STEP 3 BRAINSTORMING
Diagnosis banding:
- TBC gejala TB
- Leukimia sel limfosit yg non-fungsional infeksi (dilihat dari gejala). Limfosit
terbentuk secara ganas menekan pembentukan sel darah lain anemia.
Seharusnya terjadi leukositosis
2. Bagaimana interpretasi (nilai normal) hasil lab Tn. Davi, dan pemeriksaan penunjang
lainnya?
Pemeriksaan Laboratorium:
- Hb menurun anemia
- Leukosit normal : 4000-10000. Di scenario menurun
- Trombosit normal: 150000-400000. Di scenario normal
- LED meningkat normal : pria = 15 mm/jam, wanita = 20 mm/jam
Untuk screening:
- Rapid test ada 3 strategi
strategi 1: bila + dilaporkan reaktif (transfusi dan transplantasi)
Strategi 2: pakai 2 reagen (hasil ++ adalah reaktif. Bila +- diulang. Bila – nonreaktif)
untuk mendiagnosis (strategi 3) dengan 3 reagen (bila +++ reaktif. bila ++- diulang.
Bila +-- low risk, high risk, non-reaktif)
Pelajari saat kapan perlu dilakukan masing-masing strategi!
STEP 4
STEP 5 LO
1. Etiologi
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh virus yang disebut HIV.
Virus ini ditemukan oleh Montagnier, seorang ilmuwan Perancis (Institute Pasteur, Paris
1983), yang mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala limfadenopati,
sehingga pada waktu itu dinamakan Limphadenopathy Associated Virus (LAV). Gallo
(National Institute of Health, USA 1984) menemukan virus HTL-III (Human T
Lymphotropic Virus) yang juga adalah penyebab AIDS. Pada penelitian lebih lanjut
dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga berdasarkan hasil pertemuan
International Committee on Taxonomy of Viruses (1986) WHO memberi nama resmi
HIV. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan virus lain yang dapat pula menyebabkan
AIDS, disebut HIV-2, dan berbeda dengan HIV-1 secara genetik maupun antigenik. HIV-
2 dianggap kurang patogen dibandingkan dengan HIV-1. Untuk memudahkan virus itu
disebut sebagai HIV saja (Daili, 2009).
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab AIDS. Virus ini termasuk
RNA virus genus Lentivirus golongan Retrovirus family Retroviridae. Spesies HIV-1 dan
HIV-2 merupakan penyebab infeksi HIV pada manusia (Soedarto, 2009). AIDS adalah
singkatan dari Acquired Immunodeficiency Syndrome, sebenarnya bukan suatu penyakit
tetapi merupakan kumpulan gejala-gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi berbagai
macam mikroorganisme serta keganasan lain akibat menurunnya daya tahan/kekebalan
tubuh penderita (Irianto, 2013).
2. Patofisiologi
Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien sehingga satu
kali seseorang terinfeksi, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.perjalanan penyakit
menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan system
kekebalan tubuh yang juga bertahap. Infeksi HIV disajikan dalam alur berikut :
Perjalanan penyakit
Gejala tidak khas yang timbul, yaitu demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar
getah bening, ruam, diare, dan batuk. Seiring dengan memburuknya system imun, timbul
gejala akibat infeksi oportunistik, yaitu berat badan menurun, demam dalam waktu lama,
rasa lemah, tuberculosis, infeksi jamur, diare, herpes, dan lainnya.
3. Penegakkan diagnosis
Diagnosis HIV ditegakkan dengan kombinasi antara gejala klinis dan pemeriksaan
laboratorium.
a. Gejala Klinis
Pembesaran kelenjar getah bening
Penurunan berat badan yang tidak bisa dijelaskan
Infeksi saluran napas berulang
Kelainan kulit
Keluhan di rongga mulut dan saluran makan atas
Keluhan di gigi geligi
Infeksi jamur di kuku
Diare kronik lebih dari satu bulan
Demam berkepanjangan
Nafsu makan turun
Gejala infeksi tuberkulosis paru
Infeksi berat
Kelainan darah
Jamur paru
Infeksi menular seksual
Sarkoma Kaposi
Infeksi jamur sistemik
Gangguan Penglihatan
Infeksi intrakranial
Kebas atau kesemutan pada tangan dan kaki
Kelemahan otot
b. Pemeriksaan Laboratorium
Terdiri dari beberapa pemeriksaan, yaitu sebagai berikut.
Tes Skrining HIV
- A1 (tes dgn sensitivitas tinggi)
- A2 (tes dgn spesifisitas tinggi)
- A3 (tes dgn spesifisitas tinggi)
A1 (-) atau Non reaktif Jika yakin tidak ada faktor risiko yg
dilakukan dlm 3 bulan terakhir
A1 (-), A2 (-), dan A3 (-) pasien dikonseling supaya tetap
menjaga hasil yg negatif
A1 (+) A2 (+) A3 (+) Reaktif Lakukan konseling hasil sel positif dan
rujuk untuk mendapatkan pengobatan
Terapi ARV (Antiretroviral) merupakan terapi yang digunakan dalam dunia medis
untuk mengobati para pengidap HIV atau yang biasa dikenal sebagai ODHA (Orang
Dengan HIV AIDS). Tujuan pengobatan ARV adalah untuk mengurangi laju
penularan HIV di masyarakat, menurunkan angka kesakitan dan kematian yang
berhubungan dengan HIV, memperbaiki kualitas hidup orang dengan HIV dan AIDS
(ODHA), memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan tubuh serta menekan
replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus. Supresi virologis yang baik
memerlukan tingkat kepatuhan terapi ARV yang sangat tinggi. Penelitian
menunjukkan bahwa untuk mencapai tingkat supresi virus yang optimal, setidaknya
95% dari semua dosis yang diberikan. Resiko kegagalan terapi timbul jika pasien
sering lupa minum obat. Kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dengan pasien
serta komunikasi dan suasana pengobatan yang konstruktif akan membantu pasien
untuk patuh minum obat. Pelaksanaan terapi ARV yaitu berupa pelayanan rawat jalan,
sehingga petugas tidak dapat memantau kepatuhan pasien dalam menjalani terapi
ARV. petugas melakukan pemantauan kepatuhan pasien dengan cara melakukan tanya
jawab dengan pasien ketika pasien melakukan kunjungan ke klinik pengobatan
HIV/AIDS karena pada saat pelaksanaan terapi, pasien tidak berada dalam
pengawasan petugas secara langsung. Oleh sebab itu diperlukan suatu layanan berupa
aplikasi yang dapat mencatat waktu konsumsi obat pasien, kemudian data konsumsi
obat tersebut dikirim ke petugas terapi ARV, sehingga petugas dapat melakukan
pemantauan kepatuhan pasien tanpa harus bertemu langsung dengan pasien
HIV/AIDS.
Sesudah dinyatakan HIV positif, dilakukan pemeriksaan untuk mendiagnosis adanya penyakit
penyerta serta infeksi oportunistik, dan pemeriksaan laboratorium. Untuk menentukan stadium
infeksi HIV dapat dilihat pada tabel 3 dan 4. Untuk selanjutnya ODHA akan mendapatkan paket
layanan perawatan dukungan pengobatan yang dapat di lihat pada bagan 3. Selanjutnya
dilakukan pencatatan pada Ikhtisar Perawatan HIV dan Terapi Antiretroviral.
Efek samping (toksisitas) ARV dapat terjadi dalam beberapa minggu pertama setelah inisiasi
hingga toksisitas pada pemakaian lama seperti dalam tabel 10. Kebanyakan reaksi toksisitas
ARV tidak berat dan dapat diatasi dengan memberi terapi suportif. Efek samping minor dapat
menyebabkan ODHA tidak patuh minum obat, karenanya tenaga kesehatan harus terus
mengkonseling ODHA dan mendukung terapi. Prinsip penanganan efek samping akibat ARV
adalah sebagai berikut:
a. Tentukan beratnya toksisitas
b. Evaluasi obat yang diminum bersamaan, dan tentukan apakah toksisitas terjadi karena
(satu atau lebih) ARV atau karena obat lainnya
c. Pertimbangkan proses penyakit lain (seperti hepatitis virus atau sumbatan bilier jika
timbul ikterus)
d. Tata laksana efek samping bergantung pada beratnya reaksi. Penanganan secara umum
adalah:
1) Derajat 4, reaksi yang mengancam jiwa: segera hentikan semua obat ARV, beri terapi
suportif dan simtomatis; berikan lagi ARV dengan paduan yang sudah dimodifikasi
(contoh: substitusi 1 ARV untuk obat yang menyebabkan toksisitas) setelah ODHA
stabil
2) Derajat 3, reaksi berat: ganti obat yang dicurigai tanpa menghentikan pemberian ARV
secara keseluruhan
3) Derajat 2, reaksi sedang: beberapa reaksi (lipodistrofi dan neuropati perifer)
memerlukan penggantian obat. Untuk reaksi lain, pertimbangkan untuk tetap
melanjutkan pengobatan; jika tidak ada perubahan dengan terapi simtomatis,
pertimbangkan untuk mengganti 1 jenis obat ARV
4) Derajat 1, reaksi ringan: tidak memerlukan penggantian terapi.
e. Tekankan pentingnya tetap meminum obat meskipun ada toksisitas pada reaksi ringan dan
sedang
f. Jika diperlukan, hentikan pemberian terapi ARV apabila ada toksisitas yang mengancam
jiwa. Perlu diperhatikan waktu paruh masing-masing obat untuk menghindari kejadian
resistansi
Kepatuhan pengobatan didefinisikan sebagai sejauh mana perilaku ODHA dalam menjalani
pengobatan, sesuai dengan yang dianjurkan oleh petugas kesehatan. Untuk terapi ARV,
kepatuhan yang tinggi sangat diperlukan untuk menurunkan replikasi virus dan memperbaiki
kondisi klinis dan imunologis; menurunkan risiko timbulnya resistansi ARV; dan menurunkan
risiko transmisi HIV. Salah satu yang perlu dilakukan adalah dukungan kepatuhan, tidak selalu
penggantian ke obat ARV alternatif.
Berbagai faktor seperti akses pengobatan, obat ARV dan faktor individu mempengaruhi
kepatuhan terhadap ARV. Faktor individu dapat berupa lupa minum obat, bepergian jauh,
perubahan rutinitas, depresi atau penyakit lain, bosan minum obat, atau penggunaan
alkohol dan zat adiktif. Faktor obat ARV meliputi efek samping, banyaknya obat yang
diminum dan restriksi diet. Pendekatan khusus perlu diperhatikan pada populasi tertentu
seperti wanita hamil dan menyusui, remaja, bayi dan anak-anak, serta populasi kunci (LSL,
PS, dan Penasun).
Untuk menjaga kepatuhan secara berkala perlu dilakukan penilaian kepatuhan dan jika
diperlukan dapat dilakukan konseling ulang.
ODHA harus menggunakan ARV minimal 6 bulan sebelum dinyatakan gagal terapi dalam
keadaan kepatuhan yang baik. Kalau ODHA kepatuhan tidak baik atau berhenti minum obat,
penilaian kegagalan dilakukan setelah minum obat kembali secara teratur minimal 3-6 bulan
Dalam konseling ini, dokter dapat menganjurkan tes HIV (jika menemukan pasien TB,
orang berisiko tinggi (misal PSK)). Sebelum melakukan tes HIV, harus melakukan izin
untuk melakukan tes. Hasil tes harus diambil oleh dokter sendiri dan disampaikan
secara langsung oleh dkoter kepada pasiennya. Pasien berkumpul dengan kelompok
penanggulan AIDS untuk menguatkan dirinya.
Konseling dilakukan sebelum dan sesudah tes HIV dilakukan. Konseling pra-skrinning
bertujuan untuk memberi tahu pentingnya skrining dan supaya pasien siap
bagaimanapun hasil dari tesnya. Konseling post-skrining pada pasien dengan hasil
positif bertujuan untuk membantu pasien dalam mengambil keputusan untuk
terapi. Konseling post-skrining pada pasien dengan hasil negative bertujuan untuk
mengedukasi pasien agar mampu mempertahankan kondisi tidak berisiko seperti
menghindari narkoba, tidak berganti pasangan.
Prevalensi Strategi
Tujuan Pemeriksaan
Infeksi Pemeriksaan
Seluruh
Transfusi / Transplantasi I
prevalensi
>10% I
Surveillance
<10% II
Dengan gejala >30% I
klinis <30% II
Diagnosis
>10% II
Asimtomatik
<10% III
#SUMBER :
Sudoyo AW, et al. 2017. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6. Jakarta : Interna Publishing
National AIDS Control Programme National Institue of Health Islamabad. 2001. Counseling for HIV/AIDS :
The National guidelines diakses di http://www.nacp.gov. pada 6 Desember 2018