PENGANTAR
ILMU USUL FIQIH
Judul: PENGANTAR ILMU USUL FIQIH
vi + 96 hal., 15 cm x 23 cm
Penulis:
Dr. Munadi, MA
Penerbit:
Unimal Press
Jl. Sulawesi No.1-2
Kampus Bukit Indah Lhokseumawe 24351
PO.Box. 141. Telp. 0645-41373. Fax. 0645-44450
Laman: www.unimal.ac.id/unimalpress.
Email: unimalpress@gmail.com
Dr. Munadi, MA
v
Daftar Isi
vi
Pendahuluan
BAB I
Pendahuluan
Universitas Malikussaleh 1
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
2 Dr. Munadi, MA
Pendahuluan
Universitas Malikussaleh 3
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
4 Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh Dan Sejarah Perkembangannya
BAB II
Universitas Malikussaleh 5
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
6 Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh Dan Sejarah Perkembangannya
Universitas Malikussaleh 7
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
8 Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh Dan Sejarah Perkembangannya
yang menulis buku dalam ilmu ushul fiqh. Selain al-Risalah, Imam
Syafi’i juga memiliki beberapa karya tulis lainnya dalam ilmu ushul,
yaitu kitab Jima’ul-ilmi, Ibthalul-istihsan, dan Ikhtilaful-hadits.
Setelah Imam al-Syafi’i, penulisan kitab ushul fiqh mulai giat
dilakukan oleh ulama-ulama yang lain, sehingga melahirkan banyak
karya tulis dalam bidang ini dengan berbagai pengembangan di
dalamnya. Berikut penulis sebutkan beberapa buah kitab ushul fiqh
yang pernah ditulis oleh para ulama dari lintas mazhab dan generasi,
antara lain adalah Kitab Khabar Al-Wahid, Itsbat Al-Qiyas, dan Ijtihad
Ar-Ra’y, ketiganya karya Isa bin Aban bin Shadaqah Al-Hanafi, An-
Nasikh Wal-Mansukh karya Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H),
Al-Ijma’, Ibthal At-Taqlid, Ibthal Al-Qiyas, dan buku lain karya Dawud
bin Ali Az-Zhahiri, Al-Mu’tamad karya Abul-Husain Muhammad bin
Ali Al-Bashri Al-Mu’taziliy Asy-Syafi’i (wafat th 436H), Al-Burhan
karya Abul Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini Al-Haramain,
Al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali Muhammad bin Muhammad, Al-
Mahshul karya Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razy, Al-Ihkam
fi Ushulil-Ahkam karya Saifuddin Ali bin Abi Ali Al-Amidi, Ushul Al-
Karkhi karya Ubaidullah bin Al-Husain Al-Karkhi, Ushul Al-Jashash
karya Abu Bakar Al-Jashash, Ushul as-Sarakhisi karya Muhammad bin
Ahmad As-Sarakhsi, Kanz Al-Wushul Ila ma’rifat Al-Ushul karya Ali
bin Muhammad Al-Bazdawi, Badi’un-Nizham karya Muzhaffaruddin
Ahmad bin Ali As-Sa’ati Al-Hanafi, al-Tahrir karya Kamaluddin
Muhammad bin Abdul Wahid, Jam’ul-jawami’ karya Abdul Wahab bin
Ali As Subki, Al-Muwafaqat karya Abu Ishaq Asy-Syathibi, Irsyadul-
fuhul Ila Tahqiq ‘Ilm Al-Ushul karya Muhammad bin Ali bin
Muhammad Asy-Syaukani dan karya-karya tulis lainnya yang tidak
disebutkan di sini.
Universitas Malikussaleh 9
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
10 Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
BAB III
USUL FIQH DAN ISTINBATH
HUKUM ISLAM
Samuel Koening, Man and Society, the Basic Teaching of Sociology, (New
1
Universitas Malikussaleh 11
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
(Beirut: Dar al-Fikr, tt), hal. 14. Lihat pula, Hasbi ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum
Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 444.
12 Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
Hidayah, 1996), 164; lihat juga Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi (Jakarta:
Gema Insani Press, 1998), h. 176.
7Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (Indonesia: Daar
Universitas Malikussaleh 13
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
ﻭﻟﻮﺭﺩﻭﻩُ َِﺇﻟﻰ
ْ َ َ ْ َ ﱡ,ﺑﻪ ِ ِ ﻋﻮﺍ ْ ُ َﺃﻭﺍﻟﺨﻮﻑ َﺃﺫ
ِ ْ َ ْ ِ َ ﺍﻷﻣﻦ ِ ْ َ ْ ﻣﻦ ٌ ْ َ ﺟﺎءﻫﻢ
َ ِ ﺃﻣﺮ ْ ُ َ َ ﻭﺇﺫﺍ ََِ
َﻭﻟﻮﻻْ َ َ ,ﻣﻨﻬﻢ
ْ ُ ْ ِ ُﻳﺴﺘﻨﺒﻄﻮﻧَﻪ َ ْ ﻟﻌﻠﻤﻪُ ﱠ
ْ ُ ِ ْ َ ْ َ ﺍﻟﺬﻳﻦ َ ِ َ َ ﻣﻨﻬﻢ ِ ْ َ ْ ﺃﻭﻟﻰ
ْ ُ ْ ِ ﺍﻷﻣﺮ ِ ْ ُ ﻭﺇﻟﻰ َ ِ َ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ
ِ ُْ ﱠ
ْ ِ َ ﺍﻟﺸﻴﻄﻦ ِﺇﻻﱠ
.ًﻗﻠﻴﻼ َ َ ْ ﻻﺗﺒﻌﺘﻢ ﱠْ ُ ْ َ ﻭﺭﺣﻤﺘﻪُ َ ﱠ ْ ُ ْ َ َ ِﻓﻀﻞ ﷲ
ُ َ ْ َ َ ﻋﻠﻴﻜﻢ ُ ْ َ
Artinya:
Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan
8
14 Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
ْ ُ ﺷﻮﺭﻯ َ ْﺑﻴﻨ
َﻬﻢ َ ِ ﱠ
ﻭﻣﻤﺎ ْ ُ ُ ْ َ َ َ ﺍﻟﺼﻼﺓ
َ ْ ُ ﻭﺃﻣﺮﻫﻢ َ ﱠ ْ ُ َ َ َ ﻟﺮﺑﻬﻢ
ﻭﺃﻗﺎﻣﻮ َ َِْ ﱠ
ْ ُ َ َ ْ ﻭﺍﻟﺬﻳﻦ
ْ ِ ِّ َ ِ ﺍﺳﺘﺠﺎﺑﻮﺍ
َ ْ ُ ِ ْ ُ َﺎﻫﻢ
.ﻳﻨﻔﻘﻮﻥ َْ َ
ْ ُ ﺭﺯﻗﻨ
Artinya:
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
(QS. Al-Syura: 38)
Ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang telah menerima
seruan Allah untuk mengesakan-Nya, serta mengakui keesaan-Nya,
tidak menyembah kepada selain-Nya, mendirikan shalat wajib ketika
Universitas Malikussaleh 15
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
16 Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
13 Ibid, h. 78.
Universitas Malikussaleh 17
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
18 Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
Universitas Malikussaleh 19
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
20 Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
Saiful Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr.
24
Universitas Malikussaleh 21
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
menentukan makna yang umum atau yang khusus, yang mutlak dan
makna yang dibatasi (al-muqayyad). Kedua, persoalan-persoalan
yang sama sekali belum ada naṣ-nya, pada permasalahan semacam
ini, pemecahannya dilakukan melalui istinbath dengan menggunakan
qiyas, istihsan, istihlah dan dalil-dalil hukum lainnya.
Objek istinbath turut mempengaruhi pendekatan dan
penalaran yang digunakan, dalam melihat suatu metode istinbath dan
apa yang harus dikembangkan dan kemungkinan peranan maqasid
al-shari‘ah yang lebih besar dalam metode tersebut, penelaahan yang
dilakukan harus bertitik tolak dari obyek istinbath itu sendiri.
Penelaahan terhadap objek dan metode istinbath ditemukan adanya
dua macam corak penalaran yang perlu dikembangkan dalam upaya
penerapan maqasid al-syari‘ah yaitu corak penalaran ta‘lili, dan corak
penalaran istislahi.26
Kata ta’lili berasal dari kata ‘illat yang berarti sesuatu yang
menjadi sebab hukum atau suatu ketetapan hukum yang berdasar
pada maksud syar’i yang memiliki ‘illat tertentu sebagai sesuatu yang
menjadi sebab atau yang melatarbelakanginya.27 Adapun kata
istislahi dalam pandangan sebagian ahli ushul diistilahkan dengan
maslahat dan pada pandangan lain mengistilahkan dengan maṣlahah
mursalah yang berarti menetapkan suatu hukum bagi masalah yang
tidak ada naṣ-nya dan tidak ada ijma’ ulama yang berdasarkan
kemaslahatan murni atau maslahat yang tidak dijelaskan syariat
serta tidak dibatalkan oleh syariat.28
Kedua model penalaran atau pendekatan di atas bertumpu
pada penggunaan al-ra’yu, sehingga terdapat tiga karakter yang
melekat pada keduanya. Pertama, pendekatan ini mencoba
memahami ketentuan naṣ tanpa terikat secara kaku dengan bunyi
teks dan mengalihkan perhatiannya pada upaya mencari semangat
moral yang terkandung dalam naṣ. Kedua, upaya mengganti
pendekatan ta’abudi kepada pendekatan ta’aquli. Ketiga, upaya
merumuskan ‘illat hukum dan pesan moral naṣ dengan melihat
setting sosial dan konteks zamannya.
Dalam kaitan dengan dinamika masyarakat yang selalu
berubah diiringi dengan munculnya masalah yang kompleks, maka
dua corak/pendekatan penalaran di atas tampak lebih responsif dan
22 Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
(Beirut: Dar al-Fikr, tt), hal. 14. Lihat pula, Hasbi ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum
Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 444.
31 Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum
Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 107. Lihat pula, A. Hasan, Pintu
Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: al-Ma’arif, 1994).
Universitas Malikussaleh 23
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
24 Dr. Munadi, MA
Corak Istinbath Hukum Ulama
BAB IV
CORAK ISTINBATH
HUKUM ULAMA
Universitas Malikussaleh 25
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
26 Dr. Munadi, MA
Corak Istinbath Hukum Ulama
a. Metode al-Intiqa’i
Al-Intiqa’i berarti memilih satu dari beberapa pendapat
terkuat di antara pendapat-pendapat yang ada dalam berbagai
literatur fiqh, yang berisi fatwa atau keputusan hukum. Istinbath
yang dimaksud adalah mengadakan studi komparatif (perbandingan)
di antara pendapat-pendapat para ulama, meneliti kembali dalil-dalil
naṣ atau dalil-dalil ijtihad yang dijadikan sandaran pendapat
tersebut, yang pada akhirnya bisa memilih pendapat yang dinilai
paling kuat dalil dan hujjahnya sesuai dengan alat pengukur yang
digunakan untuk mengukurnya.
Untuk mengukur pendapat yang kuat dapat ditempuh dengan
cara mengamati dan mengoreksi kelengkapan indikator pendapat
kuat padanya. Yusuf al-Qaradhawi menetapkan beberapa indikator
pendapat yang kuat, yaitu:
a) Hendaknya pendapat itu lebih cocok dengan zaman dan
tempat
b) Hendaknya pendapat itu lebih banyak mencerminkan
kemaslahatan bagi manusia
c) Hendaknya pendapat itu lebih dekat dengan kemudahan yang
diberikan oleh syara’.
d) Hendaknya pendapat itu lebih utama dalam merealisir
maksud-maksud syara, maslahat makhluk dan usaha untuk
menghindari kerusakan dari manusia.38
Jika suatu pendapat memiliki empat indikator di atas secara
lengkap dapat dipastikan pendapat tersebut paling kuat di antara
pendapat-pendapat yang ada. Dalam prakteknya metode ini
dilakukan dengan cara memilih pendapat yang kuat dalam madzhab
empat, baik itu pendapat yang dijadikan fatwa dalam madzhab atau
yang tidak dijadikan fatwa, sebab pendapat yang dijadikan fatwa
pada situasi, dan kondisi tertentu terkadang tidak cocok untuk
dijadikan fatwa lagi bila telah terjadi perubahan situasi dan kondisi.
Atas dasar ini tasẖiẖat (perbaikan pendapat) dan tarjiẖat (pencarian
pendapat yang terkuat) dalam satu madzhab telah berbeda dari satu
masa ke masa yang lain. Banyak pendapat dalam suatu mazhab yang
dulu ditinggalkan tidak terpakai sama sekali, lalu datang orang
kemudian menampilkan dan mempopulerkannya. Banyak pula
pendapat yang dulu dianggap tidak kuat, kemudian timbul kejadian
dan hal-hal baru yang mendorong sebagian ulama untuk
38 Ibid, h. 114.
Universitas Malikussaleh 27
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
39 Ibid, h. 115.
40 Ibid, h. 116.
28 Dr. Munadi, MA
Corak Istinbath Hukum Ulama
41 Ibid, h. 118.
Universitas Malikussaleh 29
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
bin Mathraf, Thawus, Sya’bi dan lainnya. Pendapat ini juga dipegang
oleh Daud dan pengikut Zhahiriyah.
Ibnu Hazm berpendapat bahwa seorang yang mati dalam
keadaan tidak berwasiat, maka wajib disedekahkan sebahagian kecil
hartanya, dikarenakan wasiat adalah kewajiban atas setiap orang,
dan sah dikeluarkan setelah meninggal bagi orang-orang yang tidak
sempat berwasiat ketika masih hidup. Jika telah dilaksanakan maka
kewajiban seseorang atas hartanya telah terpenuhi. Namun Ibnu
Hazm tidak membuat batasan mengenai jumlah harta yang harus
dikeluarkan, berdasarkan pendapat dari ulama salaf mengenai
jumlah harta yang diwasiatkan sepenuhnya dipulangkan kepada ahli
waris, mereka berhak menentukan jumlahnya yang mereka senangi
dan tidak memberatkan mereka.
Selain tidak menyebutkan jumlah harta wasiat para ulama
salaf dan mazhab Zhahiri juga tidak menentukan siapa yang berhak
menerima wasiat tersebut dari kalangan yang bukan ahli waris. Ibnu
Hazm menjelaskan bahwasanya wasiat wajib dikeluarkan untuk
melepaskan tanggungjawab orang yang mati, namun jumlahnya itu
terserah kepada ahli waris dan orang yang diserahi amanah wasiat.
Qanun wasiat wajibah Mesir sekalipun mengacu kepada
pendapat ulama salaf dan Ibnu Hazm tentang kewajiban wasiat di
atas, namun dalam qanun ini memuat beberapa aturan tambahan
berupa jumlah harta yang harus diwasiatkan yaitu sepertiga,
sedangkan penerima wasiat wajibah adalah cucu pada lapisan
pertama dari anak yang duluan meninggal dari pada pewaris, atau
kedua mati secara bersamaan. Kedua ketentuan ini tidak didapati
dalam fiqh ulama salaf dan Ibnu Hazm dan merupakan tambahan
atas ketentuan wasiat wajib yang telah ada.
Qanun wasiat wajibah Mesir dibuat untuk menjamin keadilan
dan kemaslahatan bagi cucu baik laki-laki maupun perempuan yang
bapaknya meninggal mendahului pewaris (kakek), sehingga ketika
pewaris meninggal cucu-cucu tersebut tidak memperoleh harta
warisan, karena dihalangi oleh paman mereka. Ketentuan semacam
ini sangat tidak adil, cucu tersebut selain yatim ditambah lagi dengan
tidak memperoleh warisan, apa lagi di zaman sekarang ini perubahan
struktur keluarga dari keluarga luas kepada keluarga inti telah
terjadi dalam masyarakat, anak yang menikah tidak tinggal lagi
dengan orang tua, tetapi memilih untuk membuat rumah tangga
sendiri di luar tempat tinggal orang tuanya. Dalam keluarga luas anak
yatim menjadi tanggungjawab kakek, atau paman dan lainnya,
namun seiring dengan perubahan struktur keluarga seperti
30 Dr. Munadi, MA
Corak Istinbath Hukum Ulama
42 Ibid, h. 131-132.
Universitas Malikussaleh 31
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
32 Dr. Munadi, MA
Corak Istinbath Hukum Ulama
Universitas Malikussaleh 33
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
34 Dr. Munadi, MA
Corak Istinbath Hukum Ulama
Universitas Malikussaleh 35
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
36 Dr. Munadi, MA
Corak Istinbath Hukum Ulama
Universitas Malikussaleh 37
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
38 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
BAB V
MACAM-MACAM
KAIDAH USUL FIQH
Universitas Malikussaleh 39
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
A. Ijma’
Secara bahasa ijma’ adalah kesepakatan dan tekad yang bulat.
Menurut Ahmad Hasan, istilah ijma‘ dalam arti bahasanya
menunjukkan bahwa konsep ini tentunya muncul pada saat terjadi
pertentangan di dalam Islam. Maka dasar dari kata ijma‘ adalah
mengumpulkan, menyatukan, menghimpun, berkumpul, bersatu,
berhimpun, atau menarik bersama-sama. Istilah ini mungkin sekali
berasal dari ungkapan bahasa Arab: “ajma‘tu al-nahabi” (saya
mengumpulkan dari setiap penjuru unta-unta yang merupakan
barang rampasan dari orang-orang yang sebelumnya adalah pemilik
mereka, dan menggiring mereka pergi).
Adapun secara istilah, pengertian ijma’ sebagaimana
dikemukakan oleh Al-Ghazali adalah kesepakatan umat Nabi
Muhammad secara khusus pada suatu masa mengenai hukum
40 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
Universitas Malikussaleh 41
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
ِ ْ َ ِ ﻭﺃﻭﺣﻴﻨَﺎ
ﺇﻟﻴﻪ ِ ّ ُ ْ ﻏﻴﺎﺑﺖ
ْ َ ْ َ َ ,ﺍﻟﺠﺐ ِ َ َ َ ﻳﺠﻌﻠﻮﻩُ ِﻓﻰ ْ َ ﻭﺃﺟﻤﻌﻮ
ْ ُ َ ْ َ ﺃﻥ ْ ُ َ ْ َ َ ﺑﻪ ْ ُ َ َ ﻓﻠﻤﺎ
ِ ِ ﺫﻫﺒﻮﺍ ََ ﱠ
َ ْ ُ ُ ْ َ َ ﻭﻫﻢ
.ﻻﻳﺸﻌﺮﻭﻥ ْ ُ َ ﻫﺬﺍ ْ ِ ِ ْ َ ِ َﻬﻢ
َ َ ﺑﺄﻣﺮﻫﻢ ْ ُ َﻟﺘ ُﻨ َِّﺒﺌَﻨ
Artinya:
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke
dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah
dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu
akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang
mereka tiada ingat lagi."
Pada ayat di atas terdapat lafaz “ajma’u” yang berarti
kesepakatan. Pada waktu itu kerabat Nabi Yusuf bersepakat
memasukkan beliau ke dalam sumur saat mereka ingin
menyingkirkannya dari rumah. Dari sini para ulama mengambil
makna ijma’ sebagai kesepakatan ulama mengenai suatu masalah.
Selain ayat di atas juga terdapat ayat lainnya yang dijadikan
sebagai dasar hukum ijma’ oleh para ulama, yaitu QS. Al-Nisa: 59
yang berbunyi:
ِ ْ َ ْ ﻭﺃﻭﻟﻰ
ْ ُ ْ ِ ﺍﻷﻣﺮ
,ﻣﻨﻜﻢ ِ ْ ُ َ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ْ ُ ْ ِ َ َ َﺃﻁﻴﻌﻮﺍ ﷲ
َ ْ ُ ﻭﺃﻁﻴﻌﻮ ﱠ ْ ُ ْ ِ َ ﺃﻣﻨﻮﺍ
ُ َ َ ﺍﻟﺬﻳﻦ َ َ َﱡ
َ ْ ِ ﻳﺄﻳﻬﺎ ﱠ
ِVﺗﺆﻣﻨﻮﻥ ِﺑﺎ ْ ُ ْ ُ ﺇﻥ
َ ْ ُ ِ ْ ُ ﻛﻨﺘﻢ ِ ْ ُ َ َ ِﻓﺮﺩﻭﻩُ َِﺇﻟﻰ ﷲ
ْ ِ ﻭﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ْ ﺷﻲء َ ُ ﱡ ْ ُ ْ َ ﻓﺈﻥ ﺗَﻨ
ٍ ْ َ َﺰﻋﺘﻢ ِﻓﻰ ْ َِ
ْ ِ ْ َ ﻭﺃﺣﺴﻦ
.ًﺗﺄﻭﻳﻼ ُ َ ْ َ َ ﺧﻴﺮ ِ َْْ َ
ِ ِ َ ْ ﻭﺍﻟﻴﻮﻡ
َ ِ َ ,ﺍﻷﺧﺮ
ٌ ْ َ ﺫﺍﻟﻚ
42 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Ayat di atas mengisyaratkan tentang keharusan untuk patuh
kepada pemimpin (ulil amri). Pemimpin terbagi kepada dua, yaitu ulil
amri fi din (pimpinan agama yaitu ulama) dan ulil amri fi dunya
(pimpinan dalam permasalahan duniawi yaitu pemerintah). Umat
Islam wajib mengikuti keputusan hukum yang telah ditetapkan oleh
para ulama, apalagi jika ketetapan itu telah disepakati oleh para
ulama.
Universitas Malikussaleh 43
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
B. Qiyas
Qiyas secara bahasa adalah membandingkan, atau
mengembalikan sesuatu kepada yang lain. Sedangkan secara istilah,
qiyas sebagaimana dikemukakan oleh Abu al-Husain al-Bashri adalah
menerapkan hukum yang terdapat pada ashl (pokok) kepada far’u
(cabang), karena terdapat kesamaan ‘illat hukum antara keduanya.
Dari itu qiyas adalah upaya mengeluarkan hukum atas sesuatu yang
belum ada hukumnya sebanding dengan sesuatu yang ada
hukumnya, dengan memperhatikan kesamaan ‘illat (sifat) antara
keduanya.
Pengertian di atas menunjukkan bahwa qiyas merupakan
suatu proses ijtihad dengan cara membandingkan dua permasalahan
yang mempunyai illat yang sama. Salah satu permasalahan terdapat
dalam nash, namun permasalahan yang lain tidak ada dalam nash.
atas dasar kesamaan illat (sifat) pada keduanya, maka keduanya
dipersamakan hukumnya berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
nash.
