Anda di halaman 1dari 21

KRIOPRESERVASI PERBANDINGAN METODE

VITRIFIKASI DAN SLOW FREEZING TERHADAP


TINGKAT PEMBELAHAN, MORFOLOGI DAN
VIABILITAS EMBRIO

Oleh

INTAN KUMALA NINGTYAS


NIM. 061714153001

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOLOGI REPRODUKSI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Beberapa upaya dalam perbaikan mutu diantaranya dengan meningkatkan

kualitas genetik. Akan tetapi hal ini menemui beberapa kendala, diantaranya

seleksi atau upaya perbaikan mutu genetik untuk mendapatkan breed baru yang

unggul memerlukan waktu yang sangat lama, mahal, dan hasilnya kadang-

kadang tidak memuaskan. Pada Negara yang sudah maju perbaikan mutu

genetik biasanya dilakukan dengan memanfaatkan berbagai metode dan cara

yang sangat canggih, seperti manipulasi embrio (MOET, IVF, splitting embrio,

cloning, sexing sperma/embrio dan lain-lain), maupun penggunaan metode

seleksi dengan cara Best Linier Unbiased Prediction (BLUP) ataupun

memanfaatkan teknologi penciri DNA (quatitative trait loci/QTL) (Supriatna

dan Pasarribu, 1992).

Indonesia sendiri aplikasi Transfer Embrio juga mulai dikembangkan.

Menurut literatur teknologi fertilisasi in Vitro (IVF) saat ini masih dilakukan

dengan memanfaatkan oosit segar, namun kendala yang dihadapi adalah oosit

mamalia memiliki daya tahan hidup yang sangat terbatas sehingga tidak dapat

disimpan dalam waktu yang lama pada suhu kamar. Produksi embrio dapat

dilakukan secara in vivo maupun in vitro. Keberhasilan teknik Transfer Embrio

dengan menggunakan baik secara in vivo maupun in vitro ditunjukkan dengan

keberhasilan menghasilkan anak yang dilahirkan dengan kualitas yang

diinginkan. Transfer embrio dilakukan dengan beberapa tahap yaitu dengan

1
evaluasi embrio dan klasifikasi dari embrio, maturasi atau pematangan embrio

dan beberapa tahapan lainnya (Laswardi, 1995).

Secara teoritis, kriopreservasi berasal dari kata krio yang berarti beku, dan

preservasi yang berarti penyimpanan pada temperatur rendah. Jadi

kriopreservasi adalah teknik penyimpanan materi genetik dalam keadaan beku

pada temperatur rendah atau suatu teknik penyimpanan sel hewan, tumbuhan

dan materi genetika lainnya (termasuk semen dan oosit) dalam keadaan beku

melalui reduksi aktivitas metabolisme tanpa mempengaruhi organel-organel di

dalam sel, fungsi fisiologi, biologi, dan morfologi (Rall, 1992).

Kriopreservasi adalah suatu proses penghentian untuk sementara kegiatan

hidup dari sel tanpa mematikan fungsi sel, dimana proses hidup dapat berlanjut

setelah pembekuan dihentikan. Teknik kriopreservasi pada berbagai sel,

jaringan, dan organ telah banyak dilakukan, demikian juga dengan

kriopreservasi embrio. Salah satu cara penyediaan embrio yang telah banyak

dilakukan adalah pengawetan dengan metode freezing atau pembekuan dengan

cara slow freezing, rapid freezing, dan ultra rapid freezing. Namun, saat ini

telah dikembangkan pembekuan embrio dengan metode vitrifikasi yang lebih

mudah dilakukan dan jauh lebih sederhana (Rall, 1992).

Secara umum, mekanisme kriopreservasi merupakan perubahan bentuk

fisik timbal balik dari fase cair ke padat dan kembali lagi ke fase cair.

Mekanisme fisika kriopreservasi meliputi penurunan temperatur pada tekanan

normal disertai dengan dehidrasi sampai tingkat tertentu dan mencapai

temperatur jauh di bawah 0°C (-196 °C). Proses ini harus reversibel ke kondisi

2
fisiologis awal. Tujuan kriopreservasi adalah mempertahankan sesempurna

mungkin sifat-sifat material biologis terutama viabilitasnya (Rall, 1992).

