Anda di halaman 1dari 38

PERAN STRATEGIS PEMERINTAH DAERAH DALAM

PERCEPATAN PENGAKUAN HAK MASYARAKAT


ADAT ATAS TANAH DAN HUTAN

R. Yando Zakaria
Peneliti pada Pusat Kajian Etnografi Hak Komunitas Adat
(PUSTAKA),
Yogyakarta
LATAR BELAKANG
Konstitusionalitas pengakuan dan penghormatan atas
hak masyarakat adat
Amanat konstitusi Realisasinya…
•  II. Dalam territoir Negara •  Aspek Sosial-Budaya:
Indonesia terdapat lebih kurang 250 •  Masih ada sejumlah diskriminasi dalam hal
religi, kependudukan, dll. à proyek-proyek
“Zelfbesturende landschappen” pemukiman kembali
dan“Volksgemeenschappen”, •  Aspek Sosial-Ekonomi & Ekologis:
seperti desa di Jawa dan Bali, •  UU No. 5/1960 à Hak Ulayat cq, Hak
negeri di Minangkabau, dusun dan MHA diakui à Tapi tidak ada instrumen
operasionalnya à PP 24/2007, MHA
marga di Palembang dan belum jadi subyek huku; Hak ulayat belum
sebagainya. Daerah-daerah itu menjadi jenis hak à Permen Agraria No.
mempunyai susunan asli dan oleh 5/1999 baru soal penyelesaian konflik;
kriiteria MHA bersifat akumulatif
karenanya dapat dianggap sebagai •  Orde Baru: Membekukan Hak MHA
daerah yang bersifat istimewa. •  Aspek Sosial-Politik:
Negara Republik Indonesia •  Hingga reformasi ada 7 UU sebelum ini
menghormati kedudukan daerah- mengaturnya secara berbeda-beda à
terakhir adalah UU 5/79 ttg Pemdes yang
daerah istimewa tersebut dan disebutkan tidak sesuai dengan amanat
segala peraturan negara yang konstitusi à desa sbg unit politik (IGO/
IGOB) menjadi sekedar unit adminitrasi à
mengenai daerah itu akan MHA sbg subyek hukum makin lemah
mengingati hak-hak asal-usul
daerah tersebut”.
Hasil Amandemen UUD 1945
3 Elemen ‘hak asal-usul’ à ‘hak •  Pasal 18B ayat (2)
bawan’, bukan ‘hak berian’ •  Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.

Tatanan •  Pasal 28i ayat (3)


Tatanan •  Identitas budaya dan hak masyarakat
sosial-
sosial- tradisional dihormati selaras dengan
politik dan
budaya perkembangan zaman dan peradaban.
hukum
•  Pasal 32
•  Negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia
dengan menjamin kebebasan masyarakat
Tatanan Sosial- dalam memelihara dan mengembangkan
ekonomi & Ulayat nilai-nilai budayanya.
•  Negara menghormati dan memelihara
bahasa daerah sebagai kekayaan budaya
nasional.
(Arizona, 2014, dilengkapi RYZ)
Siapa Masyarakat adat? Masyarakat
Pasal 28I ayat (3) & Pasal
Tradisional & Masy
Daerah
32 (2) UUD 1945;

Pasal 18B ayat (2) UUD


Masyarakat Hukum
Adat
1945

UU No. 6 Tahun 2014,


berdasarkan pada Pasal
18B ayat (2) UUD 1945
Desa Adat

Masyarakat tradisional Genealogis (dan Organisasi sosial, wilayah


dan (Masyarakat) Daerah teritorial) hukum adat
Masyarakat hukum adat Genelogis dan teritorial Badan hukum perdata
Desa Adat Genealogis, teritorial Quasi-negara (badan hukum
dan fungsional publik); masyarakat hukum
Masalah pengaturan hak masyarakat adat atas
tanah (dan hutan)
•  Pengakuan bersyarat yang diperkenalkan oleh UUPA
5/1960
•  Mengenalkan logika hukum penetapan subyek sebelum
pengakuan oleh UUK 41/1999.

