Anda di halaman 1dari 101

Etika Administrasi Negara

UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta

Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4


Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang
terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.
Pembatasan Pelindungan Pasal 26
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku
terhadap:
i. penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan
peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual;
ii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan
penelitian ilmu pengetahuan;
iii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan
pengajaran, kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman
sebagai bahan ajar; dan
iv. penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan
yang memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan
tanpa izin Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran.
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Etika Administrasi Negara

Mukmin Muhammad
ETIKA ADMINISTRASI NEGARA

Mukmin Muhammad

Editor : Nama
Proofreader : Nama
Desain Cover : Nama
Tata Letak Isi : Tia Dwijayanti
Sumber Gambar: Sumber

Cetakan Pertama: November 2017

Hak Cipta 2017, Pada Penulis

Isi diluar tanggung jawab percetakan


Copyright © 2017 by Deepublish Publisher
All Right Reserved

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.

PENERBIT DEEPUBLISH
(Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)
Anggota IKAPI (076/DIY/2012)
Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman
Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581
Telp/Faks: (0274) 4533427
Website: www.deepublish.co.id
www.penerbitdeepublish.com
E-mail: cs@deepublish.co.id

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

MUHAMMAD, Mukmin
Etika Administrasi Negara /oleh Mukmin Muhammad.--Ed.1, Cet. 1--
Yogyakarta: Deepublish, November-2017.
viii, 93 hlm.; Uk:14x20 cm

ISBN 978-Nomor ISBN

1. Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan I. Judul


320
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah


swt, karena atas rahmatNya sehingga Buku ini dapat
diselesaikan.
Buku ini di susun untuk membantu mahasiswa yang
sedang mengikuti mata kuliah Etika Administrasi Negara,
buku ini juga diharapkan bermamfaat sebagai bahan bacaan
untuk masyarakat luas, khususnya mereka yang
berkedudukan sebagai pimpinan pada organisasi
pemerintahan maupun organisasi perusahaan swasta.
Materi Etika administrasi negara adalah etika dalam
pemerintahan (etika Aparatur/ PNS), dengan adanya
perkembangannya.
Disadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna,
sehingga masukan dari berbagai pihak dalam rangka
perbaikan dan kesempurnaannya sangat diharapkan dari
semua pihak.
Akhirnya, mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi
para pembaca, khusunya mahasiswa yang sedang mengikuti
maka kuliah Etika Administrasi Negara. Insya Allah.
Wabillahi Taufiq Wal Hidayah. Amin.

Peyusun

v
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................... v
DAFTAR ISI ........................................................... vi
BAB I IKHTISAR ETIKA ADMINISTRASI
NEGARA ................................................. 3
A. Pendahuluan ................................................ 3
B. Etika Administrasi ........................................ 5
C. Wawasan Etika Administrasi Negara ........... 11
BAB II ETIKA DAN MORAL ............................... 17
A. Pengertian Etika dan Moral......................... 17
B. Prinsip-Prinsip Etika ................................... 23
BAB III MANUSIA SEBAGAI MAHLUK
INDIVIDU.............................................. 29
A. Manusia Sebagai Individu ........................... 29
B. Ciri-Ciri Perbedaan Individu ....................... 30
C. Kodrat dan Hakikat Manusia ...................... 33
D. Watak Manusia .......................................... 38
E. Sikap Individu (Attitude)............................. 38
F. Hubungan Sikap (Attitude) dengan Perilaku 40
BAB IV PERILAKU APARATUR NEGARA ............ 43
A. Ilmu Perilaku.............................................. 43
B. Perilaku Organisasi ..................................... 44
C. Pandangan Perilaku dalam Organisasi ......... 45
D. Perilaku dalam Kelompok ........................... 48
vi
BAB V ETIKA JABATAN DAN APARATUR
NEGARA ............................................... 51
A. Dimensi Etika ............................................ 51
B. Etika dalam Pemerintahan .......................... 55
C. Etika Aparatur/ PNS .................................. 62
D. Etika Dalam Jabatan .................................. 76
BAB VI STANDAR ETIKA ORGANISASI
PEMERINTAHAN ................................... 81
A. Pengertian Standar Etika............................. 81
B. Penyusunan Standar Etika .......................... 83
C. Pengawasan dan Evaluasi Standar Etika ...... 83
DAFTAR PUSTAKA ............................................. 91
BIODATA PENULIS ............................................. 93

vii
viii
TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)
Setelah mengikuti pembelajaran ini (mata kuliah)
mahasiswa diharapkan mengerti, menjelaskan,
mengindentifikasi serta menganalisis dan mampu
menerapkan prinsip-prinsip Etka Administrasi Negara :

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS (TIK)


Setelah mengikuti pembelajaran (mata kuliah) ini
peserta (mahasiswa) diharapkan mampu :
 Menjelaskan Ikhtisar Etika Administrasi Negara
 Menjelaskan Konsepsi Etika dan Moral
 Menjelaskan Manusia Sebagai Mahluk Individu
 Menerangkan Perilaku Aparatur Negara
 Menerangkan Etika Jabatan dan Aparatur Negara
 Menganalisis Standar Etika Organisasi Pemerintahan

1
2
BAB I
IKHTISAR ETIKA ADMINISTRASI NEGARA

A. Pendahuluan
Manusia sebagai materi dasar administrasi. Manusia
merupakan sumber adanya administrasi. Kelahiran
administrasi ditentukan oleh pengejaran tujuan bersama
secara kolektif dengan mencari sistem-sistem yang bisa
memenuhi kebutuhan yang berguna.
Karena itu pula tujuan administarsi adalah semata-
mata untuk kepentingan manusia, khususnya
keberadaannya sebagai makhluk sosial yang bermasyarakat.
Maka konsekwensinya administrasi bertanggungjawab
terhadap kelangsungan organisasi sosial dengan segala
kegiatan mulai dari perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, pengawasan sampai pada evaluasi demi tujuan
yang telah ditentukan.
Itulah sebabnya disebut, administrasi sebagai suatu
fenomena sosial, dan hidup subur di dalam kehidupan sosial
bermasyarakat. Di dalam tingkat kehidupan yang demikian,
individu mempunyai peranan sentral dan penting. Karena
sebenarnya masyarakat adalah bentuk hubungan antar
individu dalam suatu sistem, untuk mencapai tujuan. Oleh
karena itu setiap individu berfungsi sebagai sumberdaya
masyarakat, sekaligus sumberdaya administrasi.
Siagian (1993) mengemukakan, administrasi sebagai
keseluruhan proses kerjasama antara dua orang atau lebih

3
yang didasarkan atas rationalitas tertentu untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Di dalam inti administrasi terkandung di dalamnya
beberapa konsepsi, seperti manajemen, kepemimpinan,
pengambilan keputusan, human relation, dan manusia itu
sendiri, di dalam wadah yang disebut organisasi (birokrasi).
Hakikat yang terdalam dalam administrasi sebenarnya
adalah pelayanan, di mana manusia sebagai subyek dan
sekaligus sebagai obyek. Jadi yang melayani adalah manusia
dan yang dilayani juga adalah manusia pula. Sehingga unsur
utama dalam administrasi adalah manusia dalam kelompok,
proses kegiatan dan tujuan yang akan dicapai.
Oleh karena administrasi sebagai ilmu pengetahuan
maka administrasi merupakan bagian dari filsafat ilmu
pengetahuan, Sebagai bagian ilmu filsafat maka kita perlu
mengetahui hakikat terdalam adaministrasi yang dapat
dipelajari. Salah satu masalah yang perlu kita ketahui adalah
bagaimana aspek etis (etika) administrasi dalam mencapai
tujuan tetentu. Masalah lain tentang administrasi dari
pandangan filsafat ilmu pengetahuan adalah pada aspek
ontologis administrasi dan epistemologis administrasi
Aspek ontologis administrasi dimaksudkan bahwa di
dalam administrasi terkandung unsur-unsur mutlak, yaitu
adanya tujuan, sistem kerjasama yang efektif dan efisien dan
tanggungjawab para pelaku administrasi, terhadap proses
kerjasama untuk mencapai tujuan. Ilmu ini mempelajari asal
mula dan hakikat administrasi.
Aspek epistemologis adiministrasi, yaitu membuktikan
bahwa administrasi merupakan suatu disiplin ilmu sosial

4
yang mempunyai “obyek, metode, sistem dan kebenaran
ilmiah”. Ilmu ini mengajarkan administrasi secara teoritis
yang mempunyai obyek, metode, sistem serta segala unsur
yang diperlukan sebagai ilmu pengetahuan, dan memang
administrasi telah memenuhi semua itu sehingga
administrasi sudah diterima sebagai bagian disiplin ilmu-
ilmu sosial, seperti halnya ilmu-ilmu lainnya.
Sedangkan aspek etis (etika) dalam administrasi
berisikan tentang perilaku administrasi yang adil dan
bertanggungjawab kepada seluruh warga masyarakat,
khususnya para administrator / birokrat terhadap
keseluruhan sistem kerjasama dalam rangka pencapaian
tujuan. Etika administrasi adalah pertanggungjawaban
administrasi secara etis, dan secara moral kepada
masyarakat. Administrator dan para birokrat seharusnya
tidak melakukan perbuatan tercela dan merugikan rakyat,
seperti korupsi, kolusi, nepotisme, suap, mempermainkan
anggaran, dan semacamnya, karena perbuatan semacam itu
adalah tidak etis dan tidak bermoral, bahkan sangat
memalukan, karena bertentangan nilai-nilai budaya dan
agama.

B. Etika Administrasi
Apa yang baik bagi seseorang, seharusnya baik juga
bagi setiap orang lain dalam masyarakat. Oleh karena itu di
dalam kehidupan masyarakat seharusnya tingkah laku
masyarakat saling bertanggungjawab secara teratur demi
tercapainya tujuan. Tidak ada satu orang pun dalam

5
masyarakat yang dapat bertingkahlaku yang menyebabkan
orang lain merasa dirugikan.
Dari penjelasan tersebut terlihat dengan jelas bahwa
etika mengandung dua unsur pokok, yaitu :
1. Etika adalah sistem-sistem yang terangkai secara
teratur dalam suatu entitas yang utuh, sehingga
terbentuklah suatu norma umum. Norma ini
selanjutnya menjadi pedoman dasar bagi tingkah laku
sosial pada umumnya.
2. Etika adalah tingkah laku bertanggungjawab setiap
individu baik secara bersama-sama terhadap norma-
norma umum itu demi tercapainya tujuan, sehingga
nilai kebaikan benar-benar aktual adanya.
Dalam realita konkret (menurut hakikatnya)
administrasi mengandung banyak tingkatan sistem, Mulai
dari sistem perencanaan, sistem pengorganisasian, sistem
koordinasi, sistem pelaksanaan (implementasi), sampai
kepada sistem pengawasan dan evaluasi.
Keseluruan sistem itu di dalam administrasi disebut
sistem manajamen dimana biasanya didukung dan
dipertanggungjawabkan oleh komponen “administrator”
yang terkoordinir dalam suatu badan yang disebut
“birokrasi”. Setiap birokrat adalah administrator yang
berkewajiban untuk menggerakkan sistem kerjasama untuk
mempertanggungjawabkan tercapainya tujuan. Artinya di
dalam proses administrasi, maka para administrator atau
birokrat-birokrat itu seharusnya mampu menggerakkan
seluruh sistem perilaku ke arah pencapaian tujuan
organisasi atau tujuan sosial semata.

6
Untuk dapat mengembangkan perilaku yang demikian
maka seharusnya para administrator atau birokrat bersikap
terbuka, adil, otonom, kritis dan kreatif.
Lebih dari pada itu, secara moral, para administrator
atau birokrat seharusnya mau dan mampu menjaga dan
mengembangkan suasana dan kondisi sosial birokrasi yang
demokratis berkeadilan. Sebab azas demokrasi berkeadilan
dapat membentuk suatu sistem birokrasi ke arah
pertumbuhan dan pengembangan sikap dan perbuatan etis
yang mampu bertanggungjawab atas tujuan sosial, menurut
dasar nilai keadilan. Di mana keadilan adalah “prinsip
moral” berupa kesediaan memberikan atau melakukan
perbuatan apa yang seharusnya diberikan atau dilakukan
kepada yang lain. Dengan keadaan yang demokratis ini
maka seluruh sistem akan dapat digerakkan secara intensif,
efektif dan efisien bagi pencapaian tujuan.
Dalam rangka mengembangkan tingkah laku ilmiah
obyektif itu, dalam prakteknya tidaklah mudah. Adapun
kendala besar yang sering terjadi adalah justru bersumber
dari “nafsu-nafsu” dan “kemauan-kemauan” pribadi yang
berkembang menjadi pelbagai kepentingan pribadi /
kepentingan kelompok dalam birokrasi administrasi.
Kepentingan ini biasanya berupa “kekuasaan politik” dan
“ekonomi” dari sementara administrator. Kepentingan
pribadi / kelompok atas kekuasaan politik, bisa menggangu
dan menghambat atau “membelokkan arah” mekanisme
proses kerjasama antara unit-unit kerjasama, sehingga tidak
efektif dan efisien terhadap pencapaian tujuan. Karena
kepentingan kekuasaan tersebut, bisa mengakibatkan

7
perencanaan menjadi ditentukan oleh seorang penguasa
(yang sering tidak sesuai dengan tujuan akhir yang ingin
dicapai), begitupula pengorganisasiannya bisa disusun
secara tidak adil dan tidak obyektif, misalnya penempatan
pejabat pada jabatan tertentu bukan lagi sesuai
keakhliannya dan kemampuan kerjanya, tetapi hasil kolusi
dan nepotisme yang merugikan organisasi/pihak lain.
Sehingga organisasi menjadi kaku, yakni hanya bergerak
dari atas ke bawah, pengawasan bisa hanya bersifat fisik
semata dan pelaksanaan kegiatan tidak diwarnai oleh etos
kerja yang baik serta evaluasi dibuat hanya secara semu dan
artifisial belaka.
Adapun kepentingan pribadi atas ekonomi, bisa
membuahkan segala macam penyelewengan dana dan daya
(KKN), yakni banyak pejabat birokrasi yang tidak etis/tidak
bermoral dalam melaksanakan tugas. Hal ini sering pula
dilakukan secara berkelompok, bukan hanya di pusat
pemerintahan tetapi justru dapat merambah di tingkat
pemerintahan lokal (daerah).
Persoalannya adalah bagaimana kepentingan-
kepentingan pribadi demikian itu bisa dicegah dan diatasi?.
Untuk mencegahnya – tidak ada jalan lain kecuali
dikembalikan pada kondisi sosial moral organisasi
kemasyarakatan itu sendiri. Salah satu diantaranya adalah
penataan sistim pendidikan dan sosial yang lebih
berkualitas. Maksudnya, bagaimana kualitas tingkat
pendidikan masyarakat sebagai dasar terbentuknya suatu
tatanan sosial yang demokratis dan berkeadilan.

8
Kondisi sosial yang demokratis berkeadilan adalah
faktor lingkungan sosial yang penting dan turut
menentukan bagi adanya suatu “birokrasi yang demokratis
berkeadilan” pula. Jika lingkungan sosial yang demokratis
berkeadilan itu aktual, maka kritik sosial akan tumbuh dan
berkembang secara fungsional efektif dan efisien
memberikan kontrol terhadap mekanisme birokrasi,
sehingga tetap konsisiten terhadap pencapaian tujuan.
Selain itu, di dalam kepemimpinan administrasi perlu
menerapkan sifat-sifat kepemimpinan yang baik yaitu, adil,
suka melindungi, penuh inisiatif, penuh daya tarik, penuh
kepercayaan pada diri sendiri.
Selain daripada itu perlunya dikembangkan nilai-nilai
budaya dan adat istiadat, termasuk budaya lokal. Nilai-nilai
budaya lokal suku Bugis Makassar misalnya dalam konsep
kepemimpinan dikenal istilah “Ajjoareng = panutan”, di
dalam konsep pengambilan keputusan dikenal “Getteng”
yakni pemimpin harus mampu mengambil keputusan yang
benar dalam semua situasi dan kondisi apapun. “Lempu”
atau kejujuran dalam bekerja, Nilai “siri na pacce”. Malu
berbuat kesalahan, dan tidak sampai hati membuat orang
lain menderita.
Di dendangkan lagu : “Iyya teppaja kusappa paccolli
loloengi aju marakkoe”, maknanya bahwa orang senantiasa
dicari adalah yang mempunyai kemampuan kerja, jujur,
bersih dan berwibawah, yang melakukan modernisasi dan
reformasi dalam masyarakat menuju kemajuan yang
diharapkan. Selain daripada itu dalam sebuah pantun
disbutkan bahwa “tellumi teppaja kusappa, unganna

9
panasae, belona kanukue, pattompang aje tedong”,
maksudnya : hanya tiga yang selalu saya cari yaitu unganna
panasae (lempu) artinya jujur (kejujuran), kemudian belona
kanukue (penghias kuku) yaitu pacci = paccing, artinya
bersih, dan pattompang aje tedong (tempat asahan kakinya
kerbau), yaitu pasir artinya kessi = kessing (baik – kebaikan),
Jadi pejabat / aparatur negara yang dicari adalah yang, jujur,
bersih dan mampu serta senantiasa berbuat baik yang bebas
dari perbuatan-perbuatan yang tercela, seperti korupsi
(merampok di kantornya), kolusi dan nopotisme.
Untuk mewujudkan etika dan moral dalam
administrasi maka konsepsi yang diatur dalam semua agama
perlu diterapkan dalam proses administrasi, seperti jangan
membunuh, jangan mencuri, jangan berzina, jangan
berbohong, dan jangan minum arak (sekarang minuman
keras, narkotik dan sejenisnya) yang memabukkan.
Nilai-nilai tradisional yang selama ini merupakan
perekat masyarakat ternyata sudah mulai luntur. Misalnya :
nilai Lempu, Paccing, dan Kessing, Getteng, dan Ajjoareng.
Dalam kehidupan birokrasi yang sudah dipengaruhi KKN,
kita dapat menyaksikan pejabat yang korupsi dengan tidak
malu mempertontongkan hasil korupsinya (hasil rampokan)
seperti mobil mewah, rumah mewah dan barang-barang
mewah lainnya. Banyak pengusaha yang tidak malu lagi
disebut sebagai peminjam uang Bank (Kredit) dengan
jumlah besar, kemudian uang kredit itu dihamburkan untuk
keperluan konsumtif, kemudian utangnya tidak mampu ia
mengembalikkan. Seharusnya malu berbuat seperti itu. Ini

10
berarti nilai “siri na pacce” sudah mulai luntur dikalangan
masyarakat.
Di dalam Al Qur’an disebutkan : Allah cinta kepada
orang yang berbuat baik (Ali Imran, 134), Allah cinta kepada
orang-orang yang adil (Al Maidah,42), Allah mencintai
orang yang bersih (At Taubah, 108). Sesungguhnya Allah
tidak mencintai orang-orang yang melanggar (Al Baqarah,
190), Dan Allah tidak cinta kepada orang-orang yang aniaya
(Ali Imran,57). Sesungguhnya Allah tidak cinta kepada
orang-orang yang khianat (Al Infal, 58). Allah tidak
mencintai kerusakan (Al Bakarah, 205), dan sebagainya.
Jadi di dalam etika administrasi memang bukan hanya
masalah etis dan moral yang sudah diatur dan dibakukan,
tetapi juga bersumber dari nilai-nilai budaya, tradisional
dan adat istiadat, serta nilai-nilai agama yang dianut oleh
masyarakatnya.

C. Wawasan Etika Administrasi Negara


Dari beberapa definisi administrasi negara, maka
dapat kita lihat dari dua pola pemikiran yang berbeda :
1. Pola pertama adalah memandang administrasi negara
sebagai satu kegiatan yang dilaksanakan oleh
pemerintah, yaitu lembaga eksekutif.
2. Pola kedua memandang administrasi negara lebih luas
dari sekedar pembahasan mengenai aktivitas –
aktivitas lembaga eksekutif saja, akan tetapi meliputi
seluruh aktivitas negara, yang meliputi aktivitas ketiga
cabang pemerintahan, yakni legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Jadi bukan hanya kegiatan pemerintah

11
dalam hal ini Presiden dan seluruh jajaran kabinet
baik yang ada di pusat sampai ke pelosok provinsi,
kabupaten dan pedesaan, tetapi kegiatan-kegiatan
yang dilakukan dibidang legislatif, yakni DPR/DPRD,
dan yudikatif, yakni di Lembaga Mahkamah Agung,
pengadilan negeri yang tersebar di seluruh pelosok
negeri, Kesemuanya itu adalah bertolak pada fungsi
untuk memberikan pelayanan publik, dalam upaya
mencapai tujuan negara sebagaimana yang tertuang di
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Pendapat yang kedua diatas didukung oleh Jhon
Pfiiner dan kawan-kawannya, yang berpendapat bahwa
Administrasi Negara adalah koordinasi dari usaha-usaha
kolektif yang dimaksudkan untuk melaksanakan kebijakan
pemerintah. Pendapat tersebut didukung pula oleh Gerald
E.Caiden yang berpendapat bahwa Administrasi Negara
meliputi setiap bidang dan aktivitas yang menjadi sasaran
kebijaksanaan pemerintah, termasuk proses formal kegiatan
DPR/DPRD, fungsi-fungsi yang berlaku dilingkungan
pengadilan, dan kegiatan-kegiatan dari lembaga-lembaga
militer.
Lebih lanjut Gerald E.Caiden mengemukakan bahwa
administrasi negara merupakan fungsi dari pembuatan
keputusan perencanaan, perumusan tujuan dan sasaran,
penggalangan kerjasama dengan DPR dan organisasi
kemasyarakatan untuk memperoleh dukungan rakyat dan
dana bagi program pemerintah, pemantapan dan jika perlu
perubahan organisasi, pengerahan dan pengawasan
pegawai, kepemimpinan, komunikasi, pengendalian dan

12
lain-lain fungsi yang dijalankan oleh lembaga-lembaga
eksekutif dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya. John
Pfifner dan Robert Presthus mengemukakan beberapa
ungkapan tentang administrasi negara :
1. Administrasi negara meliputi implementasi
kebijaksanaan pemerintah yang telah ditetapkan oleh
badan-badan perwakilan politik, dalam hal ini
MPR/DPR.
2. Administrasi negara dapat didefinisikan sebagai
koordinasi usaha usaha perorangan dan kelompok
untuk melaksanakan kebijakan pemerintah. Hal ini
merupakan pekerjaan sehari-hari pemerintah.
3. Secara menyeluruh, administrasi negara adalah suatu
proses yang bersangkutan dengan pelaksanaan
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah, pengarah
kecakapan-kecakapan dan teknik-teknik yang tak
terhingga jumlahnya yang memberi arah dan maksud
terhadap usaha-usaha sejumlah besar orang.
Berdasarkan ketiga pengertian tersebut di atas maka
Pamuji menyimpulkan bahwa administrasi negara adalah
“suatu proses yng melibatkan beberapa orang dengan
berbagai keahlian dan kecakapan untuk melaksanakan
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah.” Sedangkan
Edwar H.Litchfield dalam Bintoro (1985) bahwa administrasi
negara adalah suatu studi mengenai bagaimana bermacam-
macam badan-badan pemerintahan diorganisasi, dilengkapi
tenaga-tenaganya, dibiayai, digerakkan dan dipimpin.
Sedangakan Awaluddin Djamin dalam Bintoro (1985)
merumuskan administrasi negara sebagai keseluruhan

13
penyelenggaraan kekuasaan negara dengan memanfaatkan
segala kemampuan aparatur serta segenap dana dan daya
demi tercapainya tujuan negara dan terlaksananya tugas
pemerintahan.
Berasarkan pengertian tersebut di atas maka
nampaknya administrasi negara mempunyai kelebihan
bahkan kekuasaan tertentu yang harus diembang. Dalam
hal tertentu administrasi negara berbeda dengan
administrasi swasta atau administrasi perusahaan.
Administrasi negara mempunyai ciri-ciri kekuasaan
terutama :
1. Pelayanan yang diberikan administrasi negara bersifat
lebih urgen daripada administrasi swasta.
2. Pelayanan yang diberikan administrasi negara pada
umumnya bersifat monopoli atau semi monopoli.
3. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat,
administrasi negara dan administratornya relatif
berdasarkan peraturan perundang-undangan atau
peraturan yang berlaku.
4. Administrasi negara dalam memberikan pelayanan,
tidak dikendalikan oleh harga pasar.
5. Usaha-usaha yang dilakukan oleh administrasi negara
terutama dalam negara demokrasi, ialah dilakukan
sangat tergantung pada penilaian mata rakyat banyak
publik.
Oleh karena itu administrasi negara di dalam
memberikan pelayanan kepada rakyat atau kepada
masyarakat sebagai yang dilayani haruslah
mempertimbangkan faktor-faktor etika dan moral, dan

14
senantiasa berperilaku yang baik, berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku,

15
16
BAB II
ETIKA DAN MORAL

A. Pengertian Etika dan Moral


Etika ialah ilmu tentang tingkah laku manusia,
prinsip-prinsip yang disistematisasi tentang tindakan moral
yang betul. Menurut Widjaya (1999 : 17), gambaran umum
tentang etika menurut filsafat adalah ilmu yang menyelidiki
mana yang baik mana yang buruk dengan memperhatikan
amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh
akal pikiran. Ilmu etika disebut sebagai cabang filsafat,
karena ilmu etika membicarakan tentang penilaian
mengenai tingkah laku yang benar yang mempergunakan
predikat-predikat kesusilaan seperti baik buruk, salah benar,
dan sebagainya.
Etika berasal dari bahasa Yunani, “Ethos” yang berarti
kebiasaan atau watak. Etika juga berasal dari bahasa
Perancis, : etiquette atau biasanya diucapkan dalam bahasa
Indonesia dengan kata “etiket” yang berarti juga kebiasaan
atau cara bergaul, berperilaku yang baik. Jadi dalam hal ini
etika lebih merupakan pola perilaku atau kebiasaan yang
baik dan dapat diterima oleh lingkungan pergaulan
seseorang atau sesuatu organisasi tertentu. Dengan
demikian tergantung dari situasi dan cara pandangnya
seseorang dapat menilai apakah etika yang digunakan atau
diterapkan itu bersifat baik atau buruk.

17
Etika juga sering difahami secara terkait dengan
“moral”. Sehinga dalam beberapa hal orang awan tidak
dapat membedakan antara etika dan moral.
Menurut Widjaya (1999) perkataan moral berasal dari
bahasa Latin yaitu “mores” yang berasal dari “mos” (tunggal)
yang berarti adat kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia moral
diterjemahkan dalam arti susila. Sering juga diartikan
sebagai “dorongan batin” atau “semangat batin” untuk
melakukan sesuatu perbuatan.
Secara harfiah istilah moral sebenarnya berarti sama
dengan istilah etika, tetapi dalam prakteknya istilah moral
atau moril sebenarnya telah jauh berada dari harfiahnya .
Menurut Soeharyo dan Fernanda (2003 : 9), bahwa Moral
atau moralitas dalam bahasa Inggeris dapat diartikan
sebagai semangat atau dorongan batin dalam diri seseorang
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Moral atau
moralitas ini dilandasi oleh nilai-nilai tertentu yang diyakini
oleh seseorang atau organisasi tertentu sebagai sesuatu yang
baik atau buruk, sehingga bisa membedakan mana yang
patut dilakukan dan mana yang tidak sepatutnya dilakukan
Moral sering pula dikenal sebagai “norma etika” atau
“norma moral” yang dipakai sebagai ukuran – haluan – atau
pedoman tingkah laku yang seharusnya dilakukan. Kalau
tidak dilakukan, disebut sebagai tidak etis atau tidak
bermoral.
Des Vos (1987) mengatakan bahwa etika adalah ilmu
pengetahuan tentang kesusilaan dan moral. Sedangkan
moral adalah hal-hal yang mendorong orang untuk

18
melakukan tindakan-tindakan yang baik sebagai kewajiban
untuk norma.
Kemudian istilah moralitas yang dimaksudkan untuk
menentukan sampai sejauhmana seseorang mempunyai
dorongan untuk melaksanakan tindakan-tindakan sesuai
dengan prinsip-prinsip etika dan moral.
Jadi “moral” mendorong adanya perilaku-perilaku
yang baik sebagai kewajiban. Perilaku demikian
mengandung suatu moral yang bertanggungjawab terhadap
norma-norma kebaikan.
Walaupun secara sepintas menyimpulkan etika dan
moral adalah sama, namun dari beberapa ahli
mengemukakan berbedaan yang menonjol. Widjaya (1999 :
18) menekankan bahwa etika lebih banyak bersifat teori,
sedngkan moral lebih banyak bersifat praktis. Pandangan
ahli-ahli filsafat menilai etika secara universal, sedangkan
moral secara lokal (terbatas). Moral menyatakan ukuran,
etika menjelaskan ukuran itu. Widjaya (1999) menekankan
bahwa moralitas bertolak pada ilmu pengetahuan kognitif
buka pada afektif. Moralitas berkaitan pula dengan jiwa dan
semangat kelompok masyarakat. Moralitas terjadi bila ada
masyarakat. Tidak ada moral bila tidak ada masyarakat dan
seyogyanya tidak ada masyarakat tanpa moral, dan ini
berkaitan dengan kesadaran kognitif.
Perbedaan antara etika dan moral masih
diperbincangkan dikalangan para ahli. Moralitas tampak
cenderung lebih merujuk kepada nilai-nilai yang diyakini
dan menjadi semangat dalam diri seseorang atau sesuatu
organisasi untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

19
Sedangkan etika lebih merupakan nilai-nilai perilaku yang
ditujukan oleh seseorang atau sesuatu organisasi tertentu
dalam interaksinya dengan lingkungan. Moralitas dengan
demikian dapat melatar belakangi etika seseorang atau
sesuatu organisasi tertentu. Tetapi antara moralitas dengan
nilai-nilai etika dapat saja tidak sejalan atau bertentangan.
Perbedaan antara etika dan moral, terutama : Yang
pertama bahwa etika berkenaan dengan disiplin ilmu yang
mempelajari tentang nilai-nilai yang dianut oleh manusia
beserta pembenarannya dan dalam hal ini etika merupakan
salah satu cabang dari filsafat. Kedua, yaitu etika merupakan
pokok permasalahan dalam disiplin ilmu itu sendiri, yaitu
nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur tingkah
laku manusia. Moral dalam pengertian umum menaruh
penekanan kepada karakter atau sifat-sifat individu yang
khusus, diluar ketaatan kepada persatuan. Maka moral
merujuk kepada tingkah laku yang bersifat spontan seperti
rasa kasih, kemurahan hati, kebesaran jiwa, dan sebagainya.
Sedangkan moralitas mempunyai makna yang lebih khusus
sebagai bagian dari etika. Moralitas berfokus kepada
hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang abstrak dan bebas.
Orang yang mengungkari janji yang telah diucapkannya
dapat dianggap sebagai orang yang tidak bisa dipercaya atau
tidak etis, tetapi bukan berarti tidak bermoral. Contoh lain :
Misalnya, “tidak membayar hutang adalah tidak etis, tetapi
belum tentu orang tersebut tidak bermoral. Mungkin hanya
karena belum ada kemampuan untuk mengembalikkannya
saja. Memaki orang tua adalah tidak etis – tetapi menyiksa
dan membunuhnya adalah perbuatan tidak bermoral. Tidak

20
membayar pajak adalah perbuatan tidak etis – tetapi
korupsi, manipulasi, intimidasi dan sebagainya adalah
perbuatan yang tidak bermoral.
Dalam persoalan yang sama Frankena (1984 : 4)
mengemukakan bahwa etika (ethics) adalah salah satu
cabang filsafat yang mencakup filsafat moral atau
pembenaran-pembenaran filosofi (phylosophical judgment).
Sebagai suatu falsafah, etika berkenaan dengan moralitas
beserta persoalan-persoalan dan pembenaran-
pembenarannya. Dan moralitas merupakan salah satu
instrumen kemasyarakatan apabila suatu kelompok sosial
menghendaki adanya penuntun tindakan (action guide)
untuk segala pola tingkah laku yang disebut bermoral. Maka
moralitas akan serupa dengan hukum di satu pihak dan
etika (etiket) di pihak lain. Tetapi bertalian dengan etiket,
moralitas memiliki pertimbangan-pertimbangan jauh lebih
tinggi tentang apa yang disebut “kebenaran” dan
“keharusan”, Morilitas juga dapat dibedakan dari sudut
hukum, sebab tidak tercipta atau tidak dapat diubah melalui
tindakan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Sanksi yang
dikenakan oleh moralitas tidak seperti pada norma hukum
yang melibatkan paksaan fisik ataupun ancaman, melainkan
lebih bersifat internal, misalnya isyarat-isyarat verbal, rasa
bersalah, sentimen, atau rasa malu.
Berdasarkan kedua pandangan tersebut makin jelas
sebenarnya bagaimana konsepsi etika dan moralitas serta
perbedaan diantara kedua istilah tersebut. Secara
konseptual, istilah etika memiliki kecenderungan dipandang
sebagai suatu sistem nilai apa yang baik dan buruk bagi

21
manusia dan masyarakat. Dalam implementasinya,
penggunaan istilah etika banyak dikembangkan dalam suatu
sistem organisasi sebagai norma-norma yang mengatur dan
mengukur profesionalisme seseorang, misalnya etika bagi
aparatur administrasi negara, etika kedokteran, etika
jurnalistik, dan sebagainya. Konsepsi moralitas disisi yang
lain, dimaksudkan untuk menentukan sampai seberapa jauh
seseorang memeliki dorongan untuk melakukan tindakan
sesuai dengan prinsip-prinsip etika moral. Tingkat moralitas
seseorang akan dipengaruhi oleh latar belakang budaya,
pendidikan, agama, pengalaman, dan karakter individu
adalah sebagia diantara faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat moralitas seseorang. Menurut Supriyadi, (2001 ; 6)
bahwa: dorongan untuk mencari kebenaran dan kebaikan
senantiasa ada pada diri manusia, yang membedakan
tingkat moralitas adalah kadar atau kuat tidaknya dorongan
tersebut.
Setelah menjelaskan arti dan makna etika dan moral,
maka kita sudah dapat mengerti bahwa antara etika dan
moral tampak memiliki persoalan yang cendrung sama,
yaitu nilai-nilai yang dianut oleh manusia dalam mengatur
tingkah laku dan perbuatannya. Akan tetapi sebenarnya
“moral” ada secara niscaya pada diri setiap orang, terlepas
dari ada atau tidaknya norma-norma atau peraturan-
peraturan. Setiap kecenderungan spontan manusia untuk
berbuat atau tidak berbuat adalah “moral”. Misalnya : cintah
kasih, murah hati, persahabatan, kebangsaan dan
sebagainya.

22
Sedangkan etika adanya lebih konkrit dan terikat oleh
situasi, kondisi, kepentingan, dan kebutuhan tertentu. Jadi
pada diri manusia , adanya melekat secara aksidensial, lebih
bersifat kebetulan. Karena itu dapatlah dikatakan bahwa
setiap orang pastilah bermoral, tetapi belum tentu ber-etika.
Etika merupakan salah satu unsur filsafat ilmu
pengetahuan, yang sering disebut “etis” yakni berisikan
tentang perilaku yang adil dan bertanggungjawab bagi
seluruh warga masyarakat. Dalam kaitannya dengan
administrasi negara maka dalam hal ini khususnya para
administrator/birokrat (pejabat-pejabat negara) terhadap
keseluruhan sistem kerjasama dalam rangka mencapai
tujuan.

B. Prinsip-Prinsip Etika
Menurut Supriyadi yang dikutip oleh Soeharyo dan
Fernanda (2003) bahwa prinsip-prinsip etika adalah sebagai
berikut :
1. Prinsip keindahan (Beauty)
Prinsip ini mendasari segala sesuatu yang
mencakup penikmatan rasa senang terhadap
keindahan. Banyak filsuf mengatakan bahwa hidup
dan kehidupan manusia itu sendiri sesungguhnya
merupakan keindahan. Dengan demikian berdasarkan
prinsip ini, etika manusia adalah berkaitkan atau
memperhatikan nilai-nilai keindahan. Itulah sebabnya
seseorang memerlukan penampilan yang serasi dan
indah atau enak dipandang dalam berpakaian, dan
menggunakan pada waktu yang tepat. Tidaklah etis

23
jika seseorang memakai pakaian olah raga dalam
waktu jam kerja. Atau tidak sepatutnya seseorang
menghadapi tamunya dengan berpakaian tidur.
Ketika dalam pengelolaan kantor yang dilandasi oleh
nilai-nilai estetika antara lain diwujudkan dengan
perancangan tata ruang, furnitur dan hiasan-hiasan
dinding serta aksesoris lainnya yang bersifat menarik,
sehingga membuat orang bersemangat tinggi dalam
bekerja.
2. Prinsip persamaan (Equality)
Hakikat kemanusiaan menghendaki adanya
persamaan antara manusia yang satu dengan yang
lain. Setiap manusia yang terlahir di bumi ini serta
memiliki hak dan kewajiban masing-masing, pada
dasarnya adalah sama atau sederajat. Konsekwensi
dari ajaran persamaan ras juga menuntut persamaan
diantara beraneka ragam etnis. Watak, karakter,
ataun pandangan hidup masing-masing etnis di dunia
ini memang berlainan, namun kedudukannya sebagai
suatu kelompok masyarakat adalah sama. Tuhan juga
telah menciptakan manusia dengan jenis kelamin pria
dan wanita dengan bentuk fisik yang berlainan, tetapi
secara hakiki diantara keduanya membutuhkan
persamaan dalam pengakuan atas hak-hak asasi
mereka, dan kedudukan dihadapan Tuhan adalah
sama.
Etika yang dilandasi oleh prinsip persamaan
(equality) ini dapat menghilangkan perilaku
diskriminatif, yang membeda-bedakan, dalam

24
berbagai aspek interaksi manusia. Pemerintah
sesungguhnya tidak dapat memberda-bedakan tingkat
pelayanan terhadap masyarakat karena kedudukan
mereka sebagai warga negara adalah sama. Yang
membedakan dalam pemberian pelayanan pemerintah
kepada masyarakat adalah tinggi rendahnya tingkat
urgensinya, sehingg dapat diberikan prioritas tertentu.
3. Prinsip kebaikan (Goodness)
Secara umum kebaikan berarti sifat atau
karakterisasi dari sesuatu yang menimbulkan pujian.
Perkataan baik (good) mengandung sifat seperti
persetujuan, pujian, keunggulan, kekaguman, atau
ketepatan. Dengan demikian prinsip kebaikan sangat
erat kaitanya dengan hasrat dan cita manusia. Apabila
orang menginginkan kebaikan dari suatu ilmu
pengetahuan, misalnya, maka akan mengadakan
obyektivitas ilmiah, kemanfaatan pengetahuan,
rasionalitas, dan sebagainya. Jika menginginkan
kebaikan tatanan sosial, maka yang diperlukan adalah
sikap-sikap sadar hukum, saling menghormati,
perilaku yang baik (good habits), dan sebagainya. Jadi
lingkup dari ide atau prinsip kebaikan adalah bersifat
universal. Kebaikan ritual dari agama yang satu
mungkin bertalian dengan agama yang lain. Namun
kebaikan agama yang berkenaan dengan dengan
masalah kemanusiaan, hormat-menghomati diantara
sesama, berbuat baik kepada orang lain, kasih sayang,
dan sebagainya merupakan nilai-nilai kebaikan yang
sudah pasti diterima.

25
Dalam pemerintahan, tujuan penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan umum
pada dasarnya adalah untuk menciptakan kebaikan
dan perbuatan baik terhadap masyarakat.
4. Prinsip keadilan (Justice)
Suatu definisi tertua yang hingga kini masih
sangat relevan untuk merumuskan keadilan, yaitu
kemauan yang tetap dan ketat untuk memberikan
kepada setiap orang apa yang semestinya. Hal ini pula
menjadi salah satu landasan dalam menerapkan
prinsip etika dalam masyarakat.
5. Prinsip kebebasan (Liberty)
Secara sederhana kebebasan dapat dirumuskan
sebagai keleluasaan untuk bertindak atau tidak
bertindak berdasarkan pilihan yang tersedia bagi
seseorang. Kebebasan muncul dari doktrim bahwa
setiap orang memiliki hidupnya sendiri serta memiliki
hak untuk bertindak menurut pilihannya sendiri
kecuali jika pilihan tindakan tersebut melangar
kebebasan yang sama dari orang lain. Maka kebebasan
manusai mengandung pengertian :
▪ Kemampuan untuk menentukan diri sendiri
▪ Kesungguhan untuk mempertanggungjawabkan
perbuatan
▪ Syarat-syarat yang memungkinkan manusia
untuk melaksanakan pilihan-pilihannya beserta
konsekwensi dari pilihan itu.
Oleh karena itu tidak ada kebebasan tanpa
tanggungjawab, dan begitu pula tidak ada

26
tanggungjawab tanpa kebebasan. Semakin besar
kebebasan yang dimiliki oleh seseorang, semakin
besar pula tanggungjawab yang dipikulnya.
6. Prinsip kebenaran (Truth)
Ide kebenaran biasanya dipakai dalam
pembicaraan mengenai logika ilmiah, sehingga kita
mengenal kriteria kebenaran dalam berbagai cabang
ilmu, misalnya matematika, ilmu fisika, biologi,
sejarah, dan juga ilmu administrasi. Namun ada pula
kebenaran mutlak yang dapat dibuktikan dengan
keyakinan, bukan dengan fakta ditelaah oleh teologi
dan ilmui agama. Kebenaran harus dapat dibuktikan
dan ditunjukkan kepada masyarakat agar masyarakat
merasa yakin akan kebenaran itu. Untuk itu kita perlu
menjembatani antara kebenaran dalam keyakinan
(truth in reality) atau kebenaran yang terbuktikan.
Betapapun doktrin etika tidak selalu dapat diterima
oleh orang awan apabila kebenaran yang yang
terdapat didalamnya belum dapat dibuktikan.
Keenam ide-ide tersebut merupakan prinsip-
prinsip etika yang menjadi prasyarat dasar bagi
pengembangan nilai-nilai etika.

27
28
BAB III
MANUSIA SEBAGAI MAHLUK INDIVIDU

A. Manusia Sebagai Individu


Organisasi harus memfokuskan perhatiannya
terhadap tingkah laku yang dilakukan oleh individu dalam
melaksanakan tugas pekerjaannya. Itu sebabnya manajer
memperhatikan dan memahami individu, misalnya minat,
kemampuan, latar belakang sosialnya. Manajemen yang
baru berpendapat bahwa, kendatipun manajer memberikan
instruksi kepada massal, namun yang bekerja adalah
individu-individu itu sendiri. Kalau ada dua individu
mengerjakan tugas yang sama, namun belum tentu
mendapat hasil yang sama, sehingga perlu memberikan
perhatian dalam mengembangkan setiap individu-individu
dalam kelompok.
Memang di dalam individu-individu itu terdapat
berbagai kesamaan, tetapi ternyata lebih banyak
perbedaannya. Perbedaan itu tampak antara lain dalam
abilitas, emosional, minat, dan lain-lain. Kiranya sulit
menjangkau lebih jauh mengenai rincian dari perbedaan
dan kesamaan itu, mengingat individu itu sesuatu yang
unik.
Pebedaan individu dapat dilihat dari dua segi, yaitu :
segi horizontal dan dari segi vertikal. Segi horizontal, setiap
individu berbeda satu sama lain dalam bidang mental,
seperti tingkat kecerdasan, abilitas, minat, ingatan,

29
emosional, kemampuan dan sebagainya. Segi vertikal, setiap
individu berbeda satu sama lain dalam bidang fisik, tidak
ada individu yang sama bentuk, tinggi, besar. Tiap individu
merupakan suatu kesatuan. Perbedaan-perbedaan itu
mengandung keuntungan dan kelemahannya sendiri-
sendiri.

B. Ciri-Ciri Perbedaan Individu


Sekalipun perbedaaan individu banyak variasinya dan
variabilitasnya namun perlu ditinjau lebih khusus mengenai
ciri-cirinya. Ciri-ciri perbedaan individual adalah :
1. Kecerdasan (intelegensi)
Individu (Pegawai) yang kurang kecerdasannya
umumnya bekerja lebih lamban. Mereka memerlukan
banyak latihan dan membutuhkan lebih banyak waktu
untuk melaksanakan pekerjaannya. Mereka sulit
bekerja abstraksi, individu yang memilki IQ tinggi
biasanya mempunyai tingkat perhatian yang lebih
baik, bekerja cepat, kurang memerlukan latihan dan
dapat menyelesaikan pekerjaannya dalam waktu yang
singkat, mampu menarik kesimpulan dan melakukan
abstraksi.
Ciri-ciri individu yang cerdas adalah mempunyai
energik yang lebih besar, dorongan ingin tahu, lebih
kuat, sikap sosialnya lebih baik, aktif, lebih mampu
melakukan abstraksi, lebih cepat dan lebih jelas
menghayati hubungan-hubungan, bekerja atas dasar
rencana dan inisiatif sendiri, suka menyelidiki hal-hal
baru yang lebih luas, lebih mantap dengan tugas-tugas

30
rutin yang sederhana, percaya dengan kemampuan
sendiri
2. Bakat
Bakat turut mempengaruhi tingkat keberhasilan
kerja. Untuk mengetahui bakat seseorang perlu
diadakan attitude test pada waktu penerimaan
pegawai baru. Berdasarkan hasil test dapat
diperkirakan hasil kerjanya. Bakat juga turut
membedakan dalam hal : hasil kerja, sikap, dan minat,
serta lain-lainnya.
3. Keadaan Jasmani
Pegawai berbadan tinggi, berat dan koordinasi
alat-alat badannya. Ada yang badanya tinggi kurus,
yang pendek gemuk dan bentuk badannya atlits. Ada
pula yang mendapat handikap , misalnya kurang jelas
pengelihatan, berpenyakit asma, pusing kepala,
gangguan penyakit tertentu. Kondisi badan, gangguan
penyakit, handikap dan lain-lain akan mengganggu
efesiensi kerja dan kegairahan kerja , karena badannya
gampang lelah, kurang minat melakukan pekerjaan
atau kegiatan-kegiatan. Dipihak lain, ada pegawai
yang energik, dan cepat melaksanakan pekerjaannya.
4. Penyesuaian Sosial dan Emosional
Aspek sosial dan emosional erat kaitannya.
Berbagai altenatif kondisi sosial dan emosional dapat
terjadi di kalangan pegawai, seperti : pendiam,
pemberang, pemalu, berani, cepat bereaksi, sulit
bereaksi, senang bekerja sama, senang mengasingkan
diri, bersikap bebas, senang menggantungkan diri

31
pada orang lain, peramah, tertekan, sensitif, gampang
terpengaruh, bersikap negatif.
Sifat-sifat tersebut dapat berubah sesuai dengan
kondisi dan situasi tertentu, baik dalam kelompok
maupun dalam organisasi keseluruhan. Kondisi
lingkungan tiap waktu dapat berpengaruh terhadap
tingkah laku yang bersangkutan sehingga
mempengaruhi tingkat efesiensi dan produktivitas
organisasi.
5. Latar Belakang Keluarga
Keadaan keluarga mempengaruhi individu.
Banyak hal yang bersumber dari keluarga dan dapat
menimbulkan perbedaan individu, seperti : kultur
dalam keluarga, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi,
hubungan kekeluargaan, sikap keluarga terhadap
masalah-masalah sosial, realistis kehidupan dan lain-
lain.
Hal-hal tersebut memberikan pengalaman
tertentu kepada pegawai yang bersangkutan,
menimbulkan perbedaan minat apresiasi, sikap,
pemahaman ekonomi, perbedaan bahasa, kemampuan
berkomunikasi dengan orang lain, cara berfikir,
kebiasaan berbicara, pola hubungan kerjasama
dengan orang lain. Perbedaan –perbedaan ini sangat
berpengaruh terhadap tingkah laku/perbuatan kerja
dalam organisasi.
6. Hasil Belajar
Perbedaan hasil belajar disebabkan oleh berbagai
faktor, antara lain : faktor kematangan akibat dari

32
pertambahan usia, kronologis, latar belakang pribadi
sikap dan bakat terhadap sesuatu bidang
pelajaran/pekerjaan.
7. Pegawai yang mengalami kesulitan berupa handikap
jasmani, keaulitas berbicara, kesulitan penyesuaian
sosial.
Pegawai yang mengalami kesulitan tersebut akan
mengalami pula kesulitan dalam berperan serta
berkomunikasi, dan menyesuaikan diri dalam
kehidupan kelompok, menambah pengetahuan,
bekerja sama , dan lain-lain. Manajer perlu
mempelajari kesulitan-kesulitan itu agar dapat
memberikan bantuan dan bimbingan, serta
mengusahakan agar temannya, bersimpati dan
membantu teman-temannya yang menghadapi
kesulitan tersebut, sehingga memperoleh kemajuan
dalam pekerjaannya.

C. Kodrat dan Hakikat Manusia


Dua pandangan tentang manusia. Disatu pihak, orang
mengharapkan bahwa keadaan masyarakat akan berubah
menjadi lebih baik, sedangkan dipihak lain, orang
menyatakan tidak mampu mengubah kodrat. Kodrat telah
dinyatakan sebagai jalanan dari segala kekurangan,
kegagalan dan dosa. Bahkan sekali waktu, telah menjadi
dasar pembenaran. Hal ini adalah suatu tuntutan yang
berat terhadap kodrat manusia. Menurut Widodo (1986 :27),
bahwa jika tidak dapat mengubah kodrat manusia, adalah

33
sia-sia untuk mencoba membuat moral manusia lebih
maju”.
Menurut Wijaya (1999 : 82), ada tiga pandangan
tentang kodrat manusia, yaitru meliputi tentang kodrat
manusia itu buruk, kodrat manusia itu baik, dan kodrat
manusia itu baik dan buruk. Pendapat tersebut dijelaskan
sebagai berikut :
1. Kodrat manusia Itu buruk
a. Pandangan teologis dikaitkan dengan dosa
asalnya.
b. Pandangan ekonomis dikaitkan dengan
kekejaman.
c. Pandangan biologis dikaitkan faktor-faktor
keturunan (biologis)
2. Kodrat manusia Itu baik
Manusia itu adalah baik dari kodrat, maka ia
adalah baik, manusia itu sendiri menurut kodratnya
adalah baik, sampai kemudian mengenal peradaban.
Masyarakat semakin maju, mengakibatkan munculnya
berbagai kejahatan.
Bukanlah orang-orang hidup menurut kodratnya,
dan mereka akan baik dengan sendirinya. Ajaran
konfusius juga menyatakan bahwa manusia sejak lahir
adalah baik. Kodratnya banyak persamaa, tetapi
kebiasaannya banyak berbeda. Herbert Spencer,
penganut teori evolusi, menyatakan bahwa masalah
evolusi adalah perubahan untuk menjadi lebih baik.
Kewajiban manusia, karena itu tinggal menunggu
proses alam. Hukum alam tanpa campur tangan

34
manusia akan membawa keselarasan kodrat manusia
dengan lingkungannya.
Pandangan ini, membenarkan adanya persaingan
antara orang dalam suatu masyarakat atau negara.
Walaupun demikian manusia masih memerlukan rasa
cinta, rasa kasih dan rasa sayang. Tanpa itu tak
mungkin orang hidup.
3. Kodrat manusia Itu buruk dan baik
Menurut pendangan ini, manusia dilahirkan tidak
baik dan tidak buruk, tetapi mempunyai potensi
untuk berbuat baik dan berbuat buruk. Kodrat asli
manusia meliputi macam-macam tanggapan yang
tidak teratur dan melalui pendewasaan dan belajar,
lalu menjadi pola sosial yang tertentu.
Bahwa manusia itu berbeda dengan binatang
karena kodratnya yang lebih luwes dari hal-hal yang
mewaris. Manusia mempunyai kemampuan untuk
belajar, sedangkan binatang tidak memiliki potensi
seperti itu. Manusia disamping memiliki instink
seperti halnya juga bagi binatang, dan memiliki
kelebihan cipta, karsan dan rasa (berbudaya).
Hakikat manusia juga dapat dipandang melalui
pendekatan tersebut di atas. Menurut Widodo (1986)
bahwa: memang adanya perilaku manusia yang dapat
dikatagorikan baik dan buruk, terdapat berbagai teori yang
mendasarinya. Secara umum dapat dijelaskan sebagai
berikut:

35
1. Hakikat Manusia Buruk
Pandangan ajaran Kristen bahwa : manusia itu
membawa dosa, karena manusia itu buruk. Manusia
melakukan kejahatan dan korupsi memang dari
sumber asalnya sendiri.
Pandangan ekonomi, manusia itu berperilaku
sesuai dengan kepentingannya, terutama kepentingan
pribadi. Mereka ini benar-benar berpandangan
ekonomis, benar-benar mementingkan diri sendiri
(pribadi).
Pandangan biologis, manusia itu sama halnya
dengan hewan, sama-sama memiliki insting atau
naluri untuk mempertahankan diri (egoistis).
2. Hakikat manusia baik
Alam menurut kodratnya baik. Karena manusia
bagian dari alam, maka ia harus baik pula. Manusia
tidak boleh campur tangan dalam proses alam
semesta, dan semua akan menjadi baik.
3. Manusia itu hakikatnya baik dan buruk
Manusia itu dilakukan tidak baik dan tidak buruk,
tetapi terdapat kemungkinan untuk menjadi baik dan
menjadi buruk. Pandangan bahwa manusia buruk dan
mementingkan diri sendiri, rupa-rupanya tidak
diterima sepenuhnya. Dukungan dari teori agama
telah menjatuhkan kedudukan (reputasinya) sendiri.
Teori dosa asal itu menunjukkan kepada kita bahwa
semula manusia itu baik. Manusia menjadi menjadi
buruk akibat dari pelanggaran yang kemudian
mempengaruhi semua manusia. Pandangan bahwa

36
manusia itu baik bahwa hakikat manusia itu adalah
baik, sama halnya dengan pandangan bahwa perilaku
manusia itu buruk karena kenyataan terdapat
perilaku seperti simpatik, kesadaran berkorban dan
lain-lain yang dipandang baik, disamping
meningkatkan diri sendiri, iri hati, dan lain-lain yang
tidak dikehendaki
Konsepsi bahwa manusia itu hakikatnya buruk
saja atau baik saja, tidak dapat diterima.
Manusia buruk dapat menjadi baik dan manusia
baik dapat menjadi buruk, karena keseluruhan
pengaruh yang diperoleh dan tanggapannya terhadap
pengaruh-pengaruh itu.
Jika faktor-faktor berpengaruh itu besar
tekanannya ke arah individualisme, maka ia akan
mementingkan diri sendiri. Sebaliknya , jika faktor-
faktor yang lebih menekan itu pada dorongan-
dorongan sosial manusia akan cenderung ke arah
kebajikan.
Dengan demikian pandangan bahwa manusia
hakikatnya adalah “plastis” dan memiliki potensi ke
arah yang lebih baik dan buruk merupakan
pandangan yang dapat diterima pada waktu ini.
Konsekwensinya hakikat manusia itu dapat diubah.
Pada akhir abad ke-20 dan menjelang abad ke-21
ini kita hidup dalam alam dan situasi di mana
peradaban modern berdampingan dengan peradaban
yang masih rendah tingkatannya dan perkembangan

37
yang berarti tingkah laku manusia (watak manusia)
akan dapat dibedakan.

D. Watak Manusia
Wijaya (1999), menjelaskan tentang watak manusia,
yang erat kaitannya dengan tingkat perkembangan dan usia
manusia. Beliau mengungkapkan bahwa :
a. Manusia pada tingkat fisis organ, di mana perilaku
manusia ditentukan oleh kebutuhan fisis dan biologis
b. Manusia pada tingkat fungsi sosial, di mana orang
menyesuaikan diri dengan hubungan-hubungan
dalam hubungan sosial.
c. Manusia pada tingkat moralitas kebiasaan, di mana
kebiasaan itulah yang berpengaruh pada perilaku
d. Manusia pada tingkat peribadinya, di mana orang
berfikir dan menentukan sendiri apa yang baik dan
buruk untuk dirinya. Hal ini berarti bahwa manusia
bebas dalam memilih sebagai alternatif (pilihan) yang
menyangkut perilakunya (wataknya) dalam arti luas.
Pada tingkat yang demikian orang mempunyai
kebebasan moral. Perilakunya dapat dapat
dipengaruhi oleh faktor-faktor biologis, geografis, dan
psikologis serta sosial.

E. Sikap Individu (Attitude)


Sikap (attitude) adalah suatu predisposisi untuk
melakukan perbuatan, suatu keadaan siap untuk betindak
dengan cara tertentu. Sikap adalah keadaan umum pada
individu yang mengacu ke berbagai cara ber-perilaku .

38
Dengan kata lain perilaku seseorang adalah konsisten
dengan sikapnya, seperti sikap menyukai, berteman,
membantu, menghormati, dan sebagainya.
Sikap adalah proses orientasi, yakni proses yang
memungkinkan seseorang berinteraksi secara selektif
dengan lingkungannya. Dengan sikap itu maka seseorang
akan berorientasi untuk melakukan suatu perbuatan yang
serasi dengan sikapnya.
Sikap sebagai proses inferensi, artinya sikap itu sendiri
tak dapat diamati secara langsung. Yang dapat diamati
adalah tingkah laku. Berdasarkan tingkah laku yang
teramati itu, dapat ditafsirkan, ditentukan sikap seseorang.
Sikap adalah suatu keadaan organisme yang
merupakan disposisi awal bagi individu untuk dimotivasi
dengan cara-cara yang khusus, tertapi sikap bukan suatu
motif yang ada. Misalnya sikap positif terhadap pekerjaan
merupakan predisposisi untuk dimotivasi dengan
penugasan tertentu.
Adam (1986) memberikan definisi tentang sikap
(attitude), yakni suatu cara bereaksi terhadap suatu
rangsangan yang timbul dari seseorang atau dari suatu
situasi. Dalam kehidupan sehari-hari. Sikap ini sering
dinyatakan atau diikuti oleh pendapat (opini). Tetapi
sesungguhnya terdapat perbedaan antara sikap dan
pendapat. Pendapat dapat dirumuskan sebagai suatu
pernyataan setelah kita melakukan sesuatu penilaian atau
pertimbangan.

39
F. Hubungan Sikap (Attitude) dengan Perilaku
Pembahasan mengenai sikap, dalam hubungannya
dengan perilaku mencakup tiga komponen, yaitu kognitif,
afektif dan perilaku.
Kognitif adalah proses pengamatan terhadap sesuatu
(orang, barang, tempat dan sebagainya) sehingga kita dapat
mengenalnya. Apektif adalah yang menyangkut sesuatu
alasan mengapa seseorang menganggap seseuatu itu baik,
buruk, senang atau tidak senang dan sebagainya. Adapun
komponen yang ketiga, yaitu perilaku (psikomotor) adalah
hal-hal yang berkaitan dengan interaksi seseorang dengan
orang lain atau sesuatu yang lain.
Sikap dapat saja berubah sewaktu-waktu. Sikap
seseorang dapat mengalami perubahan, baik karena proses
interaksi dengan lingkungan maupun melalui proses
pendidikan. Perubahan sikap dapat terjadi secara sebangun
(congruent change) dan dan dapat pula terjadi secara tidak
sebangun. Perubahan yang sebangun adalah perubahan
yang intensitas saja, misalnya sebelumnya bersikap “sangat
setuju”, sekarang bersikap “setuju”. Perubahan yang tidak
sebangun adalah perubahan yang bersikap perubahan arah./
sangat berlawanan. Misalnya yang tadinya bersikap sangat
setuju, beralih menjadi sangat tidak setuju, atau sebaliknya.
Dalam kehidupan organisasi, sering kita menemukan
seseorang yang tadinya “sangat penurut” menjadi
“pembangkan”, begitu pula sebaliknya. Manajer yang
bijaksana harus berupaya mengetahui penyebabnya.
Adapun ciri-ciri sikap (attitude) adalah :

40
1. Sikap menunjukan adanya hubungan antara subyek
dan obyek. Sikap dihubungakn dengan obyek, orang,
tempat, peristiwa, gagasan yang abstrak, dan konsep-
konsep dalam lingkungan seseorang. Hal ini
menyebabkan keperbedaan antara seorang dengan
yang lainnya.
2. Sikap memiliki arah tertentu. Sikap terarah dan
berorientasi kearah obyek : orang, tempat, atau
gagasan.
3. Sikap bercirikan suatu faktor intensitas. Sesuatu sikap
mengandung kekuatan atau kelemahan, sikap yang
intensitasnya tinggi akan tampak pada tingkah
lakunya yang kuat pula.
4. Sikap itu diperoleh. Sikap bukan dibawah sejak lahir,
melainkan diperoleh berkat diskriminasi dan
generalisasi. Dengan kemampuan itu, seseorang dapat
menafsirkan dan mereaksi terhadap stimuli
lingkungannya.
5. Sikap ditandai oleh stabilitas dan konsistensi.
Kestabilan dan keserasian suatu sikap tampak pada
penafsiran dan reaksi terhadap lingkungannya.

41
42
BAB IV
PERILAKU APARATUR NEGARA

A. Ilmu Perilaku
Ilmu Perilaku (Behavioristik) adalah suatu studi
tentang tingkah laku manusia, Teori ini muncul karena rasa
tidak puas terhadap teori psikologis daya dan teori mental
state (psikologi assosiasi). Teori-teori sebelumnya hanya
menitikberatkan pada segi kesadaran saja.
Pandangan natural sience besar sekali pengaruhnya
terhadap munculnya teori behavioral (perilaku). Jiwa atau
sensasi tak dapat diterangkan melalui melalui jiwa itu
sendiri. Jiwa sesungguhnya adalah respon fisiologis. Badan
menjadi titik tolak utama. Natural Sience melihat semua
realita sebagai gerakan-gerakan. Pandangan ini berpengaruh
atas kemunculan ilmu perilaku (behavioristik). Metode yang
tepat ialah metode obyektif dan ilmiah, bukan metode
introspeksi karena metode ini ini menimbulkan pandangan
yang berbeda-beda terhadap obyek luar, Jadi kesadaran itu
tak ada gunanya.
Konsepsi yang diajarkan oleh ilmu perilaku besar
pengaruhnya mengenai masalah belajar. Belajar ditafsirkan
sebagai latihan-latihan pembentukan hubungan antara
stimulus dan respon. Dengan latihan-latihan itu maka
hubungan stimulus dan respon semakin bertambah kuat.

43
B. Perilaku Organisasi
Sebagai suatu bidang studi, prilaku organisasi
mencakup semua aspek yang berhubungan dengan tindakan
manusia yang tergabung dalam suatu organisasi atau
kelompok kerjasama, yaitu aspek pengaruh organisasi
terhadap manusia dan juga sebaliknya: pengaruh manusia
itu sendiri terhadap organisasi. Namun demikian,
pembahasan akan lebih banyak ditekankan pada bagaimana
perilaku manusia akan mempengaruhi efesiensi dan
efektifitas suatu organisasi.
Secara sederhana, dalam mempelajari perilaku
organisasi tercakup empat usur utama, yaitu :
1. Aspek psikologis tindakan manusia itu sendiri, sebagai
hasil studi psikologi
2. Adanya bagian lain yang diakui cukup relevan bagi
usaha mempelajari tindakan manusia dalam
organisasi. Uang misalnya, rupakan salah satu faktor /
pertimbangan mengapa seseorang memasuki suatu
organisasi. Oleh karena itu, ilmu ekonomi perlu juga
mendapat perhatian. Psikologi sebagai contoh lain,
penting karena sikap (attutude) akan mempengaruhi
prestasi orang yang bersangkutan.
3. Perilaku organisasi sebagai salah satu disiplin,
mengakui bahwa individu dipengaruhi oleh
bagaimana organisasi diatur dan siapa yang
mengawasi mereka. Oleh sebab itu struktur organisasi
memegang peranan penting dalam membahawa
perilaku organisasi.

44
4. Walaupun disadari akan adanya keunikan masing-
masing individu, perilaku organisasi lebih banyak
menekankan tuntutan menajer bagi tercapainya
tujuan organisasi secara keseluruhan. Dengan
demikian selalu diusahakan agar usaha masing-
masing individu selaras dengan tujuan organisasi.
Dari uraian diatas dapatlah disimpulkan beberapa hal
yang sangat penting untuk diperhatikan. Pertama : perilaku
organisasi adalah suatu bidang yang inter disipliner dan
yang memanfaatkan hasil dari cabang ilmu yang lain, Kedua:
walaupun mendapat sumbangan dari ilmu lain, bidang ilmu
ini tetap taat berdiri sendiri, karena pusat perhatiannya
pada perilaku manusia dalam berorganisasi , Ketiga :
perilaku organisasi memberikan arah dan petunjuk bagi
pencapaian tujuan organisasi dengan lebih baik. hal ini
berbeda dengan psikologi dan sosiologi yang hanya
memberi bantuan untuk dapat mengerti dan menguraikan
tindakan seseorang atau kelompok, sedangkan perilaku
organisasi bersifat penerapan. Atau dengan kata lain,
perilaku organisasi berhubungan dengan pemanfaatan
pengetahuan bagi pencapaian tujuan organisasi
sebagaimana yang diharapkan

C. Pandangan Perilaku dalam Organisasi


Organisasi dapat dipandang dari berbagai segi,
termasuk dari segi perilaku organisasi. Dari segi perilaku
maka organisasi dapat dipadang sebagai sistem tertutup dan
sistem terbuka.

45
1. Organisasi sebagai sistem tertutup
Cara pandang yang melihat organisasi sebagai
suatu sistem tertutup berkembang karena kebutuhan
akan keinginan untuk memperkirakan kepastian hasil
suatu organisasi. Konsep ini khawatir akan
ketidakpastian. Dengan menggunakan cara pandang
ini diharapkan bahwa selalu terjadi keserasian antara
usaha dan hasilnya. Atau dengan perkataan lain, hasil
adalah buah dari suatu usaha dan selalu begitu.
Bila dihubungkan dengan perkembangan teori
organisasi maka cara pandang ini sangat dekat sekali
dengan teori klasik yang sama kita ketahui lebih
banyak meletakkan titik berat pada efesiensi atau
ratio terbaik antara usaha dan hasil. Dapat dimengerti
bahwa demi efesiensi segala usaha harus
disederhanakan karena kompleksitas memberikan
kecendrungan akan kekuranganpastian dan dengan
sendirinya dianggap mengurangi efesiensi. Pusat
perhatian diberikan pada usaha pencapaian tujuan
dengan tidak mengabaikan faktor diluar organisasi,
seperti teknologi, dan nilai-nilai sosial. Pokoknya
dalam pandangan sistem tertutup, manusia dalam
organisasi dan hubungannya antara mereka hanyalah
merupakan bagian atau komponen mesin organisasi
yang bersifat kompleks.
2. Organisasi sebagai sistem tertutup
Cara pandang organisasi sebagai sistem yang
terbuka lebih memperhatikan dinamika dari
kehidupan organisasi. Hasil penelitian menunjukkan

46
bahwa kekuatan seperti perasaan, norma kelompok,
dan sikap manusia dapat mempengaruhi perilaku
seseorang dalam organisasi.
Hasil penelitian malah lebih jauh membuktikan
bahwa faktor lingkungan perlu diperhatikan dalam
merancang organisasi, karena ikut menentukan
perilaku organisasi. Karena itu, cara pandang ini
memberikan perhatian baik kepada faktor intern
(kedalam organisasi), maupun kepada faktor luar atau
faktor lingkungan organisasi. Memang betul bahwa
cara pandang ini menjadikan organisasi lebih rumit
dan kompleks dan juga mengurangi tingkat kepastian
akan peramalan hasil suatu organisasi.
Lebih jauh lagi disebutkan bahwa cara pandang
ini menimbulkan persoalan bagi pemahaman perilaku
organisasi , misalnya apakah kita melihat kedalam
dahulu, dalam arti bagaimana perilaku yang terjadi,
baru kemudian memperhatikan lingkungan tujuan,
dan struktur organisasi untuk mengetahui ciri
perilaku seseorang dan kelompok kecil, ataukah
sebaliknya.
Cara pertama memang paling banyak diikuti oleh
penganut teori sistem modern. Tetapi pandangan ini
mempunyai kerugian tersendiri, yaitu adanya kecendrungan
untuk “menyederhanakan” perilaku organisasi. Sebaliknya,
bilamana dari unsur organisasi, orang per-orang dari
kelompok, baru kemudian melihat organisasi dan faktor
lingkungan, maka kita cendrung untuk kurang

47
memperhatikan kompleksitas organisasi secara
keseluruhan.
Namun demikian, tanpa mengabaikan kerugiannya,
kita memilih yang terakhir, yaitu mulai dari orang per-
orang, kemudian mencoba mengerti perilaku seseorang.
Bersarkan hal ini kita bangun informasi untuk menelitinya
dalam kelompok kecil, organisasi, dan faktor lingkungan.

D. Perilaku dalam Kelompok


Dalam literatur ilmu administrasi dan manajemen,
istilah kelompok tidak sama dengan pengertian sehari-hari.
seperti sekelompok orang dalam suatu tempat. Kelompok
yang dimaksudkan disini adalah kelompok yang mempunyai
ikatan psikologis (psychological group).
Kelompok yang mempunyai ikatan psikologis adalah
sejumlah orang yang saling berhubungan, saling
memperhatikan (secara psikologis) dan menerima
kenyataan sebagai kelompok. Dalam suatu kelompok itu
terdapat pengaruh dari perilaku organisasi (kelompok)
terhadap prilaku perorangan. Sebaliknya perilaku
perorangan juga memberikan pengaruh terhadap norma
dan sistem nilai bersama yang biasanya menjadi perilaku
kelompok. ini terutama terjadi karena adanya interaksi
antara para anggotanya.
Dalam suatu organisasi yang cukup besar maka
amatlah sulit untuk memisahkan kegiatan dan perilaku
kelompok dari tujuan kelompok dan tujuan organisasi,
karena anggota suatu kelompok pada umumnya
memasukinya, baik karena kegiatan kelompok maupun

48
karena tujuan kelompok itu sendiri dalam organisasi. Oleh
karena itu dalam suatu organisasi yang cukup besar sering
terjadi ketegangan kelompok atau konflik, sekalipun dalam
suatu organisasi itu para anggotanya senantiasa berupaya
menciptakan keharmonisan dan integrasi. Malahan dalam
berbagai pengamatan menunjukkan bahwa ketegangan dan
konflik dapat meningkatkan keeratan hubungan
(chohesiveness) dalam kelompok. Hal ini dapat terjadi
selama masih ada tujuan bersama, atau musuh bersama
(common enemy). Dalam setiap hubungan antar kelompok
selalu muncul perilaku-perilaku kooperasi (kerjasama),
kompetisi (persingan) dan konflik (pertikaian). Ketiga unsur
tersebut mengandung unsur kebaikan dan keburukan
masing-masing.
Kooperasi atau "kerjasama" dapat memberikan
keuntungan bagi suatu organisasi dan pengaruh baik bagi
perilaku para aggotanya, dapat mempertinggi proses
aktivitas. menciptakan keselarasan hubungan antar
manusia, antar kelompok dan malahan antar organisasi.
Namun koorperatif juga sering menimbulkan kekakuan
(rigidity), perasaan cukup puas (contentment), kebekuan
dan sebagainya. Kompetisi atau persaingan juga mempunyai
kebaikan dan kekurangan. Kompetisi dapat membuat
seseorang menjadi bingung, putus asa bahkan
mengundurkan diri dari kelompok.
Tetapi kompetisi juga dapat membuat seseorang
menjadi agresif, menyakiti yang lain. Kompetisi juga punya
manfaat, seperti dapat merangsang lebih giat berusaha dan
lebih meningkatkan prestasi, seperti dibidang olah raga.

49
50
BAB V
ETIKA JABATAN DAN APARATUR NEGARA

A. Dimensi Etika
Etika pada ahkikatnya adalah cara bergaul atau
perperilaku yang baik. Nilai-nilai etika terungkap dalam
aturan-aturan maupun hukum, baik tertulis maupun tidak
tertulis yang mengatur bagaimana seseorang harus bersikap
dan berperilaku dalam interaksinya dengan orang lain dan
lingkungan masyarakatnya, termasuk dengan pemerintah.
Dalam konteks organisasi, maka etika organisasi dapat
berarti pola sikap dan perilaku yang diharapkan dari setiap
individu dan kelompok anggota organisasi, yang secara
keseluruhan akan membentuk budaya organisasi yang
sejalan dengan tujuan maupun filosofi organisasi yang
bersangkutan.
Organisasi sebagai sebuah struktur hubungan antar
manusia dan antar kelompok tertentu saja memiliki nilai-
nilai tertentu yang menjadi kode etik atau pola perilaku
anggota organisasi yang bersangkutan, betapapun kecilnya
organisasi yang bersangkutan.
Salah satu nilai etika yang secara umum berlaku bagi
setiap anggota organisasi jenis apapun adalah apa yang
dirumuskan sebagai “Menjaga nama baik Organisasi”.
Berdasarkan nilai tersebut setiap anggota organisasi apapun
harus mampu bersikap dan berperilaku yang mendukung
tejaganya nama baik organisasinya. Bahkan jika perlu

51
sebenarnya bukan hanya menjaga nama baik, tetapi juga
meningkatkan nama baik organisasi. Internalisasi nilai etika
tersebut dalam diri setiap anggota organisasi secara efektif
akan membangun moral ataupun moralitas pribadi anggota
organisasi yang bersangkutan. Sedangkan pola perilaku yang
ditekankan dalam upaya tejaganya nama baik organisasi,
biasanya dituangkan dalam sejumlah aturan mengenai apa
yang harus dan terlarang untuk dilaksanakan oleh setiap
anggota organisasi, misalnya setiap anggota diwajibkan
selalu menggunakan simbol-simbol organisasi, baik itu
berupa pakaian, peralatan, hingga kartu nama, sedangkan
larangan yang diberlakukan antara lain adalah berjudi,
mabuk-mabukan, meminta tips kepada pelanggan atau
klien, dan sebagainya.
Secara konseptual, model organisasi yang ideal
sebagaimana dirumuskan oleh Max Weber – yaitu birokrasi
- memiliki karakteristik yang sekaligus menjadi nilai-nilai
perilaku bagi para anggota organisasi tersebut. Beberapa
karakteristik organisasi yang ideal atau birokrasi menurut
Weber yang sudah umum diketahui diantaranya yang
penting adalah :
1. Spesialisasi atau pembagian pekerjaan;
2. Tingkatan berjenjang (hierarkhi)
3. Berdasarkan aturan dan prosedure kerja;
4. Hubungan yang bersifat impersonal;
5. Pengangkatan dan promosi anggota/pegawai
berdasarkan kompetensi (Sistem Merit).

52
Sedangkan menurut Wallis yang dikutip Soeharyo dan
Fernanda (2003) bahwa setiap anggota birokrasi tersebut
diharapkan antara lain :
1. Bebas dari segala urusan pribadi (Personality Free)
selain yang berkaitan dengan tugas-tugas yang telah
ditetapkan.
2. Setiap anggota harus mengerti tugas dan ruang
lingkup jabatan atau kedudukannya dalam hirarkhi
organisasi
3. Setiap anggota harus mengerti dan dapat menerapkan
kedudukan hukumnya dalam organisasi, dalam arti
memahami aturan yang menetapkan kewajiban dan
kewenangannya dalam organisasi.
4. Setiap anggota bekerja berdasarkan perjanjian atau
kontrak kerja dengan kompensasi tertentu sesuai
dengan tugas dan tanggungjawab yang dibebankan
kepadanya.
5. Setiap anggota diangkat dan dipromosikan
berdasarkan merit atau prestrasi kerja dan
kompetensi;
6. Setiap anggota organisasi diberikan konpensasi
berdasarkan tarif standar yang sesuai dengan
kedudukannya, maupun tugas pokok dan fungsinya.
7. Setiap anggota organisasi wajib mendahulukan tugas
pokok dan fungsinya daripada tugas-tugas lain selain
apa yang telah dibebankan kepadanya oleh organisasi.
8. Setiap anggota organisasi ditempatkan dengan
struktur karier yang jelas.

