Hukum Dan Etika Rumah Sakit Putri Hijau
Hukum Dan Etika Rumah Sakit Putri Hijau
Etik berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti ”yang baik, yang layak”. Etik
merupakan morma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi terentu
dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat.
Hukum adalah pereturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuaaan, dalam
mengatur pergaulan hidup masyarakat.
Etik dan hukum memeiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengatur tertib dan
tentramnya pergaulan hidup dalam masyarakat.
Persamaan etik dan hukum adalah sebagai berikut:
1. Sama-sama merupakan alat untuk mengatur tertibnya hidup bermasyarakat.
2. Sebagai objeknya adalah tingkah laku manusia.
3. Mengandung hak dan kewajiban anggota-anggota masyarakat agar tidak saling
merugikan.
4. Menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi.
5. Sumbernya adalah hasi pemikiran para pakar dan pengalaman para anggota senior.
Etika rumah sakit adalah etika terapan (applied ethics) atau etika praktis (practical ethics),
yaitu moralitas atau etika umum yang diterapkan pada isu-isu praktis, seperti perlakuan
terhadap etnik-etnik minoritas, keadilan untuk kaum perempuan, penggunaan hewan
untuk bahan makanan atau penelitian, pelestarian lingkungan hidup, aborsi, etanasia,
kewajiban bagi yang mampu untuk membantu yang tidak mampu, dan sebagainya. Jadi,
etika rumah sakit adalah etika umum yang diterapkan pada (pengoperasian) rumah sakit.
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang
berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang
moralitas. Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem
tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz
Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia
untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan
bertindak? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas
sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-
tukar.
Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan
budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya
etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan
amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu
kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi
secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung
jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri
sendiri dan profesi, terhadap pemerintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung
terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku
juga untuk eksekutif lain di rumah sakit.
Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan
dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam
pelaksanaan dan pelayanan profesi itu.
Etika Rumah Sakit adalah suatu etika praktis yang dikembangkan untuk Rumah Sakit
sebagai suatu institusi lahir pada waktu yang hampir bersamaan dengan kehadiran etika
biomedis. Atau dapat juga dikatakan etika institusional rumah sakit adalah pengembangan
dari etika biomedika (bioetika). Karena masalah-masalah atau dilema etika yang baru
sama sekali sebagai dampak atau akibat dari penerapan kemajuan pesat ilmu dan
teknologi biomedis, justru terjadi di rumah sakit. Sebagai contoh, dapat disebut kegiatan
reproduksi dibantu transplantasi organ.
Secara umum masalah etik rumah sakit yang perlu diatur adalah tentang:
1. Rekam medis
2. Keperawatan
3. Pelayanan laboratorium
4. Pelayanan pasien dewasa
5. Pelayanan kesehatan anak
6. Pelayanan klinik medik
7. Pelayanan intensif, anestesi dan euthanasia
8. Pelayanan radiologi
9. Pelayanan kamar operasi
10. Pelayanan rehabilitasi medik
11. Pelayanan gawat darurat
12. Pelayanan medikolegal dan lain-lain
Potensi isu etika administratif yang pertama terkait dengan kepemimpinan dan
manajemen di rumah sakit. Fungsi manajemen mencakup antara lain kegiatan
menentukan obyektif, menentukan arah dan memberi pedoman pada organisasi.
kegiatan-kegiatan kepemimpinan dan manajemen ini paling sensitif secara etis. Artinya
dalam pelaksanaannya seorang pemimpin yang manajer puncak sangat mudah disadari
atau tidak melanggar asas-asas etikabeneficence, nonmaleficence, menghormati manusia
dan berlaku adil. Apalagi jika Direktur Rumah Sakit berprilaku diskrimatif dan menerapkan
standar ganda. Ia menuntut orang lain mematuhi standar-standar yang ditetapkan.
Sedangkan ia sendiri tidak mau memberi teladan sesuai dengan standar-standar itu
Potensi isu etika administratif berikutnya adalah tentang privasi. Privasi menyangkut hal-
hal konfidensial tentang pasien, seperti rahasia pribadi, kelainan atau penyakit yang
diderita, keadaan keuangan, dan terjaminnya pasien dari gangguan terhadap
ketersendirian yang menjadi haknya. Adalah kewajiban etis rumah sakit untuk menjaga
dan melindungi privasi dan kerahasiaan pasiennya. Harus di akui, hal itu tidak selalu
mudah. Misalnya kerahasiaan rekam medis pasien sukar dijaga, karena rumah sakit
modern data dan informasi yang terdapat di dalamnya terbuka bagi begitu banyak
petugas yang karena kewajibannya memang berhak punya akses terhadap dokumen
tersebut. Dapat juga terjadi dilema etika administratif, jika terjadi keterpaksaan membuka
kerahasiaan karena suatu sebab di satu pihak lain kewajiban moral untuk menjaganya
Persetujuan tindakan medis (Informed consent). Masalah etika administratif dapat terjadi,
jika informed consent tidak dilaksanakan sebagaimana seharusnya, yaitu persetujuan
yang diberikan secara sukarela oleh pasien yang kompeten kepada dokter untuk
melakukan tindakan medis tertentu pada dirinya, setelah ia diberi informasi yang lengkap
dan dimengerti olehnya tentang semua dampak dan resiko yang mungkin terjadi sebagai
akibat tindakan itu atau sebagai akibat sebagai tidak dilakukan tindakan itu. Dalam
banyak hal, memang tidak terjadi banyak masalah etika, jika intervensi medis berjalan
aman dan outcome klinis sesuai dengan apa yang diharapkan semua pihak.
Tetapi, dapat saja terjadi suatu tindakan invansif ringan yang rutin dikerjakan sehari-hari
misalnya pendektomi erakibat fatal. Kasus demikian dapat menjadi penyesalan
berkepanjangan. Dapat juga terjadi dilema etik pada dokter dirumah sakit, yang tega
mengungkapkan informasi yang selengkapnya kepada pasien, karena ia tahu jika itu
dilakukan pasien akan jadi bingung, panik, dan takut sehingga ia minta dipulangkan saja
untuk mencari pengobatan alternatif. padahal dokter percaya bahwa tindakan medik yang
direncanakan masih besar kemungkinannya untuk menyelamatkan pasien.
Dilema etika administratif berikutnya di rumah sakit dapat terjadi berhubung
dengan faktor-faktor situasi keuangan. Contoh-contoh berikut ini terjadi sehari-hari.
1. Apakah kemampuan pasien membayar uang muka adalah faktor yang mutlak bagi
rumah sakit untuk memberikan pertolongan kepadanya. karena pertimbangan tertentu,
pemilik atau manajeman rumah sakit mengalokasikan dana yang terbatas untuk proyek
tertentu,dan dengan demikian mengakibatkan kebutuhan lain yang mungkin lebih
mendesak, lebih besar manfaatnya, dan lebih efektif biaya.
2. Bagaimana sikap rumah sakit terhadap dokter tertentu sangat tinggi tarif jasanya.
Jika ditegur ia pasti akan marah, dan mungkin akan hengkang kerumah sakit lain. padahal
ia patient getter yang merupakan ‘telur emas’bagi rumah sakit.
3. Bagaimana sikap terhadap pasien yang kurang tepat waktu melunasi piutang
periodiknya, padahal ia sangat memerlukan tindakan khusus lanjutan.
4. Untuk rumah sakit milik pemodal, bagaimana sikap manajemen jika ada konflik
kepentingan antara kebutuhan pasien dengan keingginan pemegang saham yang melihat
sesuatu hanya dari perhitungan bisnis.
5. Bagaimana jika ada konflik kepentingan antara pemilik, manajemen dan para klinis
yang akar masalahnya adalah soal keuangan dan pendapatan. Bagaimana sikap
manajemen terhadap dokter tertentu yang dapat diduga melakukan moral hazard dengan
berkolusi dengan PBF.
6. Bagaimana sikap rumah sakit terhadap teknologi mahal; disatu pihak diperlukan
untuk meningkatkan posisi dan citra rumah sakit, di pihak lain potensi moral hazard juga
tinggi demi untuk membayar cicilan kredit atau/ easing.
Isu-isu Bioetika
Beberapa contoh yang dapat dikemukakan tentang isu etika biomedis dalam arti
pertama (bioetika) adalah antara lain terkait dengan: kegiatan rekayasa genetik,teknologi
reproduksi,eksperimen medis, donasi dan transpalasi organ, penggantian kelamin,
eutanasia, isu-isu pada akhir hidup, kloning terapeutik dan kloning repraduktif. Sesuai
dengan definisi di atas tentang bioetika oleh International Association of Bioethics
,kegiatan-kegiatan di atas dalam pelayanan kesehatan dan ilmu-ilmu biologi tidak hanya
menimbulkan isu-isu etika,tapi juga isu-isu sosial, hukum, agama, politik, pemerintahan,
ekonomi,kependudukan,lingkungan hidup,dan mungikin juga isu-isu di bidang lain.
Dengan demikian,identifikasi dan pemecaha masalah etika biomedis dalam arti tidak
hanya terbatas pada kepedulian internal rumah sakit saja-misalnya Komite Etika Rumah
Sakit dan para dokter saja seperti halnya pada penanganan masalah etika medis
‘tradisional’- melainkan kepedulian dan bidang kajian banyak ahlimulti- dan inter-displiner
tentang masalah-masalah yang timbul karena perkembangan bidang biomedis pada skala
mikro dan makro,dan tentang dampaknya atas masyarakat luas dan sistemnilainya,kini
dan dimasa mendatang (F.Abel,terjemahan K.Bertens).
Studi formal inter-disipliner dilakukan pada pusat-pusat kajian bioetika yang sekarang
sudah banyak jumlahnya terbesar di seluruh dunia.Dengan demikian,identifikasi dan
pemecahan masalah etika biomedis dalam arti pertama tidak dibicarakan lebih lanjut pada
presentasi ini. yang perlu diketahui dan diikuti perkembangannya oleh pimpinan rumah
sakit adalah tentang ‘fatwa’ pusat-pusat kajian nasional dan internasional,deklarasi
badan-badan internasional seperti PBB, WHO, Amnesty International, atau’fatwa’
Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional (diIndonesia;AIPI) tentang isu-isu bioetika tertentu,
agar rumah sakit sebagai institusi tidak melanggar kaidah-kaidah yang sudah
dikonsesuskan oleh lembaga-lembaga nasional atau supranasional yang terhormat itu.
Dan jika terjadi masalah bioetika dirumah sakit yang belum diketahui solusinya,pendapat
lembaga-lembaga demikian tentu dapat diminta.
Seperti sudah disinggung diatas, masalah etika medis tradisional dalam pelayanan
medis dirumah sakit kita lebih banyak dikaitkan dengan kemungkinan terjadinya
malpraktek, terutama oleh dokter. Padahal, etika disini terutama diartikan kewajiban dan
tanggung jawab institusional rumah sakit. Kewajiban dan tanggung jawab itu dapat
berdasar pada ketentuan hukum (Perdata, Pidana, atau Tata Usaha Negara) atau pada
norma-norma etika.
Hukum Rumah Sakit
Didalam memberikan pelayanan kepada pasien dan bermitra dengan dokter rumah
sakit memiliki hak dan kewajiban yang diatur sesuai dengan Kode Etik Rumah Sakit
(KODERSI), Surat Edaran Dirjen Yan Med No: YM 02.04.3.5.2504 tentang Pedoman Hak
& Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit
Etika Rumah Sakit Indonesia (ERSI) disusun oleh Persatuan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia (PERSI). ERSI ini memuat tentang kewajiban umum rumah sakit, kewajiban
rumah sakit terhadap masyarakat, kewajiban rumah sakit terhadap pasien, kewajiban
rumah sakit terhadap staf dan lain-lain.
Pada saat ini beberapa rumah sakit telah mulai merasakan perlunya sebuah badan yang
menangani pelanggaran etik yang terjadi di rumah sakit. Di rumah sakit besar di Indonesia
telah ada badan yang dibentuk di bawah nama Panitia Etika Rumah Sakit (PERS) yang di
luar negeri disebut Hospital Ethical Commitee dimana anggotanya terdiri dari staf medis,
perawatan, administratif dan pihak lain yang berkaitan dengan tugas rumah sakit.
Fungsi PERS ini adalah memberikan nasihat atau konsultasi melalui diskusi atau
berperan dalam menilai penyelesaian melalui kebijaksanaan, pendidikan pada
lingkungannya dan memberikan anjuran-anjuran pada pelayan kasus-kasus sulit.
Dengan demikian PERS dapat memberikan manfaat :
1. Sebagai sumber informasi yang relevan untuk menyelesaikan masalah etik di
rumah sakit.
2. Mengidentifikasi masalah pelanggaran etik di rumah sakit dan memberikan
pendapat untuk penyelesaian.
3. Memberikan nasihat kepada direksi rumah sakit untuk meneruskan atau tidak,
perkara pelanggaran etik ke MKEK.
Tugas PERS adalah membantu para dokter, perawat dan anggota tim kesehatan di
rumah sakit dalam menghadapi masalah-masalah pelanggaran etik maupun pemantapan
pengalaman kode etik masing-masing profesi.
Hospital Bylaw
Istilah Hospital Bylaw itu terdiri dari dua kata ‘Hospital’ dan ‘Bylaw’. Kata ‘Hospital’
mungkin sudah cukup familiar bagi kita, yang berarti rumah sakit. Sementara kata ‘Bylaw’
terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ahli. Menurut The Oxford Illustrated
Dictionary:Bylaw is regulation made by local authority or corporation. Pengertian
lainnya, Bylaws means a set of laws or rules formally adopted internally by a faculty,
organization, or specified group of persons to govern internal functions or practices within
that group, facility, or organization (Guwandi, 2004). Dengan demikian, pengertian Bylaw
tersebut dapat disimpulkan sebagai peraturan dan ketentuan yang dibuat suatu organisasi
atau perkumpulan untuk mengatur para anggota-anggotanya. Keberadaan Hospital Bylaw
memegang peranan penting sebagai tata tertib dan menjamin kepastian hukum di rumah
sakit. Ia adalah ‘rules of the game’ dari dan dalam manajemen rumah sakit.
Ada beberapa ciri dan sifat Hospital Bylaw yaitu pertama tailor-made. Hal ini berarti
bahwa isi, substansi, dan rumusan rinci Hospital Bylaw tidaklah mesti sama. Hal ini
disebabkan oleh karena tiap rumah sakit memiliki latar belakang, maksud, tujuan,
kepemilikan, situasi, dan kondisi yang berbeda. Adapun ciri kedua, Hospital Bylaw dapat
berfungsi sebagai ‘perpanjangan tangan hukum’. Fungsi hukum adalah membuat
peraturan-peraturan yang bersifat umum dan yang berlaku secara umum dalam berbagai
hal. Sedangkan kasus-kasus hukum kedokteran dan rumah sakit bersifat kasuistis.
Dengan demikian, maka peraturan perundang-undangannya masih harus ditafsirkan lagi
dengan peraturan yang lebih rinci, yaitu Hospital Bylaw. Sebagaimana diketahui, hampir
tidak ada kasus kedokteran yang persis sama, karena sangat tergantung kepada situasi
dan kondisi pasien, seperti kegawatannya, tingkat penyakitnya, umur, daya tahan tubuh,
komplikasi penyakitnya, lama pengobatan yang sudah dilakukan, dan sebagainya. Ketiga,
Hospital Bylaw mengatur bidang yang berkaitan dengan seluruh manajemen rumah sakit
meliputi administrasi, medik, perawatan, pasien, dokter, karyawan, dan lain-lain. Keempat,
rumusan Hospital Bylaw harus tegas, jelas, dan terperinci. Hospital Bylaw tidak membuka
peluang untuk ditafsirkan lagi secara individual. Kelima, Hospital Bylaw harus bersifat
sistematis dan berjenjang.
Hospital Bylaw merupakan materi muatan pengaturan dapat meliputi antara lain:
tata tertib rawat inap pasien, identitas pasien, hak dan kewajiban pasien, dokter dan
rumah sakit, informed consent, rekam medik, visum et repertum, wajib simpan rahasia
kedokteran, komite medik, panitia etik kedokteran, panitia etika rumah sakit, hak akses
dokter terhadap fasilitas rumah sakit, persyaratan kerja, jaminan keselamatan dan
kesehatan, kontrak kerja dengan tenaga kesehatan dan rekanan. Adapun bentuk HBL
dapat merupakan kumpulan dari Peraturan Rumah Sakit,Standar Operating
Procedure (SOP), Surat Keputusan, Surat Penugasan, Pengumuman, Pemberitahuan
dan Perjanjian (MOU). Namun demikian, peraturan internal rumah sakit tidak boleh
bertentangan dengan peraturan diatasnya seperti Keputusan Menteri, Keputusan
Presiden, Peraturan Pemerintah dan Undang-undang. Dalam bidang kesehatan
pengaturan tersebut harus selaras dengan Undang-undang nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan dan peraturan pelaksanaannya.
Belakangan ini tidak jarang keluhan masyarakat bahwa rumah sakit tidak melayani
masyarakat dengan baik. Bahkan beberapa rumah sakit saat ini telah dituntut karena
pelayanan yang tidak sesuai harapan. Ini bisa menjadi salah satu indikasi bahwa masih
ada rumah sakit yang belum mempunyai aturan rumah sakit yang jelas, sistematis, dan
rinci. Karena itu, sesuai prinsip tailor made rumah sakit seharusnya mempunyai Hospital
Bylaw yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Banyaknya kasus malapraktik di negara ini merupakan salah satu bentuk dari kurang
demokratisnya dokter dalam melayani pasien. Tidak dapat disangkal bahwa di negara ini
masih banyak rumah sakit yang menerapkan doctor-oriented. Padahal, seharusnya
manajemen rumah sakit menetapkan patient-oriented.
Akibat manajemen rumah sakit yang kerap kali ”menganakemaskan” para dokternya,
dalam artian mengelola rumah sakit berdasarkan keinginan para dokter, telah menjadi
bumerang bagi perkembangan rumah sakit di negara ini. Contoh kecil berkembangnya
sikap doctor-oriented dapat dilihat dari perekrutan dokter oleh pihak pengelola rumah
sakit. Dalam hal ini, pihak manajemen akan mempekerjakan dokter-dokter yang sudah
terkenal dan mempunyai pasien tetap.
Secara ekonomis, praktik seperti ini memang menguntungan. Pasien-pasien dokter yang
direkrut tersebut akan berpindah ke rumah sakit di mana si dokter berpraktik, selain
berpraktik secara pribadi. Padahal, hal seperti ini tidak boleh dilakukan karena dokter
dengan kemampuannya yang terbatas, tidak mungkin bisa menangani begitu banyak
pasien. Otak dan tubuh kita perlu istirahat setelah digunakan dalam jangka waktu tertentu.
Tapi, hal ini sering diabaikan karena sejumlah dokter lebih mementingkan nilai material
yang dapat diraihnya.
Dengan demikian, kepentingan Hospital Bylaw dapat dilihat dari tiga sudut yaitu
pertama, untuk kepentingan peningkatan mutu pelayanan. Dalam hal ini Hospital Bylaw
dapat menjadi instrumen akreditasi rumah sakit. Rumah sakit perlu membuat standar-
standar yang berlaku baik untuk tingkat rumah sakit maupun untuk masing-masing
pelayanan misalnya pelayanan medis, pelayananan keperawatan, administrasi dan
manajemen, rekam medis, pelayanan gawat darurat, dan sebagainya. Standar-standar ini
terdiri dari elemen struktur, proses, dan hasil. Adapun elemen struktur meliputi fasilitas
fisik, organisasi, sumber daya manusianya, sistem keuangan, peralatan medis dan non-
medis, AD/ART, kebijakan, SOP/Protap, dan program. Proses adalah semua pelaksanaan
operasional dari staf/unit/bagian rumah sakit kepada pasien/keluarga/masyarakat
pengguna jasa rumah sakit tersebut. Hasil (outcome) adalah perubahan status kesehatan
pasien, perubahan pengetahuan/pemahaman serta perilaku yang mempengaruhi status
kesehatannya di masa depan, dan kepuasan pasien.
Kepentingan yang kedua, dilihat dari segi hukum Hospital Bylaw dapat menjadi tolak ukur
mengenai ada tidaknya suatu kelalaian atau kesalahan di dalam suatu kasus hukum
kedokteran. Di dalam Hukum Rumah Sakit pembuktian yang lebih rinci harus terdapat
dalam Hospital Bylaw. Ketiga, dilihat dari segi manajemen risiko, maka HBL dapat
menjadi alat (tool) untuk mencegah timbulnya atau mencegah terulangnya suatu risiko
yang merugikan. Dengan demikian, pasien akan semakin terlindungi sesuai prinsip patient
safety. Hospital Bylaw juga akan memperjelas fungsi dan kedudukan dokter dalam
sebuah rumah sakit . Sebagai tenaga medis, dokter dituntut melakukan tindakan medis
sesuai dengan standar profesi yang ditetapkan dalam upaya pemeliharaan kesehatan,
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan
kesehatan. Apalagi, berdasarkan strategi WTO pada tahun 2010 Indonesia akan
membuka peluang dokter asing untuk berpraktik. Sementara itu, ASEAN bersepakat dua
tahu lebih cepat yaitu pada tahun 2008 membuka peluang yang sama untuk tenaga
kesehatan.
Masalah etika dan hukum di rumah sakit yang paling marak saat ini adalah
malpraktek. Malpraktek (medis) sebenarnya adalah istilah hukum yang berarti kesalahan
dalam menjalankan profesi. Berkhouwer dan Borstman (dikutip oleh Veronica
Komalawati) mengatakan, seorang dokter melakukan kesalahan profesi, apabila ia tidak
memeriksa, tidak membuat penilaian, tidak melakukan tindakan atau tidak menghindari
tindakan (tertentu), sedangkan dokter-dokter yang baik pada umumnya pada situasi yang
sama akan melakukan pemeriksaan, membuat penilaian, melakukan tindakan atau
menghindari tindakan (tertentu).
Kita dapat melihat bahwa: Pertama, definisi ini bersifat relatif. Baik buruknya
seorang dokter menjalankan profesinya dibandingkan dengan rata-rata dokter lain. Tentu
ini ada kelemahan-kelemahannya, dapat saja seorang dokter yang inovatif di tuduh
melakukan malpraktek karena ia melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan
kebanyakan dokter lain, padahal yang ia lakukan adalah baik dan bermanfaat bagi pasien.
Soal standar profesi tidak disinggung dalam devinisi itu,mungkin karena belum ada,
karena buku dua ahli hukum Belanda itu diterbitkan lebih daripada setengah abad yang
lalu dalam tahun 1950.
Kedua, walaupun tidak secara eksplisit dinyatakan, dalam definisi ini dengan kesalahan
profesional ditonjolkan tentang kelainan; dokter tentu tidak melakukan pemeriksaan. tidak
membuat penilaian, tidak melakukan tindakan, dan tidak menghindari tindakan tertentu.
Ini sesuai dengan pemahaman, bahwa malpraktek adalah sama dengan negligence.
Sesuai dengan konteks makalah ini, tentang malpraktek dengan latar belakang
pelanggaran hukum tidak dibicarakan lebih jauh. Fokus utama adalah pada masalah etika
medis di rumah sakit.
1. Etika dalam hal ini diartikan sebagai kewajiban dan tanggung jawab.
2. Etika rumah sakit adalah etika institusi, jadi kewajiban dan tanggng jawab itu adalah
institusional, bukan individual.
3. Namun, eksekutif puncak rumah sakit- sebagai yang oleh pemilik melalui Governing
Body (Badan Pengampu, Majelis Wali Amanah, Dewan Pembina, atau nama jenis
yang lain) diberi kekuasaan mengelola dan tanggung jawab rumah sakit, dengan
sendirinya juga adalah penanggung jawab moral dan etika institusional.
4. Etika medis berhubungan dengan hidup dan kesehatan. Objek kewajiban dan
tanggung jawab pada etika medis adalah hidup dan kesehatan manusia dan
kelompok manusia dilingkungan luar rumah sakit. itu berarti pasien staf serta
karyawan rumah sakit,dan masyarakat.
5. Masalah etika rumah sakit timbul apabila terjadi pelanggaran terhadap asas-asas
etika (umum)dan Kode Etik Rumah Sakit, yang adalah uraian lebih operasional dari
asas-asas etika.
6. Asas-asas etika yang diterapkan pada etika rumah sakit sebagai etika praktis adalah:
Rumah sakit berbuat kebaikan (benifecence) dan tidak menimbulkan mudharat
atau cidera (nonmalifecence) pada pasien, staf dan karyawan,masyarakat
umum,serta lingkungan hidup. Dua asas etika klasik ini sudah ada dalam lafal
Sumpah Hipprokrates sejak lebih 23 abad yang lalu. Dua asas ini adalah juga ajaran
semua agama. Ajaran islam hampir selalu menyebut dua asas itu dalam satu kalimat
(Amar ma ‘arupnahi mungkar).dalam ajaran agama hindu, nonmaleficence adalah
Ahimsa.
Asas menghormati manusia (respect for persons) berarti menghormati
pasien,staf dan karyawan,serta masyarakat dalam hal hidup dan kesehatan mereka.
itu berarti menghormati otonomi (hak untuk mengambil keputusan tentang diri
sendiri),hak-hak asasi sebagai warga negara, hak atas informasi,hak atas privasi,hak
atas kerahasiaan,seta harkat dan mertabat mereka sebagai manusia dan lain-lain.
Asas keadilan (justice): keadilan sosial, keadilan ekonomi, dan perlakuan yang
‘fair’ terhadap pasien, staf dan karyawan, serta masyarakat umum.
Kurt Darr mengatakan, bahwa seorang eksekutuf rumah sakit tidak perlu sampai
mengikuti kursus tentang pilosofi atau etika untuk dapat mengidentifikasikan masalah
etika, walaupun kursus-kursus demikian akan banyak menolong. yang penting,harus ada
kepekaan, kebiasaan melakukan refleksi (an inquiring mind), dan etika pribadi (personal
etics)yang cukup baik. tiga pertanyaan berikut ini dianjurkan diajukan pada diri sendiri
untuk mengidentifikasikan kemungkinan adanya etika pada kasus tertentu.
Apakah pasien, staf dan karyawan, atau masyarakat umum dalam kasus tertentu itu
diperlakukan seperti saya ingin diperlakukan dalam kasus seperti itu? ini dinamakan
The Golden Rule.
Apakah pasien, staf dan karyawan, serta masyarakat umum cukup dilindungi terhadap
kemungkinan cidera dalam keberadaan dan pelayanan di rumah sakit?
Apakah penjelasan tentang informed conset kepada pasien cukup memberi informasi
baginya tentang apa yang akan dilakukan pada dirinya?
Jika salah satu atau lebih dari tiga pertanyaan itu terjawab dengan “tidak”,ada indikasi
masalah etika pada kasus yang dihadapi. Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya adalah:
Adakah pasal-pasal dalam Kode Etik Rumah Sakit yang dilanggar?
Adakah asas-asas etika umum yang dilanggar?
Jika masih perlu untuk lebih memastikan: Teori etika mana yang dapat dipakai untuk
pembenaran keputusan atau tindakan rumah sakit yang menimbulkan masalah etika
administratif atau etika biomedis.
Sama halnya dengan proses pemecahan masalah secara umum, mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang tepat adalah bagian penting proses itu.
1. Hukum rumah sakit adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung
dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan
kewajiban segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun
dari pihak penyelenggara pelayanaan kesehatan yaitu rumah sakit dalam segala aspek
organisasi, sarana, pedoman medik serta sumber-sumber hukum lainnya.
2. Rumah sakit sebagai suatu institusi dalam pelayanan kesehatan telah mempunyai
etika yang di Indonesia terhimpun dalam Etik Rumah Sakit Indonesia (ERSI).
Saran
Referensi
Guwandi, J. 2005. Rahasia Medis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Hanafiah, M.Jusuf dan Amri Amir. 1998. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan.
Medan: EGC