Anda di halaman 1dari 10

Ppn

A. Latar Belakang
Pajak merupakan kewajiban warga negara yang menunjukan peran serta dari seluruh masyarakat
dalam pembiayaan pemerintah untuk menjalankan pemerintahan dan pembangunan. Pajak telah terbukti
menjadi sumber utama dalam APBN Indonesia yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Pembiayaan pengeluaran negara yang bersumber dari pajak menunjukan adanya kemandirian
bangsa untuk mencapai cita-cita luhur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Pajak pada dasarnya merupakan peralihan sebagian kekayaan dari masyarakat kepada negara yang
dimungkinkan oleh Undang-Undang Pajak. Peralihan kekayaan tersebut membuat pajak dipandang dari
dua sisi yang berbeda. Bagi masyarakat seringkali pajak dinggap sebagai beban. Di sisi lain bagi pemerintah
dan fiskus pajak harus dipungut karena terbukti pajak memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap
penerimaan pajak, baik dengan usaha intensifikasi maupun ekstensifikasi pajak.
Jenis pajak yang seringkali kita temui dikehidupan sehari-hari adalah PPN (Pajak Pertambahan Nilai)
dan PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah). Kedua jenis pajak ini sangat memberikan kontribusi
yang sangat berarti bagi pembangunan negara ini, karena pajak tersebut yang sering atau acapkali kita
bayarkan baik secara langsung maupun tidak langsung dikehidupan sehari-hari.
Sebagai warga negara kita tidak hanya sekadar mengetahui secara sepintas tentang PPN dan PPnBm,
tetapi juga harus mendalami bagaimana sebenarnya kedua jenis pajak ini serta seluk beluk yang
menyangkut hal tersebut. Dengan kata lain agar tidak naïf dalam hal-hal yang menyangkut kewajiban kita
sebagai warga negara.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PPN (Pajak Pertambahan Nilai)


1. Pengertian dan Dasar PPN
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai diperkenalkan di Indonesia sejak 1 april 1985 untuk
menggantikan Pajak Penjualan (PPn). Hal ini dituangkan dalam UU No 8 tahun 1983. PPN diatur dalam
UU No 8 tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM, selanjutnya diubah dengan UU No.11 tahun 1994, lalu
diubah dengan UU No. 18 tahun 2000, terakhir diubah lagi dengan UU No.42 tahun 2009.
PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang
dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi (Siti Resmi, 2012:1). Dalam Dirjen Pajak,
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) didefinisikan sebagai pajak yang dikenakan atas setiap pembelian Barang
Kena Pajak dan pemanfaatan Jasa Kena Pajak baik di dalam wilayah Indonesia maupun dari luar daerah
Pabean.
Pada dasarnya semua barang merupakan Barang Kena Pajak, sehingga dikenakan PPN, kecuali jenis
barang yang diatur dalam Undang Undang PPN. Misalnya barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran
yang diambil langsung dari sumbernya, barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh
rakyat banyak, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya dan uang, emas batangan, dan surat-surat berharga. Ada juga barang yang merupakan Barang
Kena Pajak tetapi PPNnya dibebaskan, misalnya buku pelajaran umum dan buku pelajaran agama dan
barang-barang tertentunya.

2. Objek PPN

a. Penyerahan /impor/pemanfaatan/ekspor terhadap BKP /JKP/BKP tidak berwujud.


1) Penyerahan BKP didalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak maupun pengusaha
yang seharusnya dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak tetapi belum dikukuhkan.
2) Impor BKP. Pemungutan pajak saat impor BKP dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
3) Penyerahan JKP didalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha
4) Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daearah pabean didalam daerah pabean.
5) Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean (jasa konsultan asing yang memberikan jasa manajemen, jasa
teknik dan jasa lain) didalam daerah pabean.
6) Ekspor BKP berwujud oleh PKP, ekspor BKP dikenakan PPN, hanya jika yang melakukan adalah
pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP.
7) Ekspor BKP tidak berwujud oleh PKP, pengusaha yang melakukan ekspor BKP tidak berwujud adalah
hanya pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.
8) Ekspor JKP oleh PKP.
b. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang
pribadi atau badan yang hasilnya diigunakan sendiri atau digunakan pihak lain.
c. Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjual belikan
sepanjang pajak masukan yang dibayar pada saat perolehan menurut ketentuan dapat dikreditkan.

3. Bukan Objek PPN


a. Jenis Barang yang Tidak Dikenai PPN:
1) Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya.
2) Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.
3) Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi
makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman
yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering.
4) Uang, emas batangan, dan surat berharga.
b. Jenis Jasa yang Tidak Dikenai PPN: Jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa
pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa keagamaan, jasa pendidikan, jasa
kesenian dan hiburan, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat dan di air serta
jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara
luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa perhotelan, jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka
menjalankan pemerintahan secara umum, jasa penyediaan tempat parker, jasa telepon umum dengan
menggunakan uang logam, jasa pengiriman uang dengan wesel pos dan jasa boga atau katering.

4. Subjek Pajak
Pengusaha Kena Pajak, yaitu pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN, yang dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha
perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau
memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.

5. Bukan Subjek Pajak


Pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil yang
memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. (Pasal 1 angka 15 UU PPN).
6. Tarif PPN
a. Tarif PPN adalah 10%.
Dikenakan atas setiap penyerahan BKP di dalam daerah pabean/impor BKP/penyerahan JKP di
dalam daerah pabean/pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam
pabean/pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut dapat diubah menjadi paling rendah 5%
dan paling tinggi 15% yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini dapat
disebabkan berbagai faktor, misalnya pertimbangan perkembangan perekonomian Indonesia, sehingga tarif
PPN bisa diturunkan. Sebaliknya, misalnya jika Pemerintah membutuhkan penerimaan pajak yang besar,
sehingga tarif PPN bisa dinaikkan.
b. Tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, Ekspor Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud, dan Ekspor Jasa Kena Pajak.

7. Dasar Pengenaan PPN


a. Harga Jual
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-
Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

b. Penggantian
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang- Undang ini dan
potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya
dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean
c. Nilai Impor
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah
pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak.
Nilai Impor adalah CIF (Cost, Insurance, and Freight) + Bea Masuk.
d. Nilai Ekspor
Nilai Ekspor adalah adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh eksportir.
e. Nilai Lain
Nilai Lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan No.75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain Sebagai DPP dan Peraturan Menteri Keuangan
No.102/PMK.11/2011 tentang nilai lain sebagai DPP atas pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud
dari luar daerah pabean, di dalam daerah pabean berupa film cerita impor dan penyerahan film cerita impor.

B. Faktur Pajak
1. Pengertian
Menurut Siti Resmi (2012:52), faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP yang
melakukan penyerahan barang kena pajak atau penyerahan jasa kena pajak.
Faktur pajak merupakan bukti pemungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk
mengkreditkan Pajak Masukan. Oleh karena itu, faktur pajak harus benar, baik secara formal maupun secara
materiil.
Faktur pajak wajib dibuat oleh pengusaha kena pajak untuk setiap :
a. Saat penyerahan barang kena pajak.
b. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang
Kena Pajak dan atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak.
c. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.
d. Saat pengusaha kena pajak rekana menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah sebagai
Pemungut PPN.

2. Persyaratan Faktur Pajak


a. Nama, alamat, nomor pokok WP yang menyerahkan BKP atau JKP
b. Nama, alamat, nomor pokok WP pembeli BKP atau penerima JKP
c. Jenis barang atau jasa, jumlah HJ atau penggantian dan potongan harga
d. PPN yang dipungut
e. PPnBM yang dipungut
f. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan faktur pajak
g. Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani faktur pajak.

3. Fungsi Faktur Pajak


Adapun fungsi faktur pajak adalah :
a. Sebagai bukti pungut PPN yang dibuat oleh PKP atau Direktorat Jendral Bea dan Cukai, baik karena
penyerahan BKP atau JKP maupun Impor BKP.
b. Sebagai bukti pembayaran PPN yang telah dilakukan oleh pembeli BKP atau penerima JKP kepada PKP
atau Direktorat Bea dan Cukai.
c. Sebagai sarana pengawasan administrasi terhadap kewajiban perpajakan.

E. Tata Cara Menghitung Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


Cara menghitung PPN
PPN = DasarPengenaanPajak (DPP) x tarifpajak

Mekanisme Perhitungan PPN dapat diuraikan sebagai berikut :


a. PPN yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 UU PPN
dengan Dasar Pengenaan Pajak.
b. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama.
c. Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat
dikreditkan.
d. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka selisihnya
merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak.
e. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak
Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali atau
dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
f. Apabila dalam suatu Masa Pajak, PKP selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan
penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui
dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak
Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
g. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang
pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan
yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
h. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha yang dikenakan Pajak Penghasilan
dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan
pengkreditan Pajak Masukan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
i. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak
yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya
Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan
pemeriksaan.
Contoh :
PKP “A” menjual tunai Barang Kena Pajak (BKP) dengan Harga Jual Rp 25.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
= 10% x Rp25.000.000,00
= Rp2.500.000,00
PPN sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang didapat oleh Pengusaha Kena Pajak
“A”.
PKP “B” melakukan penyerahan Jasa Kena (JKP) Pajak dengan memperoleh penggantian sebesar
Rp20.000.000,00
PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP “B”
= 10% x Rp20.000.000,00
= Rp 2.000.000,00
PPN sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang didapat oleh Pengusaha Kena Pajak
“B”.
Bapak andre saputra simanjuntak mempunyai perusahaan yang memproduksi bahan alkohol, dia
melakukan penjualan sebesar Rp. 120.000.000,- dengan PPN sebesar 15%
Perhitungan :
= Rp. 120.000.000,- x 15%
= Rp. 18.000.000,-
Jadi pajak PPN yang dipungut oleh perusahaan bapak andre adalah Rp. 18.000.000,-

D. PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah)


PPnBM adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi BKP yang tergolong mewah didalam daerah
pabean.

1. Dasar Pengenaan PPnBM


a. Perlu adanya keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan
konsumen yang berpenghasilan tinggi.
b. Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong mewah.
c. Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional.
d. Perlu untuk mengamankan penerimaan negara.
PPnBM dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah.
BKP yang tergolong mewah adalah :
a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok;
b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;
c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi atau apabila
dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral serta mengganggu ketertiban masyarakat.
2. Objek PPnBM
a. Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang
menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
b. Impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah

3. Penetapan Tarif
a. Tarif PPnBM dibedakan menjadi beberapa kelompok tarif yaitu tarif terendah sebesar 10% dan tarif
tertinggi sebesar 200%. Perbedaan tersebut didasarkan pada pengelompokkan BKP yang tergolong mewah
yang atas penyerahannya dikenakan juga PPnBM.
b. Tarif PPnBM ditetapkan sebesar 0% atas ekspor BKP yang tergolong mewah, karena diekspor atau
dikonsumsi di luar daerah Pabean.

E. Pelaporan PPN dan PPnBM


1. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan
kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP yang telah dilunasi segera
dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.
3. PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan:
a. Bendahara Pemerintah harus dilaporkan paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan paling lama akhir bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
Untuk penyerahan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan PPnBM dihitung sendiri oleh PKP,
harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada KPP setempat paling lama akhir bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

F. Saat Pembayaran/Penyetoran PPN/PPnBM


1. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetor paling lama akhir bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus dibayar/disetor sesuai batas
waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP tersebut.
3. PPN/PPnBM atas Impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk, dan apabila
pembayaran Bea Masuk ditunda/ dibebaskan, harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Impor.
4. PPN/PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh:
a. Bendahara Pemerintah, harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN / PPnBM atas Impor, harus disetor dalam jangka
waktu 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan pemungutan PPN pajak.
PPN dari penyerahan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik (BULOG), harus dilunasi sendiri
oleh PKP sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (D.O) ditebus.

G. Sarana Pembayaran PPN dan PPnBM


1. Untuk membayar/menyetor PPN dan PPnBM digunakan formulir Surat Setoran Pajak (SSP) yang tersedia
di Kantor-kantor Pelayanan Pajak dan Kantor-kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan
(KP2KP) di seluruh Indonesia.
2. Surat Setoran Pajak (SSP) menjadi lengkap dan sah bila jumlah PPN/ PPn BM yang disetorkan telah
sesuai dengan yang tercantum di dalam Daftar Nominatif Wajib Pajak (DNWP) yang dibuat oleh: Bank
penerima pembayaran, Kantor Pos dan Giro, atau Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai penerima
setoran.
Contoh Soal:
Pengusaha Kena Pajak “D” mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah dengan Nilai Impor
sebesar Rp. 50.000.000,00 Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut selain dikenakan PPN juga
dikenakan PPnBM misalnya dengan tarif 20%.
Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
tersebut adalah:
a. Dasar Pengenaan Pajak Rp. 50.000.000,00
b. PPN = 10% xRp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00
c. PPn BM = 20% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 10.000.000,00
Kemudian PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari suatu BKP yang atas
penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan tarif misalnya 35%. Oleh karena PPnBM yang
telah dibayar atas BKP yang diimpor tersebut tidak dapat dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp.
10.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam harga BKP yang dihasilkan oleh PKP “D” atau dibebankan
sebagai biaya.
Misalnya PKP “D” menjual BKP yang dihasilkannya kepada PKP “X” dengan harga jual Rp.
150.000.000,00 maka penghitungan PPN dan PPn BM yang terutang adalah :
a. Dasar Pengenaan Pajak Rp. 150.000.000,00
b. PPN = 10% x Rp. 150.000.000,00 = Rp. 15.000.000,00
c. PPn BM = 35% x Rp. 150.000.000,00 = Rp. 52.500.000,00
PPN sebesar Rp. 5.000.000,00 yang dibayar pada saat impor merupakan pajak masukan bagi PKP “D” dan
PPN sebesar Rp. 15.000.000,00 merupakan pajak keluaran bagi PKP “D”. Sedangkan PPnBM sebesar Rp.
10.000.000,00 tidak dapat dikreditkan. Begitu pun dengan PPnBM sebesar Rp. 52.500.000,00 tidak dapat
dikreditkan oleh PKP “X”.
DAFTAR PUSTAKA
Mardiasmo, 1994, perpajakan , andi offset : Yogyakarta
Muyasssarah 2008, , hukum pajak , teras : Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai