Anda di halaman 1dari 8

INVENTARISASI PENGUASAAN PEMILIKAN PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN

TANAH PARTSIPATIF UNTUK KEBIJAKAN SATU PETA (ONE MAP POLICY) DI


KABUPATEN MADIUN, PROVINSI JAWA TIMUR

Oleh
Wahyuni

1. Pendahuluan
a. Latar Belakang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 memuat agenda
besar Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional yaitu Reforma Agraria,
yang diwujudkan melalui 2 kegiatan yaitu Legalisasi Aset dan Redistribusi Tanah. Pelaksanaan
kedua kegiatan besar Kementrian ATR/BPN ini sagat memerlukan infrastruktur berupa data IP4T
Desa atau Kota secara lengkap. Pelaksanaan legalisasi asset melalui Program Pendaftaran Tanah
Sistematis Lengkap (PTSL) memerlukan data awal berupa peta kerja yang menjadi acuan bagi
petugas pengumpul data fisik maupun data yuridis. Peta kerja yang ideal adalah peta kerja yang
dapat menggambarkan bidang-bidang dalam satu wilayah desa secara lengkap, yangd dapat
digunakan petugas pengumpul data yuridis (Puldadis) untuk dapat mendata dan mengumpulkan
berkas-berkasi yang diperlukan dalam proses PTSL. Pelaksanaan redistribusi tanah memerlukan
data IP4T lengkap untuk mengidentifikasi tanah-tanah yang berpotensi menjadi tanah obyek
landreform dengan redistribusi tanah. Selain itu melalui IP4T akan dapat diperoleh data potensi
desa yang dapat dikembangkan melalui pemberdayaan masyarakat sebagai program pendamping
redistribusi tanah.
Banyaknya persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh kontestasi antar pengguna tanah,
yang terdiri dari Negara atau Pemeritanh, Sektor Swasta, dan Masyarakat, maupun kontestasi
penggunaan tana oleh aktor-aktor pengguna tanah mendorong semua pihak terutama negara Cq.
Pemerintah harus mempertegas fungsinyas sebagai pengatur penggunaan tanah secara
proporsional terukur. Konsep adminitrasi pertanahan modern yang dikenal dengan Fit for
Purpose Land Administration memberikan arahan bagaimana meuwujudkan administrasi
pertanahan yang mendukung manajemen pertanahan berkelanjutan dalam 3 aspek yaiu (1)
kerangka spasial; (2) Kerangka Legal; dan (3) Kerangka Instsitusi. Kerangka spasial dibangun

1
dengan memetakan seluruh bidang tanah, dengan berbagai cara. Agar tujuan pemetaan seluruh
bidang tanah ini dapat terwujud, maka konsep FFP memperkuat dukungan terhadap penggunaan
common boundary daripada fix boundary dan pendekatan ketelitian lebih mengutamakan tujuan
pemetaan daripada standar teknis. Untuk membangun kerangka legal, harus lebih
mengedepankan aspek administrative daripada system hukumnya, serta mendesain hubungan
antar isntitusi untuk mendukung proses administrasi pertanahan dengan pembagian tugas sesuai
kewenangannya masing-masing, Prinsipnya adalah bagaimana membangun basis data
pertanahan secara bersama-sama serta digunakan untuk kemanfaatan bersama.
Membangun kerangka spasial dapat diwujudkan salah satunya melalui IP4T. Inventarisasi
data P4T desa lengkap dilakukan terhadap seluruh bidang tanah yang rata-rata berjumlah sekitar
9-10 ribu bidang untuk desa yang berada di wilayah urban dan peri urban, dan 3-5 ribu bidang
untuk daerah pedesaan sangat mustahil jika hanya dilakukan oleh petugas dari Kantor
Pertanahan. Diperlukan partisipasi aktif dari masyarakat agar data lebih cepat terkumpul.
Menurut pengalaman penulis sebagai Koordinator pelaksanaan Praktek Kuliah Lapangan
IP4T dan Sistem Informasi Pertanahan selama 3 tahun berturut-turut rata-rata 1 mahasiswa dapat
mengumpulkan data IP4T sebangayk 7-8 bidang per hari. Kesulitan utama pengumpulan data
IP4T adalah data penguasaan dan pemilikan, karena untuk menemui pemilik tanah secara
langsung harus menyesuaikan dengan aktifitas pemilik tanah sehari-hari, belum lagi untuk
pemilik tanah yang tinggal di luar lokasi IP4T. Kadang-kadang para pengumpul data P4T juga
harus berhadapan dengan kecurigaan dari pemilik tanah sehingga tidak bisa didapatkan informasi
P4T. Kondisi ini tentu berbeda jika masyarakat sendiri lah yang melakukan pendataan IP4T.
Selain masyarakat sendiri lebih mengetahui informasi penguasaan dan pemilikan, dan tentu saja
akseptabilitias msayarakat terhadap warga mereka sendiri akan lebih tinggi dibandingkan jika
pendataan P4T dilakukan petugas dari Kantor Pertanahan ataupun pihak ketiga. Menumbuhkan
partisipasi masyarakat secara aktif melakukan IP4T tentulah bukan perkara yang mudah. Perlu
strategi pendekatan maupun pengaruh agar masyarakat berkehendak untuk melaksanakan IP4T.
b. Rumusan Masalah
Mengingat jumlah bidang per desa yang begitu besar serta sulitnya melakukan
pengumpulan data P4T, khususnya data penguasaan dan pemilikan maka partsipasi masyarakat
menjadi solusi yang paling realistis. Kegiatan IP4T di Madiun melibatkan seluruh desa dalam
lingkup 1 Kabupaten, dan layak menjadi bahan pembelajaran bagi Kantor Pertanahan seluruh

2
Indonesia. Pemebelajaran yang ingin didapatkan melalui penelitian ini dirangkum dalam
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana cara Kantor Pertanahan melakukan pendekatan sekaligus transmisi informasi
kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Madiun sehingga mempunyai persepsi yang sama
terhadap pelaskanaan IP4T
2. Bagaimana Pemerintah Daerah bersama Kantor Pertanahan menggerakkan seluruh
masyarakat di KAbupaten Madiun untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan IP4T
3. Bagaimana metode pengumpulan data P4T oleh masyarakat
4. Rancangan pemanfaatan data P4T untuk Pemerintah Desa

2. Kerangka Teoritis
a. Reforma Agraria dan Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan
Pemanfaatan Tanah (IP4T)
Reforma Agraria merupakan amanat seluruh rakyat Indoensia yang diamanatkan kepada
Pemerintah Negara Kesatuan Repubik Indonesia melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Nomor IX tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam (PPAN).Psl 5 (1) c Tap MPR IX tahun 2001 memerintahkan Pemerintah RI untuk
menyelenggaran pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan regristasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan secara komprehensif dan sistematis dalam rangka
pelaksanaan Landreform
Kebijakan tentang PPAN ini dikuatkan dengan Keputursan Presiden Nompr 34 tahun 2003
tentang Kebijakan Nasional Pertanahan yang menugaskan Badan Pertanahan Nasional untuk
membangun Sisten Informasi dan Manajemen Pertanahan Nasional yang meliputi beberpa
kegiatan yaitu :
1. Penyusunan basis data tanah-tanah aset negara/ pemerintah/ peme rintah daerah di seluruh
Indonesia;
2. Penyiapan aplikasi data tekstual dan spasial dalam pelayanan pendaftaran tanah dan
penyusunan basis data penguasaan dan pemilikan tanah, yang dihubungkan dengan e-
government, e-commerce dan e-payment;
3. Pemetaan kadasteral dalam rangka inventarisasi dan regristasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) dengan menggunakan teknologi citra satelit dan

3
teknologi informasi untuk menunjang kebijakan pelaksanaan landreform dan pemberian hak
atas tanah;
4. Pembangunan dan pengembangan pengelolaan penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui
sistem informasi geografi, dengan mengutamakan penetapan zona sawah beririgasi dan
tanah-tanah produktif lainnya, dalam rangka memelihara ketahanan pangan nasional
Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo, Reforma Agraria dilaskanan melalui 2 (dua)
program besar sebagaimana tersaji melalui diagram sebagai berikut :

REFORMA AGRARIA
(9 juta ha)

LEGALISASI ASET REDISTRIBUSI TANAH


(4,5 Juta Ha) (4,5 Juta Ha)

Tanah Transmigrasi HGU Tidak


Pelepasan dan
di luar kawasan Digunakan/dimanfaatkan,
Legalisasi Aset Penetapan Batas
hutan yg Belum Tanah Terlantar dan
(3,9 Juta ha) Kawasan Hutan
Bersertipikat Tanah Negara lainnya
(0,6 Juta ha) (4,1 Juta ha)
(0,4 Juta ha)

Legalisasi asset dilaksanakan melalui kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap,


sedangkan Redistribusi Tanah dilaksanakan dengan didampingi program-program pemberdayaan
masyarakat. Senada dengan upaya peningkatan jaminan kepastian hukum hak atas tanah
menjadi salah satu tujuan dalam pembangunan pertanahan sebagaimana disebutkan dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019, Percepatan pendaftaran tanah
menjadi jawaban atas tuntutan hadirnya negara dalam memberikan kepastian hak atas tanah.
Pemerintah Republik Indonesia telah meluncurkan program Pendaftaran Tanah Sistematik

4
Lengkap yang dimaksudkan untuk mengakselerasi percepatan pendaftaran tanah yang
diperkirakan kurang lebih 500.000 sertipikat per tahun, sementara pertumbuhan bidang tanah
lebih dari 1 juta bidang per tahun (van der Eng, P. 2016).
Presiden Republik Indonesia memberikan target kepada Kementrian Agraria dan Tata
Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menerbitkan 5 juta sertipakat Hak Atas
Tanah pada tahun 2016, 7 juta sertipikat tahun 2018, dan 9 juta bidang pada tahun 2019.
Penetapan Target ini disambut oleh Kementrian ATR/BPN dengan peluncuran program
Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL). Pada awal pelaksanaan PTSL banyak terkendala
oleh kurangnya dukungan stake holder khususnya dari Pemerintah Desa. Proses penerbitan
sertipikat Hak Atas Tanah memerlukan analisis riwayat tanah, untuk memastikan kebenaran
formal dan kebenaan materiel alas hak yang menjadi dasar pemberian atau pengakuan hak atas
tanah, diperlukan sumber informasi yang terpercaya, yang pada masa pelaksanaan
pensertipikatan masal sebelumnya banyak menggunakan aparat desa.
Penolakan terhadap pelaksanaan PTSL sangat mewarnai pelaksanaan PTSL pada tahun
2016, berusaha diantisipasi dengan Surat Edaran Sekretaris Jendral Kementrian ATR/BPN yang
memerintahkan kepada Kantor-Kantor Pertanahan tidak menggunakan Surat Keterangan
Pemilikan Tanah (SKT) yang ditanda tangani oleh Kepala Desa sebagai alas hak untuk tanah-
tanah yang tidak mempunyai bukti pemilikan secara tertulis.
Kesulitan di lapangan ini kemudian diakomodasi oleh Kementrian ATR/BPN dan
diupayakan jalan keluarnya dengan melakukan komunikasi koordinasi dengan Kementrian
terkait, dan menghasilkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri, dan Mentri Desa, Daerah Tertinggal
dan Transmigrasi, Nomor : 25/SKB/V.2017, 590-3167A Tahun 2017, 34 Tahun 2017 tentang
Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis, telah memberikan arahan tentang
pembagian tugas dan wewenang dari Kementrian ATRS/BPN, Kementrian Dalam Negeri dan
Kementrian Desa, Daerah Ttertinggal dan Transmigrasi, namun demikian di lapangan SKB ini
masih belum memberikan efek yang nyata.
Mengingat hal yang demikian perlu dikaji langkah terobosan agar peran stake holder dapat
dimaksimalkan untuk mencapai target PTSL yang 2 (dua) tahun ke depan akan semakin berat ( 7
juta di tahun 2018 dan 9 juta di tahun 2019).
Kuantitas target yang sedemikian besar tidak akan mungkin diselesaikan oleh Kementria

5
Agraria dan tata Ruang /Badan Pertanahan Nasional tanpa dukungan dari seluruh elemen
masyarakat. Menurut Van der Eng (2016) salah satu penyebab kegagalan penyelesaian
pendaftaran tanah selama 200 tahun sejak tahun 1820 adalah karena pekerjaan pendaftaran tanah
dibebankan kepada institusi penyelenggara pendaftaran tanah sendirian tanpa keterlibatan
institusi lain,
b. Membangun dan Memanfaatkan Basis Data Pertanahn secara bersama-sama
Data dan informasi pertanahan merupakan sumberdaya yang sangat urgen dalam pelaskanaan
pembangunan. Keputusan-keputusan penggunaan dan pemanfaatan tanah akan lebih berkualitas
jika didasari oleh data dan informasi yang jelas dan lengkap.
Kesadaran terhadap pentingnya membangun basis data pertanahan secara bersama
sesungghnya sudah mulai diwacanakan pada era Presiden Susilo Bambang Yudoyono dengan
mengeluarkan Surat Edaran (SE) Mentri Sekretaris Negara o B-280/M.Sesneg/5/2005, tanggal 9
Mei 2005, perihal: Arahan Presiden Tentang Permasalahan Pertanahan. SE ini ditujukan
kepada Mentri Dalam Negri, Mentri Keuangan; Mentri Kehutanan, Mentri BUMN; Kepala BPN
dan para Gubernur/Bupati/Walikota se-Indonesia;Presiden SBY pada masia itu menginstuksikan
baik secara sendiri ataupun bersama-sama, untuk membangun Bank Data Pertanahan Nasional
dengan mengembangkan Sistem Informasi dan Manajemen Pertanahan.
Nawacita Presiden Joko Widodo juga menghendaki adanya kebijakan berdasarkan satu
peta (one map policy) melalui
membawa paradigma baru dalam pembangunan nasional dengan membangun dari
pinggiran, dan membangun dari desa. Konsep pembangunan yang dimulai dari desa
menggunakan paradigma “Membangun Desa” dan “Desa Membangun”. Pembangunan Desa
yang direncanakan melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa mensyaratkan
perencanaan bebasis spasial.
Penyediaan Peta Desa menjadi persoalan yang sangat penting untuk segera mendapat
penyelesaian. Menurut Kepala Kepala Pusat Standardisasi dan Kelembagaan Informasi
Geospasial (PSKIG) BIG Suprajaka, Indonesia terdiri dari 83.184 Desa, dan sampai dengan saat
ini baru sekitar 1.612 atau 1,94 % yang mempunyai peta desa. (Indopos, 01 Juni
2017).Kebutuhan Kementrian ATR/BPN terhadap dukungan Desa dalam penyelenggaraan PTSL
dan kebutuhan Desa terhadap ketersediaan peta Desa dapat menjadi peluang solusi terhadap
masalah yang dihadapi oleh kedua pihak. (Wahyuni, 2017)

6
Berdasarkan fakta-fakta di atas terlihat jelas bahwa Pemerintah Daerah sampai pada level
Pemerintah Desa juga sangat memerlukan dukungan data dan informasi pertanahan, sehingga
dapat disimpulkan baik Pemerintah Desa maupun Kemnetrian ATR/BPN mempuyai kepentingan
yang sama terhadap ketersediaan data dan informasi pertanahan yang terwujud dalam data P4T.
Berangkat dari kesimpulan di atas maka harus ditumbuhkan kesadaran bersama antara
masyarakat dibawah komandao Pemerintah Desa bersama Kantor Pertanahan untuk bersinergi
membangun database IP4T untuk memberikan kemanfaatan sesuai kepentingan masing-masing.
3. Metode Penelitian
a. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Madiun, Provinsi Jawa Timur, karena di lokasi ini
tengah dilaksanakan Program IP4T Partisipatif yang mendapat banyak sorotan sebagai
program IP4T yang berhasil
b. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan Penelitian Kualitalif dengan pendekatan Eksploratoris –
Eksplanatoris.
c. Jenis, Pengumpulan dan Analisis Data
Jenis Data yang digunakan adalah
1) Data Primer
Data Primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan responden yang
terdiri dari
- Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Madiun mengenai dasar pemikiran IP4T
Partisipatif, bagaimana mengkomunikasikan pemikiran tersebut kepada
Pemerintah Daerah.
- Kepala Seksi P3 Kantor Pertanahan Kabupaten Madiun mengenai strategi
pelaksanaan IP4T Partisipatif, kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangannya
- Pemeritah Desa mengenai pemikiran dan persepsi mereka tentang IP4T
Partisipatif, persepsi tentang keuntungan Pemerintah Desa terlibat dalam kegiatan
IP4T Partisipatif
- Masyarakat pelaksana IP4T Partisipatif mengenai alasan mereka turut serta dalam
IP4T Partisipatif

7
2) Data Sekunder
Data sekunder yang dikumpulkan adalah
- Kerangka Acuan Kerja IP4T Partisipatif
- Laporan Sementara Pelaksanaan IP4T Partisipati
- Output kegiatan berupa Laporan dan Data hasil IP4T
Pengumpulan data menggunakan Instrumen Panduan Wawancara atau Kuisioner, serta
melakukan obvervasi lapangan terhadap pelaksanaan IP4T Partisipatif
Analisis Data dilakukan terhadap hasil Wawancara serta obervasi lapangan di eksplorasi
dengan cara dicatat, diklasifikasikan, dan disintesakan dengan teori dan konsep mengenai
IP4T, dan pemanfaatan data bersama sesuai dengan informasi yang hendak diekstrak dalam
pertanyaan penelitian, Temuan-temuan di lapangan mengenai strategi mengkomunikasikan
persepsi, tekknis pelaksaan pengumpulan data P4T dijelaskan sesuai dengan kerangka
konseptual tentang keterlibatan masyarakat dalam reforma agraria.

Anda mungkin juga menyukai