Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Pada tahun 2008 pemerintah melakukan perubahan terhadap undang- undang pajak penghasilan yaitu
dengan diterbitkan UU Nomor 36 tahun 2008. Undang- undang tersebut memberikan insentif dan
kemudahan untuk wajib pajak. Salah satu insentif tersebut adalah penurunan tarif pajak, dimana tarif pajak
badan mengalami penurunan dari tarif progresif menjadi tarif tunggal, yaitu (1) pada tahun 2009
menggunakan tarif sebesar 28% dan tahun 2010 menggunakan tarif 25%.
Salah satu upaya yang dilakukan manajemen untuk memperoleh keuntungan dari adanya perubahan tarif
pajak badan ini adalah ​tax shifting ​yaitu dengan memindahkan laba tahun sebelum perubahan tarif pajak
badan ke tahun sesudah perubahan tarif pajak. Menurut akuntansi hal ini dapat diterima karena akuntansi
menganut prinsip ​accrual basis ​dimana pada dasarnya basis akrual digunakan untuk pengakuan pendapatan
(revenue) d​ an beban ​(expense) ​yang dilakukan pada periode dimana seharusnya pendapatan dan beban
tersebut terjadi tanpa memperhatikan waktu penerimaan/pengeluaran kas dari pendapatan/beban yang
bersangkutan (Wijaya dan Martani, 2011).
Dari hasil penelitian insentif pajak yang tidak konsisten dalam mempengaruhi laporan keuangan,
melatarbelakangi penelitian ini untuk melakukan penelitian terhadap pengaruh insentif pajak setelah satu
tahun periode penurunan tarif pajak penghasilan badan pada tahun 2010 sebesar 25%.
Perusahaan yang menerapkan prinsip akuntansi konservatif akan membatasi tindakan opportunistik
manajemen. Namun, para pengkritik konservatisma akuntansi menyatakan bahwa konsep konservatisma
menyebabkan laporan keuangan yang bias karena menyebabkan kualitas laba yang dihasilkan menjadi lebih
rendah dan kurang relevan, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai alat oleh pengguna laporan keuangan
untuk mengevaluasi risiko perusahaan (Anggraini dan Trisnawati, 2008). Berdasarkan latar belakang diatas
maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian ini untuk mengetahui apakah insentif pajak
mempengaruhi kualitas pada laporan keuangan perusahaan di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dirumuskan masalah “ Apakah terdapat
pengaruh pemberian insentif pajak terhadap laporan keuangan? “

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian


Adapun tujuan dilakukan penelitian ini “Mengetahui pengaruh pemberian insentif pajak terhadap laporan
keuangan”

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak sebagaiberikut:
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran sebagai masukan dan referensi dasar
dalam melakukan penelitian selanjutnya dan juga memberikan sumbangan pengetahuan mengenai
laporan keuangan dalam meminimalkan beban pajak.
2. Bagi perusahaan, dapat memberi pemahaman mengenai pentingnya perubahan tarif pajak terhadap
perusahaan dan berguna dalam pengambilan keputusan. Bagi regulator, lebih dapat mengantisipasi
perilaku wajib pajak dan pengaruhnya terhadap penerimaan negara setiap adanya perubahan
Undang-Undang

1
1.4 Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari lima bagian dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB 1: PENDAHULUAN
Bab ini berisi dasar pemikiran yang melatarbelakangi penelitian ini yang digunakan peneliti
untuk perumusan masalah. Selain itu berisi juga tujuan dan kontribusi yang diharapkan dari
penelitian ini serta sistematika pembahasan yang memberikan gambaran umum laporan
penelitian ini.
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi telaah literatur yang berhubungan dengan topik penelitian yang didasari teori dan
bukti empiris dari penelitian sebelumnya yang digunakan untuk membangun hipotesis
penelitian.
BAB III: METODE PENELITIAN
Bab ini berisi metode penelitian yang meliputi informasi tentang responden dan populasi, teknik
pengumpulan data, pengukuran variabel dan metode statistik untuk pengujian hipotesis dan
analisis data.
BAB IV: PEMBAHASAN DAN HASIL
Bab ini menguraikan deskripsi dan analisis data, serta pengujian hipotesis dan pembahasan.
BAB V: PENUTUP
Bab ini berisi tentang simpulan, keterbatasan dan saran untuk penelitian selanjutnya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Efek dan Pengaruh

Efek. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “Pengaruh kuat yang mendatangkan akibat”. ​Pengaruh.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:849), “Pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari
sesuatu (orang atau benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang”.
Jadi bias disimpulkan Efek dan Pengaruh mepunyai keterkaitan yang dengan adanya efek dapat
mempengaruhi segala aktivitas didalamnya.

