Anda di halaman 1dari 104

PENGANTAR

ILMU USUL FIQIH


Dr. Munadi, MA

PENGANTAR
ILMU USUL FIQIH
Judul: PENGANTAR ILMU USUL FIQIH
vi + 96 hal., 15 cm x 23 cm

Cetakan Pertama: Oktober, 2017


Hak Cipta © dilindungi Undang-undang. All Rights Reserved

Penulis:
Dr. Munadi, MA

Perancang Sampul dan


Penata Letak: Eriyanto
Pracetak dan Produksi: Unimal Press

Penerbit:

Unimal Press
Jl. Sulawesi No.1-2
Kampus Bukit Indah Lhokseumawe 24351
PO.Box. 141. Telp. 0645-41373. Fax. 0645-44450
Laman: www.unimal.ac.id/unimalpress.
Email: unimalpress@gmail.com

Dilarang keras memfotocopy atau memperbanyak sebahagian atau


seluruh buku ini tanpa seizin tertulis dari Penerbit
Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat


dan karunia-Nya, sehingga penulis telah dapat menyelesaikan
penyusunan buku ini. Rahmat dan sejahtera senantiasa kita kirimkan
keharibaan Nabi Besar Muhammad Saw yang telah menunjuki umat
manusia ke jalan kebenaran.
Buku dihadapan pembaca ini berawal dari buku daras yang
penulis susun sebagai pedoman bagi mahasiswa dalam mempelajari
mata kuliah usul fiqh, lalu dilakukan beberapa penambahan dan
penyempurnaan sebagaimana saat ini saat akan diterbitkan dan
diedar secara luas. Hadirnya buku ini merupakan keniscayaan dari
keterlibatan berbagai pihak, terutama para akademisi di IAIN
Lhokseumawe. Dan juga dukungan moril dari keluarga saat buku ini
disusun dan akhirnya diterbitkan.
Penulis mengakui bahwa buku ini memiliki banyak
kekurangan di sana sini. Untuk itu masukan yang kontruktif dari para
pembaca sangat diharapkan untuk penyempurnaan ke depan. Hanya
kepada Allah segenap ikhtiar dan amalan diserahkan, semoga buku
ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan menjadi amal jariyah bagi
akhirat kelak. Amin..

Lhokseumawe, 10 Oktober 2017


Penulis

Dr. Munadi, MA

v
Daftar Isi

Kata Pengantar ............................................................................................................v


Daftar Isi....................................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
BAB II USUL FIQH DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA .............. 5
A. Pengertian Usul Fiqh ............................................................................... 5
B. Sejarah Perkembangan Usul Fiqh ...................................................... 6
BAB III USUL FIQH DAN ISTINBATH HUKUM ISLAM.....................11
A. Definisi Istinbath dan Dasar Hukumnya .......................................14
BAB IV CORAK ISTINBATH HUKUM ULAMA......................................25
BAB V MACAM-MACAM KAIDAH USUL FIQH.....................................39
A. Ijma’..............................................................................................................40
B. Qiyas.............................................................................................................44
C. Maslahah Mursalah ................................................................................47
D. Urf/Adat .....................................................................................................58
E. Sadd Zara’i..................................................................................................66
F. Istihsan ........................................................................................................70
G. Istishab........................................................................................................71
H. Siyasah Al-Syar’iyah ..............................................................................74
I. Syar’u Man Qablana.................................................................................81
J. Qaul Sahabi (Pendapat Para Sahabat) .............................................86
BAB VI PENUTUP..............................................................................................89
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................91
RIWAYAT PENULIS..........................................................................................95

vi
Pendahuluan

BAB I
Pendahuluan

Munculnya berbagai persoalan dalam masyarakat setiap


waktu tanpa henti dengan bentuk dan modus yang beraneka ragam
telah menuntut ahli hukum untuk berijtihad, guna menjawab
persoalan tersebut dengan ketentuan hukum yang jelas. Setiap
persoalan harus segera diberikan ketetapan hukum untuk
menghindari kekosongan dan kegamangan hukum dalam
masyarakat. Sesuai fungsinya hukum adalah untuk mengendalikan
perilaku masyarakat supaya terarah sesuai dengan prinsip keadilan
dan kesejahteraan. Di sisi yang lain hukum merupakan alat untuk
merubah dan merekayasa struktur sosial masyarakat dari suatu
bentuk kepada bentuk lainnya yang lebih baik dan terarah.
Tanpa adanya hukum sulit untuk mewujudkan kehidupan
masyarakat yang ideal, bahkan sebaliknya kehidupan masyarakat
akan semakin kacau balau tidak terkendali. Ketiadaan hukum atau
lemahnya sistem hukum masyarakat merupakan masalah yang
krusial, semua aspek kehidupan masyarakat akan mengalami
kekacauan, karena terjadinya penyalahgunaan hak dan wewenang
secara bebas oleh individu dan kelompok dalam masyarakat.
Agama Islam merupakan solusi bagi kehidupan dengan
menghadirkan jawaban-jawaban hukum untuk setiap persoalan
lewat petunjuk Alquran dan Hadist. Manusia dapat mengakses
berbagai informasi hukum yang berkaitan dengan persoalan
hidupnya yang berkaitan dengan masalah ibadah, muamalah,
munakahat, jinayat dan lain sebagainya. Setidaknya kedua sumber
hukum tersebut telah memberikan isyarat tentang ihwal kehidupan
manusia, serta berbagai ketentuan yang mengaturnya. Tugas
manusia adalah mengelaborasi lebih jauh kandungan nash untuk
menetapkan hukum yang kongkrit bagi penyelesaian persoalan yang
muncul.
Dalam upayanya mencari jawaban hukum, umat Islam
membutuhkan seperangkat metode atau teknik yang disebut juga
dengan kaidah usul fiqh. Kaidah tersebut digunakan untuk
menetapkan hukum. Dalam kegiatan ijtihad, seorang mujtahid harus
menggunakan kaidah usul fiqh, guna memahami bentuk hukum yang
akan diputuskan. Kaidah usul fiqh merupakan acuan penetapan
hukum yang harus diikuti oleh mujtahid.

Universitas Malikussaleh 1
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

Mujtahid tidak boleh secara begitu saja memutuskan hukum


tanpa melalui proses analisis dan pertimbangan usul fiqh yang
matang. Hukum yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan logika
semata tidak dapat diterima sebagai hukum Islam, karena
pembentukan hukum Islam harus melalui mekanisme atau langkah
tersendiri.
Setidaknya ada tiga langkah dalam penetapan hukum Islam,
yaitu: Pertama, mencari nash yang berkaitan dengan permasalahan;
Kedua, menentukan metode istinbath yang relevan dan Ketiga,
memperhatikan implikasi atau akibat dari hukum yang dibuat.
Dalam mencari jawaban hukum bagi suatu permasalahan, seorang
mujtahid terlebih dahulu mencari nash yang berkaitan dengan
permasalahan tersebut, baik nash khusus maupun umum. Jika nash
ditemukan, maka petunjuknya harus diikuti oleh mujtahid.
Setelah menemukan nash, mujtahid melakukan analisis usul
fiqh dengan menggunakan salah satu kaidah yang relevan. Biasanya
kaidah yang digunakan sesuai dengan permasalahan. Jika
permasalahan tersebut mengandung manfaat yang tidak disentuh
langsung oleh nash, maka mujtahid dapat menggunakan kaidah
istislahiah untuk menguji manfaat tersebut apakah sesuai dengan
prinsip syara’ atau tidak.
Jika suatu permasalahan berkaitan dengan kebiasaan atau
tradisi masyarakat, maka untuk menganalisisnya dapat
menggunakan kaidah ‘urf guna menguji apakah kebiasaan tersebut
dapat dianggap sebagai ‘urf sahih sehingga dapat dijadikan
pertimbangan dalam pembentukan hukum ataupun termasuk ‘urf
fasid yang harus ditolak. Demikianlah seterusnya dalam
menyelesaikan berbagai permasalahan hukum lainnya, mujtahid
dapat menganalisisnya dengan kaidah usul fiqh yang relevan.
Hukum yang ditetapkan juga harus diperhatikan implikasinya
terhadap keberlangsungan hidup masyarakat. Setiap hukum harus
berdampak positif bagi masyarakat dalam rangka menanggulangi
berbagai permasalahan. Keberadaan hukum harus menjadi solusi
bagi masalah masyarakat, bukan malah sebaliknya menjadi
bomerang dalam masyarakat.
Setelah melalui tiga proses di atas, suatu hukum telah dapat
ditetapkan dan diformalkan untuk dijadikan ketetapan hukum
masyarakat. Banyak ketentuan hukum ternyata harus ditolak,
direvisi bahkan direkonstruksi ulang karena tidak memenuhi syarat.
Penetapan hukum Islam telah mencapai tahap yang mudah,
karena telah adanya berbagai metode yang dikembangkan oleh para

2 Dr. Munadi, MA
Pendahuluan

berupa kaidah usul fiqh. Kaidah-kaidah tersebut dikembangkan oleh


ulama lewat perenungan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam
nash, seperti keadilan, kasih sayang, keselamatan, kewajiban,
larangan dan lain sebagainya. Nilai-nilai tersebut lalu
diaktualisasikan dalam bentuk kaidah usul fiqh yang bersifat praktis.
Kaidah itu kemudian digunakan oleh mujtahid untuk menetapkan
hukum.
Kaidah usul fiqh secara umum dibagi kepada dua macam,
yaitu kaidah yang disepakati ulama (muttafaqun alaih) dan kaidah
yang tidak disepakati ulama (mukhtalafun alaih). Kaidah yang
disepakati ulama terdiri dari ijma dan qiyas, sedangkan yang tidak
disepakati terdiri dari istihsan, maslahah al-mursalah, ‘urf, syar’u
man qablana, istishab, qaul sahabi dan seterusnya. Kaidah yang
disepakati di sini berarti kaidah yang telah diterima dan digunakan
oleh kalangan mujtahid dari semua mazhab. Sedangkan kaidah yang
tidak disepakati berarti kaidah tersebut hanya diakui oleh
sebahagian mujtahid dan menggunakannya dalam kegiatan ijtihad
mereka. Sedangkan mujtahid yang lain menolaknya, karena
menganggapnya salah.
Perbedaan pendapat ulama tentang kaidah usul fiqh
disebabkan perbedaan cara pandang mereka terhadap maksud nash
dan realitas kehidupan tempat tinggal mereka. Misalnya Abu Hanifah
yang terkenal rasional dalam penetapan hukum, di samping
mempunyai landasan dari dalil, realitas kehidupan masyarakat di
Kufah yang rasional dan berkembangnya aliran Mu’tazilah di tempat
itu turut mempengaruhi metode penelaran beliau.
Demikian pula Imam Malik yang terkenal literal dan cukup
teguh berpegang kepada hadis dalam penalaran hukum, dapat
dikaitkan dengan domisili beliau di kota Madinah. Wilayah tersebut
cukup banyak ditemukan hadis, karena Rasulullah dan sahabatnya
mayoritas berdomisili di situ. Maka dalam penalaran hukum, Imam
Malik lebih mengutamakan nash dibandingkan akal. Saat
menghadapi suatu persoalan beliau mencari penyelesaiannya dari
Al-Quran dan hadist, kemudian pendapat para sahabat dan amalan
masyarakat Madinah. Dalam anggapan beliau, amalan masyarakat
Madinah dapat menjadi acuan hukum, karena identik dengan
pengamalan Rasulullah Saw.
Setelah Abu Hanifah dan Imam Malik, tampillah Imam Syafei
dalam kancah pemikiran hukum Islam. Imam Syafei tidak lain adalah
murid dari Abu Hanifah dan Imam Malik. Dalam pengembaraan
ilmunya, beliau pertama sekali berangkat ke Madinah untuk belajar

Universitas Malikussaleh 3
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

hadis kepada Imam Malik serta metode penalaran hukum yang


dikembangkannya. Setelah itu beliau berangkat ke Kufah untuk
belajar kepada dua murid senior Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan
Al-Syaibani. Di sini beliau juga bersentuhan dengan metode
penalaran yang dikembangkan oleh Abu Hanifah yang cenderung
rasional.
Imam Syafei mengembangkan metode penalaran hukumnya
sendiri yang bercorak moderat. Metode yang dikembangkannya
merupakan kombinasi dari metode yang dikembangkan oleh Abu
Hanifah dan Imam Malik. Maka dalam penalaran hukum yang
dikembangkan oleh Imam Syafei, pengunaan nash dan rasional
bersifat proporsional (adil), namun di saat kesimpulan nash dan
rasio saling bertentangan, dalam hal ini beliau lebih mengutamakan
nash.
Beliau merumuskan beberapa kaidah usul fiqh seperti qiyas,
istishab dan ‘urf. Kaidah-kaidah tersebut merupakan bentuk
penalaran yang menggunakan nash dan rasio secara sekaligus dalam
menetapkan hukum. Imam Syafei menjadi orang pertama yang
merumuskan ilmu usul fiqh secara sistematis dengan mengarang
sebuah kitab yang bernama Al-Risalah.
Setelah Imam Syafei, diskusi mengenai usul fiqh semakin giat
dilakukan oleh para ulama. Di antara mereka ada yang berusaha
mengembangkan ilmu usul fiqh yang telah disusun oleh Imam al-
Syafei, namun ada juga yang membahasnya secara analisis dan
memberikan berbagai kritikan. Perkembangan usul fiqh ditandai
dengan banyak bermunculan buku-buku yang ditulis para ulama
mengenai masalah ini. Masing-masing mereka menguatkan metode
yang dikembangkan oleh imam mazhabnya dan mengkritik metode
dari mazhab lain.
Sampai sekarang, buku-buku usul fiqh senantiasa bertambah
dengan corak yang beragam. Sebahagiannya merupakan ulangan dari
literatur lama, namun sebahagiannya merupakan hasil modifikasi,
revisi bahkan rekonstruksi dari usul fiqh lama. Perubahan ini
dilatarbelakangi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan
perubahan masyarakat zaman modern.
Buku ini membahas tentang ilmu usul fiqh dalam dua dimensi
yaitu, teoritis dan praktis. Penulis berusaha untuk menjelaskan
kaidah-kaidah usul fiqh satu persatu serta serta aplikasinya dalam
kegiatan istinbath. Sebahagian buku usul fiqh hanya menjelaskan
kaidah-kaidah semata, namun tidak menggambarkan tentang bentuk
aplikasi kaidah tersebut dalam kegiatan istinbath. ⍝

4 Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh Dan Sejarah Perkembangannya

BAB II

USUL FIQH DAN SEJARAH


PERKEMBANGANNYA

A. Pengertian Usul Fiqh


Secara bahasa usul berarti pokok, dalil dan dasar. Sedangkan
fiqih berarti pemahaman yang mendalam tentang suatu ilmu dan
membutuhkan potensi akal. Usul fiqh secara istilah adalah ilmu
tentang metode penetapan hukum Islam dari dalil yang terperinci.
Ulama Syafi’iyah mendefinisikan usul fiqh sebagai ilmu
tentang dalil-dalil hukum syara’ secara umum, metode penetapan
hukum dari dalil dan kriteria seorang mujtahid. Sedangkan ulama
Hanafiyah, Malikiyyah dan Hanabilah mendefinisikan usul fiqh
adalah kaidah-kaidah yang digunakan untuk mengistinbatkan hukum
dari dalil tafsili (terperinci), dengan kata lain usul fiqh adalah ilmu
tentang kaidah-kaidah tersebut.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa usul fiqh
merupakan seperangkat ilmu yang membahas secara komprehensif
berkaitan dengan penetapan hukum Islam, baik berkaitan dengan
dalil, metode istinbath maupun persyaratan seorang mujtahid.
Pemahaman terhadap usul fiqh akan membawaki seseorang mampu
memahami dalil-dalil hukum syara’ yang bersifat asl (primer)
maupun furu’ (sekunder). Dalil primer hukum Islam adalah berupa
Alquran dan Hadis, sedangkan dalil sekunder adalah ijma’, qiyas,
istihsan, maslahah mursalah dan lain sebagainya.
Tidak sebatas itu, seseorang juga akan memahami pengertian
dari dalil maupun sumber hukum, serta hubungan antara dalil,
seperti hubungan Alquran dengan Hadis, hubungan ijma’ dengan
nash, hubungan qiyas dengan nash dan seterusnya. Berkaitan dengan
hubungan dalil cukup penting diketahui, guna memahami hirarkis
dalil dan dalil mana yang harus lebih diutamakan saat dalil saling
bertentangan.
Masalah yang kedua yang dibahas dalam ilmu usul fiqh
adalah tentang metode istinbath hukum, yang disebut juga dengan

Universitas Malikussaleh 5
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

adillah al-syar’iyyah. Metode istinbath hukum adalah kumpulan


kaidah-kaidah usul fiqh bersifat operasional yang dirumuskan ulama
untuk memecahkan berbagai permasalahan hukum. Dengan kaidah
tersebut, seorang mujtahid dapat memutuskan hukum secara tepat
sesuai dengan prinsip nash dan akal sehat.
Kaidah usul fiqh telah dirumuskan oleh para ulama dalam
bentuk yang beragam, yang berasal dari hasil interprestasi mereka
terhadap nash. Para ulama dengan cukup hati-hati meramu kaidah-
kaidah tersebut supaya tetap sejalan dengan prinsip nash, dan
menghindari segala bentuk kekeliruan dan pengaruh hawa nafsu.
Kaidah-kaidah usul fiqh yang telah dirumuskan oleh para
ulama antara lain adalah ijma’, qiyas, istihsan, maslahah al-mursalah,
sadd zara’i, syar’u man qablana, qaul sahabi, istishab, dan ‘urf.
Belakangan juga muncul beberapa qaidah lainnya seperti maqashid
al-syari’ah yang dirumuskan oleh al-Syathibi dan metode Insyai-
Intiqai yang dirumuskan oleh Yusuf Al-Qaradhawi. Dari waktu ke
waktu kaidah usul fiqh senantiasa bertambah berdasarkan
perkembangan masalah dan kemajuan berfikir para ulama.
Masalah yang terakhir dibahas dalam ilmu usul fiqh adalah
mengenai persyaratan seorang mujtahid. Penetapan hukum dalam
Islam tidak dapat dilakukan oleh siapa saja, akan tetapi semestinya
dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten dalam masalah
ijtihad. Penetapan hukum Islam merupakan suatu pekerjaan yang
sangat hati-hati lewat penelitian akademis yang matang. Hal itu
hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kapasitas
keilmuan yang mumpuni.
Dalam ilmu usul fiqh, mengenai mujtahid dan persyaratannya
menjadi perhatian tersendiri dan dibahas secara terperinci. Dengan
demikian kita dapat mengetahui kapasitas mujtahid dan siapa saja
yang telah sampai kepada derajat tersebut.

B. Sejarah Perkembangan Usul Fiqh


Saat Rasulullah saw masih hidup, umat Islam tidak
memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum syara’,
semua permasalahan dapat langsung ditanyakan kepada beliau atau
merujuk kepada penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an dan juga
melalui sunnahnya. Para sahabat menyaksikan dan berinteraksi
langsung dengan turunnya wahyu baik al-Quran maupun hadits, di
samping itu mereka merupakan ahli bahasa, memiliki kecerdasan
berpikir serta jiwa yang bersih sehingga sangat mudah memahami
hukum. Sepeninggal Rasulullah saw, para sahabat tidak

6 Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh Dan Sejarah Perkembangannya

membutuhkan perangkat teori (kaidah) untuk berijtihad, meskipun


prinsip-prinsip dari kaidah tersebut telah mereka kuasai dan dapat
digunakan saat memerlukannya.
Setelah meluasnya wilayah Islam hasil dari penaklukan, umat
Islam Arab banyak berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain yang
berbeda bahasa dan latar belakang sosial-budaya (peradaban), hal ini
menyebabkan melemahnya kemampuan berbahasa Arab di kalangan
sebagian umat, terutama di Irak. Di sisi lain kebutuhan akan ijtihad
begitu mendesak, karena banyaknya masalah-masalah baru yang
belum pernah terjadi dan memerlukan kejelasan hukum fiqhnya.
Dalam situasi ini, muncullah dua madrasah besar yang
mencerminkan metode dalam berijtihad. Pertama; Madrasah ahl ar-
ra’yi di Irak dengan pusatnya di Bashrah dan Kufah. Kedua; Madrasah
ahl al-hadits di Hijaz dan berpusat di Mekkah dan Madinah.
Perbedaan dua madrasah ini terletak pada kuantitas (banyaknya)
penggunaan hadits atau qiyas dalam berijtihad.
Madrasah ahl al-ra’yi lebih banyak menggunakan qiyas
(analogi) dalam berijtihad, disebabkan oleh sedikitnya jumlah hadits
yang sampai ke ulama Irak dan ketatnya seleksi hadits yang mereka
lakukan, hal ini karena banyaknya hadits-hadits palsu yang beredar
di kalangan mereka sehingga mereka tidak mudah menerima riwayat
seseorang kecuali melalui proses seleksi yang ketat. Di sisi lain
masalah baru yang mereka hadapi dan memerlukan ijtihad begitu
banyak, maka tidak ada pilihan lain kecuali mengandalkan qiyas
(analogi) dalam menetapkan hukum. Masalah-masalah baru ini
muncul akibat peradaban dan kehidupan masyarakat Irak yang
sangat kompleks dan berbeda dengan situasi di Mekkah maupun
Madinah. Dalam berijtihad mereka mengikuti metode yang
digunakan guru mereka Abdullah bin Mas’ud yang banyak
menggunakan qiyas dalam berijtihad untuk menyelesaikan berbagai
masalah.
Sedangkan madrasah ahl al-hadits lebih hati-hati
menggunakan qiyas dalam berfatwa, karena situasi yang mereka
hadapi berbeda, di mana banyaknya perbendaharaan hadits di
tangan mereka dan sedikit sekali kasus-kasus baru yang memerlukan
ijtihad. Hal ini dapat dipahami karena di tempat itu Rasulullah Saw
tinggal menyebarkan agama Islam hingga wafat, sehingga banyak
persoalan telah dijawab ketika hidup beliau. Dalam berijtihad, ulama
Madinah mengikuti metode Abdullah bin Umar dan Abdullah bin
‘Amr bin ‘Ash, yang sangat berhati-hati menggunakan logika dalam
berfatwa. Setiap pendapat hukum yang mereka kemukakan

Universitas Malikussaleh 7
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

senantiasa dikaitkan dengan nash. Perbedaan metode istinbath dari


kedua madrasah ini melahirkan perdebatan sengit, dan amat sering
terjadi pertentangan pendapat. Realitas ini menurut para ulama
waktu itu sangat perlu menyusun kaidah-kaidah istinbath yang
dirumuskan dalam bentuk perundang-undangan untuk menyatukan
dua madrasah ini.
Di antara ulama yang mempunyai perhatian terhadap hal ini
adalah Abdurrahman al-Mahdi (135-198 H) yang meminta kepada
Imam Al-Syafi’i (150-204 H) untuk menulis sebuah buku tentang
prinsip-prinsip ijtihad yang dapat digunakan sebagai pedoman. Maka
lahirlah kitab al-Risalah karya Imam al-Syafi’i sebagai kitab pertama
dalam bidang ushul fiqh. Hal ini tidak berarti bahwa sebelum
lahirnya kitab al-Risalah prinsip prinsip ushul fiqh tidak ada sama
sekali, tetapi hal itu sudah ada sejak masa sahabat dan ulama-ulama
sebelum Imam al-Syafi’i, hanya saja kaidah-kaidah tersebut belum
tersusun rapi dalam sebuah buku atau disiplin ilmu tersendiri secara
sistematis dan masih berserakan pada kitab-kitab fiqh para ‘ulama.
Imam al-Syafi’i adalah ulama pemakarsa penulisan ilmu ushul fiqh
dengan judul bukunya al-Risalah yang menjadi rujukan bagi para
ulama sesudahnya untuk mengembangkan dan menyempurnakan
ilmu ini. Beliau merupakan ilmuwan yang mumpuni yang dilahirkan
oleh dua madrasah yang berkembang waktu itu, yaitu madrasah ahl
al-hadits dan madrasah ahl al-ra’yi.
Imam al-Syafi’i dilahirkan di Ghaza, pada usia 2 tahun beliau
berangkat ke Mekkah bersama ibunya untuk belajar dan menghafal
Al-Qur’an serta ilmu fiqh dari ulama Mekkah. Sejak kecil beliau sudah
mendapat pendidikan bahasa dari perkampungan Huzail, salah satu
kabilah yang terkenal dengan kefasihan berbahasa. Pada usia 15
tahun beliau sudah diizinkan oleh Muslim bin Khalid Az-Zanjiy (salah
seorang ulama Mekkah) untuk memberi fatwa, beliau sudah
menguasai hukum syara’ dalam usia yang relatif muda dan sudah
dipercayakan sebagai mufti. Kemudian beliau pergi ke Madinah dan
berguru kepada ulama besar Madinah, yaitu Malik bin Anas (95-179
H) serta ulama-ulama lainnya lebih kurang 9 tahun, sehingga beliau
memiliki pengetahuan yang cukup dalam dibidang hadits dan fiqh
Madinah. Lalu beliau pergi ke Irak dan belajar metode fiqh Irak
kepada Muhammad bin Hasan al-Syaibani (wafat th 187 H), murid
dari Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit (80-150 H). Dari latar
belakang pendidikannya, terlihat bahwa Imam Syafi’i menguasai ilmu
dan metode yang dianut oleh kedua madrasah yang saling berbeda,
maka beliau memang orang yang tepat untuk menjadi orang pertama

8 Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh Dan Sejarah Perkembangannya

yang menulis buku dalam ilmu ushul fiqh. Selain al-Risalah, Imam
Syafi’i juga memiliki beberapa karya tulis lainnya dalam ilmu ushul,
yaitu kitab Jima’ul-ilmi, Ibthalul-istihsan, dan Ikhtilaful-hadits.
Setelah Imam al-Syafi’i, penulisan kitab ushul fiqh mulai giat
dilakukan oleh ulama-ulama yang lain, sehingga melahirkan banyak
karya tulis dalam bidang ini dengan berbagai pengembangan di
dalamnya. Berikut penulis sebutkan beberapa buah kitab ushul fiqh
yang pernah ditulis oleh para ulama dari lintas mazhab dan generasi,
antara lain adalah Kitab Khabar Al-Wahid, Itsbat Al-Qiyas, dan Ijtihad
Ar-Ra’y, ketiganya karya Isa bin Aban bin Shadaqah Al-Hanafi, An-
Nasikh Wal-Mansukh karya Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H),
Al-Ijma’, Ibthal At-Taqlid, Ibthal Al-Qiyas, dan buku lain karya Dawud
bin Ali Az-Zhahiri, Al-Mu’tamad karya Abul-Husain Muhammad bin
Ali Al-Bashri Al-Mu’taziliy Asy-Syafi’i (wafat th 436H), Al-Burhan
karya Abul Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini Al-Haramain,
Al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali Muhammad bin Muhammad, Al-
Mahshul karya Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razy, Al-Ihkam
fi Ushulil-Ahkam karya Saifuddin Ali bin Abi Ali Al-Amidi, Ushul Al-
Karkhi karya Ubaidullah bin Al-Husain Al-Karkhi, Ushul Al-Jashash
karya Abu Bakar Al-Jashash, Ushul as-Sarakhisi karya Muhammad bin
Ahmad As-Sarakhsi, Kanz Al-Wushul Ila ma’rifat Al-Ushul karya Ali
bin Muhammad Al-Bazdawi, Badi’un-Nizham karya Muzhaffaruddin
Ahmad bin Ali As-Sa’ati Al-Hanafi, al-Tahrir karya Kamaluddin
Muhammad bin Abdul Wahid, Jam’ul-jawami’ karya Abdul Wahab bin
Ali As Subki, Al-Muwafaqat karya Abu Ishaq Asy-Syathibi, Irsyadul-
fuhul Ila Tahqiq ‘Ilm Al-Ushul karya Muhammad bin Ali bin
Muhammad Asy-Syaukani dan karya-karya tulis lainnya yang tidak
disebutkan di sini.

Universitas Malikussaleh 9
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

This page is intentionally left blank

10 Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam

BAB III
USUL FIQH DAN ISTINBATH
HUKUM ISLAM

Kehidupan manusia senantiasa menghadirkan permasalahan


yang muncul dari waktu ke waktu tanpa dapat dihambat seiring
mobilasi dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Setiap
permasalahan yang muncul merupakan tantangan yang harus
dihadapi terutama oleh hukum supaya masyarakat tidak terjebak
dalam kegamangan, kegalauan karena tidak ada kepastian hukum
tentang suatu permasalahan.
Untuk menjawab setiap permasalahan yang muncul
diperlukan upaya pembentukan atau penemuan hukum, dalam
hukum Islam biasa disebut dengan istinbath atau ijtihad. Sedangkan
dalam hukum Barat disebut rechtsvinding (penemuan hukum),
tujuannya adalah untuk memberikan jawaban hukum dan
mengontrol segala kemungkinan dan permasalahan yang muncul
akibat dari perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat.
Perubahan sosial terjadi disebabkan munculnya suatu fenomena
sosial yang baru ataupun juga permasalahan lampau yang belum ada
penyelesaian hukumnya, di sinilah pembentukan dan penemuan
hukum (istinbath) dilakukan untuk memberikan jawaban hukum dan
mengontrol perubahan sosial supaya tetap sejalan dengan ketentuan
syara’.
Menurut Gillin, perubahan sosial adalah suatu variasi dan
cara-cara hidup yang telah diterima baik karena perubahan kondisi
geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi
maupun karena adanya difusi (penggabungan) ataupun penemuan-
penemuan baru dalam masyarakat. Menurut Samuel Koeng,
perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi
dalam pola-pola kehidupan manusia, modifikasi-modifikasi tersebut
terjadi karena sebab-sebab internal maupun sebab-sebab eksternal.1
Menurut Selo Soemardjan yang dikutip oleh Soerjono
Soekanto merumuskan bahwasanya perubahan sosial adalah segala
perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di

Samuel Koening, Man and Society, the Basic Teaching of Sociology, (New
1

York: Borners Van Noble Inc: 1957), Cet. 1 ,h. 279.

Universitas Malikussaleh 11
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya,


termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara
kelompok-kelompok dalam masyarakat.2
definisi di atas menunjukkan bahwa perubahan sosial adalah
perubahan cara hidup suatu masyarakat tentang sistem sosialnya,
termasuk nilai-nilai serta sikap, yang disebabkan perubahan kondisi
geografis, kebudayaan, ideologi, ataupun penemuan-penemuan baru
dalam masyarakat. Sehingga menimbulkan sikap dan pola perilaku di
antara kelompok-kelompok masyarakat.
Masyarakat dengan berbagai dinamika yang ada menuntut
adanya perubahan sosial, dan setiap perubahan sosial pada
umumnya meniscayakan adanya perubahan sistem nilai dan hukum.
Marx Weber dan Emile Durkheim menyatakan bahwa hukum
merupakan refleksi dari solidaritas yang ada dalam masyarakat.
Senada dengan itu, Arnold M. Rose mengemukakan teori umum
tentang perubahan sosial dan hubungannya dengan perubahan
hukum. Menurutnya, perubahan hukum dipengaruhi oleh tiga faktor,
yaitu: pertama, adanya komulasi progresif dari penemuan-penemuan
di bidang teknologi; kedua, adanya kontak atau konflik antar
kehidupan masyarakat; dan ketiga, adanya gerakan sosial (social
movement).3 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, seorang sarjana Islam juga
mengemukakan hal yang sama, bahwa perubahan fatwa adalah
dikarenakan perubahan zaman, tempat, keadaan, dan kebiasaan.4
Pengaruh atau unsur perubahan di atas dapat menimbulkan
perubahan-perubahan sosial yang berakhir kepada perubahan dalam
khazanah pemikiran dan sistem hukum yang ada, tanpa terkecuali
pada khazanah pemikiran dan hukum Islam. Menghadapi perubahan
sosial tersebut hukum Islam harus mampu menjawab dan
memberikan solusi hukum melalui pembaruan hukum. Pada
dasarnya pembaruan hukum Islam hanya mengangkat dan berkaitan
dengan aspek lokalitas dan temporalitas ajaran Islam yang
bersentuhan dengan perubahan sosial, tanpa mengabaikan aspek
universalitas dan keabadian hukum Islam itu sendiri. Dengan adanya
pembaruan hukum Islam maka terhindarlah kesulitan-kesulitan

2 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Cet. XII,Jakarta: Rajawali


Press: 1995), h. 337.
3 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1994), h. 96.


4 Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin

(Beirut: Dar al-Fikr, tt), hal. 14. Lihat pula, Hasbi ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum
Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 444.

12 Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam

dalam memasyarakatkan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat,


khususnya saat terjadi perubahan sosial.5
Sebagai salah satu sistem hukum yang berlaku dalam
masyarakat, hukum Islam harus menunjukkan eksistensi dan
fungsinya sebagai problem solving bagi setiap permasalahan yang
dihadapi masyarakat dan membuktikan relevansi dan
fleksibelitasnya untuk setiap tempat dan zaman (salih li kulli makan
wa zaman).6 Hukum Islam akan berperan secara nyata dan
fungsional jika istinbath konsisten dilakukan dan ditempatkan secara
proporsional dalam mengantisipasi dinamika sosial dengan berbagai
kompleksitas persoalan yang ditimbulkan.
Untuk mengawal supaya hukum Islam tetap dinamis,
responsif dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan
perubahan dapat ditempuh dengan cara menghidupkan dan
menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat Islam.
Pada posisi ini, ijtihad merupakan inner dynamic bagi lahirnya
perubahan untuk mengawal cita-cita universalitas Islam sebagai
sistem ajaran yang relevan untuk setiap tempat dan zaman.
Umat Islam menyadari sepenuhnya bahwa sumber-sumber
hukum normatif–tekstual sangatlah terbatas jumlahnya, sementara
kasus-kasus baru di bidang hukum tidak terbatas jumlahnya, dan
semakin bertambah saja dari waktu ke waktu tanpa dapat dihambat.
Ibnu Rusyd mengomentari realitas tersebut dalam kitabnya Bidayah
al-Mujtahid bahwasanya persoalan-persoalan kehidupan masyarakat
tidak terbatas jumlahnya, sementara jumlah naṣ, al-Qur’an dan al-
ḥadīs, jumlahnya terbatas. Sesuatu yang terbatas jumlahnya mustahil
dapat menghadapi sesuatu yang tidak terbatas.7
Terbatasnya jumlah naṣ meniscayakan kepada adanya
istinbath untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang tidak
secara ekplisit tersebut dalam naṣ, istinbath merupakan satu-satunya
jalan untuk mendinamisir ajaran Islam sesuai dengan tuntutan
perubahan zaman dengan berbagai kompleksitas persoalannya yang
memasuki seluruh dimensi kehidupan manusia.

Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme


5

Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 59-60.


6Murtadha Mutahhari, Inn al-Din ‘inda Allah al-Islam, (Bandung: Pustaka

Hidayah, 1996), 164; lihat juga Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi (Jakarta:
Gema Insani Press, 1998), h. 176.
7Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (Indonesia: Daar

al-Kutub al-Arabiyyah, tt), h. 2.

Universitas Malikussaleh 13
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

A. Definisi Istinbath dan Dasar Hukumnya


Kata istinbath berasal dari kata nabth, yang berarti air yang
mula-mula memancar keluar dari sumur yang digali. Maka menurut
bahasa istinbath dapat dipahami sebagai perbuatan mengeluarkan
sesuatu dari persembunyiannya.8 Setelah dipakai menjadi istilah
dalam studi hukum Islam, arti istinbath menjadi upaya atau usaha
untuk mengeluarkan hukum dari sumbernya. Makna istilah ini
hampir sama dengan ijtihad. Adapun fokus atau objek
istinbath adalah teks suci ayat-ayat al-Qur`an dan ḥadīs-ḥadīs Nabi
Saw. Karena itu, pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum
dari kedua sumber tersebut disebut istinbath.
Abdul Wahab Khalaf mengartikan istinbath adalah suatu
upaya berpikir serius secara optimal dan maksimal dalam menggali
hukum Islam dari sumbernya untuk memperoleh kepastian jawaban
terhadap permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat.9
Istinbath merupakan upaya untuk mengantisipasi berbagai
tantangan dan permasalahan hukum baru yang senantiasa muncul
sebagai akibat dari evolusi, mobilisasi dan perubahan perilaku dan
realitas kehidupan masyarakat. Manusia sebagai khalifah Tuhan di
muka bumi dituntut untuk senantiasa berpikir, dan menggali
berbagai kemungkinan hukum bagi setiap permasalahan yang
muncul, tetapi berpikir di sini bukan berarti yang bebas begitu saja
tanpa kontrol dan batas. Dalam berfikir manusia harus menjaga
batas-batas yang telah digariskan syara’, yakni selalu berlandaskan
al-Qur’an dan ḥadis.
Istinbath memiliki landasan hukum yang jelas, sehingga
legalitasnya tidak perlu diragukan. Adapun dalil mengenai istinbath
antara lain adalah firman Allah Swt QS al-Nisa ayat 83 yang berbunyi:

‫ﻭﻟﻮﺭﺩﻭﻩُ َِﺇﻟﻰ‬
ْ ‫ َ َ ْ َ ﱡ‬,‫ﺑﻪ‬ ِ ِ ‫ﻋﻮﺍ‬ ْ ُ َ‫ﺃﻭﺍﻟﺨﻮﻑ َﺃﺫ‬
ِ ْ َ ْ ِ َ ‫ﺍﻷﻣﻦ‬ ِ ْ َ ْ ‫ﻣﻦ‬ ٌ ْ َ ‫ﺟﺎءﻫﻢ‬
َ ِ ‫ﺃﻣﺮ‬ ْ ُ َ َ ‫ﻭﺇﺫﺍ‬ ََِ
َ‫ﻭﻟﻮﻻ‬ْ َ َ ,‫ﻣﻨﻬﻢ‬
ْ ُ ْ ِ ُ‫ﻳﺴﺘﻨﺒﻄﻮﻧَﻪ‬ َ ْ ‫ﻟﻌﻠﻤﻪُ ﱠ‬
ْ ُ ِ ْ َ ْ َ ‫ﺍﻟﺬﻳﻦ‬ َ ِ َ َ ‫ﻣﻨﻬﻢ‬ ِ ْ َ ْ ‫ﺃﻭﻟﻰ‬
ْ ُ ْ ِ ‫ﺍﻷﻣﺮ‬ ِ ْ ُ ‫ﻭﺇﻟﻰ‬ َ ِ َ ‫ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ‬
ِ ُْ ‫ﱠ‬
ْ ِ َ ‫ﺍﻟﺸﻴﻄﻦ ِﺇﻻﱠ‬
.ً‫ﻗﻠﻴﻼ‬ َ َ ْ ‫ﻻﺗﺒﻌﺘﻢ ﱠ‬ْ ُ ْ َ ‫ﻭﺭﺣﻤﺘﻪُ َ ﱠ‬ ْ ُ ْ َ َ ِ‫ﻓﻀﻞ ﷲ‬
ُ َ ْ َ َ ‫ﻋﻠﻴﻜﻢ‬ ُ ْ َ
Artinya:

Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan
8

Anggota IKAPI, 1996), h. 25


9Abd al-Wahhab al-Khalaf, Mashadir al-Tashri‘ al-Islam fi ma la Naṣ fih

(Kuwait: Dar al-Qalam, 1972), h. 7.

14 Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan


ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau
tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah
kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).
(QS. Al-Nisa: 83)
Ulama tafsir menjelaskan bahwasanya ayat ini
membicarakan tentang pengambilan kesimpulan dari suatu berita
tentang keamanan dan ketakutan yang disampaikan/diadukan
kepada rasul dan ulil amri (pemerintah), lalu keduanya menetapkan
(ber-istinbath) mengenai kesimpulan atau keputusan dari berita itu.
Ibnu Zaid dan Muqatil meriwayatkan bahwa ulil amri adalah
panglima perang, sedangkan Al-Syaukani meriwayatkan bahwa ulil
amri artinya para ulama dan orang-orang yang memiliki wawasan
yang luas, yang kepada mereka urusan kaum muslimin dikembalikan
(ditanyakan).
Dalam ayat di atas jelas tersebut kata “yastanbithu” dalam
bentuk mudhari’ dari kata masdar “istinbath” yang artinya menggali
dan menyimpulkan suatu kesimpulan atau jawaban atas suatu berita
yang disampaikan. Ini menunjukkan bahwa makna dari istinbath
adalah upaya sungguh-sungguh dari orang yang mempunyai
kapasitas keilmuan yang mapan dalam menyimpulkan atau
menetapkan suatu kesimpulan dan ketentuan mengenai suatu
permasalahan yang muncul.
Dalam ayat yang lain Allah Swt juga berfirman berkenaan
dengan anjuran istinbath yaitu QS al-Syura ayat 38 yang berbunyi:

ْ ُ ‫ﺷﻮﺭﻯ َ ْﺑﻴﻨ‬
‫َﻬﻢ َ ِ ﱠ‬
‫ﻭﻣﻤﺎ‬ ْ ُ ُ ْ َ َ َ ‫ﺍﻟﺼﻼﺓ‬
َ ْ ُ ‫ﻭﺃﻣﺮﻫﻢ‬ َ ‫ﱠ‬ ْ ُ َ َ َ ‫ﻟﺮﺑﻬﻢ‬
‫ﻭﺃﻗﺎﻣﻮ‬ َ ِْ‫َ ﱠ‬
ْ ُ َ َ ْ ‫ﻭﺍﻟﺬﻳﻦ‬
ْ ِ ِّ َ ِ ‫ﺍﺳﺘﺠﺎﺑﻮﺍ‬
َ ْ ُ ِ ْ ُ ‫َﺎﻫﻢ‬
.‫ﻳﻨﻔﻘﻮﻥ‬ َْ َ
ْ ُ ‫ﺭﺯﻗﻨ‬
Artinya:
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
(QS. Al-Syura: 38)
Ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang telah menerima
seruan Allah untuk mengesakan-Nya, serta mengakui keesaan-Nya,
tidak menyembah kepada selain-Nya, mendirikan shalat wajib ketika

Universitas Malikussaleh 15
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

tiba waktunya, dan ketika menghadapi suatu persoalan, mereka


menyelesaikannya dengan jalan musyawarah.10 Ayat ini
menerangkan tentang kedudukan syura yaitu musyawarah sebagai
mekanisme untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul
dikalangan umat Islam. dengan musyawarah ini suatu permasalahan
dipecahkan bersama-sama dengan saling menawarkan opsi terbaik
untuk persoalan tersebut, lalu memutuskan bersama keputusan yang
tepat.
Yusuf al-Qaradhawi mengartikan kata syura yaitu mencari
kebenaran terhadap setiap persoalan yang muncul sesuai dengan
dalil syara’, baik permasalahan tersebut dijelaskan naṣ secara
langsung atau tidak langsung. Khususnya mengenai permasalahan
yang tidak memperoleh penjelasan memadai dari naṣ, menjadi
tempat ijtihad atau istinbath dari bagi para mujtahid, dan mereka
akan saling berbeda pendapat dalam hal ini tergantung sudut
pandang masing-masing.11
Selain al-Quran juga terdapat beberapa ḥadīs yang berkenaan
dengan istinbath, salah satunya yang paling populer adalah ḥadīs
yang berkenaan dengan dialog Rasulullah dengan sahabat Muadz bin
Jabal ketika diutus menjadi Gubernur Yaman. Rasulullah bertanya
kepadanya: Dengan apa kamu nanti akan memutuskan hukum?,
Muadz menjawab: Dengan kitabullah. Rasulullah bertanya lagi: Jika
kamu tidak menemukan di dalamnya (kitabullah)?, Muadz menjawab:
Dengan Sunnah Rasulullah Saw. Rasulullah Saw bertanya lagi: Jika
kamu tidak menemukan di dalamnya (sunnah)? Muadz menjawab:
Aku akan berijtihad. Lalu Rasulullah menepuk bahu Muadz seraya
berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kemampuan
terhadap utusan rasul-Nya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh
Allah dan rasul-Nya.12
Hadīs ini telah umum diketahui dan telah diterima oleh umat
Islam sebagai dalil istinbath dan juga telah diperkuat oleh Ibnu Abdul
Barr, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Az-Zhahabi, Ibnu Katsir dan
lainnya. Al-Syaukani berkata: ḥadīs ini secara umum dianggap Hasan
oleh para ulama. Dengan ḥadīs ini para ulama memahami
bahwasanya ijtihad merupakan suatu yang dibolehkan, ketika

10 Al-Thabari, Tafsir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wili Ay al-Qur`an,


Jilid. 10, (Kairo: Markaz al-Buhus wa al-Dirasah al-‘Arabiyah wa al-Islamiyah,
2001), Cet. I, h. 522.
11 Yusuf al-Qaradhawi, Al Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyyah Ma’a

Nadharatin al Tahliliyatin fi al Ijtihad al Mu’ashir, (Kuwait: Dar al-Kalam, tt), h. 77.


12 Ibid, ...h. 77.

16 Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam

menghadapi suatu permasalahan yang tidak mendapatkan


penjelasan yang memadai dari naṣ. Setiap permasalahan harus
dicarikan solusinya, pertama dari al-Qur`an, kemudian Sunnah dan
terakhir yaitu ijtihad/istinbath.
Kebolehan dan anjuran mengenai istinbath juga dilandasi
oleh ijma’ ulama, di mana semua ulama dari semua mazhab
mengakui keberadaan istinbath dan harus senantiasa dilakukan.
Rasio menghendaki bahwa istinbath mesti dilakukan, karena dalil
syara’ menerima untuk berbagai penafsiran, untuk itu diperlukan
istinbath untuk menentukan yang mana penafsiran yang paling kuat
dan juga sebaliknya. Demikian pula permasalahan yang tidak
terdapat naṣ, juga tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa melakukan
istinbath bagaimana ketentuan hukumnya, ini tentu saja dengan
menggunakan suatu metode istinbath hukum yang berkembang.
Syariat Islam mengatur semua perbuatan manusia dengan ketentuan
hukum masing-masing, namun hal itu dapat ditemukan dengan jalan
istinbath.13
Jadi legalitas istinbath tidak diragukan lagi, karena memiliki
landasan hukum yang jelas berupa naṣ, al-Quran dan ḥadis maupun
logika, istinbath merupakan suatu upaya yang dapat digunakan oleh
para ulama untuk menggali dan menemukan hukum Islam dari
sumbernya yaitu al-Quran dan Sunnah, dan setiap permasalahan
yang tidak diatur di dalam keduanya. Melalui istinbath para ulama
mampu menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang
muncul akibat dari perubahan sosial masyarakat.
Istinbath dan tuntutan perubahan sosial terdapat hubungan
atau interaksi yang tidak bisa dipisahkan, sebagaimana dijelaskan
sebelumnya bahwa istinbath baik langsung maupun tidak langsung
dipengaruhi dan berkaitan dengan perubahan sosial yang
diakibatkan oleh perkembangan masyarakat dan kemajuan ilmu
pengetahuan serta teknologi. Perubahan-perubahan sosial tersebut
harus senantiasa diberi arah oleh hukum, sehingga realitas
masyarakat dan perubahan sosial tersebut mampu mewujudkan atau
menjadi suatu yang maslahat bagi umat manusia.
Perubahan masyarakat atau perubahan sosial terbagi dua
macam, ada yang mempunyai efek menguntungkan dan membawa
pengaruh positif bagi masyarakat, artinya membawa kemajuan dan
perkembangan (progress), tetapi ada juga perubahan sosial yang
mempunyai akibat merugikan dan membawa pengaruh negatif bagi

13 Ibid, h. 78.

Universitas Malikussaleh 17
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

masyarakat, artinya membawa kemunduran dan kepayahan


(regress).14 Banyak perubahan sosial yang muncul, lalu menjadikan
masyarakat tenggelam dan terjebak dalam persoalan-persoalan yang
dihadapinya dan tanpa dapat mengambil suatu sikap yang tepat
terhadap keadaan yang baru itu. Padahal seharusnya masyarakat
mampu mengendalikannya dengan memberikan ketentuan hukum
yang pasti buatnya, atau menjadikan perubahan tersebut sebagai
wujud kemaslahatan bagi kehidupan mereka.
Perkembangan dan perubahan masyarakat dari waktu ke
waktu senantiasa terjadi dan menimbulkan permasalahan baru,
perubahan tersebut pada dasarnya merupakan upaya masyarakat
dalam mengembangkan diri dan lingkungan melalui ilmu
pengetahuan dan teknologi. Seharusnya masyarakat mampu
mengimbangi perubahan tersebut dengan suatu ketentuan hukum
sehingga tidak menimbulkan kegamangan dan kekosongan hukum.
Dalam kajian sosiologi hukum dalam menghadapi realitas di
atas, hukum dituntut untuk dapat memainkan peranan ganda yang
sangat penting. Pertama, hukum dapat dijadikan sebagai alat kontrol
sosial (social control) terhadap perubahan-perubahan yang terjadi
dalam kehidupan manusia. Kedua, hukum dapat dijadikan sebagai
alat rekayasa sosial (social enginering), dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan umat manusia sebagai tujuan hakiki hukum itu
sendiri.15
Tujuan dan fungsi hukum yang demikian, terdapat pada
semua sistem hukum yang berlaku di dunia, tanpa terkecuali hukum
Islam. Bahkan hukum Islam yang notabenenya berdasarkan kepada
wahyu bukan akal belaka melalui istinbath harus mampu
menampakkan perbedaan dan keistimewaan tersendiri
dibandingkan dengan sistem hukum yang lainnya Sehingga tidak
16

menutup kemungkinan hukum Islam itu akan dijadikan sebagai


pertimbangan dan rujukan dalam memecahkan masalah dan
menetapkan hukum atas suatu masalah oleh masyarakat dunia, tidak
hanya oleh mereka yang beragama Islam saja.
Sebagai suatu sistem hukum yang berdasarkan wahyu,
hukum Islam mempunyai tujuan yang jelas, yaitu mewujudkan

14 Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi


Tantangan Zaman, (Jakarta: Bangun Prakarya, 1986), h. 19.
15 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2001), h. 99-107.


16 J.N.D. Anderson, Islamic Law in The Modern World, (New York: New

York University Press, 1959), h. 116.

18 Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam

kemaslahatan hidup manusia di dunia maupun di akhirat, melalui


harmonisasi hubungan manusia dengan objek di luar mereka secara
vertikal (hablum min Allah) dan horizontal (hablum min al-nass).17
Untuk terwujudnya harmonisasi hubungan-hubungan tersebut di
atas, Allah Swt memberikan pedoman berupa aturan-aturan hukum
yang mengatur hubungan manusia secara vertikal dalam bentuk
aturan-aturan dalam bentuk akidah dan ibadah melalui naṣ yang
relatif rinci, memiliki daya ikat dan validitas yang kuat bersifat qath‘i
(pasti).18 Dalam menghadapi permasalahan yang qath’i ini manusia
tidak diperbolehkan melakukan perubahan-perubahan dan
pengembangan serta interpretasi lain selain yang dimaksud oleh naṣ
syara’. Dalam hal ini adalah bidang akidah, ibadah wajib (mahdah)
serta bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial
kemasyarakatan yang telah diatur secara rinci oleh naṣ. Dalam
bidang-bidang ini tidak boleh ada campur tangan manusia, yang
dengan sendirinya bidang-bidang tersebut bukanlah merupakan
lapangan istinbath.
Lain halnya permasalahan mu’amalah atau sosial
kemasyarakatan dalam arti yang lebih luas, aturan-aturan hukum
mengenai hal ini dinyatakan oleh Allah dalam bentuk garis-garis
besarnya saja (global) dan bersifat zanni (dugaan). Dari garis-garis
besar tersebut, manusia dengan potensi akal yang dianugerahkan
Allah kepadanya, diberi kebebasan atau keleluasaan untuk mencari
alternatif-alternatif pemecahan terhadap permasalahan-
permasalahan kehidupan yang dihadapinya selama tidak
bertentangan dengan prinsip dan jiwa Islam itu sendiri.19
Tujuan diberikan kebebasan kepada manusia dalam mencari
alternatif pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan
kehidupan sosial kemasyarakatan adalah untuk merealisasikan
kemaslahatan manusia itu sendiri, karena kemaslahatan dan
kebutuhan manusia tidaklah tetap, melainkan senantiasa mengalami

17Muhammad Muslehuddin, Islamic Jurisprudence and The Rule of


Necessity and Need, (Islamabad: Islamic Research Institute, International Islamic
University, 2011), h. 140.
18 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid al-Shari‘ah menurut al-Shatibi,

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 2.


19 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana

Ilmu, 1997), 42.

Universitas Malikussaleh 19
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

perubahan setiap saat, sehingga manusia dapat mencari alternatif


yang terbaik buat dirinya.20
Pengaturan sebagian besar masalah sosial kemasyarakatan
dalam kehidupan manusia melalui naṣ-naṣ dalam bentuk yang global
saja, maka masalah sosial kemasyarakatan macam ini menjadi objek
dan lapangan istinbath bagi manusia.21 Dalam bidang ini terlihat
bagaimana prinsip dan dinamika hukum Islam dalam mengantisipasi
dan mengatasi perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam
masyarakat dalam berbagai bidang, ini bukan berarti bahwa masalah
sosial kemasyarakatan (mu’amalah) tidak mengandung dimensi
ibadah sama sekali. Akan tetapi, pembagian tersebut lebih ditujukan
untuk memberikan penekanan terhadap masalah-masalah yang
menerima perubahan dan pengembangan dengan berbagai metode
istinbath dan pertimbangan yang diterapkan.22
Jiwa dan prinsip hukum Islam bersifat konstan, permanen,
dan stabil, tidak berubah sepanjang masa seiring dengan kemajuan
peradaban manusia yaitu menerima dan terbuka untuk pembaruan
dan perubahan, mengingat peristiwa hukum, teknis, dan cabang-
cabangnya mengalami perubahan setiap saat, berkembang sejalan
dengan perkembangan zaman. Sehingga dengan tetap teguhnya jiwa
dan prinsip hukum, dibarengi dengan terbuka lebarnya perubahan
dan perkembangan cabang-cabangnya, terjaminlah modernisasi dan
kemajuan hukum Islam secara leluasa, dengan tetap dilandasi oleh
prinsip, norma hukum yang ketat dan kuat. Dengan adanya
perubahan dan perkembangan masyarakat, cabang-cabang hukum
Islam di bidang sosial kemasyarakatan semakin bertambah materi
hukumnya, semakin banyak perbendaharaannya dan semakin
sempurna pembahasannya.23
Jadi obyek dan ranah istinbath adalah segala sesuatu yang
tidak diatur secara tegas dalam naṣ al-Qur’an dan Sunnah serta
masalah-masalah yang sama sekali tidak mempunyai landasan naṣ.
Pada permasalahan tersebut oleh para ulama dapat menerapkan

20 Musthafa Muhammad az-Zarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial


(Studi Komparatif Delapan Mazhab) Terj. Ade Dedi Rohayana (Jakarta: Rineka Cipta,
2000), hal. 45.
21Abdul Wahab Khallaf, Masadir, …h. 7-9. Lihat juga Rachmat Syafe’i,

Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 107.


22Khutbuddin Aibak, Penalaran Ta’lalily Dalam Hukum Islam; Telaah Corak

Penalaran Hukum Islam dalam Upaya Penerapan Maqashid Syari’ah, (STAIN


Tulungagung: Jurnal Islamica, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2006), h. 58.
23 Ibid, h. 59.

20 Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam

berbagai metode istinbath untuk menggali kemungkinan hukum yang


dapat diterapkan, dan merekayasa sedemikian rupa agar perubahan
masyarakat dapat menjadi suatu yang maslahat buat mereka bukan
sebaliknya menjadi permasalahan yang mengganjal keharmonisan
hidup mereka. Metode-metode yang diterapkan ulama dalam
menggali hukum tentu banyak sekali dan metode tersebut juga
terbuka peluang untuk berubah dan bertambah, di antaranya adalah
qiyas, istislah, istishab, ‘urf dan lain-lain.24
Metode-metode tersebut akan bekerja pada setiap
permasalahan yang tidak ada penjelasan dalam al-Qur’an dan al-
ḥadīs secara jelas. Menurut Amir Syarifudin permasalahan yang tidak
diatur naṣ dapat dilihat dari dua segi, yaitu:25
a. Al-Qur’an dan al-ḥadīs secara jelas dan langsung tidak
menetapkannya, tidak secara keseluruhan dan tidak pula
sebagiannya. Contoh pada kasus ini adalah gerakan kodifikasi
al-Qur’an dalam satu mushaf.
b. Secara jelas, al-Qur’an dan al-ḥadīs memang tidak
menyinggung hukum suatu kasus, namun secara tidak
langsung atau bagiannya ada penjelasannya. Contoh hukum
memukul orang tua tidak ada aturan secara eksplisit dalam
al-Qur’an, tetapi ada larangan mengucapkan kata-kata kasar
(uff) terhadap kedua orang tua. Hukum memindahkan organ
tubuh orang mati kepada orang yang masih hidup
(tranplantasi) tidak ada ketentuan naṣ-nya yang secara
spesifik merujuk pada hal itu, namun ada larangan merusak
jasad orang mati. Karena tidak jelas dan tidak langsungnya
penjelasan al-Qur’an dan al-ḥadīs, maka diperlukan upaya
istinbath.
Menurut Muhammad Musa al-Tiwana, objek istinbath dibagi
menjadi tiga macam, yaitu: pertama, istinbath dalam rangka memberi
penjelasan dan penafsiran terhadap naṣ; kedua, istinbath dalam
melakukan qiyas terhadap hukum-hukum yang telah ada dan telah
disepakati; ketiga, istinbath dalam arti penggunaan ra’yu. Pandangan
al-Tiwana tersebut mengacu pada dua pemeliharaan objek istinbath
yang luas. Pertama, adalah persoalan-persoalan yang sudah ada
ketentuan naṣ-nya, namun masih bersifat dzanny (dugaan). Terhadap
objek yang seperti ini, cara yang ditempuh adalah penelitian dalam

Saiful Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr.
24

Harun Nasution, (Bandung: Mizan, 1998), h. 196.


25Amir Syarifudin, Ilmu Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Logos, 1999), h. 287.

Universitas Malikussaleh 21
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

menentukan makna yang umum atau yang khusus, yang mutlak dan
makna yang dibatasi (al-muqayyad). Kedua, persoalan-persoalan
yang sama sekali belum ada naṣ-nya, pada permasalahan semacam
ini, pemecahannya dilakukan melalui istinbath dengan menggunakan
qiyas, istihsan, istihlah dan dalil-dalil hukum lainnya.
Objek istinbath turut mempengaruhi pendekatan dan
penalaran yang digunakan, dalam melihat suatu metode istinbath dan
apa yang harus dikembangkan dan kemungkinan peranan maqasid
al-shari‘ah yang lebih besar dalam metode tersebut, penelaahan yang
dilakukan harus bertitik tolak dari obyek istinbath itu sendiri.
Penelaahan terhadap objek dan metode istinbath ditemukan adanya
dua macam corak penalaran yang perlu dikembangkan dalam upaya
penerapan maqasid al-syari‘ah yaitu corak penalaran ta‘lili, dan corak
penalaran istislahi.26
Kata ta’lili berasal dari kata ‘illat yang berarti sesuatu yang
menjadi sebab hukum atau suatu ketetapan hukum yang berdasar
pada maksud syar’i yang memiliki ‘illat tertentu sebagai sesuatu yang
menjadi sebab atau yang melatarbelakanginya.27 Adapun kata
istislahi dalam pandangan sebagian ahli ushul diistilahkan dengan
maslahat dan pada pandangan lain mengistilahkan dengan maṣlahah
mursalah yang berarti menetapkan suatu hukum bagi masalah yang
tidak ada naṣ-nya dan tidak ada ijma’ ulama yang berdasarkan
kemaslahatan murni atau maslahat yang tidak dijelaskan syariat
serta tidak dibatalkan oleh syariat.28
Kedua model penalaran atau pendekatan di atas bertumpu
pada penggunaan al-ra’yu, sehingga terdapat tiga karakter yang
melekat pada keduanya. Pertama, pendekatan ini mencoba
memahami ketentuan naṣ tanpa terikat secara kaku dengan bunyi
teks dan mengalihkan perhatiannya pada upaya mencari semangat
moral yang terkandung dalam naṣ. Kedua, upaya mengganti
pendekatan ta’abudi kepada pendekatan ta’aquli. Ketiga, upaya
merumuskan ‘illat hukum dan pesan moral naṣ dengan melihat
setting sosial dan konteks zamannya.
Dalam kaitan dengan dinamika masyarakat yang selalu
berubah diiringi dengan munculnya masalah yang kompleks, maka
dua corak/pendekatan penalaran di atas tampak lebih responsif dan

26 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid al-Shari‘ah menurut al-Shatibi,…h.


132-133.
Abd al-Wahhab Khallaf, Mashadir al-Tasyri al-Islami fî Ma La Nas Fih,
27

(Kuwait: Dar al-Qalam li al-Nasyr wa al-Tawzi, 1993), Cet. VI, h. 49.


28 Ibid, h. 50.

22 Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam

solutif dalam menjawab masalah hukum. Tawaran teoritik dua


pendekatan ini adalah kerja ilmiah melalui deduksi analogis dengan
dasar pijakannya kemaslahatan.
Islam meyakini perubahan sebagai suatu realitas yang tidak
bisa diingkari. Islam juga memberi posisi yang paling tepat demi
memudahkan semua hal untuk berubah secara shahih dan aman.
Agama berjalan bersama beriringan dengan lajunya kehidupan, tugas
agama adalah mengawal perubahan secara benar untuk
kemaslahatan hidup manusia.29
Di sinilah sesungguhnya tugas seorang cendekiawan muslim
untuk merumuskan pendekatan dan metodologi yang tepat sesuai
dengan konteks yang melingkupinya agar agama menjadi fungsional
dan membumi. Dalam hukum Islam, perubahan sosial budaya dan
letak geografis menjadi variabel penting yang ikut mempengaruhi
adanya perubahan hukum. Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyatakan
bahwa perubahan fatwa adalah dikarenakan perubahan zaman,
tempat, keadaan, dan kebiasaan.30 Dalam kaidah fiqh lainnya
disebutkan “hukum itu berputar bersama ‘illat-nya (alasan hukum)
dalam mewujudkan dan meniadakan hukum.31
Salah satu bukti konkrit betapa faktor lingkungan sosial
budaya berpengaruh terhadap hukum Islam adalah munculnya dua
pendapat al-Syafi’i yang dikenal dengan qaul qadim dan qaul jadid.
Pendapat lama (qaul qadim) adalah pendapat hukum ketika beliau
berada di Mesir.32 Perbedaan pendapat hukum dalam masalah yang
sama dari seorang al-Syafi’i jelas disebabkan faktor struktur sosial,
budaya, letak geografis yang berada antara daerah Iraq (Baghdad)
dan Mesir.
Dalam konteks historis, pemikiran bidang hukum Islam
sesungguhnya memperlihatkan kekuatan yang dinamis dan kreatif
dalam mengantisipasi setiap perubahan dan persoalan-persoalan
baru. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah madzhab hukum

29 Abdul Halim Uways, Fiqh Statis Dinamis, (Bandung: Pustaka Hidayah,


1998), h. 221.
30 Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin

(Beirut: Dar al-Fikr, tt), hal. 14. Lihat pula, Hasbi ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum
Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 444.
31 Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum

Fiqh Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1996), h. 550.


32M. Atho’ Muzdhar, Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan

Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 107. Lihat pula, A. Hasan, Pintu
Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: al-Ma’arif, 1994).

Universitas Malikussaleh 23
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

yang memiliki corak sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang


sisio-kultural dan politik di mana madzhab itu tumbuh dan
berkembang. Warisan monumental yang sampai sekarang masih
memperlihatkan akurasi dan relevansinya adalah kerangka
metodologi penggalian hukum yang mereka ciptakan. Dengan
perangkat metodologi tersebut, segala permasalahan bisa didekati
dan dicari legalitas hukumnya dengan metode qiyas, maṣlahah al-
mursalah, istihsan, istishab, dan ‘urf.33 Dalam posisi demikian, hukum
Islam akan berfungsi sebagai rekayasa sosial (social engineering)
untuk melakukan perubahan dalam masyarakat.
Untuk menempatkan hukum pada posisi yang betul-betul
fungsional dalam menghadapi setiap perubahan sosial, diperlukan
terobosan metodologis disertai kemampuan membaca fenomena
zaman. Banyak perangkat ilmu bantu yang bisa menopang
perumusan hukum menjadi aplikatif, seperti ilmu-ilmu tafsir, tarikh,
dan ilmu tata bahasa Arab. Diharapkan melalui pendekatan
konvergensi antara ilmu ushul fiqh dan ilmu-ilmu lainnya akan dapat
mengurangi formalisme hukum Islam.
Dalam konteks ini, pemaknaan hukum Islam tidak harus
dilihat dari perspektif nilai saja, tetapi perlu dicari keterkaitan secara
organik dan struktural dalam kehidupan sosial. Di sinilah letak
pentingnya fenomena transformasi pemikiran hukum Islam, tidak
hanya dilihat sebagai fenomena keagamaan saja. Transformasi
pemikiran hukum Islam di Indonesia merupakan suatu pergumulan
kreatif antara Islam dengan masyarakat Indonesia, antara nilai-nilai
Islam dengan kenyataan struktural masyarakat. Oleh karena itu,
maka program pembaruan pemikiran hukum Islam adalah suatu
bagian yang tidak terpisahkan dari proses kehidupan masyarakat
yang selalu berubah.
Akan tetapi, untuk melakukan upaya pembaruan pemikiran hukum Islam
(fiqh) diperlukan beberapa syarat: Pertama, adanya tingkat pendidikan yang tinggi dan
keterbukaan dari masyarakat muslim; Kedua, hukum Islam (fiqh) harus dipandang
sebagai variasi suatu keragaman yang bersifat partikular yang selalu dibatasi oleh
dimensi ruang dan waktu; Ketiga, memahami faktor sosio–kultural dan setting politik
yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk hukum agar dapat memahami
partikularisme dari pemikiran hukum tersebut; Keempat, mengorientasikan istinbath
hukum dari aspek qaulan (materi hukum) kepada aspek manhajan (kerangka
metodologis).⍝

Syamsul Arifin, dkk, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan,


33

(Yogyakarta: Sipress, 1996), h. 72-73.

24 Dr. Munadi, MA
Corak Istinbath Hukum Ulama

BAB IV

CORAK ISTINBATH
HUKUM ULAMA

Hukum Islam sangat dinamis yang selalu terbuka bagi


pembaruan yang ditempuh melalui berbagai metode istinbath. Para
ulama dalam menghadapi berbagai persoalan hukum baru di mana
naṣ tidak mengaturnya secara ekplisit, maka upaya mereka adalah
menggali atau menempuh berbagai langkah penemuan hukum yang
disebut dengan metode istinbath, antara lain melalui metode
maṣlahah-mursalah atau istislah yang dikembangkan Imam Malik,
istihsan oleh Imam Hanafi, qiyas oleh Imam Syafi’i, istishab oleh Imam
Ahmad bin Hambal, maqashid al-syari’ah oleh al-Syatibi dan lain
sebagainya.
Di antara metode-metode yang telah dikemukakan di atas,
metode qiyas mendapat tempat di hati sebagian besar ulama dan
umat Islam karena dianggap lebih dekat kepada naṣ tertentu.
Mayoritas ulama menerima qiyas sebagai sumber hukum Islam yang
keempat setelah al-Qur’an, Sunnah dan ijma’ para sahabat.34
Sedangkan metode istinbath hukum yang lain seperti maṣlahah-
mursalah atau istislah yang diperkenalkan oleh Imam Malik statusnya
diperdebatkan, bahkan mayoritas penganut mazhab Syafi’i menolak
metode ini.35
Seiiring perjalanan waktu, metode istinbath hukum Islam
terus saja berkembang dan bertambah, sekalipun metode itu tidak
terasing dan terlepas dari metode yang telah ada. Beberapa tokoh
dengan pandangan dan pemikiran tersendiri dalam melakukan
pembaruan hukum Islam menawarkan metode-metode baru,
misalnya Yusuf al-Qaradhawi seorang ulama terkemuka masa kini
menegaskan bahwa pembaruan hukum Islam tidak boleh berhenti
dan harus tetap dilakukan dengan berbagai metode dan pendekatan,
dalam batas tertentu ada sebahagian metode perlu disempurnakan,

34Abdul Wahaf Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum


Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), h. 1.
35Ahmad Munif Suratmaputra, Fisafat Hukum Islam al-Ghazali; Maṣlahah-

Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka


Firdaus, 2002), h. 184.

Universitas Malikussaleh 25
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

bahkan dibuat baru berdasarkan perkembangan yang paling


mutakhir.
Beliau mengatakan bahwa istinbath senantiasa diperlukan,
bahkan untuk zaman sekarang istinbath lebih-lebih lagi diperlukan
mengingat perkembangan dan perubahan sosial yang terjadi dalam
masyarakat yang semakin tidak terkendalikan dan melahirkan
permasalahan yang semakin komplek saja. Adapun model istinbath
pada masa sekarang ini mesti dilakukan melalui istinbath kelompok
(jama’i) yang melibatkan para pakar dimasing-masing bidang.36
Beliau membantah anggapan dan pernyataan dari sebahagian
orang yang mengatakan bahwa peluang ijtihad pada masa sekarang
telah tertutup, sementara permasalahan hukum muncul silih
berganti tanpa henti. Dalam kondisi seperti ini sangat tidak logis jika
peluang untuk ijtihad ditutup, sama dengan membiarkan manusia
terperangkap dalam kegamangan dan ketidakpastian hukum.
Sedangkan syariat Islam menegaskan Allah Swt selalu membuka
peluang dan akses kepada kebutuhan manusia yang bersifat positif
yang dapat menimbulkan kepayahan dan kesukaran bagi manusia
bila saja itu tidak ada. Dengan demikian jika istinbath masih
dibutuhkan tentu saja dibolehkan dan senantiasa terbuka peluang
untuk dilakukan.
Istinbath hukumnya fardhu kifayah atas umat Islam
seluruhnya, sama halnya mengurus kepentingan agama dan dunia
yang lainnya. Jika ada sebahagian dari umat ini yang melakukan,
maka terbebaslah yang lain. Sebaliknya jika tidak ada yang
melakukan, maka semua umat Islam menanggung dosa, terutama
para penguasa, karena mereka bertanggungjawab untuk
menyelesaikan berbagai persoalan umat termasuk menjamin
kepastian hukum dalam masyarakat. Ulama mazhab Hanbali
mengemukakan bahwa di setiap zaman tidak boleh kosong dari
mujtahid yang menjadi tempat rujukan masyarakat untuk bertanya
tentang hukum bagi berbagai permasalahan baru yang muncul.
Mujtahid tersebut harus memberikan fatwa terhadap permasalahan
tersebut berdasarkan hasil istinbath-nya dari naṣ yang tafsiliy.37

Adapun metode yang ditawarkan Yusuf al-Qaradhawi untuk


menjawab berbagai persoalan yang muncul sekarang ini adalah:

36 Yusuf al-Qaradhawi, Al Ijtihad fi al-Syari’ah ..., h. 94.


37 Ibid. h. 114.

26 Dr. Munadi, MA
Corak Istinbath Hukum Ulama

a. Metode al-Intiqa’i
Al-Intiqa’i berarti memilih satu dari beberapa pendapat
terkuat di antara pendapat-pendapat yang ada dalam berbagai
literatur fiqh, yang berisi fatwa atau keputusan hukum. Istinbath
yang dimaksud adalah mengadakan studi komparatif (perbandingan)
di antara pendapat-pendapat para ulama, meneliti kembali dalil-dalil
naṣ atau dalil-dalil ijtihad yang dijadikan sandaran pendapat
tersebut, yang pada akhirnya bisa memilih pendapat yang dinilai
paling kuat dalil dan hujjahnya sesuai dengan alat pengukur yang
digunakan untuk mengukurnya.
Untuk mengukur pendapat yang kuat dapat ditempuh dengan
cara mengamati dan mengoreksi kelengkapan indikator pendapat
kuat padanya. Yusuf al-Qaradhawi menetapkan beberapa indikator
pendapat yang kuat, yaitu:
a) Hendaknya pendapat itu lebih cocok dengan zaman dan
tempat
b) Hendaknya pendapat itu lebih banyak mencerminkan
kemaslahatan bagi manusia
c) Hendaknya pendapat itu lebih dekat dengan kemudahan yang
diberikan oleh syara’.
d) Hendaknya pendapat itu lebih utama dalam merealisir
maksud-maksud syara, maslahat makhluk dan usaha untuk
menghindari kerusakan dari manusia.38
Jika suatu pendapat memiliki empat indikator di atas secara
lengkap dapat dipastikan pendapat tersebut paling kuat di antara
pendapat-pendapat yang ada. Dalam prakteknya metode ini
dilakukan dengan cara memilih pendapat yang kuat dalam madzhab
empat, baik itu pendapat yang dijadikan fatwa dalam madzhab atau
yang tidak dijadikan fatwa, sebab pendapat yang dijadikan fatwa
pada situasi, dan kondisi tertentu terkadang tidak cocok untuk
dijadikan fatwa lagi bila telah terjadi perubahan situasi dan kondisi.
Atas dasar ini tasẖiẖat (perbaikan pendapat) dan tarjiẖat (pencarian
pendapat yang terkuat) dalam satu madzhab telah berbeda dari satu
masa ke masa yang lain. Banyak pendapat dalam suatu mazhab yang
dulu ditinggalkan tidak terpakai sama sekali, lalu datang orang
kemudian menampilkan dan mempopulerkannya. Banyak pula
pendapat yang dulu dianggap tidak kuat, kemudian timbul kejadian
dan hal-hal baru yang mendorong sebagian ulama untuk

38 Ibid, h. 114.

Universitas Malikussaleh 27
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

menguatkannya sehingga menjadi pendapat yang benar dan


dijadikan fatwa.39
Pada masa ini tidak diragukan lagi bahwa telah terjadi
perubahan dan pergeseran diberbagai aspek kehidupan masyarakat
seperti politik, sosial, ekonomi dan lainnya. Perubahan ini turut
berpengaruh kepada nilai dan hukum dalam masyarakat, karena itu
para ahli hukum dituntut untuk mengoreksi kembali hukum dari
setiap persoalan, jika ditemukan hukum yang sudah kurang relevan
dengan kondisi masyarakat, maka harus dicarikan hukum lain bagi
persoalan tersebut, dengan cara mengambil dari pendapat lama yang
dulu dianggap lemah, lalu di-tarjih-kan, mungkin telah relevan untuk
kondisi sekarang atau menambahkan pendapat baru di luar pendapat
yang telah ada.
1) Metode Ibda’i al-Insya’i
Metode Al-Ibda’i al-Insya’i yaitu mengambil konklusi hukum
baru dalam suatu permasalahan, di mana permasalahan tersebut
belum pernah ditemukan pendapat dari ulama terdahulu, baik
permasalahan itu sifatnya baru atau lama. Dengan kata lain, ijtihad
ini mencakup sebagian masalah kuno yaitu dengan cara seorang
mujtahid masa kini membuat ketentuan hukum baru yang belum
pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu mengenai permasalahan
itu.40
Menurut pendapat yang sahih bahwasanya pada
permasalahan ijtihadiyah perbedaan pendapat ulama terdiri dari dua
pendapat, maka bagi ulama kemudian dapat membuat pendapat yang
ketiga, jika perbedaan pendapat terdiri atas tiga buah, maka ulama
kemudian dibolehkan membuat pendapat yang keempat dan
seterusnya. Realitas ini menunjukkan bahwa pada suatu masalah
sangat mungkin muncul banyak pendapat, bahkan juga pendapat
yang telah ada sangat mungkin ditinjau ulang, sehingga
menimbulkan konklusi hukum baru yang berbeda dari pendapat-
pendapat yang telah ada.
Pendapat atau pandangan ulama tentang suatu masalah tidak
mungkin dibatasi dengan jumlah yang ada, tetapi terbuka peluang
untuk bertambah dari ulama yang lain sesudahnya jika ditemukan
dalil dan ‘illat hukum yang baru. Dikarenakan perubahan sosial dan
perkembangan masyarakat terus berjalan merubah tatanan yang
telah ada tanpa kompromi, sehingga hukum juga mesti

39 Ibid, h. 115.
40 Ibid, h. 116.

28 Dr. Munadi, MA
Corak Istinbath Hukum Ulama

membarenginya, bahkan jika mungkin mendahuluinya dengan


menjadikan hukum prediksi (fiqh taqdiriyah).
2) Metode gabungan antara al-Intiqa’i dan dan al-Insya’i
Gabungan antara metode al-intiqa’i dengan al-insya’i, yaitu
ijtihad dengan cara menyeleksi pendapat-pendapat ulama terdahulu
yang dipandang lebih cocok dan lebih kuat, kemudian menambahkan
dalam pendapat tersebut unsur-unsur ijtihad baru. Sehingga
ketentuan hukum yang ditetapkan pada suatu permasalahan
merupakan gabungan dari pendapat lama dan pendapat baru. Secara
sederhana metode ini bertujuan menyempurnakan pendapat lama
dengan beberapa perubahan di dalamnya, sesuai dengan perubahan
sosial masyarakat.41
Contoh gabungan antara metode Intiqa’i dan Ibda’i al-Insya’i
adalah aturan wasiat wajibah untuk cucu yang diberlakukan di Mesir
semenjak tahun 1960. Aturan ini memuat ketentuan bahwa seorang
kakek wajib mewasiatkan harta untuk cucunya dari anak laki-laki
yang duluan meninggal darinya, atau mati bersamaan dengannya.
Jumlah yang diwasiatkan sama dengan kadar atau bagian warisan
yang diterima anak laki-laki jika ia hidup dan mewarisi. Wasiat
tersebut diwajibkan atas kakek jika sebelumnya tidak pernah
mewasiatkan harta sedikitpun untuk cucu tersebut, atau
memberikan harta kepadanya dengan cara lain. Jika telah pernah
memberikan harta kepada cucu tersebut melalui wasiat atau hibah
dan lain sebagainya, namun jumlahnya tidak mencapai sepertiga,
wajib diwasiatkan untuk menyempurnakan sepertiga. Wasiat
wajibah ini diperuntukkan bagi golongan tingkat pertama dari anak
laki-laki, dari anak perempuan, dan kepada anak laki-laki dari anak
laki-laki dari garis laki-laki dan seterusnya ke bawah dengan syarat
setiap orang tua menghijab anaknya.
Aturan wasiat wajibah ini didasarkan kepada pendapat
sebahagian ulama salaf yang mengatakan bahwa wasiat wajib bagi
selain ahli waris dan kerabat yang dipahami dari kandungan QS al-
Baqarah ayat 180 mengenai wasiat. Pendapat ini kemudian dipegang
dan dikuatkan oleh Ibnu Hazm, ia berkata: Wasiat wajib atas setiap
orang yang memiliki harta, berdasarkan ḥadīs Ibnu Umar yang
diriwayatkan Malik dan Nafi’. Kemudian ia juga meriwayatkan
tentang kewajiban wasiat dari Talhah dan Zubair, keduanya sangat
menekankan berwasiat, demikian pula Abdullah bin Abi Aufa, Talhah

41 Ibid, h. 118.

Universitas Malikussaleh 29
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

bin Mathraf, Thawus, Sya’bi dan lainnya. Pendapat ini juga dipegang
oleh Daud dan pengikut Zhahiriyah.
Ibnu Hazm berpendapat bahwa seorang yang mati dalam
keadaan tidak berwasiat, maka wajib disedekahkan sebahagian kecil
hartanya, dikarenakan wasiat adalah kewajiban atas setiap orang,
dan sah dikeluarkan setelah meninggal bagi orang-orang yang tidak
sempat berwasiat ketika masih hidup. Jika telah dilaksanakan maka
kewajiban seseorang atas hartanya telah terpenuhi. Namun Ibnu
Hazm tidak membuat batasan mengenai jumlah harta yang harus
dikeluarkan, berdasarkan pendapat dari ulama salaf mengenai
jumlah harta yang diwasiatkan sepenuhnya dipulangkan kepada ahli
waris, mereka berhak menentukan jumlahnya yang mereka senangi
dan tidak memberatkan mereka.
Selain tidak menyebutkan jumlah harta wasiat para ulama
salaf dan mazhab Zhahiri juga tidak menentukan siapa yang berhak
menerima wasiat tersebut dari kalangan yang bukan ahli waris. Ibnu
Hazm menjelaskan bahwasanya wasiat wajib dikeluarkan untuk
melepaskan tanggungjawab orang yang mati, namun jumlahnya itu
terserah kepada ahli waris dan orang yang diserahi amanah wasiat.
Qanun wasiat wajibah Mesir sekalipun mengacu kepada
pendapat ulama salaf dan Ibnu Hazm tentang kewajiban wasiat di
atas, namun dalam qanun ini memuat beberapa aturan tambahan
berupa jumlah harta yang harus diwasiatkan yaitu sepertiga,
sedangkan penerima wasiat wajibah adalah cucu pada lapisan
pertama dari anak yang duluan meninggal dari pada pewaris, atau
kedua mati secara bersamaan. Kedua ketentuan ini tidak didapati
dalam fiqh ulama salaf dan Ibnu Hazm dan merupakan tambahan
atas ketentuan wasiat wajib yang telah ada.
Qanun wasiat wajibah Mesir dibuat untuk menjamin keadilan
dan kemaslahatan bagi cucu baik laki-laki maupun perempuan yang
bapaknya meninggal mendahului pewaris (kakek), sehingga ketika
pewaris meninggal cucu-cucu tersebut tidak memperoleh harta
warisan, karena dihalangi oleh paman mereka. Ketentuan semacam
ini sangat tidak adil, cucu tersebut selain yatim ditambah lagi dengan
tidak memperoleh warisan, apa lagi di zaman sekarang ini perubahan
struktur keluarga dari keluarga luas kepada keluarga inti telah
terjadi dalam masyarakat, anak yang menikah tidak tinggal lagi
dengan orang tua, tetapi memilih untuk membuat rumah tangga
sendiri di luar tempat tinggal orang tuanya. Dalam keluarga luas anak
yatim menjadi tanggungjawab kakek, atau paman dan lainnya,
namun seiring dengan perubahan struktur keluarga seperti

30 Dr. Munadi, MA
Corak Istinbath Hukum Ulama

digambarkan tadi mengakibatkan rasa kepedulian ini semakin


longgar, masing-masing anggota keluarga cendrung melepaskan
tanggungjawab dan lebih mengutamakan nasib keluarga dibawah
rumah tangganya sendiri.
Kondisi seperti ini mengakibatkan anak yatim akan terlantar
atau barang kali tidak mendapat perhatian yang penuh dari
keluarganya sendiri, padahal mereka sangat membutuhkan
perhatian dan bantuan dari kerabatnya. Untuk mensiasati
permasalahan ini maka pemerintah Negara Mesir membuat aturan
baru berupa wasiat wajibah yang merupakan kombinasi dari
pendapat ulama salaf dan ulama kemudian, sehingga melahirkan
suatu konklusi hukum yang mampu menjawab persoalan yang
dihadapi masyarakat akibat dari perubahan sosial yang terjadi
dikalangan mereka.
Wasiat wajibah bagi cucu merupakan salah satu bentuk hasil
ijtihad dari kombinasi metode al-intiqai dan al-insya’i dengan
pendekatan maṣlahah mursalah, yaitu salah satu metode yang
berusaha menemukan hukum baru yang belum pernah ada
sebelumnya dengan cara mencari kemaslahatan. Ketentuan ini
merupakan kolaborasi antara pendapat ulama salaf dan Ibnu Hazm
dengan pendapat baru yang muncul kemudian.42
Sedangkan dalam melakukan istinbath tehadap permasalahan
yang muncul dewasa ini, Yusuf al-Qaradhawi bertumpu pada
beberapa pedoman, yaitu:
a) Tidak fanatik dan tidak taqlid, yaitu melepaskan diri dari
fanatik madzhab dan taqlid terhadap satu ulama, baik dari
kalangan ulama terdahulu maupun ulama belakangan.
Meskipun demikian tetap menghormati sepenuhnya kepada
para imam mazhab dan fuqaha.
b) Memberikan kemudahan dan tidak mempesulit, hal ini
didasarkan pada dua alasan:
- Bahwa syariat dibangun atas dasar mempermudah dan
menghilangkan kesukaran bagi hamba. Hal ini dinyatakan
secara jelas dan tegas oleh al Qur’an serta Sunnah, yakni
bahwa Allah tidak tidak membebani kepada manusia
sesuatu yang tidak mampu dipikulnya.
- Karakteristik zaman yang terus berubah, di mana zaman
sekarang ini sikap hidup materialisme lebih dominan
daripada spritualisme, individualisme lebih dominan

42 Ibid, h. 131-132.

Universitas Malikussaleh 31
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

daripada kebersamaan, pragmatisme lebih dominan dari


akhlak. Menurut beliau seharusnya bagi ahli fatwa untuk
memberikan kemudahan kepada manusia sesuai dengan
kemampuan. Yang dimaksud dengan kemudahan disini
adalah tidak bertentangan dengan naṣ yang sah dan
muẖkam, dan tidak pula berbenturan dengan kaidah
syar’iyah yang qath’i.
c) Berbicara kepada manusia dengan bahasa zamannya, dalam
memberikan fatwa sebaik menggunakan dengan bahasa yang
mudah dimengerti oleh masyarakatnya, dengan berupaya
menghindari istilah-istilah yang sukar dimengerti. Berkenaan
dengan masalah ini ada beberapa hal yang perlu diketahui
seorang seorang mufti sehubungan dengan masalah
penguasaan bahasa, antara lain:
- Berbicara secara rasional dan tidak berlebih-lebihan
- Tidak menggunakan istilah-istilah yang sulit di mengerti
(lafd al-gharib)
- Mengemukakan hukum disertai hikmah dan ‘illat (alasan
hukum) yang sesuai dengan falsafah umum syariat Islam.43
d) Berpaling dari sesuatu yang tidak bermanfaat, janganlah
seorang mufti menyibukkan dirinya dan masyarakatnya
kecuali dengan sesuatu yang berguna bagi manusia dan
mereka butuhkan dalam kehidupan.44
e) Bersikap tawasuth (pertengahan) antara memperlonggar dan
memperkuat, yaitu antara memperingan dan memperberat
hukum suatu permasalahan, beliau tidak menginginkan sikap
sebahagian orang yang hendak melepaskan ikatan-ikatan
hukum yang telah tetap dengan alasan menyesuaikan diri
dengan perkembangan zaman seperti yang dilakukan oleh
orang-orang yang mengabdikan diri pada modernisasi. Beliau
juga tidak ingin seperti orang-orang yang hendak
membakukan dan membekukan fatwa-fatwa, perkataan-
perkataan, dan ungkapan-ungkapan lama karena
menganggap suatu kebenaran yang tidak bisa ditawar-tawar.

43 Yusuf al-Qaradhawi, Hadyul Islam Fataw al-Mu’ashirah, (Kuwait: Dar


al-Kalam, tt), h. 45.
44Yusuf al-Qaradhawi, Al Fatwa Bain al Indhibath wa al-Tasayyub, (Kuwait:

Dar al-Kalam, tt), h. 100.

32 Dr. Munadi, MA
Corak Istinbath Hukum Ulama

f) Memberikan keterangan dan penjelasan terhadap fatwa,


dalam hal ini beliau mengemukakan beberapa alasan, yaitu:
- Suatu fatwa tidak mempunyai arti apa-apa kalau tidak
disertai dalil.
- Menyebutkan hikmah dan ‘illat hukum merupakan suatu
yang sangat penting.
- Membandingkan sikap dan pandangan Islam dengan
sesuatu di luar Islam.
- Memberikan pengantar atau pendahuluan ketika hendak
menjelaskan (hukum) sesuatu yang dirasa aneh atau
janggal.
- Menunjukkan sesuatu yang dihalalkan sebagai yang
diharamkan
- Menghubungkan suatu ketentuan dengan ketentuan lain
dalam hukum Islam
- Seorang mufti tidak harus menjawab pertanyaan yang
dianggap tidak urgen.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Yusuf al-
Qaradhawi telah melakukan terobosan dalam pembaruan hukum
Islam dengan memunculkan metode istinbath hukum yang baru,
sekalipun hal itu jika dicermati dengan seksama tidak terlepas dari
prinsip dan metode istinbath yang telah pernah dibuat oleh ulama
mujtahid terdahulu. Hanya saja beliau meramu suatu pendekatan
baru yang lebih responsif dan mudah digunakan untuk kegiatan
istinbath di masa sekarang.
Selain Yusuf al-Qaradhawi, pembaruan hukum Islam juga
diserukan oleh ulama yang lainnya seperti Ibrahim Husen, seorang
ahli hukum Islam dari Indonesia. Beliau juga menawarkan terobosan
baru mengenai metode, langkah dan pendekatan yang dapat
ditempuh untuk melakukan pembaruan hukum Islam saat ini, di
antaranya adalah:
a. Interprestasi ulang terhadap al-Quran, yaitu merekonstruksi
makna al-Qur’an dalam konteks dan jiwanya. Pemahaman
melalui konteks berarti mengetahui asbȃb al-nuzûl.
Sedangkan pemahaman melalui jiwanya berarti
memperhatikan makna atau substansi ayat tersebut.
b. Pemahaman baru terhadap ḥadis, yang dilakukan melalui
pengklasifikasian ḥadis, mana yang dilakukan Nabi
Muhammad Saw dalam rangka tasyri’ al-ahkam
(penetapan hukum) dan mana pula yang dilakukannya selaku

Universitas Malikussaleh 33
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

manusia biasa sebagai sifat kemanusiaannya. Sunnah baru


dapat dijadikan pegangan apabila dilakukan dalam rangka
tasyri’ al-ahkam (penjelasan terhadap hukum syara’).
Sedangkan yang dilakukan beliau dalam kapasitas sebagai
manusia biasa tidak wajib diikuti, seperti kesukaaan beliau
kepada makanan yang manis, pakaian yang berwarna hijau
dan sebagainya. Di samping itu sebagaimana al-Qur’an,
Sunnah juga harus dipahami dari segi jiwa dan semangat atau
substansi yang terkandung di dalamnya.
c. Pendekatan ta’aqquli (rasional). Para ulama terdahulu
memahami rukun Islam dengan cara ta’abbudi yaitu
menerima apa adanya tanpa komentar, sehingga kualitas
‘illat hukum dan tinjauan filosofisnya banyak tidak terungkap.
Oleh karena itu pendekatan ta’aquli harus ditekankan dalam
rangka pembaharuan hukum Islam (ta’abudi wa ta’aqquli).
Dengan pendekatan ini ‘illat dan tujuan hukum dapat dicerna
umat Islam terutama dalam masalah sosial kemasyarakatan
(muamalah).
d. Penekanan zawajir (zawajir dan jawabir) dalam pidana.
Dalam masalah hukum pidana ada unsur zawajir dan jawabir.
Pengertian jawabir adalah dosa atau kesalahan pelaku pidana
akan diampuni oleh Allah Swt. Dengan memperhatikan
jawabir ini hukum pidana harus dilakukan sesuai dengan naṣ,
seperti pencuri yang dihukum dengan potong tangan, pezina
muhsan yang dirajam, dan pezina ghairu muhsan didera,
setelah didera dengan hukuman tersebut pelaku pidana telah
diampuni dosanya oleh Allah Swt. Sedangkan zawajir
adalah hukum yang bertujuan untuk membuat jera terhadap
pelaku pidana sehingga tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Dalam pembaharuan hukum Islam mengenai pidana, yang
harus ditekankan adalah zawajir dengan demikian hukum
pidana tidak terikat pada apa yang tertera dalam naṣ.
e. Reaktualisasi ijma’ (konsensus). Pemahaman yang terlalu
luas atas ijma’ dan keterikatan kepada ijma’ harus dirubah
dengan menerima ijma’ sarih saja yang terjadi dikalangan
sahabat (ijma’ sahabi, sebagai mana yang dikemukakan oleh
asy-Syafi’i. Kemungkinan terjadinya ijma’ sahabat sangat
sulit, sedangkan ijma’ sukuti (ijmak diam) masih
diperselisihkan. Disamping itu, ijma’ yang dipedomi haruslah
mempunyai sandaran qath’i yang pada hakikatnya kekuatan
hukumnya bukan kepada ijma’ itu sendiri, tetapi pada dalil

34 Dr. Munadi, MA
Corak Istinbath Hukum Ulama

yang menjadi sandarannya. Sedangkan ijma’ yang


mempunyai sandaran dalil dzanni sangat sulit terjadi.
f. Masalik al-‘illat (cara penetapan ‘illat). Kaidah-kaidah yang
dirumuskan untuk mendeteksi ‘illat hukum yang biasanya
dibicarakan dalam kaitan dengan qiyas (rasio legis). Dalam
kaidah pokok dikatakan bahwa “hukum beredar sesuai
dengan ‘iilat-nya”. Ini ditempuh dengan merumuskan kaidah
dan mencari serta menguji ‘illat yang benar-benar baru.
g. Maslahah al Mursalah. Di mana ada kemaslahatan di sana
ada hukum Allah Swt, merupakan ungkapan yang cukup
populer dikalangan ulama. Dalam hal ini masalih al mursalah
dijadikan dalil hukum dan berdasarkan ini dapat
ditetapkan hukum bagi banyak masalah baru yang tidak
disinggung oleh al-Qur’an dan Sunnah.
h. Sadd al-Zari’ah. Pada dasarnya sarana itu hukumnya mubah,
akan tetapi karena dapat membawa kepada perbuatan
maksiat atau haram, maka sarana itu diharamkan. Dalam
rangka pembaharuan hukum Islam sarana ini digalakkan.
i. Irtijab al akhaf al-dzararain.
Dalam pembaharuan hukum Islam kaidah ini sangat tepat
dan efektif untuk pemecahan masalah baru. Umpamanya
perang di bulan muharram hukumnya haram, tetapi karena
pihak musuh menyerang, maka boleh dibalas dengan
berdasarkan kaidah tersebut, karena serangan musuh dapat
menggangu eksistensi agama Islam.
j. Keputusan wali al-amry. Yaitu keputusan atau aturan
pemerintah atau penguasa, mulai dari tingkat yang rendah
sampai yang paling tinggi. Segala peraturan undang-
undangan wajib ditaati selama tidak bertentangan dengan
agama. Sesuatu yang tidak dilarang dan tidak diperintahkan
hukumnya mubah. Contohnya, pemerintah atas dasar masalih
mursalah menetapkan bahwa penjualan hasil pertanian harus
melalui koperasi dengan tujuan agar petani terhindar dari
tipu muslihat lintah darat.
k. Mem-fiqh-kan hukum qath’i. Kebenaran qath’i bersifat
absolut. Sedangkan kebenaran fiqh relatif. Menurut para
fukaha, tidak ada ijtihad terhadap naṣ qath’i (naṣ yang tidak
dapat diganggu gugat). Tetapi kalau demikian halnya,
maka hukum Islam menjadi kaku. Sedangkan kita perpegang
pada prinsip; al-Islam salih li kulli zaman wa makan dan

Universitas Malikussaleh 35
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

tagayyur al-ahkam bi tagayyur al-amkinah wa al-zaman


(Islam relevan untuk setiap zaman dan tempat, hukum
berubah berdasarkan tempat dan waktu). Untuk menghadapi
masalah ini, qath’i diklasifikasikan menjadi 2 yaitu; pertama,
qath’i fi jami’ al-ahwal (pasti untuk setiap kondisi) dan kedua
qath’i fi ba’d al-ahwal (pasti untuk sebahagian kondisi). Pada
qath’i fi jami’ al-ahwal tidak berlaku ijtihad,sedangkan pada
qath’i fi ba’d al-ahwal ijtihad dapat diberlakukan. Tidak
semua hukum qath’i dari segi penerapanya (tathbiq) berlaku
pada semua zaman.
Ibrahim Husen menambahkan bahwa tujuan dari
pembaharuan hukum Islam dimaksudkan agar ajaran Islam tetap ada
dan diterima oleh masyarakat modern. Untuk mengembalikan
aktualitas hukum Islam atau untuk menjembatani ajaran teoretis
dalam kitab-kitab fiqh hasil pemikiran mujtahid dengan kebutuhan
masa kini dapat ditempuh dengan beberapa cara:
1) Memberikan kebijakan administrasi. Hal ini sudah dilakukan
di Mesir menjelang kehadiran Undang-Undang perkawinan.
Dalam kitab fiqh yang belaku disemua madzhab tidak
ditemukan pencatatan perkawinan. Pada masa mujtahid
menghasilkan fiqhnya, hal tersebut dirasakan tidak perlu dan
tidak bermanfaat. Pada masa kini pencatatan perkawinan
sangat dibutuhkan untuk mengamankan perkawinan itu
sendiri.
2) Membuat aturan tambahan. Tanpa mengubah dan
mengurangi materi fiqh yang sudah ada, dibuat aturan lain
yang dapat mengatasi masalah sosial, seperti wasiat wajibah
yaitu wasiat yang diberikan kepada cucu yang tidak
menerima waris karena bapaknya telah meninggal lebih
dahulu, sedangkan saudara bapaknya masih ada.
3) Talfiq (meramu). Hasil ijtihad tertentu diramu menjadi suatu
bentuk baru, seperti Undang-Undang perkawinan turki yang
menggabungkan madzhab Hanafi yang mayoritas dengan
madzhab Maliki yang minoritas. Undang-Undang ini hanya
bertahan sementara menjelang diberlakukanya Undang-
Undang Perkawinan Swiss yang hingga sekarang masih
berlaku di Turki.
4) Melakukan re-interpretasi dan re-formulasi. Dalil fiqh yang
tidak aktual lagi dikaji ulang, yang menyangkut hubungan
dalil dengan rumusan hukum. Dalil yang pernah

36 Dr. Munadi, MA
Corak Istinbath Hukum Ulama

diiterpretasikan oleh mujtahid dahulu diinterpretasikan


sesuai dengan jiwa hukum dan tuntutan masyakat pada saat
itu. Formulasi baru berdasarkan interpretasi baru itu ada
yang dituangkan dalam Undang-Undang dan ada pula yang
berbentuk fatwa. Hal ini pada fiqh al munakahat (hukum
perkawinan) dapat dilihat dalam masalah monogami, bigami,
poligami yang dulunya mudah dan tidak bertanggungjawab,
mulai dibatasi dan dipersulit, bahkan ditentukan untuk
dilakukan dipengadilan.
Di Indonesia pada mulanya masyarakat banyak menganut
madzhab Syafi’i, namun pada saat ini telah terjadi pembaruan atau
pergeseran, pendapat-pendapat dari madzhab lain sudah mulai
diterima dan semakin berintegrasi dengan kultur pengamalan agama
masyarakat. Perubahan ini mulai terjadi setelah ulama dan
cendikiawan Indonesia kembali dari pusat ilmu hukum Islam di
Timur Tengah yang memiliki pemahaman mendalam tentang
berbagai masalah hukum. Meskipun pada mulanya mengikuti
madzhab Syafi’i secara baik, kemudian berusaha mengkaji kembali
permasalahan hukum dan membahasnya berdasarkan seluruh
pendapat dari mazdhab yang ada. Mereka menilai dan mengoreksi
dalil-dalil yang menghasilkan pendapat yang berbeda-beda tersebut,
kemudian mengambil satu pendapat yang lebih kuat.
Pembaharuan hukum Islam di Indonesia juga bisa dilihat
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
undang-undang ini adalah peraturan yang berlaku di kalangan warga
Indonesia, terutama untuk umat Islam yang selama ini terikat pada
fiqh al-munakahat. Undang-undang ini berbeda dengan fiqh al-
munakahat mazdhab al-Syafi’i yang selama ini dijalankan oleh
umat Islam di Indonesia, bahkan pada masalah tertentu juga berbeda
dengan ketentuan fiqh di luar fiqh al-Syafi’i, misalnya penentuan
batas usia perkawinan 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk
perempuan, hal ini berbeda dengan ketentuan fiqh yang
membolehkan perkawinan anak-anak.
Dalam hukum kewarisan di Indonesia juga terjadi
pembaruan, ahli hukum seperti Hazairin juga menawarkan
perubahan terhadap ketentuan kewarisan Islam menurut fiqh. Ia
mengadakan interpretasi ulang terhadap QS al-Nisa: 33, kata mawali
dalam ayat diartikan sebagai ahli waris pengganti, sehingga makna
ayat tersebut adalah: “bagi setiap ahli waris kami jadikan pengganti”.
Berdasarkan interprestasi tersebut maka disimpulkan bahwa cucu
yang bapaknya sudah meninggal lebih dahulu dari pada pewaris

Universitas Malikussaleh 37
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

dapat bertindak sebagai pengganti ayahnya, artinya berposisi pada


kedudukan bapaknya dalam menerima warisan dari kakek.
Ketentuan seperti ini tidak ditemukan dalam fiqh sunni atau syi’i.
Pandangan Hazairin kemudian diakomodir dalam Kompilasi Hukum
Islam Indonesia yaitu Pasal 185 yang berbunyi:
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris
maka kedudukannya dapat digantikanoleh anaknya, kecuali
mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian
ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pembaruan hukum
Islam merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar,
mengingat perkembangan masyarakat dan perubahan sosial yang
senantiasa terjadi setiap waktu tanpa dapat dibendung dan
menyisakan berbagai tantangan dan permasalahan yang perlu
dijawab oleh hukum Islam. Dalam menghadapi tantangan dan
permasalahan hukum Islam harus selalu tampil sebagai sosial kontrol
(alat kontrol perubahan sosial) di satu pihak dan sosial enginering
(rekayasa sosial) dipihak yang lain, sehingga hukum Islam tetap
dinamis dan relevan untuk setiap waktu dan tempat.
Maksud tersebut akan dapat tercapai jika istinbath konsisten
dilakukan oleh umat Islam dan terus mengupayakan pembaruan dan
modifikasi terhadap metode dan pendekatan yang digunakan dalam
memahami dan mengaktualisasi hukum Islam, dengan itu semua
tantangan dan permasalahan yang muncul akan selalu mampu
dijawab oleh hukum Islam. Jadi dalam pembaruan hukum Islam
bukan saja membutuhkan metode/kaidah usul fiqh yang baru,
namun juga penyempurnaan dan penyesuaian terhadap berbagai
kaidah yang sudah ada.

38 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh

BAB V

MACAM-MACAM
KAIDAH USUL FIQH

Ulama usul fiqh telah menciptakan berbagai kaidah yang


bersifat operasional untuk dipergunakan oleh ahli hukum dalam
kegiatan ijtihad. Kaidah tersebut dapat disebut juga dengan teori,
yang dengannya dapat menganalisis berbagai permasalahan. Dengan
adanya teori seseorang akan mudah memahami dan memecahkan
suatu masalah. Demikian pula kedudukan kaidah usul fiqh juga untuk
memudahkan mujtahid dalam memahami hukum suatu masalah.
Seiring waktu, jumlah kaidah usul fiqh senantiasa
berkembang, ditandai dengan bertambah jumlah kaidah dan
perubahan bentuknya. Jika pada awalnya hanya beberapa kaidah
yang muncul, namun setelah melalui perenungan dan temuan baru,
ulama merumuskan kaidah-kaidah usul fiqh lainnya. Perkembangan
kaidah usul fiqh terkait erat dengan perubahan masyarakat dan
munculnya berbagai permasalahan. Semakin banyak dan rumitnya
permasalahan, dengan sendirinya menghendaki adanya kaidah usul
fiqh yang lebih adaptif dan komprehensif. Saat ini beberapa kaidah
telah direvisi untuk disesuaikan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan.
Contohnya kaidah istislahiah, awalnya langkah penalaran
menggunakan kaidah ini tidak dikaitkan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, namun sekarang ini demikian itu tidak
lagi memadai. Maka dalam penalaran istislahiah juga perlu
diperhatikan temuan-temuan dalam ilmu pengetahuan. Misalnya
temuan dalam ilmu antropologi, sosiologi, kimia, fisika, biologi, dan
lain sebagainya. Temuan-temuan tersebut juga harus digunakan
untuk menganalisis suatu permasalahan.
Dengan menggunakan temuan atau capaian ilmu
pengetahuan, maka akan memudahkan seorang mujtahid dalam
melakukan analisis masalah. Capaian ilmu pengetahuan relatif sudah
benar, karena telah melalui penelitian dan pengujian ilmiah. Seorang
mujtahid tinggal memanfaatkan saja capaian tersebut untuk
dijadikan acuan dalam penetapan hukum.

Universitas Malikussaleh 39
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

Demikian pula kaidah ‘urf, yang notabenenya adalah kaidah


usul fiqh yang berasal dari tradisi atau adat masyarakat. Maka dalam
analisis ‘urf, seorang mujtahid tidak memadai lagi hanya
menggunakan kontruksi lama. Namun harus pula memperhatikan
capaian dari ilmu pengetahuan moderen seperti antropologi dan
sosiologi. Keduanya merupakan ilmu yang mempelajari tentang seluk
beluk manusia dan masyarakat. Temuan-temuan dari kedua ilmu ini
mengenai masyarakat harus dipertimbangkan oleh mujtahid dalam
menetapkan hukum berdasarkan ‘urf.
Demikian juga dengan berbagai kaidah lainnya, menurut
penulis tidak mungkin lagi dipadai dengan kontruksi lama, namun
harus direvisi dengan memasukkan capaian ilmu pengetahuan dan
teknologi ke dalam salah satu langkah analisisnya. Tujuannya supaya
hukum yang ditetapkan berdasarkan kaidah tersebut bersifat adaptif
dengan perkembangan zaman. Hukum yang ditetapkan tidak hanya
sesuai dengan prinsip nash, namun juga dengan perkembangan ilmu
pengetahuan.
Dalam buku ini akan dijelaskan beberapa contoh tentang
pemanfaatan ilmu pengetahuan dalam kaidah usul fiqh, ini dapat
dilihat pada penjelasan mengenai kaidah istislahiah, ‘urf dan siyasah
al-syar’iyyah. Pada kaidah-kaidah tersebut, capaian ilmu
pengetahuan dijadikan salah satu pertimbangan dalam kegiatan
istinbath. Namun sayangnya penulis belum dapat melakukan secara
menyeluruh terhadap kaidah-kaidah lainnya, karena keterbatasan
ilmu dan juga waktu.

A. Ijma’
Secara bahasa ijma’ adalah kesepakatan dan tekad yang bulat.
Menurut Ahmad Hasan, istilah ijma‘ dalam arti bahasanya
menunjukkan bahwa konsep ini tentunya muncul pada saat terjadi
pertentangan di dalam Islam. Maka dasar dari kata ijma‘ adalah
mengumpulkan, menyatukan, menghimpun, berkumpul, bersatu,
berhimpun, atau menarik bersama-sama. Istilah ini mungkin sekali
berasal dari ungkapan bahasa Arab: “ajma‘tu al-nahabi” (saya
mengumpulkan dari setiap penjuru unta-unta yang merupakan
barang rampasan dari orang-orang yang sebelumnya adalah pemilik
mereka, dan menggiring mereka pergi).
Adapun secara istilah, pengertian ijma’ sebagaimana
dikemukakan oleh Al-Ghazali adalah kesepakatan umat Nabi
Muhammad secara khusus pada suatu masa mengenai hukum

40 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh

syara’.45 Dari itu dapat dipahami bahwa kesepakatan ulama


ketika Rasulullah Saw masih hidup tidak disebut ijma’, karena
otoritas hukum pada waktu itu terpusat kepada beliau. Setiap
keputusan hukum dari para sahabat harus memperoleh legalisasi
dari beliau, walaupun hukum tersebut telah disepakati oleh para
sahabat. Legalisasi Rasulullah terhadap pendapat para sahabat
merupakan bagian dari hadis taqririyyah (pengakuan).
Ijma’ hanya berlaku di antara umat Nabi Muhammad yang
terjadi secara khusus, yaitu kesepakatan dari orang-orang
tertentu (mujtahid) pada suatu masa mengenai masalah agama.
Dari itu kesepakatan dari umat secara umum tidak disebut
sebagai ijma’, melainkan ‘urf atau adat.
Dari definisi di atas dapat dipahami unsur-unsur pokok
dari ijma‘ atau disebut juga dengan rukun ijma‘, yaitu:
1. Saat berlangsungnya kejadian yang memerlukan adanya
ijma‘, terdapat sejumlah orang yang berkualitas mujtahid;
karena kesepakatan itu tidak berarti jika yang sepakat hanya
satu orang.
2. Semua mujtahid itu sepakat tentang hukum suatu masalah,
tanpa memandang kepada negeri asal, jenis, dan golongan
mujtahid. Kalau yang mencapai kesepakatan itu hanya
sebagian mujtahid, atau mujtahid kelompok tertentu, wilayah
tertentu atau bangsa tertentu, maka kesepakatan itu tidak
dapat disebut ijma‘, karena ijma‘ itu hanya tercapai dalam
kesepakatan menyeluruh.
3. Kesepakatan itu tercapai setelah terlebih dahulu masing-
masing mujtahid mengemukakan pendapatnya sebagai hasil
dari usaha ijtihadnya, secara terang-terangan, baik
pendapatnya itu dikemukakan dalam bentuk ucapan dengan
mengemukakan fatwa tentang hukum kejadian itu; atau
dalam bentuk perbuatan dengan memutuskan hukum dalam
pengadilan dalam kedudukannya sebagai hakim.
Penyampaian pendapat itu mungkin dalam bentuk
perseorangan yang kemudian ternyata hasilnya sama; atau

Al-Ghazzali, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, Cet. 1 (Beirut: Dar al-Kutub


45

al-‘Ilmiyah, 2008), h. 219.

Universitas Malikussaleh 41
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

secara bersama-sama dalam satu majelis yang sesudah


bertukar pikiran ternyata terdapat kesamaan pendapat.
4. Kesepakatan itu haruslah merupakan kesepakatan yang bulat
dari seluruh mujtahid. Jadi, kalau kesepakatan itu hanya dari
kebanyakan mujtahid saja sedang sebagian mujtahid lainnya
terdapat perbedaan, maka bukanlah merupakan ijma‘ yang
dapat dijadikan hujjah syar‘iyyah.46
Dasar hukum ijma’ antara lain adalah QS. Yusuf ayat 15
yang berbunyi:

ِ ْ َ ِ ‫ﻭﺃﻭﺣﻴﻨَﺎ‬
‫ﺇﻟﻴﻪ‬ ِ ّ ُ ْ ‫ﻏﻴﺎﺑﺖ‬
ْ َ ْ َ َ ,‫ﺍﻟﺠﺐ‬ ِ َ َ َ ‫ﻳﺠﻌﻠﻮﻩُ ِﻓﻰ‬ ْ َ ‫ﻭﺃﺟﻤﻌﻮ‬
ْ ُ َ ْ َ ‫ﺃﻥ‬ ْ ُ َ ْ َ َ ‫ﺑﻪ‬ ْ ُ َ َ ‫ﻓﻠﻤﺎ‬
ِ ِ ‫ﺫﻫﺒﻮﺍ‬ ‫ََ ﱠ‬
َ ْ ُ ُ ْ َ َ ‫ﻭﻫﻢ‬
.‫ﻻﻳﺸﻌﺮﻭﻥ‬ ْ ُ َ ‫ﻫﺬﺍ‬ ْ ِ ِ ْ َ ِ ‫َﻬﻢ‬
َ َ ‫ﺑﺄﻣﺮﻫﻢ‬ ْ ُ ‫َﻟﺘ ُﻨ َِّﺒﺌَﻨ‬
Artinya:
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke
dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah
dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu
akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang
mereka tiada ingat lagi."
Pada ayat di atas terdapat lafaz “ajma’u” yang berarti
kesepakatan. Pada waktu itu kerabat Nabi Yusuf bersepakat
memasukkan beliau ke dalam sumur saat mereka ingin
menyingkirkannya dari rumah. Dari sini para ulama mengambil
makna ijma’ sebagai kesepakatan ulama mengenai suatu masalah.
Selain ayat di atas juga terdapat ayat lainnya yang dijadikan
sebagai dasar hukum ijma’ oleh para ulama, yaitu QS. Al-Nisa: 59
yang berbunyi:

ِ ْ َ ْ ‫ﻭﺃﻭﻟﻰ‬
ْ ُ ْ ِ ‫ﺍﻷﻣﺮ‬
,‫ﻣﻨﻜﻢ‬ ِ ْ ُ َ ‫ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ‬ ْ ُ ْ ِ َ َ َ‫ﺃﻁﻴﻌﻮﺍ ﷲ‬
َ ْ ُ ‫ﻭﺃﻁﻴﻌﻮ ﱠ‬ ْ ُ ْ ِ َ ‫ﺃﻣﻨﻮﺍ‬
ُ َ َ ‫ﺍﻟﺬﻳﻦ‬ َ ‫َ َﱡ‬
َ ْ ِ ‫ﻳﺄﻳﻬﺎ ﱠ‬
ِV‫ﺗﺆﻣﻨﻮﻥ ِﺑﺎ‬ ْ ُ ْ ُ ‫ﺇﻥ‬
َ ْ ُ ِ ْ ُ ‫ﻛﻨﺘﻢ‬ ِ ْ ُ َ َ ِ‫ﻓﺮﺩﻭﻩُ َِﺇﻟﻰ ﷲ‬
ْ ِ ‫ﻭﺍﻟﺮﺳﻮﻝ‬ ْ ‫ﺷﻲء َ ُ ﱡ‬ ْ ُ ْ َ ‫ﻓﺈﻥ ﺗَﻨ‬
ٍ ْ َ ‫َﺰﻋﺘﻢ ِﻓﻰ‬ ْ َِ
ْ ِ ْ َ ‫ﻭﺃﺣﺴﻦ‬
.ً‫ﺗﺄﻭﻳﻼ‬ ُ َ ْ َ َ ‫ﺧﻴﺮ‬ ِ َْْ َ
ِ ِ َ ْ ‫ﻭﺍﻟﻴﻮﻡ‬
َ ِ َ ,‫ﺍﻷﺧﺮ‬
ٌ ْ َ ‫ﺫﺍﻟﻚ‬

46Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh


Islam, Cet. 1 (Bandung: Alma‘arif, 1986), h. 60.

42 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Ayat di atas mengisyaratkan tentang keharusan untuk patuh
kepada pemimpin (ulil amri). Pemimpin terbagi kepada dua, yaitu ulil
amri fi din (pimpinan agama yaitu ulama) dan ulil amri fi dunya
(pimpinan dalam permasalahan duniawi yaitu pemerintah). Umat
Islam wajib mengikuti keputusan hukum yang telah ditetapkan oleh
para ulama, apalagi jika ketetapan itu telah disepakati oleh para
ulama.

Ijma’ dapat terjadi dengan tiga cara, yaitu melalui kata-kata


(ijma’ qauli), melalui perbuatan/praktek (ijma’ ‘amali) dan dengan
diam saja (ijma’ sukuti). Ijma’ Qauli dan ‘Amali disebut juga dengan
ijma’ qath’i atau ijma’ sharih, yaitu ijma’ yang pasti dan jelas, karena
kesepakatan ulama terlihat dengan jelas. Mereka sama pendapat atau
melakukan suatu perbuatan yang sama bentuknya. Dengan demikian
kesepakatan di antara mereka cukup mudah dipahami.
Sedangkan ijma’ sukuti, disebut juga dengan ijma’ ghairu
sharih (tidak jelas). Dalam ijma’ sukuti seorang ulama
mengemukakan pendapatnya mengenai suatu masalah. Sedangkan
ulama yang lain hanya diam saja tidak berkomentar. Diamnya ulama
ini boleh jadi setuju, boleh jadi pula tidak setuju. Kemungkinan ulama
lain segan berkomentar, karena yang mengemukakan pendapat
tersebut merupakan ulama senior atau faktor lainnya.
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami kehujjahan
ijma’ sukuti. Ulama Syafi’iyah menerima ijma’ sukuti sebagai hujjah
syar’iyyah. Sedangkan ulama Malikiyyah menolaknya karena
dianggap meragukan.
Berdasarkan bentuknya ijma’ terbagi kepada empat macam,
yaitu:
a. Ijma’ sahabi, yaitu kesepakatan para sahabat mengenai
suatu masalah;
b. Ijma’ Khulafaurrasyidin, yaitu kesepakatan yang terjadi di
antara empat sahabat besar Rasulullah Saw, yakni Abu
Bakar, Umar bin Khatthab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib;

Universitas Malikussaleh 43
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

c. Ijma’ ulama Madinah, yaitu kesepakatan ulama-ulama


yang berdomisili di Madinah mengenai suatu masalah;
d. Ijma’ ulama kuffah, yaitu kesepakatan dari ulama-ulama
yang berdomisili di wilayah Kufah (Bangdad);
e. dan Ijma’ Ahlu Bait, yaitu kesepakatan mengenai suatu
masalah yang terjadi dikalangan keluarga Nabi.

B. Qiyas
Qiyas secara bahasa adalah membandingkan, atau
mengembalikan sesuatu kepada yang lain. Sedangkan secara istilah,
qiyas sebagaimana dikemukakan oleh Abu al-Husain al-Bashri adalah
menerapkan hukum yang terdapat pada ashl (pokok) kepada far’u
(cabang), karena terdapat kesamaan ‘illat hukum antara keduanya.
Dari itu qiyas adalah upaya mengeluarkan hukum atas sesuatu yang
belum ada hukumnya sebanding dengan sesuatu yang ada
hukumnya, dengan memperhatikan kesamaan ‘illat (sifat) antara
keduanya.
Pengertian di atas menunjukkan bahwa qiyas merupakan
suatu proses ijtihad dengan cara membandingkan dua permasalahan
yang mempunyai illat yang sama. Salah satu permasalahan terdapat
dalam nash, namun permasalahan yang lain tidak ada dalam nash.
atas dasar kesamaan illat (sifat) pada keduanya, maka keduanya
dipersamakan hukumnya berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
nash.
Dasar hukum qiyas adalah firman Allah Swt QS. An-Nisa’ : 59
yang berbunyi:

,‫ﻣﻨﻜﻢ‬ ِ ْ َ ْ ‫ﻭﺃﻭﻟﻰ‬
ْ ُ ْ ِ ‫ﺍﻷﻣﺮ‬ ِ ْ ُ َ ‫ﻮﻝ‬َ ْ ‫ﺍﻟﺮﺳ‬ ْ ُ ْ ِ َ َ َ‫ﺃﻁﻴﻌﻮﺍ ﷲ‬
ُ ‫ﻭﺃﻁﻴﻌﻮ ﱠ‬ ْ ُ ْ ِ َ ‫ﺃﻣﻨﻮﺍ‬
ُ َ َ ‫ﺍﻟﺬﻳﻦ‬ َ ‫َ َﱡ‬
َ ْ ِ ‫ﻳﺄﻳﻬﺎ ﱠ‬
ِV‫ﺗﺆﻣﻨﻮﻥ ِﺑﺎ‬ ْ ُ ْ ُ ‫ﺇﻥ‬
َ ْ ُ ِ ْ ُ ‫ﻛﻨﺘﻢ‬ ِ ْ ُ َ َ ِ‫ﻓﺮﺩﻭﻩُ َِﺇﻟﻰ ﷲ‬
ْ ِ ‫ﻭﺍﻟﺮﺳﻮﻝ‬ ْ ‫ﺷﻲء َ ُ ﱡ‬ ْ ُ ْ َ ‫ﻓﺈﻥ ﺗَﻨ‬
ٍ ْ َ ‫َﺰﻋﺘﻢ ِﻓﻰ‬ ْ َِ
ْ ِ ْ َ ‫ﻭﺃﺣﺴﻦ‬
.ً‫ﺗﺄﻭﻳﻼ‬ ُ َ ْ َ َ ‫ﺧﻴﺮ‬ ِ َْْ َ
ِ ِ َ ْ ‫ﻭﺍﻟﻴﻮﻡ‬
َ ِ َ ,‫ﺍﻷﺧﺮ‬
ٌ ْ َ ‫ﺫﺍﻟﻚ‬
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.

44 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh

Dalam ayat di atas umat Islam diperintahkan untuk


mengembalikan suatu urusan yang diperselisihkan di antara mereka
kepada Allah dan Rasul, yaitu Alquran dan Hadis. Di saat para ulama
mengalami kesulitan memahami suatu hukum yang tidak diatur
dalam nash, sehingga mereka saling berselisih pendapat. Maka saat
itu para ulama harus kembali kepada Alquran dan Hadis, guna
melihat bagaimana petunjuk yang sebenarnya mengenai masalah itu.
Dalam Alquran dan Hadis terdapat berbagai petunjuk yang
dapat dipedomani oleh ulama dalam menetapkan hukum, salah
satunya dengan memahami ‘illat hukum yang disebutkan dalam nash
pada kasus-kasus tertentu. Ulama dapat membandingkan
permasalahan yang tidak diatur oleh nash dengan permasalahan
yang telah diatur nash untuk menetapkan hukum yang sama.
Alquran dan Hadis tidak memuat semua permasalahan hidup
manusia, akan tetapi hanya sebatas prinsip-prinsip umum yang
mungkin dijadikan rujukan untuk memahami setiap permasalahan.
Tugas manusia adalah mengelaborasi lebih jauh isi Alquran dan
Hadis untuk dimanfaatkan dalam proses penalaran, salah satunya
melalui qiyas.
Qiyas terdiri dari empat unsur, yang disebut juga dengan
rukun qiyas, yaitu: (1) Asal, yaitu masalah yang dijadikan sandaran
qiyas, pokok ini sering pula disebut dengan maqis alaih yakni yang
menjadi tempat sandaran qiyâs, dan kadang-kadang disebut pula
dengan tempat penyamaan sesuatu. (2) Far’u/maqis, yaitu
permasalahan baru yang tidak terdapat ketentuan hukumnya yang
disandarkan kepada maqis alaih; (3) hukum asal, yaitu hukum yang
terdapat pada maqis alaih, dan (4) ‘illat, yaitu sifat yang ada pada
asal/maqis alaih dan far’u/maqis yang sama, sehingga far’u dapat
diqiyaskan kepada asal.
Qiyas dilihat dari segi bentuknya dibagi kepada tiga macam,
yaitu: qiyas 'illat, qiyas dalalah; dan qiyas syibh.
1. Qiyas 'Illat
Qiyas illat ialah qiyas yang mempersamakan asl dengan far'
karena keduanya mempunyai persamaan 'illat. Qiyas 'illat terbagi
kepada dua, yaitu qiyas jaly (terang) dan qiyas khafi (samar). Qiyas
jali adalah qiyas yang 'illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada
kemungkinan lain selain dari 'illat yang ditunjukkan oleh dalil itu.
Qiyas jaly terbagi kepada tiga, yaitu: Pertama, qiyas yang 'illatnya
ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan merupakan 'illat
larangan minum khamar, yang disebut dengan jelas dalam nas.

Universitas Malikussaleh 45
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

Kedua, qiyas aulawi, yaitu qiyas yang hukum pada far'u


sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding dengan hukum pada
asl. Seperti haramnya hukum mengucapkan kata-kata "ah" kepada
kedua orang tua berdasarkan ketentuan Alquran surah al-Isra ayat
23; "Maka janganlah ucapkan kata-kata "ah" kepada kedua
orangtua(mu)." 'Illat hukumnya ialah menyakiti perasaan kedua
orang tua. Jika mengatakan “ah” saja haram, maka memukul orang
tua tentu lebih menyakiti dan tentu lebih tegas keharamannya.
Karena itu sebenarnya hukum yang ditetapkan bagi far' lebih utama
dibanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashl.
Ketiga, qiyas musawi, yaitu qiyas hukum yang ditetapkan
pada far'u sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada asl,
seperti menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta
anak yatim. 'Illatnya ialah sama-sama menghabiskan harta anak
yatim. Memakan harta anak yatim haram hukumnya berdasarkan
firman Allah SWT dalam surah an-Nisa ayat 10 : "Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, ia tidak
lain hanyalah menelan api neraka ke dalam perutnya." Karena itu
ditetapkan pulalah haram hukumnya menjual harta anak yatim. Dari
kedua kasus ini nampak bahwa ‘illat yang terdapat pada asl sama
bobotnya dengan ‘illat yang ada pada far'u.
Qiyas Khafy, yaitu qiyas yang 'illatnya mungkin dijadikan 'illat
dan mungkin pula tidak dijadikan 'illat, seperti mengqiyaskan sisa
minuman burung kepada sisa minuman binatang buas. ‘Illatnya ialah
kedua binatang itu sama-sama minum dengan mulutnya, sehingga air
liurnya bercampur dengan sisa minumannya itu. 'Illat ini mungkin
dapat digunakan untuk sisa burung buas dan mungkin pula tidak,
karena mulut burung berbeda dengan mulut binatang buas. Mulut
burung buas terdiri dari tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat
tanduk adalah suci, sedang mulut binatang buas adalah daging,
daging binatang buas adalah haram, namun kedua-duanya adalah
mulut, dan sisa minuman. Yang tersembunyi di sini ialah keadaan
mulut burung buas yang berupa tulang atau zat tanduk.
2. Qiyas Dalalah
Qiyas dalalah adalah qiyas yang 'illatnya tidak disebut, tetapi
merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya 'illat untuk
menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa. Seperti harta
kanak-kanak yang belum baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya
atau tidak. Para ulama yang menetapkannya wajib karena
mengqiyaskan kepada harta orang dewasa, karena kedua harta itu
sama-sama dapat bertambah atau berkembang. Tetapi Mazhab

46 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh

Hanafi, tidak mengqiyaskannya kepada orang dewasa, namun kepada


ibadah, seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadah hanya
diwajibkan kepada orang yang mukallaf, termasuk di dalamnya
orang yang telah baligh, tetapi tidak diwajibkan kepada anak kecil.
Karena itu harta anak kecil tidak wajib dikeluarkan zakat.
3. Qiyas Syibh
Qiyas Syibh adalah qiyas yang far'u dapat diqiyaskan kepada
dua asl atau lebih, tetapi diambil asl yang lebih banyak
persamaannya dengan far'u. Seperti diyat membunuh budak dapat
diqiyaskan kepada hukum membunuh orang merdeka, karena kedua-
duanya adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta
benda, karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak
diqiyaskan kepada harta benda karena lebih banyak persamaannya
dibanding dengan diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana
harta, budak dapat diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain,
diwariskan, diwakafkan dan sebagainya.

C. Maslahah Mursalah
Para ulama memberikan pengertian maṣlaḥah mursalah atau
istiṣlāḥiah secara beragam. Menurut Muhammad Abu Zahrah
maṣlaḥah al-mursalah/istiṣlah yaitu:

‫ ﺍﻟﻤﺼﺎﻟﺢ ﺍﻟﻤﻼﺋﻤﺔ ﻟﻤﻘﺎﺻﺪ‬:‫ﺍﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﺍﻟﻤﺮﺳﻠﺔ ﺍﻭ ﺍﻹﺻﺘﺼﻼﺡ ﻫﻲ‬


47
‫ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ ﺍﻻﺳﻼﻣﻲ ﻭﻻ ﻳﺸﻬﺪ ﻟﻬﺎ ﺃﺻﻞ ﺧﺎﺹ ﺑﺎﻻﻋﺘﺒﺎﺭ ﺃﻭﺍﻵﻟﻐﺎء‬
Artinya:
Maṣlaḥah al-mursalah atau istiṣlāḥiahadalah kemaslahatan yang
sejalan dengan maksud syari’ tetapi tidak ada naṣ khusus yang
memerintahkan dan melarangnya.
Al-Syāṭibi mengemukakan bahwa maṣlaḥah al-mursalah
adalah maslahat yang tidak ditunjukkan oleh dalil yang mendukung
kebenarannya atau menolaknya, dan ia sesuai dengan keinginan
syara’. Yakni dalam maslahat itu ada aspek atau jenis yang
dibenarkan oleh syara’, sekalipun dalil tidak menyebutkannya secara
langsung, yaitu istidlal al-mursal yang dinamakan juga dengan
istiṣlāḥiah atau maṣlaḥah al-mursalah. Ini dapat dimaknai bahwa

47Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Kutub Ilmiyyah,


2000), h. 3.