Prinsip kriopreservasi yaitu pengeluaran sebagian besar air dari sel-sel

sebelum terjadinya pembekuan, sehingga terjadi penurunan volume air dalam

sel, perubahan air menjadi es, dan peningkatan konsentrasi larutan di dalam dan

di luar sel. Secara umum terdapat dua metode pembekuan yang telah

dikembangkan, yaitu metode kriopreservasi konvensional dan metode

vitrifikasi. Metode konvensional sangat menekankan pada pembekuan lambat,

sehingga berpeluang besar terbentuk kristal es. Metode ini memerlukan alat

pembekuan terprogram untuk mengatur proses dehidrasi sel dan kecepatan

pembekuan. Metode vitrifikasi, pembekuan embrio dilakukan secara cepat pada

temperatur -196°C dengan menggunakan krioprotektan konsentrasi tinggi

sehingga dapat menghindari terbentuknya kristal es yang dapat

merusak membran sel saat pembekuan. Pembekuan embrio dengan metode ini

dapat dilakukan dengan lebih murah (tidak diperlukan peralatan yang mahal),

prosedur yang mudah, dan cepat (Fulton, 2006).

Mekanisme fisik kriopreservasi meliputi penurunan temperatur dalam

keadaan tekanan normal disertai dengan dehidrasi sampai tingkat tertentu dan

mencapai temperatur deep freezing. Proses ini harus revelsibel ke keadaan

fisiologis. Tujuannya mempertahankan sesempurna mungkin sifat-sifat

meterial biologis, terutama viabilitasnya. Keberhasilan pembekuan embrio

tergantung dari jenis embrio melalui upaya manipulasi media (krioprotektan),

percepatan derajat pendinginan, pengaturan suhu

3
selama pemaparan, pendinginan, penyimpanan, dan pencairan. Dalam

penyedian krioprotektan yang harus diperhatikan adalah faktor konsentrasi.

Embrio yang telah dibekukan dapat ditumbuhkembangkan kembali secara in

vitro melalui metode kultur atau secara in vivo melalui metode transfer embrio

(Fulton, 2006).

Makalah ini membahas tentang perbandingan metode vitrifikasi dan slow

freezing kriopreservasi embrio dilihat dari tingkat pembentukan kristal es

intraselluler yang dapat mempengaruhi struktur sel, dehidrasi yang dapat

menimbulkan presipitasi, koagulasi, hancurnya struktur molekul, kenaikan

permeabilitas dan viskositas serta gangguan keseimbangan ion, perubahan fisik-

kimiawi diantaranya presipitasi, denaturasi, koagulasi dari protein, disosiasi ion

dan kehilangan sifat-sifat adsorbtif atau sifat pengikat air.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah ada pengaruh metode kriopreservasi menggunakan slow freezing

dan vitrifikasi dari tingkat pembelahan embrio?

2. Apakah ada pengaruh metode kriopreservasi menggunakan slow freezing

dan vitrifikasi dari tingkat morfologi embrio?

3. Apakah ada pengaruh metode kriopreservasi menggunakan slow freezing

dan vitrifikasi dari tingkat viabilitas embrio?

1.3 Tujuan

1. Mempelajari perbedaan metode kriopreservasi menggunakan slow freezing

dan vitrifikasi terhadap pembelahan embrio.

4
2. Mempelajari perbedaan metode kriopreservasi menggunakan slow freezing

dan vitrifikasi terhadap morfologi embrio.

3. Mempelajari perbedaan metode kriopreservasi menggunakan slow freezing

dan vitrifikasi terhadap viabilitas embrio.

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari makalah ini adalah untuk memberi kajian

ilmiah tentang metode kriopreservasi yang efisien antara metode slow

freezing dan vitrifikasi terhadap pembelahan, morfologi dan viabilitas

embrio.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian dapat digunakan metode kriopreservasi yang efektif

pada laboratorium IVF untuk transfer embrio.

2. Hasil penelitian dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi

reproduksi pada berbagai peternakan di Indonesia.

5
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Perbandingan Vitrifikasi Dan Freezing Konvensional Untuk


Kriopreservasi Embrio Kambing
Kriopreservasi memungkinkan konservasi sifat fisik dan fungsional dari

berbagai jenis sel dan jaringan untuk waktu yang tidak terbatas. Gamet dan

embrio preimplantasi dapat dikristalisasi dengan baik. Teknologi ini sebagian

besar digunakan pengaturan ilmiah dan komersial untuk berbagai aplikasi,

misalnya untuk menyimpan materi genetik yang berharga, untuk melestarikan

spesies yang terancam punah, dan untuk memudahkan transportasi plasma

nutfah sambil mengurangi risiko penularan penyakit. Pembekuan

konvensional menggunakan slow freezing curves dan kryoprotektan dari

osmolaritas rendah dan vitrifikasi, yang ditandai dengan paparan sel-sel untuk

kryoprotektan osmolaritas tinggi dan transfer langsung ke nitrogen cair

(Massip, 2001).

Variasi teknis telah diuji untuk meningkatkan kelangsungan hidup

embrio kambing setelah vitrifikasi atau pembekuan konvensional.

dimethylformamide (DMF) telah diuji untuk membekukan semen kambing

tetapi potensinya untuk vitrifikasi embrio masih harus diuji. Tujuan dari

penelitian tersebut adalah untuk membandingkan dua metode yang berbeda

yaitu vitrifikasi dengan pembekuan konvensional menggunakan embrio

kambing yang diproduksi in vivo. Metodologi dibandingkan dengan viabilitas

embrio pada tingkat morfologi dan ultrastruktural dan secara fungsional dan

diuji untuk tingkat ekspansi embrio yang diwarming/thawing (Dike, 2009).

6
Pada tahap awal penelitian dilakukan seleksi donor terdapat tiga puluh

kambing Boer, dengan usia rata-rata 4,1 tahun, dan karakteristik gizi yang

memadai (skor tubuh minimal 3,0) digunakan dalam penelitian. Kemudian

dilakukan sinkronisasi estrus kemudian diinjeksi pregesteron 0,33 g pada hari

ke 4 dan treatment follicle stimulating hormone (FSH) pada hari ke 9 dibagi

menjadi enam dosis penurunan yang diberikan dalam interval 12 jam. Dosis

200 IU dari equine chorionic gonadotropin (eCG) diberikan (Foligon,

Intervet) pada hari ke 13. Dua dosis 0,15 mg Dcloprostenol diberikan pada

hari ke 11 dan 13 (El Gayar and Holtz, 2001).

Tahap koleksi embrio dan evaluasi dilakukan dengan pengumpulan hari

ke 7 setelah onset estrus bertujuan untuk memulihkan embrio di fase morula

untuk memperluas tahap blastosist. Embrio dikelompokkan dalam beberapa

kelas: kelas I (sangat baik), II (baik), III (buruk), dan IV (mati). Embrio kelas

I dan II dipilih untuk percobaan lebih lanjut (Al Yacoub et al., 2010).

Tahapan embrio kriopreservasi diawali dengan convensional freezing

dimana Embrio disimpan dalam larutan Ethylene Glycol Freezer Plus

(Nutricell, Bioniche, USA) selama 5 menit dan dimuat dalam 0,25 ml sedotan.

Embrio dibekukan menggunakan freezer embrio otomatis (TK 3000,

Uberaba, Brasil). Kurva pembekuan terdiri dari –1,0 °C/menit hingga –6 °C.

Proses pembenihan dilakukan ketika –6°C tercapai. Setelah 10 menit,

pembekuan dilanjutkan dengan memprogram ulang ke –0,5 °C/menit hingga

–32 °C. Setelah stabil pada -32 °C, embrio direndam dalam nitrogen cair (–

196 °C). Tahahap selanjutnya Vitrifikasi di open-pulled straws (OPS) dimana

7
larutan vitrifikasi disiapkan dengan menggunakan larutan basal dari media

TCM-199 yang mengandung HEPES yang dilengkapi dengan 20% FBS (H-

TCM). Embrio pada awalnya disimpan di H-TCM selama 5 menit. Segera

setelah itu, embrio dari kelompok DMSO/EG dipindahkan ke larutan etilen

glikol (EG) 10% dan DMSO 10% dan ditransfer ke 20% EG + 20% DMSO +

0,5 M larutan sukrosa masing-masing selama 1 menit. Embrio dari kelompok

DMF/EG dipindahkan ke 10% larutan EG dan 10% DMF selama 1 menit dan

dipindahkan ke 20% EG + 20% DMF + 0,5 M larutan sukrosa untuk tambahan

1 menit. Setelah proses ini, embrio dari kedua kelompok larutan vitrifikasi

kedua, solusi yang mengandung satu atau dua embrio ditransfer ke OPS dan

diklasifikasikan. Segera setelah itu, sedotan dipindahkan ke nitrogen cair dan

disimpan hingga digunakan lebih lanjut (Stringfellow and Seidel, 1998).

Embrio di thawing pada suhu kamar selama 10 detik dan direndam dalam

air pada suhu 37 °C selama 20 detik. Embrio di thawing disimpan dalam

media hangat selama 5 menit dan kemudian dievaluasi. Setelah dikeluarkan

dari nitrogen cair, sedotan direndam dalam larutan pemanasan dengan ujung

yang lebih tipis menghadap ke bawah kurang dari 3 detik. Penghapusan

kryoprotektan dilakukan di empat-well yang mengandung medium H-TCM

yang dilengkapi dengan 0,33 M sukrosa (wells 1 dan 2). Embrio disimpan di

dalam well (1 dan 2) masing-masing selama 1 menit, ditransfer kelarutan

mengandung H-TCM + 0,2 M sukrosa selama 1 menit, dan selama 5 menit

dalam H-TCM. Viabilitas seluler dinilai dengan pewarnaan propidium iodida.

Blastokista dikultur selama 10 menit, diinkubasi selama 5 menit dalam DPBS

8
mengandung 1% BSA dan 125 mg ml − 1 dari propidium iodida dan

selanjutnya dipindahkan ke slide yang mengandung DPBS dengan 100 mg ml

− 1 Hoechst 33342. Sel yang diwarnai dengan propidium iodida dianggap

tidak dapat hidup (sel merah atau merah muda) (Vajta, 2000).

Studi ultrastructural dengan transmisi mikroskop elektronik dilakukan

dengan embrio difiksasi dalam larutan Karnovsky (2 jam pada 4 ° C), dicuci

dalam 0,1 M buffer sodium cacodylate (pH 7,4), dan dipostfixed dalam 1%

osmium tetroxide. Setelah dehidrasi dalam meningkatkan konsentrasi etanol,

embrio ditanam di epon resin. Bagian ultra-tipis diperoleh dengan pisau

diatome. Bagian dipasang pada kelas tembaga dan diwarnai dengan uranil

asetat dan timbal sitrat. Sampel diperiksa dan difoto menggunakan mikroskop

elektron. Embrio kriopreservasi dicairkan atau dipanaskan sesuai dan secara

morfologis dievaluasi sebelum kultur in vitro (IVC). Ketahanan embrio diberi

skor pada 6, 12, dan 24 jam setelah onset IVC. Viabilitas embrio ditentukan

oleh ekspansi blastocoel (Chen and Tian, 2005).

Hasil dari penelitian menunjukkan vitrifikasi DMSO/EG adalah metode

kryopreservasi yang paling efisien untuk embrio kambing dan memperkuat

variasi spesies-efek pada gamet dan embrio hasil kriopreservasi. Perbedaan

antara DMF/EG dan DMSO/EG vitrifikasi pada kualitas embrio

menunjukkan bahwa, pada tingkat mekanistik perbedaan keduanya berasal

dari potensi untuk menghindari kerusakan osmotik. DMSO/EG menghasilkan

kelangsungan hidup sel yang lebih tinggi dan viabilitas embrio secara

keseluruhan. Penggunaan DMF/EG atau DMSO/EG mempertahankan

9
struktur sel dan viabilitas organel dengan efisiensi yang sama, dengan

demikian mengesampingkan peristiwa toksisitas lain yang diamati seperti

kerusakan membran dan sitoskeleton (Alvarenga et al., 2005).

2.2 Metode Pembekuan Embrio Dari Tahap Pembelahan Tidak Berpengaruh


Pada Berat Badan Kelahiran
Dua teknik kriopreservasi terutama digunakan di laboratorium IVF dalam

metode slow freezing, suhu menurun sedikit demi sedikit perlahan-lahan sampai

−30 °C dan kemudian dengan cepat sampai −150 °C, sedangkan dalam

vitrifikasi, suhu dikurangi menjadi −196 °C dengan cara langsung terkena

nitrogen cair. Teknik sebelumnya membutuhkan peralatan yang mahal,

sementara yang terakhir melibatkan lebih banyak tenaga kerja. Kerugian dari

slow freezing adalah pembentukan kristal es yang mempengaruhi embrio ke

kerusakan sel selama pencairan. Kryoprotektan digunakan untuk menyebabkan

hilangnya air intraseluler, sehingga menurunkan pembentukan kristal es. Dalam

vitrifikasi, konsentrasi kryoprotektan yang lebih tinggi digunakan untuk jangka

waktu singkat sebelum pendinginan cepat dibandingkan dengan pembekuan

lambat. Pembentukan kristal es dihambat karena zat terlarut berubah menjadi

struktur seperti kaca yaitu zat terlarut vitrifik (Edgar and Gook, 2012).

Beberapa laboratorium IVF menerapkan kedua teknik kriopreservasi.

Efek yang mungkin dari teknik-teknik kriopreservasi pada berat lahir dapat

menunjukkan perubahan epigenomik dalam embrio, dengan implikasi lebih

lanjut. Peneliti melakukan penelitian retrospektif untuk menyelidiki efek

metode pembekuan pada berat lahir. Kemungkinan efek teknik kriopreservasi

10
yang digunakan pada tingkat keguguran dan tingkat persalinan. Penelitian ini

termasuk embrio yang terawetkan dengan kryopreservasi slow freezing.

Perbedaan antara berat rata-rata bayi dari transfer embrio beku dan vitrifikai

dianggap signifikan secara klinis ketika melebihi 100 g. Perbedaan antara berat

lahir dan berat referensi usia gestasional dan gender yang disesuaikan

dinyatakan sebagai skor standar deviasi (skor-SD) (Rezazadeh et al., 2009).

Awal penelitian dengan hiperstimulasi ovarium terkontrol yang dicapai

dengan menggunakan agonis dan antagonis. FSH rekombinan digunakan untuk

menginduksi pertumbuhan folikel, dan hCG diberikan ketika folikel utama

mencapai 18 mm dalam pemberian agonis sedangkan 17 mm dalam pemberian

antagonis. 36 jam setelah injeksi hCG, oosit dikumpulkan menggunakan

transvaginal ultrasound dipandu dengan tusukan. Pemberian progesteron

didukung secara vaginal dan transfer embrio dengan pemantauan ultrasound.

Media kultur terdiri dari Origio (MålØv, Denmark) atau Vitrolife (Gothenburg,

Swedia). Pemupukan yang berhasil dikonfirmasi 16 sampai 18 jam setelah

inseminasi (HPP). Zigot yang biasanya dibuahi dikultur dalam media sekuensial

menggunakan ISM1 ™ (Origio) hingga hari ke-2 dan BlastAssist ™ (Origio)

dari hari ke-2 hingga ke-3, atau G-1 ™ PLUS (Vitrolife) sampai hari ke-3

(Martínez et al., 2010).

Embrio tahap pembelahan dievaluasi pada hari transfer embrio segar pada

hari 2 atau 3 dari kultur. Satu atau dua dari embrio kualitas terbaik dipilih untuk

transfer embrio segar dan sisa embrio berkualitas baik dipilih untuk

kriopreservasi baik dengan slow freezing atau vitrifikasi. Slow freezing

11
dilakukan sesuai dengan petunjuk dari pabrik menggunakan Embryo Freezing

Pack (Origio) dan metode slow freezing standar. Laju pendinginan dikontrol

oleh Freeze Control (Cryologic Ltd., Mulgrave, Australia) alat pembekuan

nitrogen cair. Thawing dilakukan menggunakan Embryo Thawing Pack

(Origio). Krioprotektan meliputi propilena glikol dan sukrosa. Vitrifikasi dan

warming dilakukan sesuai dengan petunjuk dari pabrik (VitriFreezeES ™,

VitriThawES ™, FertiPro, Beernem, Belgia). Dalam vitrifikasi, kryoprotektan

utama yaitu dimethyl sulfoxide dan ethylene glycol (Zhu et al., 2014).

Embrio dicairkan 1 hari sebelum transfer embrio dan embrio yang hidup

(minimal 50% dari blastomer hidup) dibiakkan semalaman. Embrio yang telah

membelah dievaluasi dan dipilih untuk transfer embrio. Ketahanan embrio

didefinisikan sebagai pembelahan selama kultur semalam. Frozen-thawed

embrio transfers (FET) dilakukan dalam siklus spontan atau hormon

tersubtitusi. Satu atau dua embrio dipindahkan menggunakan panduan

ultrasound. Sebuah kehamilan klinis dinilai dengan ultrasound transvaginal 5

minggu setelah transfer embrio dan didefinisikan sebagai ada atau tidak satu

kantung embrio. Aborsi spontan dianggap sebagai keguguran sampai 22

minggu kehamilan setelah konfirmasi sebelumnya dari kehamilan klinis

(Wikland et al., 2010).

Hasil dari penelitian ini adalah kurangnya perbedaan yang signifikan

dalam berat bayi yang lahir setelah dua teknik kriopreservasi yang berbeda

dapat menunjukkan efek yang agak mirip pada proses epigenetik atau seleksi

embrio serupa yang disebabkan oleh kriopreservasi. Kelangsungan hidup

12
embrio didefinisikan sebagai kelangsungan hidup setidaknya 50% dari

blastomer pra-pembekuan. Kelangsungan hidup setinggi 95% telah dikaitkan

dengan kriopreservasi embrio tahap pembelahan dengan teknik vitrifikasi dan

tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi setelah vitrifikasi embrio tahap

pembelahan dibandingkan dengan low freezing telah terdeteksi dalam banyak

penelitian (Rama Raju et al., 2009).

Tingkat viabilitas penelitian mengacu pada persentase embrio yang

bertahan dari thawing dan melanjutkan pembelahan setelah kultur semalaman.

Embrio dengan sel yang rusak setelah thawing telah terbukti memiliki potensi

perkembangan semalam lebih rendah dibandingkan dengan sel utuh baik setelah

slow freezing dan vitrifikasi. Penurunan kelangsungan hidup yang terkait

dengan slow freezing disebabkan oleh peningkatan pembentukan kristal es

selama pembekuan dan pencairan membran sel yang merusak secara fisik.

Sebaliknya, kryoprotektan dan osmotic stress dapat memiliki potensi

berdampak negatif pada fungsi bioenergetik mitochondria. Vitrifikasi adalah

prosedur yang lebih efisien, menghasilkan tingkat kelangsungan hidup sel dan

viabilitas yang lebih tinggi yang diterjemahkan ke dalam pemanfaatan embrio

yang lebih besar per siklus IVF dan kerugian kehamilan yang lebih sedikit pada

saat transfer (Rama Raju et al., 2009).

2.3 Slow Freezing Sebaiknya Tidak Sepenuhnya Diganti Dengan Vitrifikasi


Ketika Diterapkan Pada Hari Ke-3 Kriopreservasi Embrio: Analisis 5613
Siklus Beku
Masalah utama selama kriopreservasi embrio adalah pembentukan es

intraseluler yang dapat menyebabkan kerusakan sel dan penurunan

13
perkembangan sel. Metode kriopreservasi dan solusi kryoprotektif terus

meningkat dan berkembang. Sejak pertama embrio transfer dengan embrio

beku slow freezing telah menjadi metode kriopreservasi utama di sebagian

besar pusat IVF. Slow freezing pada tingkat yang terkendali embrio terpapar

pada konsentrasi kryoprotektan dan dehidrasi yang relatif rendah tanpa

penyusutan yang berlebihan. Meskipun slow freezing mungkin masih

merupakan metode kriopreservasi yang paling banyak digunakan untuk embrio

manusia, tingkat kelangsungan hidup yang lebih rendah telah memaksa

laboratorium IVF untuk beralih dari pembekuan lambat ke vitrifikasi dalam

beberapa tahun terakhir. Vitrifikasi memperoleh tingkat kelangsungan hidup

embrio yang lebih tinggi dan tingkat blastomere yang utuh dibandingkan

dengan slow freezing. Namun, vitrifikasi menggunakan konsentrasi tinggi

kryoprotektan dan masih ada kekhawatiran mengenai keamanannya. Efek dari

vitrifikasi pada potensi perkembangan embrio dan hasil kelahiran setelah

vitrifikasi masih perlu ditentukan (Roy et al., 2014).

Vitrifikasi diperkenalkan oleh Assisted Reproductive Technology (ART)

kami di tahun 2012 untuk embrio hari ke-3. Keputusan untuk mengganti

metode kryopreservasi didasarkan pada tingkat kelangsungan hidup embrio

yang dilaporkan tinggi, risiko rendah kehilangan peluang transfer embrio, dan

tingkat blastulasi yang lebih tinggi oleh vitrifikasi. Namun, beberapa penelitian

sebelumnya tidak menemukan perbedaan dalam tingkat kehamilan antara

vitrifikasi dan pembekuan lambat. Ada kebutuhan yang jelas untuk

menganalisis hasil dari dua metode kryopreservasi sebelum benar-benar

14
meninggalkan slow freezing. Dalam penelitian ini membandingkan tingkat

kelangsungan hidup embrio, kehamilan, implantasi, keguguran, dan kelahiran

hidup serta berat lahir hidup transfer embrio hari ke-3 setelah kriopreservasi

baik menggunakan slow freezing atau vitrifikasi (Wong et al., 2014).

Kelangsungan hidup morfologis dianalisis sesuai dengan tahap sel

sebelum kriopreservasi. Angka kehamilan dan implantasi dianalisis setelah

satu atau dua embrio beku dipindahkan pada pasien untuk siklus slow freezing

3657 dan siklus vitrifikasi tahun 1956. Dua jenis hormon follicle stimulating

rekombinan (rFSH: Gonal-F; Serono Laboratories, Aubonne, Swiss atau

Puregon; NV Organon, Oss, Belanda) digunakan untuk pengembangan folikel

dipantau oleh pemindahan ultrasound, dan pematangan oosit akhir diinduksi

dengan injeksi human chorionic gonadotropin (hCG) segera setelah tiga folikel

dari diameter 18mm teramati. Pengambilan Oosit dilakukan 36 jam setelah

pemberian hCG. Seleksi embrio untuk kriopreservasi dan evaluasi setelah

trawing/warming embrio hari ke-3 dengan setidaknya empat blastomer dan

≤35% fragmentasi dipilih untuk kriopreservasi (Van et al., 2013).

Morfologi embrio dinilai berdasarkan kelasnya. Kelas 1, embrio

memiliki blastomer dengan ukuran yang sama dan tidak ada fragmentasi

sitoplasma; Kelas 2, embrio memiliki blastomer dengan ukuran yang sama atau

tidak seimbang dan fragmentasi sitoplasma hingga ≤ 20% dari permukaan

embrio; Kelas 3, embrio memiliki blastomer dengan ukuran yang sama atau

tidak sama dan 21-49% keseluruhan fragmentasi sitoplasma; dan Kelas 4,

embrio memiliki blastomer dengan ukuran yang sama atau tidak seimbang dan

15
fragmentasi sitoplasma hingga ≥50% dari permukaan embrio. Embrio dengan

6-12 blastomer dan kelas 1 dan 2 didefinisikan sebagai kualitas yang baik.

Embrio dievaluasi untuk kelangsungan hidup. Embrio dengan setidaknya 50%

sel utuh yang dianggap hidup dan dapat ditransfer (Van et al., 2013).

Slow freezing embrio hari ke 3 melibatkan metode freezing dan thawing

yang dikontrol lambat dengan propanediol atau sukrosa (Kit freezing; Irvine

Scientific, Santa Ana, CA, USA) sebagai krioprotektan. Prosedur vitrifikasi

terbuka dilakukan menggunakan strip Cryotop dalam kombinasi dengan

ethylene glycol-dimethylsulfoxide-sucrose (Kitazato Supply Co., Fujinomiya,

Jepang) sebagai kryoprotektan. Metode klinis digunakan untuk persiapan

endometrium yaitu siklus alami, siklus penggantian hormon, atau siklus

menopang gonadotropin (HMG) pada manusia yang menopause. Untuk pasien

dengan siklus menstruasi yang teratur, siklus alami diusulkan dan transfer

embrio dilakukan 3 hari setelah ovulasi, atau 4,5 hari setelah puncak hormon

LH. Pada pasien dengan ovulasi yang tidak teratur atau siklus anovulasi, terapi

penggantian hormon atau protokol stimulasi HMG digunakan. Tingkat

kelangsungan hidup dihitung sebagai embrio yang bertahan hidup per jumlah

total embrio yang warming. Kehamilan dinilai dengan mendeteksi kadar serum

β-hCG pada 12 hari setelah transfer, dan 50 IU/L atau tingkat β-hCG yang

lebih besar dianggap sebagai positif. Angka kehamilan dihitung dengan jumlah

kehamilan β-hCG-positif per pasien. Lima minggu setelah transfer, jumlah

kantung embrio dan adanya gerakan jantung janin dievaluasi dengan USG.

16
Laju implantasi thawing dihitung menggunakan jumlah kantung embrio per

nomor embrio yang ditransfer (Roy et al., 2014).

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Selama periode penelitian 4

tahun, pusat ART melakukan total 5613 siklus thawing, di mana 3657 (65,2%)

menggunakan frozen/ slow freezing dan 1956 (34,8%) menggunakan vitrifikasi

/ warming (Tabel 1). Usia ibu rata-rata 0,4 tahun lebih tua pada kelompok

vitrifikasi daripada kelompok slow freezing (P <0,01). Jumlah embrio

berkualitas baik setelah thawing/warming lebih rendah dengan slow freezing

dibandingkan dengan vitrifikasi. Tingkat kelangsungan hidup embrio

keseluruhan setelah vitrifikasi adalah 97,4% (3744/3845) dan proporsi embrio

dengan blastomer utuh sepenuhnya adalah 92,3%, yang secara signifikan lebih

tinggi dibandingkan dengan transfer embrio beku/slow freezing (91,5 dan

68,7%, masing-masing, P < 0,001) (Wong et al., 2014).

Hari ke-3 embrio kryopreservasi dengan kehamilan klinis yang

sebanding dan tingkat kelahiran hidup menggunakan slow freezing dan

vitrifikasi. Potensi implantasi komparatif yang lebih baik dengan embrio beku

lambat dalam penelitian retrospektif ini memberikan bukti lebih lanjut untuk

terus menggunakan slow freezing embrio hari ke-3. Metode slow freezing yang

optimal juga perlu ditetapkan karena mereka dapat mengurangi kekhawatiran

tentang masalah keamanan yang berkaitan dengan paparan konsentrasi tinggi

kryoprotektan digunakan dalam vitrifikasi (Wong et al., 2014).

17
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah disampaikan dapat dimbil kesimpulan

bahwa:

1. Kriopreservasi embrio dengan metode vitrifikasi merupakan metode yang

efektif dari pada slow freezing dilihat dari tingkat pembelahan embrio.

2. Kriopreservasi embrio dengan metode vitrifikasi merupakan metode yang

efektif dari pada slow freezing dilihat dari tingkat morfologi embrio.

3. Kriopreservasi embrio dengan metode vitrifikasi merupakan metode yang

efektif dari pada slow freezing dilihat dari tingkat viabilitas embrio.

18
DAFTAR PUSTAKA

Al Yacoub, A.N., M. Gauly, and W. Holtz. 2010. Open pullet straw vitrification
of goat embryos at various stages of development. Theriogenology 73,
1018–23.

Alvarenga, M.A., F.O., Papa, F.C Landim-Alvarenga and A.S Medeiros. 2005.
Amides as cryoprotectants for freezing stallion semen: a review. Anim.
Reprod. Sci. 89, 105–13.

Chen, S.L and Y.S. Tian. 2005. Cryopreservation of flounder (Paralichthys


olivaceus) embryos by vitrification. Theriogenology 63, 1207–19.

Dike, I.P. 2009. Efficiency of intracellular cryoprotectants on the cryopreservation


of sheep oocytes by controlled slow freezing and vitrification techniques.
J. Cell Anim. Biol. 3, 44–9.

Edgar DH and DA Gook. 2012. A critical appraisal of cryopreservation (slow


cooling versus vitrification) of human oocytes and embryos. Hum Reprod
Update;18(5):536–54.
El Gayar, M. and W. Holtz. 2001. Technical note: Vitrification of goat embryos by
the open pulled-straw method. J. Anim. Sci. 79, 2436–8.

Fulton, J.E. 2006. Avian genetic stock preservation: Anindustry perspective. Poult.
Sci. 85: 227 – 231
Laswardi, T. 1995. Penerapan Metode Transfer Langsung Pada Kriopreservasi
Embrio Sapi Perah.
Massip, A. 2001. Cryopreservation of embryos of farm animals. Reprod. Domest.
Anim. 36, 49–55.

Martínez MC, Méndez C, Ferro J, Nicolás M, Serra V, Landeras J. 2010.


Cytogenetic analysis of early nonviable pregnancies after assisted
reproduction treatment. Fertil Steril ;93(1):289–92.

Rama Raju GA, Jaya Prakash G, Murali Krishna K, Madan K. 2009. Neonatal
outcome after vitrified day 3 embryo transfers: a preliminary study.
Fertil Steril.;92(1):143–8.

Rezazadeh V. M, Eftekhari-Yazdi P, Karimian L, Hassani F, Movaghar B. 2009.


Vitrification versus slow freezing gives excellent survival, post
warming embryo morphology and pregnancy outcomes for human
cleaved embryos. J Assist Reprod Genet;26(6): 347–54.

19
Roy TK, Bradley CK, Bowman MC, McArthur SJ. 2014. Single-embryo transfer
of vitrified-warmed blastocysts yields equivalent live-birth rates and
improved neonatal outcomes compared with fresh transfers. Fertil
Steril;101:1294–301.

Stringfellow, D.A. and S.M. Seidel. 1998. Manual of the International Embryo
Transfer Society: a procedural guide and general information for the
use of embryo transfer technology emphasizing sanitary procedures, 3rd
edn. Savory III, USA: International Embryo Transfer Society.

Supriatna, I dan F.H. Pasarribu. 1992. In Vitro Fertilisasi, Transfer Embrio dan
Pembekuan Embrio. Depdikbut, DIKTI dan PAU IPB Bogor.
Vajta, G. 2000. Vitrification of oocytes and embryos of domestic animals. Anim.
Reprod. Sci. 60–61, 357–64.

Van Landuyt L, Van de Velde H, De Vos A, Haentjens P, Blockeel C, TournayeH.


2013. Influence of cell loss after vitrification or slowfreezing on further
in vitro development and implantation of human Day 3 embryos. Hum
Reprod.;28:2943–9.

Wikland M, Hardarson T, Hillensjö T, Westin C, Westlander G, Wood M. 2010.


Obstetric outcomes after transfer of vitrified blastocysts. Hum
Reprod.;25(7):1699–707.

Wong KM, Mastenbroek S, Repping S. 2014. Cryopreservation of human embryos


and its contribution to in vitro fertilization success rates. Fertil
Steril;102:19–26.

Zhu J, Lin S, Li M, Chen L, Lian Y, Liu P. 2014. Effect of in vitro culture period
on birthweight of singleton newborns. Hum Reprod.;29(3):448–54.

20

Anda mungkin juga menyukai