Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Overactive Bladder (OAB) adalah kelainan pada kandung kemih yang
mengakibatkan penderitanya mengalami keinginan berkemih tidak tertahankan
(urgensi), miksi yang sering dengan atau tanpa inkontinensia urin. Menurut The
International Continence Society (ICS), buli-buli overaktif atau OAB (Overactive
Bladder) didefinisikan sebagai keluhan urgensi yang disertai inkontinensia urgensi
atau tanpa disertai dengan inkontinensia urgensi, yang biasanya diikuti dengan
frekuensi pada siang hari dan nokturia, dan tanpa didapatkan infeksi atau patologi
yang lain pada buli-buli.1 ‫ ׳‬2,3
Berbagai penelitian yang dilakukan di Eropa maupun di Amerika
menunjukkan bahwa prelavensi OAB di kedua benua ini hampir sama, yakni lebih
kurang 17% populasi umum menderita OAB. Penelitian yang dilakukan oleh
National Overactive Bladder Evaluation (NOBLE) disebutkan bahwa 37% pasien
OAB mengeluhkan adanya inkontinensia urin, atau dikenal dengan OAB basah
(wet) dan 63% tidak disertai dengan inkontinensia urine atau OAB kering (dry).
Prevalensi OAB ‘basah’ akan meningkat dengan bertambahnya usia. Disebutkan
bahwa OAB ‘kering’ lebih sering dijumpai pada lelaki daripada perempuan (36%
dibanding 7%) dan sebaliknya OAB ‘basah’ lebih sering dijumpai pada
perempuan (9,3% dibanding 2,4%).1 ‫ ׳‬2 ‫ ׳‬3,4 Gejala OAB antara lain adalah
adanya urgensi, frekuensi, nokturia, dapat disertai dengan atau tanpa adanya urge
inkontinensia. Untuk mengetahui derajat keparahan OAB, penderita dapat mengisi
kuisioner (system scoring) OAB yang dirancang oleh Homma. Gejala-gejala
tersebut menyebabkan penurunan kualitas hidup, diantaranya adalah terbatasnya
aktivitas fisis, psikis, sosial, seksual, dan produktivitas kerja.1 ‫ ׳‬4,5,6

1.2. Rumusan Masalah


Apakah terdapat korelasi antara kadar CRP pada wanita menopause
dengan kadar BDNF pada wanita menopause yang menderita overactive bladder?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui korelasi antara kadar CRP pada wanita menopause
dengan kadar BDNF pada wanita menopause yang menderita overactive bladder.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mendapatkan data karakteristik wanita menopause dengan overactive
bladder di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan.
2. Mengetahui rata-rata kadar CRP pada wanita menopause.
3. Mengetahui rata-rata kadar BDNF pada wanita menopause.
4. Mengetahui biomarker yang potensial untuk overactive bladder pada
wanita menopause.
5. Untuk dapat menentukan target terapi yang tepat.

1.4. Manfaat Penelitian


Menilai korelasi antara kadar CRP pada wanita menopause dengan kadar
BDNF pada wanita menopause yang menderita overactive bladder sehingga dapat
mengetahui biomarker yang potensial dan menentukan target terapi yang tepat.
1.4.1. Manfaat Teoritis
Manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu dapat menambah
khasanah ilmu pengetahuan dengan menemukan ada atau tidaknya korelasi
antara kadar CRP pada wanita menopause dengan kadar BDNF pada
wanita menopause yang menderita overactive bladder.
1.4.2. Manfaat Pelayanan Kesehatan
Manfaat pada pelayanan kesehatan, yaitu hasil penelitian ini dapat
dijadikan acuan untuk identifikasi awal dengan mengetahui biomarker
yang potensial dan dapat menunjukkan target terapi yang tepat.

