Anda di halaman 1dari 24

PERBAIKAN TAMBAHAN DARI MAKALAH PROGRAM INOVASI MOROTI

DI PUSKESMAS BARA-BARAYA

Nama Inovasi : MoRoTi (Motor Ramah Penderita Tuberculosis)


Bentuk Inovasi : Pelayanan Publik
Website Inovasi : www.puskesmasbarabaraya.info
Tahun “launching” inovasi : Maret 2016
Organisasi : Puskesmas Bara-Baraya

A. GAMBARAN UMUM
1. Kondisi Geografis
a. Lokasi Puskesmas
Kota Makassar merupakan salah satu pemerintahan kota dalam wilayah
Provinsi Sulawesi Selatan yang terbentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di
Sulawesi, sebagaimana yang tercantum dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 74 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 1822.

Kota Makassar menjadi ibukota Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan


Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965, (Lembaran Negara Tahun 1965
Nomor 94), dan kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1965 Daerah Tingkat II Kotapraja Makassar diubah menjadi Daerah
Tingkat II Kotamadya Makassar.

Luas Wilayah Kota layak huni Makassar tercatat 175,77 km persegi,


dengan batas-batas wilayah administratif sebagai berikut:

 Sebelah Utara : Kabupaten Maros


 Sebelah Selatan : Kabupaten Gowa dan
 Sebelah Timur : Kabupaten Gowa dan Maros
 Sebelah barat : Selat Makassar
Kabupaten Takalar
 Sebelah Barat : Selat Makassar
Secara administratif Kota Makassar terbagi atas 15 Kecamatan dan
153 Kelurahan. Bagian utara kota terdiri atas Kecamatan Biringkanaya,
Kecamatan Tamalanrea, Kecamatan Tallo, Kecamatan Ujung Tanah dan
Kecamatan Kepulauan Sangkarrang. Di bagian selatan terdiri atas
Kecamatan Tamalate dan Kecamatan Rappocini. Di bagian Timur terbagi
atas Kecamatan Manggala dan Kecamatan Panakkukang. Bagian barat
adalah Kecamatan Wajo, Kecamatan Bontoala, Kecamatan Ujung Pandang,
Kecamatan Makassar, Kecamatan Mamajang, dan Kecamatan Mariso.
Rincian luas masing-masing kecamatan, diperbandingkan dengan
persentase luas wilayah Kota Makassar sebagai berikut :

Tabel 2.1.
Luas Wilayah dan Persentase terhadap Luas Wilayah Menurut
Kecamatan Di Kota Makassar Tahun 2015

Persentase

Kode Wil Kecamatan Luas Area Terhadap Luas Kota


010 Mariso 2)
1,82
(km 1,04
020 Mamajang 2,25 Makassar
1,28
030 Tamalate 20,21 11,50
031 Rappocini 9,23 5,25
040 Makassar 2,52 1,43
050 Ujung Pandang 2,63 1,50
060 Wajo 1,99 1,13
070 Bontoala 2,10 1,19
080 Ujung Tanah 5,94 2,51
090 Tallo 5,83 3,32
100 Panakukang 17,05 9,70
101 Manggala 24,14 13,73
110 Biringkanaya 48,22 27,43
111 Tamalanrea 31,84 18,12
112 Kepulauan
Sangkarrang
15.40 0,87
7371 Kota Makassar 17.577 100,00
Sumber: Perda Nomor 4 Tahun 2015 Tentang RTRW Kota
Makassar 2015-2034

Puskesmas Bara-baraya berada di kecamatan Makassar


dimana Kecamatan ini merupakan salah satu dari 14 Kecamatan yang
ada di wilayah Kota Makassar yang terletak di pusat Kota Makassar.
Dengan luas wilayah 2,52 km2 dimana jarak dari kelurahan kepusat
kecamatan Makassar maupun pusat kota Makassar relatif dekat ± 1 -2
km.
Kondisi geografis terletak ditengah perkotaan dengan
ketinggian dari permukaan laut ± 10 m, mudah dijangkau dengan
kendaraan roda empat dan roda dua untuk sampai ke wilayah kerja.
Puskesmas Bara-Baraya merupakan salah satu dari 3
Puskesmas yang terletak di Kecamatan Makassar merupakan
puskesmas yang melayani kesehatan rawat jalan dan rawat inap
Puskesmas Bara-Baraya berdiri tahun 1961 dalam bentuk balai
pengobatan paru-paru. Pada tahun 2006 puskesmas Bara-Baraya
menerapkan sistem manajemen mutu sesuai standar ISO 9001:2000
dan mendapat pengakuan standar ISO tersebut pada tahun 2008 serta
mendapat sertifikat citra pelayanan publik.
Puskesmas Bara-Baraya memiliki prasarana satu unit gedung
untuk Puskesmas induk dan satu unit gedung untuk puskesmas
pembantu (pustu). Luas bangunan untuk puskesmas induk sebesar
±820m2 sedangkan luas tanah 875 m2, yang mempunyai jarak tempuh
sekitar 5 Km dari Kantor Dinas Kesehatan Kota Makassar
Adapun batas-batas wilayah kerja Puskesmas Bara-Baraya adalah
sebagai berikut :
a. Sebelah Barat : berbatasan dengan Kecamatan Ujung Pandang
b. Sebelah Utara : berbatasan dengan kecamatan Bontoala.
c. Sebelah Timur : berbatasan dengan kec. Panakukkang dan
Rappocini
d. Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Mamajang.
2. Kondisi penduduk
Kota Makassar kini berkembang tidak lagi sekedar gateway namun
diposisikan sebagai ruang keluarga (living room) di Kawasan Timur Indonesia.
Sebagai kota metropolitan, Makassar tumbuh dengan ditunjang berbagai
potensi, yang salah satunya adalah jumlah penduduk. Hal ini dapat dilihat
pada tabel berikut ini:

Tabel 2.2

Jumlah Penduduk Dirinci Menurut Kecamatan Kota Makassar

Populasi Penduduk Laju


Kecamatan Pertumbuhan
2015 2016
Mariso 58.815 0,93
Mamajang 60.779 0,50
Tamalate 190.694 2,12
Rappocini 162.539 1,37
Makassar 84.396 0,56
Ujung Pandang 28.278 0,90
Wajo 30.722 0,82
Bontoala 56.243 0,65
Ujung Tanah 48.882 0,83
Tallo 138.598 0,54
Panakkukang 146.968 0,68
Manggala 135.049 2,80
Biringkanaya 196.612 3,13
Tamalanrea 110.826 1,34
Jumlah 1.449.401 1,50
Sumber : Potret Kota Makassar 2016
Berdasarkan data tersebut jumlah penduduk terbesar yang dirinci menurut
Kecamatan terdapat di Kecamatan Biringkanaya sejumlah 196.612 jiwa
dengan laju pertumbuhan penduduk 3,13 sedangkan jumlah penduduk
terkecil terdapat di Kecamatan Ujung Pandang sejumlah 28.278 dengan laju
pertumbuhan (0,90).

Jumlah Penduduk yang berada diwilayah kerja puskesmas Bara-Baraya


sebanyak 38.977 jiwa, jumlah KK 9549, jumlah RW 27, Jumlah RT 166
dengan rata-rata jiwa per rumah tangga sebesar 5 (lima) orang yang dapat
diuraikan dalam tabel sebagai berikut :

Luas wilayah,Jumlah kelurahan, Jumlah RT, RW, KK dan Penduduk


Di wilayah Kerja Puskesmas Bara-Baraya
Tahun 2017

LUAS JUMLAH
JUMLAH
NO KELURAHAN WILAYAH
RT RW KK PENDUDUK
(km2)
1 2 3 4 5 6 7

1 BARA-BARAYA 0.16 32 5 1306 6775

BARA-BARAYA
2 0.14 26 4 1806 7377
SELATAN
BARA-BARAYA
3 0.15 28 5 1585 6808
TIMUR
BARA-BARAYA
4 0.11 19 5 1352 6315
UTARA

5 LARIANG BANGI 0.20 29 4 1030 4403

6 BARANA 0.22 32 4 2470 7299

JUMLAH 0.98 166 27 9549 38977

3. Kondisi perekonomian
Program Kemitraan Peningkatan Pelayanan Kesehatan – 2015
Presentase penduduk yang memiliki asuransi kesehatan merupakan
indicator capaian untuk program kemitraan peningkatan pelayanan
kesehatan dan ditargetkan 50% pada tahun 2015. Adapun capaiannya
menunjukkan sudah 70,95% penduduk yang menjadi peserta Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) atau mencapai 999.010 penduduk dari total jumlah
penduduk 1.408.072 jiwa.

Adapun rincian kepesertaan JKN dapat dilihat pada table berikut:


