Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH FARMAKOTERAPI II

“ASMA”

DISUSUN OLEH
KELAS B
KELOMPOK III

FEBY ARFIYAN SINJAYA G 701 15 015


MUHLISA NUGRAH G 701 15 030
FEBRIYANI BARRE G 701 15 122
WIDIYASTUTI DARWIS G 701 15 234
INDRIANI G 701 15 202
NOVITA PRATIWI G 701 15 052
MOH.ADIN NUGRAHA G 701 15 092
ANA SRI RAHAYU G 701 15 144
AYU CAHYANI G 701 15 132
BESSE INDRA LESTARI G 701 15 229
FITRIA ANGGRAINI G 701 15 179
ISMI AMANDAH IZMAT G 701 15 194
NUR RAHMASARI G 701 15 084
REKHA MASITA G 701 15 112
ZULFAHMI G 701 15 074
IRIANTI G 701 15 245
MAGHFIRANI F. FAUZIA G 701 15 192

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya
penyusunan tugas makalah tentang Asma dengan lancar dan selesai tepat pada waktunya
.Tugas ini merupakan tugas dari mata kuliah Farmakoterapi 2, yang disusun dari data-
data yang diperoleh dari berbagai literatur. Tugas ini dapat penulis selesaikan karena
mendapat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Penulis menyadari bahwa sebagai
manusia biasa tidak luput dari kesalahan dan kekurangan termasuk dalam pembuatan
tugas ini.
Oleh karena itu, penulis sangat mengaharapkan kritikan dan saran dari para
pembaca yang bersifat konstruktif demi perbaikan isi makalah ini.

Palu, 29 APRIL 2018

Kelompok III
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .............................................................................................

Daftar Isi ......................................................................................................

Bab I Pendahuluan

I.1 Latar Belakang ............................................................................


I.2 Rumusan Masalah .......................................................................

Bab II Pembahasan

II.1 Definisi ......................................................................................


II.2 Faktor resiko .............................................................................
II.3 Patofisiologi ..............................................................................
II.4 Manifestasi klinik .....................................................................
II.5 Diagnosis tegak ……………………………………………….
II.6 Klasifikasi ……………………………………………………..
II.7 Komplikasi ……………………………………………………
II.8 Terapi farmakologi…………………………………………….
 Algoritma terapi………………………………………
 Golongan obat dan mekanisme kerja obat……………
 Terapi first line-akhir dan terapi gejala dan dosis obat
 Kontraindikasi…………………………………………
 Efek samping obat…………………………………….
II.9 Monitoring efektivitas dan efek samping obat…………………

Bab III penutup

III.I Kesimpulan .................................................................................

III.2 Saran ..........................................................................................

Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya, dan tidak
dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk
menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini masih berupa upaya penurunan
frekuensi dan derajat serangan, sedangkan penatalaksanaan utama adalah
menghindari faktor penyebab.

Penyakit asma masuk dalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematiandi
Indonesia. Pada tahun 2005 Survei Kesehatan Rumah Tangga mencatat225.000 orang
meninggal karena asma (Dinkes Jogja, 2011). Menurut hasil RisetKesehatan Dasar
(RISKESDAS) nasional tahun 2007, penyakit asma ditemukansebesar 4% dari
222.000.000 total populasi nasional, sedangkan di Sumatera BaratDepartemen
Kesehatan menyatakan bahwa pada tahun 2012 jumlah penderitaasma yang
ditemukan sebesar 3,58% (Zara, 2011). Jumlah kunjungan penderitaasma di seluruh
rumah sakit dan puskesmas di Kota Padang sebanyak 12.456 kalidi tahun 2013.

I.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan asma


2. Bagaimana factor resiko dari asma
3. Bagaimana patofisiologi terjadinya asma
4. Apa manifestasi klinik dari penyakit asma
5. Apa diagnosis tegak dari asma
6. Jelaskan klasifikasi dari asma
7. Komplikasi apa saja yang sering terjadi pada penyakit asma
8. Terapi farmakologi apa yang diberikan pada penderita asma
9. Bagaimana monitoring efektivitas dan efek samping obat dari penyakit asma
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Definisi
Asma sendiri berasal dari kata asthma. Kata ini berasal dari bahasa Yunani
yang memiliki arti sulit bernafas. Penyakit asma dikenal karena adanya gejala
sesak nafas, batuk, dan mengi yang disebabkan oleh penyempitan saluran nafas.
Atau dengan kata lain asma merupakan peradangan atau pembengkakan saluran
nafas yang reversibel sehingga menyebabkan diproduksinya cairan kental yang
berlebih (Prasetyo, 2010).
Definisi asma menurut Global Initiative for Asthma (GINA), asma adalah
gangguan inflamasi kronik pada saluran napas dengan berbagai sel yang berperan,
khususnya sel mast, eosinofil dan limfosit T. Pada individu yang rentan inflamasi,
mengakibatkan gejala episode mengi yang berulang, sesak napas, dada terasa
tertekan, dan batuk khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan
dengan obstruksi saluran napas yang luas dan bervariasi dengan sifat sebagian
reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga
berhubungan dengan hipereaktivitas jalan napas terhadap berbagai rangsangan.

II.2 Faktor resiko


Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI tahun 2008 tentang Pedoman
Pengendalian Penyakit Asma, secara umum faktor resiko asma dibedakan menjadi
2 kelompok, faktor genetik dan faktor lingkungan.
a. Faktor Genetik

1. Atopi/allergi

Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnya resiko asma


persisten dan beratnya asma. Menurut laporan dari Inggris,pada anak
usia 16 tahun dengan riwayat asma atau mengi, akan terjadi serangan
mengi dua kali lipat lebih banyak jika anak pernah mengalami hay
fever, rhinitis alergi atau eksema. Menurut Buffum dan Settipane
dalam Rahajoe dkk, (2008) anak dengan eksema dan uji kulit positif
menderita asma berat. Terdapat juga laporan bahwa anak dengan
mengi persisten dalam kurun waktu 6 tahun pertama kehidupan
mempunyai kadar IgE lebih tinggi daripada anak yang tidak pernah
mengalami mengi, pada usia 9 bulan.
2. Hiperaktifitas Bronkus
Saluran nafas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen
maupun iritan.

3. Jenis Kelamin
Menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa
prevalensi asma pada anak laki laki sampai usia 10 tahun adalah1,5
sampai 2 kali lipat anak perempuan. Hal ini dihubungkan dengan
karakter biologis, semakin sempitnya saluran pernapasan, peningkatan
pita suara dan terjadi peningkatan IgE pada laki-laki yang cenderung
membatasi respon bernapas. Pada orang dewasa, rasio ini berubah
menjadi sebanding antara laki laki dan perempuan pada usia 30 tahun
(Rahajoe dkk, 2008).

4. Ras
Menurut laporan dari Amerika Serikat, didapatkan bahwa
prevalensi asma dan kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih
tinggi daripada ras kulit putih (Rahajoe dkk, 2008).

b. Faktor Lingkungan

1. Alergen di Dalam dan di Luar Ruangan

Adanya alergen di lingkungan hidup anak meningkatkan resiko


penyakit asma.Alergen yang sering mencetuskan penyakit asma antara
lain adalah serpihan kulit binatang, tungau, debu rumah dan kecoa
(Rahajoe dkk, 2008).

2. Makanan, aditif makanan(bahan penyedap, pengawet, pewarna


makanan)
Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu sapi,
ikan laut, kacang, berbagai buah-buahan seperti tomat, strawberry,
mangga, durian berperan menjadi penyebab asma. Makanan produk
industri dengan pewarna buatan (misal:tartazine), pengawet
(metabisulfit), vetsin (monosodium glutamate-MSG) juga bisa memicu
asma (Purnomo, 2008). Mengkonsumsi makanan berpengawet
menyebabkan turunnya daya tahan tubuh dan dapat memicu reaksi
alergi.
3. Obat obatan tertentu misalnya golongan aspirin, NSAID, beta bloker
dan lain-lain.
Aspirin mempunyai efek samping bronkospasme
(penyempitan pada saluran pernapasan) yang dapat memperburuk
kondisi asma, sehingga sebaiknya aspirin dihindari.

4. Bahan yang mengiritasi misalnya parfum,household spray dan lain-


lain
Produk beraroma telah ditemukan mengandung campuran
alkohol alergen. Bahan kimia alergen umum adalah nikel sulfat,
neomisin sulfat, alkohol benzil, kobalt klorida, zat, dll dan minyak
aromatik alami seperti minyak mawar dan cengkeh dan minyak kayu
manis juga dapat menyebabkan alergi. Produk-produk yang
mengandung bahan kimia yang memiliki aroma tinggi harus dibatasi
penggunaannya. Bisa berbahaya bagi orang yang sensitif atau alergi
aroma

5. Ekspresi emosi berlebih.


Kondisi emosional yang berlebih seperti stress dapat memicu
serangan karena mengganggu keseimbangan hormon dan kimia otak.
Depresi dan rasa khawatir berlebihan juga memperlemah sistem
kekebalan, mengakibatkan sangat rentan timbulnya serangan asma.

6. Asap rokok dari perokok pasif maupun aktif.


Prevalensi asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih
tinggi daripada anak yang tidak terpajan asap rokok. Resiko terhadap
asap rokok sudah dimulai sejak janin dalam kandungan, umumnya
berlangsung terus setelah anak dilahirkan, dan menyebabkan
meningkatnya resiko. Pada anak yang terpajan asap rokok kejadian
eksaserbasi lebih tinggi, dan umumnya fungsi faal parunya lebih buruk
daripada anak yang tidak terpajan Steyer et al, (2003) dalam Rahajoe
dkk, (2008).
7. Polusi udara di luar maupun di dalam ruangan.

8. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika


melakukan aktifitas tertentu.

9. Perubahan cuaca
Kondisi cuaca yang berlawanan seperti tempratur dingin,
tingginya kelembaban dapat menyebabkan asma lebih parah, epidemik
yang dapat membuat asma lebih parah berhubungan dengan badai dan
meningkatnya konsentrasi partikel alergik. Perubahan tekanan
atmosfer dan suhu memperburuk asma. Ini umum terjadi ketika
kelembaban tinggi , hujan, badai, selama musim dingin.

