Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Menopause adalah ketika seorang perempuan telah berhenti menstruasi.
Hal ini terjadi ketika indung telur berhenti melepaskan telur atau indung telur
telah diangkat dan jumlah hormon estrogen dalam tubuh menurun. Sebagian besar
wanita di Inggris mengalami menopause antara usia 45 dan 55 tahun, dengan usia
rata-rata adalah 51 tahun. Menopause dapat terjadi lebih awal pada beberapa
wanita. Jika itu terjadi sebelum usia 40 tahun, itu dikenal sebagai menopause dini
atau insufisiensi ovarium prematur.1
Pada tahun 2030, jumlah perempuan di seluruh dunia yang memasuki
masa menopause diperkirakan mencapai 1,2 miliar orang. Di Asia, menurut data
WHO, pada tahun 2025 jumlah wanita yang menopause akan melonjak dari 107
juta jiwa akan menjadi 373 juta jiwa.1 Perkiraan kasar menunjukkan akan terdapat
sekitar 30 – 40 juta wanita dari seluruh jumlah penduduk Indonesia yang sebesar
240 – 250 juta jiwa pada tahun 2010. Dalam kurun waktu tersebut (usia lebih dari
60 tahun) hampir 100% telah mengalami menopause dengan segala akibat serta
dampak yang menyertainya.2
Di Indonesia, pada tahun 2025 diperkirakan akan ada 60 juta perempuan
menopause. Pada tahun 2016 saat ini di Indonesia baru mencapai 14 juta
perempuan menopause atau 7,4 % dari total populasi yang ada. Angka harapan
hidup perempuan melonjak dari 40 tahun pada tahun 1930 menjadi 67 tahun pada
tahun 1998. Sementara perkiraan umur rata-rata usia menopause di Indonesia
adalah 48 tahun. Peningkatan usia harapan hidup menyebabkan jumlah
perempuan yang mengalami menopause semakin banyak.2
Hingga saat ini wanita Indonesia yang memasuki masa menopause
sebanyak 7,4% dari populasi. Jumlah tersebut meningkat menjadi 11% pada 2005.
Kemudian, naik lagi sebesar 14% pada 2015. Meningkatnya jumlah tersebut,
sebagai akibat bertambahnya populasi penduduk usia lanjut dan tingginya usia
harapan hidup bersamaan dengan membaiknya derajat kesehatan masyarakat.
Jumlah dan proporsi penduduk perempuan yang berusia diatas 50 tahun dan
diperkirakan memasuki usia menopause dari tahun ke tahun juga mengalami
peningkatan yang sangat signifikan. Berdasarkan data dari profil Kesehatan
Indonesia pada tahun 2013 jumlah penduduk menurut jenis kelaminnya setiap
tahun mengalami peningkatan dari tahun 2010 sampai 2013. Pada tahun 2010
terdapat 118.010.413 penduduk perempuan, tahun 2011 sebesar 119.768.768
penduduk perempuan, tahun 2012 sebesar 121.553.332 penduduk perempuan dan
pada tahun 2013 sebesar 123.364.47.2
Penyebab menopause adalah reproduksi wanita yang mengalami penuaan
atau penurunan fungsi. Dasar penuaan reproduksi wanita adalah terjadi penipisan
folikel ovarium, terjadi 10 tahun sebelum menopause karena follicle stimulating
hormone (FSH) dan penurunan sirkulasi inhibin terjadi secara bersamaan. Akhir
periode menstruasi atau final menstrual period (FMP) ditandai oleh
ketidakstabilan hormon yang mengakibatkan menstruasi tidak teratur. Siklus
menstruasi dikontrol oleh dua hormon yang diproduksi di kelenjar hipofisis yang
ada di otak (FSH dan LH) dan dua hormon yang dihasilkan ovarium (estrogen dan
progesteron). Saat menjelang menopause, FSH dan LH terus diproduksi oleh
kelenjar hipofisis secara normal. Kondisi ovarium yang semakin tua maka respon
FSH dan LH yang diproduksi semakin berkurang. Perubahan dan gejala terjadi
secara bertahap selama beberapa tahun sebelum dan sesudah masa menstruasi
terakhir. Istilah yang lebih akurat untuk masa transisi dari kehidupan yang tidak
reproduktif adalah fase klimakterik. Penelitian yang dilakukan menunjukkan
bahwa, sebelum wanita berusia 50 tahun menopause tidak akan terjadi. Waktu
yang diperlukan untuk mengetahui adanya menopause harus menunggu 2 tahun
setelah menstruasi terakhir.3
Berdasarkan beberapa hasil survey dan penelitian di Indonesia, 70% para
wanita yang berusia 45 sampai dengan 54 tahun cenderung mengalami berbagai
gejala seperti hot flushes, jantung berdebar debar, gangguan tidur, depresi, mudah
tersinggung, merasa takut, gelisah dan lekas marah, sakit kepala, cepat lelah, sulit
berkonsentrasi, mudah lupa, kurang tenaga, berkunang kunang, kesemutan,
gangguan libido, obstipasi, berat badan bertambah, dan nyeri tulang dan otot.