Dasar hukum qiyas adalah firman Allah Swt QS. An-Nisa’ : 59
yang berbunyi:
,ﻣﻨﻜﻢ ِ ْ َ ْ ﻭﺃﻭﻟﻰ
ْ ُ ْ ِ ﺍﻷﻣﺮ ِ ْ ُ َ ﻮﻝَ ْ ﺍﻟﺮﺳ ْ ُ ْ ِ َ َ َﺃﻁﻴﻌﻮﺍ ﷲ
ُ ﻭﺃﻁﻴﻌﻮ ﱠ ْ ُ ْ ِ َ ﺃﻣﻨﻮﺍ
ُ َ َ ﺍﻟﺬﻳﻦ َ َ َﱡ
َ ْ ِ ﻳﺄﻳﻬﺎ ﱠ
ِVﺗﺆﻣﻨﻮﻥ ِﺑﺎ ْ ُ ْ ُ ﺇﻥ
َ ْ ُ ِ ْ ُ ﻛﻨﺘﻢ ِ ْ ُ َ َ ِﻓﺮﺩﻭﻩُ َِﺇﻟﻰ ﷲ
ْ ِ ﻭﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ْ ﺷﻲء َ ُ ﱡ ْ ُ ْ َ ﻓﺈﻥ ﺗَﻨ
ٍ ْ َ َﺰﻋﺘﻢ ِﻓﻰ ْ َِ
ْ ِ ْ َ ﻭﺃﺣﺴﻦ
.ًﺗﺄﻭﻳﻼ ُ َ ْ َ َ ﺧﻴﺮ ِ َْْ َ
ِ ِ َ ْ ﻭﺍﻟﻴﻮﻡ
َ ِ َ ,ﺍﻷﺧﺮ
ٌ ْ َ ﺫﺍﻟﻚ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
44 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
Universitas Malikussaleh 45
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
46 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
C. Maslahah Mursalah
Para ulama memberikan pengertian maṣlaḥah mursalah atau
istiṣlāḥiah secara beragam. Menurut Muhammad Abu Zahrah
maṣlaḥah al-mursalah/istiṣlah yaitu:
Universitas Malikussaleh 47
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
tidak mungkin ada pertentangan antara naṣ yang sahih dan maslahat,
karena naṣ merupakan petunjuk untuk kemaslahatan.48
Amir ‘Abd al-‘Aziz mengemukakan maṣlaḥah al-mursalah
adalah yang ditetapkan hukum padanya akan berhasil menarik
manfaat dan berhasil pula menolak mudarat atau mafsadat bagi
manusia, sementara tidak ada dalil tertentu dari syara’ yang
menjelaskannya, baik yang membenarkan maupun yang
menolaknya.49 Senada dengan itu, Badran Abu al-‘Ainain mengatakan
bahwa maṣlaḥah al-mursalah adalah maslahat yang tidak diketahui
adanya dalil syara’ yang membenarkan atau yang membatalkannya.50
Ḥusain Ḥamid Ḥasan mengemukakan bahwa maṣlaḥah al-
mursalah adalah maslahat yang masuk ke dalam dalil syara’ yang
dipahami melalui penelitian terhadap berbagai naṣ.51 Menurut
Wahbah al-Zuḥaily, maṣlaḥah al-mursalah adalah beberapa sifat yang
sesuai dengan tindakan dan tujuan syara’ tetapi tidak ada dalil
tertentu dari syara’ yang membenarkan atau menggugurkan, dan
dengan ditetapkannya hukum padanya, akan tercapai kemaslahatan
dan tertolak kemudaratan dalam kehidupan manusia.52
Abdul Karim Zaidan mengemukakan bahwa maṣlaḥah al-
mursalah adalah kajian hukum dengan mempertimbangkan aspek
kemaslahatan serta menghindari kebinasaan, untuk sesuatu
perbuatan yang tidak diungkapkan secara ekplisit di dalam al-
Qur`an,53 akan tetapi masih terjangkau oleh prinsip-prinsip ajaran
yang diungkapkan secara induktif oleh al-Qur`an dalam suatu
perbuatan yang berbeda-beda. Dalam kontek ini al-Qur`an berposisi
bukan sebagai dalil yang menunjukkan norma hukum tertentu,
melainkan menjadi saksi atas kebenaran fatwa-fatwa hukumnya.
Dengan demikian sistem analisa dengan menggunakan maṣlaḥah al-
48 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
Universitas Malikussaleh 49
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
50 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
Persepsi Fiqh Siyasah Tentang Pola Hubungan Agama dan Negara, “Istiqro’, Volume
10, Nomor 01, 2011, h. 97.
Universitas Malikussaleh 51
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
52 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
Universitas Malikussaleh 53
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
54 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
Universitas Malikussaleh 55
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
56 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
Universitas Malikussaleh 57
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
D. Urf/Adat
Secara bahasa kata ‘urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, ‘urfan,
sering diartikan dengan “al-ma’ruf”, yaitu sesuatu yang telah dikenal.
Di antara ahli bahasa Arab ada yang menyamakan kata ‘adat dan ‘urf,
seandainya kedua kata ini digabungkan dalam suatu kalimat,
misalnya: “hukum itu didasarkan kepada ‘adat dan ‘urf, tidaklah
berarti keduanya berbeda maksudnya, meskipun digunakan kata
hubung “dan” yang biasa dipakai sebagai kata yang membedakan
antara dua kata.67
Adapun secara istilah menurut Muhammad Abu Zahrah, ‘urf
adalah:
68
ﻣﺎﺍﻋﺘﺪﺍﻩ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﻣﻌﺎﻣﻼﺕ ﻭﺍﺳﺘﻘﺎﻣﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻣﻮﺭﻫﻢ
Artinya:
Sesuatu yang telah menjadi kebiasaan manusia dalam pergaulannya
dan telah mantap dalam urusan-urusannya.
Definisi lainnya dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaily, yaitu:
67Lihat Amir Syarifuddin, Ushūl Fiqh II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
2001), Cet. 2, h. 364.
68Muhammad Abu Zahrah, Ushūl Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr ‘Arabi, 1997),
58 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
Artinya:
Sesuatu yang telah menjadi kebiasaan manusia dalam pergaulan
mereka, atau lafaz yang telah ma’ruf penggunaan kepada makna
yang khusus di luar makna baku, dan tidak terbayang kepada makna
lain saat mendengarnya.
Dari dua definisi di atas dapat dipahami bahwa ‘urf
merupakan suatu kebiasaan masyarakat (adat) yang dilakukan
secara terus menerus dalam kehidupan sehari-hari baik dalam
bentuk perbuatan ataupun perkataan. Sesuatu dianggap ‘urf jika
dilakukan secara kontinyu oleh suatu komunitas, atau masyarakat di
suatu tempat, ‘urf tidak harus terikat dengan kebiasaan atau makna
yang telah baku, di luar itu ‘urf memungkinkan membuat bentuk lain
yang berbeda, dan akan menjadi baku ketika suatu komunitas atau
masyarakat ramai-ramai menyetujui dan melakukannya.
Kedudukan ‘urf atau kesadaran hukum masyarakat dalam
konteks pembentukan hukum cukup sentral, ‘urf juga dapat
dipertimbangkan sebagai sumber hukum di kala naṣ tidak mengatur
suatu masalah. Berkenaan dengan kedudukan ‘urf dalam
pembentukan hukum Islam oleh Al-Qarafi, seorang ulama mazhab
Maliki pernah mengharamkan pemberian fatwa hukum bila
materinya bertentangan dengan adat-istiadat setempat. Lebih jauh ia
menegaskan bahwa fatwa yang mencerminkan realitas masyarakat
(‘urf) yang sudah melembaga dapat meruntuhkan tatanan konsensus
(ijma’) yang telah dibangun bersama dengan susah payah oleh para
ulama.70
Dalam ilmu sosiologi hukum disebutkan bahwa hukum
adalah bahagian dari kebudayaan suatu masyarakat, ia tidak dapat
dipisahkan dari jiwa serta cara berfikir suatu masyarakat yang
mendukung kebudayaan tersebut. Bahkan hukum adalah penjelmaan
dari pada jiwa serta cara berfikir masyarakat, yaitu penjelmaaan dari
pada struktur rohaniyah suatu masyarakat.71
Maka dalam membentuk hukum perlu mempertimbangkan
kesadaran hukum atau kebudayaan dari suatu masyarakat, di mana
kebudayaan atau nilai yang telah dijunjung tinggi oleh masyarakat
828.
Abu Yazid, Urgensi Maqashid al-Syariah Dalam Penerapan Hukum Islam,
70
Dalam Jurnal Istiqro’, Volume 10, Nomor 01, 2011 (Jakarta: Dirjen Pendis,
Kemenag RI), h. 94.
71Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam
Universitas Malikussaleh 59
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
Sesuatu yang berlaku secara ‘urf adalah seperti suatu yang telah
disyaratkan.
60 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
“Hanya saja yang dianggap adat adalah sesuatu yang telah duluan ada
dan berlaku umum”
“Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh
manusia bukan dengan yang jarang terjadi”
Universitas Malikussaleh 61
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
َ ْ ُ ْ ُ ّ ﺭﺃﻯ
ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ َ َ ﻭﻣﺎ
َ َ ,ﺣﺴٌﻦ َ ُ َ ً ﺣﺴﻨﺎ
ْ ِ ﻓﻬﻮ
َ َ ِﻋﻨﺪَ ﷲ ِ ُ ِ ْ ُ ّ ﺭﺃﻯ
ْ ُ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ َ َ َ َﻓﻤﺎ
ﺳﻴﺊ
ٌ ِّ َ ِﻋﻨﺪَ ﷲ َ ُ َ ً ﺳﻴﺌﺎ
ْ ِ ﻓﻬﻮ ِّ َ
74
Artinya:
Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka disisi Allah hal
itu juga baik. Dan sesuatu yang dipandang buruk oleh umat Islam,
maka di sisi Allah hal itu juga buruk.