II.3 Patofisiologi
Asma timbul karena sesorang yang atopi terpapar dengan alergen yang ada
dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk immunoglubolin E (IgE). Alergen
yang masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan, kulit, saluran
pencernaan, dan lain-lain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai
antigen presenting cells (APC). Setelah allergen diproses dalam sel APC,
selanjutnya oleh sel tersebut, allergen dipresentasikan ke sel th. Sel th
memberikan signal kepada sel. B dengan dilepaskannya Interleukin 2 (IL-2) untuk
berpoliferasi menjadi sel plasma dan membentuk immunoglubolin E (IgE). IgE
yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil
yang ada dalam sirkulasi. Bila proses ini terjadi pada seseorang maka orang itu
sudah desentisasi atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah rentan ini
terpapar kedua kali atau lebih dengan allergen yang sama, allergen tersebut akan
diikat oleh IgE yang sudah ada dalam permukaan mastosit dan basofil. Ikatan ini
akan menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan perubahan di dalam sel yang
menurunkan kadar cAMP. Penurunan kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel
yang menyebabkan dilepaskannya mediator-mediator kimia yang meliputi: histamin,
Slow Releasing Suptance of Anaphylaksis (SRS-A), Eosinophilik Chomotetik Faktor
of Anaphylaksis (ECF-A), trypase dan kinin. Hal ini akan menyebabkan timbulnya
tiga reaksi utama yaitu: kontraksi otot-otot polos baik yang besar maupun yang kecil,
yang akan menimbulkan bronkospasme, peningkatan permiabilitas kapiler yang
berperan dalam terjadinya edema mukosa yang menambah semakin menyempitnya
saluran napas, peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mucus.
Proses ini akan menimbulkan sesak, napas berbunyi (wheezing), dan batuk yang
produktif. Asma non alergik terjadi bukan karena pemaparan allergen tetapi terjadi
akibat beberapa faktor pencetus seperti infeksi saluran pernapasan bagian atas, olah
raga atau kegiatan jasmani yang berat dan tekanan jiwa atau stress psikologi.
Serangan asma ini terjadi akibat gangguan dan hiperaktifitas adrenergik alfa. Dalam
keadaaan normal aktifitas adrenergik beta lebih dominan daripada adrenergik alfa.
Pada sebagian penderita asma aktifitas adrenergik alfa diduga meningkat sehingga
mengakibatkan bronkokonstriksi dan menimbulkan sesak napas (Muttaqin, A.2008).

II.4. Menifestasi klinik


Menurut Shofyan, M. 2008, manifestasi klinis asma pada anak ditentukan
berdasarkan derajat serangan, sebagai berikut
II.5. Diagnosis tegak
Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) Diagnosis Asma yaitu:
1. Anamnesis
Kriteria diagnosis asma berdasarkan anamnesis adalah sebagai berikut :
 Terdapat gejala saluran napas yang khas meliputi mengi, sesak napas, rasa
tertekan pada dada, batuk.
1) Pasien asma mempunyai lebih dari satu gejala ini ( mengi, sesak napas,
batuk, dada seperti tertekan).
2) Gejala dapat terjadi bervariasi dalam hal waktu dan intensitas.
3) Gejala biasanya lebih sering terjadi dan lebih berat pada malam hari dan
pada saat bangun tidur.
4) Gejala sering dipicu olahraga, pada saat tertawa, alergen, atau udara
dingin
5) Gejala sering muncul dan lebih berat bila disertai dengan infeksi virus.
Gejala yang menurunkan kemungkinan bahwa seseorang menderita asma :
1) Batuk tanpa gejala respirasi lain
2) Produksi sputum kronik
3) Dispnea yang disertai dengan pusing, kepala terasa ringan, paresthesia
perifer
4) Nyeri dada
5) Dispnea dengan inspirasi nyaring terkait olahraga
 Terdapat keterbatasan aliran udara ekspirasi
1. Variabilitas fungsi paru yang besar dan keterbatasan aliran udara
Makin besar variasi / makin sering, makin sering kemungkinan
terdapat penurunan FEV1 (forced expiratory volum in
1 second), sehingga rasio FEV1/FVC (force vital capacity) berkurang.
Nilai normal FEV1/FVC > 0,75-0,80 pada dewasa dan > 0,90 pada anak.
2. Uji reversibilitas bronkhus positif
a. Terdapat variasi fungsi paru yang lebih besar dibandingkan orang
normal, misalnya :
- FEV1 meningkat lebih dari 12% dan 200 ml ( pada anak > 12%
nilai prediksi) setelah inhalasi dengan bronchodilator. Hal ini
disebut sebagai uji reversibilitas bronkhus positif.
- Rata-rata variasi diurnal PEF (peak expiratory flow) atau arus
puncak ekspirasi > 10% ( pada anak > 13%)
- FEV1 meningkat lebih dari 12% dan 200 ml ( pada anak > 12%
nilai prediksi) setelah 4 minggu pemberian anti inflamasi (diluar
infeksi saluran napas).
b. Semakin besar variasi dan semakin sering gejala muncul lebih
meyakinkan untuk menegakkan diagnosis asma
c. Pemeriksaan ulang diperlukan pada saat gejala muncul pada pagi
hari atau setelah pemberian bronchodilator
d. Reversibilitas bronchodilator akan hilang pada saat eksaserbasi
dengan gejala yang berat atau akibat infeksi virus. Apabila tidak
terdapat resersibilitas dengan pemberian bronchodilator pada saat
pemeriksaan pertama, maka langkah selanjutnya tergantung
kepentingan klinis dan ketersediaan pemeriksaan lain.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pada pasien asma seringkali normal. Abnormalitas
yang paling sering adalah wheezing ekspiratorik pada auskultasi, tetapi
kadang tidak terdengar atau hanya terdengar pada ekspirasi yang kuat yang
dipaksa. Wheezing juga tidak bisa ditemukan pada asma eksaserbasi berat,
karena penurunan aliran udara yang sangat hebat (silent chest), akan tetapi
biasanya tanda- tanda patologis lain muncul. Wheezing juga bisa ditemukan
pada disfungsi jalan napas atas, missal pada PPOK, infeksi saluran napas,
trakeomalasia, atau korpus alienum. Crakles atau wheezing inspiratorik bukan
karakteristik asma. Perlu juga dilakukkan pemeriksaan hidung untuk
menemukan adanya rhinitis atau polip nasal.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Spirometri
Fungsi normal paru diukur dengan spirometri. Forced expiratory
volume in 1 second (FEV1) lebih dipercaya daripada peak expiratory flow
(PEF). Jika PEF dilakukan, maka alat yang sama harus digunakan tiap saat
pemeriksaan, karena perbedaan sebesar 20% bisa terjadi bila dilakukan
perubahan ukuran atau alat.
b. Tes provokasi bronkhus
Pemeriksaan ini dilakukan untuk uji hiperresponsivitas jalan napas.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan latihan inhalasi metakolin dan histamine,
hiperventilasi eukapnik volunter atau mannitol inhalasi. Tes ini cukup
sensitif untuk diagnosis asma tapi kurang spesifik karena bisa juga
disebabkan oaleh penyakit lain seperti rhinitis alergika, fibrosis kistik,
dysplasia bronkhopulmoner, dan PPOK. Jadi bila hasil negatif pada pasien
yang tidak mengkonsumsi ICS dapat mengekslusi asma akan tetapi hasil
positif tidak selalu menandakan bahwa pasien menderita asma, sehingga
anamnesis perlu diperhatikan.
c. Tes alergi
Riwayat atopi meningkatkan probabilitas pasien dengan gejala
pernapasan menderita asma alergika tetapi hal ini tidak spesifik. Riwayat
atopi dapat diperiksa dengan skin prick test dan pemeriksaan IgE serum.
Skin prick tes dengan bahan yang mudah ditemukan di lingkungan sekitara
dalah tes yang cepat, murah, dan sensitif jika dikerjakan dengan benar.
d. Ekshalasi Nitrit Oksida
Fractional concentration of exhaled nitric oxide (FENO) dapat
diperiksa di beberapa tempat. FENO dapat meningkat pada asma eosinofilik
dan pada keadaan non asma misalnya rhinitis alergi dan belum dipastikan
bermanfaat untuk diagnosis asma. FENO menurun pada perokok dan saat
terjadi bronkhokonstriksi, dan meningkat jika terjadi infeksi pernapasan
yang disebabkan oleh virus. Kadar FENO > 50 ppb terkait dengan respons
jangka waktu yang singkat terhadap ICS. Saat ini pemeriksaan FENO belum
direkomendasikan.

II.6. Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting
bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat
asma semakin tinggi tingkat pengobatan.
II.7. Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul diantaranya:
a. Status asmatikus adalah setiap serangan asma berat atau yang kemudian
menjadiberat dan tidak memberikan respon (refrakter) adrenalin dan atau
aminofilin suntikan dapat digolongkan pada status asmatikus. Penderita harus
dirawat dengan terapi yang intensif
b. Atelektasis adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat
pernafasanyang sangat dangkal
c. Hipoksemia adalah tubuh kekurangan oksigen
d. Pneumotorak adalah terdapatnya udara pada rongga pleura yang menyebabkan
kolapsnya paru (obstruksi) saluran nafas karena kantung udara di paru
menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.
II.8 Terapi Farmakologi
1. ALGORITMA PENATALAKSANAAN
ALGORITMA TATA LAKSANA ASMA MANDIRI DI RUMAH

Klinis:

*Gejala (Batuk, sesak, mengi, dada terasa berat) yang bertambah

Tata laksana awal:

Inhalasi agonis B-2 kerja singkat (sabutamol inhaler), setiap 20


menit, selama 1 jam

Respon baik: Respon buruk:


