08e00858 PDF
08e00858 PDF
PENDAHULUAN
Obat adalah bahan kimia yang digunakan untuk pemeriksaan, pencegahan dan
pengobatan suatu penyakit atau gejala. Selain manfaatnya obat dapat menimbulkan reaksi
yang tidak diharapkan yang disebut reaksi simpang obat. Reaksi simpang obat dapat
mengenai banyak organ antara lain paru, ginjal, hati dan sumsum tulang tetapi reaksi
kulit merupakan manifestasi yang tersering. 1,2
Reaksi tersebut dapat berupa reaksi yang dapat diduga (predictable) dan yang
tidak dapat diduga (unpredictable). Reaksi simpang obat yang dapat diduga (predictable)
terjadi pada semua individu, biasanya berhubungan dengan dosis dan merupakan efek
farmakologik obat yang telah diketahui. Reaksi ini meliputi 80% dari seluruh efek
simpang obat termasuk diantaranya efek samping dan overdoses (kelebihan dosis).
Reaksi simpang yang tidak dapat diduga (unpredictable) hanya terjadi pada orang yang
rentan, tidak bergantung pada dosis dan tidak berhubungan dengan efek farmakologis
obat, termasuk di antaranya reaksi alergi obat. Reaksi alergi obat pada kulit disebut erupsi
alergi obat. 2
Fixed drug eruption (FDE) merupakan salah satu bentuk erupsi kulit karena
obat yang unik,. FDE ditandai oleh makula hiperpigmentasi dan kadang-kadang bula
diatasnya , yang dapat muncul kembali ditempat yang sama bila minum obat yang sama.
FDE adalah erupsi alergi obat yang melulu dicetuskan oleh obat atau bahan kimia. Tidak
ada faktor etiologi lain yang dapat mengelisitasi. 3
DEFINISI
Fixed drug eruption adalah erupsi alergi obat yang bila berulang akan timbul pada
4
tempat yang sama.
EPIDEMIOLOGI
Sekitar 10% FDE terjadi pada anak dan dewasa, usia paling muda yang pernah
dilaporkan adalah 8 bulan. Kajian oleh Noegrohowati (1999) mendapatkan FDE (63%),
sebagai manifestasi klinis erupsi alergi obat terbanyak dari 58 kasus bayi dan anak,
Patogenesis FDE sampai saat ini belum diketahui pasti, diduga karena karena
reaksi imunologi. Berdasarkan mekanisme imunologik yang terjadi pada reaksi obat
dapat berupa IgE mediated drug eruption, immunecomplex dependent drug reaction,
cytotoxic drug induced reaction dan cell mediated reaction.5,7
GAMBARAN KLINIS
FDE dapat timbul dalam waktu 30 menit sampai 8 jam setelah ingesti obat secara
oral. Lesi berupa makula oval atau bulat, berawarna merah atau keunguan, berbatas tegas,
seiring dengan waktu lesi bisa menjadi bula, mengalami deskuamasi atau menjadi krusta..
Ukuran lesi bervariasi mulai dari lentikuler sampai plakat. Lesi awal biasanya soliter, tapi
jika penderita meminum obat yang sama maka lesi yang lama akan timbul kembali
disertai dengan lesi yang baru. Namun jumlah lesi biasanya sedikit. Timbulnya kembali
lesi ditempat yang sama menjelaskan arti kata “fixed” pada nama penyakit tersebut. 4,5,6,9,
Lesi dapat dijumpai dikulit dan membran mukosa yaitu di bibir, badan, tungkai,
tangan dan genital. Tempat paling sering adalah bibir dan genital. Lesi FDE pada penis
sering disangka sebagai penyakit kelamin 5,10
Gejala lokal meliputi gatal dan rasa terbakar , jarang dijumpai gejala sistemik..
Tidak dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional. Lesi pada FDE jika
HISTOPATOLOGI
Gambaran histologi FDE menyerupai eritema multiforme (EM). Seperti pada EM
reaksi dapat terjadi di dermis atau epidermis atau keduanya. Yang paling sering adalah
yang melibatkan dermis dan epidermis. 12
Pada tahap awal pemeriksaan histopatologi menggambarkan adanya bula
subepidermal dengan degenerasi hidropik sel basal epidermis. Dapat juga dijumpai
diskeratosis keratinosit dengan sitoplasma eosinofilik dan inti yang piknotik di epidermis.
3,9,12
Pada tahap lanjut dapat dilihat melanin dan makrofag pada dermis bagian atas dan
terdapat peningkatan jumlah melanin pada lapisan basal epidermis. 3,9,12
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang khas.4
Riwayat perjalanan penyakit yang rinci, termasuk pola gejala klinis, macam obat, dosis,
waktu dan lama pajanan serta riwayat alergi obat sebelumnya penting untuk membuat
diagnosis.2 Selain itu pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk menunjang
diagnosis:
1. Biopsi kulit membantu untuk memastikan diagnosis atau menyingkirkan
diagnosis banding.2
2. Uji tempel obat merupakan prosedur yang tidak berbahaya . Reaksi anafilaksis
sangat jarang terjadi, dan untuk mengantisipasinya dianjurkan mengamati
penderita dalam waktu setengah jam setelah penempelan. Secara teoritis dapat
terjadi sensitisasi akibat uji tempel, namun dalam prakteknya jarang ditemui.
Tidak dianjurkan melakukan uji tempel selama erupsi masih aktif maupun segera
sesudahnya. Berdasarkan pengalaman para peneliti, uji tempel sebaiknya
13
dilakukan sekurang-kurangnya 6 minggu setelah erupsi mereda.
Hasil uji tempel yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis erupsi obat dan hasil
yang positif dapat menyokong diagnosis dan menentukan penyebab meskipun
peranannya masih kontroversi. Metode uji tempel masih memerlukan banyak
perbaikan, diantaranya dengan menggiatkan penelitian tentang konsentrasi yang
sesuai untuk setiap obat, vehikulum yang tepat dan menentukan metabolisme obat
di kulit. 2,13
DIAGNOSIS BANDING 4
1. Mastositosis: biasanya timbul urtikaria disertai tanda Darier
2. Herpes labialis atau herpes genitalis: biasanya berlangsung lebih cepat dan tidak
meninggalkan bercak hiperpigmentasi.
3. Dermatitis Kontak Alergi: adanya riwayat kontak
PENATALAKSANAAN
1. Hentikan penggunaan obat yang diduga sebagai penyebab.4
PROGNOSIS
Prognosis umumnya baik. Apabila obat tersangka penyebab telah dapat
dipastikan maka sebaiknya kepada penderita diberikan catatan, berupa kartu kecil yang
memuat jenis obat tersebut serta golongannya. Kartu tersebut dapat ditunjukkan bilamana
diperlukan (misalnya apabila penderita berobat), sehingga dapat dicegah pajanan ulang
yang memungkinkan terulangnya FDE. 4
KESIMPULAN
1. Fixed drug eruption adalah erupsi alergi obat yang bila berulang akan timbul pada
tempat yang sama.. Lesi berupa makula oval atau bulat berwarna merah tau
keunguan, berbatas tegas, dapat ditemukan bula diatasnya, dapat dijumpai pada
kulit dan mukosa, terutama pada bibir dan genital.
2. Etiologi yang paling sering adalah phenolphthalein, sulfonamide, tetrasiklin,
antipiretik pyrazolone dan obat anti inflamasi non steroid.
3. Patogenesis FDE diduga merupakan reaksi hipersensitifitas tipe lambat dan
dihubungkan dengan genetik adanya kesamaan pada HLA B12.
4. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang khas.
5. Pemeriksaan penunjang yang merupakan baku emas adalah tes provokasi oral,
nemun harus dibawah pengawasan petugas medis yang terlatih.
6. Penatalaksanaannya yang terutama adalah penghentian penggunaan obat yang
diduga mencetuskan FDE, pengobatan oral dengan antihistamin dan pengobatan
DAFTAR PUSTAKA
1. Breathnach SM. Drug reaction. In: Champion RH, Burton JL, Ebling FJG, eds.
Textbook of Dermatology. 6th ed. London Balckwell Scientific Publications.
1998:3349-87.
2. Noegrohowati T. Alergi obat pada bayi dan anak. Dalam: Boediardja SA, Widaty
S, Rihatmaja R, eds. Alergi kulit pada bayi dan anak. Masalah dan Penanganan.
Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2002:19-28.
3. Gruschalla RS, Beltrani VS. Drug induced cutaneus reactions. In: Leung DYM,
Greaves MW. Allergic skin diseases. Marcel Dekker, Inc: New York-Basel.
2000:307-35.
4. Soebaryo RW, Effendi EHF, Suyoto EK. Eksantema Fikstum. Dalam: Sularsito
SA dkk eds. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Erupsi Obat Alergik. Balai
Penerbit FKUI, Jakarat, 1995:63-5
5. Shear NH, Landau M, Shapiro Le. Hypersensitivity reactions to drug. In: Harper
J, Oranje A, Prose N, eds. London Blackwell Scientific Publication. 2000:1743-
63.
6. Scahner LA, Hansen RC. Vascular Reactions. In: Pediatric Dermatology. 2nd
ed.Vol II. New York. Churchill Livingstone. 1995: 929
7. Sudigdoadi, Widiantoro Y. Fixed Drug Eruption pada Anak berumur 18 bulan.
Media Dermato-Venereologica Indonesiana 1995, 22 :4 : 166-8. Jakarta
8. Dahl MV. Drug reactions. In: Dahl MV. Clinical Immunodermatology. 3rd ed. .
Mosby Year Book inc . Minneapolis – Minnesota. 1996:355-67.
9. Hurwitz S. Eczematous Eruptions in Childhood. In: Clinical Pediatric
Dermatology. 2nd ed. Philadelphia. WB Saunders Company. 1993:67-8.
10. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Boediardja
SA,eds. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta.2001:139-42.
11. Habif TP. Clinical Dermatology. 3rd ed. St Louis. Mosby Year Book.1996:439-40.
12. Ardhie AM. Eksim . Apa dan Bagaimana. Yayasan Penerbitan IDI, Jakarta.
2003:57-62
13. Effendi EH. Uji kulit pada Erupsi Alergi Obat. Dalam: Sudigdoadi, Sutedja E,
Agusni YH, Sugiri U,eds. Buku Makalah Lengkap Kursus Imuno-dermatologi I.
Kelompok Studi Dermatologi Bag/SMF Kulit dan Kelamin – RSUP dr. Hasan
Sadikin, Bandung. 2000:35-8.
14. Ardhie AM. Eksim . Apa dan Bagaimana. Yayasan Penerbitan IDI, Jakarta.
2003:57-62
15. Sugito TL,. Kortikosteroid Topikal Generasi Baru dalam Dermatologi Anak.
Dalam: Boediardja SA, Prihianti S,eds. Pengobatan Mutakhir Dermatologi pada
Anak dan Remaja. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2001:25-38.