2.2 Insentif Pajak

Menurut Cascio (1995 : 377), ​“ ..an incentive are variable reward, granded to individuals on groups,
that recognize differences in achieving results. They are designed to stimulate or motivate greater employee
effort on productivity”​. Dari definisi tersebut insentif dapat diartikan sebagai berikut : insentif adalah
variabel penghargaan yang diberikan kepada individu dalam suatu kelompok, yang diketahui berdasarkan
perbedaan dalam mencapai hasil kerja. Ini di rancang untuk memberikan rangsangan atau memotivasi
karyawan berusaha meningkatkan produktivitas kerjanya.
Harsono (2004:21) berpendapat, insentif adalah setiap sistem kompensasi dimana jumlah yang
diberikan tergantung pada hasil yang dicapai, yang berarti menawarkan sesuatu yang berarti menawarkan
sesuatu insentif kepada pekerja untuk mencapai hasil yang lebih baik.
Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian insentif merupakan alat untuk
mendorong karyawan agar lebih meningkatkan produktivitas kerja untuk mencapai tujuan perusahaan yang
telah ditetapkan.
Definisi Insentif pajak menurut Suandy (2003) adalah suatu pemberian fasilitas perpajakan yang
diberikan kepada investor luar negeri untuk aktifitas tertentu atau untuk suatu wilayah tertentu. Zee, H.H,
stotsky dan Ley mendefinisikan insentif pajak seperti yang dikutip oleh Alex Easson (2004) bahwa: ​A tax
incentive can be defined either in statutory or effective terms. In statutory term, it would be a special tax
provision granted to qualified investment projects (however determined) that represents a statutorily
favorable deviation from a corresponding provision applicable to investment projects in general (i.e.
projects that receive no special tax provision). An implication of this definition is that any tax provision that
is applicable to all investment projects does not consitute a tax incentive… In effective terms, a tax incentive
would be a special tax provision granted to qualified investment project of lowering the effective tax
burden-measured in some way-on those projects, relative to the effective tax burden that would be borne by
investors in the absence of special tax provision.
Insentif pajak merupakan suatu instrumen dari sistem perpajakan yang dapat dipergunakan untuk
mempengaruhi kegiatan ekonomi. Beberapa negara di kawasan Asia saling bersaing dalam memainkan
insentif pajak untuk menarik investasi asing yang diyakini mampu memulihkan sakit ekonomi pasca krisis
ekonomi tahun 1997 dan 1998. Dalam beberapa kasus, insentif pajak diterapkan sebagai kompensasi dari
buruknya iklim investasi dari suatu negara yang antara lain dicerminkan dari kurangnya infrastruktur,
ketidakpastian hukum dan rumitnya birokrasi (Thuronyi, 1998). Meski pada umumnya kebijakan ​tax
incentives ini dilakukan oleh negara-negara berkembang, namun bukan berarti negara majupun tidak
melakukannya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Viherkenttä (1991), ”​Fiscal incentives have
traditionally played a central role in Third World foreign investment policy. Although such incentives are

3
common in industrialised countries too, they are much widespread in developing countries. Even at the time
when attitudes towards multinationals were most critical, alarge number of LCDs granted such incentives;
however, the increasingly favourable policies toward foreign investment have also taken the form of more
generous fiscal incentives”.

Di Indonesia, fasilitas pajak yang diberikan tercantum dalam Pasal 31 A Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang pemberian fasilitas pajak kepada investor yang melakukan penanaman modal dibidang
usaha tertentu dan didaerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional, kemudian diatur
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2015. Sementara itu, juga terdapat fasilitas pembebasan atau
pengurangan pajak penghasilan badan dalam rangka penanaman yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
nomor 94 Tahun 2010. Fasilitas ini dikenal dengan ​Tax Holiday.​ Baik ​Tax Allowance maupun ​Tax Holiday
sama-sama memberikan keringanan terhadap pembayaran pajak penghasilan badan, sehingga akan
berpengaruh terhadap pendapatan negara.

2.2.1 Jenis – Jenis Insentif Pajak

Menurut Thuronyi (1998), jenis insentif pajak secara umum adalah ; ​tax holiday, Investment
allowance and tax credit, timing differences, d​ an reduced tax rates.​ Masing-masing tipe dipilih
sesuai dengan isu yang dihadapi.

1. Tax holidays

Insentif pajak yang berupa ​tax holiday merupakan insentif pajak yang diberikan melalui
pembebasan dari pajak penghasilan badan atau ​corporate income tax(CIT) dan/atau
pengurangan tarif pajak atas ​CIT. Tax holiday diberikan dalam periode waktu yang terbatas dan
hanya diperbolehkan bagi perusahaan yang baru didirikan. Jangka waktu efektif dari ​tax holiday
tergantung dari ​start awal berlakunya ​tax holiday​. Alternatif titik awal ​tax holiday antara lain
tanggal perusahaan didirikan atau terdaftar secara resmi, tanggal perusahaan mulai berproduksi
atau usaha mulai dijalankan, tahun dimana perusahaan pertama kali mendapatkan keuntungan,
atau tahun dimana perusahaan pertama kali memperoleh penghasilan kena pajak. Insentif ​tax
holiday sangat berkaitan dengan ketentuan mengenai penyusutan dan kompensasi kerugian.
Dalam beberapa sistem pajak, Wajib Pajak dapat memilih untuk membebankan biaya
penyusutan saat mulai diperolehnya aktiva atau menunda beberapa tahun sampai dengan
kegiatan usaha dimulai dan memperoleh laba. Jika pembebanan biaya penyusutan dan
kompensasi kerugian dilakukan pada periode waktu ​tax holiday​, maka pemberian insentif ​tax
holiday tidak menarik bagi investor karena insentif tersebut tidak menguntungkan bagi investor
sebagai Wajib Pajak. Keuntungan insentif pajak berupa ​tax holiday antara lain adalah
keuntungan dari segi kesederhanaan, karena dengan tidak adanya pajak yang harus dibayar pada
masa ​holiday maka baik bagi kantor pajak maupun wajib pajak tidak perlu melakukan ​filing dan
audit​ pajak serta tidak ada biaya administrasi.

Sedangkan kelemahannya antara lain adalah:

1. The cost of tax holiday​, dalam arti penerimaan pajak yang hilang bagi ​host country yang
tidak dapat diperkirakan didepan dengan tingkat akurasi yang cukup.
2. Tax holiday s​ ering dimanfaatkan oleh investor yang cenderung ​mobile dengan
memindahkan usahanya ke negara lain untuk mendapatkan ​tax holiday yang baru jika

4
masa manfaat ​tax holiday di suatu negara sudah habis. Dengan praktek tersebut, negara
host country​ kehilangan ​benefit​ dari adanya investor tersebut.
3. Tax holiday ​menciptakan kesempatan untuk penghindaran pajak atau manipulasi pajak.