1.5. Hipotesis
Terdapat korelasi antara kadar CRP pada wanita menopause dengan kadar BDNF
pada wanita menopause yang menderita overactive bladder.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Over Active Bladder


2.1.1. Definisi
Kandung kemih hiperaktif (overactive bladder/OAB) didefinisikan sebagai
suatu keadaan urgensi dengan atau tanpa inkontinensia tipe urgensi, biasanya
disertai dengan frekuensi dan nokturia. OAB adalah suatu keadaan kronik, kondisi
debilitating, yang dapat mengenai semua umur, meskipun lebih banyak terdapat
pada usia lanjut.
Overactive bladder adalah salah satu sindroma klinik yang merupakan
salah satu bentuk dari kelainan overactive detrusor. Overactive detrusor adalah
suatu keadaan dimana terjadi aktivitas atau kontraksi kandung kemih yang
berlebihan.3

2.1.2. Epidemiologi
2.1.3. Anatomi dan Fisiologi Vesika Urinari
Vesika urinaria adalah suatu kantong yang dapat mengempis, terletak
dibelakang simfisis pubis di dalam cavitas pelvis. Vesika urinaria yang kosong
pada orang dewasa seluruhnya terletak dibelakang pelvis, bila vesika urinaria
terisi, dinding atasnya terangkat sampai masuk ke region hypogastrikum.1,7,8
Dinding vesika urinaria terdiri dari 4 lapis : tunika mukosa, tunika
submukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa. Tunika muskularis terdiri
atas 3 lapis otot detrusor yang saling beranyaman, yakni (1) terletak paling
dalam adalah otot longitudinal, (2) ditengah merupakan otot sirkuler, dan (3)
paling luar merupakan otot longitudinal. Lapisan otot ini akan menebal pada
bagian leher untuk membentuk spinchter vesicae.1,3,5,7,8,9,13,14,16
Mukosa vesika urinaria terdiri atas epitel transisional yang sama seperti
pada mukosa pelvis renalis, ureter, dan uretra posterior. Mukosa ini sebagian
besar berlipat-lipat pada vesika urinaria yang kosong dan lipatan-lipatan
tersebut akan menghilang bila vesika urinaria terisi penuh. Pada dasar vesika
urinaria, kedua muara ureter dan meatus uretra internum membentuk suatu
segitiga yang disebut trigonum buli-buli.1,8,9

Gambar 2.1. Anatomi vesika urinaria

Fungsi vesika urinaria adalah menampung urin dari ureter dan


kemudian mengeluarkannya melalui uretra dalam mekanisme miksi (berkemih
). Normalnya vesika urinaria dapat menampung urin sebanyak 300-450
ml.1,10,11

Sistem persarafan vesika urinaria


Sistem saraf involunter mencakup sistem saraf simpatis dan
parasimpatis. Sistem saraf simpatis mengatur pengisian vesika urinaria dengan
menghambat kontraksi muskulus detrusor vesika dan merangsang penutupan
muskulus spinchter vesicae, sehingga memberikan rasa penuh, rasa terbakar,
atau rasa kejang dan perasaan urgency. Refleks detrusor memulai kontraksi
involunter dari otot vesika urinaria karena peregangan pada dinding. Refleks
ini terjadi melalui serabut aferen dan eferen sistem parasimpatis. Refleks
detrusor menjadi aktif bila vesika urinaria terisi lebih dari 100-150 cc urin.
Sistem saraf parasimpatis menimbulkan keinginan untuk berkemih merangsang
kontraksi muskulus detrusor vesika dan menghambat kerja muskulus spinchter
vesicae. Sistem saraf somatik mengirim signal ke sfingter uretra eksterna untuk
mencegah kebocoran urin atau untuk berelaksasi sehingga urin dapat keluar.
3,5,8,10,11,14,16

Gambar 2.2. Sistem persarafan vesika urinaria

Mekanisme berkemih
Mekanisme berkemih terdiri dari 2 fase yaitu fase pengisian dan fase
pengosongan kandung kemih.3,5,8,10,13,16,21
1. Fase pengisian
Kontraksi peristaltik yang timbul secara teratur satu sampai lima kali tiap
menit akan mendorong urin dari pelvis renalis menuju vesika urinaria, dan
akan masuk secara periodik sesuai dengan gelombang peristaltik. Ketika
vesika urinaria terisi dan tekanan dinding vesika urinaria meningkat,
kontraksi refleks involunter muskulus detrusor secara efektif dilawan oleh
aktivasi spinchter internus. Pada saat yang bersamaan terjadi penutupan
spinchter internus dan relaksasi muskulus detrusor.
2. Fase pengosongan kandung kemih (miksi)
Stimulus yang terpenting untuk mikturisi adalah regangan dinding vesika
urinaria. Urin yang memasuki vesika urinaria tidak begitu meningkatkan
tekanan intravesika sampai vesika urinaria terisi penuh. Selain itu, seperti
juga jenis otot polos lainnya, otot vesika urinaria memiliki sifat plastis;
bila diregang, ketegangan yang mula-mula dimiliki tidak akan
dipertahankan. Keinginan pertama untuk berkemih timbul bila volume
vesika sekitar 150 mL, dan rasa penuh timbul pada pengisian sekitar 400
mL. Reseptor regangan didalam vesika urinaria terangsang dan impuls
tersebut diteruskan ke sistem saraf pusat, dan timbullah kesadaran miksi.
Selama proses berkemih, otot perineum dan spinchter uretra externa
melemas; otot detrusor berkontraksi; dan urin akan mengalir melalui uretra.
Ketika miksi berakhir secara volunter, dasar panggul berkontraksi untuk
meninggikan leher vesika urinaria kearah simfisis pubis, leher vesika
urinaria tertutup dan tekanan detrusor menurun.

Gambar 2.3. Fase pengisian dan pengosongan vesika urinaria


2.1.4. Patofisiologi Overactive Bladder
Vesika urinaria adalah organ yang dilapisi otot polos yang dalam
proses miksi dikendalikan oleh sistem saraf pusat, oleh karena itu gangguan
dari sistem saraf maupun kerusakan otot vesika urinaria sendiri dapat
menyebabkan OAB. Penyebab neurogenik tersebut antara lain adalah
penurunan inhibisi suprapontin terhadap refleks miksi, seperti yang terjadi
pada pasien pasca stroke. Disamping itu, kerusakan jaras akson pada korda
spinalis, meningkatnya input aferen pada Lower Urinary Tract (LUT),
hilangnya inhibisi perifer, dan meningkatnya neurotransmisi pada jaras refleks
miksi, yang kesemuanya bisa terjadi pada stroke, cedera korda spinalis, dan
sklerosis multiple.1,3,12,15,19,20
Teori miogenik, dapat terlihat pada pasien yang menderita obstruksi
intravesika, sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intravesika; yang
berakibat terjadinya denervasi otot polos detrusor. Bangkitan potensial aksi
pada otot polos menjadi terganggu dan tidak bisa disebarkan dari sel ke sel otot
polos yang lain. Denervasi ini menyebabkan timbulnya gerakan mikro
(micromotion), yang justru meningkatkan tekanan intravesika dan memberikan
rangsangan pada reseptor aferen otot polos. Rangsangan ini akan memberikan
umpan balik ke sistem saraf pusat sehingga timbul sensasi OAB.1,3,19
Dalam teori lain dikemukakan bahwa asetilkolin (Ach) yang
dikeluarkan dari urotelium pada saat distensi vesika urinaria jauh lebih banyak
daripada normal, disamping itu reseptor sensoris pada urotelium lebih sensitif
terhadap Ach yang dikeluarkannya. Kedua hal tersebut memberikan umpan
balik pada susunan saraf pusat yang memberikan perasaan urgensi dari suatu
OAB. Terdapat banyak bukti bahwa urotelium juga berperan pada fungsi
sensoris, termasuk di sini adalah pelepasan neurotransmitter sebagai respon
dari stimulus.1,3,19
Pada keadaan normal, selama proses pengisian vesika urinaria, tidak
terjadi aktivitas saraf eferen postganglionik. Dalam hipotesis lain disebutkan
bahwa pada pasien OAB, terdapat kebocoran Ach pada serabut eferen,
menyebabkan gerakan mikro (micromotions) pada otot polos detrusor dan
menstimulasi SSP, yang menyebabkan perasaan urgensi.1,3,19
Gambar 2.4. Perbedaan terjadinya miksi yang normal dengan terjadinya
miksi pada OAB

2.1.5. Gejala Overactive Bladder


Gejala klinis gangguan OAB meliputi : 1,3,4,19,20,21
1. Urgensi
Keinginan yang sangat kuat untuk berkemih, yang sulit untuk ditunda
2. Inkontinensia urgensi
Keluarnya urin secara tidak diinginkan yang sebelumnya didahului oleh
urgensi
3. Frekuensi
Terlalu sering berkemih, dalam sehari > 8 kali
4. Nokturia
Terbangun untuk berkemih pada malam hari > 1 kali
Tabel 2.1: Skor gejala OAB

PERTANYAAN FREKUENSI SKOR

Berapa kali rata-rata anda berkemih mulai <7 0


saat bangun pagi sampai pergi tidur malam 8-14 1
hari ? >15 2
Berapa kali rata-rata anda terbangun untuk 0 0
berkemih pada saat tidur malam hingga 1 1
bangun pagi hari ? 2 2
>3 3
Berapa seringkah anda merasa tiba-tiba Tidak pernah 0
timbul perasaan ingin kencing (“kebelet”) <1/minggu 1
yang tidak dapat ditunda ? ≥1/minggu 2
±1/hari 3
2-4/hari 4
≥5/hari 5
Berapa seringkah Anda tiba-tiba keluar Tidak pernah 0
urin (mengompol) karena ingin kencing <1/minggu 1
yang tidak tertahankan? ≥1/minggu 2
+ 1/hari 3
2-4/hari 4
>5/hari 5
Total Skor
Pasien diminta untuk melingkari jawaban pada kolom nilai skor, sesuai dengan kondisi
yang dialami selama seminggu terakhir, kemudian skor total adalah penjumlahan dari
keempat skor tersebut. Skor <5 : ringan, 6-11 : sedang, >12 : berat

2.1.6. Brain-derived neurotrophic factor (BDNF)


Brain-derived neurotrophic factor (BDNF) adalah faktor neurotropik yang
telah terbentuk dengan baik dan penelitian menggunakan model tikus telah
menunjukkan bahwa BDNF dan reseptornya yang berhubungan dengan
tropomiosin kinase B (TrkB) juga memiliki peran penting dalam pengembangan
sistem kardiovaskular [5, 6]. BDNF mencit mencit mengembangkan
hypocontractility jantung yang menyebabkan kematian postnatal awal [7]. BDNF
telah terbukti mempromosikan neoangiogenesis dan meningkatkan aliran darah
setelah cedera iskemik tikus. Ini juga diregulasi oleh sistem saraf pusat untuk
melindungi terhadap remodeling jantung setelah infark miokard.
BDNF memainkan peran penting dalam fungsi normal neuron sensorik. Ini
termasuk faktor neurotropik (termasuk NGF, BDNF, NT3 NT4) dan disekresikan
dari urothelium. Ini mengikat dengan reseptor TrkB hadir di urothelium dan serat
aferen dari kandung kemih. Selain itu, ia memiliki efek trofik pada jaringan saraf,
dan memainkan peran penting dalam proses nociceptive, baik pada sumsum
tulang belakang dan tingkat supra-spinal, dan juga dalam proses inflamasi.
Keberadaannya terdeteksi di ujung terminal serabut sensorik, dimana keberadaan
CGRP dan substansi P ditemukan. Disarankan bahwa ekspresi BDNF dimodelkan
oleh NGF. Sintesisnya meningkat secara signifikan dalam kasus cedera tulang
belakang dan sistitis kronis. Hasil uji praklinik telah menunjukkan bahwa akut
intratecal (ke dalam tulang belakang) administrasi BDNF menginduksi
peningkatan frekuensi kemih, suatu efek yang tidak diamati dalam kasus
administrasi kronis [1]. Sekresi BDNF biasanya disebabkan oleh peningkatan
sintesis NGF dalam jaringan yang meradang. Karena BDNF memainkan peran
penting dalam etiopatogenesis baik nyeri dan peradangan, pekerjaan dilakukan
dengan tujuan untuk mengevaluasi perannya dalam etiopatogenesis sistitis dan
OAB. Ditemukan bahwa cystitis yang diinduksi secara kimia mengubah sifat-sifat
serat aferen di sumsum tulang belakang dan ganglia akar dorsal. Disarankan
bahwa BDNF bertanggung jawab untuk perubahan adaptif dan plastisitas
neuronal. Telah terbukti bahwa ekspresi reseptor TrkB meningkat secara
signifikan di ganglia L1, L2, L6 dan S1 dorsal-root dalam kasus sistitis akut yang
disebabkan oleh siklofosfamid, tetapi tidak pada kasus sistitis kronis. Studi-studi
ini telah mengkonfirmasi bahwa tingkat BDNF jauh lebih tinggi pada hewan
dengan hiperaktivitas kandung kemih siklofosfamid yang diinduksi.
Terdapat penelitian yang membuktikan bahwa sekuestrasi BDNF memiliki
efek positif pada fungsi kandung kemih pada sistitis. Yang penting, sekuestrasi
BDNF tidak mempengaruhi refleks fisiologis mikturisi, yang membuktikan bahwa
BDNF memodulasi aktivitas kandung kemih hanya dalam kasus disfungsinya.
Telah diketahui bahwa rasio BDNF / kreatinin (pg / mg) rendah pada orang sehat
dan tidak bergantung pada jenis kelamin atau keadaan pengumpulan sampel.
Peningkatan yang sangat signifikan dalam BDNF, pada gilirannya, telah
ditemukan pada pasien OAB, khususnya pada orang dengan OAB basah.
Menariknya, tingkat BDNF meningkat pada orang dengan depresi, biasanya hidup
berdampingan dengan OAB, yang mungkin menyarankan ini adalah elemen
umum dalam etiopatogenesis kedua penyakit ini. Dengan demikian, tampaknya
BDNF kemih dapat menjadi biomarker yang berharga dalam diagnostik OAB.
Sangat penting untuk menunjukkan bahwa analisis komparatif yang dilakukan
dari kurva karakteristik operator-penerima dari NGF / kreatinin kandung kemih
dan BDNF / kreatinin urin pada pasien OAB menunjukkan bahwa BDNF
memiliki area yang lebih baik di bawah kurva daripada NGF [2]. BDNF juga
dianalisis dalam konteks kemungkinan penggunaannya dalam menilai efektivitas
perawatan OAB. Sebagai toksin botulinum menampilkan efek analgesik, yang
dihasilkan dari penghambatan neurotransmission nociceptive di sumsum tulang
belakang dan pencegahan peradangan neurogenik, itu diverifikasi apakah
administrasi ke dalam segitiga kandung kemih pada pasien dengan sindrom nyeri
kandung kemih dapat mempengaruhi tingkat BDNF. Ditemukan bahwa
konsentrasi neurotropin menurun secara signifikan setelah satu bulan dari
pemberian neurotoxin, yang terbukti berkorelasi dengan penurunan intensitas
nyeri pada skala analog visual. Para pasien juga mencatat perbaikan subyektif
dalam hal frekuensi siang hari dan nokturia, satu dan tiga bulan setelah pemberian
toksin botulinum. Tingkat BDNF meningkat secara bertahap untuk mencapai nilai
dasar enam bulan setelah pemberian neurotoxin. Studi klinis lain membuktikan
bahwa BDNF / kreatinin menurun sebagai akibat dari pengobatan dengan agen
penghambat kolinergik. Apa yang sangat menarik adalah bahwa penurunan BDNF
/ kreatinin berkorelasi dengan penurunan urgensi kemih, yang tidak diamati dalam
kasus NGF / kreatinin [3].
Secara umum, konsentrasi BDNF dalam urin relatif rendah tanpa
memperhatikan waktu pengumpulan sampel. Telah terbukti bahwa kadar BDNF /
kreatinin secara signifikan lebih tinggi pada pasien OAB dibandingkan pada orang
sehat (980,3 ± 1,774.8 vs 110,4 ± 159,5). Menariknya, setelah perawatan tiga
bulan, levelnya pada kelompok OAB berkurang secara signifikan (980,3 ± 1,774.8
vs 399,5 ± 487). Penurunan ini disertai dengan penurunan gejala klinis (Indevus
Urgency Severity Scale skor 3,29 ± 0,59 vs 3,18 ± 0,39). Dengan demikian,
tampaknya BDNF dapat menjadi biomarker akut dari efikasi pengobatan OAB.
Hasil studi yang dilakukan menunjukkan bahwa BDNF terbukti lebih unggul dari
NGF dalam diagnostik OAB. Hambatan untuk mengadaptasi BDNF sebagai
biomarker OAB adalah kurangnya data standar mengenai nilai referensi pada
orang sehat, dan kurangnya pengetahuan tentang nilai ambang di atas mana
biomarker ini akan menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas dalam diagnostik
OAB [4].

2.1.7. C-Reactive Protein


Tampaknya sitokin dapat menjadi biomarker yang berguna dalam
diagnostik OAB, karena tingkat mereka dalam biofluida menunjukkan
kecenderungan untuk meningkatkan proses inflamasi. Hasil uji klinis telah
menunjukkan bahwa tingkat fraksi larut ligan CD40 (sCD40L) dan monosit
chemotactic protein-1 (MCP-1) adalah beberapa kali lebih tinggi dalam urin
pasien OAB bila dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Sebuah perbedaan
yang signifikan antara kelompok juga ditemukan dalam kaitannya dengan
onkogen terkait pertumbuhan (GRO-α), faktor pertumbuhan epidermal (EGF), dan
protein inflamasi makrofag (MIP- 1β), IL-12p70 / p40, IL-5, IL -10 dan sIL-2Rα.
Itu juga membuktikan bahwa tingkat sitokin (MCP1, TARC, PARC dan Fas /
TNFRSF6) meningkat pada pasien OAB, hingga tingkat yang signifikan secara
statistik.
Mengingat bahwa CRP adalah penanda fase akut peradangan, yang
disintesis di hati sebagai respons terhadap faktor-faktor yang disekresikan oleh
makrofag dan adiposit, studi juga dilakukan untuk memeriksa protein ini dalam
konteks menggunakannya sebagai biomarker OAB . Tes termasuk pasien dengan
OAB basah dan kering, membandingkan tingkat CRP dalam urin, darah dan
jaringan kandung kemih dengan rekan-rekan mereka dalam kontrol yang sehat.
Tingkat CRP lebih tinggi pada pasien dari kedua kelompok yang diteliti bila
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada saat yang sama, tercatat bahwa
kadar CRP serum darah, meskipun lebih tinggi pada pasien OAB, gagal mencapai
nilai yang biasanya diamati pada kasus peradangan. Menariknya, juga ditemukan
bahwa tingkat CRP secara statistik lebih tinggi secara signifikan pada pasien OAB
basah daripada di kelompok OAB kering. Pada saat yang sama, diamati bahwa
kadar CRP kandung kemih dan kandung kemih jauh lebih rendah daripada tingkat
CRP serum [6].
Uji coba lain mengungkapkan korelasi antara tingkat serum-CRP dan
episode urgensi pada pasien dengan hiperplasia prostat jinak. Para pasien yang
melaporkan gejala urgensi memiliki tingkat CRP yang secara signifikan lebih
tinggi daripada orang yang sehat. Pada saat yang sama, gejala OAB yang
meningkat dicatat pada orang dengan tingkat CRP> 0,3 mg / dL dibandingkan
pada mereka dengan kadar CRP <0,3 mg / dL. Kadar CRP serum yang tinggi juga
ditemukan pada wanita dengan OAB, dengan nilai yang secara statistik lebih
tinggi dicatat pada kelompok OAB basah bila dibandingkan dengan pasien wanita
dengan hipersensitivitas kandung kemih, tetapi tanpa gejala urodinamik dari
detrusor overactivity. Menariknya, korelasi ditemukan antara peningkatan kadar
CRP dan penurunan tingkat aliran kemih maksimum. Nilai yang lebih tinggi dari
laju aliran kemih maksimum dan indeks massa tubuh ternyata menjadi dua faktor
independen yang mempengaruhi tingkat CRP. Itu juga membuktikan bahwa
tingkat CRP 1-3 mg / L memerlukan peningkatan risiko gejala OAB, yang
mungkin menunjukkan bahwa proses inflamasi memainkan peran penting dalam
etiopathogenesis OAB [7].
Tampaknya karena nilai CRP yang sangat rendah yang ada di urin dan
kandung kemih yang hanya dapat dideteksi di pusat penelitian spesialis, akan sulit
untuk mengembangkan tes urine menjadi tersedia secara umum dan siap
digunakan dalam praktek klinis sehari-hari di tempat terdekat. masa depan. Juga
penting bahwa CRP bukan penanda karakteristik proses patofisiologi yang
mendasari OAB, tetapi hanya penanda peradangan non-spesifik. Tampaknya saat
ini memiliki sensitivitas dan selektifitas yang terlalu rendah untuk menjadi
biomarker OAB yang terisolasi. Namun, ini dapat berguna ketika dikombinasikan
dengan biomarker lain seperti NGF atau BDNF. Kombinasi semacam itu mungkin
secara signifikan meningkatkan nilai diagnostiknya [8].
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan menggunakan desain
penelitian cross sectional, dimana data yang menjadi variabel bebas atau risiko
dan variabel terikat atau variabel akibat serta variabel perancu, akan dikumpulkan
dalam waktu yang bersamaan.

3.2. Tempat Dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan dibeberapa tempat, yakni Rumah Sakit Umum
Pusat Haji Adam Malik, Medan dan RS jejaring Obgin-FK USU di Medan.
Penelitian akan dilakukan mulai bulan Desember 2018 hingga jumlah sampel
terpenuhi.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah perempuan menopause yang mengalami
overactive bladder dan datang berobat ke Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik, Medan. Sampel dipilih secara consecutive sampling dari populasi yang
ada. Pada consecutive sampling, semua subyek yang datang secara berurutan dan
memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek
yang diperlukan terpenuhi.

3.3.2. Sampel Penelitian


Jumlah sampel untuk penelitian yang menggunakan data numerik dengan
jenis penelitian koefisien korelasi dapat menggunakan rumus ketepatan absolut.
Rumus untuk menentukan besar sampel pada penelitian ini adalah:
2

Zα + Zβ
𝑛= ( ) + 3
(1 + r)
0,5 In [ ]
(1 − 𝑟)
Keterangan :
N = jumlah total sampel
Zα = tingkat kemaknaan, yang ditetapkan oleh peneliti yaitu 1,645
Zβ = power, ditetapkan sebesar 2,326
r = perkiraan koefisien korelasi dari kepustakaan sebelumnya.

Kesalahan tipe I (α) adalah asosiasi atau perbedaan ditemukan dalam data
sampel, sedangkan dalam populasi perbedaan tersebut tidak ada. Kesalahan tipe II
(β) adalah asosiasi atau perbedaan tidak ditemukan dalam data sampel, sementara
dalam populasi perbedaan tersebut ditemukan. Nilai dan ditetapkan sepenuhnya
oleh peneliti dengan pertimbangan perkiraan jumlah sampel dan validitas
penelitian yang dihasilkan.
Kesalahan tipe I (α) yang ditetapkan sebesar 1 %, sehingga = 1,645,
sedangkan kesalahan tipe II (β) yang ditetapkan sebesar 10 %, maka =2,326.
Untuk menentukan besar sampel tunggal minimal pada penentuan
koefisien korelasi juga digunakan penentuan nilai r. Nilai r merupakan perkiraan
koefisien korelasi yang telah ada dengan tingkat kemaknaan tertentu yang
didapatkan dari studi kepustakaan penelitian sebelumnya. Pada studi kepustakaan
diperoleh koefisien korelasi nilai CRP dan BDNF pada AOB sebesar 0,68,
sehingga nilai r inilah yang dimasukkan ke dalam rumus besar sampel.
Substitusi nilai r ke dalam rumus besar sampel akan didapatkan hasil
jumlah sampel minimal adalah 26.
2

1,645 + 2,326
𝑛= ( ) + 3
(1 + 0,68)
0,5 In [ ]
(1 − 0,68)
n = 26

Semua data yang diperoleh akan dilakukan perhitungan secara manual


untuk kemudian dilakukan pengecekan dengan menggunakan program komputer.
Hasil yang diperoleh akan dihitung dengan menggunakan beberapa metode
analisis statistik sebagai berikut :
1. Pengukuran kadar CRP dan BDNF pada urin sampel untuk kemudian
dihitung rata-ratanya kemudian dicari simpang bakunya.
2. Kadar CRP dan BDNF diuji kesamaannya dengan mengunakan uji t
untuk dua sampel yang berpasangan.
3. Untuk mengetahui keeratan antara CRP dan BDNF digunakan rumus
koefisien korelasi pearson.

Keterangan : r = koefisien korelasi


n = jumlah sampel
y = kadar CRP dalam urin
x = kadar BDNF dalam urin

Koefisien korelasi tersebut akan menentukan tingkat interpretasi hubungan


CRP dan BDNF pada wanita menopause yang mengalami overactive bladder.
Tingkat interpretasi ditentukan berdasarkan table di bawah ini.