Tabel 2.3

Jumlah
No Kepesertaan
Peserta

PBI (Penerima Bantuan Iuran) 316.677

Pegawai Pemerintah
NON PBI 200.268
& PPnPN
Pegawai Badan
212.393
Usaha

Pensiun 80.890

Total Peserta JKN 999.010

Peserta Non JKN 409.062

Program Kemitraan Peningkatan Pelayanan Kesehatan – 2016

Presentase penduduk yang memiliki asuransi jaminan kesehatan


merupakan indikator capaian untuk program kemitraan peningkatan
pelayanan kesehatan yang ditargetkan 60% pada tahun 2016. Adapun
capaiannnya sudah melebihi target, dimana tercatat 85,01% penduduk telah
menjadi peserta jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau mencapai
1.232.157 penduduk dari total jumlah penduduk 1.449.401 jiwa.
Kota Makassar disebut merupakan salah satu wilayah yang memiliki
pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia. Pada tahun 2017 lalu,
pertumbuhan ekonomi ibukota Sulawesi Selatan itu, bahkan melampaui
pertumbuhan ekonomi secara nasional, namun tingginya capaian tersebut
dinilai memunculkan persoalan baru. Dari data yang dihimpun pendapatan
per kapita di kota Makassar mencapai Rp 87 juta/tahun. Jika dirata-ratakan
perbulannya setiap warga kota Makassar memiliki pendapatan sekitar Rp 7
juta/orang, namun pertumbuhan yang terjadi di Makassar sejalan dengan kian
lebarnya kesenjangan yang terjadi atau gini rasio sehinggga tak ada
pemerataan. Di wilayah kerja Puskesmas bara-baraya warga pada umumnya
bekerja sebagai buruh kasar dengan rata-rata berpenghasilan rendah. Pasien
yang menderita TB biasanya tingkat produktifitasnya rendah, pada umumnya
penderita TB ini tidak mampu bekerja seperti sebelum sakit, hal ini
dikarenakan keadaannya yang lemas ditambah dengan efek samping dari
obat sehingga sangat mempengaruhi tingkat produktifitas dari pasien.
4. Kondisi sarana dan prasarana
Sarana kesehatan milik Pemerintah, Swasta dan partisipasi masyarakat
yang terdapat dalam wilayah kerja Puskesmas Bara-Baraya turut berperan
dalam peningkatan status derajat kesehatan masyarakat dalam wilayah kerja
Puskesmas Bara-Baraya.
Jenis sarana kesehatan yang terdapat diwilayah kerja Puskesmas Bara-
Baraya tahun 2017 terdiri dari :
 Rumah Sakit Umum : 1 buah
 Rumah Sakit Bersalin : 1 buah
 Puskesmas : 1 buah
 Puskesmas Pembantu : 1 buah
 Balai / Klinik Pengobatan : 0 buah
 Dokter Praktek 11 orang
 Bidan Praktek Swasta ( BPS ) : 4 orang
 Apotek : 10 buah
 Posyandu : 46 buah
5. Kondisi sosial budaya
Mayarakat di wilayah kerja Puskesmas bara-baraya berasal dari beberapa
kabupaten di sulawesi, kebanyakan penduduk asli dari Makassar, Enrekang,
jeneponto. Keanekaragaman ini membuat pertukaran kebudayaan dan
kebiasaan di lingkungan masyarakat. Kondisi sosial budaya yang
menganggap bahwa penyakit TB adalah penyakit keturunan juga masih
merupakan stigmatisasi yang sulit dihilangkan. Tb paru dipertimbangkan
sebagai penyakit sosial, membutuhkan pengendalian terhadap sosial,
ekonomi dan intervensi lingkungan. Jadi kemiskinan, kepadatan dan sanitasi
yang buruk sudah dihubungkan dengan tuberkulosis paru. Faktor resiko
lainnya adalah penyalahgunaan alkohol, rokok dan malnutrisi.

