Anda di halaman 1dari 14

STEP 1 ISTILAH ASING

STEP 2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa yg terjadi pada Tn. Davi?


2. Bagaimana interpretasi (nilai normal) hasil lab Tn. Davi, dan pemeriksaan penunjang
lainnya?
3. Apa saja faktor risiko yg dialami?
4. Bagaimana cara penularan dapat terjadi berdasarkan scenario?
5. Bagaimana tatalaksana yg harus dilakukan pada Tn.Davi?
6. Bagaimana pencegahan penyakit yg dialami?

STEP 3 BRAINSTORMING

1. Apa yg terjadi pada Tn. Davi?


- Infeksi HIV  riwayat penggunaan narkoba dan jarum suntik. Gejala: batuk sudah 6
bulan lalu  komplikasi TBC
Stadium HIV/AIDS ada 4
a. Stadium 1  asimptom, limfadenopati
b. Stadium 2  BB turun < 10 %, tanda-tanda ISPA  otitis media, tonsillitis 
Skenario
c. Stadium 3  BB turun > 10 %, bisa terjadi TB paru, ada tanda anemia (<8 g/dL),
diare kronik, demam berkelanjutan
d. Stadium 4  TB paru dan organ lainnya, komplikasi bermacam-macam (misal
ensefalitis), terjadi wasting syndrome
HIV  menyerang CD4  memiliki struktur GP-120 dan GP-41 mengikat ke reseptor
CD4  berfusi membrane  CCRS dan CXCR4 (reseptor inang)  proses replikasi
virus  menyerang sistem imun
Ada antigen P-24 yg mengelilingi virus
Infeksi HIV berlangsung selama 2-3 mgg  sindrom RV akut  gejala timbul 
gejala hilang  gejala makin parah
Window period : masa terkena HIV hingga gejala muncul
Patogenesis:
Hari pertama belum bisa dideteksi karena antigen dikenal dgn serokonversi 
antigen muncul pd minggu ke-4 sampai ke-7  antigen tinggi dan antibodi menurun

Di scenario  stadium 2 atau 3 (sariawan, kandidiasis oral)

Diagnosis banding:
- TBC  gejala TB
- Leukimia  sel limfosit yg non-fungsional  infeksi (dilihat dari gejala). Limfosit
terbentuk secara ganas  menekan pembentukan sel darah lain  anemia.
Seharusnya terjadi leukositosis

2. Bagaimana interpretasi (nilai normal) hasil lab Tn. Davi, dan pemeriksaan penunjang
lainnya?
Pemeriksaan Laboratorium:
- Hb menurun  anemia
- Leukosit  normal : 4000-10000. Di scenario menurun
- Trombosit  normal: 150000-400000. Di scenario normal
- LED meningkat  normal : pria = 15 mm/jam, wanita = 20 mm/jam

Pemeriksaan lebih lanjut:

- Hitung jenis sel


- ANA (anti-nuclear antibody)
- PCR --> asam nukleat
- Western blood  antigen p-24. Ada 2-3 pita utama (Pita anti GP-120 atau Pita anti
GP-41, atau p-24). P-24 menurun bila pita anti p-24 meningkat. Namun bisa naik lagi
di fase akhir
- CD4  kurang dari 350  keluhan seperti stadium 3  monitoring terapi
Pada asimptom masih kurang dari 500  dilakukan pemeriksaan lagi

Untuk screening:
- Rapid test  ada 3 strategi
strategi 1: bila + dilaporkan reaktif (transfusi dan transplantasi)
Strategi 2: pakai 2 reagen (hasil ++ adalah reaktif. Bila +- diulang. Bila – nonreaktif)
untuk mendiagnosis (strategi 3) dengan 3 reagen (bila +++ reaktif. bila ++- diulang.
Bila +-- low risk, high risk, non-reaktif)
Pelajari saat kapan perlu dilakukan masing-masing strategi!