2. Tax sparing credit

Insentif pajak berupa ​Tax holiday agar efektif harus didukung dengan ketentuan mengenai
tax sparing credit yaitu suatu kredit pajak semu yang disepakati oleh negara asal investor
dimana negara asal investor memperbolehkan investor mengakui adanya kredit pajak di luar
negeri dalam penghitungan pajak global di negara asal investor (​the country of resident)​
walaupun dalam kenyataannya tidak ada pajak yang dibayar di negara sumber karena negara
sumber memberikan insentif pajak (​tax holiday​). Insentif pajak berupa ​tax holiday yang
diberikan oleh negara sumber tidak akan efektif jika di negara asalnya, investor harus membayar
pajak atas keseluruhan penghasilan yang diterima dari seluruh dunia (​world wide income)​ . Hal
ini pernah terjadi di Indonesia pada periode pemberlakuan ​tax holiday pada periode waktu tahun
1967 sampai dengan 1983.

3. Investment allowances and tax credits

Investment allowances and taxcredits pada umumnya diterapkan pada investasi baru yang
dibuat. ​Investment allowances and taxcredits adalah bentuk insentif pajak yang didasarkan pada
besarnya investasi. ​Tax allowance berarti mengurangi penghasilan kena pajak perusahaan.
Sedangkan ​tax credit​ secara langsung mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar.

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam mendesain ​investment allowance​ adalah:

a. Investasi yang memenuhi syarat (​eligible investment)​ , yaitu bahwa ​invsetment allowance
diterapkan atas semua bentuk investasi modal atau dapat pula atas kategori khusus saja,
seperti mesin atau peralatan berteknologi canggih.
b. Jumlah ​allowance, y​ ang pada umumnya dalam bentuk persentase dari investasi tertentu. Di
Indonesia, besarnya ​allowance​ adalah 30% dari investasi yang memenuhi syarat.
c. Jangka waktu (​duration​) dan batasan lainnya, yaitu batas waktu dimana ​investment
allowance​ dapat diklaim. Untuk Indonesia jangka waktunya adalah 6 tahun.

Permasalahan utama berkenaan dengan insentif jenis ini adalah dalam mendefinisikan
pengeluaran yang memenuhi syarat, pilihan tarif dari ​allowance atau kredit pajak, dan perlakuan
dari jumlah insentif yang tidak dapat dipergunakan dalam tahun tersebut dalam hal penghasilan
kena pajak tidak mencukupi. Sedangkan kelebihan jenis insentif ini dibandingkan dengan ​tax
holiday dilihat dalam ​perspektif host country adalah biaya maksimal yang muncul dapat
ditentukan dengan mudah; biaya tersebut berhubungan secara langsung dengan jumlah investasi
yang diberikan ​allowance; s​ erta insentif tersebut tidak membatasi khusus kepada investor baru
tapi juga kepada investor lama yang meningkatkan investasinya.

4. Accelerated depreciation (timing difference)

Perbedaan waktu dapat terjadi dalam hal pembebanan biaya yang dipercepat atau
penangguhan pengakuan penghasilan. Bentuk umum dari pembebanan biaya yang dipercepat

5
adalah penyusutan, yaitu penyusutan dibebankan dalam periode waktu yang lebih pendek dari
umur ekonomis aktiva tersebut atau melalui pembebanan khusus di periode tahun pertama.
Maksud dari insentif tipe ini adalah untuk membantu perusahaan memperoleh pengembalian
modalnya (​return on investment)​ lebih cepat. Namun, insentif ini secara keseluruhan tidak
mempengaruhi jumlah pajak yang seharusnya dibayar ke negara, tetapi hanya menggeser beban
pajak ke belakang. Misalnya atas suatu aktiva yang mempunyai manfaat ekonomis selama 8
tahun, seharusnya dibiayakan melalui penyusutan selama 8 tahun. Namun dengan kebijakan
insentif, penyusutan tersebut dapat dibebankan lebih pendek, misalnya menjadi 4 tahun. Namun
total biaya penyusutan yang boleh dibebankan tetap sama sesuai dengan nilai perolehan aktiva
tersebut.

5. Tax rate reductions

Pengurangan tarif pajak secara umum diterapkan atas penghasilan dari sumber tertentu atau
kepada perusahaan yang memenuhi kriteria tertentu. Misalnya, kepada perusahaan kecil di bidang
manufaktur atau pertanian. Pengurangan tarif ini berbeda dengan ​tax holiday sebab kewajiban pajak
dari perusahaan tidak dibebaskan secara keseluruhan, dan insentif ini dapat diperluas pada
perusahaan baru termasuk penghasilan dari kegiatan yang telah ada serta tidak dibatasi pada periode
waktu tertentu. Persoalan utama dalam menerapkan insentif tipe ini adalah dalam mengidentifikasi
penghasilan yang memenuhi syarat dan kriteria perusahaan tertentu. Seringkali dalam membuat
definisi atas penghasilan dan perusahaan tertentu yang berhak mendapatkan insentif menimbulkan
peluang untuk dimanipulasi. Untuk mencegah dimanipulasi, biasanya dibuat aturan hukum yang
ketat sehingga justru mengurangi efektifitas dari insentif tersebut.Pada pembahasan kali ini,kami
hanya befokus untuk membahas tentang Insentif Pajak Tax Holiday dan Tax Allowance yang berlaku
di Indonesia.

2.3 Sunset Policy


Pengertian ​Sunset policy ​menurut Siti Kurnia Rahayu (2009: 344) adalah pemberian fasilitas
penghapusan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 37A Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2007.Kebijakan ini memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memulai kewajiban
perpajakannya dengan benar. ​Sunset Policy ​telah dilakukan pada tahun 2008. Sejak Program ​Sunset Policy
diimplementasikan sepanjang tahun 2008 telah berhasil menambah jumlah NPWP baru sebanyak 5.653.128
NPWP, bertambahnya SPT tahunan sebanyak 804.814 SPT dan bertambahnya penerimaan PPh sebesar
Rp7,46 triliun. Jumlah NPWP orang pribadi 15,07 juta, NPWP bendaharawan 447.000, dan NPWP badan
hukum 1,63 juta. Jadi totalnya 17,16 juta (data DJP, 2010 kuartal 1) Dalam Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007​, Sunset Policy ​adalah kebijakan pemberian fasilitas perpajakan dalam bentuk penghapusan
sanksi administrasi perpajakan berupa bunga yag diatur dalam pasal 37A Undang-Undang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan. Selanjutnya dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE 34/PJ/2008
tanggal 31 Juli 2008 Tentang Penegasan Pelaksanaan Pasal 37 A UU. Nomor: 28 Tahun 2008 Tentang
Penegasan Pelaksanaan Pasal 37 A Undang-undang Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
beserta ketentuan pelaksanaannya, pelaksanaan ​Sunset Policy d​ iberikan penegasan sebagai berikut:
1) Konsep dasar Undang-undang perpajakan yang mengatur tentang ​Sunset Policy a​ dalah sistem ​self
assessment.​ Dalam sistem self assessment, Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung,
memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Sebagai konsekuensi pemberian kepercayaan

6
tersebut, Wajib Pajak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan berikut keterangan dan/atau
dokumen yang harus dilampirkan, yang telah diisi secara benar, lengkap, dan jelas.
2) Sunset Policy ​memberi kesempatan kepada:
(a) Wajib Pajak yang telah memiliki NPWP sebelum tanggal 1 Januari 2008 untuk membetulkan
SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak 2006 dan/atau TahunTahun Pajak sebelumnya;
(b) Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh NPWP secara sukarela dalam tahun 2008
untuk menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak 2007 atau Tahun Pajak 2007
dan sebelumnya, untuk memperoleh fasilitas berupa penghapusan sanksi administrasi
berupa bunga atas keterlambatan pembayaran pajak atau bunga atas pajak yang tidak atau
kurang dibayar.
3) Ketentuan ​Sunset Policy ​berdasarkan Pasal 37A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan bersifat khusus dan hanya berlaku untuk jangka waktu terbatas sehingga beberapa
ketentuan umum yang diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
tidak berlaku. Ketentuan umum yang tidak berlaku sehubungan dengan ​Sunset Policy ​seperti
ketentuan yang terkait dengan:
(a) pembatasan jangka waktu pembetulan SPT Tahunan PPh paling lama 2 (dua) tahun sejak
berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak; dan
(b) persyaratan belum dilakukan pemeriksaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1)
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
4) Dalam pelaksanaan ​Sunset Policy,​ Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk mengungkapkan
seluruh penghasilan termasuk harta dan kewajiban dalam SPT Tahunan PPh WP Badan atau WP
Orang Pribadi. Data dan/atau informasi yang telah diungkapkan dalam SPT Tahunan PPh WP Badan
atau WP Orang Pribadi yang telah disampaikan atau dibetulkan oleh Wajib Pajak sehubungan
dengan pelaksanaan ​Sunset Policy t​ idak dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan
pemeriksaan.
Pertama. ​Wajib Pajak Lama Bagi Wajib Pajak yang telah memiliki NPWP sebelum tanggal 1
Januari 2008 (Wajib Pajak Lama) yang memanfaatkan fasilitas ​Sunset Policy ​diberikan penegasan
lebih lanjut sebagai berikut:
(a) Wajib Pajak Lama yang menyampaikan SPT Tahunan PPh WP Badan atau WP Orang
Pribadi untuk Tahun Pajak 2006 dan/atau Tahun-Tahun Pajak sebelumnya dalam kurun
waktu mulai tanggal 1 Januari 2008 sampai dengan 31 Desember 2008 yang menyatakan
kurang bayar, diberikan fasilitas ​Sunset Policy;​
(b) Wajib Pajak Lama yang membetulkan SPT Tahunan PPh WP Badan atau WP Orang Pribadi
untuk Tahun Pajak 2006 dan/atau Tahun-Tahun Pajak sebelumnya dalam kurun waktu mulai
tanggal 1 Juli 2008 sampai dengan 31 Desember2008 yang menyatakan kurang bayar,
diberikan fasilitas ​Sunset Policy ​atas pembetulan yang pertama kali. Namun, apabila
pembetulan SPT Tahunan PPh dilakukan terhadap SPT Tahunan PPh (SPT Lama) yang telah
disampaikan dalam kurun waktu mulai tanggal 1 Juli2008 sampai dengan 31 Desember
2008, pembetulan SPT Tahunan PPh tersebut tidak memperoleh fasilitas ​Sunset Policy.​

Kedua​​. Wajib Pajak Baru Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh NPWP secara sukarela
dalam tahun 2008 (Wajib Pajak Baru) yang memanfaatkan fasilitas ​Sunset Policy d​ iberikan
penegasan lebih lanjut sebagai berikut:

7
(a) Wajib Pajak Baru yang menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak 2007 atau
Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya dalam kurun waktu mulai tanggal 1 Januari 2008 sampai
dengan 31 Maret 2009 diberikan fasilitas ​Sunset Policy​.
(b) Wajib Pajak Baru yang membetulkan SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak 2007 atau
Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya dalam kurun waktu mulai tanggal 1 Januari 2008 sampai
dengan 30 Juni 2008 diberikan fasilitas ​Sunset Policy ​atas pembetulan yang pertama kali.
Namun, apabila pembetulan SPT Tahunan PPh dilakukan terhadap SPT Tahunan PPh (SPT
Lama) yang telah disampaikan dalam kurun waktu mulai tanggal 1 Juli 2008 sampai dengan
31 Desember 2008, pembetulan SPT Tahunan PPh tersebut tidak memperoleh fasilitas
Sunset Policy.​

Ketiga. ​Wajib Pajak Sedang Dilakukan Pemeriksaan Bagi Wajib Pajak yang sedang dilakukan
pemeriksaan yang memanfaatkan fasilitas ​Sunset Policy ​diberikan penegasan lebih lanjut sebagai
berikut:
(a) KPP lokasi yang melakukan pemeriksaan atas kewajiban perpajakan Wajib Pajak lokasi
wajib memberitahukan ke KPP domisili dalam waktu paling lambat tanggal 22 Agustus
2008 atau paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah SP3 diperlihatkan kepada Wajib Pajak.
(b) Dalam hal Wajib Pajak yang diperiksa untuk seluruh jenis pajak (​all taxes)​ membetulkan
SPT Tahunan PPh WP Badan atau WP Orang Pribadi, dan SPT untuk jenis pajak lainnya
tidak ada yang menyatakan lebih bayar, pemeriksaan untuk seluruh jenis pajak tersebut
dihentikan, kecuali:
(i) Jika Pajak Penghasilan WP Badan atau WP Orang Pribadi yang terutang berdasarkan
temuan pemeriksaan yang didukung oleh bukti yang akurat/konkrit (bukan hasil
ekualisasi, pengujian arus piutang, pengujian arus utang, dsb.) sampai dengan saat
Wajib Pajak membetulkan SPT Tahunan PPh WP Badan atau WP Orang Pribadi
lebih besar daripada Pajak Penghasilan yang terutang menurut pembetulan SPT
Tahunan PPh WP Badan atau WP Orang Pribadi, maka pemeriksaan dilanjutkan
setelah mendapat persetujuan dari atasan langsung Kepala Unit Pelaksana
Pemeriksaan; atau
(ii) Jika terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, maka pemeriksaan
tersebut ditindaklanjuti dengan mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Temuan
pemeriksaan tersebut hanya menyangkut temuan pemeriksaan yang terkait dengan
pemeriksaan atas SPT Tahunan PPh WP Badan atau WP Orang Pribadi. Dengan
demikian, temuan pemeriksaan atas pemeriksaan untuk jenis pajak lainnya tidak
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk melanjutkan pemeriksaan.
Usulan pemeriksaan bukti permulaan dilakukan dengan tetap memperhatikan
kebijakan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(c) Dalam hal SPT Tahunan PPh WP Badan atau WP Orang Pribadi sedang dilakukan
pemeriksaan tetapi SPT untuk jenis pajak lainnya tidak diperiksa, dan Wajib Pajak
memanfaatkan ​Sunset Policy​, pemeriksaan tersebut dihentikan dengan memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1;
(d) Dalam hal SPT Tahunan PPh WP Badan atau WP Orang Pribadi tidak sedang dilakukan
pemeriksaan tetapi SPT untuk jenis pajak lainnya sedang diperiksa, dan Wajib Pajak
memanfaatkan ​Sunset Policy​, pemeriksaan ditindaklanjuti sebagai berikut:

8
1) Jika terdapat pemeriksaan atas SPT jenis pajak lainnya yang menyatakan lebih bayar
(misalnya SPT Masa PPN lebih bayar), pemeriksaan atas SPT lebih bayar tersebut tetap
dilanjutkan tanpa dikaitkan dengan pembetulan SPT Tahunan PPh WP Badan atau WP
Orang Pribadi;
2) Jika terdapat pemeriksaan atas SPT jenis pajak lainnya yang menyatakan tidak lebih
bayar, pemeriksaan untuk jenis pajak lainnya tersebut dihentikan, kecuali:
(i) terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, maka pemeriksaan tersebut
ditindaklanjuti dengan mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan; atau (ii) Surat
Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) terkait dengan pemeriksaan atas SPT
jenis pajak lainnya telah disampaikan kepada Wajib Pajak, maka pemeriksaan tetap
dilanjutkan sampai dengan penerbitan Laporan Hasil Pemeriksaan dan Nota
Penghitungan.
Usulan pemeriksaan bukti permulaan dilakukan dengan tetap memperhatikan kebijakan
Pemeriksaan Bukti Permulaan.

2.3.1 Sunset Policy j​ ilid II


​Pada tahun 2015 tepatnya di bulan Mei, Pemerintah menerapkan kebijakan yang dikenal
dengan ​Sunset Policy j​ ilid II untuk menyempurnakan kebijakan ​Sunset Policy s​ ebelumnya, dimana
perbedaan adalah sebagai berikut: (1) Landasan hukum kewenangan penghapusan sanksi
administrasi berupa bunga pada ​Sunset Policy J​ ilid I adalah Pasal 37A UU KUP, sedangkan pada
rencana ​Sunset Policy J​ ilid II penghapusan sanksi administrasi menggunakan kewenangan
Direktur Jenderal Pajak yang terdapat dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP; (2) Pemberian
penghapusan sanksi administrasi pada ​Sunset Policy ​Jilid I dilakukan dengan KPP tidak
menerbitkan STP, sedangkan pada ​Sunset Policy J​ ilid II ini nantinya STP atas sanksi administrasi
akan tetap diterbitkan lalu akan dihapuskan setelah KPP menerima permohonan penghapusan dari
Wajib Pajak; (c) Pada ​Sunset Policy ​Jilid I penyampaian atau pembetulan SPT mengandalkan pada
kesukarelaan (​voluntary​) Wajib Pajak, sedangkan dalam ​Sunset Policy J​ ilid II, selain bersifat
voluntary, ada juga yang bersifat suatu keharusan (​mandatory)​ . Kebijakan ini dinamakan ​Sunset
Policy J​ ilid II yang disebut-sebut sebagai ​Reinventing Policy. B ​ agi Wajib Pajak orang pribadi
dan badan, baik yang telah maupun yang belum menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan, SPT
Tahunan PPh Orang Pribadi, SPT Masa PPh maupun SPT Masa PPN, akan diberikan penghapusan
sanksi administrasi atas keterlambatan penyampaian SPT, pembetulan SPT dan keterlambatan
penyetoran atau pembayaran pajak apabila dalam 2015, Wajib Pajak menyampaikan atau melakukan
pembetulan SPT untuk lima tahun ke belakang
2.4 Insentif Revaluasi Aktiva Tetap
Sejak 15 Oktober 2015 lalu, Pemerintah telah meluncurkan kebijakan perpajakan melalui Peraturan
Menteri Keuangan bernomor 191/PMK.10/2015 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Untuk Tujuan
Perpajakan Bagi Permohonan Yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan Tahun 2016 (PMK 191/2015) atau
lebih dikenal sebagai Kebijakan Revaluasi Aktiva Tetap. Secara garis besar, kebijakan ini adalah bentuk
insentif perpajakan yang diberikan kepada Wajib Pajak. Kebijakan Revaluasi Aktiva Tetap bukanlah
instrumen baru karena Menteri Keuangan pernah meluncurkan instrumen yang sama pada tahun pada tahun
2008 yaitu melalui PMK Nomor: 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan
Untuk Tujuan Perpajakan (PMK 79/2008). Wajib Pajak yang dapat memanfaatkan insentif ini adalah Wajib
Badan dalam negeri, Bentuk Usaha Tetap, Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan pembukuan

9
(termasuk Wajib Pajak yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan
mata uang Dollar Amerika Serikat), dan Wajib Pajak yang pada saat penetapan penilaian kembali nilai
aktiva tetap oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai belum melewati jangka waktu 5 (lima) tahun
terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap terakhir berdasarkan PMK 79/2008. Sedangkan objek yang
dapat diajukan permohonan revaluasi aktiva tetap berdasarkan PMK 191/2015 adalah sebagian atau seluruh
aktiva tetap berwujud yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki dan dipergunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak. Tarif yang diberikan
bagi insentif revaluasi aktiva tetap ini terbagi menjadi 3 macam dan ketiganya bersifat final. Pembagian tarif
ini disesuaikan dengan saat wajib pajak melakukan pemanfaatan insentif perpajakan revaluasi. Tarif
tersebut adalah:
3%, untuk permohonan sampai dengan 31 Desember 2015 dan penilaian kembali selesai paling lambat
31 Desember 2016;
4%, untuk permohonan periode 1 Januari 2016 sampai dengan 30 Juni 2016 dan penilaian kembali
selesai paling lambat 30 Juni 2017; atau
6%, untuk permohonan periode 1 Juli 2016 sampai dengan 31 Desember 2016 dan penilaian kembali
selesai paling lambat 31 Desember 2017.
Tarif tersebut dikenakan atas selisih lebih nilai aktiva tetap hasil penilaian kembali atau hasil perkiraan
penilaian kembali oleh Wajib Pajak berdasarkan Kantor Jasa Penilai Publik atau ahli penilai di atas nilai
buku fiskal semula. Adapun hal yang perlu diperhatikan oleh Wajib Pajak lainnya adalah Wajib Pajak wajib
melunasi Pajak Penghasilan (PPh) Final terkait dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap dilakukan
sebelum diajukannya permohonan dan dilengkapinya dokumen dalam hal permohonan diajukan dengan
menggunakan nilai perkiraan penilaian kembali dari Wajib Pajak. Jika dibandingkan dengan tarif yang
terdapat pada PMK 79/2008, tentunya tarif yang terdapat di PMK 191/2015 jauh lebih rendah. Tarif yang
terdapat pada PMK 79/2008 adalah 10%, sedangkan tarif yang berlaku pada PMK 191/2015 berkisar antara
3% hingga 6%. Sehingga, dengan pemanfaatan insentif ini, wajib pajak dapat merestrukturisasi postur dan
nilai aktiva yang tampak pada laporan keuangan sehingga lebih wajar. Adanya penurunan tarif PPh Final
yang dikenakan atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskal
semula, yang tadinya 10% menjadi berkisar antara 3% hingga 6%. Terbitnya peraturan ini diharapkan dapat
menjadi insentif untuk menjaga stabilitas ekonomi makro, mendorong pertumbuhan ekonomi, serta
memperhatikan kebutuhan wajib pajak berniat meningkatkan nilai perusahaannya.
2.5 Tax Amnesty
Tax amnesty ​adalah suatu kesempatan waktu yang terbatas pada kelompok pembayar pajak tertentu
untuk membayar sejumlah tertentu dan dalam waktu tertentu berupa pengampunan kewajiban pajak
(termasuk bunga dan denda) yang berkaitan dengan masa pajak sebelumnya atau periode tertentu tanpa takut
hukuman pidana. Kebijakan ​Tax Amnesty ​sebenarnya pernah dilakukan Indonesia pada tahun
1984.Pada hakekatnya implementasi ​tax amnesty ​maupun ​sunset policy ​sekalipun secara psikologis sangat
tidak memihak pada wajib pajak yang selama ini taat membayar pajak.Kalaupun kebijakan itu diterapkan
di suatu negara, harus ada kajian mendalam mengenai karakteristik wajib pajak yang ada di suatu negara
tersebut karena karakteristik wajib pajak tentu saja berbeda-beda. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah,
apakah karakteristik wajib pajak memang banyak yang tidak patuh, sehingga ​tax amnesty t​ idak akan
menyinggung para WP yang taat membayar pajak. Selain itu, pola ​tax amnesty s​ eperti model ​sunset policy
hanya bisa diterapkan.sekali dalam seumur hidup wajib pajak. Pengampunan pajak tersebut diberikan atas
pajak-pajak yang belum pernah atau belum sepenuhnya dikenakan atau dipungut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Adapun bentuk pengampunannya dikenakan tebusan dengan tarif: (1) 1%
10
(satu persen) dari jumlah kekayaan yang dijadikan dasar untuk menghitung jumlah pajak yang dimintakan
pengampunan, bagi Wajib Pajak yang pada tanggal ditetapkannya Keputusan Presiden ini telah memasukkan
Surat Pemberitahuan Pajak Pendapatan/Pajak Perseroan tahun 1983 dan Pajak Kekayaan tahun 1984; (2)
10% (sepuluhpersen) dari jumlah kekayaan yang dijadikan dasar untuk menghitung jumlah pajak yang
dimintakan pengampunan, bagi Wajib Pajak yang pada tanggal ditetapkannya Keputusan Presiden ini belum
memasukkan Surat Pemberitahuan Pajak Pendapatan/Pajak Perseroan tahun 1983 dan Pajak Kekayaan tahun
1984.
Berdasarkan penelitian (Enste & Schneider, 2000), bahwa besarnya persentase kegiatan ekonomi bawah
tanah (​underground economy)​ , di negara maju dapat mencapai
14 – 16 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan di negara berkembang dapat mencapai 35 –
44 persen dari PDB. Kegiatan ekonomi bawah tanah ini tidak pernah dilaporkan sebagai penghasilan dalam
formulir surat pemberitahuan tahunan (SPT) Pajak Penghasilan, sehingga masuk dalam kriteria
penyelundupan pajak (​tax evasion​).
Penyelundupan pajak mengakibatkan beban pajak yang harus dipikul oleh para wajib pajak yang jujur
membayar pajak menjadi lebih berat, dan hal ini mengakibatkan ketidakadilan yang tinggi.Peningkatan
kegiatan ekonomi bawah tanah yang dibarengi dengan penyelundupan pajak ini sangat merugikan negara
karena berarti hilangnya penerimaan pajak yang sangat dibutuhkan untuk membiayaai program pendidikan,
kesehatan dan program-program pengentasan kemiskinan lainnya.Oleh sebab itu timbul pemikiran untuk
mengenakan kembali pajak yang belum dibayar dari kegiatan ekonomi bawah tanah tersebut melalui
program khusus yakni pengampunan pajak (​tax amnesty​).
Keunggulan yang diharapkan bila kebijakan ​tax amnesty d​ iimplementasikan yaitu akan dapat mendorong
masuknya dana-dana dari luar negeri yang dalam jangka panjang dapat digunakan sebagai pendorong
investasi yang pada gilirannya bermanfaat untuk menstimulasi perekonomian nasional. Di sisi lain
kelemahannya bila diterapkan pengampunan pajak adalah tidak serta merta menjamin peningkatan kinerja
setoran pajak ke kas negara. Hal ini bisa sebaliknya berpotensi terjadinya penyelewengan, manipulasi dan
tindakan moral hazard lainnya. Para pengusaha yang memperoleh pemutihan pajak akan melakukan
penggelapan kewajiban pajaknya. Kecuali bila diberlakukan pengampunan pajak bersyarat. Contohnya
pengampunan pajak bersyarat, wajib pajak harus transparan terhadap aset-aset dan penghasilan mereka.
Hal ini guna menghindari kekeliruan yang sama tahun 1984 tidak terulang kembali yaitu minimnya akses
informasi terhadap masyarakat dan minimnya keterbukaan/transparansi serta sosialisasi kebijakan ini. Bila
program ​tax amnesty ​berhasil diimplementasikan maka pemerintah mempunyai beberapa keuntungan antara
lain pemerintah dapat mengkonsentrasikan atau memfokuskan pada upaya pemberantasan korupsi.
Demikian juga dengan diimplementasikan ​tax amnesty m ​ aka ​asset recovery​-nya lebih mudah karena tidak
perlu melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan proses hukum lainnya untuk mengambil asset
koruptor. ​Asset recovery ​adalah perbandingan antara jumlah kerugian negara yang didakwakan dengan
penyitaan asset atau pengembalian asset korupsi.Selama ini persentase ​asset recovery m ​ asih relatif
kecil.Persentase ​asset recovery ​dapat dijadikan acuan penentuan tarif t​ ax amnesty​.
Indonesia dapat mempertimbangkan untuk melakukan ​tax amnesty d​ alam berbagai bentuknya untuk
meningkatkan kepatuhan wajib pajak. ​Tax amnesty i​ ni juga dapat dipandang sebagai rekonsilisasi
nasional untuk menghapus masa lalu wajib pajak yang tidakpatuh dan perilaku otoritas pajak yang melanggar
aturan.​Tax amnesty ​akan berhasil jika terdapat justifikasi yang kuat kenapa perlu adanya ​tax amnesty.​ ​Tax
amnesty ​harus dipublikasikan secara masif dengan pesan agar para penggelap pajak untuk ikut karena setelah
tax amnesty ​akan diberlakukan sanksi yang tegas bagi mereka yang tidak patuh. Untuk itu, diperlukan juga
reformasi kelembagaan DJP secara bersamaan untuk dapat mendeteksi kecuarangan wajib pajak pasca
pemberlakuan ​tax amnesty.​ Disamping itu, untuk membangun kepatuhan sukarela untuk

11
membayar pajak pasca ​tax amnesty ​diharuskan adanya transparansi penggunaan uang pajak
(anggaran) serta alokasinya yang tepat sasaran dan berkeadilan.

2.3 Penerimaan Pajak Tahun 2010-2016


Realisasi Penerimaan Negara (Milyar Rupiah), 2010-2016

12
13
BAB III METEDOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penentu Sample
3.1.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, menurut Creswell
pendekatan kualitatif yaitu,
“qualitative approach is one in which the inquirer often make knowledge claims based primarily on
constructivist perspectives (i.e., the multiple meanings of individual experiences, meanings socially and
historically constructed, with an intent of developing a theory or pattern) or advocacy/participatory
perspectives (i.e., political, issue oriented, collaborative, or change oriented) or both. It also uses strategies
of inquiry such as narratives, phenomenologies, ethnographies, grounded theory studies, or case studies. The
researcher collects open-ended, emerging data with the primary intent of developing themes from the data”
Berdasarkan definisi tersebut yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah penelitian dimana peneliti
melakukan peneltian berdasarkan sudut pandang konstruktivis yang bertujuan untuk mengembangkan suatu
teori atau menemukan suatu pola. Dalam penelitian ini, pembahasan yang dilakukan atas permasalahan yang
diajukan menggunakan pendekatan kualitatif karena penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor apa
saja yang dapat menjadi pertimbangan dalam perumusan kebijakan fasilitas pajak penghasilan untuk
penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan atau daerah-daerah tertentu. Penelitian ini ingin
mengkaji lebih dalam mengenai faktor-faktor tersebut dan menemukan pola dalam perumusan kebijakan
tersebut

3.1.2 Jenis / Tipe Penelitian


a. Berdasarkan Tujuan Penelitian
Jenis penelitian berdasarkan tujuan penelitian adalah penelitian deskripsi. Penelitian ini memaparkan
faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam perumusan kebijakan fasilitas pajak penghasilan untuk
penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan atau daerah-daerah tertentu serta keterkaitan antara
faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dengan kebijakan yang dihasilkan.
b. Berdasarkan Manfaat Penelitian
Jenis penelitian berdasarkan manfaat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian murni. Penelitian murni
lebih banyak digunakan di lingkungan akademik dan biasanya dilakukan dalam kerangka pengembangan
ilmu pengetahuan penelitian yang dilakukan dalam kerangka akademis dan memiliki tujuan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan baik bagi peneliti maupun pihak lainnya.
c.Berdasarkan Dimensi Waktu
Penelitian ini bersifat ​cross-sectional​. Penelitian cross-sectional menurut Neuman sebagai berikut “​in
cross-sectional research, researcher observe at one time”​ . ​Dalam penelitian yang bersifat ​cross-sectional
peneliti melakukan wawancara dengan informan yang berkaitan dengan analisis kebijakan fasilitas pajak
penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan atau daerah-daerah tertentu dalam
suatu waktu tertentu.

3.2 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa studi kepustakaan dan studi
lapangan. Kedua teknik pengumpulan data ini digunakan dalam rangka mendapatkan jawaban yang lebih

14
komprehensif atas permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Penjelasan atas kedua teknik
pengumpulan data tersebut yaitu sebagai berikut,
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pengumpulan literatur berupa buku,
artikel, jurnal, maupun peraturan terkait, baik yang berbentuk media cetak dan juga elektronik.
b. Studi Lapangan
Studi lapangan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi wawancara mendalam dengan narasumber dan
juga studi atas dokumen-dokumen yang ditemukan di lapangan.

3.3 Metode Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif. Menurut
Bogdan dan Biklen seperti dikutip oleh Moleong berikut,
“Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan
data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan
pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat
diceritakan kepada orang lain.”
Dalam penelitian ini peneliti melakukan analisis data sesuai dengan teknik analisis data yang diuraikan
diatas, dalam tahapan awal analisis data peneliti memulai dengan mengorganisasikan data dan kemudian
memilah-milahnya menjadi satuan data yang dapat dikelola. Kemudian peneliti melakukan analisis atas data
yang telah dimiliki dan mempelajarinya untuk menjawab permasalahan yang diangkat. Dalam analisis data,
tidak semua data yang didapat oleh peneliti dituangkan kedalam pembahasan, peneliti harus mengambil
keputusan mengenai data yang ditampilkan dalam pembahasan dan data yang tidak ditampilkan dalam
pembahasan terkait dengan pembatasan penelitian.

3.4 Operasional Variabel


Tabel 1. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Skala


Ukur
abel Independen (X) : Insentif Pajak berarti bahwa suatu Rasio
1. Insentif Pajak perangsang yang ditawarkan kepada wajib
pajak, dengan harapan wajib pajak
termotivasi untuk patuh terhadap ketentuan
pajak.
2. Kepemilikan Manajerial Kepemilikan manajerial merupakan susunan Nomina
dari jumlah saham yang dimiliki oleh pihak l
manajemen dalam suatu perusahaan
3. Kepemilikan Publik Kepemilikan public merupakan susunan Nomina
dari jumlah saham yang dimiliki oleh public l
(investor individu) dalam perusahaan
(Qiang, 2003)
abel Dependen (Y) Representasi akurasi kinerja laporan Nomina
keuangan yang dipengaruhi insentif pajak l
Laporan Keuangan

15
Dirjen Pajak RI dan BEI yang didasarkan
pada informasi akuntansi

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL


4.1 Gambar Umum Objek Penelitian

16

Anda mungkin juga menyukai