•  Akibatnya:
•  Terjadi perdebatan tanpa akhir tentangtentang defenisi, kriteria,
dan mekanime pengakuan hak-hak masyarakat:
•  Defenis yang beragam,
•  Kriteria yang beragam
•  Mekanisme yang beragam
Logika Pengakuan Hukum Hak Masyarakat Adat Atas Tanah/Hutan

Ulayat MHA
diakui jika
Hutan adat MHA ybs
bagian dari ditetapkan
ulayat MHA dalam Perda
= =
Hutan adat +++ ???
bukan hutan
negara =
+++
Beberapa pertanyaan mendasar
Siapa masyarakat (hukum) adat itu?
•  Masyarakat Adat adalah sekelompok orang
perseorangan yang hidup secara turun temurun di
wilayah geografis tertentu dan diikat oleh identitas
budaya, hubungan yang kuat dengan tanah,
wilayah dan sumber daya alam di wilayah adatnya,
serta sistem nilai yang menentukan pranata
ekonomi, politik, sosial, dan hukum, baik yang
diatur melalui suatu lembaga adat yang memiliki
otoritas untuk mengatur warganya maupun tidak,
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 (Rancangan RUU PHMA versi DPD RI 2018)
Dalam kehidupan sosial sehari-hari, masyarakat adat bukanlah sesuatu yang
tanpa nama (Zakaria & Arizona, dalam Arizona, 2014, disempurnakan)

‘desa’, Gampong, nagari, gampong, huta, Sub suku Dayak iban, kenyah,
marga/sumsel, kasepuhan, pekraman, beo, batak karo, caniago, koto,
nggolo, ngata, gelarang, kapala, binua, winua, jambak, kaili moma, sistem
ohoi, negeri, dll -> berpeluang ditetapkan sbg marga/Batak & Minahasa, dll
‘desa adat’ versi uu 6/2014 Og Desa

Individu Keluarga keluarga Sub- lareh/federasi Suku Jawa, R a s Negara,


‘anak baEh besar/ desa/ nagari di melanesia,
nagari’ ,
sunda, kerajaan,
Gabungan desa
‘anak adat’ Minangkabau melayu, austronesi kesultanan
keluarga, kecil:
kaum & jorong/ mukim/Aceh dayak, a
suku dlm buek, Ketemenggun kaili, bugis,
konteks dusun, gan/Kalteng mentawai,
Minangka kampung Lembang/ batak,
bau, dst Toraja
lamin/
dst..
betang
Masyarakat (hukum) adat dan hak ulayat
•  Hak Ulayat/Hak Wilayah Adat atau disebut
dengan nama lain adalah kewenangan
Masyarakat Adat untuk menguasai,
mengatur, mengelola, memanfaatkan, dan
mengawasi satu kesatuan wilayah
geografis dan sosial yang berupa tanah,
air, dan/atau perairan beserta sumber daya
alam dengan batas-batas tertentu secara
turun-temurun à hak ulayat yang bersifat
publik.
Hak Ulayat yang bersifat publik
•  Kewenangan komunitas atas tanah yang belum
dikerjakan;
•  Pengaturan pemanfaatan tanah komunitas oleh pihak
luar;
•  Pengaturan pembayaran atas penggunaan tanah
komunitas;
•  Kewenangan komunitas atas tanah yang sedang
dibudidayakan;
•  Tanggungjawab teritorial kolektif terhadap pihak luar; dan
•  Keabadian hak-hak komunitas.
Meski begitu…
•  Hak masyarakat adat tidak melulu berupakan hak ulayat yang
bersifat publik, melainkan juga ada yang bersifat privat/perdata
semata.
•  Masing-masing jenis hak masyarakat adat bisa saja merujuk
pada subyek hak yang berbeda-beda.
•  Oleh sebab itu, suatu politik hukum yang hanya berorientasi
pada pengakuan suatu susunan masyarakat yang bersifat
publik bisa saja akan menimbulkan persoalan baru.
•  Dalam arti, khususnya dalam masyarakat adat di mana
susunan masyarakat adat yang bersifat sudah memudar atau
malah sdh hilang sama sekali, pengakuan hak masyarakat
adat yang bersifat perdata tidak dapat dilaksanakan.
•  Butuh mekanisme pengakuan hak masyarakat adat yang
beragam.
Konstelasi kebijakan hari ini
Konstelasi pengakuan hak masyarakat adat atas tanah dan hutan

Permenagraria
5/1999 (sudah
tidak berlaku)

Perpres Permendagri
88/2017 52/2014

PermenATR/
Permen LHK
KaBPN
32/2015
10/2016
Masalah implementasi kebijakan yang dihadapi
•  Defenisi masih bersifat generik, tidak dilengkapi contoh-contoh
yang spesifik. Penyakit ini terbawa-bawa hingga daerah
•  Persyaratan keberadan masyarakat adat yang multi tafsir
•  Ketentuan pemenuhan kriteria yang bersifat komulatif
sementara masyarakat terus berubah
•  Menggunakan logika penetapan subyek mendahului
pengakuan obyek à menghadapi kendala kuantitas, kapasitas,
dan kualitas
•  Mengutamakan masyarakat hukum adat sebagai suatu entitas
yang bersifat publik yang berwajah tunggal ketimbang sebagai
entitas sosial budaya yang berwajah beragam
•  Sangat birokratik, teknokratik, dan sentralistik; mengutamakan
putusan ‘pihak luar’ ketimbang merekognisi realitas sosio-
antropologis di tingkat lapangan à self identification?
•  Berbiaya mahal
•  Out of authority (kasus PermenATR 10/2016)
REALITAS SOSIO-ANTROPOLOGIS
MASYARAKAT (HUKUM) ADAT DAN TANAH
ULAYAT DI TINGKAT LAPANGAN
Tanah Adat Batak Toba (Simbolon, 1998, Simanjuntak &
Situmorang, 2004; dan Kartini Sjahrir-Pandjaitan, et.al., 2017)

Subyek hak Obyek hak

•  Bius (+/-) •  tano rimba dan harangan, dan


•  Partolian (+/-) hutan muda (tombak atau rabi)
•  parhutaan
•  Golat (+/-)
•  saoa atau hauma
•  Huta (+/-), dengan
•  Jalangan (padang rumput) dan
•  Marga raja, sebagai jampalan (tempat
pemangku hak utama, dan (pengembalaan)
•  marga boru, sebagai para •  Arena cadangan (Hauma
pihak yang mendapatkan harajaon, tombak ripe, dll)
hak untuk turut •  Daerah suci (parsombaonan,
memanfaatkan dan/atau solobean, parbeguan, saba
dapat memilikinya. parhombanan, dll.)
Asal-usul penguasaan tanah:
Tarombo sebagai sumber sejarah tanah
•  Pembukan lahan
•  Lahan huta induk sudah sempit sehingga huta baru perlu didirikan
•  Adanya tradisi mengajurkan anak laki-laki sudah menikah untuk
hidup mandiri (manjae) dengan keluarganya; dan
•  Adanya perperangan atau perkelahian antar-saudara sehingga
salah satu pihak harus pindah keluar dari huta à Pengusiran
•  Pewarisan
•  Jual- Beli (ulos tu piso)
•  Pemberian
•  Gadai (dondon)
•  Kontrak
Masyarakat Minangkabau
Subyek Hak Objek Hak: Jenis hak/kewenangan & ‘pemegang kuasa-
Tanah dan SDA lainnya nya’
Individu à -  Sakalian nego hutan tanah -  Panghulu andiko
sainduak/ (sekalian nega tanah dan
hutan)
samandeh à -  Kewenangan untuk mewakili, mengatur
-  Mulai dari batu jo pasie nan
paruik à jurai pengelolaan, mengumpulkan/memungut hasil,
saincek (mulai dari dari batu
dan pasir yang sebutir) dan pengelolaan hasil bagi kepentingan
(genealogis) -  Rumpuik nan sahalai (rumput bersama.
yang sehelai)
-  Jirek nan sabatang (pohon
Kaum/buah jarak yang sebatang) -  Mamak Kapalo Warih (yang adalah panghulu
gadang -  Ka atehnya taambun jantan andiko yang diangkat menjadi ketua panghulu
(ke atasnya terembun jantan) andiko yang ada pada kaum tertentu)
(genealogis) -  Ka bawah sampai takasiak
bulan (ke bawahnya hingga
Hindu/Suku pasir bulan) -  Mamak Kapalo Warih
pusako -  Pangkek panghulu punyo
ulayat (pangkat penghulu
(taratak à -  ‘Pemerintah nagari’
punya ulayat cq. kuasa)
dusun à koto) (Dt. Rajo Penghulu, 1997: 209)
-  KAN (Perda No. 13 Tahun 1983 à masa Orde
à Nagari Terkait dengan keuangan/ Baru, pasca UU 5/1979)
pendapatan Pemerintahan -  Wali Nagari (Perda Nagari Tahun 2000) à
(genealogis Nagari: Bungo kayu, bungo pasie, Perda kembali ke nagari
dan teritorial) bungo batu, bungo karang à -  Kembali ke KAN menurut versi Perda Nagari
Zaman Orba: retribusi kayu, No. 2 Tahun 2007 yang hakekatnya adalah
damar, rotan, karet, cengkeh, kulit ‘Perda kembali ke desa)
manis, dsb.
Pembagian Tanah Adat di Kabupaten
Maluku Tenggara (Matuankotta, 2018)
• Petuanan kampung (Utan, Bilan,
Ohoinuhu)
• Petuanan Marga/ Soa (rahan faam
atau buuk faam)
•  Tanah keluarga pati
•  Tanah pekarangan/
•  Kintal
Simulasi secara matematis…
• 800 nagari;
• 3.200 suku; dan
• 32.000 kaum
• Subyek hak mana yang harus di-
perda-kan?
ANALISIS
Tantangan masyarakat adat dalam memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan yang ada saat ini
•  Susunan masyarakat adat sebagai subyek hukum atas tanah ulayat sangatlah beragam.
•  Organisasi sosial yang memiliki kewenangan dan kecakapan untuk mengurus urusan publik, seperti
bius dan huta dalam masyarakat Batak Toba misalnya, relatif sudah sejak lama memudar dan saat
ini lebih banyak berfungsi sebagai identitas sosial-budaya saja. Misalnya dalam konteks
penyelenggaraan paradotan (kegiatan yang berhubungan dengan upacara adat).
•  Dalam kasus masyarakat Batak Toba urusan penguasaan tanah berpusat kepada sistem
kekerabatan yang berpusat pada marga raja bersama marga boru-nya.
•  DI Minangkabau, sistem nagari relatif bertahan. Namun, di luar ulayat nagari, terdapat pula ulayat-
ulayat suku dan kaum.
•  Hasil berbagai kajian menunjukkan bahwa kapasitas masing-masing unit sosial tersebut untuk
mengakses proses politik legsilasi di parlemen daerah ataupun di ranah eksekutif relatif sangat
terbatas. Dalam banyak kasus pengakuan keberadaan masyarakat adat dalam beberapa tahun
belakangan ini menunjukkan bahwa perlu pendampingan dr pihak luar yang memutuhkan waktu
lama dan anggaran yang tidak kecil.
•  Adakalanya proses memperoleh produk hukum daerah mengalamu kendala yang bersumber pada
tata-krama adat yang sulit untuk dilangkahi oleh pejabat negara, yang bisa berdampak secara
sosial-budaya dan juga dukungan politik.
•  Oleh karenanya, pemberian otoritas penetapan pada pihak lain rawan menimbulkan konflik
harizontal, padahal sudah tersedia mekanisme internal untuk menentukan keabsahan klaim
parapihak dalam komunitas yang bersangkutan.
•  Padahal eksistensi masing-masing unit sosial dimaksud dapat dikonformasi oleh berbagai unit
sosial yang ada di lapangan itu sendiri.
Dengan demikian,
•  Pelaksanaan peraturan perundang-undangan terkait
pengakuan hak masyarakat adat atas tanah mengalami
hambatan dari sisi kuantitas (begitu banyaknya subyek hak
yang harus diakui), kapasitas (kemampuan masing-masing
subyek hak itu mengakses proses-proses politik legislasi dan
eksekutif); dan kualitas (akumulasi pengetahuan tentang
susunan masyarakat adat dan obyke haknya)
•  Oleh sebab itu perlu dicari terobosan-terobosan hukum
(daerah) yang lebih memudahkan masyarakat adat, karena
pada dasarnya hak masyarakat adat atas tanah adalah hak
konstitusional yang harus diupayakan pelaksanaannya oleh
pemerintah.
•  Terobosan itu dapat dilakukan melalui penyusunan dan
penetapan “Peraturan Daerah tentang Susunan Masyarakat
Adat dan Tata Cara Pelindungan Hak Masyarakat Adat atas
Tanahnya”
Situasi lapangan hari ini…
•  Dari sisi tipologi perkembangan sistem sosial dan
budayanya (Koentjaraningrat, 1970), masyarakat adat di
Indonesia itu berada dalam kategori yang berbeda-beda
satu sama lainnya; berada dalam rentang masyarakat
berburu dan meramu (nomaden) dan masyarakat urban.
•  Sementara itu, hak-hak masyarakat adat cq. hak ulayat
cq. hak komunal ada yang bersifat komunal publik dan
komunal privat.
•  Pada saat yang bersamaan, perubahan kebudayaan,
termasuk perubahan tata kuasa atas lahan merupakan
suatu yang niscaya (Simbolon, 1998; Pusat Kajian
Pembangunan Masyarakat Atma Jaya, 1998).
Empat kemungkinan pengakuan hak-hak
masyarakat adat atas tanah (dan lingkungan)
•  Pencadangan lahan yang akan menjadi wilayah kehidupan
suatu masyarakat adat (model ini berlaku untuk masyarakat
adat dengan tipologi sosial dan budaya berburu dan meramu
atau nomaden).
•  Pendaftaran atas suatu wilayah yang menjadi ulayat suatu
kesatuan masyarakat hukum adat tertentu (artinya suatu
masyarakat adat yang masih memiliki struktur pemerintah adat,
sebagaimana yang dimaksudkan sebagai ‘desa adat’ yang
telah diatur dalam UU Desa 6/2014 dan/atau Permendagri
52/2014.
•  Pemberian sertifikat hak milik bersama (hak komunal) cq.
pengakuan hal ulayat yang bersifat privat (sebagaimana yang
dimaksudkan oleh Permen ATR 10 Tahun 2016).
•  Penerbitan SHM berdasarkan sejarah tanah yang berpangkal
pada hak-hak adat pada masa sebelumnya.
PELUANG PEMERINTAH DAERAH PROPINSI/
KABUPATEN/KOTA UNTUK MEMPERCEPAT
PENGAKUAN HAK MASYARAKAT ADAT ATAS
TANAH DAN HUTAN
UUPA 5 Tahun 1960 Pasal 2 ayat (4)
• Hak menguasai dari Negara tersebut di
atas pelaksanaannya dapat dikuasakan
kepada daerah-daerah Swatantra dan
masyarakat-masyarakat hukum adat,
sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan
nasional, menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah
UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)
TUGAS DAN KEWENANGAN PEMERINTAH

MENETAPKAN KEBIJAKAN MENGENAI TATA CARA


PENGAKUAN KEBERADAAN MASYARAKAT HUKUM ADAT,
KEARIFAN LOKAL, DAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT
YANG TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN DAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (Pasal 63 (1) huruf t)

PEMERINTAH PROVINSI
MENETAPKAN KEBIJAKAN MENGENAI TATA CARA PENGAKUAN
KEBERADAAN MASYARAKAT HUKUM ADAT, KEARIFAN LOKAL,
DAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT YANG TERKAIT DENGAN
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
PADA TINGKAT PROVINSI. (PASAL 63 (2) huruf n)

PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA
MELAKSANAKAN KEBIJAKAN MENGENAI TATA CARA
PENGAKUAN KEBERADAAN MASYARAKAT HUKUM ADAT,
KEARIFAN LOKAL, DAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT
YANG TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN DAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP PADA TINGKAT
KABUPATEN/KOTA (Pasal 63 (3) huruf k)
UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Kewenangan dalam Bidang Lingkungan Hidup)
UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Kewenangan dalam Bidang Pertanahan)
Pengalaman baik masa lampau:
Permenagraria 5/1999
•  BAB II:
•  PELAKSANAAN PENGUASAAN TANAH ULAYAT
•  Pelaksanann hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih
ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan
menurut ketentuan hukum adat setempat.
•  Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada
apanbila :
•  terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan
hukm adatnya sebgai warga bersama suatau persekutuan hukum
tertentu, yang mengakui dan menerpkan ketentuan-ketentuan
persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,
•  terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para
warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil
keperluan hidupnya sehari-hari, dan
•  terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguaasaan
dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para
warga persekutuan hukum tersebut.
Permenagraria 5/1999
•  BAB III:
•  PENENTUAN MASIH ADANYA HAK ULAYAT DAN PENGATURAN
LEBIH LANJUT MENGENAI TANAH ULAYAT YANG
BERSANGKUTAN
•  Pasal 5
•  Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan
mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat
yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya
Masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam.
•  Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dinyatakan dalam peta dasar
pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan,
apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta
mencatatnya dalam daftar tanah.
•  Pasal 6
•  Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal 5 diatur dengan
Peraturan Daerah yang bersangkutan.
Kelemahan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5/1999
•  Hanya mengatur tanah komunal; padahal tanah adat juga mencakup
tanah-tanah perorangan;
•  Menggunakan kriteria yang bersifat komulatif dan relatif tidak pro-
perubahan à Melalui sebuah penelitian pernah dinyatakan bahwa di suatu
kabupten yang mayoritas dihuni oleh Orang Dayak namun di wilayah itu
tidak sama sekali tidak ada lagi masyarakat (hukum) adat lagi.
•  Hanya berlaku di luar kawasan hutan. Padahal tanah adat yang tersisa
justru berada di kawasan hutan. Tanah-tanah adat di luar kawasan hutan
relatif sudah habis dibagi menjadi tanah-tanah pribadi/keluarga
berdasarkan alas hak yang diatur dalam UUPA 5/1960 dan peraturan
pelaksanaannya;
•  Pengakuan tanah masyarakat hukum adat tidak berlaku surut. Padahal,
umumya, tanah-tanah adat yang hendak diklaim ulang itu telah dibebani
hak-hak lain yang diberikan negara berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang tidak ramah pada hak-hak masyarakat adat itu;
•  Mekanisme pembuktian yang dibutuhkan relatif rumit, tidak bisa dilakukan
sendiri oleh masyarakat hukum adat;
•  Posisi masyarakat hukum adat yang relatif lemah dalam proses
pengambilan keputusan; dan
•  berbiaya tinggi.
Strategi ke Depan
•  Reinterpretasi kebijakan Nasional di tingkat daerah.
•  Proses penyusunan kebijakan di bawah supervisi KemenATR dan
KemenLHK.
•  Pemberlakukan Peraturan Daerah tentang Susunan Masyarakat Adat
dan Tatacara Pengakuan Hak Masyarakat Atas Tanahnya.
•  Kebijakan dimaksud berlaku baik pada kawasan budidaya maupun
kawasan hutan tanpa harus mengubah fungsi kawasan dimaksud.
•  Perda juga mengatur implikasi pengakuan hak masyarakat adat atas
atanh/hutan
•  Arah penerbitan sertifikat ke depan:
•  Ulayat bersifat publik : Hak Pengelolaan?
•  Ulayat bersifat privat : Hak Milik Bersama?
•  Dalam rangka pemanfaatan, di atas masing-masing hak dapat saja diberikan
Hak Pakai kepada pihak ketiga dengan syarat-syarat yang disepakatai oleh
kedua pihak.
Langkah-langkah
•  Kajian Kerangka Hukum Pendukung di Tingkat Nasional
•  Studi Etnografi Tanah Adat
•  Penyusunan Naskah Akademik, dengan Ruang Lingkup
Pengaturan:
•  Landasan Hukum
•  Rincian Obyek, Subyek, dan Jenis Hak Atas Tanah Adat
•  Kelembagaan
•  Pendanaan
•  Mekanisme Penyelesaian Sengketa
•  Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Tata
Cara Pengakuan dan Pendaftaran Tanah Adat.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai