Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang

ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif

nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan

emfisema atau gabungan keduanya.. 1

World Health Organization (WHO) melaporkan terdapat 600 juta orang

menderita PPOK di dunia dengan 65 juta orang menderita PPOK derajat sedang

hingga berat. Pada tahun 2002 PPOK adalah penyebab utama kematian kelima di

dunia dan diperkirakan menjadi penyebab utama ketiga kematian di seluruh dunia

tahun 2030. Lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK pada tahun 2005,

yang setara dengan 5% dari semua kematian secara global.2

Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jendral PPM & PL di

lima rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,

Lampung dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK

menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma

bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%) (PDPI, 2011). Menurut Riset

Kesehatan Dasar, pada tahun 2007 angka kematian akibat PPOK menduduki

peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian di Indonesia dan prevalensi PPOK

ratarata sebesar 3,7%.4

1
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease

(GOLD) 2007, dibagi atas 4 derajat, yaitu : derajat 1 (PPOK ringan), derajat 2

(PPOK sedang), derajat 3 (PPOK berat), derajat 4 (PPOK sangat berat). 3

Penderita PPOK akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak nafas,

batuk-batuk kronis, sputum yang produktif, faktor resiko (+). Sedangkan PPOK

ringan dapat tanpa keluhan atau gejala. Dan baku emas untuk menegakkan PPOK

adalah uji spirometri.

Dilihat dari sudut pandang sceara epidemiologi bahwa PPOK merupakan

10 besar penyakit penyebab kematian di Indonesia sehingga dalam penulisan ini

akan membahas tentang PPOK.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn ASM
Usia/Jenis kelamin : 80 tahun/Laki-laki
MRS melalui : IGD
Rawat IGD : 17 November 2018 jam 22.14 WITA
Rawat diruang : Komodo
No. MR : 013091
Agama : Kristen Protestan
Status pernikahan : Menikah
Pekerjaan :-
Alamat : Kuanino
II. RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT
a. Keluhan Utama : Sesak napas 1 hari sebelum masuk rumah sakit
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh sesak napas sejak kemarin sebelum masuk rumah sakit,
kemudian setelah itu pasien mengeluh terasa sesak semakin memberat
sehingga pasien diantarkan oleh keluarga ke IGD RSU Prof.W. Z
Johannes. Menurut pasien sesak saat saat beristrahat, semakin memberat
ketika beraktivitas. Gejala lainnya yakni batuk (+) kering. Pasien
memiliki riwayat penyakit jantung dan sesak napas sebelumnya. Menurut
pasien sebelumnya pernah merokok pada waktu masih muda dan untuk
saat ini pasien telah berhenti merokok.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat sakit CAD+PPOK+CHF
d. Riwayat Penyakit Keluarga
DM (-), hipertensi (-), alergi makanan (-)
g Riwayat di IGD

3
Hasil pemeriksaan di IGD menunjukkan pasien sesak dan pasien
diberikan nebu combivent + NaCl 3%, O2 masker 8 LPM, captopril 2x25
mg, ambroxol 3x1 tab, ca glukonas 2x1 amp bolus pelan, NS 20 tpm dan
balance cairan.
III. PEMERIKSAAN FISIK
 Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
 Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
 Tanda Vital : Suhu = 36,50 C
TD = 130/90
Nadi = 82 kali/menit, regular, kuat angkat
Pernafasan = 20 kali/menit, regular, normal,
torakoabdominal
 Kulit : tidak pucat, tidak sianosis, turgor kulit baik.
 Kepala : Bentuk normal, rambut uban, tidak mudah tercabut
 Mata : Konjungtiva pucat (-/-), Sklera ikterik (-/-)
 Telinga : Deformitas (-/-), Nyeri tekan mastoid (-/-)
 Hidung : Septum : deviasi (-)
Sekret : sekret (-/-)
Mukosa : merah muda
Epistaksis: (-/-)
 Mulut : Bibir : lembab
Mukosa : merah muda
Lidah : plak (-)
 Leher : pembesaran KGB (-), struma (-).
 Jantung : Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS
5 linea midklavikula sinistra
Perkusi : Batas atas : ICS 2 linea
parasternal sinistra

4
Batas bawah : ICS 5 linea
midklavikula sinistra
Batas kanan : ICS 4 linea
parasternal Dextra
Batas kiri : ICS 5 linea
midklavikula sinistra
Auskultasi : S1-S2 tunggal, reguler, murmur (-),
gallop (-)
Paru Anterior
Inspeksi : pengembangan dada simetri, otot bantu pernafasan (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-/-), vocal fremitus D=S
Perkusi : Sonor Seluruh lapangan paru
Auskultasi :
Suara Napas Ronki Wheezing
V V - - - -
V V - - - -
V V - - - -
Paru Posterior :
Inspeksi : Tulang – tulang vertebra dbn
Palpasi : Nyeri tekan (-/-), vocal fremitus D=S
Perkusi : Sonor Seluruh lapangan paru
Auskultasi :
Suara Napas Ronki Wheezing
V V - - - -
V V - - - -
V V - - - -
 Abdomen :
Inspeksi : Datar, supel
Auskultasi : BU (+), 8 x / menit

5
Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
 Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik,
edema motorik 5 5

5 5
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan Laboratorium 24 November 2018
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

HEMATOLOGI

Hemoglobin 11.9 g/dL 12.0 – 16.0 L

Jumlah eritrosit 4.32 10^6/uL 4.20 – 5.40

Hematokrit 35.2 % 37.0 – 47.0

MCH, MCHC

MCV 81,5 fL 81.0 – 96.0 L

MCH 27,5 Pg 27.0 – 36.0 L

MCHC 33,8 g/L 31.0 – 37.0

RDW-CV 13.3 % 11.0 – 16.0

Jumlah Lekosit 5,53 10^3/ul 4.0-10.0

6
Eosinofil 3,8 % 0-4 H

Basofil 6.64 % 0-1 H

Neutrofil 68.3 % 50-70

Limfosit 17.4 % 20-40

Monosit 6.80 % 2-8

Jumlah eosinofil 0.595 10^3/ul 0.00-0.40 H

Jumlah basofil 0.581 10^3/ul 0.00-0.10

Jumlah neutrofil 5.97 10^3/ul 1.50-7.00

Jumlah limfosit 1.52 10^3/ul 1.00-3.70

Jumlah monosit 0.071 10^3/ul 0.00-0.70

Trombosit 221 10^3/ul 150-400

7
V. POMR
N Clue & Cue Problem List DD Planning Planning Plannig
o. Diagnosis Terapi edukasi

1. Anamnesis 1.1 Chronic 1.1.1 PPOK  Spirometri  IVFD NS - KIE


Lung Disease  Rontgen 0,9% tentang
 Laki-laki, 80 tahun 1.1.2 Asma Thoraks 500cc/24 penyakit
 Sesak sejak 1 hari jam pasien
SMRS  Combivent - KIE
 Sudah sering nebul 3x1 mengenai
mengalaminya  Metil gizi yang
 Batuk kering (+) prednisolon cukup
 Riw.sesak nafas 2x62,5 mg
Pemfis IV
 Salbutamol
 Tanda Vital 3x 2 mg
TD: 130/70

Suhu: 36,5 C

Nadi: 82x/m

RR : 20x/m

 Ronki
- -

 
 
 Wheezing
- -

- -

 

8
BAB III
Pembahasan

A. Definisi

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan
emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis kronik didefinisikan sebagai
kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan
dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan
penyakit lainnya. Sedangkan emfisema didefinisikan sebagai suatu kelainan
anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus
terminal,disertai kerusakan dinding alveoli.Pada prakteknya cukup banyak
penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk
penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel
penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.4

B. Etiologi dan Faktor Resiko4

1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting,


jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat
merokok perlu diperhatikan :

a. Riwayat merokok

- Perokok aktif

- Perokok pasif

-Bekas perokok

9
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah
rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :

- Ringan :0-200

- Sedang : 200-600

- Berat : >600

2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja

3.Hipereaktiviti bronkus

4.Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang

5.Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

C. Patogenesis4

Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia


sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis.
Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal,
disertai kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis
emfisema:
- Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke
perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan
merokok lama
- Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara
merata dan terbanyak pada paru bagian bawah
- Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas
distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat
pleura.

10
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena
perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi
sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.

Gambar 1 Patogenesis PPOK4

11
Pada gambaran foto toraks diatas terlihat gambaran hiperinflasi pada paru
danhemidiafragma yang mendatar. Pada proyeksi lateral terlihat peningkatan
diameter anteroposterior“barrel chest” karena peningkatan udara di ruang
retrosternal.

Gambar di atas merupakan foto toraks seorang pria dengan riwayat merokok
lama. Terlihat gambaran lusen pada lapangan atas paru kiri dan kanan

12
Gambar di atas menunjukkan foto toraks penderita emfisema tipe bullous.
Tanda panah menunjukkan dinding bula yang terlihat seperti garis lengkung

Gambar di atas menunjukkan foto toraks penderita emfisema panasinar.


Terlihat gambaran lusen di lapangan bawah paru kiri dan kanan

13
D. Faktor Imunologi Pada PPOK

IV. PATOGENESIS

Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil

yang disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon

inflamasi yang persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous

akan mengalami metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus

menjadi hipertropi. Proses ini akan direspon dengan terjadinya remodeling saluran

nafas, hanya saja proses remodeling ini justru akan merangsang dan

mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan limfosit B

menginfiltrasi lesi tersebut. Perbandingan saluran napas orang normal dengan

saluran napas penderita COPD.

Hambatan aliran udara pada COPD terjadi akibat inflamasi jaringan

bronchioly (bronchiolitis) dan destruksi jaringan parenkimal paru (emphysema).

Pola kerusakan saluran nafas pada emfisema ini menyebabkan terjadinya

pembesaran rongga udara pada permukaan saluran nafas yang kemudian

menjadikan paru-paru terfiksasi pada saat inflasi.11 Merokok merupakan faktor

risiko lingkungan utama terjadinya COPD. Paparan kronik partikel inhalasi akibat

merokok memacu proses inflamasi seperti produksi netrofil dan makrofag serta

aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear factor Kβ. Perubahan patologik dan

gejala klinik merupakan hasil interaksi antara faktor host dengan faktor

lingkungan. Interaksi ini merupakan trias patologik COPD yang terdiri atas;

14
inflamasi persisten yang ditandai dengan peningkatan netrofil, makrofag dan

limfosit T serta pelepasan beragam sitokin dan mediator pro inflamasi,

proteaseantiprotease imbalance, dan oxidative stress, gambar 2. Semua faktor-

faktor ini menyebabkan metaplasia dan hiperplasia sel goblet, hipersekresi mukus,

fibrosis, gangguan otot halus dan destruksi jaringan paru.

Innate immunity dan adaptive immunity merupakan mekanisme imun

yang saling terintegrasi pada mekanisme pertahanan mukosa saluran napas pada

respon awal dari paparan partikel inhalasi akibat merokok. Innate immunity

dimulai dengan pelepasan pattern-recognition molecules yang bekerja secara

cepat, dan bersifat nonspesifik.

IVa. INNATE IMMUNITY

a. EPITEL SALURAN NAPAS

Epitel saluran napas merupakan sistem pertahanan tubuh pertama pada

saluran napas kecil maupun besar. Merupakan barrier fisik pertama

terhadap mikroba pathogen dan inhalasi toksin atau gas berbahaya. Epitel

saluran napas telah diketahui mempunyai peranan yang sangat penting

dalam mengawali dan memediasi respon inflamasi paru.1,13 Akibat

paparan kronik terhadap rokok, menyebabkan terjadinya perubahan

struktur epitel yang mengakibatkan hilangnya fungsi barrier epitel saluran

napas, hal ini ditandai dengan penurunan cleareance mucocilliary dan

metaplasia epitel skuamous. Akibat adanya perubahan morfologi epitel

15
saluran napas transforming growth factor-β (TGF-β) dependent signaling

menjadi teraktivasi sehingga memicu pelepasan sitokin pro inflamasi

seperti tumour necrosis factor-α (TNF-α) dan interleukin-1β oleh

makrofag alveolar yang mengawali kaskade pro inflamasi.13 Paparan

terhadap rokok juga secara langsung dapat memicu peningkatan ekspresi

kemokin seperti IL-8 dan chemokine (c-c motif) ligand 20 ( CCL20) yang

memicu infiltrasi neutrofil, sel dendritik dan sel T kedalam paru.

b. MAKROFAG ALVEOLAR

Makrofag alveolar telah lama diketahui berperan penting terhadap respons

inflamasi pada COPD, hal ini ditandai dengan peningkatan jumlah

makrofag pada jaringan paru dan mempunyai korelasi yang kuat terhadap

derajat infiltrasi dan progressi penyakit. Infiltrasi makrofag terlokalisir

disekitar jaringan rusak dan mengekspresikan mediatormediator pro

inflamasi. Melalui sekresi matriks metalloproteinase misalnya MMP-9,

makrofag alveolar secara langsung menyebabkan kerusakan jaringan pada

emfisema.13 Makrofag pada COPD juga menyebabkan peningkatan

pelepasan IL-8 yang memicu infiltrasi neutrofil dan kerusakan jaringan

melalui peningkatan sekresi protease. Infiltrasi T-cell melalui peningkatan

ekspresi Th1/Tc1 dengan kemokin spesifik seperti CXCLl9, CXCL10 dan

CXCL11.

c. SEL DENDRITIK

16
Sel dendritik merupakan sel “sentinel” pada respons innate immunity dan

berperan penting sebagai antigen presenting cell (APC) dan menjadi

perantara antara innate dan adaptive immunity. Sel dendritik terletak pada

parenkim paru, mengalami migrasi ke daerah intraepithelial dan segera

berespons terhadap infeksi atau kerusakan jaringan melalui aktivasi naive

Tcells.

IV b. ADAPTIVE IMMUNITY

a. T Cells

Infiltrasi T cells teraktivasi, khususnya CD8+cytotoxic Tcells telah lama

diketahui sebagai penyebab inflamasi kronik pada COPD. Infiltrasi CD8+

Tcells berkorelasi positif terhadap beratnya konstriksi aliran udara inhalasi

dan progresi penyakit, juga mempengaruhi peningkatan apoptosis sel

alveolar melalui FasL atau perforin/granzyme dependent dan pelepasan

TNF-α. Mekanisme ini berperan penting terhadap destruksi parenkim paru

pada COPD.

b. B Cells

B lymphocytes meningkat pada saluran bronchus maupun bronchioly

pasien COPD. Peranan B Cells pada COPD terutama pada peningkatan

respons CD4+ Tcell dan produksi autoantibodi. Pada emfisema CD4 Tcells

terdapat pada folikel limfoid yang mengandung germinal centers.

Peningkatan jumlah folikel B cell pada paru berhubungan dengan derajat

17
parahnya penyakit. Peningkatan kadar elastin specific autoantibodies

disertai dengan peningkatan jumlah B cells secreting anti-elastin pada

COPD. Anti elastin autoimmune responses merupakan mekanisme penting

yang berperan pada mekanisme autoimun yang memicu kerusakan jaringan

paru, sedangkan mekanisme elastolitik partikel dan gas dari rokok

menyebabkan peningkatan elastin specific autoantibodies.

RESPON INFLAMASI PADA COPD

Beberapa sel inflamasi berperan sebagai mediator inflamasi pada respon

penyakit COPD. Paparan terhadap rokok, partikel atau gas berbahaya dapat

mengaktivasi kaskade inflamasi yang disertai dengan pelepasan sejumlah sitokin

dan kemokin yang berperan terhadap terjadinya inflamasi kronik dan kerusakan

jaringan. Sel epitelial yang teraktivasi akan menghasilkan mediator inflamasi

seperti tumour necrosis factor (TNF-)α, interleukin (IL-)1b, granulocyte

macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) dan CXCL8 (IL-8). Beberapa

sinyal kemotaktik yang berperan pada rekruitmen neutrofil yaitu LTB4, IL-8, dan

CXC kemokin yang terdiri atas; CXCL1, CXCL8, GRO-a (growth related

oncogen-a) dan ENA-78 (epithelial neutrophil-activating protein of 78 kDa),

semuanya meningkat pada COPD.

18
Mediator ini berasal dari makrofag alveoli dan sel epithelial., sedangkan

neutrofil itu sendiri merupakan sumber IL-8. Migrasi neutrofil ke traktus

respiratorius bersama dengan IL-8 dan leukotriene B4 (LTB4). Neutrofil akan

mensekresi serine protease, yang mengandung neutrophil elastase (NE), Cathepsin

G, Proteinase-3; matrix metalloproteinase (MMP)-8 dan MMP-9. Mediator-

mediator ini berperan pada destruksi alveolar, selain itu serine protease

merupakan stimulan terjadinya sekresi mukus.12

E. Diagnosis

Diagnosis klinis untuk PPOK harus dicurigai jika pasien mengalami


kesulitan bernafas, batuk kronis atau terbentuknya sputum dan riwayat terkena
faktor resiko penyakit ini. Spirometri dibutuhkan untuk diagnosis klinis PPOK;
adanya postbronchodilator FEV1/FVC<0.70 mengindikasikan adanya
keterbatasan aliran udara dan PPOK.1,5

1. Gambaran klinis

Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis


ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan
berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada
seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua.
Catatan:
Untuk penegakkan diagnosis PPOK perlu disingkirkan kemungkinan adanya
asma bronkial, gagal jantung kongestif, TB Paru dan sindrome obstruktif

19
pasca TB Paru. Penegakkan diagnosis PPOK secara klinis dilaksanakan di
puskesmas atau rumah sakit tanpa fasilitas spirometri.6

Anamnesis7,8
Pasien biasanya mendefinisikan sesak napas sebagai peningkatan usaha untuk
bernapas, rasa berat saat bernapas, gasping, dan air hunger. Batuk bisa muncul
secara hilang timbul, tapi biasanya batuk kronis adalah gejala awal perkembangan
PPOK. Gejala ini juga biasanya merupakan gejala klinis yang pertama kali
disadari oleh pasien. Batuk kronis pada PPOK bisa juga muncul tanpa adanya
dahak. Faktor risiko PPOK berupa merokok, genetik, paparan terhadap partikel
berbahaya, usia, asma/ hiperreaktivitas bronkus, status sosioekonomi, dan infeksi.

Riwayat Penyakit7,8
Pada penderita PPOK baru diketahui atau dipikirkan sebagai PPOK, maka riwayat
penyakit yang perlu diperhatikan diantaranya:
• Faktor risiko terpaparnya pasien seperti rokok dan paparan lingkungan ataupun
pekerjaan.
• Riwayat penyakit sebelumnya termasuk asma bronchial, alergi, sinusitis, polip
nasal, infeksi saluran nafas saat masa anak-anak, dan penyakit respirasi lainnya.
• Riwayat keluarga PPOK atau penyakit respirasi lainnya.
• Riwayat eksaserbasi atau pernah dirawat di rumah sakit untuk penyakit respirasi.
• Ada penyakit dasar seperti penyakit jantung, osteoporosis, penyakit
musculoskeletal, dan keganasan yang mungkin memberikan kontribusi
pembatasan aktivitas.
• Pengaruh penyakit pada kehidupan pasien termasuk pembatasan aktivitas,
pengaruh pekerjaan atau ekonomi yang salah.
• Berbagai dukungan keluarga dan sosial ekonomi pada pasien
• Kemungkinan mengurangi faktor risiko terutama menghentikan merokok.

Pemeriksaan Fisik4

20
Jika PPOK dini umumnya tidak ada kelainan.

 Inpeksi
 Pursed-lipsbreathing (mulut setengah terkatup mencucu)
 Barrel chest Penggunaan otot bantu napas
 Hipertrofi otot bantu napas
 Pelebaran sela iga
 Bila terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan
edema tungkai
 Penampilan pink puffer atau blue bloater
 Palpasi: Pada emfisema fremitusnya melemah
 Perkusi: pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.
 Auskultasi
 Suara napas vesikuler normal atau melemah
 Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa.

2. Pemeriksaan Penunjang4,9

a. Faal Paru
 Spirometri
Klasifikasi PPOK berdasarkan hasil pengukuran FEV1 dan
FVC dengan spirometri setelah pemberian bronkodilator
dibagi menjadi GOLD 1, 2, 3, dan 4. Pengukuran spirometri
harus memenuhi kapasitas udara yang dikeluarkan secara
paksa dari titik inspirasi maksimal (Forced Vital Capacity
(FVC)), kapasitas udara yang dikeluarkan pada detik pertama

21
(Forced Expiratory Volume in one second(FEV1)), dan rasio
kedua pengukuran tersebut (FEV1/FVC).

Tabel 2 klasifikasi tingkat keparahan keterbatasan aliran udara pada pasien


PPOK9

 Uji brokodialtor
 Dilakukan dengan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter
 Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8
hisapan, 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai
FEV1atau APE <20% nilai awal dan <200 ml
 Uji bronkodilator pada PPOK stabil
b. Laboratorium: meliputi darah lengkap dan analisis gas darah.
c. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru yang lain.

 Emfisema
 Hiperinflasi
 Hiperlusen
 Ruang retrosternal melebar
 Diafragma mendatar
 Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop/eye
drop appearance)

22
 Bronkitis kronik
 Normal
 Peningkatan corakan bronkovaskular

3. Klasifikasi6

Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan Perkumpulan


Dokter Paru Indonesia (PDPI) / Gold tahun 2005 sebagai berikut :

1. PPOK Ringan
Gejala klinis:
– Dengan atau tanpa batuk
– Dengan atau tanpa produksi sputum.
– Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1
Spirometri:
– VEP1 • 80% prediksi (normal spirometri) atau
– VEP1 / KVP < 70%
2. PPOK Sedang
Gejala klinis:
– Dengan atau tanpa batuk
– Dengan atau tanpa produksi sputum.
– Sesak napas : derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).
Spirometri:
– VEP1 / KVP < 70% atau
– 50% < VEP1 < 80% prediksi.

3. PPOK Berat
Gejala klinis:
– Sesak napas derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas kronik.
– Eksaserbasi lebih sering terjadi

23
– Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan.
Spirometri:
– VEP1 / KVP < 70%,
– VEP1 < 30% prediksi atau
– VEP1 > 30% dengan gagal napas kronik
Gagal napas kronik pada PPOK ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan analisa
gas darah, dengan kriteria:
– Hipoksemia dengan normokapnia atau
– Hipoksemia dengan hiperkapnia

E. Diagnosis Banding

Tabel 4 Diagnosis Banding PPOK

PPOK Onset pada usia pertengahan

Gejala progresif lambat

Lamanya riwayat merokok

Seak saat aktivitas

Hambatan aliran udara Ireversibel

Asma Onset pada masa kanak-kanak

Gejala bervariasi dari hari ke hari

Gejala pada malam/menjelang pagi

Disertai alergi, rinitis atau eksim

Riwayat keluarga dengan asma

Hambatan aliran udara reversibel

24
Gagal jantung Auskultasi terdengar ronki halus di bagian basal, bisa terdapat
kongestif gallop dan murmur

Foto torak tampak kardiomegali, edema paru

Uji fungsi paru menunjukan restriksi bukan obstruksi

Tabel 2. Perbedaan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri pada PPOK, asam
bronkial dan gagal jantung kronik6

F. Penatalaksanaan
- Prinsip penatalaksanaan PPOK diantaranya adalah sebagai berikut7 :
- Berhenti Merokok
- Terapi farmakologis dapat mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan
beratnya eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan dan toleransi
aktivitas.
- Regimen terapi farmakologis sesuai dengan pasien spesifik, tergantung
beratnya gejala, risiko eksaserbasi, availabilitas obat dan respon pasien.

25
- Vaksinasi Influenza dan Pneumococcal.
- Semua pasien dengan napas pendek ketika berjalan harus diberikan
rehabilitasi yang akan memperbaiki gejala, kualitas hidup, kualitas fisik
dan emosional pasien dalam kehidupannya sehari-hari.

1. Penatalaksanaan Non-farmakologi PPOK4


a. Edukasi
 Pengetahuan tentang PPOK
 Penggunaan obat-obatan (macam, jenis, cara penggunaan, waktu
penggunaan, dosis dan efek samping)
 Cara pencegahan perburukan pernyakit dan penilaian dini
eksaserbasi akut
 Menghindari pencetus eksaserbasi
 Penyesuaian aktivitas
 Berhenti merokok menggunakan 5A (Ask/tanyakan, Advise/nasihati,
Asses/nilai, Assist/bimbing, Arrange/atur)
b. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada pasien PPOK, karena peningkatan
kebutuhan energi akibat kerja otot-otot pernapasan yang meningkat
sehingga terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnurisi meningkatkan
mortalitas pasien karena berhubungan dengan penurunan fungsi paru
dan perubahan analisis gas darah. Malnutrisi dievaluasi dengan
penurunan berat badan, penurunan kadar albumin dan antropometri.
Oleh sebab itu nutrisi yang adekuat dibutuhkan.

c. Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi adalah meningkatkan tolerasi latihan dan
memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK. Penderita yang

26
dimasukkan dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah
mendapatkan pengobatan optimal yang disertai:

 Simtom pernapasan berat


 Beberapa kali masuk unit gawat darurat
 Kualitas hidup yang menurun.

Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen meliputi latihan fisik,


psikososial dan latihan pernapasan yang ditujukan untuk memperbaiki
efisiensi dan kapasitas sistem transportasi oksigen.

2. Penatalaksanaan Farmakologi PPOK7


a. Bronkodilator
Bronkodilator digunakan untuk meningkatkan FEV1. Jenis – jenis
bronkodilator:

1) Beta 2-agonist
 Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan napas
dengan menstimulasi reseptor β2 adrenergik dengan meningkatkan
C-AMP dan menghasilkan antagonisme fungsional terhadap
bronkokontriksi.
 Efek bronkodilator dari short acting β2 agonist biasanya dalam
waktu 4-6 jam. Penggunaan β2 agonis secara reguler akan
memperbaiki FEV1 dan gejala.
 Long acting β2 agonist inhalasi memiliki waktu kerja 12 jam atau
lebih. Formoterol dan salmeterol memperbaiki FEV1 dan volume
paru, sesak napas, quality of life dan frekuensi eksaserbasi secara
signifikan, tetapi tidak mempunyai efek dalam penurunan mortalitas
dan fungsi paru.

27
 Efek samping adanya stimulasi reseptor β2 adrenergik dapat
menimbulkan sinus takikardia saat istirahat dan mempunyai potensi
untuk mencetuskan aritmia. Tremor somatic merupakan masalah
pada pasien lansia yang diobati obat golongan ini.
2) Antikolinergik

 Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium,


oxitropium dan tiopropium bromide.
 Efek utamanya adalah memblokade efek asetilkolin pada reseptor
muskarinik. Efek bronkodilator dari short acing anticholinergic
inhalasi lebih lama dibanding short acting β2 agonist. Tiopropium
memiliki waktu kerja lebih dari 24 jam. Aksi kerjanya dapat
mengurangi eksaserbasi dan hospitalisasi, memperbaiki gejala
dan status kesehatan, serta memperbaiki efektivitas rehabilitasi
pulmonal.
 Efek samping yang bisa timbul akibat penggunaan antikolinergik
adalah mulut kering.
b. Metylxantin
 Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat
ini dilaporkan berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi.
 Obat ini tidak direkomendasikan jika obat lain tersedia
c. Kortikosteroid
 Pengobatan reguler dengan kortikosteroid inhalasi dapat mengurangi
gejala, meningkatkan fungsi paru dan kualitas hidup dan
menurunkan frekuensi eksaserbasi terutama pada pasien dengan
FEV1<60%.
 Kortikosteroid inhalasi dikombinasikan dengan beta2 agonist kerja
lama lebih efektif daripada salah satu antara kortikosteroid dan
bronkodilator dalam peningkatan fungsi paru dan mengurangi
eksaserbasi pada pasien dengan PPOK sedang sampai sangat berat

28
 Pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid oral tidak
direkomendasikan
d. Phosphodiesterase 4 inhibitors
 Diberikan pada pasien PPOK berat dan memiliki riwayat
eksaserbasi dan bronkitis kronik.
 Mekanisme dari obat ini adalah untuk mengurangi inflamasi dengan
menghambat pemecahan intraselular C-AMP.
 efek samping seperti mual, menurunnya nafsu makan, sakit perut,
diare, gangguan tidur dan sakit kepala
e. Antimuskarinik
 Obat antimuskarinik bekerja untuk menghambat efek
bronkokonstriktor asetilkolin pada resptor muskarinik M3 yang
diekspresikan pada saluran napas.
 Selain sebagai bronkodilator, antimuskarinik juga dapat
mengurangi sekresi lendir.
 Terdapat 2 jenis yakin short-acting (SAMA) dan long-acting
(LAMA)
 Efek yang merugikan: efek terpenting yakni mulut kering, retensi
urin, konstipasi, sakit kepala dan nausea
f. Kombinasi beta 2-agonist dan antimuskarinik
 Keduanya saling memperkuat efek bronkodilator.
 Kombinasi lebih sederhana dan mempermudah pasien.
g. Antibiotik
 Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang
mencetuskan eksaserbasi
 Antibiotik lini pertama pada PPOK adalah golongan sefalosporin
seperti Cefotaxim 1 gr IV tiap 8-12 jam dan golongan
Floroquinolon yaitu Levofloxacin 500 mg IV 1 kali per hari.
h. Mukolitik dan antioksidan

29
Pasien PPOK dapat diberikan mukolitik seperti Ambroksol, erdostein,
carbocysteine, ionated glycerol dan N-acetylcystein sehingga dapat
mengurangi eksaserbasi dan meningkatkan derajat kesehatan.
i. Terapi oksigen
 Manfaat terapi oksigen
 Mengurangi sesak
 Memperbaiki aktivitas
 Mengurangi hipertensi pulmonal
 Mengurangi vasokonstriksi
 Mengurangi hematokrit
 Meningkatkan kualitas hidup
 Indikasi
 PaO2<60 mmHg atau SaO2 <90%
 PaO2 antara 55-59 mmHg atau SaO2>89% disertai korpulmonal,
perubahan P pulmonal, Ht >55% dan tanda-tanda gagal jantung
kanan, sleep apnea dan penyakit paru lain.
G. Manajemen PPOK Stabil
Kriteria PPOK stabil adalah4:
 Tidak dalam kondisi gagal napas akut
 Dapat dalam kondisi gagal napas kronik yakni AGD menunjukan
pH normal, PCO2>60 mmHg dan PaO2<60 mmHg
 Dahak tidak berwarna atau jernih
 Aktivitas terbatas tidak disertai sesak derajat berat
 Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
 Tidak ada penggunaan bronkodilator

Penatalaksanaan di poliklinik/di rumah meliputi7:


1. Penggunakan obat-obatan dengan tepat.
2. Obat-obatan sesuai klasifikasi

30
3. Pemilihan obat dalam bentuk dishaler, nebuhaler atau tubuhaler
karena penderita PPOK biasanya berusia lanjut, koordinasi
neurologis dan kekuatan otot sudah berkurang.
4. Penggunaan bentuk MDI menjadi kurang efektif
5. Nebuliser sebaiknya tidak digunakan secara terus menerus.
Penggunaan nebuliser di rumah sebaiknya bila timbul eksaserbasi,
penggunaan terus menerus, hanya jika timbul eksaserbasi.
6. Terapi oksigen. Dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat.
Pada PPOK derajat sedang oksigen hanya digunakan bila timbul
sesak yang disebabkan pertambahan aktiviti. Pada PPOK derajat
berat yaitu terapi oksigen di rumah pada waktu aktiviti atau terus
menerus selama 15 jam terutama pada waktu tidur. Dosis oksigen
tidak lebih dari 2 liter.
7. Penggunaan mesin bantu napas dan pemeliharaannya. Beberapa
penderita PPOK dapat menggunakan mesin bantu napas di rumah.
8. Rehabilitasi penyesuaian aktivitas
9. Latihan ekspektorasi atau batuk yang efektif "Pursed-lips breathing"
10. Latihan ekstremitas atas dan otot bantu napas
11. Evaluasi / monitor terutama ditujukan pada :
-Tanda eksaserbasi
-Efek samping obat

Tabel 10 Terapi Farmakologi PPOK Stabil

Pasien Pilihan pertama Pilihan alternatif Pilihan lainnya

A SABA prn LAMA Teofilin

atau atau

31
SAMA prn LABA

atau

SAMA dan LAMA

B LAMA atau LAMA dan LABA SABA dan/atau


LABA SAMA

Teofilin

C ICS + LABA LAMA dan LABA SABA dan/atau


atau SAMA
Atau
LAMA Teofilin
LAMA dan PDE-4
Inhibitor

Atau

LABA dan PDE-4


inhibitor

D ICS + LABA ICS + LABA dan Carbocystein


dan/atau LAMA LAMA
N-acetylcystein
Atau
SABA dan/atau
ICS+LABA dan SAMA
PDE-4 Inhibitor
Teofilin
Atau

LAMA dan LABA

Atau

32
LAMA dan PDE-4
inhibitor

H. Tatalaksana Eksaserbasi PPOK


Eksaserbasi PPOK didefinisikan sebagai gejala pernapasan yang memburuk
sehingga membutuhkan terapi tambahan. Eksaserbasi PPOK paling sering
disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan. Gejala eksaserbasi meliputi sesak
bertambah, produksi sputum meningkat dan perubahan warna sputum.1
Konsep tatalaksana eksaserbasi akut1:
 SABA inhaled dengan/tanpa SAMA.
 Kortikosteroid oral dapat meningkatkan fungsi paru (FEV1),
oksigenasi jaringan dan lama rawat inap. Terapi tidak boleh
diberikan lebih dari 5-7 hari.
 Antibiotik dapat diberikan karena dapat mempercepat waktu
pemulihan, mengurangi resiko relaps lebih cepat, mengurangi
kegagalan terapi dan lama rawat inap. Antibiotik tidak boleh
diberikan lebih dari 5-7 hari. Antibiotik pilihan adalah azitromisin
3x250mg atau 500mg/hari atau eritromisin 2x500mg/hari.
 Methylxantine tidak direkomendasikan karena meningkat efek
samping.
 Ventilasi non mekanik menjadi pilihan pertama pada pasien PPOK
dengan gagal napas akut

I. Komplikasi
Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit yang
progresif dan tidak sepenuhnya reversibel seperti:
1. Gagal napas4
 Gagal napas kronik

33
Penatalaksanaannya:
 Jaga keseimbangan tekanan PaO2 dan PaCO2
 Bronkodilator adekuat
 Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu aktivitas atau
tidur
 Antioksidan
 Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing

 Gagal napas akut pada gagal napas kronik


Gejalanya meliputi:
 Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
 Sputum bertambah dan purulen
 Demam
 Kesadaran menurun
2. Infeksi berulang4
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan
pembentukan koloni kuman, hal ini memudahkannya terjadi infeksi berulang,
pada kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih rendah yang ditandai dengan
menurunnya limfosit darah.
3. Kor pulmonal4
Ditandai dengan p-pulmonal pada EKG, Ht >50%, dapat disertai gagal
jantung kanan.
4. Pneumotoraks
Pasien dengan PPOK eksaserbasi, terjadi ketidakseimbangan antara
kapasitas kerja paru dan beban kerja paru, yang menyebabkan barotrauma
sehingga terjadi ruptur bulla, ruptur bulla terjadi pada PPOK emfisematosa. Selain

34
itu adanya hiperinflasi dan penggunaan ventilasi mekanik meningkatkan risiko
terjadi pneumotoraks.4

35
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Burden of COPD. 2015. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2017


dari www.who.int/respiratory/copd/burden/en/
2. Balitbangkes. Riset kesehatan dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
2014
3. GOLD Inc. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and
Prevention.2019
4. World Health Organization. Global surveilance, prevention and control of
Chronic Respiratory Disease A comprehensive approach [Internet].
Geneva; 2007. Available from: www.who.int/gard/publications/GARD
Book 2007.pdf
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK Diagnosis dan Terapi Edisi
Buku Lengkap [Internet]. Edisi Buku. Antariksa B, Djayalaksana S, Riyadi
J, YUnus F, Suradi, editors. Jakarta: Perhimpunan DOkter Paru Indonesia;
2011 [cited 2017 Jun 3]. Available from:
www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf
6. Putra Paramartha Wijaya, I Dewa Made Artik. Diagnosis Dan Tata Laksana
Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Fakultas Kedokteran Udayana. Bali: 2011
7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pengendalian
Penyakit Paru Obstruksi Kronik [Internet]. Jakarta; 2008. Available from:
http://www.pdpersi.co.id/peraturan/kepmenkes/kmk10222008.pdf
8. Soeroto, Hendarsyah Suryadinata. Penyakit Paru Obstruksi Kronik. Update
Knowledge In Respirology. Divisi Respirologi dan Kritis Respiras Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran; 2014.
9. Pauwels RA, Rabe KF. Burden and clinical features of chronic obstructive
pulmonary disease (PPOK). The Lancet. 2004;364(9434):613-20
10. Vestbo J, Hurd S, Agusti A, Jones P, Vogelmeier C, Anzueto A, et al.
Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic

36
obstructive pulmonary disease: GOLD executive summary. Am J Respir
Crit Care Med. 2014;187(4):347 - 65.
11. WHO. Global status report on noncommunicable diseases 2010 :
Description of the global burden of NCDs, their risk factors and
determinants. 2011
12. ASPEK IMUNOLOGI CHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY
DISEASES (COPD) Rosa Dwi Wahyuni Departemen Ilmu Patologi Klinik
FKIK Universitas Tadulako;2017

37

Anda mungkin juga menyukai