Anda di halaman 1dari 23

A.

Asma
1. Pengertian Asma
Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang
disebabkan oleh reaksi hiperresponsif sel imun tubuh seperti mast sel,
eosinophils, dan T-lymphocytes terhadap stimulus tertentu dan
menimbulkan gejala dyspnea, whizzing, dan batuk akibat obstruksi
jalan napas yang bersifat reversibel dan terjadi secara episodik
berulang (Brunner and Suddarth, 2011). Penyakit asma merupakan
proses inflamasi kronik saluran pernapasan yang melibatkan banyak
sel dan elemennya. Asma adalah suatu penyakit dengan adanya
penyempitan saluran pernapasan yang berhubungan dengan tanggap
reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus berupa hiperaktivitas
otot polos dan inflamasi, hipersekresi mukus, edema dinding saluran
pernapasan, deskuamasi epitel dan infiltrasi sel inflamasi yang
disebabkan berbagai macam rangsangan (Alsagaff, 2010).
Berdasarkan beberapa definisi di atas maka peneliti dapat menarik
kesimpulan asma adalah suatu penyakit yang ditandai oleh
hiperresponsif cabang trakeobronkial terhadap berbagai rangsangan
yang akan menimbulkan obstruksi jalan nafas dan gejala pernafasan
(mengi dan sesak).
2. Klasifikasi Asma
Menurut GINA tahun 2011, klasifikasi asma berdasarkan tingkat
keparahnya dibagi menjadi empat yaitu:
a. Step 1 (Intermitten)
Gejala perhari ≤ 2 x dalam seminggu. Nilai PEF normal
dalam kondisi serangan asma. Exacerbasi: Bisa berjalan ketika
bernapas, bisa mengucapkan kalimat penuh. Respiratory Rate
(RR) meningkat. Biasanya tidak ada gejala retraksi iga ketika
bernapas. Gejala malam ≤ 2 x dalam sebulan. Fungsi paru PEF
atau PEV1 Variabel PEF ≥ 80% atau <20 %.
b. Step 2 (Mild intermitten)
Gejala perhari ≥ 2 x dalam seminggu, tapi tidak 1 x sehari.
Serangan asma diakibatkan oleh aktivitas. Exaserbasi: Membaik
ketika duduk, bisa mengucapkan kalimat frase, RR meningkat,
kadang- kadang menggunakan retraksi iga ketika bernapas. Gejala
malam ≥ 2 x dalam sebulan. Fungsi paru PEF atau PEV1 Variabel
PEF ≥ 80% atau 20% – 30%.
c. Step 3 (Moderate persistent)
Gejala perhari bisa setiap hari, serangan asma diakibatkan
oleh aktivitas. Exaserbasi: duduk tegak ketika bernafas, hanya
dapat mengucapkan kata per kata, RR 30 x/menit, Biasanya
menggunakan retraksi iga ketika bernapas. Gejala malam ≥ 1 x
dalam seminggu. Fungsi paru PEF atau PEV1 Variabel PEF 60%
- 80% atau > 30%.
d. Step 4 (Severe persistent)
Gejala perhari, sering dan aktivitas fisik terbatas.
Eksacerbasi: Abnormal pergerakan thoracoabdominal. Gejala
malam sering. Fungsi paru PEF atau PEV1 Variabel PEF ≤ 60%
atau > 30%.

Brunner & Suddarth (2002) menyampaikan asma sering dirincikan


sebagai alergik, idiopatik, nonalergik, atau gabungan, yaitu:
a. Asma alergik
Disebabkan oleh alergen atau alergen-alergen yang dikenal
(misal: serbuk sari, binatang, dan jamur) kebanyakan alergen
terdapat di udara dan musiman. Pasien dengan asma alergik
biasanya mempunyai riwayat keluarga yang alergik dan riwayat
masa lalu ekzema atau rhinitis alergik, pejanan terhadap alergen
pencetus asma.
b. Asma idiopatik atau nonalergik
Asma idiopatik atau nonalergik tidak ada hubungan dengan
alergen spesifik faktor-faktor, seperti common cold, infeksi
traktus respiratorius, latihan, emosi, dan polutan lingkungan yang
dapat mencetuskan rangsangan. Agen farmakologis seperti aspirin
dan alergen anti inflamasi non steroid lainya, pewarna rambut,
dan agen sulfit (pengawet makanan juga menjadi faktor).
Serangan asma idiopatik atau nonalergik menjadi lebih berat dan
sering sejalan dengan berlalunya waktu dapat berkembang
menjadi bronkitis kronis dan empisema.
c. Asma gabungan
Adalah asma yang paling umum. Asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk alergik maupun bentuk idiopatik atau
nonalergik.

3. Etiologi Asma
Ada beberapa hal yang merupakan faktor presdiposisi dan
presipitasi timbulnya serangan asma menurut Baratawidjaja (2000)
yaitu:
a. Faktor presdiposisi
Berupa genetik dimana yang diturunkan adalah bakat
alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara
penurunanya yang jelas. Penderita denganpenyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat juga yang menderita menyakit alergi.
Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena
penyakit asma jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu,
hipersensitivitas saluran pernafasan juga bisa diturunkan.
b. Faktor presipitasi
1) Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a) Inhalan yaitu yang masuk melalui salura pernafasan
misalnya debu, bulu binantang, serbuk bunga, spora
jamur, bakteri, dan polusi.
b) Ingestan yaitu yang masuk melalui mulut misalnya
makanan dan obat obatan.
c) Kontaktan yaitu yang masuk melalui kontak dengan kulit
misalnya perhiasan, logam dan jam tangan.
2) Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa penggunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atsmosfir yang mendadak dingin
merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang
kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim
hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan
dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
3) Stress
Stress atau gangguan emosi menjadi pencetus serangan
asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang
sudah ada. Di samping gejala asma yang timbul harus segera
diobati penderita asma yang alami stress perlu diberi nasehat
untuk menyelesaiakan masalah pribadinya. Karena jika
stresnya belum diatasi maka gejala asma belum bisa diobati.
4) Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya
serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja.
Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri
tekstil, pabrik asbes atau polisi lalu lintas. Gejala ini
membaik pada waktu libur atau cuti.
5) Olah raga atau aktivitas yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan
asma jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang
berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.
Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera
setelah selesai aktivitas tersebut.
Menurut Amin (2013) etiologi asma adalah dari:
a. Lingkungan, yaitu berupa asap dan rokok.
b. Jalan nafas, yaitu berupa spasme inhalas asap, perokok
pasif, sekresi yang tertahan, dan sekresi di bronkus.
c. Fisiologi, yaitu berupa inhalasi dan penyakit paru
obstruksi kronik.

4. Patofisiologi Asma
Corwin (2000) berpendapat bahwa pada penderita asma, terjadi
bronkokonstriksi. Proses bronkokonstriksi ini diawali dengan proses
hipersensitivitas yang distimulasi agen fisik seperti suhu dingin, debu,
serbuk tanaman, dan lainnya. Asma juga dapat terjadi karena adanya
stimulasi agen psikis seperti kecemasan dan rasa takut. Pada suatu
serangan asma otot-otot polos dari bronki mengalami kejang dan
jaringan yang melapisi saluran udara mengalami pembengkakan
karena adanya peradangan dan pelepasan lendir ke dalam saluran
udara.
Hal ini memperkecil diameter dari saluran udara (disebut
bronkokonstriksi) dan penyempitan ini menyebabkan penderita harus
berusaha sekuat tenaga supaya dapat bernafas. Sel-sel tertentu di
dalam saluran udara (terutama sel mast) diduga bertanggung jawab
terhadap awal terjadinya penyempitan ini. Sel mast di sepanjang
bronki melepaskan bahan seperti histamin dan leukotrien yang
menyebabkan terjadinya konstraksi otot polos, peningkatan
pembentukan lendir dan perpindahan sel darah putih tertentu ke
bronki.
Sel mast mengeluarkan bahan tersebut sebagai respon terhadap
sesuatu yang mereka kenal sebagai benda asing (alergen), seperti
serbuk sari, debu halus yang terdapat di dalam rumah atau bulu
binatang. Tetapi asma juga bisa terjadi pada beberapa orang tanpa
alergi tertentu. Reaksi yang sama terjadi jika orang tersebut
melakukan olah raga atau berada dalam cuaca dingin. Stres dan
kecemasan juga bisa memicu dilepaskanya histamin dan leukotrien.
Pathway Asma
5. Tanda dan Gejala Asma
Gejala asma sering timbul pada waktu malam dan pagi hari. Gejala
yang ditimbulkan berupa batuk-batuk pada pagi hari, siang hari, dan
malam hari, sesak nafas/susah bernafas, bunyi saat bernafas (wheezing
atau mengi) rasa tertekan di dada, dan gangguan tidur karena batuk
atau sesak nafas/susah bernafas. Gejala ini terjadi secara reversibel
dan episodik berulang (Brunner & Suddarth, 2011).
Gejala asma dapat diperburuk oleh keadaan lingkungan, seperti
berhadapan dengan bulu binatang, uap kimia, perubahan temperatur,
debu, obat (aspirin, beta-blocker), olahraga berat, serbuk, infeksi
sistem respirasi, asap rokok dan stress (GINA, 2004). Gejala asma
dapat menjadi lebih buruk dengan terjadinya komplikasi terhadap
asma tersebut, sehingga bertambahnya gejala terhadap distress
pernafasan yang biasa dikenal dengan status asmatikus (Brunner &
Suddarth, 2011).
Status asmatikus yang dialami penderita asma dapat berupa
pernafasan wheezing, ronchi ketika bernafas (adanya suara bising
ketika bernafas), kemudian bisa berlanjut menjadi pernafasan labored
(perpanjangan ekhalasi), perbesaran vena leher, hipoksemia, respirasi
alkalosis, respirasi sianosis, dyspnea dan kemudian berakhir dengan
tachypnea. Namun, makin besarnya obstruksi di bronkus maka suara
wheezing dapat hilang dan biasanya menjadi pertanda bahaya gagal
pernafasan (Brunner & Suddarth, 2011).

6. Faktor Risiko Asma


Berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu
(host faktor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk
predisposisi genetik yang mempengaruhi berkembangnya asma yaitu
genetik asma, alergik (atopi), hipereaktiviti atau hiperesponsif
bronkus, jenis kelamin, dan ras.
Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan
atau predisposisi asma, untuk berkembang menjadi asma, yang
menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan gejala asma yang menetap.
Beberapa hal/kondisi yang termasuk dalam faktor lingkungan, yaitu:
alergen, lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi
pernafasan, diet, status sosial ekonomi, dan besarnya keluarga
(Mangunegoro, 2004).

7. Manifestasi Klinik
Gejala klasik pada asma bronchial ini adalah sesak nafas, mengi
(wheezing), batuk, sebagian penderita nyeri dada. Pada serangan asma
yang lebih berat gejala-gejala yang timbul adalah sianosis, gangguan
kesadaran, hiperventilasi dada, tachicardi, dan pernafasan dangkal.
Gejala gejala yang umum pada penderita asma di antaranya:
a. Sering pilek, sinusitis, bersin, mimisan, amandel, sesak, suara
serak.
b. Pembesaran kelenjar di leher dan kepala bagian belakang
bawah.
c. Sering lebam kebiruan pada kaki atau tangan seperti bekas
terbentur, kulit timbul bisul, kemerahan, bercak putih, dan bekas
hitam seperti tergigit nyamuk.
d. Sering menggosok mata, hidung, dan telinga berlebihan.
e. Nyeri otot dan tulang belulang malam hari.
f. Sering kencing.
g. Gangguan saluran pencernaan antara lain gastroesofageal
refleks, sering muntah, nyeri perut, sariawan, lidah sering putih
atau kotor, nyeri gusi atau gigi, mulut berbau, air liur berlebihan
dan bibir kering.
h. Sering buang air besar (>2 kali/hari), sulit buang air besar
(obstipasi), kotoran bulat kecil hitam seperti kotoran kambing,
keras, sering buang angina.
i. Kepala, telapak kaki atau tangan sering teraba hangat atau
dingin.
j. Sering berkeringat berlebih.
k. Mata gatal, timbul bintik di kelopak mata, mata sering berkedip.
l. Gangguan hormonal berupa tumbuh rambut berlebih di kaki dan
tangan, keputihan.
m. Sering sakit kepala dan migrain.

8. Pengendalian Asma
Manajemen pengendalian asma terdiri dari 6 (enam) tahapan yaitu
sebagai berikut.
a. Pengetahuan
Memberikan pengetahuan kepada penderita asma tentang
keadaan penyakitnya dan mekanisme pengobatan yang akan
dijalaninya ke depan (GINA, 2005).
b. Monitor
Memonitor asma secara teratur kepada tim medis yang
menangani penyakit asma. Memonitor perkembangan gejala, hal-
hal apa saja yang mungkin terjadi terhadap penderita asma dengan
kondisi gejala yang dialaminya beserta memonitor perkembangan
fungsi paru (GINA, 2005).
c. Menghindari Faktor Resiko
Hal yang paling mungkin dilakukan penderita asma dalam
mengurangi gejala asma adalah menghindari faktor pencetus yang
dapat meningkatkan gejala asma. Faktor resiko ini dapat berupa
makanan, obat-obatan, polusi, dan sebagainya (GINA, 2005).

9. Pengobatan Medis Jangka Panjang


Pengobatan jangka panjang terhadap penderita asma, dilakukan
berdasarkan tingkat keparahan terhadap gejala asma tersebut. Pada
pen
derita asma intermitten, tidak ada pengobatan jangka panjang. Pada
penderita asma mild intermitten, menggunakan pilihan obat
glukokortikosteroid inhalasi dan didukung oleh teofilin, kromones,
atau leukotrien. Untuk asma moderate persisten, menggunakan pilihan
obat β-agonist inhalasi dikombinasikan dengan glukokortikoid
inhalasi, teofiline atau leukotrien. Untuk asma severe persisten, β2-
agonist inhalasi dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi,
teofiline dan leukotrien atau menggunakan obat β2 agonist oral
(GINA, 2005).

Berikut penjelasan tentang obat-obat pengontrol asma (controller):


a. Glukokortikosteroid Inhalasi
Jenis obat ini digunakan selama satu bulan atau lebih untuk
mengurangi gejala inflamasi asma. Obat ini dapat meningkatkan
fungsi paru, mengurangi hiperresponsif, dan mengurangi gejala
asma dan meningkatkan kualitas hidup (GINA, 2005). Obat ini
dapat menimbulkan kandidiasis orofaringeal, menimbulkan iritasi
pada bagian saluran nafas atas dan dapat memberikan efek
sistemik, menekan kerja adrenal atau mengurangi aktivitas
osteoblast (GINA, 2005).
b. Glukokortikosteroid Oral
Mekanisme kerja obat dan fungsi obat ini sama dengan obat
kortikosteroid inhalasil. Obat ini dapat menimbulkan hipertensi,
diabetes, penekanan kerja hipothalamus-pituitary dan adrenal,
katarak, glukoma, obesitas, dan kelemahan (GINA, 2005).
c. Kromones (Sodium Cromogycate dan Nedocromyl Sodium)
Obat ini dapat menurunkan jumlah eosin bronchial pada
gejala asma. Obat ini dapat menurunkan gejala dan menurunkan
reaksi hiperresponsif pada 2-agonist inhalsi dikombinasikan
dengan glukokortikoid inhalasi, teofiline, atau leukotrien. Untuk
asma severe persisten, β2-agonist inhalasi dikombinasikan dengan
glukokortikosteroid inhalasi, teofiline, dan leukotrien atau
menggunakan obat β2 agonist oral. Obat ini dapat menimbulkan
batuk-batuk pada saat pemakaian dengan bentuk formulasi
powder (GINA, 2005).
d. Β2-Agionist Inhalasi
Obat ini berfungsi sebagai bronkodilator selama 12 jam
setelah pemakaian. Obat ini dapat mengurangi gejala asma pada
waktu malam, meningkatkan fungsi paru. Obat ini dapat
menimbulkan tremor pada bagian muskuloskeletal, menstimulasi
kerja cardiovascular, dan hipokalemia (GINA, 2005).
e. B2-Agonist Oral
Obat ini sebagai bronkodilator dan dapat mengontrol gejala
asma pada waktu malam. Obat ini dapat menimbulkan ansietas,
meningkatkan kerja jantung, dan menimbulkan tremor pada
bagian muskuloskeletal (GINA, 2005).
f. Teofiline
Obat ini digunakan untuk menghilangkan gejala atau
pencegahan asma bronkial dengan merelaksasi secara langsung
otot polos bronki dan pembuluh darah pulmonal. Obat ini dapat
menyebabkan efek samping berupa mual, muntah, diare, sakit
kepala, insomnia, dan iritabilitas. Pada level yang lebih dari 35
mcg/ml menyebabkan hiperglisemia, hipotensi, aritmia jantung,
takikardi, kerusakan otak, dan kematian.
g. Leukotriens
Obat ini berfungsi sebagai anti inflamasi. Obat ini berfungsi
untuk mengurangi gejala termasuk batuk, meningkatkan fungsi
paru, dan menurunkan gejala asma (GINA, 2005).

Berikut penjelasan tentang obat-obat meringankan (reliever) asma:


a. β2- Agoinst Inhalasi
Obat ini bekerja sebagai bronkodilator. Obat ini digunakan
untuk mengontrol gejala asma, variabilitas peak flow,
hiperresponsif jalan nafas. Obat ini dapat menstimulasi kerja
jantung, tremor otot skeletal, dan hipokalemia (GINA, 2005).
b. Β2- Agionst Oral
Obat ini sebagai bronkodilator. Obat ini dapat menstimulasi
kerja jantung, tremor otot skeletal dan hipokalemia (GINA,
2005).
c. Antikolinergik
Obat ini sebagai bronkodilator. Obat ini dapat
meningkatkan fungsi paru. Obat ini dapat menyebabkan mulut
kering dan pengeluaran mucus (GINA, 2005).

10. Asuhan Keperawatan pada Pasien Asma


a. Pengkajian
1) Pola pemeliharaan kesehatan
Gejala Asma dapat membatasi manusia untuk
berperilaku hidup normal, sehingga pasien dengan asma
harus mengubah gaya hidupnya sesuai kondisi yang
memungkinkan tidak terjadi serangan asma.
2) Pola nutrisi dan metabolic
Perlu dikaji tentang status nutrisi pasien meliputi,
jumlah, frekuensi, dan kesulitan-kesulitan dalam memenuhi
kebutuhnnya. Serta pada pasien sesak, potensial sekali
terjadinya kekurangan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi,
hal ini karena dispnea saat makan, laju metabolism serta
ansietas yang dialami pasien.
3) Pola eliminasi
Perlu dikaji tentang kebiasaan BAB dan BAK mencakup
warna, bentuk, konsistensi, frekuensi, jumlah serta kesulitan
dalam pola eliminasi.
4) Pola aktivitas dan latihan
Perlu dikaji tentang aktivitas keseharian pasien, seperti
olahraga, bekerja, dan aktivitas lainnya. Aktivitas fisik dapat
terjadi faktor pencetus terjadinya asma.
5) Pola istirahat dan tidur
Perlu dikaji tentang bagaiman tidur dan istirahat pasien
meliputi berapa lama pasien tidur dan istirahat. Serta berapa
besar akibat kelelahan yang dialami pasien. Adanya wheezing
dan sesak dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat
pasien.
6) Pola persepsi sensori dan kognitif
Kelainan pada pola persepsi dan kognitif akan
mempengaruhi konsep diri pasien dan akhirnya
mempengaruhi jumlah stressor yang dialami pasien, sehingga
kemungkinan terjadi serangan asma yang berulang pun akan
semakin tinggi.
7) Pola hubungan dengan orang lain
Gejala Asma sangat membatasi pasien untuk
menjalankan kehidupannya secara normal. Pasien perlu
menyesuaikan kondisinya berhubungan dengan orang lain.
8) Pola reproduksi dan seksual
Reproduksi seksual merupakan kebutuhan dasar
manusia, bila kebutuhan ini tidak terpenuhi akan terjadi
masalah dalam kehidupan pasien. Masalah ini akan menjadi
stresor yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya
serangan asma.
9) Pola persepsi diri dan konsep diri
Perlu dikaji tentang pasien terhadap penyakitnya.
Persepsi yang salah dapat menghambat respon kooperatif
pada diri pasien. Cara memandang diri yang salah juga akan
menjadi stresor dalam kehidupan pasien.
10) Pola mekanisme dan koping
Stres dan ketegangan emosional merupakan faktor
instrinsik pencetus serangan Asma maka prlu dikaji penyebab
terjadinya stress. Frekuensi dan pengaruh terhadap kehidupan
pasien serta cara penanggulangan terhadap stresor.
11) Pola nilai kepercayaan dan spiritual
Kedekatan pasien pada sesuatu yang diyakini di dunia
dipercayai dapat meningkatkan kekuatan jiwa pasien.
Keyakinan pasien terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta
pendekatan diri pada-Nya merupakan metode
penanggulangan stres yang konstruktif (Perry, 2005 &
Asmadi 2008).

b. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan spirometri
Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah
pemberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer)
golongan adrenergik.Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak
>20% menunjukkan diagnosis asma.
2) Pemeriksaan tes kulit
Untuk menunjukkan adanya antibodi IgE yang spesifik dalam
tubuh.
3) Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan bila ada kecurigaan
terhadap proses patologik di paru atau komplikasi asma,
seperti pneumothorak, pneumomediastinum, atelektasis, dan
lain-lain.
4) Pemeriksaan analisa gas darah
Pemeriksaan analisa gas darah hanya dilakukan pada
penderita dengan serangan asma berat.
5) Pemeriksaan sputum
Untuk melihat adanya eosinofil, kristal Charcot Leyden,
spiral Churschmann, pemeriksaan sputum penting untuk
menilai adanya miselium Aspergilus fumigatus.
6) Pemeriksaan eosinofil
Pada penderita asma, jumlah eosinofil total dalam darah
sering meningkat. Jumlah eosinofil total dalam darah
membantu untuk membedakan asma dari bronchitis krooni
(Sundaru, 2006).

c. Diagnosis Keperawatan
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
peningkatan produksi secret.
2) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
bronkospasme.
3) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan
suplai oksigen.
4) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak
adekuatnya pertahanan utama atau imunitas.
5) Cemas berhubungan dengan kurangnya tingkat pengetahuan.
6) Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk yang
berlebih.
7) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

d. Intervensi Keperawatan
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
peningkatan produksi secret.
Tujuan: jalan nafas menjadi efektif.
Kriteria hasil:
a) Jalan nafas bersih.
b) Sesak berkurang.
c) Batuk efektif.
d) Mengeluarkan sekret.
Intervensi:
a) Kaji tanda-tanda vital dan auskultasi bunyi nafas.
Rasional: beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan
obstruksi jalan nafas
b) Berikan pasien untuk posisi yang nyaman.
Rasional: peninggian kepala tempat tidur mempermudah
fungsi pernafasan.
c) Pertahankan lingkungan yang nyaman.
Rasional: pencetus tipe reaksi alergi pernafasan yang
dapat mentriger episode akut.
d) Tingkatkan masukan cairan, dengan memberi air hangat.
Rasional: membantu mempermudah pengeluaran sekret
e) Dorong atau bantu latihan nafas dalam dan batuk efektif
Rasional: memberikan cara untuk mengatasi dan
mengontrol dispnea, mengeluarkan sekret.
f) Dorong atau berikan perawatan mulut.
Rasional: higiene mulut yang baik meningkatkan rasa
sehat dan mencegah bau mulut.
g) Kolaborasi: pemberian obat dan humidifikasi, seperti
nebulizer.
Rasional: menurunkan kekentalan sekret dan
mengeluarkan sekret.
2) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
bronkospasme.
Tujuan: pola nafas kembali efektif.
Kriteria hasil:
a) Pola napas efektif.
b) Bunyi nafas normal kembali.
c) Batuk berkurang.
Intervensi:
a) Kaji frekuensi kedalaman pernafasan dan ekspansi dada.
Rasional: kecepatan biasanya mencapai kedalaman
pernafasan bervariasi tergantung derajat gagal nafas.
b) Auskultasi bunyi nafas.
Rasional: ronchi dan mengi menyertai obstruksi jalan
nafas.
c) Tinggikan kepala dan bentuk mengubah posisi.
Rasional: memudahkan dalam ekspansi paru dan
pernafasan.
d) Kolaborasi pemberian oksigen.
Rasional: memaksimalkan bernafas dan menurunkan
kerja nafas.

3) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan


suplai oksigen.
Tujuan: dapat mempertahankan pertukaran gas.
Kriteria hasil:
a) Tidak ada dyspnea.
b) Pernapasan normal.
Intervensi:
a) Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan.
Rasional: berguna dalam evaluasi derajat distress
pernafasan dan atau kronisnya proses penyakit.
b) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk
memilih posisi yang nyaman untuk bernafas
Rasional: pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan
posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan
kolaps jalan nafas, dispnea, dan kerja nafas.
c) Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran
mukosa.
Rasional: sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku)
atau sentra (terlihat sekitar bibir atau daun telinga).
Keabu-abuan dan dianosis sentral mengindikasikan
beratnya hipoksemia.
d) Dorong pengeluaran sputum: penghisapan bila
diindikasikan.
Rasional: kental, tebal, dan banyaknya sekresi adalah
sumber utama gangguan pertukaran gas pada jalan nafas
kecil. Penghisapan dibutuhkan jika batuk tidak efektif.
e) Auskultasi bunyi nafas
Rasional: bunyi nafas mungkin redup karena penurunan
aliran udara atau area konsolidasi.
f) Palpasi fremitus
Rasional: penurunan getaran vibrasi diduga ada
pengumpulan cairan atau udara terjebak.
g) Evaluasi tingkat toleransi aktivitas.
Rasional: selama distress pernapasan berat atau akut atau
refraktori pasien secara total tidak mampu melakukan
aktivitas sehari-hari karena hipoksemia dan dispnea.
h) Kolaborasi: berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
Rasional: dapat memperbaiki memburuknya hipoksia.

4) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak


adekuatnya pertahanan utama atau imunitas.
Tujuan :tidak mengalami infeksi noskomial.
Kriteria hasil:
a) Tidak ada tanda-tanda infeksi.
b) Mukosa mulut lembab.
c) Batuk berkurang
Intervensi:
a) Monitor tanda-tanda vital.
Rasional: demam dapat terjadi karena infeksi atau
dehidrasi.
b) Observasi warna, karakter, jumlah sputum.
Rasional: kuning atau kehijauan menunjukan adanya
infeksi paru.
c) Berikan nutrisi yang adekuat.
Rasional: nutrisi yang adekuat dapat meningkatkan daya
tahan tubuh.
d) Berikan antibiotik sesuai indikasi.
Rasional: antibiotik dapat mencegah masuknya kuman
ke dalam tubuh.

5) Cemas berhubungan dengan kurangnya tingkat pengetahuan


Tujuan: kecemasan pasien berkurang.
Kriteria hasil:
a) Pasien terlihat tenang.
b) Cemas berkurang.
c) Ekspresi wajah tenang.
Intervensi
a) Kaji tingkat kecemasan.
Rasional: mengetahui skala kecemasan pasien.
b) Berikan pengetahuan tentang penyakit yang diderita.
Rasional: menambah tingkat pengetahuan pasien dan
mengurangi cemas.
c) Berikan dukungan pada pasien untuk mengungkapkan
perasaannya.
Rasional: mengungkapkan perasaan dapat mengurangi
rasa cemas yang dialaminya.
d) Ajarkan teknik nafas dalam pada pasien.
Rasional: mengurangi rasa cemas yang dialami pasien.
6) Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk yang
berlebih.
Tujuan: pola tidur terpenuhi.
Kriteria hasil:
a) Pola tidur 6-7 jam per hari.
b) Tidur tidak terganggu karena batuk.
Intervensi
a) Kaji pola tidur setiap hari.
Rasional: mengetahui perubahan pola tidur yang terjadi.
b) Beri posisi yang nyaman.
Rasional: memudahkan dalam beristirahat.
c) Berikan lingkungan yang nyaman.
Rasional: menciptakan suasana yang tenang.
d) Anjurkan kepada keluarga dan pengunjung untuk tidak
ramai.
Rasional: menciptakan suasana yang tenang.
e) Menjelaskan pada pasien pentingnya keseimbangan
istirahat dan tidur untuk penyembuhan.
Rasional: menambah pengetahuan.

7) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik


Tujuan: aktivitas normal.
Kriteria hasil:
a) Pasien dapat berpartisipasi dalam aktivitas.
b) Pasien dapat memenuhi kebutuhan pasien secara
mandiri.
Intervensi:
a) Kaji tingkat kemampuan aktivitas
Rasional: mengetahui tingkat aktivitas pasien.
b) Anjurkan keluarga untuk membantu memenuhi
kebutuhan pasien.
Rasional: membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan
pasien sehari-hari
c) Tingkatkan aktivitas secara bertahap sesuai toleransi.
Rasional: membantu pasien untuk memenuhi kebutuhan
pasien secara mandiri.
d) Jelaskan pentingnya istirahat dan aktivitas dalaam proses
penyembuhan.
Rasional: menambah pengetahuan pasien dan keluarga
(Doenges, 2000).

Daftar Pustaka

Alsagaff. (2010). Nilai Normal Faal Paru Orang Indonesia pada Usia Sekolah
dan Pekerja Dewasa Berdasarkan Rekomendasi American Thoracic
Society (ATS). Surabaya: Airlangga University Press.
Amin, Hardhi. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC NOC. Yogyakarta: Media Action Publishing.
Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC.
Baratawidjaja. (2000). Imunologi Dasar Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Brunner and Suddarth. (2011). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Corwin. (2000). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Doenges. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan & Pedoman untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC: Jakarta.
GINA. (2005). Global Strategy for Asthma Management and Prevention. Diunduh
dari https://ginasthma.org/ pada 17 Oktober 2018.
Mangunnegoro, dkk. (2004). Epidemiologi dalam: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Asma di Indonesia Edisi I. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Imunologi. Jakarta: Salemba Medika.
Potter & Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC.
Somantri, Irman. (2008). Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan
pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba
Medika.
Sundaru. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu
Penyakit Dalam.

Anda mungkin juga menyukai