Jadi kedudukan realitas masyarakat (adat) yang
dipresentasikan oleh kebanyakan umat Islam dapat dijadikan
sumber pijakan hukum, ini menunjukkan bahwa keterkaitan realitas
masyarakat dengan ketentuan hukum cukup erat. Sesuatu yang
dianggap baik oleh masyarakat dapat berpotensi menjadi anjuran
syara’, demikian pula hal yang buruk menurut masyarakat juga
berpotensi menjadi larangan syara’.
Secara umum metode ‘urf (adat) di amalkan oleh semua
ulama fiqh dalam membuat ketentuan hukum syara’, terutama ulama
mazhab Hanafiyah dan Malikiyyah. Ulama Hanafiyah menggunakan
istihsan dalam berijtihad, dan salah satu bentuk istihsan itu adalah
istihsan bi al-‘urfi, yaitu istihsan yang bersandar kepada ‘urf, ulama
mazhab ini mendahulukan ‘urf atas qiyas khafī dan juga atas naṣ yang
umum, dalam hal ini kedudukan ‘urf untuk men-takhsis umum naṣ.
Ulama Malikiyyah menjadikan ‘urf atau tradisi masyarakat
Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan
mendahulukannya dari ḥadīts aḥad. Ulama Syafi’iyah juga banyak
menggunakan‘urf pada masalah-masalah yang tidak menemukan
batasannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa, ulama
mazhab ini membuat sebuah ketentuan bahwa setiap yang datang
dari syara’ secara mutlak, tanpa ada batasannya dalam syara’
maupun bahasa, maka dikembalikan kepada ‘urf.75
62 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
Universitas Malikussaleh 63
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
64 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
Universitas Malikussaleh 65
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
adanya terserap ke dalam fiqh dan menjadi bagian dari fiqh; kedua,
adat tersebut menyebabkan perubahan pemahaman dan penafsiran
terhadap naṣ, sehingga hukum syara’atau konsepsi yang dihasilkan
menjadi tidak sama dengan hukum syara’ atau konsepsi yang
sebelumnya digunakan, dan juga tidak persis sama dengan adat yang
ada dalam masyarakat. Dengan kata lain naṣ mengubah adat sampai
batas tertentu, demikian pula adat pada batas tertentu mengubah
pemahaman atas naṣ; ketiga, ketentuan dalam al-Qur`an tidak dapat
diubah, sehingga adatlah yang harus berubah, adatlah yang harus
menyesuaikan diri dengan ketentuan naṣ. Aturan yang masuk
kategori ketiga ini sebagian berhubungan dengan naṣ yang qath’i al-
dilalah dan sebagian berhubungan dengan naṣ yang zhann al-dilalah
yang artinya belum berubah (tidak perlu berubah atau tidak cukup
alasan untuk mengubahnya).85
Dengan demikian penggunaan‘urf harus memperhatikan
keberadaan naṣ, yang digunakan pada saat naṣ tidak mengatur
hukum suatu masalah, atau tidak memberikan akses yang lebih
akurat tentang makna suatu lafaz, maka ‘urf dapat digunakan untuk
menetapkan hukum bagi suatu permasalahan dan memberikan
pengertian bagi suatu lafaz. Namun jika naṣ telah menetapkan hukum
atau memberikan penafsiran secara lebih rinci dan akurat, maka ‘urf
harus menyesuaikan diri dengan ketentuan naṣ tersebut.
E. Sadd Zara’i
Kata sadd al-zari’ah merupakan bentuk gabungan dari dua
kata, yaitu sadd dan adz-dzari’ah. Secara etimologis, kata sadd
berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun
lobang. Sedangkan dzari’ah merupakan kata benda bentuk tunggal
yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu.
َ ْ ِ ﱠadalah ﺍﻟﺬﺭِﺍﺋﻊ
Bentuk jamak dari ﺍﻟﺬﺭﻳﻌﺔ َ ﱠ. Karena itulah, dalam beberapa
kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-
Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd al-dzara’i.
Ibn Qayyim al-Jauzi mengatakan bahwa pembatasan
pengertian dzari’ah kepada sesuatu yang dilarang saja tidak tepat,
karena ada juga dzari’ah yang bertujuan kepada yang
dianjurkan.86 Maka menurutnya pengertian dzari’ah lebih baik
dikemukakan yang bersifat umum, sehingga dzari’ah itu mengandung
66 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
Universitas Malikussaleh 67
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
ﻳﺒﺪﻳﻦ َ َ ﻓﺮﻭﺟﻬﻦ
َ ْ ِ ْ ُ ﻭﻻ َ ْ َ ْ َ َ ﺃﺑﺼﺮﻫﻦ
ﻭﻳﺤﻔﻈﻦ ُ ُ ْ َ ُ ﱠ ﻣﻦ َ ْ َ ِ ِ ﱠ َ ْ ُ ْ َ َﺎﺕ
ْ ِ ﻳﻐﻀﻀﻦ ِ ْ ُ ْ ِ ﻭﻗﻞ
ِ ﻟﻠﻤﺆﻣﻨ ُْ َ
َ َ ,ﺟﻴﻮﺑﻬﻦ
ﻭﻻ ﻋﻠﻰ ُ ُ ْ ِ ِ ﱠَ َ ﺑﺨﻤﺮﻫﻦ َ ْ ِ ْ َ ْ َ ,ﻣﻨﻬﺎ
ﻭﻟﻴﻀﺮﺑﻦ ِ ُ ُ ِ ِ ﱠ َ َ َ َﺘﻬﻦ ِﺇﻻﱠ َﻣﺎ
َ ْ ِ ﻅﻬﺮ ﺯﻳﻨ َ ُ ﱠ
ْ ِ
ِ َﺎﺋﻬﻦ َْﺃﻭ َ ْﺃﺑﻨ
َﺎء ﺑﻌﻮﻟﺘﻬﻦ َْﺃﻭ َ ْﺃﺑﻨ ِ ِ ﱠ ِ َ َ ﺃﺑﺎﺋﻬﻦ َْﺃﻭ
ﺃﺑﺎء ُ ُ ْ َ ِ ِ ﱠ ﻟﺒﻌﻮﻟﺘﻬﻦ َْﺃﻭ َ َ ِ ِ ﱠ
َﺘﻬﻦ ِﺇﻻﱠ ِ ُ ُ ْ َ ِ ِ ﱠ
ﺯﻳﻨ َ ُ ﱠ
ْ ِ
ﺃﻭﻧﺴﺎﺋﻬﻦ َْﺃﻭ ﺇﺧﻮﺍﻧﻬﻦ َْﺃﻭ َِﺑﻨﻰ َ َ َ ِ ِ ﱠ
ﺃﺧﻮﺍﺗﻬﻦ َ ْ ِ َ ِ ِ ﱠ ﺑﻌﻮﻟﺘﻬﻦ َْﺃﻭ ِ ْ َ ِ ِ ﱠ
ﺇﺧﻮﺍﻧﻬﻦ َْﺃﻭ َِﺑﻨﻰ ِ ْ ِ ِ ِ ﱠ ُ ُْ َِ ِ ﱠ
ِ ْ ّ ِ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ َْﺃﻭ
ﺍﻟﻄﻔﻞ ِ َ ّ ِ ﻣﻦ َ ِ ﺍﻹﺭﺑﺔ ِ ْ ُ َ ْ َ ﺃﻭﺍﻟﺘﺎﺑﻌﻴﻦ
ِ َ ْ ِ ﻏﻴﺮﺃﻭﻟﻰ ﻣﻠﻜﺖ َ ْ َ ُ ُ ﱠ
َ ْ ِ ِ َ ْ َ ﺃﻳﻤﺎﻧﻬﻦ ْ َ َ َ َﻣﺎ
ﻟﻴﻌﻠﻢ ﻳﻀﺮﺑﻦ ِ َ ْ ُ ِ ِ ﱠ
َ َ ْ ُ ِ ﺑﺄﺭﺟﻠﻬﻦ َ ْ ِ ْ َ َ َﻭﻻ,ﺍﻟﻨﺴﺎء
ِ َ ِّ ﻋﻮﺭﺍﺕ ِ َ ْ َ ﻋﻠﻰ ْ ُ َ ْ َ ﺍﻟﺬﻳﻦ َْﻟﻢ
َ َ ﻳﻈﻬﺮﻭﺍ َ ِْﱠ
ْ ُ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻮﻥ َ َ ﱠ
ﻟﻌﻠﻜﻢ َ ْ ُ ِ ْ ُ ّ َﺟﻤﻴﻌﺎ َ ﱡﺃﻳﻪ ْ ُ ْ ُ َ ,َﺘﻬﻦ
َ ِ ﻭﺗﻮﺑﻮﺍ
ً ْ ِ َ ِﺇﻟﻰ ﷲ ﺯﻳﻨ ِ ِ ﱠ ْ ِ ﻣﺎﻳﺤﻔﻴﻦ
ْ ِ ﻣﻦ َ ِْ ْ ُ َ
َ ْ ُ ُِْ
.ﺗﻔﻠﺤﻮﻥ
Artinya:
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka
Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali
kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka,
atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang
aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah
kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung.
Ayat lainnya yang menjadi dasar hukum sadd zara’i adalah
QS. Al-An’am ayat 108 yang berbunyi:
68 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
ِ ْ ِ ﻋﺪﻭﺍﺑﻐﻴﺮ
,ﻋﻠﻢ ِ ْ َ ِ َ ْ َ َﻓﻴﺴﺒﻮﺍ ﷲ ْ ﺩﻭﻥ ﷲِ َ َ ُ ﱡ ْ ِ ﻳﺪﻋﻮﻥ
ِ ْ ُ ﻣﻦ َ ْ ِ ﺗﺴﺒﻮﺍ ﱠ
َ ْ ُ ْ َ ﺍﻟﺬﻳﻦ ْ ﻭﻻ َ ُ ﱡَ َ
ْ ُ َ ﺑﻤﺎ
ﻛﺎﻧﻮﺍ ْ ُ ُ ِ ْ َ ﺛﻢ َِﺇﻟﻰ
ْ ُ ُ ِّ ﻣﺮﺟﻌﻬﻢ َﻓﻴُﻨ
َ ِ َﺒﺌﻬﻢ ﻋﻤﻠﻬﻢ ُ ﱠ
ْ ُ َ َ َ ﺃﻣﺔ ٍ ﻟﻜﻞ ُ ﱠ
ِّ ُ ِ ﺯﻳﻨﺎ
ﻛﺬﺍﻟﻚ َ ﱠ ﱠَ ََِ
َ ُْ َ ْ َ
.ﻳﻌﻤﻠﻮﻥ
Artinya:
dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami
jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan
kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
Ayat di atas melarang umat Islam untuk mencaci sembahan
orang kafir baik dalam bentuk berhala, batu, matahari, bulan dan lain
sebagainya. Larangan ini bertujuan untuk menghindari celaan
kepada Allah Swt karena balasan dari orang kafir yang tersinggung
Tuhannyadi cela. Celaan terhadap Allah Swt merupakan suatu
mafasid yang harus dihindari, maka untuk itu umat Islam dilarang
menyinggung Tuhan umat lain.
Contoh Sadd Zari’ah adalah zina hukumnya haram, maka
melihat aurat wanita yang menghantarkan kepada perbuatan zina
juga merupakan haram. Shalat jum’at merupakan kewajiban maka
meninggalkan segala kegiatan untuk melaksanakan shalat jum’at
wajib pula hukumnya. Dari berbagai pandangan di atas, bisa
dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan larangan atas
suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan untuk
mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
Mencegah sesuatu yang haram atau boleh untuk menutup
kemungkinan munculnya mudharat. Umar bin Khatab sering
menggunakan prinsip ini dalam penetapan hukum. Contohnya beliau
pernah mencukur rambut seorang pemuda Madinah yang sangat
tampan bernama Nasar bin Hajjaj, karena banyak perempuan yang
tergoda dengannya. Setelah dicukur ternyata ia bertambah tampan,
akhirnya Umar memutuskan untuk mengasingkannya. Umar bin
Khattab juga pernah membakar sebuah warung di Madinah karena
kondisinya yang gelap dan dikhawatirkan menimbulkan kemaksiatan
di situ. Abu Hanifah juga menggunakan metode ini dalam kasus
melarang perempuan untuk berhias dalam masa iddah, karena
ditakutkan terjadi maksiat.
Universitas Malikussaleh 69
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
F. Istihsan
Istihsan dari segi bahasa ialah menganggap sesuatu itu baik
atau sesuatu yang disukai oleh seseorang serta cenderung ke
arahnya sekalipun dipandang buruk (tidak disukai) oleh orang lain.
sedangkan secara istilah istihsan adalah berpalingnya seorang
mujtahid dari qiyas jali (terang) kepada qiyas kafi (samar-samar)
karena adanya kemaslahatan.
Untuk memahami pengertian istihsan secara lebih lengkap
dapat dilihat dari beberapa pendapat ulama. Menurut ulama
Malikiah, yaitu Ibnu Arabi mendefinisikan istihsan adalah lebih
mementingkan meninggalkan kandungan dalil dengan jalan istisna
atau takhsis karena adanya hal yang bertentangan dengan sebagian
kandungan dalil tadi.
Menurut ulama hanafiah, diantaranya seperti Al-Bazdawi
mendefinisikan istihsan yaitu perpindahan dari satu qiyas ke qiyas
lain yang lebih kuat dasarnya atau mentakhsis dari qiyas dasar yang
lebih kuat. Sedangkan menurut ulama hanabilah, di antaranya al-
Tuhfi mendefinisikan istihsan,yaitu perpindahan penempatan hukum
satu masalah karena adanya dasar hukum yang lebih khusus.
Dari beberapa defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa
istihsan itu adalah suatu kejadian yang timbul yang dapat
dimasukkan ke dalam umum nash atau dapat diqiyaskan kepada
suatu kejadian yang telah ada hukumnya atau dapat diterapkan
hukum kulli kepadanya, tetapi nampak pada mujtahid ketetapan itu
mempunyai beberapa hal yang menyebabkan hilangnya maslahat
atau menimbulkan mafsadat, karena itu mujtahid berpindah dari
hukum umum kepada hukum yang lain, atau mengecualikan hukum
itu dari hukum yang berlaku umum.
Contoh istihsan yang paling sering dikemukakan adalah
peristiwa ditinggalkannya hukum potong tangan bagi pencuri di
zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri
harus dipotong tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun
kemudian hukum ini ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa
tidak memotong tangan pencuri. Ini adalah hukum berikutnya,
dengan suatu dalil tertentu yang menguatkannya.
Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash, yaitu pencuri harus dipotong tangannya.
Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk
meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain. Dalam hal ini, sekalipun
70 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
ُ ُ َ َ ﺍﻟﺬﻳﻦ
,ُﻫﺪﺍﻫﻢ ﷲ َ ِ َ ْ ُ ,ُﺃﺣﺴﻨَﻪ
َ ْ ِ ﺃﻭﻟﺌﻚ ﱠ َ ْ َ ﻓﻴﺘﺒﻌﻮﻥ َ ْ َ ﻳﺴﺘﻤﻌﻮﻥ ْﺍﻟ
َ ْ ُ ِ ﻘﻮﻝ َ َ ﱠ َ ِْﱠ
َ ْ ُ ِ َ ْ َ ﺍﻟﺬﻳﻦ
ْ ُ ْ ُ ﻫﻢ
ِ َ ْ َ ْ ﺃﻭﻟﻮ
.ﺍﻷﻟﺒﺐ َ َِ ُْ َ
ْ ُ ﻭﺃﻭﻟﺌﻚ
Artinya:
Yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah
petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS.
Al-Zumar: 18)
Ayat di atas menunjukkan bahwa umat Islam diharuskan
untuk mengikuti pendapat yang paling baik dari sekian pendapat
yang didengarnya. Dari itu umat Islam, khususnya mujtahid dapat
memilih opsi hukum yang paling sesuai dengan kondisi mereka
berdasarkan petunjuk nash. Maka dalam keadaan tertentu mereka,
dapat memilih alternatif hukum lain di luar ketentuan nash yang
jelas, jika hal itu dianggap paling relevan.
Seiring perkembangan zaman dan perubahan sosial
masyarakat otomatis menghendaki perubahan hukum. Perubahan
hukum tersebut boleh jadi menjadi lebih ketat atau lebih ringan.
Dalam nash terdapat berbagai opsi hukum yang mungkin dipilih oleh
mujtahid dalam menetapkan hukum yang sesuai dengan realitas
masyarakat, terutama menyangkut muamalah. Dengan pertimbangan
tertentu oleh mujtahid dapat merubah ketentuan hukum sesuatu
kepada hukum lainnya yang lebih sesuai.
Sebagai contoh adalah jual beli secara online yang marak
belakangan ini, berdasarkan qiyas jual-beli sah jika dilakukan secara
musyahadah (melihat barang secara langsung), namun dalam jual
beli online hal itu tidak dilakukan, melainkan hanya melihat
gambarnya pada situs jual beli online. Maka berdasarkan qiyas hal ini
tidak sah, sedangkan secara istihsan dapat saja dibenarkan jika ada
kemaslahatan dan dipastikan barang yang dikirim sesuai dengan
spesifikasi yang ditawarkan pada situs online.
G. Istishab
Secara etimologi istishab berasal dari kata istashhaba, yang
berarti: ﺍﺳﺘﻤﺮﺍﺭ ﺍﻟﺼﺤﺒﺔ. Kalau kata ﺍﻟﺼﺤﺒﺔdiartikan “sahabat” atau
Universitas Malikussaleh 71
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
72 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
Universitas Malikussaleh 73
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
H. Siyasah Al-Syar’iyah
Siyāsah al-syar’iyyah merupakan metode pembentukan
hukum yang dilakukan oleh pemerintah terhadap permasalahan
yang belum ada ketentuan hukumnya atau tidak diatur secara
ekplisit oleh naṣ melalui pertimbangan kemaslahatan bagi
masyarakat. Disatu sisi siyāsah al-syar’iyyah menyerupai maṣlaḥah
al-mursalah dari sisi pembentukan hukum terhadap permasalahan
yang belum ada ketentuan hukum berdasarkan pertimbangan
kemaslahatan, di sisi yang lain keduanya berbeda, maṣlaḥah al-
mursalah digunakan oleh individu untuk membentuk hukum,
sedangkan siyāsah al-syar’iyyah digunakan oleh pemerintah.
Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan siyāsah al-syar’iyyah
sebagai tindakan atau kebijakan pemerintah berdasarkan
74 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
Universitas Malikussaleh 75
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
76 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
Universitas Malikussaleh 77
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
78 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
َ ْ ِ َ َ ْ ِ ًﺭﺣﻤﺔ
.ﻟﻠﻌﺎﻟﻤﻴﻦ ْ َ ْ َ ﻭﻣﺎ
َ ْ َ ﺃﺭﺳﻠﻨ ََﻚ ِﺇﻻﱠ َ َ
Artinya:
Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam.
Dan juga dipahami dari kandungan QS.Al-Hajj (22) : 41 yang
berbunyi:
ْ ُ َ َ َ َ ﻭﺃﺗﻮﺍﺍﻟﺰﻛﺎﺓ
ﻭﺃﻣﺮﻭﺍ َ ﺃﻗﺎﻣﻮ ْ ﱠ
َ ﺍﻟﺼﻼﺓ َ َ َ َ ُ ﱠ ُْ ََ ﺽ ْ َ ْ ﻣﻜﻨﺎﻫﻢ ِﻓﻰ
ِ ﺍﻷﺭ ْ ُ ﺇﻥ َ َ ﱠ َ ِْﱠ
ْ ِ ﺍﻟﺬﻳﻦ
ِ ْ ُ ُ ْ ُﻋﻘﺒﺔ
.ﺍﻷﻣﻮﺭ َ ِ َ ِ}ﻭ ِ َ ْ ُ ْ ﻋﻦ
َ ِ ﱠ,ﺍﻟﻤﻨﻜﺮ ِ َ َﻬﻮ ِ ُْْ َْ ِ
ْ َ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮﻭﻑ َﻭﻧ
Artinya:
(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di
muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan
zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang
mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. (QS. Al-Hajj
(22) : 41)
Kedua ayat di atas menjelaskan tentang tujuan pemerintahan
atau pemimpin, Rasulullah Saw diutus oleh Allah Swt sebagai
pemimpin untuk membimbing umat manusia ke jalan yang lurus
demi mencapai keridhaan-Nya dan kebahagiaan hidup dunia dan
akhirat. Demikian pula diutusnya orang-orang saleh lainnya juga
untuk menjalankan amanah Allah berupa mendirikan salat,
menunaikan zakat dan mengajak manusia mengamalkan yang ma’ruf
dan meninggalkan yang mungkar. Pemerintah bertugas memberikan
tauladan yang baik dan menjalankan hukum dalam masyarakat, serta
bertanggungjawab kepada terealisasinya maqaṣid al-syar’iyyah
secara nyata dimuka bumi dalam kehidupan masyarakat.
Dalam mengemban amanah tersebut pemerintah harus
menggunakan panduan yang benar berupa siyāsah al-syar’iyyah, yang
berarti tata cara mengurus pemerintahan dan urusan umat
berdasarkan prinsip Islam, dan secara khusus siyāsah al-syar’iyyah
juga berarti mengurus negara dan agama dengan membuat hukum
bagi perkara yang tidak mempunyai naṣ yang jelas, atau melakukan
Universitas Malikussaleh 79
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
80 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
َ ْ ِ ﻋﻠﻰ ﱠ
ْ ِ ﺍﻟﺬﻳﻦ
ﻣﻦ َ َ ﻛﺘﺐ
َ ِ ُ ﻛﻤﺎ
َ َ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ُ ُ ْ َ َ ﻛﺘﺐ
َ َ ّ ِ ﻋﻠﻴﻜﻢ ْ ُ َ َ ﺍﻟﺬﻳﻦ
َ ِ ُ ﺃﻣﻨﻮﺍ َ َ َﱡ
َ ْ ِ ﻳﺄﻳﻬﺎ ﱠ
.ﺗﺘﻘﻮﻥ ْ ُ َ َ َ ﻗﺒﻠﻜﻢ
َ ْ ُ ﻟﻌﻠﻜﻢ َ ﱠ ْ ُ َِْ
Artinya:
Universitas Malikussaleh 81
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
َ ْ َ ِ ﺃﻭﺣﻴﻨَﺎ
ﺇﻟﻴﻚ ْ َ ْ َ ﻭﺍﻟﺬﻱ ِ ﻧﻮﺣﺎ َ ﱠ
ً ْ ُ ﺑﻪ ﺍﻟﺪﻳﻦ َﻣﺎ َ ﱠ
ِ ِ ﻭﺻﻰ ِ ْ ّ ِ ﻣﻦ
َ ِ ﻟﻜﻢْ ُ َ ﺷﺮﻉ
َ ََ
َﺍﻟﺪﻳﻦ َﻭﻻ
َ ْ ّ ِ ﺃﻗﻴﻤﻮﺍْ ُ ْ ِ َ ﺃﻥ ْ َ ,ﻭﻋﻴﺴﻰ
َ ْ ِ َ ﻭﻣﻮﺳﻰ َ ْ ِ َ ْ ِ ﺑﻪ
َ ْ ُ َ ﺇﺑﺮﻫﻴﻢ ِ ِ ﻭﺻﻴﻨَﺎ
ْ ﻭﻣﺎ َ ﱠَ َ
ِ ْ َ ِ ﺗﺪﻋﻮﻫﻢ
ِ َ ْ َ ُV َﺍ,ﺇﻟﻴﻪ
ﻳﺠﺘﺒﻰ َ ْ ِ ِ ْ ُ ْ ﻋﻠﻰ
ْ ُ ْ ُ ْ َ ﺍﻟﻤﺸﺮﻛﻴﻦ َﻣﺎ َ َ ﻛﺒﺮ
َ ُ َ ,ﻓﻴﻪ ُْ َََ ﱠ
ِ ْ ِ ﺗﺘﻔﺮﻗﻮﺍ
.ﻳﻨﻴﺐ
ُ ْ ِ ُ ﻣﻦ ِ ْ َ ِ ﻭﻳﻬﺪﻯ
ْ َ ﺇﻟﻴﻪ ِ ْ َ َ ﻳﺸﺎء
ُ َ َ ﻣﻦ ِ َِْ
ْ َ ﺇﻟﻴﻪ
Artinya:
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik
agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada
82 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
َ ِ ﻛﺎﻥ
ﻣﻦ َ َ ﻭﻣﺎ ٍ ْ ِ َ ﺇﺑﺮﻫﻴﻢ
َ َ ,ﺣﻨﻴﻔﺎ ﺍﺗﺒﻊ ِ ﱠ
َ ْ ِ َ ْ ِ َﻣﻠﺔ ِ َ ﺇﻟﻴﻚ
ْ ِ ﺃﻥ ﱠ ْ َ ْ َ ﺛﻢ
َ ْ َ ِ ﺃﻭﺣﻴﻨَﺎ ُﱠ
َ ِْ ِْ ُ ْ
.ﺍﻟﻤﺸﺮﻛﻴﻦ
Artinya:
Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agama
Ibrahim yang hanif.” QS. An-Nahl: 123.
Ayat di atas menunjukkan adanya perintah kepada Nabi
Muhammad Saw untuk mengikuti ajaran Nabi Ibrahim, lalu Allah
menegaskan bahwa Ibrahim membawa agama hanif, dan ia sama
sekali bukan orang musyrik. Keberlakuan syari’at Nabi Ibrahim
dalam syari’at Islam terlihat jelas lewat beberapa ritual yang
dilakukan oleh umat Islam selama ini, seperti haji, qurban, adab-adab
dalam melakukan sembelihan dan lain sebagainya.
Syar’u man qablana dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu :
a. Syariat terdahulu yang terdapat dalam Alquran atau
penjelasan Nabi yang disyariatkan untuk umat sebelum Nabi
Muhammad dan dijelaskan pula dalam Alquran atau hadis
Nabi bahwa yang demikian telah di-nasakh dan tidak berlaku
lagi bagi umat Nabi Muhammad. seperti firman allah dalam
surat al-An’am (8) : 146 yang berbunyi:
Universitas Malikussaleh 83
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
ُ َ ْ َ ﻁﺎﻋﻢ
ْ َ ﻳﻄﻌﻤﻪُ ِﱠﺇﻻ ٍ ِ َ ﻋﻠﻰ ً ﺃﻭﺣﻰ َِﺇﻟﻲ ُ َ ﱠ
َ َ ﻣﺤﺮﻣﺎ ُ ِ َ ﻗﻞ َﻻ
ُْ
ﺃﻥ َ ِ ْ ﺃﺟﺪُ ِﻓﻰ َﻣﺎ
ً ْ ِ ْ َ ﺭﺟﺲ
ﺃﻭﻓﺴﻘﺎ ٌ ْ ِ ُﻓﺈﻧﻪ ٍ ْ ِ ْ ِ ﻟﺤﻢ
ﺧﻨﺰﻳﺮ َ ِ ﱠ َ ْ َ ﻣﺴﻔﻮﺣﺎ َْﺃﻭ ً َ ْ َ ًﻣﻴﺘﺔ
ً ْ ُ ْ َ ﺃﻭﺩﻣﺎ َ ُْ َ
َ ْ َ ﻳﻜﻮﻥ
ّ ﻓﺈﻥ َ ﱠ
ﺭﺑﻚ ﻋﺎﺩ َ ِ ﱠ َ َ ٍﻏﻴﺮ َﺑﺎﻍ
ٍ َ ﻭﻻ َ ْ َ ﺍﺿﻄﺮﻓﻤﻦ ْ ُ ﱠ ِ َ َ ,ﺑﻪ
ِِ ﷲ ِ ﻟﻐﻴﺮ ُِ ﱠ
ِ ْ َ ِ ﺃﻫﻞ
.ﺭﺣﻴﻢ ٌ ُْ َ
ٌ ْ ِ ﻏﻔﻮﺭ ﱠ
Artinya:
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang
mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor -
84 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
َ ْ ِ ﻋﻠﻰ ﱠ
ْ ِ ﺍﻟﺬﻳﻦ
ﻣﻦ َ َ ﻛﺘﺐ
َ ِ ُ ﻛﻤﺎ
َ َ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ُ ُ ْ َ َ ﻛﺘﺐ
َ َ ّ ِ ﻋﻠﻴﻜﻢ ْ ُ َ َ ﺍﻟﺬﻳﻦ
َ ِ ُ ﺃﻣﻨﻮﺍ َ ْ ِ ﻳﺄﻳﻬﺎ ﱠ
َ َ َﱡ
.ﺗﺘﻘﻮﻥ ْ ُ َ َ َ ﻗﺒﻠﻜﻢ
َ ْ ُ ﻟﻌﻠﻜﻢ َ ﱠ ْ ُ َِْ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa,
Ayat ini menjelaskan bahwa puasa disyariatkan untuk umat
terdahulu dan diwajibkan pula kepada umat Nabi
Muhammad Saw untuk memperoleh ketakwaan.
c. Hukum-hukum yang disebutkan dalam Alquran atau hadis
nabi, dijelaskan berlaku untuk umat sebelum Nabi
Muhammad, namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku
untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut
telah di-nasakh.
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama,
setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan
dalam Alquran dan Sunnah. Ulama sepakat bahwa macam pertama
ini jelas tidak termasuk syariat Islam. Kedua, setiap hukum syariat
dari umat terdahulu namun disebutkan dalam Alquran dan Sunnah.
Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga, yaitu:
Universitas Malikussaleh 85
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
86 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh
Universitas Malikussaleh 87
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
98 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010, h. 141-
142.
88 Dr. Munadi, MA
Penutup
BAB VI
PENUTUP
Universitas Malikussaleh 89
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
90 Dr. Munadi, MA
Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Malikussaleh 91
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
92 Dr. Munadi, MA
Daftar Pustaka
Universitas Malikussaleh 93
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
Saiful Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr.
Harun Nasution, (Bandung: Mizan, 1998).
Samuel Koening, Man and Society, the Basic Teaching of Sociology,
(New York: Borners Van Noble Inc: 1957), Cet. 1.
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009.
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam
Masyarakat, Edisi 2 (Jakarta: Rajawali, 1982).
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001).
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994).
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Cet. XII,Jakarta:
Rajawali Press: 1995).
Syamsul Arifin, dkk, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan,
(Yogyakarta: Sipress, 1996).
Wahbah al-Zuhaily, al-Wajiz fi Ushūl al-Fiqh, Cet. 1, (Damsyiq: Dar al-
Fikr, 1999).
Wahbah al-Zuhaily, Ushūl Fiqh Islamy, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1987).
Wahbah Zuḥaili, Uṣul al-Fiqh al- Islami, JilidIII, (Beirūt: Dār al-Fikr al-
Mu‘āṣir, 1998).
Yusuf al-Qaradhawi, Al Fatwa Bain al Indhibath wa al-Tasayyub,
(Kuwait: Dar al-Kalam, tt).
Yusuf al-Qaradhawi, Al Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyyah Ma’a
Nadharatin al Tahliliyatin fi al Ijtihad al Mu’ashir, (Kuwait:
Dar al-Kalam, tt).
Yusuf al-Qaradhawi, Hadyul Islam Fataw al-Mu’ashirah, (Kuwait: Dar
al-Kalam, tt).
Yusuf al-Qaradhawi, Siyasah al-Syariah, (Beirut: Dar al Syuruq, tt).
94 Dr. Munadi, MA
Riwayat Penulis
RIWAYAT PENULIS
Universitas Malikussaleh 95
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
96 Dr. Munadi, MA