3. Apa saja faktor risiko yg dialami?


Kelompok yang berisiko tinggi terhadap HIV/AIDS adalah:
 Pengguna narkoba
 Pekerja seks komersil dan pelanggannya
 Narapidana
 Melakukan transfusi darah yang berlebihan secara berulang
 Pemakaian jarum suntik yang sama dan berulang

4. Bagaimana cara penularan dapat terjadi berdasarkan skenario?


Cara penularan:
 Melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual (dengan
orang yang terinfeksi)
 Jarum suntik pengguna narkoba
 Transfusi komponen darah
 Ibu yang terinfeksi HIV kepada bayinya

5. Bagaimana pencegahan penyakit yg dialami?


 Tidak menggunakan narkotika
 Tidak melakukan hubungan seksual yang berisiko (berganti-ganti pasangan)
 Tidak menggunakan jarum suntik secara berulang
 Melakukan skrining ada darah yang akan ditransfusikan
 Melakukan skrining pranikah
 Menerapkan universal precaution di lingkungan fasilitas kesehatan
 Menjaga kebersihan pribadi

STEP 4

STEP 5 LO

1. Apa etiologi penyakit yang diderita bapak Davi?


2. Bagaiamna patofisiologi HIV?
3. Bagaimana penegakkan diagnosis HIV?
4. Apa saja pemeriksaan saat monitoring terapi?
5. Bagaimana edukasi pada pasien HIV?
6. Kapan penggunaan strategi – strategi pada skrining HIV? (aturan)

STEP 6 BELAJAR MANDIRI

STEP 7 PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVES

1. Etiologi

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh virus yang disebut HIV.
Virus ini ditemukan oleh Montagnier, seorang ilmuwan Perancis (Institute Pasteur, Paris
1983), yang mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala limfadenopati,
sehingga pada waktu itu dinamakan Limphadenopathy Associated Virus (LAV). Gallo
(National Institute of Health, USA 1984) menemukan virus HTL-III (Human T
Lymphotropic Virus) yang juga adalah penyebab AIDS. Pada penelitian lebih lanjut
dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga berdasarkan hasil pertemuan
International Committee on Taxonomy of Viruses (1986) WHO memberi nama resmi
HIV. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan virus lain yang dapat pula menyebabkan
AIDS, disebut HIV-2, dan berbeda dengan HIV-1 secara genetik maupun antigenik. HIV-
2 dianggap kurang patogen dibandingkan dengan HIV-1. Untuk memudahkan virus itu
disebut sebagai HIV saja (Daili, 2009).

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab AIDS. Virus ini termasuk
RNA virus genus Lentivirus golongan Retrovirus family Retroviridae. Spesies HIV-1 dan
HIV-2 merupakan penyebab infeksi HIV pada manusia (Soedarto, 2009). AIDS adalah
singkatan dari Acquired Immunodeficiency Syndrome, sebenarnya bukan suatu penyakit
tetapi merupakan kumpulan gejala-gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi berbagai
macam mikroorganisme serta keganasan lain akibat menurunnya daya tahan/kekebalan
tubuh penderita (Irianto, 2013).

2. Patofisiologi

Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien sehingga satu
kali seseorang terinfeksi, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.perjalanan penyakit
menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan system
kekebalan tubuh yang juga bertahap. Infeksi HIV disajikan dalam alur berikut :

Perjalanan penyakit
Gejala tidak khas yang timbul, yaitu demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar
getah bening, ruam, diare, dan batuk. Seiring dengan memburuknya system imun, timbul
gejala akibat infeksi oportunistik, yaitu berat badan menurun, demam dalam waktu lama,
rasa lemah, tuberculosis, infeksi jamur, diare, herpes, dan lainnya.

Manifestasi dari awal kerusakan system kekebalan tubuh adalah kerusakan


mikroarsitektur folikel KGB dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid. Sebagian
besar replikasi HIV terjadi di KGB. Pada saat klinis tidak menunjukkan gejala, saat itulah
terjadi replikasi HIV yang tinggi (10 partikel/hari). Replikasi yang cepat ini disertai
dengan mutasi HIV dan selesai, lalu muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan
infeksi HIV, terjadi kehancuran limfosit yang tinggi (Limfosit CD4).

Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lamanya penggunaan


jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberculosis. Infeksi oleh
kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah dengan lebih cepat
sehingga jumlahnya meningkat dengan pesat. Selain itu, hal tersebut dapat menyebabkan
reaktivasi virus di dalam limfosit T, sehingga biasanya lebih progresif.

3. Penegakkan diagnosis
Diagnosis HIV ditegakkan dengan kombinasi antara gejala klinis dan pemeriksaan
laboratorium.
a. Gejala Klinis
 Pembesaran kelenjar getah bening
 Penurunan berat badan yang tidak bisa dijelaskan
 Infeksi saluran napas berulang
 Kelainan kulit
 Keluhan di rongga mulut dan saluran makan atas
 Keluhan di gigi geligi
 Infeksi jamur di kuku
 Diare kronik lebih dari satu bulan
 Demam berkepanjangan
 Nafsu makan turun
 Gejala infeksi tuberkulosis paru
 Infeksi berat
 Kelainan darah
 Jamur paru
 Infeksi menular seksual
 Sarkoma Kaposi
 Infeksi jamur sistemik
 Gangguan Penglihatan
 Infeksi intrakranial
 Kebas atau kesemutan pada tangan dan kaki
 Kelemahan otot

b. Pemeriksaan Laboratorium
Terdiri dari beberapa pemeriksaan, yaitu sebagai berikut.
 Tes Skrining HIV
- A1 (tes dgn sensitivitas tinggi)
- A2 (tes dgn spesifisitas tinggi)
- A3 (tes dgn spesifisitas tinggi)

Hasil Interpretasi Tindak lanjut

A1 (-) atau Non reaktif Jika yakin tidak ada faktor risiko yg
dilakukan dlm 3 bulan terakhir 
A1 (-), A2 (-), dan A3 (-) pasien dikonseling supaya tetap
menjaga hasil yg negatif

Jika belum yakin ada atau tidak ada


ada faktor risiko yg dilakukan dlm 3
bulan terakhir  tes ulang dlm 1
bulan

A1 (+) A2 (+) A3 (-) Indeterminate Ulang tes dalam 1 bulan,

A1 (+) A2 (-) A3 (-) Konseling cara menjaga agar tetap


negatif ke depannya

A1 (+) A2 (+) A3 (+) Reaktif Lakukan konseling hasil sel positif dan
rujuk untuk mendapatkan pengobatan

Terdapat beberapa strategi yang direkomendasikan UNAIDS dan WHO. Strategi


yang digunakan tergantung dari tujuan pemeriksaan serta prevalensi infeksi
HIV pada populasi tempat dilaksanakannya pemeriksaan.
- Strategi I
Strategi ini dilakukan pada kegiatan pengambilan darah dan tranplantasi.
Pada strategi I, hanya dilakukan satu kali pemeriksaan. Reagen yang
digunakan yaitu reagen yang memiliki sensitivitas yang tinggi (>99%).
- Strategi II
Strategi ini dilakukan pada kegiatan surveillance. Pada strategi II, dilakukan
dua kali pemeriksaan. Reagen pada pemeriksaan pertama harus memiliki
sensitivitas yang tinggi. Reagen pada pemeriksaan kedua harus memiliki
spesifisitas tinggi dan berbeda jenis antigen atau tekniknya dengan
pemeriksaan pertama.
- Strategi III
Strategi ini dilakukan untuk tujuan diagnosis. Pada strategi III, dilakukan tiga
kali pemeriksaan. Reagen yang digunakan pada pemeriksaan ketiga harus
mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari pemeriksaan sebelumnya serta
berbeda asal antigennya atau tekniknya.

 Pemeriksaan Antigen P24


Sensitivitas pemeriksaan mencapai 99% dan spesifisitasnya lebih tinggi hingga
99,9%. Pada penderita yang baru terinfeksi, antigen p24 dapat positif hingga
45 hari setelah infeksi. Pemeriksaan antigen p24 juga dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis HIV pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif.
 Kultur HIV
HIV dapat dikultur dari cairan plasma, serum, peripheral blood mononuclear
cells, cairan serebrospinal, saliva, semen, lender serviks, serta ASI. Kultur HIV
biasanya tumbuh dalam 21 hari. Pada saat ini kultur hanya digunakan untuk
kepentingan penelitian.
 HIV-RNA
Pemeriksaan HIV-RNA (viral load) berguna untuk mendiagnosis HIV pada
keadaan pemeriksaan serologis belum dapat memeberikan hasil atau
pemeriksaan serologis memebrikan hasil indeterminate.
 Pemeriksaan Antibodi
Metode yang paling banyak digunakan yaitu ELISA (Enzyme Linked
Immunosorbent Assay) karena metode ini dianggap merupakan metode yang
paling cocok untuk digunakan dalam penapisan spesimen dalam jumlah besar
seperti donor darah.
 Pemesiksaan ludah oral  ora(l) sure dimasukkan ke dalam mulut 
sensitivitas 99,9 %  Cairan air ludah dikirim ke lab rujukan  dimasukkan
dalam mulut selama 2 menit  campurannya yg diperiksa (di Amerika Serikat)

4. Pemeriksaan saat monitoring terapi

Terapi ARV (Antiretroviral) merupakan terapi yang digunakan dalam dunia medis
untuk mengobati para pengidap HIV atau yang biasa dikenal sebagai ODHA (Orang
Dengan HIV AIDS). Tujuan pengobatan ARV adalah untuk mengurangi laju
penularan HIV di masyarakat, menurunkan angka kesakitan dan kematian yang
berhubungan dengan HIV, memperbaiki kualitas hidup orang dengan HIV dan AIDS
(ODHA), memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan tubuh serta menekan
replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus. Supresi virologis yang baik
memerlukan tingkat kepatuhan terapi ARV yang sangat tinggi. Penelitian
menunjukkan bahwa untuk mencapai tingkat supresi virus yang optimal, setidaknya
95% dari semua dosis yang diberikan. Resiko kegagalan terapi timbul jika pasien
sering lupa minum obat. Kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dengan pasien
serta komunikasi dan suasana pengobatan yang konstruktif akan membantu pasien
untuk patuh minum obat. Pelaksanaan terapi ARV yaitu berupa pelayanan rawat jalan,
sehingga petugas tidak dapat memantau kepatuhan pasien dalam menjalani terapi
ARV. petugas melakukan pemantauan kepatuhan pasien dengan cara melakukan tanya
jawab dengan pasien ketika pasien melakukan kunjungan ke klinik pengobatan
HIV/AIDS karena pada saat pelaksanaan terapi, pasien tidak berada dalam
pengawasan petugas secara langsung. Oleh sebab itu diperlukan suatu layanan berupa
aplikasi yang dapat mencatat waktu konsumsi obat pasien, kemudian data konsumsi
obat tersebut dikirim ke petugas terapi ARV, sehingga petugas dapat melakukan
pemantauan kepatuhan pasien tanpa harus bertemu langsung dengan pasien
HIV/AIDS.

Terapi antiretroviral adalah terapi pengobatan penyakit HIV/AIDS dengan


mengkonsumsi obat antiretroviral. Terapi ARV dilakukan saat jumlah CD4 kurang
dari 350 sel/mm3. Terapi ARV terbagi menjadi lini pertama dan lini kedua.terapi lini
kedua dilakukan pada saat pasien mengalami kegagalan dalam menjalani terapi lini
pertama. Kriteria gagal terapi adalah menggunakan 3 kriteria, yaitu kriteria klinis,
imunologis dan virologis. Jumlah virus (VL) yang menetap di atas 5000 copies/ml
mengkonfirmasi gagal terapi. Bila pemeriksaan VL tidak tersedia, untuk menentukan
gagal terapi menggunakan kriteria imunologis untuk memastikan gagal terapi secara
klinis.

Sesudah dinyatakan HIV positif, dilakukan pemeriksaan untuk mendiagnosis adanya penyakit
penyerta serta infeksi oportunistik, dan pemeriksaan laboratorium. Untuk menentukan stadium
infeksi HIV dapat dilihat pada tabel 3 dan 4. Untuk selanjutnya ODHA akan mendapatkan paket
layanan perawatan dukungan pengobatan yang dapat di lihat pada bagan 3. Selanjutnya
dilakukan pencatatan pada Ikhtisar Perawatan HIV dan Terapi Antiretroviral.

Pemantauan Setelah Pemberian ARV:


Pemantauan setelah pemberian ARV bertujuan untuk mengevaluasi respons pengobatan.
Evaluasi ODHA selama dalam pengobatan dilakukan bersama-sama antara dokter, perawat, dan
konselor. Evaluasi tidak hanya dilakukan untuk kondisi fisik, namun juga psikologis, untuk
membantu ODHA dan keluarganya selama menjalani pengobatan.
1. Jadwal Pemantauan Setelah Pemberian ARV Penilaian klinis dan tes laboratorium berperan
penting untuk melihat kondisi ODHA sebelum inisiasi ART dan berguna untuk memonitor
respons pengobatan dan kemungkinan toksisitas obat ARV. Pemantauan klinis dalam
pengawasan dokter dilakukan rutin minimal sebulan sekali dalam 6 bulan pertama setelah
inisiasi ART. Pemantauan oleh dokter selanjutnya dapat dilakukan minimal 3 bulan sekali
atau lebih sering, sesuai dengan kondisi dan kepatuhan pengobatan.
 Fase pentalaksanaan HIV
o Selama menggunakan ARV  direkomendasikan tes laboratorium untuk
memeriksa jumlah sel CD4 tiap 6 bulan (Pada ODHA dengan kepatuhan dan
hasil pengobatan ARV yang baik, frekuensi pemantauan CD4 dan HIV RNA
dapat dikurangi). Selain jumlah sel CD4, pemeriksaan lain yang dibutuhkan
adalah serum kreatinin tiap 6 bulan pada penggunaan TDF, Hb pada
penggunaan AZT (dalam 3 bulan pertama perlu pemeriksaan intensif),
Fungsi hati (SGPT/SGOT) tiap 6 bulan, HIV RNA (6 bulan setelah inisiasi ARV,
tiap 12 bulan setelahnyaa)
o Gagal terapi  direkomendasikan tes laboratorium untuk memeriksa
Jumlah sel CD4 HIV RNA (Tes HIV RNA (viral load) sangat dianjurkan untuk
menentukan kegagalan terapi). Selain tes jumlah sel CD4 HIV RNA,
pemeriksaan lain yang dibutuhkan adalah HBsAg (bila sebelum switch belum
pernah di tes, atau jika hasil baseline sebelumnya negatif)

2. Pemantauan terhadap efek samping ARV dan substitusi ARV


Saat ini paduan ART yang dianjurkan (KDT) dalam lini pertama mempunyai efek samping
minimal (jarang terjadi), kurang toksik dan sederhana (sekali sehari), sehingga akan
meningkatkan kepatuhan pengobatan.

Efek samping (toksisitas) ARV dapat terjadi dalam beberapa minggu pertama setelah inisiasi
hingga toksisitas pada pemakaian lama seperti dalam tabel 10. Kebanyakan reaksi toksisitas
ARV tidak berat dan dapat diatasi dengan memberi terapi suportif. Efek samping minor dapat
menyebabkan ODHA tidak patuh minum obat, karenanya tenaga kesehatan harus terus
mengkonseling ODHA dan mendukung terapi. Prinsip penanganan efek samping akibat ARV
adalah sebagai berikut:
a. Tentukan beratnya toksisitas
b. Evaluasi obat yang diminum bersamaan, dan tentukan apakah toksisitas terjadi karena
(satu atau lebih) ARV atau karena obat lainnya
c. Pertimbangkan proses penyakit lain (seperti hepatitis virus atau sumbatan bilier jika
timbul ikterus)
d. Tata laksana efek samping bergantung pada beratnya reaksi. Penanganan secara umum
adalah:
1) Derajat 4, reaksi yang mengancam jiwa: segera hentikan semua obat ARV, beri terapi
suportif dan simtomatis; berikan lagi ARV dengan paduan yang sudah dimodifikasi
(contoh: substitusi 1 ARV untuk obat yang menyebabkan toksisitas) setelah ODHA
stabil
2) Derajat 3, reaksi berat: ganti obat yang dicurigai tanpa menghentikan pemberian ARV
secara keseluruhan
3) Derajat 2, reaksi sedang: beberapa reaksi (lipodistrofi dan neuropati perifer)
memerlukan penggantian obat. Untuk reaksi lain, pertimbangkan untuk tetap
melanjutkan pengobatan; jika tidak ada perubahan dengan terapi simtomatis,
pertimbangkan untuk mengganti 1 jenis obat ARV
4) Derajat 1, reaksi ringan: tidak memerlukan penggantian terapi.
e. Tekankan pentingnya tetap meminum obat meskipun ada toksisitas pada reaksi ringan dan
sedang
f. Jika diperlukan, hentikan pemberian terapi ARV apabila ada toksisitas yang mengancam
jiwa. Perlu diperhatikan waktu paruh masing-masing obat untuk menghindari kejadian
resistansi

3. Pemantauan Sindroma Pulih Imun


Penting sekali melakukan pemantauan dalam 6 bulan pertama terapi ARV. Perbaikan klinis
dan imunologis diharapkan muncul dalam masa pemantauan ini, selain untuk mengawasi
kemungkinan terjadinya sindrom pulih imun (Immune Reconstitution Inflammatory
Syndrome/IRIS) atau toksisitas obat. Pemantauan awal dan pemantauan selanjutnya harus
selalu dilakukan untuk memastikan keberhasilan terapi ARV, memantau efek samping obat
dan perlu tidaknya substitusi, mendeteksi masalah terkait kepatuhan, dan menentukan
kapan terapi ARV harus diganti (switch) ke lini selanjutnya.

Kepatuhan pengobatan didefinisikan sebagai sejauh mana perilaku ODHA dalam menjalani
pengobatan, sesuai dengan yang dianjurkan oleh petugas kesehatan. Untuk terapi ARV,
kepatuhan yang tinggi sangat diperlukan untuk menurunkan replikasi virus dan memperbaiki
kondisi klinis dan imunologis; menurunkan risiko timbulnya resistansi ARV; dan menurunkan
risiko transmisi HIV. Salah satu yang perlu dilakukan adalah dukungan kepatuhan, tidak selalu
penggantian ke obat ARV alternatif.

Berbagai faktor seperti akses pengobatan, obat ARV dan faktor individu mempengaruhi
kepatuhan terhadap ARV. Faktor individu dapat berupa lupa minum obat, bepergian jauh,
perubahan rutinitas, depresi atau penyakit lain, bosan minum obat, atau penggunaan
alkohol dan zat adiktif. Faktor obat ARV meliputi efek samping, banyaknya obat yang
diminum dan restriksi diet. Pendekatan khusus perlu diperhatikan pada populasi tertentu
seperti wanita hamil dan menyusui, remaja, bayi dan anak-anak, serta populasi kunci (LSL,
PS, dan Penasun).

Untuk menjaga kepatuhan secara berkala perlu dilakukan penilaian kepatuhan dan jika
diperlukan dapat dilakukan konseling ulang.

4. Diagnosis kegagalan terapi ARV


Kegagalan terapi dapat dilihat dari berbagai kriteria, yaitu kriteria virologis, imunologis, dan
klinis, seperti dalam tabel 13. Kriteria terbaik adalah kriteria virologis, namun bila tidak
dapat dilakukan pemeriksaan maka digunakan kriteria imunologis. Sebaiknya tidak
menunggu kriteria klinis terpenuhi agar dapat melakukan switch ke lini selanjutnya lebih
dini.

ODHA harus menggunakan ARV minimal 6 bulan sebelum dinyatakan gagal terapi dalam
keadaan kepatuhan yang baik. Kalau ODHA kepatuhan tidak baik atau berhenti minum obat,
penilaian kegagalan dilakukan setelah minum obat kembali secara teratur minimal 3-6 bulan

5. Bagaimana edukasi pada pasien HIV?


Konseling HIV/AIDS adalah suatu proses yang dimulai dengan kontak pertama klien
dengan layanan konseling HIV/AIDS. Proses konseling adalah dengan memberikan
informasi kepada pasien mengenai penyakit, obat – obatan, diet, dan modifikasi gaya
hidup serta membantu pasien dalam menjelaskan keraguan dalam mengambil
keputusan yang sesuai sehubungan dengan manajemen penyakit yang akan
berlanjut melalui jaringan rujukan ke berbagai komunitas dan lembaga bantuan
sosial.

Dalam konseling ini, dokter dapat menganjurkan tes HIV (jika menemukan pasien TB,
orang berisiko tinggi (misal PSK)). Sebelum melakukan tes HIV, harus melakukan izin
untuk melakukan tes. Hasil tes harus diambil oleh dokter sendiri dan disampaikan
secara langsung oleh dkoter kepada pasiennya. Pasien berkumpul dengan kelompok
penanggulan AIDS untuk menguatkan dirinya.

Tujuan konseling, yaitu sebagai berikut.


1. Untuk meningkatkan pemahaman pasien tentang penyakit dan manajemen
2. Untuk meningkatkan perilaku kepatuhan pengobatan dan perbaikan hasil terapi.
3. Untuk mengadopsi gaya hidup sehat
4. Untuk meningkatkan kualitas hidup

Beberapa hal yang diinformasikan selama konseling, yaitu :


- Konseling tentang cara penularan HIV
- Konseling tentang medikamentosa
- Konseling tentang diet  gizi seimbang, tidak makan makanan mentah
- Konseling gaya hidup kebersihan pribadi, hindari alkohol dan narkoba
- Konseling psikososial  mendorong pasien untuk memiliki teman dan
membangun kelompok agar bisa sharing dan saling mendukung dlm mengontrol

Konseling dilakukan sebelum dan sesudah tes HIV dilakukan. Konseling pra-skrinning
bertujuan untuk memberi tahu pentingnya skrining dan supaya pasien siap
bagaimanapun hasil dari tesnya. Konseling post-skrining pada pasien dengan hasil
positif bertujuan untuk membantu pasien dalam mengambil keputusan untuk
terapi. Konseling post-skrining pada pasien dengan hasil negative bertujuan untuk
mengedukasi pasien agar mampu mempertahankan kondisi tidak berisiko seperti
menghindari narkoba, tidak berganti pasangan.

6. Kapan penggunaan strategi – strategi pada skrining HIV? (aturan)


Terdapat beberapa strategi yang direkomendasikan UNAIDS dan WHO. Strategi yang
digunakan tergantung dari tujuan pemeriksaan serta prevalensi infeksi HIV pada
populasi tempat dilaksanakannya pemeriksaan.
- Strategi I
Strategi ini dilakukan pada kegiatan pengambilan darah dan tranplantasi. Pada
strategi I, hanya dilakukan satu kali pemeriksaan. Reagen yang digunakan yaitu
reagen yang memiliki sensitivitas yang tinggi (>99%).
- Strategi II
Strategi ini dilakukan pada kegiatan surveillance. Pada strategi II, dilakukan dua
kali pemeriksaan. Reagen pada pemeriksaan pertama harus memiliki sensitivitas
yang tinggi. Reagen pada pemeriksaan kedua harus memiliki spesifisitas tinggi
dan berbeda jenis antigen atau tekniknya dengan pemeriksaan pertama.
- Strategi III
Strategi ini dilakukan untuk tujuan diagnosis. Pada strategi III, dilakukan tiga kali
pemeriksaan. Reagen yang digunakan pada pemeriksaan ketiga harus mempunyai
spesifisitas yang lebih tinggi dari pemeriksaan sebelumnya serta berbeda asal
antigennya atau tekniknya.

Prevalensi Strategi
Tujuan Pemeriksaan
Infeksi Pemeriksaan
Seluruh
Transfusi / Transplantasi I
prevalensi
>10% I
Surveillance
<10% II
Dengan gejala >30% I
klinis <30% II
Diagnosis
>10% II
Asimtomatik
<10% III

#SUMBER :
Sudoyo AW, et al. 2017. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6. Jakarta : Interna Publishing

National AIDS Control Programme National Institue of Health Islamabad. 2001. Counseling for HIV/AIDS :
The National guidelines diakses di http://www.nacp.gov. pada 6 Desember 2018

Anda mungkin juga menyukai