Tabel Interpretasi koefisien korelasi


No. Koefisien korelasi (r) Interpretasi
1. 0,80 – 1,00 Sangat kuat
2. 0,60 – 0,799 Kuat
3. 0,40 – 0,599 Sedang
4. 0,20 – 0,399 Lemah
5. 0,00 – 0,199 Sangat lemah
1.5. Kerangka Konsep

VARIABEL INDEPENDEN VARIABEL DEPENDEN

KADAR CRP PADA OVERACTIVE


WANITA
BLADDER
MENOPAUSE

KADAR BDNF
PADA WANITA
MENOPAUSE

3.6 Prosedur Kerja


1. Setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, dilakukan pengambilan sampel di RSUP H.
Adam Malik Medan dan rumah sakit jejaring Departemen Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
2. Pasien menopause yang mengalami AOB dan masuk ke dalam sampel
penelitian sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi diberi informed
consent. Pasien yang telah setuju dan bersedia menandatangani informed
consent dimasukkan ke dalam subjek penelitian
3. Peneliti melakukan pengisian data karakteristik, tekanan darah dan
penilaian antropometri
4. Peneliti mengumpulkan sampel urin kemudia diperiksakan di laboratorium
Patologi Klinik.
5. Data ditabulasi dan dianalisa secara statistik menggunakan SPSS
3.7. Etika Penelitian
Untuk izin penelitian, persetujuannya diperoleh dari subjek
penelitian dan Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara yang akan melakukan penilaian kelayakan proposal penelitian.

3.8. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional


3.8.1 Variabel Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan 2 variabel, yaitu variabel independen dan
variabel dependen. Variabel bebas (Variabel Independen) adalah variabel yang
menjadikan sebab dari timbulnya atau berubahnya variabel terikat (Variabel
Dependen). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kadar CRP dan BDNF
pada wanita menopause. Variabel terikat (Variabel Dependen) adalah variabel
yang di pengaruhi oleh variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah
overactive bladder.

3.8.2 Definisi Operasional


No Variabel Definisi Cara dan alat Kategori Skala
Ukur
1 Over active Suatu keadaan Anamnesis dan 1. Ya Kategorik
bladder urgensi dengan pemeriksaan 2. Tidak
atau tanpa fisik
inkontinensia
tipe urgensi,
biasanya
disertai dengan
frekuensi dan
nokturia
2 Menopause Berhentinya Anamnesis, 1.Ya Kategorik
secara pemeriksaan 2.Tidak
fisiologis siklus fisik,
menstruasi yang pemeriksaan
berkaitan laboratorium
dengan tingkat
lanjut usia
perempuan
3. C-Reactive Penanda fase Pengambilan Numerik
Protein akut sampel lewat
peradangan, darah atau urin
yang disintesis
di hati sebagai
respons
terhadap faktor-
faktor yang
disekresikan
oleh makrofag
dan adiposit
4. BDNF Adalah faktor Pengambilan Numerik
neurotropik sampel lewat
yang telah darah atau urin
terbentuk
dengan baik dan
memainkan
peran penting
dalam fungsi
normal neuron
sensorik
3.9 Alur Penelitian

Pasien menopause
dengan overactive
bladder

Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Sample penelitian

Dilakukan Anamnese, dan


pengumpulan data
karakteristik

Pengumpulan sampel urin dan diperiksa di


Laboratorium Patologi Klinik

Dilakukan pemeriksaan kadar CRP dan BDF


dalam urin

Analisa Statistik
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. HASIL
Penelitian ini merupakan suatu penelitian cross sectional yang menilai
korelasi antara CRP dan BDNF pada wanita menopause yang mengalami over
active bladder. Sampel penelitian adalah bagian dari populasi penelitian yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang diambil secara consecutive sampling.

Tabel 4.1.Karakteristik Sampel


Karakteristik Mean P-value
Usia <20 Tahun
20-35 Tahun
>35 Tahun
Tekanan darah
Sistolik <100
100-130
140-160
>160
Diastolik <60
70-80
90-100
>100
Aktivitas Pekerjaan Tidak bekerja
Pekerja aktif
Paritas Primigravida
Sekundi-Multigravida
Grandemultigravida
Riwayat Merokok Ya
Tidak
Pemakaian kontrasepsi oral Ya
Tidak
Indeks Masa Tubuh (IMT) Underweight
Normal
Overweight
Obesitas
Skor gejala OAB <5
6 – 11
>12

4.2 Hasil Patologi Klinik


CRP BDNF
Value P-value
% N % N

Anda mungkin juga menyukai