Anda di halaman 1dari 39

ANALISIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG

PENANAMAN MODAL TERKAIT OTONOMI DAERAH DAN HUKUM


PERTANAHAN (KOMPARISI PENGATURAN INVESTASI DENGAN VIETNAM)
Oleh:
Fitri Suciyani, Nadira Taufiqa, Maruli Tua Silaban dan Yanita Thressia
Kelompok I – Kelas Hukum Ekonomi Sore - Mahasiswa Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
ABSTRAK
Tujuan pembangunan nasional untuk mensejahterakan rakyat menjadi sulit dicapai mengingat
keterbatasan modal dalam menguasai dan memanfaatkan secara optimal sumber daya alam
dan sumber daya manusia yang dimiliki Indonesia. Dalam menyikapi keterbatasan tersebut
pemerintah Indonesia harus membuka diri untuk bekerja sama dengan negara lain salah
satunya melalui skema penanaman modal. Dalam rangka mendukung keberhasilan
penanaman modal di Indonesia, pemerintah harus memastikan iklim investasi yang kondusif
di Indonesia baik dengan pengaturan investasi yang mendukung penanam modal maupun
menjamin pelaksanaan pengaturan tersebut dapat dijalankan dengan baik. Tujuan penelitian
ini untuk menganalisis Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
khususnya terkait dengan peran pemerintah daerah dalam penanaman modal serta kemudahan
perolehan tanah di Indonesia. Selain itu penelitian ini juga bermaksud melihat perbandingan
pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 dengan pengaturan investasi di
Vietnam, mengingat bahwa Vietnam menjadi destinasi populer penanam modal asing untuk
membuka usaha di Kawasan Asia Tenggara. Fungsi pemerintah pusat pada tahap perijinan
penanaman modal didaerah yang dilimpahkan ke pemerintah daerah sebagai perwujudan dari
otonomi daerah menjadi penting dalam mencapai keberhasilan penanaman modal di
Indonesia. Selain itu kemudahan hak perolehan atas tanah juga menjadi pertimbangan
signifikan penanam modal untuk berusaha di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode
yuridis normatif yang meneliti bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang akan
dianalisis melalui pendekatan kualitatif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam proses
perijinan, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 telah memberikan pengaturan yang cukup
melalui system pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) baik oleh Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah untuk mendapatkan perizinan dibidang penanaman modal. Sedangkan
dalam perolehan hak atas tanah, ketentuan dalam Undang-Undang tentang Pokok-Pokok
Agraria dan peraturan pelaksanaannya menjadi dasar dalam pemberian hak atas tanah untuk
investor.
Kata Kunci: investasi, otonomi daerah, perolehan tanah, perbandingan investasi Vietnam

ANALYSIS OF LAW NUMBER 25 OF 2007 CONCERNING INVESTMENT RELATED


TO REGIONAL AUTONOMY AND LAND LAW (COMPARISON OF INVESTMENT
ARRANGEMENT IN VIETNAM)

ABSTRACT

The national development goals for social welfare are difficult to achive given the limited
capital in mastering and optimally utilizing natural resources and human resources owned by
Indonesia. In responding to these limitations the Indonesian government must open itself to
working with other countries, one of which is through investment schemes. In order to
support the success of investment in Indonesia, the government must ensure a conducive
investment climate in Indonesia both with investment arrangements that support investors
and ensure the properly implementation of these arrangements. The purpose of this research
was to analyze Law Number 25 of 2007 concerning Investment, specifically related to the
role of local governments in investment and the ease of land acquisition in Indonesia. In
addition, this research also intends to see a comparison of arrangements in Law No. 25 of
2007 with investment arrangements in Vietnam, given that Vietnam has become a popular
destination for foreign investors to open their businesses in the Southeast Asia Region. The
function of the central government at the licensing stage of investment in the regions
delegated to local governments as the realization of regional autonomy is an important role
for the success of investment in Indonesia. In addition, the ease of land acquisition rights is
also a significant consideration for investors to do business in Indonesia. This study uses a
normative juridical method that examines primary, secondary and tertiary legal materials
that will be analyzed through a qualitative approach.This research concludes that in the
licensing process, Law Number 25 of 2007 has provided sufficient regulation with one-stop
integrated services (PTSP) by both the Central Government and the Regional Government to
provide licenses in the field of investment. Whereas in obtaining land rights, the provisions in
the Law on Agrarian Principles and its implementing regulations will be the basis for
granting rights to land to investors.
Keywords: investment, regional autonomy, land acquisition, comparison of Vietnamese investment