53
9. Setiap anggota organisasi harus berdisiplin dalam
perilaku kejanya dan untuk itu dilakukan pengawasan.
Pendapat Max Weber mengenai model organisasi
ideal tersebut secara ringkasnya mendudukkan setiap
angggota organisasi dalam hierarkhi struktur organisasi,
setiap pekerjaan diselesaikan berdasarkan prosedure dan
aturan kerja yang berlaku, setiap orang terikat dengan ketat
terhadap aturan-aturan dalam organisasi tersebut, dan
hubungan diantara setiap anggota maupun kelompok dan
dengan pihak luar terbatas hanya kepada urusan-urusan
pekerjaan yang menjadi tugas dan tanggungjawab masing-
masing anggota. Jadi dalam model organisasi yang ideal ini
sifatnya mekanistis, kaku, dan inpersonal (tidak pribadi).
Karena itu pandangan Max Weber tersebut banyak
mendapatkan kritik karena model organisasi yang ideal
tersebut tidak mengakomodasi hubungan-hubungan yang
bersifat personal (pribadi) dan sangat membatasi perilaku
para anggota organisasi tersebut dengan berbagai aturan
yang ketat. Model birokrasi ideal seperti itu tidak menjamin
terciptanya interaksi yang dinamis dalam hubungan kerja
antara anggota dengan kelompok, antar kelompok, maupun
dengan organisasi, dan dengan klien atau masyarakat yang
dilayani.
Bagaimanapun, karakteristik birokrasi atau model
birokrasi yang ideal menurut Max Weber tersebut,
tampaknya sangat mewakili kondisi-kondisi berbagai
organisasi dalam pemerintahan.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa dimensi perilaku manusia dalam

54
organisasi dengan nilai-nilai etikanya mencakup beberapa
dimensi, yaitu :
1. Dimensi hubungan antara anggota dengan organisasi
yang tertuang dalam perjanjian atau aturan-aturan
legal.
2. Hubungan antara anggota organisasi dengan sesama
angota lainnya, antara anggota dengan pejabat dalam
struktur hierarkhi;
3. Hubungan dengan anggota dan organisasi lainnya,
dan
4. Hubungan antara anggota dengan masyarakat yang
dilayaninya.

B. Etika dalam Pemerintahan


Dalam organisasi publik atau pemerintah, pola-pola
sikap dan perilaku serta hubungan antar manusia dalam
organisasi tersebut, dan hubungannya dengan pihak luar
organisasi pada umumnya diatur dengan peraturan-
perundang undangan yang berlaku dalam sistem hukum
negara yang bersangkutan.
Bagi aparatur pemerintah, budaya dan etika kerja
merupakan hal yang penting untuk dikembangkan baik
pada tingkat pemerintahan Pusat maupun Daerah, pada
tingkat Departemen atau organisasi maupun unit-unit kerja
bawahannya.
Adanya etika ini diharapkan mampu membangkitkan
kepekaan birokrasi (pemerintah) dalam melayani
kepentingan masyarakat.

55
Tujuan yang hakiki dari setiap pemerintah di negara
manapun adalah mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat warga negara yang bersangkutan, namun
demikian pola atau cara-cara yang ditempuh dan perilaku
pemerintah dalam hal itu berbeda dari satu negara ke
negara lainnya, tergantung kondisi dan situasi yang berlaku
di negara masing-masing.
Dalam negara yang demokratis, mendahulukan
kepentingan rakyat menjadi tujuan dan sekaligus etika bagi
setiap penyelenggara negara dan pemerintahan. Dalam
sistem pemerintahan yang demokratis berlaku norma “dari
oleh dan untuk rakyat”. Sehingga etika kerja aparatur dalam
sistem pemerintahan ini adalah selalu mengikutsertakan
rakyat dan berorientasi kepada aspirasi dan kepentingan
rakyat (dalam setiap langkah kebijakan dan tindakan
pemerintahan. Transparansi, keterbukaan, dan akuntabilitas
menjadi nilai – nilai yang dijunjung tinggi dan diwujudkan
dalam etika pergaulan antara pemerintah dengan rakyatnya.
Sebaliknya, dalam negara yang pemerintahannya bersifat
otoriter, maka kepentingan kekuasaannyalah yang menjadi
prioritas. Sehingga etika kerja aparatur sangat diarahkan
pada terwujudnya keamanan dan kelangsungan kekuasaan
pemerintahan. Dalam hal ini, kerahasiaan dan represi
menjadi pola kebijakan dan perilaku aparatur
pemerintah.
Ada beberapa asas umum pemerintahan yang
dikemukakan oleh Gering Supriyadi dalam Soeharyo dan
Fernanda (2003 : 28), yaitu :

56
1. Asas kepastian hukum (Principle of Legal Security)
2. Asas keseimbangan (Priciple of Proportionality)
3. Asas jesamaan dalam mengambil keputusan (Principle
of Equality)
4. Asas bertindak cermat (Principle of Carefulness)
5. Asas motivasi untuk setiap keputusan (Principle of
Motivation)
6. Asas tidak mencampuradukkan kewenangan
(Principle of non misuse of Competence) yang bisa juga
berarti asas tidak menyalah gunakan kekuasaan.
7. Asas permainan yang layak (Principle of Fairplay)
8. Asas keadilan dan kewajaran (Principle of Reasonable
or Prohabilition of Arbitrariness)
9. Asas Menanggapi penghargaan yang wajar (Principle
of Meeting Raised Expection) atau bisa jga berarti asas
pemenuhan aspirasi dan harapan yang diajukan.
10. Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal
(Principle of Undoing the Consequencies of Annuled
Decision)
11. Asas perlindungan atas pandangan/cara hidup pribadi
(Principle of Protecting the Personal Way of Life)
12. Asas kebijaksanaan (Principle of Sapientia)
13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (Principle
of Public Service)
Dalam sistem pemerintahan di Indonesia, asas-asas
pemerintahan yang menjadi nilai-nilai etika pemerintahan,
tampaknya cukup terwakili dengan pernyataan dalam
Mukaddimah UUD 1945, alinie keempat yang menyatakan :
“……., untuk membentuk pemerintahan negara yang

57
melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia ,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan turut serta dalam memelihara ketertiban dunia
dan perdamaian yang abadi…..” Sedangkan nilai-nilai
filosofis yang melandasinya adalah ideologi negara yang kita
kenal sebagai Pancasila, yaitu :
(1) Ketuhanan Yang Maha Esa
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab
(3) Persatuan Indonesia
(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawaratan / perwakilan;
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Berdasarkan tugas pemerintahan negara dan filosofi
negara itulah pemerintah negara Indonesia menjalankan
fungsinya. Ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 beserta
ketentuan dalam amandemennya, menjadi kerangka
pedoman kebijakan dan tindakan pemerintah dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara.
Dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari
Korupsi Kolusi, dan Nepotisme, pasal 3 ditetapkan bahwa
asas-asas umum penyelenggaraan negara adalah meliputi :
1. Asas Kepastian Hukum
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara
3. Asas Kepentingan Umum
4. Asas Keterbukaan
5. Asas Proposionalitas
6. Asas Profesional, dan
7. Asas Akuntabilitas

58
Asas-asas umum pemerintahan sebagaimana
diterapkan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang
tersebut dewasa ini, tidak terlepas dari kecenderungan
global berlakunya paradigma baru dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang dikenal dengan paradigma
kepemerintahan yang baik (Good Govermenve). Paradigma
tersebut menekankan bahwa penyelenggaraan negara harus
merupakan keseimbangan interaksi dan keteriban antara
pemerintah, swasta, dan masyarakat (civil society). Suhady
dan Fernanda (2003) mengutip UNDP, bahwa karakteristik
atau prinsip-prinsip yang harus dianut dan dikembangkan
dalam praktek penyelenggaraan kepemerintahan yang baik,
antara lain :
1. Partisipasi
Setiap orang atau setiap masyarakat harus
memiliki hak suara yang sama dalam proses
pengambilan keputusan, baik secara langsung
maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sesuai
dengan kepentingan dan aspirasinya.. Partisipasi yang
luas ini perlu dibangun dalam suatu tatanan
kebebasan untuk berpartisipasi secara konstruktif.
2. Aturan Hukum (Rule of Low)
Kerangka aturan hukum dan perundang-
undangan haruslah berkeadilan ditegakkan dan
dipatuhi secara utuh tanpa memihak kepada siapapun
(impartially), terutama aturan hukum tentang hak-
hak asasi manusia.

59
3. Tranparansi
Transparansi harus dibangun dalam kerangka
kebebasan aliran informasi. Berbagai proses,
kelembagaan, dan informasi harus dapat diakses
secara bebas oleh mereka yang membutuhkannya, dan
informasinya harus dapat disediakan secara memadai
dan mudah dimengerti, sehingga dapat digunakan
sebagai alat menotoring dan evaluasi.
4. Daya Tanggap (Responsiveness)
Setiap institusi dan prosesnya harus diarahkan
pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang
berkepentingan (Stakeholders)
5. Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation)
Pemerintah yang baik (good governance) akan
bertindak sebagai penengah (mediator) bagi berbagai
kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus
atau kesepakatan yang terbaik bagi kepentingan
masing-masing pihak, dan jika dimungkinkan juga
dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan
prosedure yang akan ditetapkan pemerintah.
6. Berkeadilan (Equity)
Pemerintah yang baik akan memberikan
kesempatan yang sama, baik kepada laki-laki maupun
perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan
dan memelihara kualitas hidupnya.
7. Efektivitas dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency).
Setiap proses kegiatan dan kelembagaan
diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-
benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan

60
yang sebaik-baiknya berbagai sumber-sumber yang
tersedia.
8. Akuntabilitas (Accountability)
Para pengambil keputusan (decision makers)
dalam organisasi sektor publik (pemerintah), swasta,
dan masyarakat madani memiliki
pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik
(masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada para
pemilik (stakeholders). Pertanggungjawaban tersebut
berbeda-beda, bergantung apakah jenis keputusan
organisasi itu bersifat internal atau bersifat eksternal.
9. Bervisi Strategis (Strategic Vision).
Para pimpinan dan masyarakat memiliki
perspektif yang luas dan jangka panjang tentang
penyelenggaraan pemerintahan yang baik (goor
govermance) dan pembangunan manusia (human
development), bersama dengan dirasakannya
kebutuhan untuk pembangunan tersebut. Mereka
juga memahami aspek-aspek historis, kultural, dan
kompleksitas sosial yang mendasari perspektif
mereka.
10. Saling Keterkaitan (Interrelated)
Bahwa keseluruhan ciri-ciri kepemerintahan yang
baik (good govermance) tersebut di atas adalah saling
memperkuat dan saling terkait (mutually reinforcing)
dan tidak bisa berdiri sendiri. Misalnya informasi
semakin mudah diakses berarti transpormasi semakin
baik, tingkat partisipasi akan semakin luas, dan proses
pengambilan keputusan akan semakin efektif.

61
Partisipasi yang semakin luas akan berkontribusi
kepada dua hal, yaitu terhadap pertukaran informasi
yang diperlukan bagi pengambil keputusan, dan
untuk memperkuat keabsahan atau legitimasi atas
berbagai keputusan yang ditetapkan. Tingkat
legitimasi keputusan yang kuat pada gilirannya akan
mendorong peningkatan partisipasi dalam
pelaksanaannya. Kelembagaan yang responsif
haruslah transparan dan berfungsi sesuai dengan
aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku
agar keberfungsiannya itu dapat dinilai berkeadilan.

C. Etika Aparatur/ PNS


Etika dapat dibedakan antara etika umum dan etika
khusus. Etika dalam hal ini dapat berupa etik, yaitu berasal
dari seseorang berdasarkan pada jiwa dan semangatnya, dan
etika dapat berupa etiket, yakni yang berasal dari luar diri
seseorang, bertujuan untuk menyenangkan orang lain,
muncul berdasarkan norma, kaidah, peraturan atau
ketentuan.
Etika umum berlaku umum yaitu tata susila dan
sopan santun dlam hidup sehari-hari baik dalam keluarga,
masyarakat, pemerintahan, berbangsa dan beregara.
Sedangkan etika khusus dikalangan tertentu, misalnya yang
berlaku dalam kelompok tertentu saja, pada organisasi
profesi tertentu saja, pada umat penganut aliran atau faham
tertentu saja, pada kelompok pegawai tertentu saja, seperti
aparatur pemerintahan kkhususnya etika sebagai Pegawai
Negeri Sipil.

62
Untuk kalangan Pegawai Negeri Sipil, etika atau kode
etik tertuang dalam butir-butir Panca Prasetya KORPRI.
Pegawai Negeri Sipil adalah unsur aparatur negara, abdi
negara dan abdi masyarakat yang harus setia dan taat pada
Negara dan Pemerintah beserta peraturan-perundangan
yang berlaku sebagai anggota KORPRI, Pegawai Negeri Sipil
berkewajiban untuk bermoral untuk prasetyanya. Panca
Prasetya sudah mengalami perubahan sejak terbentuknya
KORPRI berdasarkan Kepres No,82 Tahun 1971. Pada Munas
KORPRI tahun 1999 Panca Prasetya KORPRI yang
merupakan janji luhur anggota KORPRI dalam menjalankan
kewajibannya sebagai Pegawai Negeri Sipil. Berbunyi
sebagai berikut :
Kami anggota Korps Pegawai Republik Indonesia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah
insan yang :
1. Setia dan taat kepada Negara Kesatuan dan
Pemerintah Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
2. Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara
serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia
negara.
3. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat
di atas kepentingan pribadi dan golongan.
4. Bertekat memelihara persatuan dan kesatuan bangsa
serta kesetiakawanan Korps Pegawai Republik
Indonesia.
5. Berjuang menegakkan kejujuran dan keadilan, serta
meningkatkan kesejahteraan dan profesionalisme.

63
Selain kode etik Pegawai Negeri Sipil yang diatur
berdasarkan Panca Setya Korpri, namun Pegawai Negeri
Sipil mempunyai kewajiban dan hal-hal yang merupakan
larangan dikerjakan, sebagaimana diatur di dalam PP No.53
Tahun 2010, yang disebut sebagai Kode Etik Pegawai Negeri
Sipil (PNS).

64
KODE ETIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS)
DALAM PP. 53 Tahun 2010
TENTANG DISIPLIN PNS.
(Sebagai pengganti PP 30 Tahun 1980 tentang Peraturan
Disiplin PNS)

KEWAJIBAN PNS
Pasal 3 PP 53 / 2010
Setiap PNS wajib :
01. Mengucapkan sumpah/janji PNS
02. Mengucapkan sumpah/janji jabatan
03. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila. UUD
1945, NKRI, dan pemerintah
04. Mentaati segala ketentuan peraturan perundang-
undangan
05. Melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan
kepada PNS dengan penuh pengabdian, kesadaran,
dan tanggungjawab.
06. Menjunjung tinggi kehormatan Negara, pemerintah
dan martabat PNS
07. Mengutamakan kepentingan Negara, daripada
kepentingan sendiri, seseorang atau golongan.
08. Memegang rahasia sesuatu jabatan yang menurut
sifatnya atau menurut perintah harus dirahasiakan.
09. Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat
untuk kepentingan Negara.
10. Melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila
mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau

65
merugikan Negara / pemerintah terutama di bidang
keamanan, keuangan, dan material.
11. Masuk bekerja dan menaati ketentuan jam kerja
12. Mencapai sasaran kerja pegawai yang ditetapkan
13. Menggunakan dan memelihara barang-barang milik
Negara dengan sebaik-baiknya.
14. Memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada
masyarakat.
15. Membimbing bawahan dalam melaksanakan tugas.
16. Memberi kesempatan kepada bawahan untuk
mengembangkan karier.
17. Menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh
pejabat yang berwenang.

LARANGAN PNS
Pasal 4 PP53/2010
Setiap PNS dilarang :
01. Menyalahgunakan wewenang
02. Menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan
pribadi dengan menggunakan kewenangan orang lain.
03. Tanpa izin pemerintah menjadi pegawai atau bekerja
untuk Negara lain dan/atau lembaga atau organisasi
internasional;
04. Bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau
lembaga swadaya masyarakat asing.
05. Memiliki, menjual, membeli, menggadakan,
menyewakan, atau meminjamkan barang-barang baik
bergerak atau tidak bergerak dokumen atau surat-
surat berharga milik Negara secara tidak sah.

66
06. Melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman
sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun
diluar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk
keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang
secara langsung atau tidak langsung merugikan
Negara.
07. Memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu
kepada siapapun baik secara langsung atau tidak
langsung dengan dalih apapun untuk diangkat dalam
jabatan
08. Menerima hadiah atau sesuatu pemberian apa saja
dari siapapun juga yang berhubungan dengan jabatan
dan/atau pekerjaannya.
09. Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahan.
10. Melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan
suatu tindakan yang dapat menghalangi atau
mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga
mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani.
11. Menghalangi berjalannya tugas kedinasan
12. Memberi dukungan kepada calon Presiden/Wakil
Presiden, DPR, DPD, atau DPRD dengan cara :
 Ikut serta sebagai pelaksana kampanye
 Menjadi peserta kampanye dengan menggunakan
atribut partai atau atribut PNS;
 Sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan
PNS lain, dan / atau
 Sebagai peserta kampanye dengan menggunakan
fasilitas Negara.

67
13. Memberi dukungan kepada calon Presiden/Wakil
Presiden dengan cara;
 Membuat keputusan dan/atau tindakan yang
menggunakan atau merugikan salah satu
pasangan calon selama masa kampanye dan/atau;
 Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada
keberpihakan terhadap pasangan calon yang
menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan
sesudah masa kampanye meliputi pertemuan,
ajakan, himbauan, seruan atau pemberian barang
kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya,
anggota keluarga dan masyarakat.
14. Memberikan dukungan kepada calon anggota DPD
atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
dengan cara memberi surat dukungan diserta foto
kopi KTP atau Surat Keterangan Tanda Penduduk
sesuai peraturan perundang-undangan, dan
15. Memberikan dukungan kepada calon Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara :
 Terlibat dalam kegiatan kampanye untuk
mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah
 Menggunakan fasilitas yang terkait dengan
jabatan dalam kegiatan kampanye.
 Membuat keputusan dan/atau tindakan yang
menguntungkan atau merugikan salah satu
pasangan calon selama masa kampanye dan/atau;
 Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada
keberpihakan terhadap pasangan calon yang

68
menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan
sesudah masa kampanye meliputi pertemuan,
ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang
kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya,
anggota keluarga dan masyarakat.

69
HUKUM DISIPLIN
Diatur pada : pasal 5 s/d 47 PP 53/2010
PNS yang tidak menaati ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dan pasal 4 dijatuhi hukuman disiplin.
Tingkat dan jenis Hukuman Disiplin :
Tingkat Hukuman Disiplin terdiri dari:
1. Hukuman disiplin ringan
2. Hukuman disiplin sedang, dan
3. Hukuman disiplin berat
Jenis hukuman disiplin ringan terdiri dari :
1. Teguran lisan
2. Teguran tertulis
3. Pernyataan tidak puas secara tertulis
Jenis hukuman sedang terdiri dari :
1. Penundaan kenaikan gaji berekala selama 1 tahun
2. Penundaan kenaikan pangkat selama 1 tahun, dan
3. Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1
tahun
Jenis hukuman disiplin berat terdiri dari :
1. Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3
tahun
2. Pemindahan dalam rangka penurunan jabatan
setingkat lebih rendah
3. Pembebasan dalam jabatan
4. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan
sendiri, dan
5. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.

70
PP. No,30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin
Pegawai Negeri Sipil,
Sebagai perbandingan Kode Etik sebagaimana diatur
dalam PP. No,30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin
Pegawai Negeri Sipil, maka dibawah ini dikemukakan juga
Kewajiban dan larangan PNS. PP No.30 tahun 1980, adalah
peraturan disiplin sebagai peraturan yang mengatur
kewajiban, larangan dan sanksi apabila kewajiban tidak
ditaati atau larangan dilanggar oleh Pegawai Negeri Sipil
sekaligus dapat menjadi ukuran etika Pegawai Negeri Sipil
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Di dalam
Peraturan Pemerintah tersebut dapat dikemukakan sebagai
berikut :
Kewajiban Pegawai Negeri Sipil
1. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, UUD
1945, negara dan pemerintah.
2. Mengutamakan kepentingan Negara di atas
kepentingan golongan atau diri sendiri, serta
menghindarkan segala sesuatu yang dapat mendesak
kepentingan Negara Oleh kepentingan golongan, diri
sendiri, atau pihak lain.
3. Menjunjung tingggi kehormatan dan martabat
Negara, Pemerintah, dan Pegewai Negeri Sipil.
4. Mengangkat dan mentaati sumpah/janji Pegawai
Negeri Sipil dan sumpah/janji jabatan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Menyimpan rahasia Negara dan atau rahasia jabatan
dengan sebaik-baiknya.

71
6. Memperhatikan dan melaksanakan segala ketentuan
Pemerintah baik yang berlangsung menyangkut tugas
kedinasannya maupun yang berlaku secara umum.
7. Melaksanakan tugas kedinasan dengan sebaik-baiknya
dan dengan penuh pengabdian, kesadaran dan
tanggungjawab.
8. Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat
untuk kepentingan Negara.
9. Memelihara dan meningkatkan keutuhan,
kekompakan, persatuan, dan kesatuan Korps Pegawai
Negeri Sipil.
10. Segera melaporkan kepada atasannya, apabila
mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau
merugikan Negara/Pemerintah terutama di bidang
keamanan, keuangan, dan meterial.
11. Mentaati ketentuan jam kerja
12. Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang
baik.
13. Menggunakan dan memelihara barang-barang milik
Negara dengan sebaik-baiknya.
14. Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya
kepada masyaraklat menurut bidang tugasnya masing-
masing.
15. Bertindak dan bersikap tegas, tetapi adil dan bijaksana
terhadap bawahannya.
16. Membimbing bawahannya dalam melaksanakan
tugasnya.
17. Menjadi dan memberi contoh serta teladan yang baik
terhadap bawahannya.

72
18. Mendorong bawahannya untuk meningkatkan
prestasi kerjanya.
19. Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk
mengembangkan kariernya.
20. Mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan
tentang perpajakan.
21. Berpakaian rapi dan sopan serta bersikap dan
bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat,
sesama Pegawai Negeri Sipil dan terhadap atasan.
22. Hormat menghormati antara sesama warga negara
yang memeluk agama/kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, yang berlainan.
23. Menjadi teladan sebagai warga negara yang baik
dalam masyarakat.
24. Mentaati segala peraturan perundang-undangan dan
peraturan kedinasan yang berlaku.
25. Mentaati perintah kedinasan dari atasan yang
berwewenang.
26. Memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-
baiknya setiap laporan yang diterima mengenai
pelanggaran disiplin.
Larangan bagi Pegawai Negeri Sipil
1. Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan
kehormatan atau martabat negara, pemerintah, atau
Pegawai Negeri Sipil
2. Menyalahgunakan wewenang
3. Tanpa izin pemerintah menjadi pegawai atau bekerja
untuk negara asing;

73
4. Menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-
surat berharga minik negara
5. Memiliki, menjual, membeli, menggandakan,
menyewakan, atau meminjamkan barang-barang,
dokumen, atau surat-surat berharga milik Negara
secara tidak sah;
6. Melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman
sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di
luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk
keuntungan pribadi , golongan, atau pihak lain, yang
secara langsung atau tidak langsung merugikan
Negara;
7. Melakukan tindakan yang bersifat negatif dengan
maksud membalas dendam terhadap bawahannya
atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan
kerjanya.
8. Menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa
saja dari siapapun juga yang diketahui atau patut
dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan atau
mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan
Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
9. Memasuki tempat-tempat yang dalat mencemarkan
kehormatan atau martabat Pegawai Negeri Sipil,
kecuali untuk kepentingan jabatan.
10. Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya.
11. Melakukan sesuatu tindakan atau sengaja tidak
melakukan suatu tindakan yang dapat berakibat
menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang

74
dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi
pihak yang dilayani.
12. Menghalangi berjalannya tugas kedinasan.
13. Membocorkan dan atau memanfaatkan rahasia
Negara yang diketahui karena kedudukan jabatan
untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain.
14. Bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha
atau golongan untuk mendapat pekerjaan atau
pesanan dari kantor/instansi Pemerintah .
15. Memiliki saham/modal dalam perusahaan yanga
kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup
kekuasaannya.
16. Memiliki saham atau perusahaan yang kegiatan
ushanya tidak berada dalam ruang lingkup
kekuasaannya yang jumlah dan sifat pemilikan itu
sedemikian rupa sehingga melalui pemilikan saham
tersebut dapat langsung atau tidak langsung
menentukan penyelenggaraan atau jalannya
perusahaan.
17. Melakukan kegiatan usaha dagang baik secara resmi,
maupun sambilan, menjadi direksi, pimpinan atau
komisaris perusahaan swasta bagi yang berpangkat
Pembina golongan ruang IV/a keatas atau yang
memangku jabatan esalon I.
18. Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun
juga dalam melaksanakan tugas untuk kepentingan
pribadi, golongan atau pihak lain.

75
Hukum disiplin Pegawai Negeri Sipil
Pelanggaran disiplin sesuai dengan Pasal 4 PP No.30
tahun 1980 dijatuhi hukuman disiplin oleh ejabat yang
berwewenang menghukum.
Jenis hukuman disiplin terdiri hukuman disiplin
ringan, sedang, dan berat. Hukuman disiplin ringan dapat
berupa teguran lisan, tertulis, dan pernyataan tidak puas
secara tertulis. Hukuman disiplin sedang, dapat berupa
penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 (satu)
tahun, penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji
berkala untuk paling lama 1 (satu) tahun, dan penundaan
kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun. Jenis
hukuman disiplin berat dapat berupa penurunan pangkat
pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama
1 (satu) tahun, Pembenasan dari jabatan, pemberhentian
dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai
Pegawai Negeri Sipil, dan pemberhentian tidak dengan
horrmat sebagai Pegawai Negeri Sipil.

D. Etika Dalam Jabatan


Para penyelenggara Negara berdasarkan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara Yang Bersih Dan Bebas dari Korupsi, kolusi, dan
Nepotisme adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi
eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang
fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Para penyelenggara
negara, termasuk Pegawai Negeri Sipil, sebelum memangku

76
jabatannya diwajibkan untuk mengangkat sumpah/janji
sesuai sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Presiden dan Wakil Presiden, Anggota dan Pimpinan
Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara lainnya juga
diwajibkan untuk mengangkat sumpah/janji sebelum
menjalankan jabatannya itu. Begitu pula pejabat eselon
dalam pemerintahan.
Sumpah/janji inilah yang menjadi kesepakatan dan
komitmen terhadap nilai-nilai, standar-standar sebagai kode
etik jabatan.
Dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pasal 5 ditetapkan
mengenai kewajiban setiap Penyelenggara Negara sebagai
berikut :
1. Mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan
agamanya sebelum memangku jabatan.
2. Bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan
setelah penjabat;
3. Melaporkan dan mengumunkan kekayaannya sebelum
dan setelah menjabat;
4. Tidak melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme;
5. Melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku,
agama, ras, dan golongan;
6. Melaksanakan tugas dengan penuh rasa
tanggungjawab dan tidak melakukan perbuatan
tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan
peribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan
tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun

77
yang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
7. Bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi,
dan nepotisme serta dalam perkara lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Sedangkan hak sebagai penyelenggara negara diatur
dalam Pasal 4 UU No,28 tahun 1999 yang meliputi hak-hak :
1. Menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2. Menggunakan hak jawab terhadap setiap teguran,
tindakan dari atasannya, ancaman hukuman, dan
kritik masyarakat.
3. Menyampaikan pendapat di muka umum secara
bertanggungjawab sesuai dengan wewenangnya, dan
4. Mendapatkan hak-hak lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut
ditegaskan ketentuan bahwa : Hubungan antar
Penyelenggara Negara dilaksanakan dengan mentaati
norma-norma kelembagaan, kesopanan, kesusilaan, dan
etika yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945.
Bagi Pegawai Negeri Sipil yang duduk dalam jabatan
struktural Eselon V sampai dengan Eselon I pada dasarnya
masih berlaku ketentuan Disiplin sebagai etika perilaku

78
dalam jabatan, sebagaimana tertuang dalam PP No,30 tahun
1980, selain UU tersebut diatas.

79
80
BAB VI
STANDAR ETIKA ORGANISASI PEMERINTAHAN

A. Pengertian Standar Etika


Pemerintah dan seluruh jajarannya di negara
manapun sering menjadi obyek kritikan masyarakat karena
berbagai kelemahan yang ditunjukkannya. Ini adalah resiko
dari sektor publik.
Dalam kondisi seperti sekarang ini pemerintah di
negara manapun lebih cendrung menentukan arah dan
konmitmen melakukan reformasi atau perubahan dalam
berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahannya, dengan
alasan bahwa sistem-sistem dalam pemerintahannya tidak
cukup efektif lagi membentuk konpetensi dan kualitas
sumber daya manusia yang handal. Sebaliknya sistem dalam
pemerintahan telah cendrung membentuk para birokrat
menjadi kurang responsif, lamban, berorientasi pada status-
quo, korupsi dan sebagainya. Sehingga sistem-sistem yang
ada dalam pemerintahan harus diubah, bukan manusianya.
Mustopadidjaja (1997) dalam tulisannya yang berjudul
“Format Pemerintahan Menghadapi Abad 21” dalam Jurnal
Administrasi dan Pembangunan. Edisi khusus Volume 1,
No.2 tahun 1997, hal 17 menyatakan bahwa salah satu
prinsip dalam pemerintahan adalah “pelayanan”, yaitu
semangat untuk melayani masyarakat (a spirit of public
service). Untuk mewujudkan hal itu, maka diperlukan suatu
proses perubahan perilaku yang antara lain dapat dilakukan

81
melalui “pemberdayaan kode etik (code of ethical conducts)
yang didasarkan pada dukungan lingkungan (enabling
strategiy) yang diterjemahkan kedalam standar tingkah laku
yang dapat diterima umum, dan dijadikan acuan perilaku
aparatur pemerintah baik di pusat maupun di daerah-
daerah (Mustopadidjaja, 1997 :17). Selanjutnya disebutkan
lagi bahwa dalam pelaksanaan kode etik tersebut aparatur
dan manjemen publik harus bersikap terbuka, transparan
dan akuntable, untuk mendorong pengalaman dan
pelembagaan kode etik tersebut. Dalam hubungannya
dengan pelayanan kepada masyarakat, hal itu mengandung
arti sebagai semangat pengabdian yang mengutamakan
efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang
dimanifestasikan antara lain dalam perilaku “melayani”
bukan “dilayani”, mendorong, bukan "menghambat”,
mempermudah bukan “mempersulit”, sederhana bukan
“berbelit-belit”. Standar etika organisasi pemerintah yang
dimaksud dalam hal ini adalah kualitas pemenuhan atau
perwujudan nilai-nilai atau norma-norma sikap dan perilaku
pemerintah dalam setiap kebijakan dan tindakanya yang
dapat diterima oleh masyarakat luas. Ini tidak berarti bahwa
pemerintah sama sekali tidak memiliki standar etika
pemerintahan, akan tetapi dimensi pelaksanan etika
tersebut mungkin yang ditingkatkan.
Hal ini mengingat bahwa tanpa kepercayaan
masyarakat, pemerintah di mana pun tidak akan mampu
melaksanakan pemerintahannya secara efektif dan efisien.

82
B. Penyusunan Standar Etika
Di dalam upaya menyusun standar etika organisasi
dan aparatur pemerintah, peranan masyarakat melalui
lembaga-lembaga perwakilannya menjadi nara sumber yang
penting dan strategis. Dengan demikian pemerintah dapat
mengidentifikasi apa yang menjadi harapan-harapan dan
tuntutan rakyat / masyarakat terhadap institusi pemerintah
dan aparatur penyelenggara pemerintahannya.
Selain itu melalui studi atau kajian perbandingan
terhadap berbagai negara baik dalam lingkungan yang
berbatasan maupun dalam skala yang lebih luas, dapat
memberikan gambaran bagi pemerintah apa dan bagaimana
praktek penerapan etika organisasi pemerintah yang
menjadi kecenderungan umum. Dengan cara ini pemerintah
dengan berbagai informasi yang dimilki secara nasional dan
internasional, akan mampu menerapkan standar etika yang
bukan hanya dapat diterima di dalam negeri, tetapi juga
setara atau bahkan lebih baik dibandingkan dengan apa
yang diterapkan di negara negara lain. Kondisi yang
demikian pada akhirnya akan mendorong peningkatan
kemampuan daya saing pemerintahan nasional dalam ruang
lingkup global.

C. Pengawasan dan Evaluasi Standar Etika


Penerapan standar-standar etika oleh organisasi
pemerintahan beserta aparatur pemerintahannya, jelas
harus dapat dimonitoring perkembangannya. Harus ada
sistem pengawasan dan evaluasi atas penerapannyanya. Hal
ini bukan hanya dilakukan oleh pemerintah saja, tetapi juga

83
dari lembaga-lembaga diluar pemerintah, masyarakat dan
sektor swasta untuk menilai bagaimana sebenarnya etika
pemerintah diwujudlkan.
1. Peranan lembaga Pemerintahan dalam pengawasan
etika aparatur.
Dalam rungan lingkup internal kelembagan
pemerintah terdapat lembaga-lembaga pengawasan
fungsional seperti Badan Pengawasan Keungan dan
Pembangunan (BPKP), dan Inspektorat Jenderal yang
berfungsi mengawasi jalannya fungsi-fungsi
pemrintahan secara konprehensif baik menyangkut
aspek-aspek keuangan maupun aspek-aspek
pelaksanaan tugas rutin pemerintahan lainnya. Selain
itu, sistem pengawasan melekat (Waskat) langsung
terhadap pentaatan etika organisasi oleh Pegawai
Negeri Sipil juga diterapkan. Dewasa ini bahkan
dikembangkan mekanisme Sistem Akuntabilitas
Instansi Pemerintah berdasarkan Instruksi Presiden
Nomor 7 Tahun 1999 yang menuntut akuntabilitas
publik organisasi pemerintah yang berorientasi
kepada hasil dan kemanfaatan penyelenggaran tugas–
tugas pemerintahan, pembangunan, maupun
pelayanan kepada masyarakat. Khusus di bidang
kepegawaian, disamping penerapan PP No.53 tahun
2010, tentang Disisplin Pegawai Negeri Sipil, juga
masih diberlakukannya sistem penilaian kinerja PNS
berdasarkan DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan
Pekerjaan, berdasarkan PP Nomor 10 tahun 1979. DP3

84
masih saat ini masih menjadi salah satu instrumen
menjadi dasar penilaian karier Pegawai Negeri Sipil.
2. Peranan masyarakat dalam pengawasan aparatur
pemerintah.
Sejak berlangsungnya gerakan reformasi total
yang dipelopori oleh pemuda, pelajar dan mahasiswa
pada priode tahun 1997/1998 yang akhirnya berhasil
memaksa runtuhnya pemerintah Orde Baru pada
bulan Mei 1998, sebagai tonggak sejarah bangkitnya
Orde Reformasi. Sejak itu peranan masyarakat dalam
menjalankan pengawasan dan evaluasi terhadap
organisasi pemerintahan dan aparatur pemerintah
telah semakin berkembang sejalan dengan makin
berkembangnya kehidupan demokrasi pasca Orde
Baru. Salah satu gebrakan paling strategis yang
dilakukan oleh Presiden Jusuf Habibi, pada tahun 1999
adalah diluncurkannya Undang-Undang Nomor 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai
pengganti Undang-Undang No, 5 tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah. Undang-
Undang yang baru itu telah merubah wajah
pemerintahan di Indonesia, yang lebih memberikan
kesempatan kepada Daerah untuk melaksanakan
otonomi daerah secara luas dan bertanggungjawab.
Dewasa ini banyak sekali lembaga-lembaga
swadaya masyarakat yang dibentuk untuk tujuan –
tujuan pengawasan jalannya pemerintahan, termasuk
penilaian etika aparatur pemerintah. Beberapa nama
lembaga dalam skala nasional yang cukup

85
berkompetensi antara lain adalah Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI), indonesian Corruption
Watch (ICW), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi),
dan sebagainya, bukan hanya di pusat, tetapi lembaga-
lembaga pemberdayaan masyarakat juga muncul di
daerah-daerah. Bahkan lembaga-lembaga atau Partai
Politik juga dewasa ini telah semakin berdaya untuk
menyalurkan sikap dan memantau pelaksanaan
penyelenggaraan pemerintahan, penyelenggaraan
Pemilihan Umum dan pemilihan Presiden secara
langsung pada tahun 2004.
Malahan untuk lebih efektifnya pengawasan etika
aparatur pemerintah, maka pemerintah secara resmi
membentuk lembaga-lembaga semi pemerintahan
sepeti Lembaga Komnas HAM dan semacamnya,
untuk mewadahi kolaborasi antara pemerintah dan
masyarakat dalam menangani berbagai permasalahan
yang menjadi tugas pokoknya, serta mengawasi dan
mengevaluasi pelaksanaan pemerintahan berdasarkan
kepentingan lembaga yang bersangkutan dan
kepentingan masyarakat dalam bidang tersebut.
Berdasarkan hal-hal tersebut, sebenarnya dalam
era reformasi ini peningkatan standar etika organisasi
pemerintah dan aparatur pemerintah harus dapat
diwujudkan. Dengan semakin berkembangnya
lembaga-lembaga pemerintahan maupun lembaga-
lembaga swadaya masyarakat yang mengawasi gerak
langkah dan kebijakan pemerintah maupun Pegawai
Negeri Sipil pada umumnya, masyarakat seharusnya

86
dapat terjamin bahwa etika administrasi negara atau
organisasi pemerintah akan memenuhi harapan
masyarakat dimasa mendatang.
Apa yang telah dilakukan lembaga-lembaga tersebut
diatas dalam memantau etika pemerintahan dan aparatur
pemerintahan, tidak lepas daripada makna yang terkandung
di dalam GBHN 1999 – 2004, yang telah menetapkan
rumusan visi bangsa Indonesia masa depan sebagai
kerangka acuan manajemen pembangunban nasional
sebagai berikut : “Terwujudnya masyarakat Indonesia yang
damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan
sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri,
beriman, bertakwa, berahlak mulia, cinta tanah air,
berkesadaran hikum dan lingkungan, menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi
serta berdisiplin.”
Visi bangsa Indonesia tersebut tentu saja harus
menjadi acuan dalam rangka pelaksanaan reformasi
administrasi/manajemen pembangunan.
Dalam rangka pembangunan administrasi, GBHN
1999-2004 telah merumuskan salah satu misi yang
ditetapkan untuk dapat mendukung tercapainya visi
Indonesia tersebut yang diatas yaitu: perwujudan aparatur
negara yang berfungsi melayani masyarakat, Profesional,
berdaya guna, produktif, transparan, bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme.”
Secara logis, misi pembangunan administrasi/
manajemen dalam GBHN tersebut sangat sejalan dengan

87
kerangka teori dan paradigma penyelenggaraan
pemerintahan yang berkembang dewasa ini, yaitu
paradigma Good Governance yang intergal berkaitan erat
dengan paradigma Reinventing Government dan Banishing
Bureaucracy.
Memasuki abad 21, reorientasi pembangunan
administrasi perlu diarahkan untuk membangun tatanan
administrasi negara yang diharapkan mampu
mengantisipasi tuntutan dan perkembangan lingkungan
global. Orientasi pembangunan nasional sekarang ini akan
lebih menekankan kepada penggunaan perangkat dari
jaringan kerja yang efesien dan efektif, serta penggunaan
teknologi sebagai basisnya.
Dengan demikian reorientasi pembangunan
administrasi akan lebih mengutamakan kepada kepentingan
pelayanan dan kebutuhan pelanggan. Reorientasi
pembangunan administrasi pada prinsipnya juga harus
mengacu kepada prinsip-prinsip dasar, yakni : (1) rasional,
efektif dan efesien, dan dengan piranti manajemen yang
terbuka; (2) Ilmiah, yakni berdasarkan kajian dan penelitian
serta dukungan dari ilmu pengetahuan lainnya: (3) Inovatif,
yaitu Pembangunan yang dilakukan terus menerus untuk
menghadapi lingkungan yang terus berubah; (4) Produktif,
yakni berorientasi kepada hasil kerja yang optimal; (5)
Profesional, terampil; dan (6) penggunaan teknologi
moderen.
Mengantisipasi tantangan global, pembinaan sumbr
daya manusia aparatur negara harus diarahkan untuk
memenuhi standar kompetensi internasional (word class).

88
Dalam hal ini harus dibangun standar kompetensi setiap
jabatan dan pekerjaan yang dapat mengikuti standar kinerja
dan kualifikasi internasional (ISO 9000). Wujud aparatur
masa depan penampilannya harus profesional sekaligus taat
hukum, rasional, inovatif, serta memiliki integritas yang
tinggi serta menunjang tinggi etika administrasi negara
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Tuntutan kompetensi aparatur semakin menjadi
kebutuhan. Peningkatan profesionalisme aparatur harus
ditunjang dengan integritas yang tinggi, dengan
mengupayakan terlembagakannya karakteristik sebagai
berikut :
a. Melaksanakan tugas dengan terampil, kreatif dan
inovatif.
b. Mempunyai komitmen yang kuat terhadap tugas dan
program,
c. Komitmen terhadap pelayanan publik
d. Bekerja berdasarkan sifat dan etika profesional.
e. Memiliki daya tanggap (responsiveness) dan
akuntabilitas (accountability).
f. Memiliki derajat ekonomi yang penuh rasa
tanggungjawab dalam membuat keputusan, dan
g. Memaksimalkan efeisiensi dan kreativitas.
Sejalan dengan berbagai pemikiran tersebut di atas,
dalam rangka pembangunan aparatur negara dalam GBHN
1999 – 2004 telah ditetapkan arah kebijakan pembangunan
penyelenggara negara sebagai berikut :
1. Membersihkan penyelenggara negara dari praktek
korupsi, kolusi, nepotisme dengan memberikan sanksi

89
seberat-beratnya ssuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku, meningkatkan efektivitas pengawasan
internal dan fungsional serta pengawasan masyarakat,
dan mengembangkan etika dan moral.
2. Meningkatkan kualitas aparatur negara dengan
memperbaiki kesejahteraan dan keprofesionalan serta
memberlakukan sistem karier berdasarkan prestasi
dengan prinsip memberikan penghargaan dan sanksi.
3. Melakukan pemeriksanaan terhadap kekayaan pejabat
negara dan pejabat pemerintah sebelum dan sesudah
memangku jabatan dengan tetap menjunjung tinggi
hak hukum dan hak asasi manusia.
4. Meninglkatkan fungsi dan keprofesionalan birokrasi
dalam melayani masyarakat dan akuntabilitasnya
dalam mengelola kekayaan negara secara transparan,
bersih, bebas dari penyalagunaan kekuasaan.
5. Meningkatkan kesejahteraan Pegawai Negeri dan
Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara
Republik Indonesia untuk menciptakan aparatur yang
bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme,
bertanggungjawab, profesional, produktif dan efisien.
6. Memantapkan netralitas politik pegawai negeri
dengan menghargai hak-hak politiknya.

90
DAFTAR PUSTAKA

Adam I.Indrawijaya, 1989, Perilaku Organisasi, Sinar Baru,


Bandung
Gibson, 1988, Organisasi dan Manajemen, Prilaku Struktur
dan Proses, Erlangga, Jakarta
Gibson. Ivancevich, Donelly, 1991, Organisasi Prilaku,
Erlangga, jakarta.
S.Suhartono, Filsafat Administrasi, (Diktat), STIAN, LAN
Ujung Pandang (1996)
De Vos H. Pengantar Etika, Alih bahasa, Soejono
Soemargono, Tiara, 1987.
S.P.S iagian, Filsafat Administrasi, Gunung Agung Jakarta,
1993,
Musanef, 1984, Manajemen Kepegawaian di Indonesia,
PT.Gunung Agung, Jakarta.
Mustopadidjaja AR, 1997, Transformasi Manajemen
Menghadapi Globalisasi Ekonomi, Jakarta ,
PP.Persadi
Salamon Soeharyo dan Desi Fernanda, 2003, Etika Organissi
Pemerintah, LAN, RI, Jakarta

91
Soewarno Handayaningrat, 1986, Pengantar Studi Ilmu
Ad4ministrasi dan Manajemen, Jakarta, Gunung
Agung.
Suhady, Idup dan Desi Fernanda, 2001, Modul Diklatpim
Tingkat IV, Dasar-dasar Kepemerintahan Yang Baik,
Jakarta, LANRI
Supryadi Gering, 2001, Modul Diktat Prajabatan Golongan
III, Etika Birokrasi, Jakarta, LANRI.
Sutarto, 1980, Dasar-dasar Organisasi. Penerbit Gajah Mada
University Press, Yokyakarta.

92
BIODATA PENULIS

Nama : Mukmin Muhammad


Tempat, tanggal lahir : Barru, 10 Maret 1975
Pendidikan :
1. S1 Ilmu Administrasi Negara (1999)
2. S2 Hukum Administrasi Negara (2003)
3. S3 (Sementara Dalam Pendidikan Doktor Ilmu
Hukum Di Universitas Muslim Indonesia)
Pekerjaan :
1. Dosen Stia Algazali Barru
2. Dosen Universitas Muslim Indonesia

93

Anda mungkin juga menyukai