Hasil penelitian menunjukan sebagian besar wanita tidak terpenuhi pada aspek
kebutuhan seksualnya, meliputi aspek gairah/minat seksual (82,43%),
perangsangan arousal (66,21%), orgasme (75,67%) serta 56,75% mengalami
disparenia.4
Hot flushes (gejala vasomotor [VMS]) adalah gejala menopause yang
paling sering : hot flushes sedang sampai berat dilaporkan oleh 24% wanita
berusia 50 hingga 54 tahun dalam Women's Health Initiative.1 Prevalensi
osteoporosis adalah 33,67%, osteopenia adalah 46,63, dan 19,7% normal pada tes
kepadatan tulang. Wanita osteoporosis umumnya lebih tua dan lebih tipis, dengan
periode paparan estrogen yang lebih singkat. Prevalensi fraktur adalah 21,9%, dan
wanita yang mengalami patah tulang memiliki kepadatan tulang yang lebih
rendah, lebih tua, dan memiliki periode postmenopause yang lebih panjang.5
Komplikasi jangka panjang dari penyakit menopause ini adalah
osteoporosis (tulang keropos), penyakit jantung coroner (PJK), stroke, kanker
usus, dan pikun.5
Ketidakseimbangan antara resorpsi tulang dan pembentukan tulang karena
hilangnya fungsi ovarium, yang mengurangi massa skeletal, adalah salah satu
komplikasi dari menopause. Oleh karena itu, hilangnya fungsi ovarium
merupakan faktor paling penting dalam perkembangan osteoporosis pada wanita
pasca menopause. Kepadatan mineral tulang secara signifikan menurun pada
osteoporosis pasca menopause dibandingkan pada subyek non osteoporosis, yang
sesuai dengan temuan studi Johannes et al,. Tingkat rata-rata osteokalsin juga
meningkat secara signifikan pada wanita pasca menopause yang osteoporosis
daripada pada individu non osteoporosis.6
Menurut WHO, osteoporosis adalah penyakit yang ditandai dengan massa
tulang yang rendah dan berkurangnya mikroarsitektur jaringan tulang, yang
mengarah pada peningkatan kerapuhan tulang dan peningkatan terjadinya fraktur.6
Prevalensi osteoporosis di dunia masih cukup tinggi. World Health
Organization (WHO) menyebutkan bahwa sekitar 200 juta orang menderita
osteoporosis di seluruh dunia.6 Pada tahun 2050, diperkirakan angka patah tulang
pinggul akan meningkat 2 kali lipat pada wanita dan 3 kali lipat pada pria.
Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2010, angka
insiden patah tulang paha atas tercatat sekitar 200/100.000 kasus pada wanita dan
pria diatas usia 40 tahun diakibatkan osteoporosis. WHO menunjukkan bahwa
50% patah tulang paha atas ini akan menimbulkan kecacatan seumur hidup dan
menyebabkan angka kematian mencapai 30% pada tahun pertama akibat
komplikasi imobilisasi. Data ini belum termasuk patah tulang belakang dan
lengan bawah serta yang tidak memperoleh perawatan medis di Rumah Sakit.7
Menurut WHO, pada tahun 2012 osteoporosis menduduki peringkat kedua
dibawah penyakit jantung sebagai masalah kesehatan utama dunia. Menurut data
International Osteoporosis Foundation lebih dari 30% wanita diseluruh dunia
mengalami resiko seumur hidup untuk patah tulang akibat osteoporosis, bahkan
mendekati 40%, sedangkan pada pria, resikonya berada pada angka 13%.8
Masalah osteoporosis di Indonesia sudah perlu diperhatikan. Hasil analisis
data oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan Departemen
Kesehatan menunjukkan, risiko osteoporosis di 14 provinsi di Indonesia mencapai
19,7 persen. Karenanya, perlu langkah konkret mengurangi risiko osteoporosis
sedini mungkin. Menurut Ir. Erika Wasito, M.Sc. dari Puslitbang Gizi dan
Makanan, lima provinsi dengan risiko osteoporosis tertinggi adalah Sumatra
Selatan (27,7%), Jawa Tengah (24,02%), di Yogyakarta (23.5%), Sumatera Utara
(22,82%), dan Jawa Timur (21,42%).9
Ada dua bentuk osteoporosis, berdasarkan apakah penyakit ini primer atau
sekunder untuk kondisi medis atau pengobatan lain yang dapat diidentifikasi.
Osteoporosis primer dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, berdasarkan defek
yang tidak berpasangan yang terlihat pada unit remodeling. Osteoporosis tipe 1
(pascamenopause) disebabkan oleh percepatan dalam perombakan tulang sebagai
akibat dari kerja hormonal. Meskipun seluruh unit remodeling diaktifkan oleh
deprivasi estrogen, resorpsi tulang melebihi pembentukan tulang karena
keterbatasan waktu pada aktivitas osteoblastik, yang pada akhirnya menghasilkan
keropos tulang. Pada tipe 2 atau osteoporosis senilis, aktivitas osteoblastik untuk
membentuk tulang baru terganggu, meskipun resorpsi normal atau meningkat,
menghasilkan ketidakseimbangan kronis dalam remodeling tulang, yang
menyebabkan defek persisten pada massa tulang, akhirnya menghasilkan
peningkatan kerentanan untuk patah tulang.6,10
Penanda biokimia dari metabolisme tulang adalah alat yang sangat penting
dalam memahami dasar patofisiologi untuk penyakit metabolik tulang. Penentuan
fragmen protein yang dihasilkan oleh osteoblas seperti osteokalsin atau enzim
yang disekresikan selama osteogenesis, seperti alkalin fosfatase, biasanya
digunakan untuk menilai aktivitas osteoblastik.6
Osteokalsin serum adalah penanda yang valid dari bone turn over ketika
resorpsi dan formasi digabungkan dan merupakan penanda spesifik dari
pembentukan tulang ketika pembentukan dan resorpsi dilepaskan.6
Osteokalsin disintesis selama pembentukan tulang dan menunjukkan
konformasi heliks kompak, kalsium dependen, alpha, di mana residu Asam
Gamma Carboxyglutamic (GLA) mengikat dan meningkatkan penyerapan ke
hidroksiapatit dalam matriks tulang. Dengan cara ini, mineralisasi tulang terjadi.
Kekurangan kalsium dan fosfor pada wanita osteoporosis menurunkan
pembentukan kristal hidroksiapatit, yang membuat osteokalsin bebas beredar di
dalam darah. Ini mungkin menjelaskan peningkatan konsentrasi osteocalcin dalam
serum wanita pasca menopause osteoporosis.6,10
Peningkatan kadar osteokalsin pada kelompok pasca menopause dikaitkan
dengan defisiensi estrogen, sebuah temuan yang berkorelasi dengan penelitian
serupa, yang menunjukkan korelasi yang jelas antara defisiensi estrogen dan
peningkatan kadar osteokalsin. Konsentrasi estrogen yang menurun pada usia
menopause menyebabkan penyerapan kalsium usus yang lebih rendah,
menghasilkan konsentrasi kalsium serum rendah dan peningkatan resorpsi
osteoklastik tulang. Keduanya meningkatkan turn over tulang, sehingga
berkontribusi sebagai faktor risiko untuk pengembangan osteoporosis.6
Osteoporosis dapat didiagnosis dengan mengukur kepadatan mineral
tulang (KMT). KMT adalah sejumlah kalsium yang berada di dalam tulang.
Metode KMT meliputi Dual Energy x-rays Absorptiometry (DEXA) atau CT
scans (Osteo CT / QCT ) tulang pada kolom tulang belakang, perge lengan, atau
kaki. Metode ini membandingkan kepadatan tulang secara numeris untuk
menentukan apakah pasien menderita osteoporosis atau tidak. Kedua metode
tersebut memiliki tingkat kesalahan hanya 0,5 – 2 persen dan dianjurkan untuk
dipakai sebagai alat diagnosis. Walaupun pemeriksaan CT lebih sensitif tetapi
lebih banyak terjadi radiasi sehingga para ahli lebih memilih pemeriksaan Dxa.10
Di sisi lain, risiko patah tulang terkait osteoporosis juga dinilai oleh Bone
Mineral Density (BMD), yang merupakan ukuran massa tulang dan prediktor
patah tulang, karena massa tulang mempengaruhi kekuatan tulang atau
kemampuan untuk menahan trauma. Risiko fraktur diketahui lebih tinggi pada
wanita dengan BMD rendah, dengan risiko dua kali lipat untuk pengurangan satu
standar deviasi dalam BMD.6
Diagnosis untuk osteoporosis yang dianggap baku adalah pemeriksaan
bone mass density (BMD) tetapi BMD tidak dipakai untuk monitoring pengobatan
karena membutuhkan waktu lama (2 tahun) untuk melihat perbedaan gambaran
massa tulang. Kini dikenal pemeriksaan pertanda tulang (bone marker) seperti
ostocalcin, β-CrossLaps, P1NP dan alkali fosfatase. Berbeda dengan pemeriksaan
BMD, tujuan analisis pertanda tulang adalah untuk memantau dan menilai respons
pengobatan, diagnosis penderita dengan risiko osteoporosis, mencari penyebab
berkurangnya tulang secara cepat, memilih pengobatan yang sesuai, memantau
pasien dengan pengobatan kortikosteroid dan mempelajari patogenesis
osteoporosis.11
Osteokalsin serum menjadi penanda dinamis, kemanjuran pengobatan
dapat dinilai dengan mengulangi estimasi osteokalsin dan dengan
membandingkannya dengan nilai aslinya. Dengan demikian, penilaian fraktur
risiko osteoporosis dapat dilakukan secara efektif dengan kombinasi BMD (yang
menyediakan fitur statis dari kerangka dan penanda biokimia) dan osteokalsin
(yang memberikan ukuran dinamis unit remodeling tulang, seperti yang
dibuktikan dari penelitian dari Vanitha et al.,).6
Apurva et al., menganjurkan memakai pertanda tulang sebagai cara untuk
mengelola osteoporosis dengan alasan: (i) dapat menilai proses remodeling dan
tingkat kecepatan hilangnya tulang; (ii) BMD tidak mampu memprediksi risiko
fraktur pada pengobatan osteopososis; (iii) dapat menilai respons pengobatan
dalam 3–6 bulan.11
Dalam penegakan diagnosis osteoporosis diperlukan alat uji yang mudah,
murah dan non-invasive serta akurat. Pemeriksaan pertanda tulang, salah satunya
adalah osteokalsin, dapat dilakukan terhadap bahan serum dan urin. Penelitian
Kumm pada tahun 2008 menunjukkan bahwa urinary-osteokalsin sebagai penanda
metabolisme tulang dapat melihat efek dari terapi risedronate.12 Priyana pada
tahun 2007 juga melakukan penelitian terhadap osteokalsin di urin.11
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai kadar osteokalsin di urin dan hubungannya
dengan densitas tulang pada pasien osteoporosis yang telah menopause.

Anda mungkin juga menyukai