*Gejala (Batuk, sesak, mengi, dada yang *Gejala menetap atau bertambah buruk
terasa berat) berkurang *Nilai APE < 60” nilai ediksi
*Perbaikan dengan inhalasi agonis B-2 -Tambahkan kortikodteroid oral
kerja singkat dan bertahan selama 4 jam
-Intalasi agonis B-2 Kerja singkat akan
*Lanjutkan inhalasi agonis B-2 kerja singkat
diulang
setiap 3-4 jam selama 1-2 hari

*Pemberian inhalasi steroid dosis tinggi(bila


sedang menggunakan inhalasi steroid)
selama 2 minggu kemudian kembali ke
dosis sebelumnya SEGERA KE FASILITAS
KESEHATAN

HUBUNGI DOKTER UNTUK INSTRUKSI SELANJUTNY


2. GOLONGAN OBAT ASMA

 Golongan Metyl Xanthine (Basic Pharmacology, 2017)


1. Teophylline (teofilin)
Indikasi : Obstruksi saluran napas reversible, asma akut dan
berat
Kontraindikasi : Hipersensitif, porfiria
Efek Samping : Takikardia, palpitasi, mual dan gangguan salurn
cerna yang lain, sakit kepala, stimulasi system
syaraf pusat, insomnia, aritmia, dan konvulsi.
MK : Teofilin secara kompetitif menghambat
fosfodiesterase yang meningkatkan konsentrasi
jaringan siklik adenin monofosfat (cAMP) yang
menyebabkan bronkodilatasi, diuresis, CNS dan
stimulasi jantung, dan sekresi asam lambung
(MIMS, 2017).
Dosis : Dewasa: 3x130-150mg/hari
Anak 6-12 tahun: 3x65-150mg/hari diberikan
setelah makan.

2. Aminoplylline (Aminofilin)
Indikasi : Obstruksi saluran napas reversible, asma akut dan
berat.
Kontraindikasi : Hipersensitif, porifiria.
Efek Samping : Takikardia, palpitasi, mual dan gangguan salurn
cerna yang lain, sakit kepala, stimulasi system syaraf
pusat, insomnia, aritmia, dan konvulsi terutama bila
diberikan melalui injeksi intravena cepat.
MK : Aminofilin, turunan xantin, adalah kompleks teofilin
dan etilendiamin. Ini blok phosphodiesterase-3 (PDE
III), enzim yang mendegradasi 3'-5'-adenosine
monophosphate (cAMP), mempromosikan stimulasi
katekolamin lipolisis, glikogenolisis, dan
glukoneogenesis dan mendorong pelepasan epinefrin
dari sel adrenal medulla. Ini menghasilkan
bronkodilatasi, diuresis, CNS dan stimulasi jantung,
dan sekresi asam lambung (MIMS, 2017).
Dosis : Dewasa: Loading dose 6mg/kgBB/iv selama 20-40
menit.
Dosis pemeliharaan: 0,5mg/kgBB/jam
 Golongan Beta 2 Agonis (Basic Pharmacology, 2017)
Mekanisme Kerja : Relaksasi otot polos jalan napas dengan menstimulasi reseptor beta 2
adrenergik dengan meningkatlan C-AMP dan menghasilkan
antagonism fungsional terhadap bronkokontriksi

1. Salbutamol (albuterol)
Indikasi : Meredakan bronkospasme pada asma dan obstruksi saluran napas
reversible lainnya.
KontraIndikasi : Hipersensitif terhadap salbutamol
Efek Samping : Tremor, ketegangan, sakit kepala, kram otot, palpitasi, takikardi,
aritmia, vasodilatasi perifer, gangguan tidr dan tigkah laku.
MK : Salbutamol mengaktifkan adenil cyclase, enzim yang merangsang
produksi siklik adenosin-3 ', 5'-monofosfat (cAMP). Peningkatan
cAMP menyebabkan aktivasi protein kinase A, yang menghambat
fosforilasi miosin dan menurunkan konsentrasi ion Ca intraseluler,
menghasilkan relaksasi otot polos (MIMS, 2018)
Dosis : Oral : Dws 3-4 x 4 mg/ hari, anak 0,05-0,1 mg/kg BB/kali 6-8 jam.
Inhalasi aerosol (DPI/MDI) : Dws 100-200mcg (1-2 hirupan).
Untuk gejalan yang persisten 3-4 kali sehari. Anak 100 mcg
(1hirupan) dapat dapat dinaikan menjadi 200 mcg (2 hirupan) bila
perlu.
Inhalasi nebulizer : Dws dan anak diatas 18 bulan 2,5 mg,
diberikan sampai 100 mcg (1 hirupan).

2. Terbutaline sulfate
Indikasi : Sebagai bronkodilator pada asma bronkial, bronkospasme pada
bronchitis kronik, emfisema, dan penyakit paru lainnyadengan
komplikasi bronkokontriksi
KontraIndikasi : Hipersensitif
Efek Samping : Tremor, ketegangan, sakit kepala, kram otot, palpitasi, takikardi,
aritmia, vasodilatasi perifer, gangguan tidr dan tigkah laku.
MK : Terbutalin menstimulasi adenil cyclase intraseluler, enzim yang
mengkatalisis konversi ATP menjadi siklik-3',5'-adenosin
monofosfat (cAMP) menghasilkan relaksasi otot polos bronkus dan
penghambatan pelepasan mediator hipersensitivitas langsung dari
sel mast (MIMS, 2018)
Dosis : Injeksi sc, IM, atau IV lambat :
Dws : 250-500 mcg sampai 4 kali sehari
Anak 2-15 tahun : 10 mcg/kgBB sampai maksimal 300 mcg
Inhalasi aerosol : Dws dan anak 250-500 mcg (1-2 hirupan),
untuk gejala persisten samapai 3-4 kali sehari.
Inhalasi serbuk : 500 mcg (1 inhalasi) untuk gejala persisten
hingga 4 kali sehari.
Inhalasi Nebulizer : 5 mg 2-4 kali sehari, dosis tambahan
diperlukan untuk asma akut yang berat.
Anak < 3 tahun 2 mg : anak 3-6 tahun 3 mg, anak 6-8 tahun 4 mg,
anak > 8 tahun 5 mg. dosis diberkan 2-4 kali sehari

 Agonis Adrenoreseptor Beta 2 Kerja Panjang (Basic Pharmacology, 2017)


1. Flometerol Fumarat
Indikasi : Asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
Kontraindikasi : Hipersensitivitas
Efek Samping : Gangguan ssp: sakit kepala, gangguan tidur, agitasi,
lemah.
Gangguan kardiovaskular: palpitasi, takikardi,
spasme bronkus, tremor, kram otot.
MK : Formoterol adalah agonis β2-adrenergik selektif
yang ketika dihirup menghasilkan relaksasi otot
bronkial yang cepat dan beraksi panjang pada pasien
dengan obstruksi jalan napas reversibel. Efek
bronkodilatasi tergantung pada dosis, dengan onset
efek dalam 1-3 menit. Durasi efek setidaknya 12 jam
setelah dosis tunggal (MIMS, 2017)
Dosis : Dewasa dan Remaja (≥12 tahun): 1-2 penarikan
napas dua kali sehari.
Anak-anak (≥6 tahun): 1 inhalasi sekali setiap hari
dari Symbicort 80 / 4.5 mcg
2. Salmeterol
Indikasi : Asma, obstruksi saluran nafas reversible lain yang
memerlukan bronkodilator jangka panjang.
Kontraindikasi : Hipersensitivitas
Efek Samping : Tremor, ketegangan, sakit kepala, kram otot,
palpitasi, takikardi, aritmia, vasodilatasi perifer,
gangguan tidur dan tingkah laku. Bronkospasme
paradoksial, urtikaria, angioedema, hipotensi
jarang terjadi.
MK : Salmeterol menstimulasi adenil cyclase
intraseluler, enzim yang mengkatalisis konversi
ATP menjadi siklik-3 ', 5'-adenosine
monophosphate (cAMP) menghasilkan relaksasi
otot polos bronkus dan penghambatan pelepasan
mediator hipersensitivitas langsung dari sel mast
(MIMS, 2017).
Dosis : Dewasa: Sebagai aerosol dosis terukur atau
inhaler serbuk kering: 50 mcg, atau hingga 100
mcg jika perlu, pada pasien asma dengan
obstruksi jalan napas yang lebih berat.
Anak: 4-12 thn 50 mcg.

 Golongan Anti Muskarinik (Basic Pharmacology, 2017)


1. Ipratropium Bromida
Indikasi : Bronkospasme, asma, penyakit paru obstruksi kronik
yang tidak dapat diatasi dengan beta agonis.
Kontraindikasi : Hipersentivitas, obstruksi hipertropi kardiomiopati,
takiaritmia.
Efek Samping : Gangguan motilitas saluran cerna, mulut kering,
sakit kepala, takikardi, palpitasi, gangguan
akomodasi mata, mual, retensi urin, batuk, iritasi
local, reaksi alergi.
MK : Ipratropium bromide menyebabkan bronkodilatasi
dengan menghalangi aksi asetilkolin di situs
parasimpatik di otot polos bronkus. Ini juga
menghambat sekresi kelenjar serosa dan seromus
oleh aplikasi hidung (MIMS, 2017).
Dosis : Dewasa: Sebagai aerosol dosis terukur: 20-40 mcg
3-4 kali sehari; dosis tunggal hingga 80 mcg
mungkin diperlukan pada beberapa pasien. Sebagai
soln untuk nebulisasi: 250-500 mcg 3-4 kali sehari.
Anak: Sebagai aerosol dosis terukur: <6 yr 20 mcg
tid; 6-12 thn 20-40 mcg tid. Sebagai soln untuk
nebulisasi: <6 th Untuk asma akut: 125-250 mcg,
diberikan tidak lebih dari 6 jam hingga dosis total 1
mg. 6-12 th Untuk asma akut dan kronis: 250 mcg,
diulang seperlunya hingga dosis total 1 mg.

2. Tiotropium Bromida
Indikasi : Terapi pemeliharaan obstruksi paru kronik
Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap atropine atau derivatnya
Efek Samping : Mulut kering, infeksi saluran pernapasan atas,
faringitis, sinusitis, rinitis, epistaksis, nyeri dada
non spesifik, ISK, dispepsia, reaksi hipersensitivitas
(misalnya urtikaria, angioedema, ruam, gatal),
pusing, disfagia, serak, obstruksi usus, peningkatan
intraokular tekanan, palpitasi, takikardia.
MK : Tiotropium bromide antagonises efek kolinergik
asetilkolin oleh reversibel dan kompetitif mengikat
reseptor 3 muscarinic (M3), menghasilkan relaksasi
otot polos bronkus (MIMS, 2017).
Dosis : Dewasa: Sebagai cap inhalasi: 1 cap (18 mcg) setiap
hari melalui inhaler, pada waktu yang sama setiap
hari. Sebagai inhalasi soln: 2 penarikan (5 mcg)
setiap hari, pada waktu yang sama setiap hari.

 Golongan Kortikosteroid (Basic Pharmacology, 2017)


1. Budesonide
Indikasi : Asma bronchial
Kontraindikasi : Hipersensitivitas
Efek Samping : Suara serak, kandidiasis orofaring, osteoporosis,
katarak, glaucoma, depresi, gangguan tidur dan
perilaku.
MK : Budesonide mengontrol laju sintesis protein,
menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear,
fibroblas, permeabilitas kapiler terbalik dan
stabilisasi lisosom pada tingkat sel untuk mencegah
atau mengendalikan peradangan (MIMS, 2017).
Dosis : Dewasa: Sebagai aerosol dosis terukur: 400 mcg
setiap hari dalam 2 dosis terbagi. Sebagai inhaler
powd kering: 200-800 mcg setiap hari dalam dosis
tunggal atau dalam 2 dosis terbagi. Sebagai
nebuliser soln: Asma berat: 1-2 mg bid. Dosis
pemeliharaan: 0,5-1 tawaran mg.
Anak: 2-12 thn Sebagai aerosol dosis terukur: 200-
800 mcg setiap hari dalam dosis terbagi. 5-12 tahun
Sebagai inhaler powd kering: 200-800 mcg setiap
hari dalam 2 dosis terbagi. 3 bln s / d 12 thn Sebagai
nebuliser soln: Awalnya, 0,5-1 mg bid. Dosis
pemeliharaan: 0,25-0,5 mg bid.

 Terapi First Line Asma


1. Reliever
A. Bronkodilator Simpatomimetik
Contoh :
Albuterol
- Aerosol (Dewasa dan Anak > 4 tahun (usia 12 tahun dan lebih untuk
pencegahan) 2 inhalasi setiap 4 sampai 6 jam)
- Tablet ( Anak >12 tahun dan dewasa = dosis awal 2-4 mg 3-4x sehari) ( Anak 6-
12 tahun = 2 mg 3-4x sehari)
- Sirup ( Anak >12 tahun dan dewasa = 2 atau 4 mg 3-4x sehari) ( Anak 6-12
tahun = dosis awal 2mg 3-4x sehari)
Salmeterol
- Aerosol (Anak >4 thn = 50 mcg dua kali sehari (dengan jarak 12 jam)

Efedrin
- Tablet (Anak >6 thn dan dewasa = 12,5-25 mg setiap 4 jam, dosis jangan
melebihi 150 mg dalam 24 jam)
- Injeksi (Dewasa = 25-50 mg scr subkutan/ i.m, 5-25 mg scr i.v)
Pirbuterol
- Aerosol (Anak >6 thn dan dewasa = 2 inhalasi (0,4 mg) diulangi setiap 4-6 jam.
Dosis jangan melebihi 12 inhalasi)
Terbutalin
- Tablet (Anak >15 thn dan dewasa = 5 mg interval pemberian 6 jam, 3x sehari)
(Anak 12-15 thn = 2,5 mg, 3x sehari)
- Injeksi (0,25 mg scr subkutan)

2. Controller
A. Kortikosteroid inhalasi/sistemik
Contoh :
Deksametason
- Tablet (Dewasa = 0,75 - 9 mg dalam 2 – 4 dosis terbagi) (Anak-anak = 0,024 –
0,34 mg/kg berat badan dalam 4 dosis terbagi)
Metil prednisolon
- Tablet (Dewasa = 2 – 60 mg dalam 4 dosis terbagi) (Anak-anak = 0,117 – 1,60
mg/kg berat badan setiap hari dalam 4 dosis terbagi)
Prednison
- Tablet (Dewasa = 5 – 60 mg dalam 2 – 4 dosis terbagi) (Anak-anak = 0,14 – 2
mg/kg berat badan setiap hari dalam 4 dosis terbagi)
Triamsinolon
- Aeosol oral (Dewasa = 2 inhalasi (kira-kira 200 mcg), 3 sampai 4 kali sehari/ 4
inhalasi (400 mcg) dua kali sehari. Dosis harian maks. adalah 16 inhalasi (1600
mcg)) (Anak-anak 6-12 thn = Dosis umum adalah 1-2 inhalasi (100-200 mcg), 3
sampai 4 kali sehari atau 2-4 inhalasi (200-400 mcg) 2x sehari. Dosis harian
maksimum adalah 12 inhalasi (1200 mcg))
Beklometason
- Aerosol oral (Anak >12 thn dan dewasa = Pasien yang sebelumnya menjalani
terapi asma dengan bronkodilator saja: 40 – 80mcg sehari. Pasien yang
sebelumnya menjalani terapi asma dengan kortikosteroid inhalasi : 40 -160 mcg
sehari) (Anak 5-11 thn = Pasien yang sebelumnya menjalani terapi asma dengan
bronkodilator saja: 40 mcg sehari. Pasien yang sebelumnya menjalani terapi asma
dengan kortikosteroid inhalasi : 40 mcg/hari
II.9 MONITORING EFEKTIVITAS DAN EFEK SAMPING OBAT

Monitoring dan evaluasi atau control terhadap terapi yang diterapkan pada pasien
asma ini bertujuan agar :
1. Menurunkan kemungkinan terjadinya resiko yang lebih parah
2. Terlaksananya penegakkan diagnosis dan tatalaksana pasien asma sesuai standar
atau kriteria
3. Menurunnya angka kesakitan dan kematian akibat asma
4. Mengetahui apakah pengobatan yang diberikan cocok atau tidak

Komponen-komponen yang merupakan bagian dari evaluasi asma meliputi :


1. Gejala
2. Gejala pada malam hari
3. Pengaruh dengan aktifitas normal
4. Fungsi paru
5. Kualitas hidup
6. Kambuhnya penyakit yang menyebabkan meningkatnya keparahan
7. Perawatan yang berhubungan dengan ESO
8. Kepuasan pasien terhadap pengobatan

Kategori dalam evaluasi terdiri dari :


1. Control yang baik
2. Control yang tidak baik
3. Control yang sangat tidak baik

Asma dikatakan terkontrol bila :


1. Gejala asma yang minimal (sebaiknya tidak ada). Termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktifitas termasuk latihan
3. Kebutuhan bronkodilator (agonist beta diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efeksamping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan keunit gawat darurat

Ciri-ciri asma tidak terkontrol :


1. Asma malam (terbangun malam hari karena gejala asma)
2. Kunjungan ke gawat darurat. Karena serangan akut
3. Kebutuhan obat pelega meningkat
BAB III
PENUTUP

III.1. KESIMPULAN

Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya, dan
tidak dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk
menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini masih berupa upaya penurunan
frekuensi dan derajat serangan, sedangkan penatalaksanaan utama adalah menghindari
faktor penyebab.

Definisi asma menurut Global Initiative for Asthma (GINA), asma adalah
gangguan inflamasi kronik pada saluran napas dengan berbagai sel yang berperan,
khususnya sel mast, eosinofil dan limfosit T. Pada individu yang rentan inflamasi,
mengakibatkan gejala episode mengi yang berulang, sesak napas, dada terasa
tertekan, dan batuk khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan
dengan obstruksi saluran napas yang luas dan bervariasi dengan sifat sebagian
reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga
berhubungan dengan hipereaktivitas jalan napas terhadap berbagai rangsangan.
Factor resiko asma yaitu factor genetic dan factor lingkungan dari penderita.
Diagnosis tegak dari asma sendiri yaitu dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.Kemudian obat-obat yang digunakan dalam pengobatan asma
yaitu berupa golongan methyl xhantin, beta 2 agonist, agonist adrenoresptor beta-2,
golongan anti muskarinik dan kortikosteroid.

III.2. SARAN
Diharapkan dalam pembuatan makalah selanjutnya lebih terarah dan lebih
baik dari makalah sebelumnya agar pembaca dapat mengerti dan memahami isi dari
makalah yang dibuat.
DAFTAR PUSTAKA

Arif Muttaqin, ( 2008 ), Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan


Gangguan Sistem Pernafasan, Jakarta : Salemba Medika.

Basuki Purnomo,2008. Patofisiologi Konsep Penyakit Klinis, Jakarta:EGC

Departemen Kesehatan RI tahun 2008. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma, Jakarta

Departemen Kesehatan RI. 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Asma. Jakarta;
Direktorat Bina farmasi komunitas dan klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat kesehatan
Departemen Kesehatan RI.

Global Initiative for Asthma. 2018. Pocket Guide For Asthma Management and
Prevention. Global Initiative Asthma.

Global Initiative for Asthma. 2018. Global strategy For Asthma Management and
Prevention. Global Initiative Asthma.

Global Initiative for Asthma (GINA). National Heart Lung and Blood Institute, update 2013.

Mustika Sofyan,2008, 50 Tahun Ikatan Bidan Indonesia.Jakarta:PP IBI

Prasetyo, Budi. 2010. Seputar Masalah Asma : Mengenal Asma, Sebab-sebab, Resiko-
resiko, Dan Cara Mengantisipasinya. Yogyakarta: Diva Press.

PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). ASMA. Pedoman Praktis Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Revisi 2010.

Rahardjoe.N.Nasti dkk,2008.Respirologi Anak,IDAI,Jakarta,2008

Anda mungkin juga menyukai