B. DESKRIPSI BENTUK INOVASI DAERAH


1. Latar belakang inovasi daerah
Kesehatan merupakan salah satu hak asasi manusia dan dijamin
dalam Konstitusi UUD 1945. Pembangunan di bidang kesehatan sangat
penting untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya bagi masyarakat sehingga diperlukan upaya kesehatan yang
terpadu khususnya bagi masyarakat dalam upaya kesehatan masyarakat.
Pembangunan kesehatan yang sedang dilaksanakan masih menghadapi
masalah yang belum sepenuhnya dapat diatasi, sehingga diperlukan
pemantapan dan percepatan melalui berbagai program dan kegiatan.
Salah satu kegaiatan yang dilakukan oleh Kemebtrian kesehatan adalah
pemberantasan penyakit TB.
Sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB merupakan
kedaruratan global bagi kemanusiaan. Walaupun strategi DOTS telah
terbukti sangat efektif untuk pengendalian TB, tetapi beban penyakit TB di
masyarakat masih sangat tinggi. Dengan berbagai kemajuan yang dicapai
sejak tahun 2003, diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru
TB, dan sekitar 0,5 juta orang meninggal insidensi berjumlah 430,000
kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61,000
kematian per tahunnya. Indonesia merupakan negara dengan percepatan
peningkatan epidemi HIV yang tertinggi di antara negara-negara di Asia.
HIV dinyatakan sebagai epidemik terkonsentrasi (a concentrated
epidemic), dengan perkecualian di akibat TB di seluruh dunia (WHO,
2009).
Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan
beban TB tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah
sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan estimasi provinsi Papua yang
prevalensi HIVnya sudah mencapai 2,5% (generalized epidemic). Secara
nasional, angka estimasi prevalensi HIV pada populasi dewasa adalah
0,2%.
Sejumlah 12 provinsi telah dinyatakan sebagai daerah prioritas
untuk intervensi HIV dan estimasi jumlah orang dengan HIV/AIDS di
Indonesia sekitar 190.000-400.000. Estimasi nasional prevalensi HIV pada
pasien TB baru adalah 2.8%. Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2%
dari seluruh kasus TB baru (lebih rendah dari estimasi di tingkat regional
sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB dengan pengobatan ulang.
Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR TB setiap tahunnya.
Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia
merupakan negara pertama diantara High Burden Country (HBC) di
wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB
untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada
tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan
dan diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya
terdeteksi BTA+. Dengan demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA+
adalah 73 per 100.000 (Case Detection Rate 73%). Rerata pencapaian
angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar
90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target
global tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian
TB nasional yang utama.
Penyakit TB ada jenis penyakit dengan penularan tercepat karena
penularannya melalui udara. Tingginya jumlah penduduk yang tidak
sebanding dengan keadaan ekonomi, tempat tinggal yang tidak sehat
merupakan faktor yang meningkatkan angka kejadian TB di Indonesia.
Lingkungan rumah yang sangat padat dan pemukiman di wilayah
perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan
berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Makassar termasuk
kota dengan kepadatan penduduk yang meningkat setiap tahun. Salah
satu pemukiman padat penduduk di kota ini adalah wilayah kerja
Puskesmas Bara-baraya.
Masalah pencemaran udara, tingkat pengetahuan, tingkat ekonomi
yang rendah menjadi salah satu faktor risiko peningkatan kasus TB Paru.
Kejadian TB paru juga akan dipengaruhi oleh lingkungan padat penduduk
dan kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat serta adanya sumber
penular dan kontak dengan penderita.
Berdasarkan data Puskesmas Bara-baraya bahwa jumlah suspek
penderita yang diperiksa dari 469 orang (tahun 2016) menjadi 729 orang
(2017), juga turunnya angka DO dari 27 orang (tahun 2016) menjadi 17
orang (tahun 2017) serta turunnya angka yang melakukan lose to follow
up dari 35 orang (2016) menjadi 24 orang (2017) Berdasarkan data
tersebut dilakukan satu usaha yaitu dengan menjemput dahak follow up
untuk mengetahui perkembangan pasien dalam pengobatan sekaligus
untuk meningkatkan jumlah penjaringan suspek penderita. Penjaringan
susp pada tahun sebanyak 729 0rang.
Dalam kegiatan ini banyak sektor yang terlibat di antaranya
Pemangku kebijakan (camat, lurah), Dinas Kesehatan Kota, kader, Ketua
RT, RW, keluarga pasien dan masyarakat yang berada dalam wilayah
kerja Puskesmas Bara-Baraya dalam hal penjaringan suspek
pendampingan/Pengawasan minum obat pada pasien TB dan pada
pelacakan kasus mangkir.
Masalah utama adalah susahnya akses menuju ke rumah pasien
atau daerah tujuan penjaringan, pendampingan/pengawasan minum obat
dan pelacakan kasus mangkir karena daerahnya lorong-lorong sehingga
dipikirkan alternatif kendaraan yang efektif untuk menjangkau.
2. Permasalahan adanya/dilakukan inovasi daerah
Kota Makassar yang berpenduduk sekitar 1,3 juta jiwa
merupakan daerah yang memiliki jumlah penderita Tuberkulosis (Tb)
terbanyak di Sulawesi Selatan yakni 1.532 orang dari sekitar 18.000
penderita yang tersebar di 23 kabupaten/kota di Sulsel. Ini sangat
memprihatinkan apalagi Makassar menjadi pintu gerbang di Kawasan
Timur Indonesia (KTI). Tingginya kasus baru TB akibat rentannya
penularan peyakit ini, Penularan TB saat ini bisa saja melalui kontak
dengan keluarga penderita TB di rumah maupun intraksi lingkungan
sekita, penularan penyakit ini sangat cepat, karena melalui udara.
Padatnya pemukiman warga di wilayah kerja Puskemas bara-baraya
disertai dengan sanitasi yang kurang baik, intake gizi yang tidak seimbang
menjadi faktor pencetus meningkatnya angka penderita TB.
Rendahnya tingkat pendidikan dan kesadaran berobat,
kurangnya kepedulian keluarga terhadap proses pengobatan TB,
menyebabkan masalah yang kompleks terhadap proses pengobatan
penderita TB. Kondisi tata rumah di wilayah kerja Puskesmas Bara-baraya
yang kurang tertata, akses jalan yang sempit, padatnya jumlah penduduk,
susahnya akses menuju ke rumah pasien atau daerah tujuan penjaringan,
pendampingan/pengawasan minum obat dan pelacakan kasus mangkir
karena daerahnya lorong-lorong. Berdasarkan hal ini pengelola
memikirkan alternatif kendaraan yang efektif untuk menjangkau, sehingga
terpikirlah untuk menggunakan MoRoTi (Motor Ramah Orang dengan
Tuberculosis).

3. Landasan atau Dasar Peraturan


a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273);
b. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4421);
c. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional 2005-2025 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4700);
d. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
e. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan
Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1991 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3447);
f. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014;
g. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas,
dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan
Fungsi Eselon I Kementerian Negara;
h. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 203/Menkes/ SK/III/1999 tentang
Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis;
i. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/ SK/V/2009 tentang
Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB);
j. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 374/Menkes/ SK/V/2009 tentang
Sistem Kesehatan Nasional;
k. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/Menkes/ Per/VIII/2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan;
l. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 021/Menkes/ SK/I/2011 tentang
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014;
4. Maksud dan Tujuan
Partisipasi memang telah lama menjadi penghias bibir para penjabat dari
tingkat pusat sampai tingkat desa bahwa pembangunan dan kelestarian
hasil pembangunan tidak akan berhasil bila tidak didukung dengan
“partisipasi masyarakat”. Namun konsep partisipasi masyarakat yang
digunakan oleh para pejabat jauh berbeda dengan konsep partisipasi yang
sebenarnya. Partisipasi masyarakat menurut pejabat hanya ditekankan
dalam hal pembayaran pajak, pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan
oleh pemerintah, penerapan teknologi yang diperkenalkan atau
mengkonsumsi produk dalam negeri serta kontribusi materi yang berupa
tanah, batu, semen, dan lain-lain.

Program penanggulangan yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat


dan partisipasi masyarakat dipercaya dapat menjadi solusi, namun dalam
kenyataannya program yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah hingga
saat ini belum memberikan hasil yang optimal. Melihat kondisi tersebut,
maka Puskesmas Bara-baraya membuat program langsung yang
menyentuh masyarakat khususnya penderita TB dan keluarga melalui
inovasi MoRoTi.

Tujuan dari MoRoTi (Moror Ramah Orang dengan Tuberculosis) :

a. Mewujudkan kesadaran mandiri masyarakat tentang kesehatan


(Khususnya penderita TB dan Keluarga)
b. Gerakan preventif dan promotif dari lintas sektor untuk melengkapi
program pelayanan kesehatan Puskesmas
c. Upaya mengubah perilaku dan pola pikir masyarakat tentang kesehatan
yang terencana, tersistem dan masif
d. Melengkapi keberlanjutan program-program pemerintag yang telah
berjalan selama ini yang merupakan upaya penanggulangan dan
pengobatan penyakit Menular khususnya penyakit TB
5. WAKTU PENYELENGGARAAN
Program Moroti ini mulai dososialisasikan pada awal tahun 2016 dan mulai
dilaksanakan pada bulan maret 2016 di kelurahan bara-baraya Selatan dan
sampai sekarang sudah semua kelurahan yang ada di wilayah kerja
Puskesmas bara-baraya yang sudah melaksanakannnya. Dengan adanya
MoRoti yang mendukung upaya program pengendalian dan pengobatan
penyakit menular sangat dirasakan oleh masyarakat (khususnya penderita
TB.
6. INDIKATOR KEBERHASILAN
Berdasarkan hasil program di atas maka dapat ditarik kesimpulan untuk
Program Lorong Sehat, adalah seperti yang diterangkan di bawah ini:
a. Keberhasilan dari program Lorong Sehat dapat dilihat dari adanya
peningkatan pendataan kesehatan jika dibandingkan awal peluncurnnya.
b. Partisipasi lintas program, lintas sektor sebagai kunci utama
keberhasilan program MoRoTi menjadi salah satu fokus pemanfaatan
terhadap program tersebut.
c. Sumber Daya manusia yang merupakan kunci utama keberhasilan
pelaksanaan program ini yaitu tenaga kesehatan yang terlibat langsung
dan masyarakat dalam pelaksanaan Program MoRoTi.
Dampak sebelum dan sesudah
KEGIATAN SEBELUM SESUDAH
Jumlah suspek 469 suspek 729 suspek
Hal diakibatkan karena Setelah gencar melakukan
masyarakat kurang sosialisasi tentang TB dari
terpapar informasi yang lorong ke lorong dengan
tepat tentang bagaimana menggunakan MoRoTi,
penularan TB, tanda dan masyarakat semakin
gejala sehingga stigma di membuka diri bahwa
masyarakat sangat besar penyakit TB adalah
terhadap penderita yang penyakit yang perlu
diketahui menderita mendapat perhatian
penyakit TB. Adanya sehingga ketika mendapati
pemahaman bahwa TB tanda dan gejala penyakit
adalah penyakit keturunan TB mereka secara aktif
masih sangat kental di melakukan screening
lingkungan masyarakat, penyakit TB.
sehingga masyarakat
masih takut untuk
memeriksakan diri di
fasilitas kesehatan
masyarakat
Jumlah kasus DO 27 orang 17 orang
Tingginya kasus DO ini Kasus DO ini berkurang
disebabkan oleh efek sebagai akibat dari
samping dari OAT sebagai gencarnya sosialisasi dan
terapy TB. Kurangnya dukungan dan
support dari keluarga pendampingan terhadap
menambah parah keadaan keluarga dan penderita TB
ini, sebagai akibat dengan menggunakan
kurangnya informasi MoRoTi dari Rumah ke
tentang bagaimana efek rumah penderita TB yang
samping obat dan akibat hampir DO. Dalam
jika mangkir minum obat. kegiatan MoRoTi ini
melakukan sosialisasi
pemberdayaan keluarga
sebagai pendukung dalam
pengobatan penderita,
sehingga pengobatan yang
dilakukan efektif.
Jumlah lose to 35 Orang 24 Orang
follow up Penderita Tb yang lose Jumlah penderita yang
follow up biasanya karena lose to follow up berkurang
pada saat pengobatan, karena diadakannya
batuk berkurang sehingga sosialisasi dengan
produksi lendir berkurang. menggunakan MoRoTi
Hal ini mengakibatkan cara melakukan batuk
sample dahak yang mau efektif dan cara agar lendir
diperiksa susah dapat keluar kepada
dikeluarkan. pasien sehingga jumlah
lose to follow up berkurang
Keaktifan keluarga Keluarga masih kurang Setelah dilakukan
berpartisipasi dalam proses sosialisasi kepada
pengobatan TB karena keluarga oleh lintas
kurangnya sosialisasi program maka keluarga
terhadap keluarga tentang memahami pentingnya
pentingnya dukungan dukungan mereka
keluarga dalam proses terhadap keluarga yang
pengobatan. menderita TB sehingga
proses pengobatan
berjalan secara efektif.
C. ANALISIS KRITERIA PENILAIAN
1. MENGANDUNG PEMBAHARUAN SELURUH ATAU SEBAGIAN
UNSUR DARI OBJEK INOVASI
Program inovasi ini mempunyai keunikan atau aspek kreatif. Pertama,
Program MoRoTi ini bersifat menyeluruh, artinya tidak hanya terfokus di satu
RT saja, akan tetapi di Wilayah kerja Puskesmas Bara-Baraya. Kedua,
dilaksanakan secara bersama-sama (gotong royong), pada masing-masing
wilayah dibentuk satu Tim pada masing-masing kelurahan yang terdiri dari
Bidan dan perawat Penanggung jawab Kelurahan dan satu orang kader,
sehingga petugas lebih percaya diri dan lebih leluasa melaksanakan tugasnya
dan kegiatan ini merupakan tanggung jawab bersama
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci
keberhasilan program penanggulangan tuberkulosis adalah dengan
menerapkan strategi DOTS, yang juga telah dianut oleh negara kita. Oleh
karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting
agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.
DOTS mengandung lima komponen, yaitu :
a. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional
b. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopik
c. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal
dengan istilah DOT (Directly Observed Therapy)
d. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
e. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang (baku/standar) baik
Pelaksanaan strategi Motorota ini dilakukan melalui :
a. Peningkatan komitmen keberpihakan seluruh pemangku kebijakan dan
pemberantasan penyakir menular TB
b. Penegasan dan penguatan yang meliputi kebijakan dan rencana kegiatan
c. Koordinasi kegiatan
d. Pengendalian kegiatan
e. Berdasarkan Permenkes Nomor 565/MENKES/PER/III/2011 Tentang
Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis untuk memberikan acuan
bagi pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, fasilitas pelayanan
kesehatan, institusi pendidikan/penelitian, serta lembaga swadaya
masyarakat dalam penyelenggaraan program pengendalian tuberkulosis.
Pengendalian penyakit TB ini merupakan tanggung jawab bersama.
f. Berdasarkan data di atas maka pengelola termotivasi untuk melakukan
inovasi pada Marota pada Program P2PM (TB). Dalam upaya Marota
(Motor Ramah Penderita TB) ini direspon baik oleh semua sektor, baik
masyarakat khususnya keluarga dan penderita TB, tokoh masyarakat, dan
pemangku kebijakan di Masyarakat.
g. Strategi yang dilakukan dalam Marota ini adalah dengan turun ke
lapangan dari lorong kecil ke lorong kecil lainnya untuk menjangkau
pasien baik dengan tujuan penjaringan atau pendampingan minum obat
atau pelacakan TB mangkir dengan melibatkan kader dan tokoh
masyarakat lainnya.
h. Pengambilan spesimen dahak dilakukan kemudian ditampung dalam box
MoRoTi yang telah dilabeli sehingga dapat meningkatkan angka
penemuan penderita TB baru dan mengurangi angka DO.

Pelaksanaan strategi ini dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip


TOSS sebagai berikut :
a. Temukan, menemukan suspek penderita sebanyak mungkin dengan
memperhatikan tandan dan gejala penderita TB
b. Obati, semua orang yang sudah terdiagnosa TB harus mendapat
pengobatan yang terstandar sesuai dengan panduan OAT
c. Sampai Sembuh, Semua orang yang sedang dalam pengobatan
diupayakan meyelesaikan pengobatannya selama 6 bulan atau 9 bulan
sesuai dengan kriteria TB yang telah ditetapkan oleh TAK dengan
pendampingan petugas kesehatan, keluarga, kader ataupun tokoh
masyarakat yang berada di wilayah kerja Puskesmas Bara-Baraya.
2. MEMBERI MANFAAT BAGI DAERAH DAN/ATAU MASYARAKAT
MoRoTi sangat besar dampaknya dan signifikan semenjak dilaksanakan pada
maret 2016 yang dirasakan oleh masyarakat khususnya penderita TB dan
keluarga dan tenaga kesehatan khususnya pengelola Program TB di
Puskesmas bara-baraya. Kepercayaan warga atas keseriusan Pemerintah
Kota Makassar dalam memberikan layanan kesehatan terlihat dari
peningkatan jumlah warga yang mempercayakan Puskesmas dalam
penanganan pendataan kesehatan dan keluarganya. Hal yang paling penting
adalah dengan berjalannya program ini merupakan cerminan arah yang jelas
terkait dengan cita-cita Kota Makassar untuk menjadi kota dunia, di mana
untuk menciptakan kota dunia hal yang sangat perlu menjadi perhatian adalah
sumber daya manusianya, jika sumber daya manusianya sehat maka akan
lebih produktif dan kreatif untuk bekerja sehingga mengurangi beban
pemerintah dan jumlah pengangguran di kota makassar.
Manfaat yang diperoleh dengan adanya program MoRoTi ini adalah sebagai
berikut :
a. Masyarakat mampu mengupayakan dan menjaga lingkungan secara
mandiri
b. Mampu mencegah dan menanggulangi masalah-masalah kesehatan
secara mandiri
c. Masyarakat mengembangkan upaya kesehatan bersumber masyarakat
(UKBM) seperti posyandu, posbindu dan UKGM
d. Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian di lingkungan
masyarakat akibat TB
e. Masyarakat secara sadar mau memanfaatkan pelayanan kesehatan
yang ada.
f. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan terhadap
penderita TB selama pengobatan
3. TIDAK MENGAKIBATKAN PEMBEBANAN DAN/ATAU
PEMBATASAN PADA MASYARAKAT YANG DILARANG OLEH
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MoRoTi merupakan program pemberdayaan masyarakat, dari


program ini adalah betapa keinginan rakyat sebenarnya sangat sederhana
dan bukanlah hal yang muluk-muluk. Mereka hanya menginginkan kehadiran
pemerintah ketika mereka mengalami kesulitan termasuk misalnya ketika
kesehatan mereka bermasalah. Rakyat tidak membutuhkan hal yang luar
biasa di luar batas kemampuan pemerintah. Tetapi keinginan mereka adalah
kebutuhan dasar yang sebenarnya amat mudah dipenuhi oleh pemerintah.
Tinggal kemauan, ketulusan, inisiatif, kreatifitas dan inovasi dari pemerintah
untuk menjawab banyak keinginan rakyat.
Melalui MoRoti, pendekatan secara persuasif dilakukan oleh
petugas kesehatan dan kader kesehatan, Toma, Toga agar masyarakat tidak
lagi segan dengan petugas kesehatan dalam melakukan Pencegahan dan
Pendampingan penderita TB. Untuk itu, program ini harus terus
dipertahankan keberadaannya terutama jaminan bahwa program terus
berjalan. Langkah inovatif nan kreatif ini membuat Program MoRoTi menjadi
salah satu andalan layanan kesehatan primer di Puskesmas bara-baraya di
masa yang akan datang.

4. MERUPAKAN URUSAN PEMERINTAH YANG MENJADI


KEWENANGAN DAERAH

Lorong Sehat merupakan program pemberdayaan masyarakat, dari


program ini adalah betapa keinginan rakyat sebenarnya sangat sederhana
dan bukanlah hal yang muluk-muluk. Mereka hanya menginginkan kehadiran
pemerintah ketika mereka mengalami kesulitan termasuk misalnya ketika
kesehatan mereka bermasalah. Rakyat tidak membutuhkan hal yang luar
biasa di luar batas kemampuan pemerintah. Tetapi keinginan mereka adalah
kebutuhan dasar yang sebenarnya amat mudah dipenuhi oleh pemerintah.
Tinggal kemauan, ketulusan, inisiatif, kreatifitas dan inovasi dari pemerintah
untuk menjawab banyak keinginan rakyat.

Melalui MoRoTi, pendekatan secara persuasif dilakukan oleh petugas


kesehatan dan kader kesehatan agar masyarakat tidak lagi segan dengan
petugas kesehatan dalam melakukan pendataan kesehatan dasar di tiap
rumah. Untuk itu, program ini harus terus dipertahankan keberadaannya
terutama jaminan bahwa program terus berjalan. Langkah inovatif nan kreatif
ini membuat Program andalan layanan kesehatan primer di Kota Makassar dan
Indonesia di masa yang akan datang.

Pelaksanaan strategi kebijakan MoRoTi berkoordinasi dengan Pemangku


kebikan Pemerintah dan Non Pemerintah sesuai dengan tugas dan fungsi
masing-masing. Koordinasi pelaksanaan strategi MoRoTi diselenggarakan
dalam Kelompok Kerja, dengan keanggotaan :
a. Dinas Kesehatan Kota
b. Puskesmas Bara-Baraya
c. Kecamatan Makassar
d. Kelurahan di wilayah kerja Puskesmas Bara-Baraya
e. Ketua RW/RT
f. Kader
g. Tokoh Masyarakat
h. Tokoh Agama
Di tingkat kelurahan dibentuk sebuah TIM Pokja kecil yang terdiri dari :
a. Penanggung jawab kelurahan (Bidan dan Perawat)
b. Kader
c. Ketua RT/RW
d. Tokoh agama/Masyarakat
Pelaksanaan Stategi ini dilakukan melalui komitmen pemberantasan penyakit
menular TB dengan menggunakan biaya Operasional Puskesmas Bara-
Baraya. Secara teknis pengola program bertugas untuk mengkoordinir
kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan berbagai lintas sektor dan lintas
program untuk kebersihan MoRoTi ini. Semua pihak terkait saling
terkoordinasi dan berkomunikasi dalam melakukan kegiatan ini.
Pengawasan, pemantauan dan evaluasi MoRoTi dilaksanakan oleh
kelompok kerja kelurahan. Pengawasan, pemantauan dan evaluasi ditujukan
untuk memastikan seluruh kegiatan dapat dijalankan dan dilaksanakan dalam
kegiatan MoRoTi
Dengan demikian dapat menghasilkan identifikasi dan pelaporan yang
jelas terkait :
a. Terlaksananya kegiatan sesuai perencanaan
b. Memiliki daya efisiensi dan efektifitas dalam pelaksanaan strategi
pencapaian dan tujuan
c. Mampu menghasilkan dampak perubahan yang penting
Kegiatan pengawasan dilaksanakan untuk memastikan bahwa
pelaksanaan kegiatan sesuai dengan harapan MoRoTi. Bentuk-bentuk
kegiatan pengawasan adalah sebagai berikut :
a. Melakukan dialog kebijakan dalam kerangka fasilitas penetapan,
koordinasi dan sinergitas kebijakan dan percepatan kegiatan MoRoTi di
kelurahan
b. Melakukan kunjungan lapangan untuk kepentingan pengawasan
c. Setiap pelaksanaan kegiatan semua tim Pokja membuat laporan kegiatan
Kegiatan pengawasan dilakukan untuk memastikan tercapainya dampak
dari satu kegiatan yang berdampak pada pengendalian Penyakit menular
dengan tingginya angka suspek TB, berkurangnya pasien DO atau lose to
follow up.

5. DAPAT DIREPLIKASI
MoRoTi merupakan salah satu upaya yang mendukung program
Pemberantasan dan Pengandalian Penyakit Menular TB. MoRoTi ini
dikuatkan dengan Permenkes No. 67 Tahun 2016 Tentang Penanggulangan
Tuberculosis.
MoRoTi diperlukan untuk menjangkau penderita TB yang umumnya
berada di daerah padat penduduk dengan akses jalan sempit dan terdiri dari
lorong-lorong kecil yang tidak mungkin dijangkau dengan kendaraan roda
empat. Tingginya angka sakit akibat TB memang sangat mengkhawatirkan
sehingga diperlukan suatu upaya untuk mengendalikan penularan TB dan
meningkatnya angka penderita baru. MoRoTi sebagai salah satu kegiatan
yang melibatkan banyak sektor sehingga dianggap bahwa konsep
pelaksanaannya dapat direplikasi di berbagai tempat dengan angka
kesakitan TB yang tinggi.
D. LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai