Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Hipertensi

1. Definisi

Hipertensi adalah keadaan individu saat tekanan darah tinggi yang

abnormal dengan pengukuran sedikitnya pada tiga kesempatan yang berbeda

(Corwin, 2009).

Hipertensi adalah suatu kondisi tekanan darah meningkat dan memberi

gejala yang berlanjut ke suatu organ tubuh lain seperti stroke untuk otak,

penyakit jantung koroner untuk pembuluh darah jantung dan hipertrofi

ventrikel kanan untuk otot jantung (Bustan, 2007).

2. Faktor Risiko Hipertensi

Faktor risiko yang dapat mempengaruhi hipertensi dibedakan menjadi

dua yaitu:

a. Faktor yang tidak dapat diubah/dikontrol

1) Usia

Tekanan darah sedikit meningkat dengan bertambahnya usia

merupakan hal yang wajar. Hal ini disebabkan oleh perubahan alami

pada jantung, pembuluh darah dan hormon. Tetapi bila perubahan

tersebut disertai faktor - faktor lain maka bisa memicu terjadinya

hipertensi (Staessen A Jan et al, 2003).

8
2) Jenis kelamin

Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria hampir sama dengan wanita.

Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum

menopause. Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi

oleh hormon esterogen yang berperan dalam meningkatkan kadar

High Density Lipoprotein (HDL) (Sapitri, 2016).

3) Riwayat Keluarga

Orang dengan sejarah keluarga yang mempunyai hipertensi lebih

sering menderita hipertensi. Riwayat keluarga dekat yang menderita

hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi risiko terkena

hipertensi terutama pada hipertensi primer. Keluarga yang memiliki

hipertensi dan penyakit jantung meningkatkan risiko hipertensi 2-5

kali lipat (Nurkhalida, 2003).

b. Faktor yang dapat diubah

1) Merokok

Merokok lebih dari satu pak rokok sehari berisiko 2 kali lebih rentan

mengalami hipertensi dari pada mereka yang tidak merokok (Price&

Wilson, 2006). Nikotin dan karbon monoksida yang diisap melalui

rokok, masuk ke dalam aliran darah dan merusak lapisan endotel

pembuluh darah arteri serta mengakibatkan proses aterosklerosis dan

hipertensi (Nurkhalida, 2003).

2) Konsumsi garam

Kelebihan konsumsi garam menyebabkan penumpukan cairan dalam

tubuh, karena menarik cairan di luar sel agar tidak keluar, sehingga
akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Konsumsi garam yang

dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari setara dengan 110 mmol

natrium atau 2400 mg/hari (Nurkhalida, 2003).

3) Konsumsi lemak jenuh

Konsumsi lemak jenuh meningkatkan risiko aterosklerosis yang

berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak

jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan

peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari

minyak sayuran, biji - bijian dan makanan lain yang bersumber dari

tanaman dapat menurunkan tekanan darah (Sheps, 2005).

4) Konsumsi alkohol

Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum

jelas. Namun diduga, peningkatan kadar kortisol dan peningkatan

volume sel darah merah serta kekentalan darah merah berperan dalam

menaikkan tekanan darah (Nurkhalida, 2003).

5) Kurang Olahraga

Orang yang tidak aktif juga cenderung mempunyai frekuensi denyut

jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih

keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung harus

memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri (Sheps,

2005).

6) Stres

Stres dapat merangsang kelenjar adrenal melepaskan hormon adrenalin

dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga
tekanan darah akan meningkat. Jika stres berlangsung cukup lama,

tubuh berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan

organ atau perubahan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa

hipertensi atau penyakit maag (Gunawan, 2005).

7) Obesitas

Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk

memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume

darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat

sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan

berat badan juga meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar

insulin dalam darah. Peningkatan insulin menyebabkan tubuh menahan

natrium dan air (Sheps, 2005).

3. Patofisiologi

Mekanisme tubuh yang mengatur konstriksi dan relaksasi pembuluh

darah terletak pada pusat vasomotor, yang terdapat pada medulla di otak. Pusat

vasomotor terletak pada saraf simpatis sampai bawah korda spinalis mulai dari

kolumna hingga ganglia simpatis yang berada pada torak dan abdomen.

Rangsangan pusat vasomotor akan diteruskan dalam bentuk impuls dan

berjalan ke bawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis, disinilah

neuron preganglion melepaskan asetilkolin yang akan merangsang serabut

saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, saat dilepaskannya norepinefrin

menyebabkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan


dan ketakutan mempengaruhi respons pembuluh darah terhadap rangsang

vasokonstriktor (Price &Wilson, 2006).

Pada saat yang sama sebagai respon emosi pembuluh darah dan

kelenjar adrenal akan terangsang sehingga terjadi proses vasokontriksi.

Vaskontriksi disebabkan oleh medula adrenal yang mensekresi epinefrin dan

akan di perkuat ketika korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya.

Vasokontriksi inilah yang menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal

sehingga ginjal akan melepaskan renin. Renin akan merangsang pembentukan

angiotensi I dan merubahnya menjadi angiotensi II, vasokontriktor pada giliran

nya akan merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Pembentukan

dan perubahan Angiotensi ini menyebabkan terjadinya retensi natrium dan air

oleh tubulus ginjal, sehingga menyebabkan peningkatan volume intravaskular.

Proses inilah yang menyebabkan keadaan tubuh menjadi hipertensi (Price &

Wilson, 2016).

Hipertensi dapat terjadi pada lansia karena adanya perubahan struktural

dan fungsional pada sistem pembuluh perifer yang bertanggung jawab pada

tekanan darah. Perubahan yang terjadi meliputi perubahan ateroskeloris,

menghilangnya elastis jaringan ikat serta penurunan relaksasi otot polos

pembuluh darah yang menurunkan kemampuan distensi daya regang pembuluh

darah. Akibat dari perubahan tersebut kemampuan jantung untuk

mengakomodasi volume darah ke aorta dan arteri besar menurun, sehingga

menyebabkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer

(Smeltzer & Bare, 2002).


Skema 2.1 Patofisiologi Hipertensi

(Sumber: Rusdi & Nurlaela, Isnawati, 2009)

4. Klasifikasi

Tabel 2.1

Klasifikasi Hipertensi pada Klien berusia > 18 Tahun oleh The Joint National

Committe on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure

(1988)

Batasan Tekanan Darah (mmHg) Kategori


Diastolik
<85 Tekanan darah normal
85-89 Tekanan darah normal – tinggi
90-104 Hipertensi ringan
105-114 Hipertensi sedang
>115 Hipertensi berat
Sistolik, saat diastolik < 90 mmHg
< 140 Tekanan darah normal
140 -159 Garis batas hipertensi sistolik terisolasi
>160 Hipertensi sistolik terisolasi
Sumber: Ignatavicius D, 1994 (Udjiana, 2011)
Berdasarkan penyebabnya hipertensi terbagi menjadi dua golongan.

a. Hipertensi essensial atau hipertensi primer

adalah peningkatan tekanan darah yang tidak diketahui penyebabnya

(idiopatik). Faktor faktor yang penyebab hipertensi essensial sebagai

berikut.

1) Genetik: seseorang yang memilki riwayat keluarga dengan riwayat

hipertensi, berisiko tinggi mengalami hipertensi

2) Jenis kelamin dan usia: laki laki berusia 35 sampai 50 tahun dan wanita

pasca menopouse berisiko tinggi mengalami hipertensi.

3) Berat badan: obesitas (> 25% di atas BB ideal) menjadi penyebab

hipertensi

4) Gaya hidup: merokok dan konsumsi alkohol dapat meningkatkan

tekanan darah bila dijadikan gaya hidup permanen (Udjiana, 2011).

b. Hipertensi sekunder

adalah peningkatan tekanan darah karena kondisi fisik yang ada seperti

penyakit ginjal atau gangguan tiroid. Faktor presipitasi (pencetus) terjadinya

hipertensi sekuder yaitu: penggunaan alat kontrasepsi oral, coarctation aorta,

neurogenik (tumor otak, esenfalitis, gangguan psikiatris), kehamilan,

peningkatan volume intravaskular, luka bakar, dan stress (Udjiana, 2011).

5. Manifestasi Klinis

Menurut Smeltzer & Bare (2002), pada pemeriksaan mungkin tidak

ditemukan kelainan selain tekanan darah yang tinggi, akan tetapi dapat

ditemukan:
a. Perubahan pada retina

b. Eksudat

c. Penyempitan pada pembuluh darah

d. Edema pupil pada kasus berat

Menurut Ruhyanudin (2007) apabila hipertensi berat atau menahun dan

kemungkinan tidak dapat terobati, dapat timbul gejala - gejala seperti berikut:

a. Sakit Kepala

b. Perdarahan di hidung

c. Kelelahan

d. Mual

e. Muntah

f. Sesak Nafas

g. Gelisah

h. Pandangan Kabur (akibat dari kerusakan pada otak, mata, jantung dan

ginjal)

6. Komplikasi

Menurut Corwin (2009), komplikasi yang dapat terjadi pada penderita

hipertensi adalah sebagai berikut.

a. Stroke terjadi karena hemoragi tekanan tinggi pada otak, atau karena

embolus terlepas dari pembuluh selain otak yang terpajan tekanan tinggi.

Stroke yang dialami penderita hipertensi kronis terjadi karena pembuluh

arteri yang bertugas menyuplai darah ke otak mengalami hipertrofi dan

penebalan sehingga suplai darah ke otak berkurang. Pembuluh darah arteri


otak akan melemah karena mengalami arterosklerosis sehingga terbentuklah

aneurisma.

b. Infark Miokard terjadi apabila pembuluh arteri koroner yang mengalami

aterosklerotik tidak mampu memberikan oksigen yang cukup pada

miokardium atau dapat juga terjadi karena terbentuk nya trombus yang

menyumbat aliran darah yang mengalir pada pembuluh darah. Infark

miokard yang terjadi pada hipertensi kronis dan hipertrofi ventrikel terjadi

karena kebutuhan akan oksigen pada miokardium tidak bisa dipenuhi dan

terjadi iskemia jantung dan menyebabkan infark. Hal ini juga yang terjadi

pada hipertrofi ventrikel mengakibatkan perubahan waktu hantaran listrik

yang melalui ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan

peningkatan risiko pembentukan bekuan.

c. Gagal ginjal terjadi akibat dari kerusakan progresif yang disebabkan oleh

tekanan yang tinggi pada pembuluh kapiler glomerulus ginjal. Rusak nya

glomelurus ginjal mengakibatkan suplai darah ke unit fungsional ginjal

yaitu nefron akan terganggu dan berlanjut menjadi hipoksia dan kematian

jaringan ginjal. Kerusakan glomerulus ginjal juga menyebabkan protein

akan keluar melalui urine dan tekanan osmotik koloid plasma berkurang dan

mengakibatkan edema yang sering dialami pada hipertensi kronis

d. Enselofati (kerusakan otak) terjadi akibat darag meningkat dengan cepat,

tekanan darah yang sangat tinggi menyebabkan peningkatan tekanan pada

pembuluh kapiler dan mendorong cairan ke ruang intertisial pada seluruh

susunan saraf pusat. Neuron yang ada di sekitar nya mengalami kolaps

sehingga terjadi koma bahkan kematian.


7. Pemeriksaan Diganostik

Menurut Doenges (1999) pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan

untuk mengetahui seseorang menderita hipertensi adalah:

a. Hemoglobin/hematokrit

Mengkaji hubungan sel-sel terhadap volume cairan (viskositas) untuk

mengindikasikan faktor resiko seperti hiperkoagubilitas dan anemia.

b. BUN/kreatinin

Memberikan informasi tentang perfusi/fungsi ginjal.

c. Glukosa

Hiperglikemia (diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi) dapat

diakibatkan oleh peningkatan kadar katekolamin (meningkatkan hipertensi).

d. Kalium serum

Hipokalemia dapat mengindikasikan adanya aldosteron utama

(penyebab) atau menjadi efek samping dari terapi diuretik.

e. Kalsium serum

Peningkatan kadar kalsium serum dapat meningkatkan hipertensi.

f. Kolesterol dan Trigliserida serum

Peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida serum dapat

mengindikasikan adanya pembentukan plak ateromatosa (efek

kardiovaskuler).

g. Pemeriksaan tiroid

Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi.

h. Kadar aldosteron serum

Tes ini digunakan untuk mengkaji aldosteronisme primer (penyebab).


i. Urinalisa

Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan/atau

adanya diabetes.

j. VMA urine (metabolit katekolamin)

Kenaikan dapat mengindikasikan adanya feokromositoma (penyebab).

VMA urine 24 jam dapat dilakukan untuk pengkajian feokromositoma bila

hipertensi hilang timbul.

k. Asam urat

Hiperurisemia telah menjadi penyebab resiko terjadinya hipertensi.

l. Steroid urine

Kenaikan steroid dalam urine dapat mengindikasikan adanya

hiperadrenalisme, feokromositoma, atau disfungsi pituitari, sindrom

cushing. Kadar pada renin juga dapat meningkat.

m. IVP

Dapat mengidentifikasi penyebab hipertensi, seperti penyakit parenkim

ginjal dan batu ginjal/batu ureter

n. Foto dada

Dapat menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katup, deposit pada

dan/atau takik aorta, serta pembesaran jantung.

o. CT-Scan

Mengkaji tumor cerebral, CSV, ensefalopati dan feokromisitoma.

p. EKG

Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, dan gangguan

konduksi.
8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada hipertensi yaitu:

a. Non-medikamentosa: Perubahan Gaya Hidup (Agoes, dkk., 2011)

1) Olahraga

Olahraga yang teratur akan memperbaki aliran darah dan

membantu mengurangi frekuensi denyut jantung dan tekanan darah.

Salah satu olahraga yang dapat menstabilkan tekanan darah adalah

senam Tai Chi.

2) Retriksi Natrium: Pembatasan Natrium

3) Pendekatan Diet: yaitu mengkonsumsi makanan yang kaya akan buah,

rendah-lemak atau bebas-lemak hewani.

4) Penghentian konsumsi alkohol dan rokok

5) Menghindari stress

Terapi relaksi seperti meditasi, menghindari stress lingkungan,

menghindari bunyi yang terlalu keras, dan cahaya berintensitas terang

merupakan cara tembahan untuk menurunkan tekanan darah.

b. Terapi Farmakologis (Muttaqin, 2012)

Klasifikasi obat antihipertensi adalah sebagai berikut.

1) Diuretik (Hidroklorotikazid)

Mengeluarkan cairan tubuh sehingga volume cairan ditubuh berkurang

yang mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih ringan.

2) Penghambat simpatetik (Metildopa,Klonidin dan Reserpin)

Menghambat aktivitas saraf simpatis

3) Betabloker (Metoprolol, Propanolol dan Atenolol)


a) Menurunkan daya pompa jantung.

b) Tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui mengidap

gangguan pernafasan seperti asma bronkialis.

c) Pada penderita diabetes melitus: dapat menutupi gejala

hiperglikemia.

4) Vasodilator (Prasosin, Hidralasin)

Bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos

pembuluh darah.

5) ACE inhibitor (Captopril)

a) Menghambat pembentukan zat Angiotensin II.

b) Efek samping:batuk kering, pusing, sakit kepala dan lemas.

6) Penghambat Reseptor Angiotensin II (Valsartan)

Menghalangi penempelan zat Angiotensin II pada reseptor sehingga

memperingan daya pompa jantung.

7) Antagonis kalsium (Diltiasen dan Verapamil)

Menghambat kontraksi jantung (kontraktilitas)

9. Pengukuran Tekanan Darah

Pengukuran tekanan darah menggunakan alat spygmomanometer

(tensimeter) dan stetoskop. Ada 3 tipe dari spygmomanometer yaitu dengan

menggunakan air raksa (merkuri), aneroid dan elektrik. Tipe air raksa adalah

jenis spygmomanometer yang paling akurat. Tingkat bacaan dimana detak

terdengar pertama kali adalah tekanan sistolik, sedangkan tingkat dimana bunyi

detak menghilang adalah tekanan diastolik. Spygmomanometer aneroid prinsip


penggunaannya yaitu menyeimbangkan tekanan darah dengan tekanan darah

kapsul metalis tipis yang menyimpan udara di dalamnya. Spygmomanometer

elektronik merupakan pengukur tekanan darah terbaru dan lebih mudah

digunakan dibanding model standar yang menggunakan air raksa, tetapi

akurasinya juga relatif rendah (Sustrani, dkk, 2005).

Sebelum melakukan pengukuran tekanan darah yang harus diperhatikan,

yaitu:

a. Jangan minum kopi atau merokok 30 menit sebelum pengukuran dilakukan.

b. Duduk bersandar selama 5 menit dengan kaki menyentuh lantai dan tangan

sejajar dengan jantung (istirahat).

c. Pakailah baju lengan pendek.

d. Buang air kecil dulu sebelum di ukur, karena kandung kemih yang penuh

dapat mempengaruhi hasil pengukuran (Sustrani, dkk, 2005).

Pengukuran tekanan darah sebaiknya dilakukan pada pasien setelah

istirahat yang cukup, yaitu sesudah berbaring paling sedikit 5 menit.

Pengukuran dilakukan pada posisi terbaring, duduk dan berdiri sebanyak 2 kali

atau lebih dengan interval 2 menit. Ukuran manset harus sesuai dengan ukuran

lengan atas. Manset harus melingkar paling sedikit 80% lengan atas atau 3 cm

diatas lengan atas dan lebarnya minimal 40% dari lingkar lengan dan di bawah

kontrol manometer. Balon dipompa hingga kira - kira 30 mmHg di atas nilai

saat pulsasi radialis yang teraba menghilang, kemudian stetoskop diletakkan di

atas arteri brankhialis pada lipat siku, di sisi bawah manset. Kemudian tekanan

manset diturunkan perlahan - lahan dengan kecepatan 2 - 3 mmHg tiap denyut

jantung. Tekanan sistolik tercatat pada saat terdengar bunyi yang pertama
(korotkoff I), sedangkan tekanan diastolik dicatat jika bunyi tidak terdengar

lagi (korotkooff V) (Sustrani, dkk, 2005).

Gambar 2.1 Pengukuran Tekanan Darah

(Sumber: Sustrani, dkk, 2005)

B. Konsep Lanjut Usia

1. Pengertian Lanjut Usia

Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas,

berdasarkan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan

Lanjut Usia (Kemenkes RI, 2016).

Menjadi tua atau menua (aging) adalah suatu proses menghilang nya

secara perlahan – lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki

diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normal nya

sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan

memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides, 1994) dalam (Martono,

Hadi & Pranarka, 2011).


2. Klasifikasi Lansia

Ada lima klasifikasi pada Lansia (Maryam, dkk., 2012).

a. Pralansia (prasenilis), seseorang yang berusia antara 45 – 49 tahun

b. Lansia, seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih

c. Lansia resiko tinggi, seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/ seseorang

yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan

d. Lansia tidak potensial, lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga

hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

3. Karakteristik Lansia

Lansia memiliki karakteristik sebagai berikut (keliat, 1999) dalam Maryam

(2012).

a. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai pasal 1 ayat (2) UU No.13 tentang

kesehatan)

b. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dan

kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga

kondisi maladatif

c. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.

4. Tugas Perkembangan Lansia

Menurut Potter & Perry (2009) tugas perkembangan pada lansia, yaitu:

a. Beradaptasi terhadap penurunan kesehatan dan kekuatan fisik

b. Beradaptasi terhadap masa pensiun dan penurunan pendapatan

c. Beradaptasi terhadap kematian pasangan


d. Menerima diri sebagai individu yang menua

e. Mempertahankan kehidupan yang memuaskan

f. Menetapkan kembali hubungan dengan anak yang telah dewasa

g. Menemukan cara mempertahankan kualitas hidup

5. Perubahan Fisiologis pada Lansia

a. Komposisi tubuh

Pada lansia massa otot berkurang akibat penuaan sedangkan massa

lemak bertambah. Massa tubuh yang tidak berlemak berkurang sebanyak

6,3% sedangkan sebanyak 2% massa lemak bertambah dari berat badan

perdekade setelah usia 30 tahun. Cairan pada tubuh lansia sekitar 45% dari

berat badan sedangkan pada orang muda sekitar 60% dari berat badan.

Tinggi badan lansia dapat lebih rendah dibandingkan tinggi badan saat usia

muda, akibat osteoporosis (Arisman, 2009).

b. Otak

Seiring bertambahnya usia berat otak akan mengalami penurunan.

Berat otak pada usia 90 tahun berkurang 10% dibandingkan saat masih

muda. Kira – kira sebanyak 100.000 sel neuron berkurang setiap hari.

Sekitar 10% lansia sehat akan mengalami atrofi otak difusi. Bila

dibandingkan seseorang yang berusia 25 tahun, lansia 75 tahun

menunjukkan kemunduran sebesar 20-45% dalam kecepatan menulis

tangan, memasang kancing, dan memotong dengan pisau. Apabila tekanan

darah lansia di bawah 80 mmHg lansia rentan mengalami iskemia otak

akibat hilangnya mekanisme autoregulasi otak. Kondisi lain yang berubah


adalah melambatnya proses informasi, menurunnya daya ingat jangka

pendek, berkurangnya kemampuan otak untuk membedakan stimulus atau

rangsang yang datang, dan kemampuan kalkulasi. Akan tetapi tidak sedikit

pula lansia yang tetap mampu mempertahankan fungsi intelektual dengan

baik hingga berusia 80 tahun (Arisman, 2009).

c. Jantung dan pembuluh darah

Manusia sehat dapat meningkatkan curah jantung secara efektif

sebagai tanggapan terhadap latihan jasmani sebagai bentuk kompensasi

perubahan. Proses dari menua membuat denyut jantung berubah,

diantaranya complieance ventrikel kiri dan perubahan respon terhadap

stres sehingga menyebabkan aktivitas keseharian lansia mengalami

keterbatasan sehingga sulit melakukan aktivitas yang berat. Frekuensi

denyut jantung maksimal menurun pada lansia (frekuensi denyut jantung =

220 – umur), curah jantung yang meningkat sebagai tanggapan terhadap

stres sangat tergantung pada volume sekuncup (stroke volume) dan kinerja

jantung lansia akan lebih rentan terhadap kondisi kekurangan cairan

seperti pada keadaan dehidrasi dan perdarahan (Arisman, 2009). Sklerosis

dan kalsifikasi dapat menyebabkan disfungsi katup terutama pada stenosis

aorta. Elastisitas jaringan penyambung pembuluh darah berkurang dan

kejadian aterosklerosis meningkat. Keadaan ini akan mengakibatkan

resistensi pembuluh darah perifer. Relaksasi dan vasodilatasi pembuluh

darah berkurang karena respon otot polos pembuluh darah terhadap

stimulasi adrenergik beta menurun. Selain menambah stres pada jantung,

perubahan ini dapat meningkatkan prevalensi penyakit aterosklerosis


sehingga menempatkan lansia pada risiko tinggi mengalami morbiditas

dan mortalitas akibat kegawatan jantung dan pembuluh darah termasuk

hipertensi. (Arisman, 2009).

Menurut Darmojo (2006), faktor yang mempengaruhi hipertensi

pada lanjut usia adalah :

1) Penurunan kadar renin karena menurun nya jumlah nefron akibat proses

menua.

2) Peningkatan sensitivitas terhadap asupan natrium. Dengan

bertambahnya usia semakin sensitif terhadap peningkatan atau

penurunan kadar natrium.

3) Penurunan elastisitas pembuluh darah perifer sehingga resistensi

pembuluh darah perifer meningkat yang mengakibatkan hipertensi

sistolik.

4) Perubahan ateromatous yang menyebabkan disfungsi endotel yang

berlanjut pada pembentukan berbagai sitokin dan subtansi kimiawi lain

yang kemudian menyebabkan reabsopsi natrium di tubulus ginjal,

meningkatkan proses sklerosis pembuluh darah perifer dan keadaan lain

berhubungan dengan kenaikan tekanan darah

d. Paru

Perubahan fungsi paru-paru lansia meliputi compliance paru dan

rongga dada menurun, aktivitas silia menurun, volume residu meningkat,

kapasitas vital berkurang, refleks batuk menurun, volume ekspirasi paksa

menit pertama (FEV1) berkurang sekitar 25 ml/tahun ketika berusia 30

tahun, kekuatan otot pernapasan berkurang dan pertukaran gas terganggu.


Akibatnya tekanan oksigen berkurang (PaO2), arus udara ekspirasi

melambat, retensi dahak dan menurunnya sensitivitas terhadap hipoksia

dan hiperkarbia (Arisman, 2009).

e. Ginjal dan Saluran kemih

Gangguan jantung dan aterosklerosi menyebabkan berkurangnya

jumlah darah yang sampai ke ginjal. Keadaan ini juga disebabkan oleh

bekurangnya jumlah dan ukuran glomerulus sebagai tempat menyaring

plasma. Proses menua menyebabkan kapasitas untuk mengeluarkan air

dalam jumlah besar berkurang karena ketidakmampuan untuk

mengeluarkan urin yang encer. Akibatnya dapat terjadi pengenceran

natrium serum sampai dengan hiponatremia yang mengakibatkan

timbulnya rasa lelah, letargi, kelemahan non spesifik dan bingung

(Arisman, 2009).

f. Gastrointestinal

Memasuki usia 60 tahun, sekresi HCL dan pepsin berkurang.

Akibatnya penyerapan vitamin 12 dan zat besi menurun. Absorpsi

karbohidrat akan menurun, tetapi absorpsi protein mungkin tidak

terganggu. Kemungkinan dapat terjadi osteoporosis dan osteomalasia

karena produksi 1-25 dihidroksivitain D menurun. Motilitas lambung dan

pengosongan lambung menurun seiring dengan meningkatnya usia. Selain

itu lapisan lambung lansia menipis sehingga lansia rentan terhadap

kelainan di lambung seperti gastritis (Arisman, 2009). Berat total usus

halus pada usia diatas 40 tahun akan berkurang, tetapi penyerapan zat gizi

masih dalam batas normal, kecuali kalsium dan zat besi ketika berusia 60
tahun hal ini disebabkan oleh motilitas usus halus yang masih normal,

sedangkan motilitas usus besar tidak jelas terganggu walaupun konstipasi

sering terjadi pada lansia (Arisman, 2009).

g. Muskuloskeletal

Komposisi otot berubah sepanjang waktu saat miofibril digantikan

oleh lemak, kolagen, dan jaringan parut. Aliran darah ke otot berkurang

sebanding dengan meningkatnya usia seseorang, hal ini diikuti

berkurangnya jumlah zat-zat gizi dan energi yang tersedia untuk otot

sehingga kekuatan otot berkurang. Ketika berusia 60 tahun kekuatan otot

yang dimiliki akan berkurang sekitar 10 – 20% dari kekuatan otot yang

dimiliki saat berusia 30 tahun. Massa tulang umumnya berkurang setelah

usia 45 tahun sesuai dengan jenis kelamin. Pada wanita kehilangan sekitar

25% dan pada pria sekitar 12% dari total masa tulang awal. Kekuatan dan

stabilitas tulang akan menurun karena reabsorpsi tulang terjadi lebih besar

dari pada formasi tulang. Penurunan kekuatan dan stabilitas tulang

terutama ditemukan pada tulang vertebra, pergelangan, dan paha. Kejadian

osteoporosis dan fraktur meningkat pada area tulang tersebut. Kejadian ini

terutama terjadi pada lansia wanita akibat pengaruh esterogen (Arisman,

2009). Perubahan degeneratif terjadi pada sendi-sendi penyangga tubuh

seperti lutut, paha, dan lumbal. Pada usia 30 tahun, kartilago yang meliputi

permukaan sendi tulang penyangga mulai rusak. Fisura vertikal yang

berada di dalam sel yang berfungsi memproduksi kartilago mengalami

kematian sehingga tulang menjadi tidak aktif. Akhirnya lapisan kartilago

mengalami erosi, sehingga tulang di bawahnya menjadi terpajan dengan


tulang yang berhadapan. Aktivitas ini menyebabkan timbulnya rasa nyeri

dan menyebabkan krepitasi saat sendi digerakkan. Akibat perubahan

fisiologis lansia mengalami beberapa kemunduran dan kelemahan, serta

implikasi klinik berupa penyakit kronik dan infeksi (Arisman, 2009).

h. Sistem Indera

Perubahan tersebut terjadi pada semua sistem seluruh tubuh

termasuk indera. Perubahan-perubahan tersebut diantaranya adalah

perubahan fisik, dimana terjadi perubahan pada sel, sistem persyarafan,

sistem pendengaran, sistem penglihatan, sistem pengaturan suhu tubuh,

sistem respirasi, sistem gastrointestinal, sistem genitourinaria, sistem

endokrin, sistem integumen dan sistem muskuloskeletal. Sel akan

mengalami perubahan baik jumlah, ukuran, mekanisme perbaikan serta

proporsi protein yang berada di sel otak, otot, hati, ginjal, dan darah. Pada

sistem syaraf, responnya akan menjadi melambat, mengecilnya syaraf

panca indera kurang sensitif terhadap sentuhan dan penurunan hubungan

persyarafan. Gangguan indera pendengaran berupa hilangnya kemampuan

daya pendengaran terutama terhadap suara suara yang bernada tinggi.

Sfingter Pupil mengalami sklerosis dan respon terhadap sinar menghilang,

juga terjadi penurunan lapang pandang dan kesulitan membedakan warna

biru tua atau hijau. Lansia juga mengalami penurunan temperatur tubuh

akibat penurunan metabolisme tubuh (suhu tubuh lansia ±35oC)

(Guccione, 2000).
C. Konsep Senam Tai Chi

1. Pengertian Senam Tai Chi

Tai Chi adalah latihan yang menggunakan rasa (bukan kekuatan otot)

dengan gerakan-gerakan perlahan, lembut, rileks, anggun menyatu dengan

nafas, merupakan bentuk latihan yang cocok bagi lansia. Gerakan Tai Chi

memanfaatkan kekuatan dalam alam yang saling bertentangan tapi melengkapi

membentuk harmoni. Yin (wanita, negatif, malam, bumi) dan Yang (pria,

positif, siang, langit) dipadukan lewat latihan – latihan fisik membentuk satu

formasi gerakan yang memberikan keseimbangan dan keharmonisan (Riasmini

dkk, 2016).

2. Manfaat Senam Tai Chi

Menurut Riasmini dkk (2016) Beberapa manfaat apabila Tai Chi

dilakukan secara teratur adalah:

a. Mengurangi kecemasan dan depresi

b. Memperbaiki keseimbangan, fleksibilitas dan kekuatan otot

c. Mengurangi risiko jatuh

d. Memperbaiki kualitas tidur

e. Menstabilkan tekanan darah

f. Memperbaiki kapasitas jantung pada lansia

g. Menghilangkan nyeri kronik

h. Meningkatkan kapasitas energi

i. Meningkatkan kemampuan antioksidan dan imunitas

j. Mencegah osteoporosis
k. Merangsang organ internal untuk bekerja menjalankan fungsinya dengan

baik

l. Mempertahankan kualitas hidup yang maksimal

3. Langkah-Langkah Senam Tai Chi

Gerakan Tai Chi memanfaatkan kekuatan dalam alam yang saling

bertentangan tapi melengkapi membentuk harmoni. Gerakannya sambung

menyambung tanpa putus. Akhir dari satu gerakan merupakan awal dari

gerakan berikutnya. Bisa dilakukan oleh pria, wanita tua, muda, sebelum

maupun 1 (satu) jam setelah makan untuk menurunkan kadar gula dalam darah.

Gerakan yang antagonistic: maju-mundur, naik-turun, berputar searah dan

bertentangan dengan putaran jarum jam disinergikan dengan nafas keluar-

masuk, melatih organ vestibular sehingga bisa menangkal gangguan

keseimbangan/vertigo. Denyut nadi dari awal sampai akhir latihan stabil

sehingga membantu mengendalikan tekanan darah. Tai Chi bermanfaat untuk

menjaga kesehatan dan bisa membantu mempercepat penyembuhan dari sakit.

Perlu dilatih secara rutin, sampai bisa menjadi bagian dari kehidupan sehari-

hari (Riasmini dkk, 2016).

Menurut Riasmini dkk (2016) untuk memulai senam Tai Chi, diawali

dengan menenangkan diri, pikiran dan membayangkan langit adalah ayah dan

bumi adalah ibu kita. Meski makhluk sekecil saya, di manapun berada, merasa

di rumahnya sendiri. Kemudian lakukan pemanasan dengan gerakan ringan,

rileks untuk melancarkan sirkulasi darah. Maksimalkan konsentrasi ke daerah

perut sekitar 4 jari di bawah pusar karena merupakan pusat berlabuhnya energi.
Kemudian lakukan formasi gerakan-gerakan senam Tai Chi sambil melakukan

latihan nafas dalam.

Langkah-langkah senam tai chi sebagai berikut:

Lima menit pertama

Berdiri dengan kaki selebar pundak, kepala diarahkan seolah menyundul langit,

digerakkan oleh nafas keluar, kemudian ditahan sejenak. Lalu lutut ditekuk,

pinggang dilenturkan, mengikuti nafas yang masuk seolah mau menuju perut

bumi, ditahan sejenak.

Kemudian nafas mendorong lutut dan pinggang kembali tegak, disertai kepala

yang mau menyundul ke langit.

Gambar 2.2 Gerakan Senam Tai Chi 5 Menit Pertama

Lima Menit Kedua

Dengan tulang punggung sebagai poros, tubuh diputar dengan memindahkan

titik berat di kaki kiri dan kanan, sambil mengayunkan tangan. Posisi lutut saat

kaki ditekuk, satu garis dengan ujung jari kaki


Gambar 2.3 Gerakan Senam Tai Chi 5 Menit Kedua (Sutanto, 2016)

(Sumber: Sutanto, 2016)

Lima Menit Ketiga

Gerakan maju mundur, ulang-alik dengan memindahkan titik berat di kaki

depan dan belakang mengikuti irama keluar dan masuk nafas. Waktu maju,

nafas keluar - mundur, nafas masuk.

Gambar 2.4 Gerakan Senam Tai Chi 5 Menit Ketiga


Lima Menit Keempat

Latihan berjalan dengan rute lurus, zig-zag dan berputar untuk melatih

persendian dan kelenturan pinggang simultan dengan nafas.

Gambar 2.5 Gerakan Senam Tai Chi 5 Menit Ke Empat

Langkah 1: Jalan lurus

Langkah 2 : Jalan zig zag


Langkah 3 : Berputar 180 derajat

(Sumber: Sutanto, 2016)

Lima Menit Kelima

Gerakan horizontal seolah berenang dengan gaya dada, membelah ombak.

Gerakan vertikel seolah membelah awan.

Gambar 2.6 Gerakan Senam Tai Chi 5 Menit Ke Lima


(Sumber: Sutanto, 2016)

Penutup

Gerakan Penutup

Jongkok – berdiri ulang alik dengan hati – hati sesuai kemampuan tanpa di

paksakan.

Gambar 2.7 Gerakan Senam Tai Chi 5 Penutup


(Sumber: Sutanto, 2016)

D. Penelitian Terkait

1. Lina Agustiana dan Hendrik Prabo S melakukan penelitian tentang pengaruh

senam Tai Chi terhadap penurunan tekanan darah lansia yang dilakukan di

UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Banyuwangi pada tahun 2012 pada 21

orang lansia penderita hipertensi mulai dari tanggal 1 Juli 2012 – 30 Juli 2012.

Hasil nya setelah dilakukan senam Tai Chi dari 21 orang lansia yang rata rata

memiliki tekanan darah antara 140/90 mmHg hingga 179/109 mmHg, 12 orang

lansia mengalami penurunan tekanan darah yaitu dengan rata – rata antara

110/80 mmHg – 159/99 mmHg sementara 8 orang memilki tekanan darah yang

tetap.

2. Istifa Hikma Aridha melakukan penelitian tentang pengaruh senam Tai Chi

terhadap penurunan tekanan darah wanita berusia 50 tahun ke atas. Penelitian

ini dilakukan selama 3 bulan pada 48 wanita yang berusia 50 tahun ke atas

yang terbagi dalam 2 kelompok, kelompok yang tidak melakukan senam Tai

Chi merupakan anggota PKK Kelurahan Kembang Sari dan kelompok yang

mengikuti senam Tai Chi merupakan anggota sanggar Tai Chi Jogja

Internasional Hospital. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kelompok yang


melakukan senam Tai Chi memiliki rerata tekanan darah lebih rendah dengan

dibandingkan kelompok yang tidak mengikuti senam Tai Chi.

3. Nur Annisa Donogoram melakukan penelitian tentang pengaruh senam Tai Chi

terhadap penurunan denyut nadi pada lansia yang dilakukan pada 10 orang

lansia dengan usia 60 – 74 tahun. Penelitian ini dilakukan di RT 01 RW 06

Kel. Sondakan, Laweyan, Surakarta yang dilakukan 3 kali seminggu selama 8

minggu. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pada saat istirahat denyut

nadi lansia setelah melakukan senam Tai Chi lebih rendah dibandingkan

denyut nadi saat istirahat sebelum melakukan senam Tai Chi.

4. Septi Alviah melakukan penelitian tentang perbedaan pengaruh latihan jalan

tandem dan senam Tai Chi terhadap peningkatan keseimbangan pada lansia

yang dilakukan pada 22 orang lansia di BPSTW Unit Budi Luhur Yogyakarta.

22 orang lansia di bagi menjadi 2 kelompok, 11 orang melakukan jalan tandem

dan 11 orang melakukan senam Tai Chi masing masing kelompok melakukan

intervensi selama 3 minggu dengan frekuensi latihan 3 kali dalam seminggu.

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan antara latihan jalan

tandem dan senam Tai Chi dalam meningkatkan keseimbangan pada lansia.
Kerangka Teori
Tanda dan Gejala
Etiologi kecemasan: kecemasan:

1. Faktor Predisposisi Gelisah, perasaan tegang,


a. Dalam pandangan khawatir berlebihan,
psikoanalitik mudah letih, sulit
b. Menurut pandangan berkonsentrasi, iritabilitas,
interpersonal otot tegang dan gangguan
c. Menurut pandangan tidur, ingatan atau mimpi
perilaku buruk berulang, efek datar,
d. Kajian keluarga KECEMASAN insomnia dan iritabilitas
e. Kajian biologi Repetitif, pikiran obsesif,
2. Faktor Presipitas perilaku kasar yang
a. Ancaman terhadap berkaitan dengan
integritas kekerasan, Rasa takut yang
nyata
Kecemasan pada pasien
DM:

1. Gelisah, perasaan
tegang, khawatir
berlebihan, mudah letih,
sulit berkonsentrasi,
iritabilitas, otot tegang
dan gangguan tidur.
2. Inga
tan
Penurunan atau
Tekanan Darah mim
pi
buru
k
TERAPI WARNA
beru
lang
3. kesu
Sumber: Maryatun (2016), Taylor 1995 dalam Nindyasari (2010)
litan
mer
asak
an
emo
si
(efe
k
data
r),
inso
mni

Anda mungkin juga menyukai