Universitas Malikussaleh 47
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

tidak mungkin ada pertentangan antara naṣ yang sahih dan maslahat,
karena naṣ merupakan petunjuk untuk kemaslahatan.48
Amir ‘Abd al-‘Aziz mengemukakan maṣlaḥah al-mursalah
adalah yang ditetapkan hukum padanya akan berhasil menarik
manfaat dan berhasil pula menolak mudarat atau mafsadat bagi
manusia, sementara tidak ada dalil tertentu dari syara’ yang
menjelaskannya, baik yang membenarkan maupun yang
menolaknya.49 Senada dengan itu, Badran Abu al-‘Ainain mengatakan
bahwa maṣlaḥah al-mursalah adalah maslahat yang tidak diketahui
adanya dalil syara’ yang membenarkan atau yang membatalkannya.50
Ḥusain Ḥamid Ḥasan mengemukakan bahwa maṣlaḥah al-
mursalah adalah maslahat yang masuk ke dalam dalil syara’ yang
dipahami melalui penelitian terhadap berbagai naṣ.51 Menurut
Wahbah al-Zuḥaily, maṣlaḥah al-mursalah adalah beberapa sifat yang
sesuai dengan tindakan dan tujuan syara’ tetapi tidak ada dalil
tertentu dari syara’ yang membenarkan atau menggugurkan, dan
dengan ditetapkannya hukum padanya, akan tercapai kemaslahatan
dan tertolak kemudaratan dalam kehidupan manusia.52
Abdul Karim Zaidan mengemukakan bahwa maṣlaḥah al-
mursalah adalah kajian hukum dengan mempertimbangkan aspek
kemaslahatan serta menghindari kebinasaan, untuk sesuatu
perbuatan yang tidak diungkapkan secara ekplisit di dalam al-
Qur`an,53 akan tetapi masih terjangkau oleh prinsip-prinsip ajaran
yang diungkapkan secara induktif oleh al-Qur`an dalam suatu
perbuatan yang berbeda-beda. Dalam kontek ini al-Qur`an berposisi
bukan sebagai dalil yang menunjukkan norma hukum tertentu,
melainkan menjadi saksi atas kebenaran fatwa-fatwa hukumnya.
Dengan demikian sistem analisa dengan menggunakan maṣlaḥah al-

48 Al-Syaṭibi, al-I‘tiṣam, Jilid II, (Riyaḍh: Maktabah al- Riyaḍh al-Ḥaditsah,


t.th.), h. 115.
49Amir ‘Abd al-‘Aziz, Uṣul al-Fiqh al-Islami, JilidII, (Qahirah: Dar al-

Salam, 1997/1418), Cet I, h. 478-479.


50 Badran Abu al-Ainain, Uṣul al-Fiqh al- Islami, (Iskandariyyah:

Muassasah Shahab al-Jami‘ah, t. th.), h. 209.


51 Ḥusain Ḥamid Ḥasan, Naẓariyyat al-maṣlaḥah fī al-Fiqh al- Islami,

(Qahirah: Dar al-Nahḍah al-‘Arabiyyah, 1971), h. 60.


52 Wahbah Zuḥaili, Uṣul al-Fiqh al- Islami, JilidIII, (Beirūt: Dār al-Fikr al-

Mu‘āṣir, 1998), h. 757.


53Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz al-Fiqh,... h. 237.

48 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh

mursalah dapat dibenarkan karena sesuai dengan kecendrungan


syar’i dalam penetapan hukum suatu masalah.54
Al Yasa Abubakar memberikan pengertian maṣlaḥah al-
mursalah atau istiṣlāḥiah yaitu pola penalaran yang berupaya
mencari dan menemukan hukum (hukum syara’) atas suatu
perbuatan, atau berupaya merumuskan pengertian (konsepsi) dari
suatu perbuatan hukum, berdasarkan maslahat (yang hakiki) yang
ada pada perbuatan itu, setelah terlebih dahulu mengembalikannya
(membandingkannya) kepada naṣ yang relevan untuk mengetahui
kesejalanan maslahat yang ada dalam perbuatan dengan maslahat
yang dilindungi dan ingin dipenuhi oleh naṣ. Dengan kata lain apabila
pemberian hukum terhadap suatu perbuatan, atau pembuatan
definisi (konsepsi) atas sesuatu perbuatan hukum, dilakukan
berdasarkan pertimbangan bahwa maslahat yang ada dalam
perbuatan tersebut sejalan (mempunyai munasabah/relevan)
dengan maslahat yang ditemukan di dalam naṣ, maka pemberian
hukum tersebut dapat diterima (dianggap memenuhi persyaratan
metodelogis).55
Dari berbagai definisi di atas dapat dipahami bahwa
maṣlaḥah al-mursalah/istiṣlaḥiah merupakan suatu pendekatan
untuk memahami hukum atau memberikan definisi bagi suatu
permasalahan yang tidak ditemukan ketentuannya dalam naṣ,
dengan cara mempertimbangkan aspek maslahat yang hakiki dan
menolak mudharat guna melahirkan pedoman bijak dalam menata
kehidupan manusia untuk mencapai kedamaian, keselamatan, dan
kesejahteraan di dunia dan di akhirat.
Maṣlaḥah al-mursalah atau penalaran istiṣlāḥiah mempunyai
dua fungsi yaitu untuk menetapkan hukum syara’ bagi kasus yang
belum ada ketentuan hukumnya, dan mendefinisikan (konsepsi) bagi
suatu aturan fiqh dan siyāsah al-syar’iyah yang belum ada definisi
sebelumnya, atau tidak relevan lagi dengan definisi yang telah ada.
Keduanya dilakukan melalui penalaran dengan pertimbangan
kemaslahatan lalu membandingkan dengan maksud dan tujuan naṣ.
Penetapan hukum Islam dengan menggunakan penalaran
istiṣlāḥiah merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam
menetapkan hukum syara’ selain melalui pendekatan kaidah
kebahasaan (lughawiyah) yang sering digunakan oleh para ulama.
Jika dibandingkan antara penetapan hukum berdasarkan pendekatan

54 Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum, ...h. 68.


55 Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum, ...h 75-76.

Universitas Malikussaleh 49
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

istiṣlāḥiah dengan pendekatan lughawiyah, maka pendekatan


istiṣlāḥiah dapat membuat hukum Islam lebih fleksibel, karena
pendekatan ini akan menghasilkan hukum Islam yang bersifat
kontekstual. Sementara pengembangan hukum Islam melalui
pendekatan kaidah kebahasaan relatif kaku (rigid) dan sering
kehilangan nuansa kontekstualnya.56
Di samping itu jumlah peristiwa hukum yang terus
berkembang seiring perkembangan waktu, sementara teks agama
yang terbatas dan telah berhenti turun bersamaan dengan wafat
Rasulullah Saw menimbulkan kesenjangan, namun kesenjangan ini
dapat diatasi dengan mengembangkan pola istinbath hukum secara
kreatif dan dinamis, antara lain melalui pola istiṣlaḥiah. Bahkan
semua mujtahid memahami, bahkan sepakat bahwa latar belakang
atau motif turunnya teks agama tidak lain adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi umat manusia.57
Para ulama mengemukakan beberapa alasan ilmiah yang
mendukung pola atau metode maṣlaḥah al-mursalah/istiṣlah. ‘Ali
Hasballah mengemukakan beberapa argumentasi sebagai berikut:
a. Bahwa syari’at Islam diturunkan untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi umat manusia, dengan demikian
kebolehan seseorang mengkonsumsi sesuatu yang
diharamkan disaat dharurat atau terpaksa dalam batas
tertentu sebagai upaya mewujudkan kemaslahatan.
b. Bahwa kemaslahatan manusia yang berhubungan dengan
kepentingan duniawi selalu berubah sesuai dengan
situasi dan kondisi yang dihadapi, apabila kemaslahatan
tidak diperhatikan dan diwujudkan tentu manusia akan
mengalami kesulitan. Maka Islam perlu memberikan
perhatian terhadap berbagai kemaslahatan dengan tetap
berpegang teguh kepada prinsip-prinsip syarī’ah.
c. Bahwa syara’ menjelaskan alasan (‘illat) berbagai hukum
ditetapkan dengan berbagai sifat yang melekat pada
perbuatan yang dikenai hukum tersebut. Apabila dapat
diterima, maka ketentuan seperti ini juga berlaku bagi

56 Ahmad Munif Suratmaputra, Fisafat Hukum Islam al-Ghazali; Maṣlahah-


Mursalahdan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2002), h. 104.
57Abu Yazid, Urgensi Maqashid al-Syariah..., h. 120.

50 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh

hukum yang ditetapkan berdasarkan maṣlaḥah al-


mursalah.58
Mustafa Zaid juga mengemukakan alasan yang memperkuat
penggunaan maṣlaḥah al-mursalah dalam penetapan hukum Islam,
yaitu:
a. Bahwa tujuan diturunkan syari’at Islam adalah supaya
mukallaf tidak melakukan suatu tindakan atau perbuatan
menurut kehendak hawa nafsunya, karena perbuatan
yang didorong oleh hawa nafsu biasanya akan
berhadapan dengan kebinasaan (mafsadat).
b. Para ulama sepakat bahwa dalam setiap perbuatan selalu
terdapat aspek maslahat atau mafsadat, memelihara atau
mewujudkan maslahat merupakan bagian terpenting
untuk memperoleh kehidupan yang layak dunia dan
akhirat.
c. Kebanyakan maslahat atau mafsadat dipengaruhi oleh
perkembangan kondisional, karena itu kajian maslahat
harus dilakukan secara kontinyu dengan senantiasa
memperhatikan kondisi masyarakat.59
Sedangkan menurut Abu Yazid, alasan penggunaan maṣlaḥah
al-mursalah sebagai metode kajian hukum Islam adalah karena
mengingat realitas kehidupan masyarakat tidak seluruhnya diatur
dalam naṣ, bahkan sebahagian besarnya sama sekali tidak diatur oleh
naṣ secara relatif jelas, untuk itu sumber hukum primer berupa teks
agama (al-Qur`an dan ḥadīs) perlu dikembangkan dan disandingkan
dengan sumber-sumber yang lain yang berdimensi nalar ijtihad,
salah satunya maṣlaḥah al-mursalah. Sumber hukum tambahan
seperti ini sangat dibutuhkan dalam setiap aktivitas perumusan
hukum untuk mensinergikan pesan-pesan umum teks agama dengan
realitas perubahan yang tidak mungkin dihindarkan, sehingga
menciptakan tata kelola kehidupan yang harmonis sesuai dengan
cita-cita luhur agama Islam (maqāṣid al-syar’iyyah).60
Dari berbagai argumentasi yang telah dikemukakan di atas
dapat dipahami bahwa maslahat bukanlah hal yang asing bagi hukum

58 ‘Ali Hasballah, Ushūl al-Tasyri’ al-Islamy, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi,


1997), Cet. 7, h. 141-142.
59 Musfata Zaid, al-Maslahat fi al-Fiqh al-Islamy, ...h. 50.

60Abu Yazid, Urgensi Maqashid al-Syariah Dalam Penerapan Hukum Islam,

Persepsi Fiqh Siyasah Tentang Pola Hubungan Agama dan Negara, “Istiqro’, Volume
10, Nomor 01, 2011, h. 97.

Universitas Malikussaleh 51
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

Islam, maslahat merupakan tujuan utama disyari’atkan hukum Islam.


Untuk itu pendekatan maslahat dalam pembentukan hukum Islam
tidaklah bertentangan. Selanjutnya penalaran merupakan metode
istinbath hukum Islam yang bersifat alternatif mengingat
keterbatasan teks agama di satu pihak dan realitas kehidupan
masyarakat yang senantiasa berkembang dan tidak semuanya diatur
oleh naṣ dipihak yang lain.
Dengan adanya metode ini diharapkan perkembangan hukum
Islam tidak mengalami stagnan yang dapat menghambat tercapainya
kemaslahatan bagi kehidupan manusia sebagaimana yang diinginkan
oleh hukum Islam itu sendiri. Hukum Islam bukan bekerja untuk
dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih
besar di luarnya, yaitu untuk mengapresiasi keberadaan realitas yang
mesti mendapatkan perhatian dan jawaban.
Sekalipun maṣlaḥah al-mursalah dapat digunakan sebagai
pola istinbath hukum, namun para ulama ushūl fiqh membuat
sejumlah persyaratan dan ruang lingkup kerja metode ini. Al-Ghazali,
al-Syāṭibī dan al-Ṭūfi membuat persyaratan dan ruang lingkup
operasional maṣlaḥah, persyaratan yang mereka buat berbeda satu
sama lain, namun mengenai ruang lingkup operasionalnya hampir
semua mereka mempunyai pendapat yang sama.
Al-Ghazali membuat persyaratan metode maṣlaḥah untuk
dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam, yaitu:
Pertama, maṣlaḥah tersebut harus sejalan dengan tujuan penetapan
hukum Islam yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta dan
keturunan atau kehormatan. Kedua, maṣlaḥah tersebut tidak boleh
bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah dan ijma’ (konsensus).
Ketiga, maṣlaḥah tersebut menempati level al-ḍarūriyyāt (primer)
atau al-ḥājiyyāt (sekunder) yang setingkat dengan al-ḍarūriyyāt.
Keempat, kemaslahatannya harus berstatus qath’i atau zann yang
mendekati qath’i. Kelima, dalam kasus-kasus tertentu diperlukan
persyaratan, harus bersifat qath’i, dharuri,dan kulli.61
Berdasarkan persyaratan yang dibuat oleh al-Ghazali di atas
terlihat bahwa ia tidak memandang maṣlaḥah sebagai dalil yang
berdiri sendiri, terlepas dari al-Qur’an, Sunnah dan ijma’. Al-Ghazali
memandang maṣlaḥah hanya sebagai sebuah metode istinbath
(menggali/penemuan) hukum, bukan sebagai dalil atau sumber
hukum Islam yang memiliki persyaratan yang ketat. Selain tidak
bertentangan dengan naṣ, beliau juga mensyaratkan kemaslahatan

61 Muhammad Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosophy, ...h. 151.

52 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh

itu bersifat qath’i yaitu kemanfaatannya yang hakiki, bukan bersifat


khayalan dan dapat dibuktikan secara gamblang.
Selain bersifat hakiki kemaslahatan tersebut juga harus
bersifat cukup penting, al-Ghazali menyebutkan bahwa maslahat
yang ditetapkan berdasarkan maṣlaḥah harus berada pada level al-
ḍarūriyyāt atau paling kurang level al-ḥājiyyāt, ini menunjukkan
bahwa penggunaan metode maṣlaḥah hanya untuk merealisasikan
keperluan atau kepentingan yang lebih besar dan mendasar bagi
kehidupan manusia, yang dapat menimbulkan kesulitan, kepayahan
yang berkepanjangan bahkan kepunahan seandainya keperluan dan
kepentingan tersebut tidak terpenuhi. Sedangkan penggunaan
metode istiṣlāḥiah untuk merealisasikan kebutuhan al-taḥsiniyyāt
(tersier) tidak dibenarkan, karena kebutuhan tersebut tidak
mendesak untuk direalisasikan.
Adapun mengenai ruang lingkup operasional maṣlaḥah, al-
Ghazali tidak menyebutkan secara tegas, namun jika diamati dari
penjelasannya mengenai maṣlaḥah dalam buku-bukunya seperti al-
Mankhul, Asas al-Qiyas, Shifa’ al-Galil, dan al-Muṣtaṣfa dapat
disimpulkan bahwa al-Ghazali membatasi ruang lingkup operasional
maṣlaḥah yaitu hanya di bidang muamalah saja.
Berbeda dengan al-Ghazali, al-Syāṭibī hanya membuat dua
kriteria atau persyaratan agar maṣlaḥah al-mursalah atau istiṣlāḥiah
dapat diterima sebagai dasar pembentukan hukum Islam. Pertama,
maṣlaḥah tersebut harus sejalan dengan jenis tindakan syara’, karena
itu maṣlaḥah yang tidak sejalan dengan jenis tindakan syara’ atau
yang berlawanan dengan dalil syara’ yaitu al-Qur’an, Sunnah dan
ijma’ tidak dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum
Islam. Kedua, maṣlaḥah seperti kriteria nomor satu di atas tidak
ditunjukkan oleh dalil khusus. Jika ada dalil khusus yang
menunjukkannya maka menurut al-Syathibi itu termasuk dalam
kajian qiyas.62
Jika dibandingkan antara persyaratan yang dibuat al-Ghazali
dengan al-Syāṭibī di atas, maka persyaratan yang dibuat oleh al-
Syāṭibī jauh lebih longgar. Ini merupakan suatu hal yang wajar
karena al-Syāṭibī termasuk golongan ulama penganut mazhab
Malikiyah yang sering menjadikan maṣlaḥah sebagai dasar
penetapan hukum Islam. Letak kelonggaran dari persyaratan yang
dibuat oleh Al-Syātibi adalah membolehkan penggunaan metode
maṣlaḥah untuk semua level keperluan manusia baik al-ḍarūriyyāt,

62 Al-Syatibi, al-Muwafaqat...,.h. 345.

Universitas Malikussaleh 53
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

al-ḥājiyyāt, dan al-taḥsiniyyāt, sepanjang kemaslahatan yang


ditetapkan sejalan dengan prinsip syara’, yaitu tidak bertentangan
dengan al-Qur’an, Sunnah dan ijma’. Sebaliknya al-Ghazali membatasi
penggunaan metode istiṣlah hanya untuk menetapkan kemaslahatan
bagi keperluan al-ḍarūriyyāt (primer) dan al-ḥājiyyāt (sekunder)
saja.
Al-Ghazali dan al-Syāṭibī juga berbeda dalam memandang
maṣlaḥah sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam. Al-Ghazali
memandang maṣlaḥah sebagai dalil yang tidak berdiri sendiri,
sedangkan al-Syāṭibī adalah sebaliknya memandang maṣlaḥah
sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri. Al-Syāṭibī berpendapat
demikian karena metode istiṣlāḥiahd alam menetapkan hukum Islam
tidak berdasarkan kepada naṣ tertentu, tetapi hanya berdasarkan
maṣlaḥah yang sejalan dengan tujuan penetapan hukum syara’.
Adapun mengenai ruang lingkup operasional maṣlaḥah, al-
Syāṭibī dan al-Ghazali mempunyai pendapat yang sama, yaitu hanya
berlaku dalam bidang muamalah, dan tidak berlaku dalam bidang
akidah dan ibadah. Begitu juga dengan al-Tufi yang dianggap sebagai
orang yang paling berani dan paling kontroversi pendapatnya
tentang maṣlaḥah juga menetapkan bidang mu’amalah dan
sejenisnya sebagai ruang lingkup operasional maṣlaḥah.
Menurut al-Thufi, maṣlaḥah tidak berlaku pada bidang
ibadah, dan sejenisnya. Al-Thufi membangun pendapatnya atas
empat dasar, yaitu: Pertama, akal manusia dapat menemukan dan
membedakan mana maṣlaḥah dan mana mafsadat, karena akal
manusia dapat membedakan mana maslahat dan mana yang
mafsadat. Kedua, maṣlaḥah merupakan dalil yang berdiri sendiri,
terlepas dari naṣ. Ketiga, lapangan atau ruang lingkup operasional
maṣlaḥah hanya dalam bidang muamalah dan adat, bukan pada
bidang ibadah. Dan keempat, maṣlaḥah merupakan dalil hukum Islam
yang paling kuat, karena maṣlaḥah bukan hanya dalil ketika tidak ada
naṣ dan ijma’ melainkan harus pula didahulukan atas naṣ dan ijma’
ketika terjadi pertentangan di antara keduanya.63 Pengutamaan
maslahat atas naṣ dan ijma’ tersebut dilakukan oleh al-Thufi dengan
jalan takhsis dan bayan, bukan dengan jalan meninggalkan naṣ,
sebagaimana mendahulukan Sunnah atas al-Qur’an dengan jalan
bayan.64

63 Malcom H. Keer, Moral and Legal Judgment Indevendent,... h. 278.


64 Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum,... h. 90.

54 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh

Al Yasa’ Abubakar, penulis buku Metode Istiṣlāḥiah membuat


sejumlah persyaratan untuk diterimanya penalaran istiṣlāḥiah
sebagai metode pembentukan hukum Islam, persyaratan yang
dikemukakannya merupakan simpulan dari berbagai pendapat
ulama terdahulu dengan beberapa tambahan darinya, yaitu; pertama,
penalaran tersebut harus bertumpu pada pertimbangan maslahat
(tepatnya maslahat yang hakiki); kedua, maslahat yang ada dalam
perbuatan itu harus sejalan dengan maslahat yang ada dalam naṣ
(prinsip-prinsip syari’ah); ketiga, kesejalanan antara maslahat
seperti tersebut dalam syarat yang kedua diperoleh melalui langkah-
langkah penalaran istiṣlāḥiah (akan disebutkan di bawah); keempat,
kesimpulan yang diambil adalah menemukan atau memberikan
hukum syara’ atas sesuatu perbuatan (hukum), atau membuat
definisi (konsepsi) atas suatu perbuatan (hukum).65
Al Yasa’ Abubakar tidak membatasi penalaran istiṣlāḥiah
untuk merealisasikan kebutuhan untuk level tertentu saja, namun
semua level kebutuhan manusia baik al-ḍarūriyyāt, al-ḥājiyyāt dan al-
taḥsiniyyāt dapat dicari atau direalisasikan melalui metode
istiṣlāḥiah. Dalam hal ini ia berpandangan sama dengan al-Syāṭibī di
atas. Sebagai tambahan atas pendapat ulama terdahulu dalam
penalaran istiṣlāḥiah, ia merumuskan cara kerja metode ini dalam
bentuk langkah-langkah yang sistematis dalam penalaran istiṣlāḥiah.
Dalam langkah tersebut bukan hanya mencari kemaslahatan dan
kesesuaiannya dengan naṣ, namun juga perlu memperhartikan ‘urf
masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan modern. Lebih
jelas mengenai langkah-langkah metode istiṣlāḥiah akan disebutkan
di bawah.
Tambahan lainnya terletak pada out put atau tujuan dari
penalaran istiṣlāḥiah yaitu untuk menentukan hukum atau
memberikan definisi (konsepsi) terhadap permasalahan yang belum
ada sebelumnya, ataupun tidak relevan lagi sehingga perlu diubah.
Hukum pada tataran praktis harus bisa menjawab permasalahan
masyarakat, tidak hanya menetapkan hukum bagi suatu masalah,
tetapi pada tahap tertentu perlu memberikan definisi terhadap suatu
perbuatan hukum, karena dalam kehidupan masyarakat adakalanya
muncul permasalahan yang belum ada ketentuan hukumnya, kadang
pula muncul dinamika baru yang mengharuskan penyesuaian definisi
bagi suatu perbuatan hukum, hal itu dimungkinkan karena

65 Al Yasa’ Abubakar, Metode Istiṣlāḥiah, ...h. 76.

Universitas Malikussaleh 55
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

perubahan waktu dan tempat. Realitas tersebut menuntut


penyesuaian definisi perbuatan hukum pada masing-masing tempat.
Adapun langkah-langkah penalaran istiṣlāḥiah ada tujuh,
yaitu: Pertama, mengetahui kategori-kategori kemaslahatan yang
menjadi tujuan Allah dalam menurunkan syari’at, yang diperlukan
manusia untuk mempertahankan, menyelamatkan dan bahkan
meningkatkan kualitas kehidupan mereka, yang sudah dirumuskan
oleh para ulama berdasarkan penelitian induktif (istiqra’ ma’nawi)
atas naṣ yang ada. Dengan kata lain mengetahui kategori-kategori
perbuatan berdasarkan keperluan manusia atas perbuatan tersebut
serta mengetahui taklif (pembebanan) dan wadh’ (pengkondisian)
yang diberikan Allah mengenainya (maqāṣid al-syar’iyyah), yaitu
maqashid al-ḍarūriyyāt, al-al-ḥājiyyāt, dan al-al-taḥsiniyyāt.
Kedua, mengidentifikasi (mencari hakikat dari) perbuatan
yang ingin ditentukan hukum syara’-nya secara sungguh-sungguh,
dan seoptimal mungkin dalam arti mempertimbangkan, sehingga
diketahui secara meyakinkan (hakiki) apakah perbuatan itu
mengandung (mendatangkan) kemaslahatan atau tidak.
Ketiga, menghimpun naṣ yang berkaitan dengan masalah
yang sedang dibicarakan baik naṣ khusus maupun naṣ umum.
Menghimpun dan menguraikan naṣ umum diperlukan untuk
mengetahui prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya, yang pada
giliran berikutnya diperlukan untuk mengetahui kesejalanan
(relevansi, munasabah) antara maslahat yang ditemukan dalam
pembuatan baru (yang akan ditetapkan hukumnya itu) dengan
hukum yang akan dipilih (ditentukan) untuk perbuatan tersebut.
Prinsip-prinsip ini perlu diketahui karena akan digunakan sebagai
ukuran untuk menilai kesejalanan antara kemaslahatan pada langkah
pertama dengan identifikasi pada langkah kedua. Adapun
menghimpun naṣ khusus yang berkaitan atau lebih tepatnya naṣ-naṣ
yang dianggap dekat (berhubungan) dengan perbuatan (masalah)
yang akan diselesaikan hukumnya itu perlu dilakukan untuk
mengetahui bahwa perbuatan tersebut memang tidak mempunyai
naṣ khusus yang dapat dinalar secara langsung.
Keempat, meneliti dan mempelajari pendapat para ulama
masa lalu tentang masalah yang akan dicari ketentuan hukumnya itu
sekiranya masalah ini sudah pernah dibahas. Penelitian ini meliputi
dalil dan metode yang mereka gunakan, serta kesimpulan yang telah
pernah mereka ambil. Tetapi untuk masalah baru yang (kuat dugaan)
belum pernah dibahas, langkah ini tentu tidak perlu karena tidak
dapat dilakukan.

56 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh

Kelima, mempelajari adat istiadat dari kaum atau masyarakat


muslimin yang kepada mereka hasil istinbath (ijtihad) itu akan
diberlakukan. Mempelajari adat ini perlu karena ada yang baik yang
sejalan dengan fiqh tidak harus diubah dan dapat terus
dipertahankan. Sebaliknya hasil ijtihad para ulama dari masyarakat
muslim dengan adat yang berbeda boleh saja tidak diberlakukan dan
diganti dengan ijtihad baru. Sistem hukum, ekonomi dan lainnya
yang ada dan berlaku dalam suatu masyarakat adalah bagian dari
adat mereka, karena itu bentuk dan sistem peradilan sebagai contoh
harus dianggap sebagai bagian dari adat yang harus diteliti dan
dipertimbangkan dengan cermat dalam penetapan hukum syara’ dan
dalam pembuatan definisi atas perbuatan-perbuatan hukum.
Keenam, menggunakan hasil dan capaian ilmu pengetahuan
dan teknologi modern dalam kegiatan penalaran pada semua
tingkatannya. Hasil capaian ilmu pengetahuan dan teknologi perlu
dipertimbangkan dan digunakan, karena pada biasanya apa yang
dihasilkan dan dijelaskan oleh ilmu pengetahuan relatif telah terukur
dan tersistematisasi bahkan terbukti kemanfaatannya dan
kemudharatannya. Pemanfaatan hasil ilmu pengetahuan ini
diharapkan akan dapat menghemat tenaga dan waktu, serta lebih
dari itu diharapkan akan dapat memberikan hasil penalaran yang
lebih baik. Maksud dari “pada semua tingkatan” adalah penggunaan
hasil ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut pada semua jenjang
kegiatan penalaran. Jadi dimulai dari upaya untuk menguasai dan
memilih penggunaan berbagai jenis dan bentuk logika sebagai aturan
berfikir, sampai kepada pemanfaatan konsep-konsep, kategori,
sistem dan berbagai hal lain yang diperlukan dalam pencarian dan
perumusan hukum syara’ dan atau pembuatan, atau lebih dari itu
dalam upaya penyusunan sebuah fiqih yang sistematis dan
komprehensif.
Dan ketujuh, mengaduk, mengocok atau memutar enam
kegiatan di atas sampai jenuh sedemikian rupa, dan baru setelah itu
menentukan sebuah aturan hukum, atau merumuskan pengertian
dari suatu perbuatan hukum, sebagai kesimpulan akhir dari
rangkaian kegiatan penalaran ini.66
Dari itu dapat dipahami bahwa penalaran istiṣlāḥiah
merupakan upaya sistematis yang dilakukan oleh seorang mujtahid
untuk memahami ketentuan hukum atau definisi dari suatu masalah
melalui tujuh langkah atau tahapan yang dilakukan, yaitu memahami

66 Al Yasa’ Abubakar, Metode Istiṣlāḥiah, ...h. 77-78.

Universitas Malikussaleh 57
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

katagori maslahat, mengidentifikasi masalah yang akan dikaji,


menghimpun naṣ yang berkaitan dengan permasalahan, mempelajari
pendapat ulama terdahulu, mempelajari adat istiadat masyarakat,
menggunakan capaian ilmu pengetahuan dan teknologi modern, dan
terakhir adalah mengaduk dan memutar keenam kegiatan tersebut
sampai jenuh, kemudian menyimpulkan hukum atau definisi bagi
suatu permasalahan.

D. Urf/Adat
Secara bahasa kata ‘urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, ‘urfan,
sering diartikan dengan “al-ma’ruf”, yaitu sesuatu yang telah dikenal.
Di antara ahli bahasa Arab ada yang menyamakan kata ‘adat dan ‘urf,
seandainya kedua kata ini digabungkan dalam suatu kalimat,
misalnya: “hukum itu didasarkan kepada ‘adat dan ‘urf, tidaklah
berarti keduanya berbeda maksudnya, meskipun digunakan kata
hubung “dan” yang biasa dipakai sebagai kata yang membedakan
antara dua kata.67
Adapun secara istilah menurut Muhammad Abu Zahrah, ‘urf
adalah:
68
‫ﻣﺎﺍﻋﺘﺪﺍﻩ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﻣﻌﺎﻣﻼﺕ ﻭﺍﺳﺘﻘﺎﻣﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻣﻮﺭﻫﻢ‬
Artinya:
Sesuatu yang telah menjadi kebiasaan manusia dalam pergaulannya
dan telah mantap dalam urusan-urusannya.
Definisi lainnya dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaily, yaitu:

‫ﻣﺎﺍﻋﺘﺪﺍﻩ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﺳﺎﺭﻭ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﻛﻞ ﻓﻌﻞ ﺷﺎﻉ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﺍﻭ ﻟﻔﻆ ﺗﻌﺎﺭﻓﻮﺍ‬


‫ ﻭﻻ ﻳﺘﺒﺎﺩﺭ ﻏﻴﺮﻩ ﻋﻨﺪ‬,‫ﺍﻁﻼﻗﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﻌﻨﻰ ﺧﺎﺹ ﻻ ﺗﺄﻟﻔﻪ ﺍﻟﻠﻐﺔ‬
69
‫ﺳﻤﺎﻋﻪ‬

67Lihat Amir Syarifuddin, Ushūl Fiqh II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
2001), Cet. 2, h. 364.
68Muhammad Abu Zahrah, Ushūl Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr ‘Arabi, 1997),

Cet. 10, h. 273.


69Wahbah al-Zuhaily, Ushūl Fiqh Islamy, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1987), h.

58 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh

Artinya:
Sesuatu yang telah menjadi kebiasaan manusia dalam pergaulan
mereka, atau lafaz yang telah ma’ruf penggunaan kepada makna
yang khusus di luar makna baku, dan tidak terbayang kepada makna
lain saat mendengarnya.
Dari dua definisi di atas dapat dipahami bahwa ‘urf
merupakan suatu kebiasaan masyarakat (adat) yang dilakukan
secara terus menerus dalam kehidupan sehari-hari baik dalam
bentuk perbuatan ataupun perkataan. Sesuatu dianggap ‘urf jika
dilakukan secara kontinyu oleh suatu komunitas, atau masyarakat di
suatu tempat, ‘urf tidak harus terikat dengan kebiasaan atau makna
yang telah baku, di luar itu ‘urf memungkinkan membuat bentuk lain
yang berbeda, dan akan menjadi baku ketika suatu komunitas atau
masyarakat ramai-ramai menyetujui dan melakukannya.
Kedudukan ‘urf atau kesadaran hukum masyarakat dalam
konteks pembentukan hukum cukup sentral, ‘urf juga dapat
dipertimbangkan sebagai sumber hukum di kala naṣ tidak mengatur
suatu masalah. Berkenaan dengan kedudukan ‘urf dalam
pembentukan hukum Islam oleh Al-Qarafi, seorang ulama mazhab
Maliki pernah mengharamkan pemberian fatwa hukum bila
materinya bertentangan dengan adat-istiadat setempat. Lebih jauh ia
menegaskan bahwa fatwa yang mencerminkan realitas masyarakat
(‘urf) yang sudah melembaga dapat meruntuhkan tatanan konsensus
(ijma’) yang telah dibangun bersama dengan susah payah oleh para
ulama.70
Dalam ilmu sosiologi hukum disebutkan bahwa hukum
adalah bahagian dari kebudayaan suatu masyarakat, ia tidak dapat
dipisahkan dari jiwa serta cara berfikir suatu masyarakat yang
mendukung kebudayaan tersebut. Bahkan hukum adalah penjelmaan
dari pada jiwa serta cara berfikir masyarakat, yaitu penjelmaaan dari
pada struktur rohaniyah suatu masyarakat.71
Maka dalam membentuk hukum perlu mempertimbangkan
kesadaran hukum atau kebudayaan dari suatu masyarakat, di mana
kebudayaan atau nilai yang telah dijunjung tinggi oleh masyarakat

828.
Abu Yazid, Urgensi Maqashid al-Syariah Dalam Penerapan Hukum Islam,
70

Dalam Jurnal Istiqro’, Volume 10, Nomor 01, 2011 (Jakarta: Dirjen Pendis,
Kemenag RI), h. 94.
71Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam

Masyarakat, Edisi 2 (Jakarta: Rajawali, 1982), h. 33.

Universitas Malikussaleh 59
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

lalu diformal menjadi hukum positif. Hukum yang demikian akan


lebih mudah berjalan, karena jauh-jauh sebelum itu masyarakat telah
dapat menerima eksistensi norma tersebut untuk dijadikan hukum
positif.
Kedudukan ‘urf (realitas masyarakat) sebagai dasar hukum
maupun tatanan hidup yang pantas dipedomani berdasarkan bunyi
sebuah kaidah (maxim):
72
‫ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﺍﻟﻤﺤﻜﻤﺔ‬
Artinya:
Adat kebiasaan itu dapat dijadikan dasar hukum.
Maksud dari kaidah ini adalah suatu tradisi atau kebiasaan
masyarakat dapat menjadi patokan atau pedoman (hujjah) dalam
menetapkan hukum Islam bagi para mujtahid atau hakim pada
pengadilan, selama tidak atau belum ditemukan naṣ yang secara
khusus mengatur suatu masalah. Artinya adat yang ada dalam suatu
masyarakat dapat diterima dan diakui keberadaannya oleh fiqh.
Kaidah di atas merupakan kaidah induk yang membawahi
beberapa kaidah lain di bawahnya yang merupakan kaidah cabang,
sebahagian kaidah cabang itu mempunyai makna yang sama dengan
kaidah induk, sedangkan sebahagian yang lain merupakan qayid
(batasan) bagi kaidah induk. Adapun kaidah-kaidah cabang tersebut
antara lain adalah:73

‫ﺣﺠﺔ ﻳﺠﺐ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﻬﺎ‬


ّ ‫ ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﺍﻟﻨﺎﺱ‬-
Kebiasaan manusia menjadi dalil yang wajib diamalkan

‫ ﺍﻟﻤﻤﺘﻨﻊ ﻋﺎﺩﺓ ﻛﺎﻟﻤﻤﺘﻨﻊ ﺣﻘﻴﻘﺔ‬-


Larangan adat seperti larangan syara’

‫ ﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﻋﺮﻓﺎ ﻛﺎﻟﻤﺸﺮﻭﻁ ﺷﺮﻁﺎ‬-

Sesuatu yang berlaku secara ‘urf adalah seperti suatu yang telah
disyaratkan.

‘Abdul Latif, Qawaid wa al-Dhawabizd al-Mutadhammin li al-Taisir, Juz 1,


72

(Madinah: Jamiah al-Islamiyyah, 2003, h. 297.


73‘Abdul Latif, Qawaid wa al-Dhawabizd…, h. 298.

60 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh

‫ ﺍﻧﻤﺎ ﺗﻌﺘﺒﺮ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﺍﺫﺍ ﻁﺮﺩﺕ ﺃﻭ ﻏﻠﺒﺖ‬-

“Hanya saja yang dianggap adat adalah sesuatu yang telah duluan ada
dan berlaku umum”

‫ ﺍﻟﻌﺒﺮﺓ ﻟﻠﻐﺎﻟﺐ ﺍﻟﺸﺎﺋﻊ ﻻ ﻟﻨﺎﺩﺭ‬-

“Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh
manusia bukan dengan yang jarang terjadi”

‫ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺑﺈﻣﻌﺘﺎﺩﻻ ﺑﺎ ﺍﻟﻨﺎﺩﺭ‬-


“Hukum itu dengan yang biasa terjadi bukan yang dengan jarang
terjadi”

‫ ﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺘﺠﺎﺭ ﻛﺎ ﻟﻤﺸﺮﻭﻁ ﺑﻴﻨﻬﻢ‬-

“Sesuatu yang tealah dikenal diantara pedagang berlaku sebagai


syarat diantara mereka”

‫ ﺗﻌﻴﻴﻦ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﻛﺎﻟﺘﻌﻴﻴﻦ ﺑﺎﺍﻟﻨﺺ‬-

“Ketentuan berdasarkan urf seperti berdasarkan naṣ”

‫ ﺍﻟﺤﻘﻴﻘﺔ ﺗﺘﺮﻙ ﺑﺪﻻﻟﺔ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ‬-

“Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti


menurut adat”

‫ ﺍﻻﺫﻥ ﺍﻟﻌﺮﻓﻰ ﻛﻼﺫﻥ ﺍﻟﻠﻔﻈﻰ‬-

“Kerelaan yang berlaku secara ‘urf sama seperti kerelaan yang


diucapkan dengan kata-kata”

Universitas Malikussaleh 61
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

Legalitas ’urf (adat) sebagai rujukan hukum juga dikuatkan


oleh ḥadīts yang berasal dari Abdullah ibn Mas’ud yang dikeluarkan
oleh Imam Ahmad dalam musnad-nya, yaitu:

َ ْ ُ ْ ُ ّ ‫ﺭﺃﻯ‬
‫ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ‬ َ َ ‫ﻭﻣﺎ‬
َ َ ,‫ﺣﺴٌﻦ‬ َ ُ َ ً ‫ﺣﺴﻨﺎ‬
ْ ِ ‫ﻓﻬﻮ‬
َ َ ِ‫ﻋﻨﺪَ ﷲ‬ ِ ُ ِ ْ ُ ّ ‫ﺭﺃﻯ‬
ْ ُ ‫ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ‬ َ َ َ ‫َﻓﻤﺎ‬

‫ﺳﻴﺊ‬
ٌ ِّ َ ِ‫ﻋﻨﺪَ ﷲ‬ َ ُ َ ً ‫ﺳﻴﺌﺎ‬
ْ ِ ‫ﻓﻬﻮ‬ ِّ َ
74

Artinya:
Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka disisi Allah hal
itu juga baik. Dan sesuatu yang dipandang buruk oleh umat Islam,
maka di sisi Allah hal itu juga buruk.
Jadi kedudukan realitas masyarakat (adat) yang
dipresentasikan oleh kebanyakan umat Islam dapat dijadikan
sumber pijakan hukum, ini menunjukkan bahwa keterkaitan realitas
masyarakat dengan ketentuan hukum cukup erat. Sesuatu yang
dianggap baik oleh masyarakat dapat berpotensi menjadi anjuran
syara’, demikian pula hal yang buruk menurut masyarakat juga
berpotensi menjadi larangan syara’.
Secara umum metode ‘urf (adat) di amalkan oleh semua
ulama fiqh dalam membuat ketentuan hukum syara’, terutama ulama
mazhab Hanafiyah dan Malikiyyah. Ulama Hanafiyah menggunakan
istihsan dalam berijtihad, dan salah satu bentuk istihsan itu adalah
istihsan bi al-‘urfi, yaitu istihsan yang bersandar kepada ‘urf, ulama
mazhab ini mendahulukan ‘urf atas qiyas khafī dan juga atas naṣ yang
umum, dalam hal ini kedudukan ‘urf untuk men-takhsis umum naṣ.
Ulama Malikiyyah menjadikan ‘urf atau tradisi masyarakat
Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan
mendahulukannya dari ḥadīts aḥad. Ulama Syafi’iyah juga banyak
menggunakan‘urf pada masalah-masalah yang tidak menemukan
batasannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa, ulama
mazhab ini membuat sebuah ketentuan bahwa setiap yang datang
dari syara’ secara mutlak, tanpa ada batasannya dalam syara’
maupun bahasa, maka dikembalikan kepada ‘urf.75

74 Imam Ahmad, Musnad li al-Imam Ahmad ibn Hanbal, (Kairo: Dar-Al-


Hadis, 1995), h. 989.
75Amir Syarifuddin, Ushūl Fiqh II...,h. 375.

62 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh

Saking eratnya hubungan realitas masyarakat dengan


pembentukan hukum menjadikan perubahan atau perbedaan ‘urf
suatu masyarakat dapat mempengaruhi pembentukan ataupun
perubahan hukum, karena sejatinya hukum dibangun untuk
kepentingan masyarakat, dengan adanya hukum dapat menjamin
kenyamanan, menjadi solusi bagi setiap masalah yang muncul dalam
masyarakat, bukan malah sebaliknya keberadaan hukum menjadi
bumerang bagi masyarakat itu sendiri.
Ibnu Qayyim al-Jauziy mengemukakan bahwa: “Perubahan
fatwa dapat terjadi disebabkan adanya perubahan waktu, tempat dan
keadaan”. Namun pembentukan hukum dalam konteks perubahan
dan perbedaan ‘urf masyarakat juga tidak dengan begitu saja atau
secara dipaksakan, tetapi harus melalui kajian dan berbagai
pertimbangan yang matang, dan yang paling penting adalah
memastikan bahwa hukum tersebut mempunyai akses untuk
diterapkan, karena dibutuhkan dan adanya naṣ ataupun ‘illat syar’i
padanya.76
Wahbah al-Zuhaily juga mengemukakan bahwa perubahan
hukum disyaratkan untuk memperhatikan ‘urf masyarakat, hukum
dapat berubah jika terjadi perubahan ‘urf, atau muncul keadaan
darurat, atau kerusakan masyarakat yang telah menjadi-jadi yang
tidak memadai lagidengan ketentuan yang telah ada.Dalam keadaan
seperti ini hukum dapat dirubah demi menghindari kesukaran dan
kemudharatan, karena kedudukan dan prinsip hukum Islam adalah
mewujudkan kemudahan, dan menolak segala bentuk kepayahan dan
kerusakan.77
Secara umum perubahan hukum disebabkan oleh dua faktor,
pertama, karena munculnya kejahatan atau penyimpangan bentuk
baru yang merusak tatanan masyarakat, menggangu kestabilan dan
kenyamanan hidup masyarakat, sementara itu belum ada aturan
yang mengatur masalah tersebut; kedua, karena perubahan situasi
dari suatu keadaan kepada keadaan yang lebih kondusif atau
sebaliknya semakin parah dan darurat, sehingga memerlukan
perubahan hukum menjadi lebih longgar atau lebih ketat.
Contoh perubahan hukum karena perubahan situasi adalah
fatwa ulama generasi terakhir (mutaakkhirun) dari Mazhab Hanafi
tentang bolehnya mengambil upah dari mengajar al-Qur`ān, imam

76 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ‘Ilam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamīn, Jilid


III, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), h. 11.
77Wahbah al-Zuhaily, Ushūl Fiqh Islamy...,h. 835.

Universitas Malikussaleh 63
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

shalat, mengumandangkan azan, dan perbuatan ibadah lainnya.


Pendapat ini berbeda dari ketentuan yang ada sebelumnya yang
melarang demikian. Alasannya karena perubahan zaman, sekarang
ini tidak ditemukan lagi lembaga Baitil Mal yang berperan membiayai
upah guru agama, muazzin, imam shalat dan lain-lain. Jika dilarang
mengambil upah, seseorang akan enggan melakukan pekerjaan ini,
dan lebih memilih pekerjaan lain seperti bertani, bertukang dan lain
sebagainya untuk menutupi kebutuhan hidup mereka. Akhirnya
masalah pembelajaran al-Qur`ān, dan syiar Islam menjadi terabaikan,
tidak ada orang yang memperdulikan.
Contoh lainnya adalah larangan anak gadis keluar shalat
berjamaah ke mesjid untuk masa sekarang ini, padahal sebelumnya
pada masa Rasulullah Saw hal itu tidaklah dilarang. Alasan dilarang
di masa sekarang karena banyak ditemukan gangguan di jalan yang
membahayakan keselamatan dan kehormatan para perempuan,
terutama bagi mereka yang masih gadis.78
Kedua contoh di atas menunjukkan kolerasi antara situasi
masyarakat dan perubahan hukum, keadaan atau situasi masyarakat
termasuk kebiasaan mereka mempengaruhi pembentukan dan
perubahan hukum. Pembentukan hukum disesuaikan dengan situasi
masyarakat, sesuatu yang awalnya haram kemudian dapat menjadi
halal, sebaliknya hal yang sebelumnya halal kemudian menjadi
haram tergantung kondisi masyarakat. Hukum dibuat untuk
kepentingan masyarakat, oleh sebab itu dalam pembentukan hukum
juga perlu mempertimbangkan situasi dari masyarakat.
Kedudukan ‘urf memang diakui dan cukup penting dalam
perumusan hukum, namun bukan berarti setiap ‘urf dapat diterima
sebagai dasar hukum, akan tetapi yang dapat diterima hanyalah yang
sesuai dengan ketentuan naṣ.79 Para ulama, utamanya yang
bermazhab Hanafi dan Maliki menerima ‘urf sebagai sumber (dalil)
hukum Islam dengan dua syarat. Pertama, ‘urf tersebut tidak
bertentangan dengan naṣ dan kedua, ‘urf tersebut sesuai dengan akal
sehat, atau dengan kata lain tidak berpotensi membawa mudharat
atau ketidakadilan.80
Ditinjau dari segi keabsahannya ‘urf terbagi kepada ‘urf
shahih dan ‘urf fasid. ‘Urf shahih adalah suatu tradisi atau kebiasaan
masyarakat yang tidak bertentangan dengan naṣ (Al-Qur’an dan

78Wahbah al-Zuhaily, Ushūl Fiqh...,h. 836-837.


79Ahmad bin Hamid, Syarah Warqat, (t.tp, tt), h. 16.
80 Al Yasa’ Abubakar, Metode Istiṣlāḥiah, ...h. 235.

64 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh

Hadis), serta tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan


yang halal.Sedangkan ‘urf fasid adalah suatu tradisi atau kebiasaan
masyarakat yang bertentangan dengan al-Qur`an dan Sunnah, serta
menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal atau
menggugurkan kewajiban.81
Contoh ‘urf shahih adalah seperti tradisi masyarakat di
Indonesia menggunakan kain sarung dan kopiah (peci) untuk shalat,
ataupun tradisi masyarakat membuat makanan saat hari raya Islam
untuk menyambut tamu, membawa kado atau hadiah pada acara
walimatul ‘ursy (pesta pernikahan), dan lain-lain. Sedangkan contoh
‘urf fāsid seperti tradisi masyarakat yang menyajikan sesajen di
kuburan atau di tempat-tempat angker lainnya, kebiasaan minum
khamar dalam masyarakat jahiliyyah, dan lain-lain.
Dalam pembentukan hukum syara’ yang digunakan hanyalah
‘urf ṣahīh saja,‘urf tersebut digunakan karena dipandang relevan
dengan kebutuhan masyarakat serta mampu memberikan solusi bagi
permasalahan masyarakat, dan yang paling penting bahwa ‘urf
tersebut tidak bertentangan dengan naṣ dan ketentuan syara’.82
Banyak kebiasaan masyarakat kemudian dipertahankan dan
dijadikan landasan hukum, seperti beberapa transaksi pada masalah
muamalat dan munakahat, seperti kebolehan melakukan akad
istishna’ (memesan atau menempah barang), kebolehan
menyerahkan uang panjar sebagai tanda telah ada transaksi atas
suatu barang, dan lain-lain.83
Para ulama menggunakan ‘urf (adat) sebagai dalil dalam dua
hal; pertama, sebagai dalil untuk kebolehan melakukan atau tidak
melakukan sesuatu ketika naṣ tentang masalah tersebut tidak ada;
kedua, sebagai dalil untuk menjelaskan makna lafaz atau konsep yang
digunakan dalam naṣ, yang tidak memadai sekiranya hanya
dijelaskan atau diberi arti secara lughawiyah (bahasa).84Jadi adat
memiliki relasi yang erat dengan naṣ, yang saling melengkapi satu
sama lain dalam konteks pembentukan hukum dan penafsiran
terhadap lafaz-lafaz naṣ yang tidak jelas maknanya.
Lebih lanjut mengenai relasi antara naṣ dan adat dalam
kontek pembentukan hukum dapat dilihat dengan tiga cara; pertama,
adat diterima secara penuh, sehingga adat tersebut dalam bentuk apa

Wahbah al-Zuhaily, al-Wajiz fi Ushūl al-Fiqh, Cet. 1, (Damsyiq: Dar al-


81

Fikr, 1999), h. 98.


82Wahbah al-Zuhaily, al- Wajiz fi Ushūl al-Fiqh..., h. 98-99.

83Al Yasa’ Abubakar, Metode Istiṣlāḥiah...,h. 236.

84Al Yasa’ Abubakar, Metode Istiṣlāḥiah...,h. 235-236.

Universitas Malikussaleh 65
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

adanya terserap ke dalam fiqh dan menjadi bagian dari fiqh; kedua,
adat tersebut menyebabkan perubahan pemahaman dan penafsiran
terhadap naṣ, sehingga hukum syara’atau konsepsi yang dihasilkan
menjadi tidak sama dengan hukum syara’ atau konsepsi yang
sebelumnya digunakan, dan juga tidak persis sama dengan adat yang
ada dalam masyarakat. Dengan kata lain naṣ mengubah adat sampai
batas tertentu, demikian pula adat pada batas tertentu mengubah
pemahaman atas naṣ; ketiga, ketentuan dalam al-Qur`an tidak dapat
diubah, sehingga adatlah yang harus berubah, adatlah yang harus
menyesuaikan diri dengan ketentuan naṣ. Aturan yang masuk
kategori ketiga ini sebagian berhubungan dengan naṣ yang qath’i al-
dilalah dan sebagian berhubungan dengan naṣ yang zhann al-dilalah
yang artinya belum berubah (tidak perlu berubah atau tidak cukup
alasan untuk mengubahnya).85
Dengan demikian penggunaan‘urf harus memperhatikan
keberadaan naṣ, yang digunakan pada saat naṣ tidak mengatur
hukum suatu masalah, atau tidak memberikan akses yang lebih
akurat tentang makna suatu lafaz, maka ‘urf dapat digunakan untuk
menetapkan hukum bagi suatu permasalahan dan memberikan
pengertian bagi suatu lafaz. Namun jika naṣ telah menetapkan hukum
atau memberikan penafsiran secara lebih rinci dan akurat, maka ‘urf
harus menyesuaikan diri dengan ketentuan naṣ tersebut.

E. Sadd Zara’i
Kata sadd al-zari’ah merupakan bentuk gabungan dari dua
kata, yaitu sadd dan adz-dzari’ah. Secara etimologis, kata sadd
berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun
lobang. Sedangkan dzari’ah merupakan kata benda bentuk tunggal
yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu.
َ ْ ِ ‫ ﱠ‬adalah ‫ﺍﻟﺬﺭِﺍﺋﻊ‬
Bentuk jamak dari ‫ﺍﻟﺬﺭﻳﻌﺔ‬ َ ‫ ﱠ‬. Karena itulah, dalam beberapa
kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-
Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd al-dzara’i.
Ibn Qayyim al-Jauzi mengatakan bahwa pembatasan
pengertian dzari’ah kepada sesuatu yang dilarang saja tidak tepat,
karena ada juga dzari’ah yang bertujuan kepada yang
dianjurkan.86 Maka menurutnya pengertian dzari’ah lebih baik
dikemukakan yang bersifat umum, sehingga dzari’ah itu mengandung

85 Al Yasa’ Abubakar, Metode Istislahiah..., h. 246-247.


86 Ibn Qayyim al-Jauziyah, jilid III, hal. 147

66 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh

dua pengertian, yaitu: yang dilarang (sadd al-dzariah) dan yang


dituntut untuk dilaksanakan (fath al-dzari’ah).
Pada awalnya, kata dzari’ah dipergunakan untuk unta yang
dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh
sang pemburu agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu.
Sang pemburu berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh
binatang yang diburu. Ketika unta sudah dekat dengan binatang yang
diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah,
menurut Ibn al-A’rabi, kata dzari’ah kemudian digunakan secara
majaz terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu
yang lain.
Menurut al-Qarafi, sadd dzari’ah adalah memotong jalan
kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan
tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan
(mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana
terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah
perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-
Syaukani, dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya
dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang
dilarang (mafsadat).
Dari beberapa pengertian di atas, tampak bahwa sebagian
ulama seperti al-Syaukani mempersempit arti dzariah sebagai
sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar
Yahya menyebutkan dzari’ah secara umum dan tidak mempersempit
hanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-
Qayyim juga mengungkapkan adanya dzari’ah yang pada awalnya
memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu al-Qayyim
tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd
adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu
perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun
dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
Kesimpulannya adalah bahwa Dzari’ah merupakan washilah (jalan)
yang menyampaikan kepada tujuan baik yang halal ataupun yang
haram. Maka jalan/ cara yang menyampaikan kepada yang haram
hukumnyapun haram, jalan atau cara yang menyampaikan kepada
yang halal hukumnyapun halal serta jalan yang menyampaikan
kepada sesuatu yang wajib maka hukumnyapun wajib.
Dasar hukum Sadd Zara’i antara lain adalah QS. An-Nur ayat
31 yang berbunyi:

Universitas Malikussaleh 67
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

‫ﻳﺒﺪﻳﻦ‬ َ َ ‫ﻓﺮﻭﺟﻬﻦ‬
َ ْ ِ ْ ُ ‫ﻭﻻ‬ َ ْ َ ْ َ َ ‫ﺃﺑﺼﺮﻫﻦ‬
‫ﻭﻳﺤﻔﻈﻦ ُ ُ ْ َ ُ ﱠ‬ ‫ﻣﻦ َ ْ َ ِ ِ ﱠ‬ َ ْ ُ ْ َ ‫َﺎﺕ‬
ْ ِ ‫ﻳﻐﻀﻀﻦ‬ ِ ْ ُ ْ ِ ‫ﻭﻗﻞ‬
ِ ‫ﻟﻠﻤﺆﻣﻨ‬ ُْ َ
َ َ ,‫ﺟﻴﻮﺑﻬﻦ‬
‫ﻭﻻ‬ ‫ﻋﻠﻰ ُ ُ ْ ِ ِ ﱠ‬َ َ ‫ﺑﺨﻤﺮﻫﻦ‬ َ ْ ِ ْ َ ْ َ ,‫ﻣﻨﻬﺎ‬
‫ﻭﻟﻴﻀﺮﺑﻦ ِ ُ ُ ِ ِ ﱠ‬ َ َ َ ‫َﺘﻬﻦ ِﺇﻻﱠ َﻣﺎ‬
َ ْ ِ ‫ﻅﻬﺮ‬ ‫ﺯﻳﻨ َ ُ ﱠ‬
ْ ِ
ِ ‫َﺎﺋﻬﻦ َْﺃﻭ َ ْﺃﺑﻨ‬
‫َﺎء‬ ‫ﺑﻌﻮﻟﺘﻬﻦ َْﺃﻭ َ ْﺃﺑﻨ ِ ِ ﱠ‬ ِ َ َ ‫ﺃﺑﺎﺋﻬﻦ َْﺃﻭ‬
‫ﺃﺑﺎء ُ ُ ْ َ ِ ِ ﱠ‬ ‫ﻟﺒﻌﻮﻟﺘﻬﻦ َْﺃﻭ َ َ ِ ِ ﱠ‬
‫َﺘﻬﻦ ِﺇﻻﱠ ِ ُ ُ ْ َ ِ ِ ﱠ‬
‫ﺯﻳﻨ َ ُ ﱠ‬
ْ ِ
‫ﺃﻭﻧﺴﺎﺋﻬﻦ َْﺃﻭ‬ ‫ﺇﺧﻮﺍﻧﻬﻦ َْﺃﻭ َِﺑﻨﻰ َ َ َ ِ ِ ﱠ‬
‫ﺃﺧﻮﺍﺗﻬﻦ َ ْ ِ َ ِ ِ ﱠ‬ ‫ﺑﻌﻮﻟﺘﻬﻦ َْﺃﻭ ِ ْ َ ِ ِ ﱠ‬
‫ﺇﺧﻮﺍﻧﻬﻦ َْﺃﻭ َِﺑﻨﻰ ِ ْ ِ ِ ِ ﱠ‬ ‫ُ ُْ َِ ِ ﱠ‬
ِ ْ ّ ِ ‫ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ َْﺃﻭ‬
‫ﺍﻟﻄﻔﻞ‬ ِ َ ّ ِ ‫ﻣﻦ‬ َ ِ ‫ﺍﻹﺭﺑﺔ‬ ِ ْ ُ َ ْ َ ‫ﺃﻭﺍﻟﺘﺎﺑﻌﻴﻦ‬
ِ َ ْ ِ ‫ﻏﻴﺮﺃﻭﻟﻰ‬ ‫ﻣﻠﻜﺖ َ ْ َ ُ ُ ﱠ‬
َ ْ ِ ِ َ ْ َ ‫ﺃﻳﻤﺎﻧﻬﻦ‬ ْ َ َ َ ‫َﻣﺎ‬
‫ﻟﻴﻌﻠﻢ‬ ‫ﻳﻀﺮﺑﻦ ِ َ ْ ُ ِ ِ ﱠ‬
َ َ ْ ُ ِ ‫ﺑﺄﺭﺟﻠﻬﻦ‬ َ ْ ِ ْ َ َ‫ َﻭﻻ‬,‫ﺍﻟﻨﺴﺎء‬
ِ َ ِّ ‫ﻋﻮﺭﺍﺕ‬ ِ َ ْ َ ‫ﻋﻠﻰ‬ ْ ُ َ ْ َ ‫ﺍﻟﺬﻳﻦ َْﻟﻢ‬
َ َ ‫ﻳﻈﻬﺮﻭﺍ‬ َ ِْ‫ﱠ‬
ْ ُ ‫ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻮﻥ َ َ ﱠ‬
‫ﻟﻌﻠﻜﻢ‬ َ ْ ُ ِ ْ ُ ّ َ‫ﺟﻤﻴﻌﺎ َ ﱡﺃﻳﻪ‬ ْ ُ ْ ُ َ ,‫َﺘﻬﻦ‬
َ ِ ‫ﻭﺗﻮﺑﻮﺍ‬
ً ْ ِ َ ِ‫ﺇﻟﻰ ﷲ‬ ‫ﺯﻳﻨ ِ ِ ﱠ‬ ْ ِ ‫ﻣﺎﻳﺤﻔﻴﻦ‬
ْ ِ ‫ﻣﻦ‬ َ ِْ ْ ُ َ
َ ْ ُ ُِْ
.‫ﺗﻔﻠﺤﻮﻥ‬
Artinya:
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka
Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali
kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka,
atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang
aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah
kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung.
Ayat lainnya yang menjadi dasar hukum sadd zara’i adalah
QS. Al-An’am ayat 108 yang berbunyi:

68 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh

ِ ْ ِ ‫ﻋﺪﻭﺍﺑﻐﻴﺮ‬
,‫ﻋﻠﻢ‬ ِ ْ َ ِ َ ْ َ َ‫ﻓﻴﺴﺒﻮﺍ ﷲ‬ ْ ‫ﺩﻭﻥ ﷲِ َ َ ُ ﱡ‬ ْ ِ ‫ﻳﺪﻋﻮﻥ‬
ِ ْ ُ ‫ﻣﻦ‬ َ ْ ِ ‫ﺗﺴﺒﻮﺍ ﱠ‬
َ ْ ُ ْ َ ‫ﺍﻟﺬﻳﻦ‬ ْ ‫ﻭﻻ َ ُ ﱡ‬َ َ
ْ ُ َ ‫ﺑﻤﺎ‬
‫ﻛﺎﻧﻮﺍ‬ ْ ُ ُ ِ ْ َ ‫ﺛﻢ َِﺇﻟﻰ‬
ْ ُ ُ ِّ ‫ﻣﺮﺟﻌﻬﻢ َﻓﻴُﻨ‬
َ ِ ‫َﺒﺌﻬﻢ‬ ‫ﻋﻤﻠﻬﻢ ُ ﱠ‬
ْ ُ َ َ َ ‫ﺃﻣﺔ‬ ٍ ‫ﻟﻜﻞ ُ ﱠ‬
ِّ ُ ِ ‫ﺯﻳﻨﺎ‬
‫ﻛﺬﺍﻟﻚ َ ﱠ ﱠ‬َ ََِ
َ ُْ َ ْ َ
.‫ﻳﻌﻤﻠﻮﻥ‬
Artinya:
dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami
jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan
kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
Ayat di atas melarang umat Islam untuk mencaci sembahan
orang kafir baik dalam bentuk berhala, batu, matahari, bulan dan lain
sebagainya. Larangan ini bertujuan untuk menghindari celaan
kepada Allah Swt karena balasan dari orang kafir yang tersinggung
Tuhannyadi cela. Celaan terhadap Allah Swt merupakan suatu
mafasid yang harus dihindari, maka untuk itu umat Islam dilarang
menyinggung Tuhan umat lain.
Contoh Sadd Zari’ah adalah zina hukumnya haram, maka
melihat aurat wanita yang menghantarkan kepada perbuatan zina
juga merupakan haram. Shalat jum’at merupakan kewajiban maka
meninggalkan segala kegiatan untuk melaksanakan shalat jum’at
wajib pula hukumnya. Dari berbagai pandangan di atas, bisa
dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan larangan atas
suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan untuk
mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
Mencegah sesuatu yang haram atau boleh untuk menutup
kemungkinan munculnya mudharat. Umar bin Khatab sering
menggunakan prinsip ini dalam penetapan hukum. Contohnya beliau
pernah mencukur rambut seorang pemuda Madinah yang sangat
tampan bernama Nasar bin Hajjaj, karena banyak perempuan yang
tergoda dengannya. Setelah dicukur ternyata ia bertambah tampan,
akhirnya Umar memutuskan untuk mengasingkannya. Umar bin
Khattab juga pernah membakar sebuah warung di Madinah karena
kondisinya yang gelap dan dikhawatirkan menimbulkan kemaksiatan
di situ. Abu Hanifah juga menggunakan metode ini dalam kasus
melarang perempuan untuk berhias dalam masa iddah, karena
ditakutkan terjadi maksiat.

Universitas Malikussaleh 69
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

F. Istihsan
Istihsan dari segi bahasa ialah menganggap sesuatu itu baik
atau sesuatu yang disukai oleh seseorang serta cenderung ke
arahnya sekalipun dipandang buruk (tidak disukai) oleh orang lain.
sedangkan secara istilah istihsan adalah berpalingnya seorang
mujtahid dari qiyas jali (terang) kepada qiyas kafi (samar-samar)
karena adanya kemaslahatan.
Untuk memahami pengertian istihsan secara lebih lengkap
dapat dilihat dari beberapa pendapat ulama. Menurut ulama
Malikiah, yaitu Ibnu Arabi mendefinisikan istihsan adalah lebih
mementingkan meninggalkan kandungan dalil dengan jalan istisna
atau takhsis karena adanya hal yang bertentangan dengan sebagian
kandungan dalil tadi.
Menurut ulama hanafiah, diantaranya seperti Al-Bazdawi
mendefinisikan istihsan yaitu perpindahan dari satu qiyas ke qiyas
lain yang lebih kuat dasarnya atau mentakhsis dari qiyas dasar yang
lebih kuat. Sedangkan menurut ulama hanabilah, di antaranya al-
Tuhfi mendefinisikan istihsan,yaitu perpindahan penempatan hukum
satu masalah karena adanya dasar hukum yang lebih khusus.
Dari beberapa defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa
istihsan itu adalah suatu kejadian yang timbul yang dapat
dimasukkan ke dalam umum nash atau dapat diqiyaskan kepada
suatu kejadian yang telah ada hukumnya atau dapat diterapkan
hukum kulli kepadanya, tetapi nampak pada mujtahid ketetapan itu
mempunyai beberapa hal yang menyebabkan hilangnya maslahat
atau menimbulkan mafsadat, karena itu mujtahid berpindah dari
hukum umum kepada hukum yang lain, atau mengecualikan hukum
itu dari hukum yang berlaku umum.
Contoh istihsan yang paling sering dikemukakan adalah
peristiwa ditinggalkannya hukum potong tangan bagi pencuri di
zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri
harus dipotong tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun
kemudian hukum ini ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa
tidak memotong tangan pencuri. Ini adalah hukum berikutnya,
dengan suatu dalil tertentu yang menguatkannya.
Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash, yaitu pencuri harus dipotong tangannya.
Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk
meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain. Dalam hal ini, sekalipun

70 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh

dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki


perpindahan hukum itu.
Dasar hukum istihsan adalah QS. Al-zumar ayat 18 yang
berbunyi:

ُ ُ َ َ ‫ﺍﻟﺬﻳﻦ‬
,ُ‫ﻫﺪﺍﻫﻢ ﷲ‬ َ ِ َ ْ ُ ,ُ‫ﺃﺣﺴﻨَﻪ‬
َ ْ ِ ‫ﺃﻭﻟﺌﻚ ﱠ‬ َ ْ َ ‫ﻓﻴﺘﺒﻌﻮﻥ‬ َ ْ َ ‫ﻳﺴﺘﻤﻌﻮﻥ ْﺍﻟ‬
َ ْ ُ ِ ‫ﻘﻮﻝ َ َ ﱠ‬ َ ِْ‫ﱠ‬
َ ْ ُ ِ َ ْ َ ‫ﺍﻟﺬﻳﻦ‬
ْ ُ ْ ُ ‫ﻫﻢ‬
ِ َ ْ َ ْ ‫ﺃﻭﻟﻮ‬
.‫ﺍﻷﻟﺒﺐ‬ َ َِ ُْ َ
ْ ُ ‫ﻭﺃﻭﻟﺌﻚ‬
Artinya:
Yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah
petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS.
Al-Zumar: 18)
Ayat di atas menunjukkan bahwa umat Islam diharuskan
untuk mengikuti pendapat yang paling baik dari sekian pendapat
yang didengarnya. Dari itu umat Islam, khususnya mujtahid dapat
memilih opsi hukum yang paling sesuai dengan kondisi mereka
berdasarkan petunjuk nash. Maka dalam keadaan tertentu mereka,
dapat memilih alternatif hukum lain di luar ketentuan nash yang
jelas, jika hal itu dianggap paling relevan.
Seiring perkembangan zaman dan perubahan sosial
masyarakat otomatis menghendaki perubahan hukum. Perubahan
hukum tersebut boleh jadi menjadi lebih ketat atau lebih ringan.
Dalam nash terdapat berbagai opsi hukum yang mungkin dipilih oleh
mujtahid dalam menetapkan hukum yang sesuai dengan realitas
masyarakat, terutama menyangkut muamalah. Dengan pertimbangan
tertentu oleh mujtahid dapat merubah ketentuan hukum sesuatu
kepada hukum lainnya yang lebih sesuai.
Sebagai contoh adalah jual beli secara online yang marak
belakangan ini, berdasarkan qiyas jual-beli sah jika dilakukan secara
musyahadah (melihat barang secara langsung), namun dalam jual
beli online hal itu tidak dilakukan, melainkan hanya melihat
gambarnya pada situs jual beli online. Maka berdasarkan qiyas hal ini
tidak sah, sedangkan secara istihsan dapat saja dibenarkan jika ada
kemaslahatan dan dipastikan barang yang dikirim sesuai dengan
spesifikasi yang ditawarkan pada situs online.

G. Istishab
Secara etimologi istishab berasal dari kata istashhaba, yang
berarti: ‫ﺍﺳﺘﻤﺮﺍﺭ ﺍﻟﺼﺤﺒﺔ‬. Kalau kata ‫ ﺍﻟﺼﺤﺒﺔ‬diartikan “sahabat” atau

Universitas Malikussaleh 71
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

“teman”, dan ‫ ﺍﺳﺘﻤﺮﺍﺭ‬diartikan “selalu” atau “terus-menerus”, maka


istishab itu secara bahasa berarti selalu menemani atau selalu
menyertai.
Sedangkan secara terminologi, istishab memiliki beberapa
pengertian sebagaimana dikemukakan oleh para ulama. Asnawi
mengartikan istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang
telah ada dan yang telah ditetapkan dengan suatu dalil sampai ada
dalil lain yang mengubah hukum-hukum tersebut. Ibn al-Qayyim al-
Jauziyah mengartikan istishab ialah mengukuhkan atau menetapkan
apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya
tiada. Sedangkan Abdul-Karim Zaidan mengartikan istishab ialah
menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula
selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa istishab
merupakan menetapkan hukum yang telah ada (berlaku) atau
meniadakan hukum yang belum ada sampai ada dalil yang mengubah
ketentuan hukum tersebut. Suatu hukum dianggap masih berlaku
selama tidak dalil atau kondisi yang menghendaki perubahan hukum
tersebut. Perubahan hukum akan terjadi jika terdapat dalil atau bukti
baru yang menghendaki perubahan hukum.
Para ulama ushul fiqih membagi istishab kepada lima macam,
yaitu:
1. al-Ibahah al-Asliyyah, yaitu menetapkan hukum sesuatu
yang bermanfaat bagi manusia dengan mubah selama belum
ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Misalnya seluruh
pepohonan di hutan adalah merupakan milik bersama umat
manusia dan masing-masing orang berhak menebang dan
memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang
menunjukkan bahwa hutan tersebut telah menjadi milik
sesorang. Istishab seperti ini menurut para ahli ushul fiqih
dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.
2. Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap
dan berlangsung terus, misalnya hukum wudhu seseorang
yang telah berwudhu dianggap berlangsung terus sampai
adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang
merasa ragu apakah wudhu’nya masih ada atau sudah batal,
maka berdasarkan Istishab wudhu’nya dianggap masih ada
karena keraguan tidak bisa mengalahkan keyakinan. Hal ini
sejalan dengan Sabda Rasul “Jika seseorang merasakan
sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu apakah ada sesuatu yang
keluar atau tidak, maka sekali- kali janganlah ia keluar dari

72 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh

masjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara


atau mencium bau kentut. (HR. Muslim dan Abu Hurairah).
Istishab bentuk kedua ini terdapat perbedaan pendapat
ulama ushul fiqih. Ibnu Qayyim al- Jauziyyah berpendapat
bahwa Istishab seperti ini dapat dijadikan hujjah. Ulama’
Hanafiyah berpendirian bahwa pendapat seperti ini hanya
bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan dan menegaskan
hukum yang telah ada, dan tidak bisa dijadikan hujjah untuk
hukum yang belum ada. Imam Ghazali menyatakan bahwa
istishab hanya bisa dijadikan hujjah apabila didukung oleh
nash atau dalil, dan dalil itu menunjukkan bahwa hukum itu
masih tetap berlaku dan tidak ada dalil lain yang
membatalkannya. Sedangkan Ulama Malikiyah menolak
istishab sebagai hujjah dalam beberapa kasus, seperti kasus
orang yang ragu terhadap keutuhan wudhu’nya. Menurut
mereka dalam kasus seperti ini istishab tidak berlaku, karena
apabila sesorang merasa ragu atas keutuhan wudhunya,
sedangkan ia di dalam shalat, maka shalatnya batal dan ia
harus berwudhu kembali dan mengulangi shalatnya.
3. Istishab terdapat dalil yang bersifat umum sebelum
datangnya dalil yang menghususkannya dan istishab
dengan nash selama tidak ada dalil nasakh(yang
membatalkannya). Contoh istishab dengan nash selama
tidak ada yang menasakhkannya. Kewajiban berpuasa di
bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat sebelum Islam tetap
wajib bagi umat Islam berdasarkan ayat di atas, selama tidak
ada nash lain yang membatalkannya. Kasus seperti ini
menurut Jumhur ulama’ ushul fiqih termasuk istishab. Tetapi
menurut ulama ushul fiqih lainnya, contoh di atas tidak
dinamakan istishab tetapi berdalil berdasarkankaidah
bahasa.
4. Istishab hukum akal sampai adanya hukum syar’i, yaitu
umat manusia tidak dikenakan hukum syar’i sebelum
datangnya syara’. Seperti tidak adanya pembebanan hukum
dan akibat hukumnya terhadap umat manusia, sampai
datangnya dalil syara’ yang menentukan hukum. Misalnya
seseorang menggugat orang lain bahwa ia berhutang
kepadanya sejumlah uang, maka penggugat berkewajiban
untuk mengemukakan bukti atas tuduhannya, apabila tidak
sanggup, maka tergugat bebas dari tuntutan dan ia
dinyatakan tidak pernah berhutang pada penggugat. Istishab

Universitas Malikussaleh 73
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

seperti ini diperselisihkan menurut ulama Hanafiyah, istishab


dalam bentuk ini hanya bisa menegaskan hukum yang telah
ada, dan tidak bisa menetapkan hukum yang akan datang.
Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabilah, istishab seperti ini juga dapat menetapkan hukum
syar’i, baik untuk menegaskan hukum yang telah ada maupun
hukum yang akan datang.
5. Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’
tetapi keberadaan ijma’ itu diperselisihkan. Istishab
semacam ini diperselisihkan para ulama tentang
kehujahannya. Misalnya para ulama fiqih menetapkan
berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang
boleh bertayamum untuk mengerjakan shalat. Tetapi dalam
keadaan shalat, ia melihat ada air, apakah shalat harus
dibatalkan. Menurut ulama’ Malikiyyah dan Syafi’iyyah, orang
tersebut tidak boleh membatalkan shalatnya, karena adanya
ijma’ yang mengatakan bahwa shalatnya sah apabila sebelum
melihat air. Mereka mengaggap hukum ijma’ tetap berlaku
sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia harus
membatalkan shalatnya kemudian berwudhu’ dan
mengulangi shalatnya. Ulama Hanabilah dan Hanafiyyah
mengatakan orang yang melakukan shalat dengan tayamum
dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan
shalatnya unruk berwudhu. Mereka tidak menerima ijma’
karena ijma’ menurut mereka hanya terkait denganhukum
sanya shalat bagi orang dalam keadaan tidak adanya air,
bukan keadaan tersedianya air.

H. Siyasah Al-Syar’iyah
Siyāsah al-syar’iyyah merupakan metode pembentukan
hukum yang dilakukan oleh pemerintah terhadap permasalahan
yang belum ada ketentuan hukumnya atau tidak diatur secara
ekplisit oleh naṣ melalui pertimbangan kemaslahatan bagi
masyarakat. Disatu sisi siyāsah al-syar’iyyah menyerupai maṣlaḥah
al-mursalah dari sisi pembentukan hukum terhadap permasalahan
yang belum ada ketentuan hukum berdasarkan pertimbangan
kemaslahatan, di sisi yang lain keduanya berbeda, maṣlaḥah al-
mursalah digunakan oleh individu untuk membentuk hukum,
sedangkan siyāsah al-syar’iyyah digunakan oleh pemerintah.
Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan siyāsah al-syar’iyyah
sebagai tindakan atau kebijakan pemerintah berdasarkan

74 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh

pertimbangan kemaslahatan bagi permasalahan yang tidak diatur


secara spesifik oleh naṣ.87Dalam hal ini pemerintah menempuh
sebuah kebijakan atau membuat undang-undang yang dipandang
mengandung kemaslahatan bagi kelangsungan hidup masyarakat,
namun kebijakan dan aturan tersebut tidak keluar dari koridor
hukum syara’.
Pemerintah mempunyai wewenang mengambil kebijakan
atas dasar kemaslahatan masyarakat untuk menerbitkan suatu
peraturan, atau menunda bahkan menghapus sebuah peraturan yang
dianggap tidak tepat untuk diberlakukan. Pemerintah dengan
kekuasaan yang dimilikinya mempunyai hak untuk melakukan hal itu
sepanjang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Khalifah
Usman bin Affan pernah mengatakan: “Allah memberikan wewenang
kepada sulthan untuk menanggani sesuatu yang tidak ditanggani
langsung oleh Al-Qur`ān”.88Ungkapan ini menunjukkan adanya relasi
kekuasaan dengan pembentukan hukum, di mana pemerintah dapat
mengambil kebijakan untuk memberlakukan sebuah aturan atau
tidak memberlakukannya atas dasar pertimbangan mewujudkan
manfaat dan menolak mudharat.
Pemerintah dalam segala bentuk upayanya dalam
menjalankan roda pemerintahan haruslah berorientasi kepada
kemaslahatan rakyat, dalam hal ini pemerintah perlu membuat
sistem dan aturan untuk mengatur kehidupan masyarakat sesuai
dengan prinsip syari’at. Pemerintah tidak boleh berdiam diri
membiarkan terjadinya kekosongan hukum dalam masyarakat yang
mengakibatkan kegamangan dan ketidakadilan, pemerintah harus
mengambil langkah-langkah konkrit mengatasinya dengan membuat
aturan yang dibutuhkan.
Pemerintahan adalah suatu yang dharuri (penting) bagi
masyarakat, di mana mereka tidak mungkin hidup secara layak tanpa
dinaungi oleh suatu pemerintahan atau kekuatan politik yang
mengatur dan melindungi. Tujuan pemerintahan adalah untuk
menjamin kestabilan, keamanan dan ketentraman hidup masyarakat,
sulit dibayangkan jika pemerintahan tidak ada, masyarakat akan
mengalami kesulitan yang luar biasa yang mengancam eksistensi
mereka. Kehidupan masyarakat tanpa dipayungi sistem

87Abdul Wahab Khallaf, Siyasah Syar`iyyah Aw Nizam al-Daulah Islamiyah


Fi Syuun al-Dusturiyah wa al-Kharijiah wa al-Maliyah; (Kaherah: Dar al-Ansar,
1982), h. 18.
88Jamal al-Din al-‘Athiyyah, Nahwa Taf’il Maqaṣid al-Syari’ah, (Damaskus:

Dar al-Fikr, 2001), h. 50.

Universitas Malikussaleh 75
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

pemerintahan akan berlaku hukum rimba di mana yang kuat akan


menindas yang lemah, kestabilan dan kenyaman sulit tercipta dan
seterusnya.
Untuk itu dilembagakanlah siyāsah al-syar’iyyah yang
merupakan instrumen hukum Islam yang mengatur tatanan
kehidupan masyarakat di bawah sistem pemerintahan yang islami
untuk mewujudkan manfaat dan menolak kemudharatan bagi
masyarakat. Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa siyāsah al-
syar’iyyah adalah suatu mekanisme untuk mengurus negara,
melaksanakan hukum, dan merancang aturan perundang-undangan.
Dalam hal ini pemerintah dapat menempuh dua langkah: (1) siyāsah
al-diniyyah,yaitu menggunakan ketentuan atau prinsip yang terdapat
dalam naṣ (al-Qur`ān-hadis) yang wajib dipatuhi oleh setiap orang
beriman. (2) siyāsah al-‘akliyah, yaitu menggunakan konsep yang
disandarkan kepada akal dalam bentuk tindakan dan kebijakan yang
bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat seluruhnya.89
Dengan demikian pemerintah dalam mengurus rakyat
pertama sekali harus merujuk kepada ketentuan yang terdapat
dalam naṣ dengan cara menggali apa saja nilai dan prinsip yang
diajarkan naṣ dalam menjalankan roda pemerintahan dan mengurus
kepentingan rakyat. Di samping itu pemerintah juga dapat
menggunakan rasio dalam menentukan kebijakan pada
permasalahan yang tidak diatur secara langsung oleh naṣ, ataupun
merasionalkan kandungan naṣ dengan kebijakan-kebijakan yang
konkrit.
Ibn Abidin mengemukakan bahwa siyāsah al-syar’iyyah
adalah suatu mekanisme atau pengaturan yang bertujuan untuk
memperbaiki keadaan masyarakat dengan cara membimbing dan
mengarahkan mereka kepada kesalamatan dunia dan akhirat.90
Definisi ini menunjukkan bahwa pemberlakuan hukum Islam di
pemerintahan merupakan suatu yang primer dalam arti sebagai
instrumen utama yang digunakan pemerintah untuk mengendalikan
kehidupan masyarakat supaya mendapat keselamatan dunia dan
akhirat, karena hanya hukum Islam yang mungkin mewujudkan
tujuan tersebut.
Hal senada juga dikemukakan oleh Imam al-Haramain
bahwasanya tugas pemerintah mencakup pemenuhan segala

89 Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Beirut: t.p, tt), h. 302-311.


90 Ibn Abidin, Hasyiah Radd al-Muhtar ‘ala al Durr al Mukhtar, Juz 4,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1992), h. 15.

76 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh

kepentingan masyarakat baik yang umum maupun yang khusus


menyangkut urusan agama dan dunia. Pemerintah tidak hanya
memikirkan kebahagian hidup didunia semata, akan tetapi juga
kebahagian hidup diakhirat kelak. Untuk itu pemerintah di samping
mengupayakan kesejahteraan dan keamanan yang berorientasi
duniawi juga harus menegakkan dakwah dan memerintahkan
pengamalan agama yang berorientasi ukhrawi kepada masyarakat.
Pengaturan pemerintahan berdasarkan siyāsah al-syar’iyyah
akan lebih terjamin kesejahteraan, kestabilan dan keharmonisan
tatanan sosial masyarakat, sesuai dengan maksud syari’at (rahmatan
lil ‘alamin). Sebaliknya pemerintah yang mengabaikan syari’at
berpotensi muncul ketidakstabilan dan ketidakadilan. Masyarakat
akan hidup di bawah bayangan tirani penguasa sehingga hubungan
pemerintah dan masyarakat tidak harmonis dan langgeng.
Pemerintahan yang tidak berlandaskan syari’at Islam cenderung
mementingkan penguasa dan mengabaikan masyarakat, hal ini dapat
menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja, antara
masyarakat dan penguasa akan terjadi bentrok dan pertumpahan
darah.
Yusuf Al-Qaradhawi mengemukakan bahwa siyāsah al-
syar’iyyah merupakan suatu sistem politik yang menjadikan syari’at
Islam sebagai acuan, mengaplikasikannya dimuka bumi dan
ditengah-tengah masyarakat, untuk mencapai tujuan hidup
masyarakat sesuai syari’at.91 Yusuf al-Qaradhawi menolak dengan
keras penggunaan sistem politik yang bukan Islam untuk pengaturan
pemerintahan yang ada diberbagai negara muslim. Beliau menolak
sistem politik sekuler yang memisahkan antara urusan negara dan
agama, sehingga dapat menghalalkan segala macam cara untuk
mencapai tujuan politik sekalipun mengabaikan nilai-nilai moral.
Dalam sistem politik yang bukan berdasarkan syariat Islam,
segala upaya seperti adu domba, mengancam, menyingkirkan bahkan
pembunuhan terhadap lawan-lawan politik merupakan norma yang
biasa untuk dapat mencapai tujuan, sedangkan menurut siyāsah al-
syar’iyyah hal-hal semacam itu tidak dibenarkan karena dianggap
merugikan pihak lain dan membuka jalan bagi munculnya
pemerintahan tirani yang mengancam kestabilan dan keharmonisan
hidup masyarakat.

91 Yusuf al-Qaradhawi, Siyasah al-Syariah, (Beirut: Dar al Syuruq, tt), h.


230.

Universitas Malikussaleh 77
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

Abdurrahman Taj mengemukakan bahwa siyāsah al-


syar’iyyah merupakan hukum atau peraturan yang dibuat
pemerintah untuk mengatur pemerintahan dan rakyat yang sesuai
dengan prinsip syari’at, qaidah kulliyah, dan dapat diterima oleh
masyarakat, sekalipun hukum dan peraturan tersebut tidak
dijelaskan secara langsung oleh naṣ (al-Qur`ān-Sunnah).92 Siyasah al-
syarī’ah merupakan kebijakan pemerintah berupa ijtihadnya untuk
membentuk hukum atau aturan yang dirasa penting dan maslahat
bagi tata kelola pemerintahan dan rakyat. Pemerintah diberikan
wewenang membuat kebijakan terhadap permasalahan yang tidak
diatur secara langsung oleh naṣ, kebijakan tersebut dapat diterima
sepanjang tidak bertentangan dengan naṣ dan prinsip-prinsip umum
hukum Islam.
Dari berbagai perspektif yang telah dikemukakan di atas,
dapat dipahami bahwa siyāsah al-syar’iyyah di satu sisi merupakan
sistem politik atau tata cara pengelolaan pemerintahan yang
berlandaskan kepada syariat Islam untuk mewujudkan
kesejahteraan, kestabilan dan keharmonisan hidup masyarakat
sesuai dengan maksud dan tujuan syara’. Maka dalam segala lini
pemerintahan baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif harus
dilaksanakan sesuai dengan prinsip Islam.
Di sisi yang lain siyāsah al-syar’iyyah merupakan upaya
pemerintah untuk membuat aturan hukum atau undang-undang bagi
permasalahan yang tidak diatur secara jelas oleh naṣ, menggunakan
metode istinbath hukum yang berlaku supaya terwujudnya
kemaslahatan bagi kehidupan rakyat. Maka siyāsah al-syar’iyyah
dapat dipahami sebagai sistem politik Islam untuk mengatur
pemerintahan di satu sisi dan kebijakan pemerintah untuk membuat
aturan perundang-undangan di sisi yang lain.
Kedudukan siyāsah al-syar’iyyah dalam pemerintahan tidak
bisa diabaikan, karena merupakan salah satu instrumen utama dalam
penegakan hukum untuk mewujudkan maqashid syarī’ah. Melalui
siyāsah al-syar’iyyah hukum Islam diupayakan atau hanya mungkin
diaplikasikan dalam masyarakat, karena hukum tanpa adanya
dukungan politik tidak mungkin dijalankan, kekuasaan sangat
menentukan terutama perkara yang berkaitan dengan pelaksanaan
undang-undang, tatanan kehidupan dan segala aspeknya. Di sisi yang
lain kekuasaan tanpa berlandaskan kepada aturan hukum juga tidak

92Abd al-Rahman al-Taj, Al-Siyasah al-Syari’ah wa Fiqh al-Islamy,


(Kaherah: al-Azhar, 1415 H), h. 12.

78 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh

akan efektif dan akan menjurus kepada kedurjanaan penguasa, yang


semena-mena dalam menjalankan hukum sehingga merugikan
masyarakat.
Pemerintahan merupakan sarana bagi pelaksanaan hukum
dan mencapai tujuan syari’at, sebagaimana dipahami dari kandungan
QS. Al-Anbiya (21) : 107 yang bunyinya:

َ ْ ِ َ َ ْ ِ ً‫ﺭﺣﻤﺔ‬
.‫ﻟﻠﻌﺎﻟﻤﻴﻦ‬ ْ َ ْ َ ‫ﻭﻣﺎ‬
َ ْ َ ‫ﺃﺭﺳﻠﻨ ََﻚ ِﺇﻻﱠ‬ َ َ
Artinya:
Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam.
Dan juga dipahami dari kandungan QS.Al-Hajj (22) : 41 yang
berbunyi:

ْ ُ َ َ َ َ ‫ﻭﺃﺗﻮﺍﺍﻟﺰﻛﺎﺓ‬
‫ﻭﺃﻣﺮﻭﺍ‬ َ ‫ﺃﻗﺎﻣﻮ ْ ﱠ‬
َ ‫ﺍﻟﺼﻼﺓ َ َ َ َ ُ ﱠ‬ ُْ ََ ‫ﺽ‬ ْ َ ْ ‫ﻣﻜﻨﺎﻫﻢ ِﻓﻰ‬
ِ ‫ﺍﻷﺭ‬ ْ ُ ‫ﺇﻥ َ َ ﱠ‬ َ ِْ‫ﱠ‬
ْ ِ ‫ﺍﻟﺬﻳﻦ‬
ِ ْ ُ ُ ْ ُ‫ﻋﻘﺒﺔ‬
.‫ﺍﻷﻣﻮﺭ‬ َ ِ َ ِ}‫ﻭ‬ ِ َ ْ ُ ْ ‫ﻋﻦ‬
‫ َ ِ ﱠ‬,‫ﺍﻟﻤﻨﻜﺮ‬ ِ َ ‫َﻬﻮ‬ ِ ُْْ َْ ِ
ْ َ ‫ﺑﺎﻟﻤﻌﺮﻭﻑ َﻭﻧ‬
Artinya:
(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di
muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan
zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang
mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. (QS. Al-Hajj
(22) : 41)
Kedua ayat di atas menjelaskan tentang tujuan pemerintahan
atau pemimpin, Rasulullah Saw diutus oleh Allah Swt sebagai
pemimpin untuk membimbing umat manusia ke jalan yang lurus
demi mencapai keridhaan-Nya dan kebahagiaan hidup dunia dan
akhirat. Demikian pula diutusnya orang-orang saleh lainnya juga
untuk menjalankan amanah Allah berupa mendirikan salat,
menunaikan zakat dan mengajak manusia mengamalkan yang ma’ruf
dan meninggalkan yang mungkar. Pemerintah bertugas memberikan
tauladan yang baik dan menjalankan hukum dalam masyarakat, serta
bertanggungjawab kepada terealisasinya maqaṣid al-syar’iyyah
secara nyata dimuka bumi dalam kehidupan masyarakat.
Dalam mengemban amanah tersebut pemerintah harus
menggunakan panduan yang benar berupa siyāsah al-syar’iyyah, yang
berarti tata cara mengurus pemerintahan dan urusan umat
berdasarkan prinsip Islam, dan secara khusus siyāsah al-syar’iyyah
juga berarti mengurus negara dan agama dengan membuat hukum
bagi perkara yang tidak mempunyai naṣ yang jelas, atau melakukan

Universitas Malikussaleh 79
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

suatu perubahan hukum yang bertumpu kepada prinsip umum naṣ


untuk mewujudkan kemaslahatan umat.
Melalui siyāsah al-syar’iyyah pemerintah mengupayakan
untuk mencapai tujuan syara’ dalam bidang pengelolaan negara dan
persoalan umat secara optimal. Pemerintah melaksanakan aturan
yang telah digariskan dalam hukum Islam dalam mengelola negara,
atau melakukan ijtihad untuk mengambil suatu kebijakan bagi
permasalahan yang belum mempunyai ketentuan hukum yang jelas
dalam naṣ. Di samping itu pemerintah juga berhak melakukan
perubahan hukum jika keadaan menghendakinya.
Fungsi atau kegunaan siyāsah al-syar’iyyah dalam pembinaan
dan penegakan hukum setidaknya terdiri atas dua bentuk, yaitu:
a. Menentukan hukum bagi perkara-perkara baru yang tidak
mempunyai dalil khusus dalam al-Qur`ān, Sunnah, Ijma’,
Qiyas, dan pendapat para ulama Untuk itu pemerintah dapat
menempuh upaya hukum melalui kaidah-kaidah Ushūl fiqh
seperti maṣlaḥah al-mursalah, istihsan, sad al-zara’i, dan ‘urf.
b. Menentukan kemaslahatan yang sifatnya kondisional atau
temporal pada kasus-kasus tertentu yang mungkin berubah
mengikuti perubahan waktu dan tempat. Pada kasus-kasus
tersebut pemerintah dapat mengambil kebijakan untuk
melakukan penyimpangan dari ketentuan hukum yang ada
jika dinilai perlu perubahan hukum dengan yang baru.93
Pemerintah dengan kekuasaan yang dimilikinya dapat
melakukan kedua bentuk upaya di atas sepanjang mampu
memastikan bahwa pembentukan hukum atau perubahannya
merupakan kebutuhan masyarakat yang perlu dilakukan untuk
menghindari kerusakan dan kebinasaan, selanjutnya kebijakan yang
diambil pemerintah tersebut juga tidak bertentangan dengan
maksud naṣdan prinsip-prinsipumum syari’at Islam.
Kebijakan pemerintah atau siyāsah al-syar’iyyah tidak
selamanya merupakan kebenaran dan harus diterima. Menurut Ibnu
Farhun, siyāsah terbagi kepada dua macam yaitu: (1) siyāsah al-
‘adilah, yang membela suatu kebenaran dari upaya kezaliman,
menolak pelbagai bentuk kejahatan, menghalangi pembuat
kerusakan dan yang menghantarkan kepada tercapainya tujuan-

93Abdul Ahmad al-Atwah, Al-Madkhal ila al-Siyasah al-Syari’ah, (Riyadh:


Jamiah al-Imam Muhammad bin Saud al-Islamiyyah, 1994), h. 13-14.

80 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh

tujuan syara’. (2) siyāsah al-dzalimah, yang membela kesalahan,


kezaliman, kejahatan, kerusakan dan menghambat tercapainya
tujuan syara’.94 Dalam kontek pengambilan kebijakan, pemerintah
harus mengacu kepada siyāsah al-‘adilah, yaitu siyāsah yang berpihak
kepada kebenaran, keselamatan dan kesejahteraan masyarakat serta
tidak bertentangan dengan prinsip hukum Islam.
Dalam masyarakat senantiasa muncul permasalahan yang
membutuhkan perhatian pemerintah, sebahagiannya merupakan
permasalahan yang tidak diatur secara jelas oleh naṣ, seperti
permasalahan wasiat wajibah kepada anak angkat. Secara realitas
aturan ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk mewujudkan
kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan terhadap anak angkat.
Untuk itu pemerintah harus memperhatikan permasalahan ini
dengan membentuk suatu ketentuan hukum yang dianggap tepat dan
solutif.

I. Syar’u Man Qablana


Secara istilah syar’u man qablana merupakan syariat yang
diturunkan kepada umat sebelum Nabi Muhammad, dan kepada
umat Nabi Muhammad dianjurkan untuk mengamalkan selama tidak
dalil yang melarangnya.95 Pengertian tersebut menunjukkan bahwa
syari’at umat terdahulu yang dibawa oleh nabi-nabi mereka masih
dapat berlaku kepada umat kemudian, selama tidak dalil yang
melarang atau menolak perbuatan tersebut.
Dalam realitas hukum yang berlaku bagi umat Islam, terdapat
beberapa amalan yang sama dengan umat nabi terdahulu. Seperti
pelaksanaan haji dan umrah, menyembelih qurban, puasa dan lain
sebagainya. Hukum-hukum tersebut pernah berlaku kepada umat
terdahulu, dan ternyata juga berlaku bagi umat Islam.
Syar’u man qablana mempunyai dasar hukum dari Alquran
yaitu QS. Albaqarah ayat 183 yang berbunyi:

َ ْ ِ ‫ﻋﻠﻰ ﱠ‬
ْ ِ ‫ﺍﻟﺬﻳﻦ‬
‫ﻣﻦ‬ َ َ ‫ﻛﺘﺐ‬
َ ِ ُ ‫ﻛﻤﺎ‬
َ َ ‫ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ‬ ُ ُ ْ َ َ ‫ﻛﺘﺐ‬
َ َ ّ ِ ‫ﻋﻠﻴﻜﻢ‬ ْ ُ َ َ ‫ﺍﻟﺬﻳﻦ‬
َ ِ ُ ‫ﺃﻣﻨﻮﺍ‬ َ ‫َ َﱡ‬
َ ْ ِ ‫ﻳﺄﻳﻬﺎ ﱠ‬
.‫ﺗﺘﻘﻮﻥ‬ ْ ُ َ َ َ ‫ﻗﺒﻠﻜﻢ‬
َ ْ ُ ‫ﻟﻌﻠﻜﻢ َ ﱠ‬ ْ ُ َِْ
Artinya:

Ibnu Farhun, Tabshirah al-Hukam fi Ushūl al-‘Aqdiyyah wa Manahij al-


94

Ahkām, (Beirut: t.p, tt), h. 35.


95 Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009, h. 162.

Universitas Malikussaleh 81
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa


sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa (QS. Albaqarah: 183)
Ayat di atas menjelaskan tentang kewajiban berpuasa bagi
umat Islam, sebagaimana telah diwajibkan kepada umat-umat
terdahulu supaya memperoleh ketaqwaan. Dari ayat ini dapat
dipahami bahwa kewajiban puasa tidak hanya diperuntukkan bagi
umat Nabi Muhammad Saw, namun juga kepada umat nabi
terdahulu. Ini menunjukkan bahwa kewajiban puasa merupakan
bagian dari syari’at nabi terdahulu yang berlaku kepada umat Islam.
Jumhur ulama yang terdiri atas ulama Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi’iyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa apabila hukum-hukum
syari’at sebelum Islam disampaikan kepada Rasulullah Saw melalui
Alquran, bukan melalui kitab agama mereka yang telah berubah,
dengan syarat tidak ada nash yang menolak hukum-hukum itu, maka
umat Islam terikat dengan hukum-hukum tersebut.
Ada dua landasan yang dipegang ulama untuk mendukung
argumen di atas, yaitu:
1. Pada dasarnya syari’at adalah satu, datang dari Allah Swt.
Karena itu, apa yang disyari’atkan kepada para nabi
terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur’an juga berlaku
kepada umat Muhammad SAW. Hal itu sebagaimana
diisyaratkan dalam QS. Al-Syura ayat 13 yang berbunyi:

َ ْ َ ِ ‫ﺃﻭﺣﻴﻨَﺎ‬
‫ﺇﻟﻴﻚ‬ ْ َ ْ َ ‫ﻭﺍﻟﺬﻱ‬ ِ ‫ﻧﻮﺣﺎ َ ﱠ‬
ً ْ ُ ‫ﺑﻪ‬ ‫ﺍﻟﺪﻳﻦ َﻣﺎ َ ﱠ‬
ِ ِ ‫ﻭﺻﻰ‬ ِ ْ ّ ِ ‫ﻣﻦ‬
َ ِ ‫ﻟﻜﻢ‬ْ ُ َ ‫ﺷﺮﻉ‬
َ ََ
َ‫ﺍﻟﺪﻳﻦ َﻭﻻ‬
َ ْ ّ ِ ‫ﺃﻗﻴﻤﻮﺍ‬ْ ُ ْ ِ َ ‫ﺃﻥ‬ ْ َ ,‫ﻭﻋﻴﺴﻰ‬
َ ْ ِ َ ‫ﻭﻣﻮﺳﻰ‬ َ ْ ِ َ ْ ِ ‫ﺑﻪ‬
َ ْ ُ َ ‫ﺇﺑﺮﻫﻴﻢ‬ ِ ِ ‫ﻭﺻﻴﻨَﺎ‬
ْ ‫ﻭﻣﺎ َ ﱠ‬َ َ
ِ ْ َ ِ ‫ﺗﺪﻋﻮﻫﻢ‬
ِ َ ْ َ ُV‫ َﺍ‬,‫ﺇﻟﻴﻪ‬
‫ﻳﺠﺘﺒﻰ‬ َ ْ ِ ِ ْ ُ ْ ‫ﻋﻠﻰ‬
ْ ُ ْ ُ ْ َ ‫ﺍﻟﻤﺸﺮﻛﻴﻦ َﻣﺎ‬ َ َ ‫ﻛﺒﺮ‬
َ ُ َ ,‫ﻓﻴﻪ‬ ُْ ‫َََ ﱠ‬
ِ ْ ِ ‫ﺗﺘﻔﺮﻗﻮﺍ‬
.‫ﻳﻨﻴﺐ‬
ُ ْ ِ ُ ‫ﻣﻦ‬ ِ ْ َ ِ ‫ﻭﻳﻬﺪﻯ‬
ْ َ ‫ﺇﻟﻴﻪ‬ ِ ْ َ َ ‫ﻳﺸﺎء‬
ُ َ َ ‫ﻣﻦ‬ ِ َِْ
ْ َ ‫ﺇﻟﻴﻪ‬
Artinya:
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik
agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada

82 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh

agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk


kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah Swt telah
menurunkan syari’at kepada Nabi Muhammad, berupa syariat yang
telah pernah diwahyukan kepada Nabi Nuh as, Ibrahim as, Musa as,
dan Isa as, yaitu agama yang mengesakan Allah Swt. Dari itu dapat
dipahami bahwa syari’at Islam dan syari’at sebelumnya memiliki
kesamaan, sehingga memungkinkan untuk berlaku kepada umat
Muhammad. Namun demikian tetap ada pengecualian terhadap hal-
hal yang telah dibatalkan atau di revisi oleh ketentuan syari’at Nabi
Muhammad Saw.
2. Terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti syari’at
para nabi terdahulu. Ini menjadi alasan lainnya yang
mendukung keberlakuan syari’at umat terdahulu. Hal ini
seperti diisiyaratkan oleh QS. Al-Nahl ayat 123 yang
berbunyi:

َ ِ ‫ﻛﺎﻥ‬
‫ﻣﻦ‬ َ َ ‫ﻭﻣﺎ‬ ٍ ْ ِ َ ‫ﺇﺑﺮﻫﻴﻢ‬
َ َ ,‫ﺣﻨﻴﻔﺎ‬ ‫ﺍﺗﺒﻊ ِ ﱠ‬
َ ْ ِ َ ْ ِ َ‫ﻣﻠﺔ‬ ِ َ ‫ﺇﻟﻴﻚ‬
ْ ِ ‫ﺃﻥ ﱠ‬ ْ َ ْ َ ‫ﺛﻢ‬
َ ْ َ ِ ‫ﺃﻭﺣﻴﻨَﺎ‬ ‫ُﱠ‬
َ ِْ ِْ ُ ْ
.‫ﺍﻟﻤﺸﺮﻛﻴﻦ‬
Artinya:
Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agama
Ibrahim yang hanif.” QS. An-Nahl: 123.
Ayat di atas menunjukkan adanya perintah kepada Nabi
Muhammad Saw untuk mengikuti ajaran Nabi Ibrahim, lalu Allah
menegaskan bahwa Ibrahim membawa agama hanif, dan ia sama
sekali bukan orang musyrik. Keberlakuan syari’at Nabi Ibrahim
dalam syari’at Islam terlihat jelas lewat beberapa ritual yang
dilakukan oleh umat Islam selama ini, seperti haji, qurban, adab-adab
dalam melakukan sembelihan dan lain sebagainya.
Syar’u man qablana dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu :
a. Syariat terdahulu yang terdapat dalam Alquran atau
penjelasan Nabi yang disyariatkan untuk umat sebelum Nabi
Muhammad dan dijelaskan pula dalam Alquran atau hadis
Nabi bahwa yang demikian telah di-nasakh dan tidak berlaku
lagi bagi umat Nabi Muhammad. seperti firman allah dalam
surat al-An’am (8) : 146 yang berbunyi:

Universitas Malikussaleh 83
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

‫ﻭﺍﻟﻐﻨ َِﻢ‬ ِ َ َ ْ ‫ﻭﻣﻦ‬


َ ْ َ ‫ﺍﻟﺒﻘﺮ‬ ٍ ُ ُ ‫ﻛﻞ ِﺫﻯ‬
َ ِ َ , ‫ﻅﻔﺮ‬ ‫ﺣﺮﻣﻨَﺎ ُ ﱠ‬
ْ ‫ﻫﺎﺩﻭﺍ َ ﱠ‬ْ ُ َ ‫ﺬﻳﻦ‬َ ْ ِ ‫ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﱠ‬
ََ َ
َ َ َ ْ ِ َ ‫ﻅﻬﻮﺭﻫﻤﺎ‬
‫ﺃﻭﺍﻟﺤﻮﺍﻳﺎ‬ َ ُ ُ ُ ُ ‫ﺣﻤﻠﺖ‬ْ َ َ َ ‫ﺷﺤﻮﻣﻬﻤﺎ ِﺇﻻﱠ َﻣﺎ‬ ْ ِ ْ َ َ ‫ﺣﺮﻣﻨَﺎ‬
َ ُ َ ْ ُ ُ ‫ﻋﻠﻴﻬﻢ‬ ْ ‫َ ﱠ‬
َ ْ ُ ِ َ َ ‫ﻭﺇﻧﺎ ﱠ‬
.‫ﻟﺼﺎﺩﻗﻮﻥ‬ ْ ِ ِ ْ َ ِ ‫َﺎﻫﻢ‬
ِ َ ,‫ﺑﺒﻐﻴﻬﻢ‬ ْ ُ ‫ﺟﺰﻳﻨ‬
ْ َ َ ‫ﺫﺍﻟﻚ‬ ٍ ْ َ ِ ‫ﺍﺧﺘﻠﻂ‬
َ ِ َ ,‫ﺑﻌﻈﻢ‬ َ َْ
َ َ َ ْ ‫ﺃﻭﻣﺎ‬
Artinya:
dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang
yang berkuku96 dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas
mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di
punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang
bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka
disebabkan kedurhakaan mereka; dan Sesungguhnya Kami adalah
Maha benar.
Ayat ini mengisahkan tentang makanan yang
diharamkan Allah kepada orang Yahudi dahulu. Namun hal
itu tidak berlaku kepada umat Nabi Muhammad Saw. Hal ini
sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-An’am (6): 145 yang
berbunyi:

ُ َ ْ َ ‫ﻁﺎﻋﻢ‬
ْ َ ‫ﻳﻄﻌﻤﻪُ ِﱠﺇﻻ‬ ٍ ِ َ ‫ﻋﻠﻰ‬ ً ‫ﺃﻭﺣﻰ َِﺇﻟﻲ ُ َ ﱠ‬
َ َ ‫ﻣﺤﺮﻣﺎ‬ ُ ِ َ ‫ﻗﻞ َﻻ‬
ُْ
‫ﺃﻥ‬ َ ِ ْ ‫ﺃﺟﺪُ ِﻓﻰ َﻣﺎ‬
ً ْ ِ ْ َ ‫ﺭﺟﺲ‬
‫ﺃﻭﻓﺴﻘﺎ‬ ٌ ْ ِ ُ‫ﻓﺈﻧﻪ‬ ٍ ْ ِ ْ ِ ‫ﻟﺤﻢ‬
‫ﺧﻨﺰﻳﺮ َ ِ ﱠ‬ َ ْ َ ‫ﻣﺴﻔﻮﺣﺎ َْﺃﻭ‬ ً َ ْ َ ً‫ﻣﻴﺘﺔ‬
ً ْ ُ ْ َ ‫ﺃﻭﺩﻣﺎ‬ َ ُْ َ
َ ْ َ ‫ﻳﻜﻮﻥ‬
ّ ‫ﻓﺈﻥ َ ﱠ‬
‫ﺭﺑﻚ‬ ‫ﻋﺎﺩ َ ِ ﱠ‬ َ َ ٍ‫ﻏﻴﺮ َﺑﺎﻍ‬
ٍ َ ‫ﻭﻻ‬ َ ْ َ ‫ﺍﺿﻄﺮ‬‫ﻓﻤﻦ ْ ُ ﱠ‬ ِ َ َ ,‫ﺑﻪ‬
ِِ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻟﻐﻴﺮ‬ ‫ُِ ﱠ‬
ِ ْ َ ِ ‫ﺃﻫﻞ‬
.‫ﺭﺣﻴﻢ‬ ٌ ُْ َ
ٌ ْ ِ ‫ﻏﻔﻮﺭ ﱠ‬
Artinya:
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang
mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor -

96 Yang dimaksud dengan binatang berkuku di sini ialah binatang-


binatang yang jari-jarinya tidak terpisah antara satu dengan yang lain, seperti:
unta, itik, angsa dan lain-lain. sebahagian ahli tafsir mengartikan dengan hewan
yang berkuku satu seperti kuda, keledai dan lain-lain.

84 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh

atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa


yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Kandungan ayat ini adalah tentang pembatalan hukum haram
memakan binatang yang berkuku, sapi dan domba yang
pernah berlaku bagi umat Yahudi terdahulu. Untuk umat
Islam binatang-binatang tersebut halal dikonsumsi, kecuali
babi, darah, bangkai dan binatang yang disembelih atas nama
selain Allah. Karena hal itu kotor dan tidak layak dikonsumsi.
b. Hukum-hukum yang dijelaskan dalam Alqur’an maupun hadis
nabi yang disyariatkan kepada umat sebelumnya dan
dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan
berlaku untuk selanjutnya. Seperti kewajiban puasa, hal ini
sebagaimana dipahami dari kandungan Qs. Albaqarah ayat
183 yang berbunyi:

َ ْ ِ ‫ﻋﻠﻰ ﱠ‬
ْ ِ ‫ﺍﻟﺬﻳﻦ‬
‫ﻣﻦ‬ َ َ ‫ﻛﺘﺐ‬
َ ِ ُ ‫ﻛﻤﺎ‬
َ َ ‫ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ‬ ُ ُ ْ َ َ ‫ﻛﺘﺐ‬
َ َ ّ ِ ‫ﻋﻠﻴﻜﻢ‬ ْ ُ َ َ ‫ﺍﻟﺬﻳﻦ‬
َ ِ ُ ‫ﺃﻣﻨﻮﺍ‬ َ ْ ِ ‫ﻳﺄﻳﻬﺎ ﱠ‬
َ ‫َ َﱡ‬
.‫ﺗﺘﻘﻮﻥ‬ ْ ُ َ َ َ ‫ﻗﺒﻠﻜﻢ‬
َ ْ ُ ‫ﻟﻌﻠﻜﻢ َ ﱠ‬ ْ ُ َِْ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa,
Ayat ini menjelaskan bahwa puasa disyariatkan untuk umat
terdahulu dan diwajibkan pula kepada umat Nabi
Muhammad Saw untuk memperoleh ketakwaan.
c. Hukum-hukum yang disebutkan dalam Alquran atau hadis
nabi, dijelaskan berlaku untuk umat sebelum Nabi
Muhammad, namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku
untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut
telah di-nasakh.
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama,
setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan
dalam Alquran dan Sunnah. Ulama sepakat bahwa macam pertama
ini jelas tidak termasuk syariat Islam. Kedua, setiap hukum syariat
dari umat terdahulu namun disebutkan dalam Alquran dan Sunnah.
Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga, yaitu:

Universitas Malikussaleh 85
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

1) Dinasakh oleh syariat Islam, tidak termasuk syariat kita


menurut kesepakatan semua ulama. Contoh pada syari’at
nabi Musa as pakaian yang terkena najis tidak suci, kecuali
dipotong apa yang kena najis itu.
2) Dianggap syariat Islam melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini
termasuk syariat Islam atas kesepakatan ulama. Contohnya
perintah menjalankan puasa.
3) Tidak ada penegasan dari syariat Islam apakah dinasakh atau
dianggap sebagai syariat Islam. Contohnya ketentuan qisas,
yaitu balasan serupa yang pernah berlaku dikalangan umat
Yahudi. Nyawa dibalas dengan nyawa, jari dibalas dengan jari
dan seterusnya. Namun ketentuan ini tidak dinyatakan secara
tegas berlaku kepada umat Islam, maka boleh saja
diberlakukan jika tidak ada larangan dan mempunyai nilai
maslahat.
J. Qaul Sahabi (Pendapat Para Sahabat)
Pengertian qaul sahabi adalah pendapat sahabat Rasulullah
Saw tentang suatu kasus di mana hukumnya tidak dijelaskan secara
tegas dalam Alquran dan Sunnah.97 Setelah wafatnya Rasulullah Saw
tampillah para sahabat yang memiliki wawasan yang luas dalam
bidang fiqh dan lainnya untuk memberikan fatwa kepada
masyarakat. Para sahabat adalah orang yang paling dekat dengan
Rasulullah Saw dan senantiasa bergaul dengan beliau dalam
kesehariaannya.
Rasulullah senantiasa menginternalisasikan nilai-nilai Islam
kepada para sahabatnya melalui ucapan, perbuatan maupun
pengakuan. Sehingga muncullah generasi emas pada waktu itu yang
terdiri dari para sahabat. Selain menguasai ilmu yang luas, para
sahabat juga memiliki kepribadian yang luhur. Ketika itu beberapa
sahabat telah dipercaya oleh beliau untuk menjadi mufti diberbagai
wilayah, seperti Muaz bin Jabal yang ditunjukkan sebagai mufti untuk
negeri Yaman.
Setelah wafatnya Rasulullah, tugas memberikan fatwa beralih
kepada para sahabat. Setiap munculnya permasalahan, para sahabat
berfikir dan bermusyawarah untuk menyelasaikannya. Di sinilah
muncul berbagai pandangan dan pendapat para sahabat. Terkadang
mereka mempunyai pandangan yang sama, namun tidak jarang
mereka berpendapat berbeda. Pendapat para sahabat ini disebut juga

97 Satria Effendi, Ushul Fiqh..., h. 169.

86 Dr. Munadi, MA
Macam-macam Kaidah Usul Fiqh

“Qaul Sahabi” yang belakangan menjadi salah satu kaidah


pembentukan hukum dalam usul fiqh.
Para mufti dari kalangan tabi’in dan tabi’ tabi’in cukup
memperhatikan riwayat, takwil maupun fatwa dari para sahabat. Di
antara mereka ada yang mengklasifikasikannya bersama sunah-
sunah Rasul, sehingga fatwa-fatwa mereka dianggap sumber-sumber
pembentukan hukum yang disamakan dengan nash. Bahkan, seorang
mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahan kepada fatwa
mereka sebelum kembali kepada qiyas, kecuali kalau hanya pendapat
perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat Islam.
Maka tidak diragukan lagi bahwa pendapat para sahabat
merupakan hujjah (dalil) bagi umat Islam, terutama dalam hal-hal
yang tidak bisa dijangkau akal. Karena pendapat mereka bersumber
langsung dari Rasulullah Saw. Contohnya pernyataan Aisyah ra
tentang lama masa kehamilan, beliau berkata; Tidaklah berdiam
kandungan (bayi) dalam perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut
kadar ukuran yang dapat mengubah bayangan alat tenun.
Keterangan di atas tidaklah sah untuk dijadikan lapangan
ijtihad, karena sumbernya benar-benar dari Rasulullah Saw. Maka
dianggap sebagai Sunnah meskipun pada dzahirnya merupakan
pernyataan sahabat. Pendapat sahabat tentang hukum atau lainnya
dapat menjadi hujjah, karena pendapat mereka cukup dekat dengan
maksud Rasulullah Saw, mereka merupakan orang hidup bersama
Rasulullah dan mengetahui persis maksud dari ucapan dan
pengamalan beliau. Salah satu ketentuan hukum yang tergolong
kepada qaul sahabi adalah kesepakatan mereka atas pembagian
waris untuk nenek yang mendapat bagian seperenam. Ketentuan ini
pertama sekali dikemukakan oleh Abu Bakar, dan sahabat-sahabat
yang lain tidak membantah, bahkan menyetujuinya.
Pendapat para sahabat menjadi pegangan bagi penetapan
hukum, baik bagi kalangan sahabat sendiri maupun umat Islam
sesudah mereka. Abu Hanifah mengemukakan bahwa apabila ia tidak
mendapatkan hukum dalam Al-Qur’an dan sunnah, maka akan
mengambil pendapat para sahabat yang dikehendakinya dan
meninggalkan pendapat sahabat yang tidak dikehendaki. Namun,
beliau tidak keluar dari pendapat sahabat yang sesuai dengan yang
lainnya.
Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa pendapat orang
tertentu dikalangan sahabat tidak dipandang sebagai hujjah, bahkan
beliau memperkenankan untuk menentang pendapat mereka secara
keseluruhan dan melakukan ijtihad untuk mengistinbat pendapat

Universitas Malikussaleh 87
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

lain. Alasannya pendapat mereka merupakan hasil ijtihad


perseorangan dari orang yang tidak maksum (tidak terjaga dari
dosa).
Di samping itu, para sahabat juga dibolehkan menentang
pendapat sahabat lainnya. Dengan demikian, para mujtahid juga
dibolehkan menentang pendapat mereka. Maka tidaklah aneh jika
Imam Syafi’i melarang untuk menetapkan hukum atau memberi
fatwa, kecuali dari Alquran dan Sunnah atau dari pendapat yang
sepakati oleh para ulama’ dan tidak terdapat perselisihan di antara
mereka, atau menggunakan qiyas pada sebagiannya.98
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa qaul sahabi
merupakan pendapat tentang hukum yang berasal dari sahabat, yang
merupakan hasil ijtihad mereka. Sedangkan pendapat mereka
mengenai ucapan, kelakuan dan pengakuan Rasulullah Saw tidak
disebut sebagai qaul sahabi, melainkan itu adalah Hadis. Pendapat
sahabat kedudukannya diurutan kelima dari hujjah syar’iyyah
setelah Alquran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Pendapat sahabat perlu
dirujuk dalam penetapan hukum, karena mereka merupakan orang-
orang yang paling dekat dengan Rasulullah Saw dan paling faham
dengan tingkah laku beliau.

98 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010, h. 141-
142.

88 Dr. Munadi, MA
Penutup

BAB VI

PENUTUP

Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, dapat ditarik


kesimpulan bahwa Usul Fiqh merupakan suatu ilmu yang membahas
tentang metode istinbath hukum Islam oleh para ulama. Dengan
adanya metode tersebut, maka kedudukan hukum Islam menjadi
senantiasa dinamis dengan perkembangan zaman. Hukum Islam
tidak mengalami stagnan maupun uot to date dalam menyikapi
berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat tanpa henti
saban waktu berkat adanya kaidah usul fiqh.
Seiring perkembangan zaman, ilmu usul fiqh dan subtansinya
juga terus dikembangkan oleh para ulama. Perkembangan tersebut
terlihat dari ulasan sejarah ilmu usul fiqh sejak pertama sekali
dibukukan oleh Imam Syafei pada abad ke-2 Hijriah hingga sekarang.
Kaidah baru dalam usul fiqh terus saja muncul untuk menjawab
berbagai persoalan. Di satu sisi perkembangan ini merupakan
tuntutan zaman, namun di sisi yang lain perkembangan ini
merupakan bentuk kesungguhan dan kreatifitas para ulama dalam
mengemas kaidah usul fiqh.

Universitas Malikussaleh 89
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

This page is intentionally left blank

90 Dr. Munadi, MA
Daftar Pustaka

DAFTAR PUSTAKA

‘Abdul Latif, Qawaid wa al-Dhawabizd al-Mutadhammin li al-Taisir,


Juz 1, (Madinah: Jamiah al-Islamiyyah, 2003).
‘Ali Hasballah, Ushūl al-Tasyri’ al-Islamy, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi,
1997), Cet. 7.
A. Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: al-Ma’arif, 1994).
Abd al-Rahman al-Taj, Al-Siyasah al-Syari’ah wa Fiqh al-Islamy,
(Kaherah: al-Azhar, 1415 H).
Abd al-Wahhab al-Khalaf, Mashadir al-Tashri‘ al-Islam fi ma la Naṣ fih
(Kuwait: Dar al-Qalam, 1972).
Abd al-Wahhab Khallaf, Mashadir al-Tasyri al-Islami fî Ma La Nas Fih,
(Kuwait: Dar al-Qalam li al-Nasyr wa al-Tawzi, 1993), Cet. VI.
Abdul Ahmad al-Atwah, Al-Madkhal ila al-Siyasah al-Syari’ah,
(Riyadh: Jamiah al-Imam Muhammad bin Saud al-Islamiyyah,
1994).
Abdul Halim Uways, Fiqh Statis Dinamis, (Bandung: Pustaka Hidayah,
1998).
Abdul Wahab Khallaf, Siyasah Syar`iyyah Aw Nizam al-Daulah
Islamiyah Fi Syuun al-Dusturiyah wa al-Kharijiah wa al-
Maliyah; (Kaherah: Dar al-Ansar, 1982).
Abdul Wahaf Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan
Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2003).
Abu Yazid, Urgensi Maqashid al-Syariah Dalam Penerapan Hukum
Islam, Persepsi Fiqh Siyasah Tentang Pola Hubungan Agama
dan Negara, “Istiqro’, Volume 10, Nomor 01, 2011.
Abu Yazid, Urgensi Maqashid al-Syariah Dalam Penerapan Hukum
Islam, Dalam Jurnal Istiqro’, Volume 10, Nomor 01, 2011
(Jakarta: Dirjen Pendis, Kemenag RI), .
Abu Yazid, Urgensi Maqashid al-Syariah..., h. 120.
Ahmad Munif Suratmaputra, Fisafat Hukum Islam al-Ghazali;
Maṣlahah-Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaruan
Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002).
Ahmad Munif Suratmaputra, Fisafat Hukum Islam al-Ghazali;
Maṣlahah-Mursalahdan Relevansinya dengan Pembaruan
Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002).

Universitas Malikussaleh 91
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

Al-Ghazzali, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, Cet. 1 (Beirut: Dar al-Kutub


al-‘Ilmiyah, 2008).
Al-Syaṭibi, al-I‘tiṣam, Jilid II, (Riyaḍh: Maktabah al- Riyaḍh al-
Ḥaditsah, t.th.).
Al-Thabari, Tafsir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wili Ay al-Qur`an,
Jilid. 10, (Kairo: Markaz al-Buhus wa al-Dirasah al-‘Arabiyah
wa al-Islamiyah, 2001), Cet. I.
Amir ‘Abd al-‘Aziz, Uṣul al-Fiqh al-Islami, JilidII, (Qahirah: Dar al-
Salam, 1997/1418), Cet I.
Amir Syarifudin, Ilmu Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Logos, 1999).
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid al-Shari‘ah menurut al-Shatibi,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996).
Badran Abu al-Ainain, Uṣul al-Fiqh al- Islami, (Iskandariyyah:
Muassasah Shahab al-Jami‘ah, t. th.).
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997).
Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung:
Mizan Anggota IKAPI, 1996).
Hasbi ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), hal. 444.
Hasbi ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1993).
Ḥusain Ḥamid Ḥasan, Naẓariyyat al-maṣlaḥah fī al-Fiqh al- Islami,
(Qahirah: Dar al-Nahḍah al-‘Arabiyyah, 1971).
Ibn Abidin, Hasyiah Radd al-Muhtar ‘ala al Durr al Mukhtar, Juz 4,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1992).
Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin
(Beirut: Dar al-Fikr, tt).
Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin
(Beirut: Dar al-Fikr, tt).
Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (Indonesia:
Daar al-Kutub al-Arabiyyah, tt).
Ibnu Farhun, Tabshirah al-Hukam fi Ushūl al-‘Aqdiyyah wa Manahij al-
Ahkām, (Beirut: t.p, tt).
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Beirut: t.p, tt).
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ‘Ilam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamīn,
Jilid III, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991).

92 Dr. Munadi, MA
Daftar Pustaka

Imam Ahmad, Musnad li al-Imam Ahmad ibn Hanbal, (Kairo: Dar-Al-


Hadis, 1995).
J.N.D. Anderson, Islamic Law in The Modern World, (New York: New
York University Press, 1959).
Jamal al-Din al-‘Athiyyah, Nahwa Taf’il Maqaṣid al-Syari’ah,
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2001).
Khutbuddin Aibak, Penalaran Ta’lalily Dalam Hukum Islam; Telaah
Corak Penalaran Hukum Islam dalam Upaya Penerapan
Maqashid Syari’ah, (STAIN Tulungagung: Jurnal Islamica,
Volume 1, Nomor 1, Tahun 2006).
Lihat Amir Syarifuddin, Ushūl Fiqh II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
2001), Cet. 2.
M. Atho’ Muzdhar, Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan
Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998).
Muhammad Abu Zahrah, Ushūl Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr ‘Arabi, 1997),
Cet. 10.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Kutub Ilmiyyah,
2000).
Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer Dalam Pandangan
Neomodernisme Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
Muhammad Muslehuddin, Islamic Jurisprudence and The Rule of
Necessity and Need, (Islamabad: Islamic Research Institute,
International Islamic University, 2011), h. 140.
Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi
Tantangan Zaman, (Jakarta: Bangun Prakarya, 1986).
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh
Islam, Cet. 1 (Bandung: Alma‘arif, 1986).
Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum
Fiqh Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1996).
Murtadha Mutahhari, Inn al-Din ‘inda Allah al-Islam, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1996), 164; lihat juga Daud Rasyid, Islam
dalam Berbagai Dimensi (Jakarta: Gema Insani Press, 1998).
Musthafa Muhammad az-Zarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial
(Studi Komparatif Delapan Mazhab) Terj. Ade Dedi Rohayana
(Jakarta: Rineka Cipta, 2000).
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 1999).
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Universitas Malikussaleh 93
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

Saiful Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr.
Harun Nasution, (Bandung: Mizan, 1998).
Samuel Koening, Man and Society, the Basic Teaching of Sociology,
(New York: Borners Van Noble Inc: 1957), Cet. 1.
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009.
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam
Masyarakat, Edisi 2 (Jakarta: Rajawali, 1982).
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001).
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994).
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Cet. XII,Jakarta:
Rajawali Press: 1995).
Syamsul Arifin, dkk, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan,
(Yogyakarta: Sipress, 1996).
Wahbah al-Zuhaily, al-Wajiz fi Ushūl al-Fiqh, Cet. 1, (Damsyiq: Dar al-
Fikr, 1999).
Wahbah al-Zuhaily, Ushūl Fiqh Islamy, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1987).
Wahbah Zuḥaili, Uṣul al-Fiqh al- Islami, JilidIII, (Beirūt: Dār al-Fikr al-
Mu‘āṣir, 1998).
Yusuf al-Qaradhawi, Al Fatwa Bain al Indhibath wa al-Tasayyub,
(Kuwait: Dar al-Kalam, tt).
Yusuf al-Qaradhawi, Al Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyyah Ma’a
Nadharatin al Tahliliyatin fi al Ijtihad al Mu’ashir, (Kuwait:
Dar al-Kalam, tt).
Yusuf al-Qaradhawi, Hadyul Islam Fataw al-Mu’ashirah, (Kuwait: Dar
al-Kalam, tt).
Yusuf al-Qaradhawi, Siyasah al-Syariah, (Beirut: Dar al Syuruq, tt).

94 Dr. Munadi, MA
Riwayat Penulis

RIWAYAT PENULIS

Dr. Munadi, MA. Lahir di Pidie pada 10 Agustus 1983, anak


keempat dari enam bersaudara. Pendidikan dasar sampai menengah
atas ditempuh di tempat kelahirannya di Kota Bakti, kemudian
melanjutkan pendidikan non formal pada Pondok Pesantren MUDI
Mesjid Raya Samalanga (1998-2009). Pendidikan sarjana dalam
bidang hukum Islam diselesaikan pada IAI Al-Aziziyah Samalanga
(2005-2009), sedangkan pendidikan Magister (2009-2011) dan
Doktor (2012-2017) dalam bidang yang sama diselesaikan pada UIN
Ar-Raniry Banda Aceh. Saat ini penulis bekerja sebagai Dosen Tetap
pada IAIN Lhokseumawe, dan sebagai dosen luar biasa pada IAI Al-
Aziziyah Samalanga. Penulis aktif dalam berbagai organisasi
keulamaan seperti Nadhlatul Ulama (PWNU Aceh) dan Himpunan
Ulama Dayah Aceh (PB HUDA). Beberapa karya ilmiah yang telah
diterbitkan dalam bentuk buku antara lain; (1) Diskursus Hukum
LGBT di Indonesia, (2) Kodifikasi Tindak Pidana Ta’zir, (3) Wasiat
Wajibah Untuk Anak Angkat, dan (4) Pengantar Ilmu Usul Fiqh.
Selain itu penulis juga aktif menulis artikel dalam bentuk jurnal dan
opini dengan tema hukum Islam dan lainnya.

Universitas Malikussaleh 95
Pengantar Ilmu Usul Fiqih

This page is intentionally left blank

96 Dr. Munadi, MA

Anda mungkin juga menyukai