Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI

“PENGAMATAN LARVA CACING DENGAN METODE HARADA-MORI”

Disusun Oleh:
Nama :Tysa Prastyaningtias
NIM : H1041141063

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2018

1
A. Latar Belakang
Infeksi cacing tambang pada manusia terutama disebabkan oleh Ancylostoma
duodenale dan Necator americanus banyak terjadi di Negara berkembang. Kedua
spesies ini termasuk dalam famili Strongyloidae dari filum Nematoda, diperkirakan
terdapat 1 miliar orang di seluruh dunia yang menderita infeksi cacing tambang dengan
populasi penderita terbanyak di daerah tropis dan subtropis, terutama di Asia dan
subsahara Afrika. Infeksi N. americanus lebih luas penyebarannya dibandingkan A.
duodenale, dan spesies ini juga merupakan penyebab utama infeksi cacing tambang di
Indonesia (Gandahusada,2000). Infeksi dan penularan cacing ini salah satunya melalui
hewan ternak disekitar kita seperti ayam, kambing dan sapi.
Infeksi A. duodenale dan N. americanus merupakan penyebab terpenting
anemia defisiensi besi. Selain itu infeksi cacing tambang juga merupakan penyebab
hipoproteinemia yang terjadi akibat kehilangan albumin, karena perdarahan kronik
pada saluran cerna. Anemia defisiensi besi dan hipoproteinemia sangat merugikan
sehingga perlu adanya pengenalan atau deteksi terhadap parasit ini dengan cara
mengidentifikasi larvanya. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi clarva cacing pada
sampel feses Ayam, kambing dan sapi dengan menggunakan metode Harada Mori.
Dalam identifikasi larva cacing perlu adanya pemeriksaan. Pemeriksaan dapat
dilakukan dengan cara diidentifikasi dan diamati dibawah mikroskop. Pemeriksaan
feses bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya larva cacing ataupun yang infektif pada
hewan ternak, maka dari itu prakrikum ini penting untuk dilakukan.
Tujuan
1. Mengetahui larva cacing apa yang ditemukan pada feses ayam, kambing dan sapi
dengan metode Harada- Mori
2. Mengetahui sampel feses pa yang paling banyak ditemukan larva cacing

2
METODE
A. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum Parasitologi “Pengamatan Feses dengan
Metode Harada-Mori” adalah kertas saring, object glass, cover glass, mikroskop, ,
pipet tetes, rak tabung reaksi, tabung reaksi, dan tusuk gigi. Sedangkan bahan yang
digunakan adalah akuades, feses ayam, feses kambing, feses sapi dan akuades.

B. Cara Kerja
Pengambilan sampel feses dipilih yang masih segar dan dimasukkan kedalam
botol flakon, salah satu botol flakon diberi alkohol. Tabung reaksi diisi dengan akuades
secukupnya, dioles feses pada kertas saring sebanyak 1/3 bagian. Kertas saring yang
telah dioles feses dimasukan kedalam tabung reaksi sampai ujung kertas saring tersebut
menyentuh sedikit permukaan akuades (digantung pada tabung reaksi), dibiarkan
selama 1 minggu, setelah satu minggu diamati larva cacing dengan meneteskan sampel
air ke gelas objek dan diamati di mikroskop.

Hasil
Hasil yang diperoleh dari pengamatan pada feses Ayam, Kambing dan sapi
adalah sebagai berikut
No Gambar Spesies Perbesaran Keterangan
1 Hookworm rabditiform 1. Bucal
Cavity
2 2. Ekor
10x40 3. Oesophagus
3

3
PEMBAHASAN
Hasil dari praktikum Parasitologi “ Pengamatan larva cacing dengan metode
Hadara-Mori ” menemukan bahwa pada sampel feses ayam ditemukan cacing
Hookworm (cacing tambang) Rhabditiform yang terlihat bucal cavity, oesophagus dan
ekornya. Pengamatan larva cacing ini didapatkan dari metode Harada Mori. Harada
Mori merupakan metode yang digunakan untuk menentukan dan mengidentifikasi
larva cacing tambang (Hookworm) yang didapatkan dari feses yang diperiksa. Teknin
ini memungkinkan telur cacing dapat berkembang menjadi larva infektif pada kertas
saring basah selama kurang lebih 7 hari, kemudian larva ini akan ditemukan didalam
air yang terdapat pada tabung reaksi.
Cacing Tambang (Hookworm)
Cacing tambang jantan dan betina memiliki organ pencernaan yang hampir
sama. Organ pencernaan pada cacing jantan dimulai pada anggota rongga buccal,
esophagus, usus dan berakhir di kloaka yang termasuk ke dalam bagian
bursa.Sedangkan untuk perbedaannya terletak pada keberadaan saluran kloaka. Pada
cacing betina saluran terakhirnya adalah anus, dan tidak memiliki kloaka
(Soulby,1995).
Cacing tambang merupakan salah satu cacing usus yang termasuk dalam
kelompok cacing yang siklus hidupnya melalui tanah (soil transmitted helminth)
bersama dengan Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura. Cacing ini termasuk
dalam kelas nematoda dari filum nemathelminthes. Famili Strongyloidae dari
kelasnematoda terdiri atas dua genus, yaitu genus Ancylostoma dan genus
Necator (Kadarsan,2010).
Morfologi
Cacing dewasa Necator americanus berbentuk silinder dengan ujung anterior
melengkung tajam kearah dorsal (seperti huruf “S”). Panjang cacing jantan 7-9 mm
dengan diameter 0,3 mm, sedangkan cacing betina panjangnya 9- 11 mm dengan
diameter 0,4 mm. Pada rongga mulut terdapat bentukan semilunar cutting plates (yang

4
membedakannya dengan Ancylostoma duodenale). Pada ujung posterior cacing jantan
terdapat bursa copulatrix dengan sepasang spiculae. Ujung posterior cacing betina
runcing dan terdapat vulva (Hotez,2004).
Cacing dewasa Ancylostoma duodenale berbentuk silindris dan relatif gemuk,
lengkung tubuh seperti huruf “C”. Panjang cacing jantan 8-11 mm dengan diameter
0,4-0,5 mm, sedangkan cacing betina panjangnya 10-13 mm dengan diameter 0,6 mm.
Dalam rongga mulut terdapat 2 pasang gigi ventral, gigi sebelah luar berukuran lebih
besar. Ujung posterior cacing betina tumpul dan yang jantan mempunyai bursa
copulatrix. Telur Necator americanus dan Ancylostoma duodenale sukar dibedakan.
Telur ini berukuran 50-60 x 40-45 mikron. Bentuknya bulat lonjong, berdinding tipis.
Antara massa telur dan dinding telur terdapat ruangan yang jernih. Pada tinja segar,
telur berisi massa yang terdiri dari 1-4 sel .Cacing tambang memiliki alat pengait
seperti gunting yang membantu melekatkan dirinya pada mukosa dan submukosa
jaringan intestinal. Setelah terjadi pelekatan, otot esofagus cacing menyebabkan
tekanan negatif yang menyedot gumpalan jaringan intestinal ke dalam kapsul bukal
cacing. Akibat kaitan ini terjadi ruptur kapiler dan arteriol yang menyebabkan
perdarahan (Loukas,2001).
Cacing ini memiliki kemampuan zoonosis. Telur yang infektif keluar bersama
tinja penderita di dalam tanah, dalam waktu 2 hari menetas menjadi larva filariform
yang infektif, kemudian larva filaform menembus kulit lalu memasuki pembuluh darah
dan jantung kemudian akan mencapai paru-paru. Setelah melewati bronkus dan trakea,
larva masuk ke laring dan faring akhirnya masuk ke usus halus dan tumbuh menjadi
dewasa dalam waktu 4 minggu (Kadarsan,2010).
Siklus Hidup
Telur dikeluarkan dengan tinja dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu
1,5 hari, keluarlah larva hookworm rabditiform. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva
rabdiform tumbuh menjadi larva filariform, yang dapat menembus kulit dan terbawa
ke pembuluh darah menuju jantung, paru-paru, naik ke faring dan tertelan menuju usus

5
halus, dalam usus halus larva berkembang menjadi dewasa dan bertahan hidup 1-2
tahun (Gan,2009).

Gambar 1. Siklus hidup

Patogenesis
Cacing tambang memiliki alat pengait seperti gunting yang membantu
melekatkan dirinya pada mukosa dan submukosa jaringan intestinal. Setelah terjadi
pelekatan, otot esofagus cacing menyebabkan tekanan negatif yang menyedot
gumpalan jaringan intestinal ke dalam kapsul bukal cacing. Akibat kaitan ini terjadi
ruptur kapiler dan arteriol yang menyebabkan perdarahan. Pelepasan enzim hidrolitik
oleh cacing tambang akan memperberat kerusakan pembuluh darah. Hal itu ditambah
lagi dengan sekresi berbagai antikoagulan termasuk diantaranya inhibitor faktor VIIa
(tissue inhibitory factor). Cacing tambang kemudian mencerna sebagian darah yang
dihisapnya dengan bantuan enzim hemoglobinase, sedangkan sebagian lagi dari darah
tersebut akan keluar melalui saluran cerna (Gandahusada,2000).
Larva cacing tambang hanya terdapaat pada sampel feses ayam, hal ini dapat
dikarenakan kesalahan praktikan dalam memberi air yang terlalu banyak di dalam
tabung reaksi.Selain metode harada mori, pemeriksaan sampel feses dapat dilakukan
dengan metode apung sedimentasi maupun pengamatan secara langsung.

6
DAFTAR PUSTAKA
Gandahusada S., Ilahude, H.D., dan Pribadi, W., 2000, Parasitologi Kedokteran,
Jakarta, FK UI
Gan, W., Deng, L., Yang, C., He, Q., Hu, J., Yin, H., Jin, X., Lu, C., Wu, Y., and Peng,
L., 2009, An anticoagulant peptide from the human hookworm, Ancylostoma
duodenale that inhibits coagulation factors Xa and Xia, FEBS Letters, vol. 583, pp
1976–1980
Kadarsan, S., 2010, Binatang Parasit, Bogor, Lembaga Biologi Nasional-LIPI
Soulby 1965, E.J.L, Texbook of Veterinary Clinical Parasitology, vol. I, Helminths,
Oxford : Blackwell
Loukas A, Prociv P,2001 Immune responses in hookworm infection. Clin Microbiol
Rev , : p.689-703
Hotez PJ, Broker Hotez PJ, Broker S, Bethony JM, 2004, Hookworm infection. N Engl
Med
Soedarto, 1965 Helmintologi Kedokteran, Jakarta, Gaya Baru

Anda mungkin juga menyukai