minimal 1 kali pada
trimester kedua (usia kehamilan 14-28 minggu) dan minimal 2 kali pada
trimester ketiga (28-36 minggu dan setelah 36 minggu usia kehamilan)
termasuk minimal 1 kali kunjungan diantar suami atau anggota keluarga.
Kunjungan pertama ANC sangat dianjurkan pada usia kehamilan 8-12 minggu
(Backe et al, 2015; Kemenkes RI, 2015; PMK 97, 2014). Pada tahun 2016,
hampir seluruh ibu hamil (95,75%) di Indonesia sudah melakukan pemeriksaan
kehamilan pertama (K1) dan 87,48% ibu hamil sudah melakukan pemeriksaan
kehamilan lengkap dengan frekuensi minimal 4 kali sesuai ketentuan tersebut
(K4) (Kemenkes RI, 2016).
Indonesia merupakan salah satu negara yang belum mampu mengatasi
tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) masih sangat tinggi bahkan tertinggi dari
negara-negara ASEAN yaitu 305/100.000 dari kelahiran hidup (SDKI,2016).
Departemen Kesehatan sebagai sektor yang bertanggung jawab secara
langsung dalam Percepatan Penurunan AKI telah berupaya secara maksimal
dengan beberapa upaya terfokus antara lain : Program Perencanaan Persalinan
dan Pencegahan Komplikasi (P4K), Kemitraan Bidan dan Dukun, PKM
PONED, Unit Transfusi Darah di Rumah Sakit mampu PONEK (UTD RS
PONEK) dan pemenuhan Sumber Daya Kesehatan Ibu.
Sejalan dengan telah tingginya akses pelayanan asuhan antenatal
tersebut, maka kualitas asuhan antenatal juga harus dimantapkan. Ibu hamil
perlu mendapatkan perlindungan secara menyeluruh, baik mengenai kehamilan

1
2

dan komplikasi kehamilan, serta intervensi lain yang perlu diberikan selama
proses kehamilan untuk kesehatan/keselamatan ibu dan bayinya. Dari data
yang ada saat ini prevalensi pada Wanita Usia Subur (WUS) yang mengalami
Kekurangan Energi Kronis (KEK) mencapai 24,2% (Riskesdas, 2013)
sedangkan prevalensi Anemia Gizi pada Ibu Hamil sebesar 37,1 persen
(Riskesdas, 2013)
Hal ini perlu mendapat perhatian karena sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan janin yang dikandungnya, dan kemungkinan timbulnya
komplikasi kehamilan dan persalinan yang kelak dapat mengancam nyawa ibu.
Menurut Riskesdas 2013, Prevalensi malaria tahun 2013 adalah 6,0 persen.
Lima provinsi dengan insiden dan prevalensi tertinggi adalah Papua 9,8%,
Nusa Tenggara Timur 6,8%, Papua Barat 6,7%, Sulawesi Tengah 5,1%, dan
Maluku 3,8%. Hal ini perlu mendapatkan intervensi khusus mengingat malaria
dalam kehamilan merupakan komplikasi yang berbahaya bagi ibu, janin dan
bayinya. Demikian juga tuberkulosis (TB) dalam kehamilan dapat
menimbulkan komplikasi pada ibu dan janinnya, oleh karenanya pada daerah
dengan prevalensi infeksi TB yang tinggi, program DOTS TB perlu
diintegrasikan dalam asuhan antenatal.
Sejak tahun 2000 Indonesia memasuki klasifikasi Epidemiter konsentrasi
untuk infeksi HIV, bahkan sejak tahun 2006 di Papua dan Papua Barat sudah
memasuki klasifikasi Epidemi umum. Seiring dengan meningkatnya Cakupan
HIV pada perempuan, maka program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke
bayi (PMTCT/ Prevention of Mother to Child HIV Transmission) merupakan
hal yang tidak bisa ditunda lagi kalau kita tidak ingin kehilangan generasi
karena terjangkit HIV. Perlu perhatian khusus untuk Kepri, Papua, Papua
Barat, Bali dan Jawa Barat karena pada daerah tersebut telah terjadi perubahan
metode penularan tertinggi dari Pengguna Napza Suntik (Penasun) menjadi
Heteroseksual. Hal yang hampir sama mengenai Sifilis, yang mempunyai
potensi menimbulkan Sifilis Kongenital. Apabila terdeteksi dini dan mendapat
pengobatan yang tepat, maka komplikasi dapat dihindari.
3

Oleh karenanya perlu intervensi selama kehamilan. Indonesia saat ini


menduduki peringkat ke-113 dari 188 negara pada tahun 2015 dalam Indeks
Pembangunan Manusia (Human Development Index) dimana salah satu
penyebabnya adalah tingkat kesehatan dan kematian, tercatat sebanyak dua juta
anak di bawah usia satu tahun belum menerima imunisasi lengkap. Kemudian,
angka kematian ibu sebanyak 305 kematian per 100 ribu kelahiran hidup.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, maka pelayanan asuhan
antenatal perlu dilaksanakan secara terpadu dengan program lain yang terkait.
Pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi adalah integrasi asuhan antenatal
dengan pelayanan program Gizi, Imunisasi, IMS-HIV-AIDS, ESK dan
Frambusia, TB dan Kusta, Malaria, Kecacingan, dan Intelegensia dengan
pendekatan yang responsif gender untuk menghilangkan missed opportunity
yang ada. Selanjutnya akan menuju pada pemenuhan hak reproduksi bagi
setiap orang khususnya ibu hamil.Untuk itu perlu adanya perbaikan standar
pelayanan asuhan antenatal yang terpadu, yang mengakomodasi kebijakan,
strategi, kegiatan dari program terkait. Dalam pelaksanaannya perlu dibentuk
tim pelayanan Asuhan Antenatal Terintegrasi, yang dapat memfasilitasi
kemitraan antara dokter spesialis, dokter umum, bidan maupun dukun dengan
sistem rujukan yang jelas, dilengkapi fasilitas pendukung dari masing-masing
program guna mewujudkan Making Pregnancy Safer.

B. Tujuan Penulis
1. Deteksi dan antisipasi dini kelainan/penyakit/gangguan yang mungkin
terjadi dalam kehamilan.
2. Intervensi dan pencegahan kelainan/penyakit/gangguan yang mungkin dapat
mengancam ibu dan atau janin.
3. Standarisasi kegiatan pelayanan asuhan antenatal terintegrasi, meliputi :
tujuan, persyaratan, implementasi serta pemantauan dan penilai
4. Mengintegrasikan asuhan antenatal rutin dengan pelayanan tambahan dalam
praktik asuhan antenatal.

Anda mungkin juga menyukai