I. PENDAHULUAN

Dalam mencapai kesejahteraan rakyat, pemerintah Indonesia melakukan berbagai


upaya, untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional. Indonesia merupakan
negara yang mempunyai letak geografis yang strategis, kaya akan sumber daya alam,
mempunyai penduduk sekitar 260 juta jiwa 1, namun demikian Indonesia mempunyai
keterbatasan baik dalam bidang iptek, maupun modal dalam usaha menguasai dan
memanfaatkan secara optimal sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki
Indonesia untuk keberhasilan perekonomian nasional.
Keterbatasan tersebut menjadi kendala yang signifikan disegala sektor
pembangunan. Dalam menyikapi keterbatasan tersebut pemerintah Indonesia harus
membuka diri untuk bekerja sama dengan negara lain yang lebih maju, Hal ini senada
dengan pendapat disampaikan oleh Usha Dar dan Pratap K Dar dibawah ini:
“Most developing countries today believe that it is not possible for them to achieve their
development aspiration entirely on their own and therefore, need the cooperation of
other relatively deleveloped countries. This cooperation may take the form direct
investment or sharing of technical know-how, skilled personal and management
expertise2.

1Badan Pusat Statistik. Indikator Strategis Nasional, Sumber: https://www.bps.go.id/QuickMap (diakses tanggal
3 Oktober 2018)

2 Usha Dar dan Pratap K Dar. Investment Opportunities in ASEAN Countries. New Delhi:Sterling Published
Pvt,ltd, 1970. Hlm.1.
Terhadap keterbatasan permodalan di Indonesia dapat diatasi dengan penanaman
modal/investasi. Pemodalan yang diperlukan oleh negara untuk pencapaian
pembangungan ekonomi dalam bentuk investasi dengan memanfaatkan penumpukan
modal dan pemanfaatan modal dalam negeri dan luar negeri. 3Penanaman modal atau
investasi menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
(UUPM) adalah segala bentuk kegiatan penanaman modal, baik oleh penanaman modal
dalam negeri maupun penanaman modal asing untuk melakukan usaha di wilayah
Negara Republik Indonesia.
Menekankan pada investasi asing, terlepas dari pro dan kontra terhadap
keberadaannya, kehadiran investor asing disuatu negara mempunyai manfaat yang cukup
luas antara lain menyerap tenaga kerja di negara penerima modal, dapat menciptakan
demand bagi produk dalam negeri sebagai bahan baku, menambah devisa apalagi untuk
investor yang berorientasi ekspor dapat mendatangkan penghasilan negara dari sektor
pajak, adanya alih teknologi (transfer of technology) dan alih pengetahuan (transfer of
know-how).4
Untuk menciptakan kemudahan dan kelancaran investasi di Indonesia,
pemerintah melakukan upaya-upaya untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Di era globalisasi ini, selain sumber daya yang dimiliki, iklim investasi yang kondusif
mendapat peranan yang signifikan untuk dapat menarik investor asing dan juga menjaga
agar investor tidak mengalihkan modalnya ketempat negara lain. Secara umum dapat
disebutkan bahwa keberhasilan penciptaan iklim investasi yang “favourable” sangat
tergantung kepada 3 faktor determinan dibawah ini:
a. Faktor institusional dan kebijakan. Langkah pertama yang dilakukan oleh
seorang jika ingin menanamkan modal di suatu negara khususnya negara
berkembang, mempelajari secara rinci tentang negara tersebut, antara lain stabilitas
politiknya, kebijakan ekonomi terutama terhadap investor asing.
b. Faktor Infrastruktur. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah tersedianya
fasilitas fisik. Termasuk disina adalah jaringan transportasi, listrik, telekomunikasi
dan air bersih.
c. Faktor Hukum dan Perundang-Undangan. Dalam hal ini dapat dilihat dalam
aspek nasional artinya ketentuan hukum yang substantive dapat mempengaruhi minat
investor asing dalam menanamkan modalnya. Aspek internasional, artinya kaidah-
kaidah hukum internasional pun dapat mempengaruhi minat investor untuk
menanamkan modalnya. Selain aspek substansi hukum dan perundang-undangan
tersebut, aspek pelaksanaan dan penegakannya pun juga merupakan faktor yang
menjadi pertimbangan para investor asing. Maksudnya pelaksanaan dan penegakan
hukum yang konsisten dan tidak mudah berubah-ubah serta dapat diperkirakan
sebelumnya oleh investor, merupakan penarik yang juga amat penting bagi para
investor asing.5

3 Dhaniswara K. Harjono. Hukum Penanaman Modal. Tinjauan Terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal. Jakarta: Rajagrafindo Persada,2007. Hlm.6.

4 Sentosa Sembiring. Hukum Investasi:Pembahasan dilengkapi dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal. Bandung: Nuansa Aulia, 2008. Hlm.8.

5 A.F.Elly Erawati. Meningkatkan Investasi Asing di Negara-negara Berkembang: Kajian Terhadap Fungsi dan
Peran dari “The Multilateral Investment Guarantee Agency”. Pusat Studi Hukum, Fakultas Hukum Unpar
Bandung, 1989. Seri Tinjauan dan Gagasan No.10.
Dalam bidang pengaturan hukum, pendapat diatas sejalan dengan pernyataan
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yaitu “Further
regulatory simplification and enhanced regulatory certainty would help Indonesia
attract foreign investment”6.
Pengaturan hukum yang dimaksud disini juga termasuk pemberian fasilitas yang
mempermudah investor untuk berusaha di Indonesia yang dicantumkan dalam UUPM
yang antara lain adalah terkait perijinan investasi, kemudahan pendirian badan hukum,
perolehan tanah serta fasilitas perpajakan untuk investor. Dalam tulisan ini penulis akan
menitikberatkan kepada pengaturan terkait fasilitas perijinan, perolehan tanah dan
perpajakan yang diatur dalam UUPM, serta melakukan perbandingan pengaturan umum
investasi di Indonesia dengan di Vietnam.

II. RUMUSAN MASALAH


Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang akan menjadi fokus perhatian dalam
penulisan ini yaitu:
a. Bagaimana peranan Pemerintah Daerah kegiatan penanaman modal di
Indonesia dikaitkan dengan Otonomi Daerah?
b. Bagaimana pengaturan perolehan tanah dalam Undang-Undang Penanaman
Modaldengan analisis 5 Dimensi Penataan Regulasi yang dikeluarkan BPHN?
c. Bagaimana pengaturan investasi di Indonesia dibandingkan pengaturan
investasi di Vietnam?

III. TINJAUAN UMUM TERHADAP UU PENAMAN MODAL DI


INDONESIA

A. ANATOMI UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2007


Pada perkembangan ekonomi dunia saat ini, penanaman modal menjadi salah
satu altenatif yang dianggap baik bagi pemerintah untuk memecahkan kesulitan
modal dalammelancarkan pembangunan nasional, sebab salah satu fungsi penanaman
modal, khususnya penanaman modal asing adalah untuk memanfaatkan modal,
teknologi, skill atau kemampuan yang dimiliki oleh penanaman modal guna
mengelola potensi-potensi ekonomi "(economic resourcess)" yang sangat
memerlukan modal yang besar, teknologi yang canggih, skill dan kemampuan yang
profesional yang belum sepenuhnya mampu tertangani oleh pihak swasta nasional
maupun pemerintah sendiri.7
Untuk itu kegiatan penanaman modal harus menjadi bagian dari
penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja,
meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan
kemampuan teknologi nasional, mendorong ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing.
6Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Economic Forecast Summary:Indonesia,
https://www.oecd.org/eco/outlook/economic-forecast-summary-indonesia-oecd-economic-outlook.pdf.

7Aminuddin Ilmar. Hukum Penanaman Modal di Indonesia. Jakarta : Kencana, 2007.Hlm. 185.
Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor
penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain
melalui perbaikan koordinasi antar instansi Pemerintah Pusat dan Daerah,
menciptakan birokrasi yang efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal,
biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang
ketenagakerjaan dan keamanan berusaha.
Dengan adanya perbaikan berbagai faktor penunjang tersebut, diharapkan
realisasi penanaman modal akan membaik secara signifikan Seperti yang dijelaskan
dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
yang menyebutkan bahwa: "Undang-Undang ini mencakupi semua kegiatan
penanaman modal langsung di semua sektor. Undang-Undang ini juga memberikan
jaminan perlakuan yang sama dalam rangka penanaman modal. Selain itu, Undang-
Undang ini juga memerintahkan agar Pemerintah meningkatkan koordinasi antar
instansi Pemerintah, antara instansi Pemerintah dengan Bank Indonesia, dan antara
instansi Pemerintah dengan Pemerintah daerah. Koordinasi yang dilakukan dengan
Pemerintah daerah harus sejalan dengan semangat otonomi daerah.8
Akibat kompetisi antar bangsa yang semakin ketat di dalam sistem
perekonomian dunia, maka pemerintah menganggap perlu untuk membuat kebijakan
penanaman modal yangdidorong untuk menciptakan daya saing perekonomian
nasional guna mendorong integritas perekonomian Indonesia, menuju perekonomian
global. Dengan berbagai pertimbangan diatas, maka pemerintah berupaya
menerbitkan UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) untuk
mempercepat perkembangan perekonomian nasional melalui konstruksi
pembangunan hukum nasional dibidang penanaman modal yang berdaya saing dan
berpihak untuk kepentingan nasional. Adapun anatomi UU Penanaman Modal terdiri
dari:

Bab I Ketentuan Umum berupa Definisi atau Pengertian yang dianut


dalam Undang-Undang ini, scope dan wilayah berlakunya
Undang-Undang ini
Bab II Azas dan Tujuan
Bab III Kebijakan Dasar Penanaman Modal
Bab IV Bentuk Badan Usaha dan Kedudukan
Bab V Perlakuan terhadap Penanaman Modal
Bab VI Ketenagakerjaan
Bab VII Bidang Usaha
Bab VIII Pengembangan Penanaman Modal bagi Usaha Mikro/Kecil,
Menegah dan Koperasi
Bab IX Hak, Kewajiban dan Tanggungjawab Penanaman Modal
Bab X Fasilitas Penanaman Modal
Bab XI Pengesahan dan Perizinan Perusahaan
Bab XII Koordinasi dan Pelaksanaan Kebijakan Penanaman modal
Bab XIII Penyelenggaraan Urusan Penanaman Modal
Bab XIV Kawasan Ekonomi Khusus
Bab XV Penyelesaian Sengketa
Bab XVI Sanksi
Bab XVII Ketentuan Peralihan
8Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007tentang Penanaman Modal. Penjelasan Umum.
Bab XVIII Ketentuan Penutup

B. TINJAUAN UMUM UU PM DIBIDANG PERIZINAN DAN OTONOMI


DAERAH

Dalam rangka Interaksi Antara Penanaman Modal Dengan Keuangan


Daerah,9perkembangan investasi di Indonesia merupakan salah satu indikator
kemajuan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Investasi yang dilakukan secara tepat
dapat mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Tantangan
pelaksanaan investasi di Indonesia, salah satunya adalah dengan pemberlakuan
otonomi daerah di Indonesia. Era otonomi daerah di Indonesia dimulai pada tahun
2001 semenjak berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan
kemudian diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004. Sementara itu, sumber
pendanaannya diatur dalam UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang kemudian diperbaharui
dengan UU No. 33 Tahun 2004. Makna penting pengaturan tersebut adalah bahwa
ada sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan
efisien dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dengan mempertimbangkan
potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan penyelenggaraan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan.10 Dalam konteks peraturan tentang otonomi
daerah yang demikian, maka diatur pula bahwa pemberian sumber keuangan negara
kepada Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi didasarkan atas
penyerahan tugas oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dengan
memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal.11
Otonomi daerah sendiri, sebagai suatu konsep yang dituangkan di dalam Pasal
1, angka (5), UU No. 23 Tahun 2014 jo UU No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah
Daerah diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konsep otonomi
daerah ini diacu juga dalam hukum investasi, yakni di Pasal 1, angka (11), UU No.
25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yakni undang-undang penanaman modal
yang memperbaharui UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan
UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan UU No. 6 Tahun
1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.

9Interaksi pengaturan otonomi daerah dengan problematika investasi di daerah, yang berkaitan dengan
pengembangan pembangunan daerah. Investasi diharapkan mampu berjalan beriringan dengan kebijakan daerah
dalam peningkatan entitas bisnis pengusaha tanpa melupakan tujuan pembangunan daerah itu sendiri.

10Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004tentang Perimbangan Keuangan antara


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pasal 1, ayat (3).

11Ibid.Pasal 2, ayat (3).


Pertanyaan yang kemudian dapat diajukan adalah bagaimana dengan investasi yang
dilakukan di era otonomi daerah, terutama dalam kaitannya dengan problematika
keuangan daerah (APBD). Persoalan ini adalah persoalan yang sangat menentukan
dalam perkembangan investasi daerah, terutama bilamana investasi tersebut berkaitan
dengan struktur anggaran pemerintah daerah, pengelolaannya, serta
pertanggungjawabannya. Penanaman modal di daerah juga berimplikasi pada
bagaimana interaksi hukum otonomi daerah dengan hukum investasi itu sendiri di
Indonesia.

Daerah Pro-Investasi

Di dalam Penjelasan Umum UU No. 25 Tahun 2007 dinyatakan pentingnya


peranan pemerintah daerah. Pemerintah diharuskan untuk menjalin koordinasi yang
baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Koordinasi tersebut harus
dijalankan dengan semangat otonomi daerah. Dalam pengembangan peluang bagi
potensi daerah koordinasi menjadi titik penting bagi penanaman modal (investasi) di
daerah, baik dalam urusan kepemerintahan terkait investasi, maupun dalam kerangka
kemampuan daerah untuk melakukan investasi. Oleh karena itu koordinasi dan
potensi daerah harus dapat dijadikan saran bagi pengelolaan keuangan daerah terkait
dengan PAD (pendapatan asli daerah) di dalam konteks APBD. Namun
meningkatnya jumlah produk perundangan (perda) secara signifikan terkait retribusi
maupun pajak daerah memberikan gambaran adanya respon daerah yang berlebihan
dalam menghadapi otonomi daerah. Hal ini justru menjadi kontraproduktif karena
menambah beban publik (masyarakat) dan juga menghambat masuknya investasi ke
daerah. Masyarakat tidak memberikan kontribusi seperti yang diharapkan (melalui
pembayaran retribusi dan pajak daerah), dan hal ini bisa jadi disebabkan masih
rendahnya kemampuan membayar (ability to pay) ataupun kemauan membayar pajak
(willingness to pay) masyarakat. Salah satu faktor yang diyakini menjadi penyebab
masih rendahnya kedua hal ini (kemampuan dan kemauan untuk membayar) adalah
tidak adanya perubahan kesejahteraan masyarakat yang signifikan.12
Ada beragam pilihan yang dimiliki pemerintah untuk memperbaiki iklim
penanaman modal di daerah, dimana salah satu kebijakan yang terkait dengan
kepentingan tersebut, adalah penerapan sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
yang didasarkan pada UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Kebijakan ini
sangat menarik untuk dicermati, karena jika ditilik pada substansinya, memiliki
kemiripan dengan Keppres 29/2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal
dalam rangka PMA dan PMDN melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Keppres ini
pernah dianggap pemerintah daerah sebagai upaya pemerintah pusat untuk menarik
kembali kewenangan penanaman modal yang pernah didesentralisasikan. Di sisi lain,

12Priyo Hari Adi. Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Era Otonomi Dan Relevansinya Dengan Pertumbuhan
Ekonomi (Studi Pada Kabupaten Dan Kota Se Jawa – Bali). Artikel yang dipresentasikan dalam
The1st Accounting Conference yang diselenggarakan Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi, Universitas
Indonesia pada tanggal 7 – 9 November 2007. Hlm. 2.
secara teoritik, PTSP dapat meningkatkan kualitas pelayanan perizinan dalam bidang
investasi, melalui penyederhanaan perizinan dan percepatan waktu penyelesaian.13

PTSP merupakan salah satu upaya Pemerintah Daerah untuk memberikan


kemudahan dalam mengadakan investasi. PTSP tersebut pada umumnya, oleh
pemerintah daerah diakomodasi dalam bentuk peraturan-peraturan daerah. Peraturan
daerah tentang PTSP akan memberikan jaminan kepastian hukum bagi para investor
untuk memperkirakan dan merancang persiapan investasinya sendiri. Selain itu,
PTSP dapat membuat investor yakin bahwa investasi dapat dilakukan dengan
perlindungan hukum. Selain melalui perda, dapat ditemukan juga aturan-aturan
tentang PTSP yang dijadikan acuan. Beberapa kebijakan acuan dalam
penyelenggaraan pelayanan administrasi penanaman modal di daerah, antara lain
meliputi Keppres No. 97/1993 tentang Tatacara Penanaman Modal sebagaimana telah
diubah dengan Keppres No. 115/1998 jo. Keppres No. 117/1999, Keputusan
Meninves/Kepala BKPM No. 38/SK/1999 tentang Pedoman dan Tatacara
Permohonan Penanaman Modal yang didirikan dalam rangka PMA dan PMDN, dan
Keppres No. 29/2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka
PMA dan PMDN Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap.
Kejelasan peraturan tersebut, untuk menarik investor, dapat dilakukan pula
peningkatan sumber pendanaan dan ketepatan alokasi investasi pembangunan melalui
penciptaan iklim kondusif untuk pengembangan usaha dan penciptaan lapangan
kerja, serta mengembangkan pemberdayaan masyarakat dan kemitraan dalam proses
pembangunan dengan mengimplementasikan paradigma masyarakat membangun.
Pembentukan perda yang demikian dapat mengembangan “networking” atau jejaring
kerja dan penciptaan iklim usaha yang kondusif, dengan memberi kemudahan
pelayanan publik antara lain bernilaikan kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu,
akurasi, keamanan, tanggung jawab, kelengkapan sarana prasarana, kemudahan
akses, kedisiplinan, kesopanan, keramahan, dan kenyamanan.14Hal ini diwujudkan
dengan memberikan peluang pengurusan syarat investasi yang ketat namun mudah,
melakukan pendekatan secara baik dengan calon investor, serta kemampuan
pemerintah daerah dalam memberikan dorongan kepada masyarakat untuk terbuka
dalam hal potensi sosial budayanya.
Terkait dengan sumber daya manusia di daerah, pemerintah daerah dapat
menetapkan peraturan untuk menjaring penduduk lokal agar memiliki kemampuan
dan keterampilan yang tepat, yang sesuai dengan potensi lokal. Misalnya saja dengan
dibuka kursus-kursus pertanian, bagi daerah yang masih menitikberatkan pada
potensi sumber daya alam yang dapat mendukung investasi pemerintah daerah di
bidang pertanian dan perkebunan. Dengan keterampilan demikian, dapat menjadi
salah satu tujuan bagi investor luar daerah yang berkeinginan menanamkan modalnya
di daerah tersebut. Di sinilah sebenarnya kelayakan regulasi pendukung investasi
dapat dilihat dari dua sisi, yaitu regulasi Pusat/Provinsi dan regulasi pemerintah
daerah. Dua hal utamanya dapat dilihat sebagai berikut. Pertama, peraturan/regulasi
13Asropi. Sistem Pelayanan Terpadu: Strategi Perbaikan Iklim Investasi Di Daerah, dalam Bunga Rampai
Administrasi Publik: Dimensi Pelayanan Publik dan Tantangannya dalam Administrasi Negara (Publik) di
Indonesia. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara; 2007. Hlm. 2.

14Kabupaten Purbalingga merupakan salah satu daerah yang pro-investasi dengan pendekatan peraturan untuk
menjamin investor. Lihat ANTARA, Senin, 20 April 2009.
pendukung investasi di daerah. Misalnya, bahwa perlu adanya perubahan mengenai
regulasi mengenai ketenagakerjaan. keimigrasian, kepabeanan, pajak dan retribusi,
lingkungan hidup sampai dengan regulasi tentang kontribusi dan kompensasi yang
pada umumnya regulasi-regulasi tersebut belum mendukung investasi. Kedua,
kewenangan pemberian ijin untuk melakukan investasi seharusnya dapat mendukung,
terutama yang terkait dengan good governance. Pemerintah daerah diharapkan dapat
bersikap dengan lebih baik kepada para calon investor. Terutama dengan
kesediaannya untuk memberikan pelayanan yang jujur dan terbuka melalui PTSP.

UU No. 25 Tahun 2007 dan Keuangan Daerah

Dalam konteks pemerintahan daerah, penyelenggaraan fungsi pemerintahan


daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan
diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup pada daerah,
dengan mengacu pada UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Besarannya disesuaikan dengan
pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini
berarti bahwa semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah
yang diserahkan kepada daerah, menjadi sumber keuangan daerah. 15 Dalam rangka
otonomi daerah ini pula, pemerintahan daerah memiliki kewenangan lebih banyak
dalam mengurus dan mengelola anggaran daerahnya (APBD).
Daerah sendiri diberikan hak mendapatkan sumber keuangan daerah yang
antara lain berupa: (a) kepastian tersedianya persediaan pendanaan dari pemerintah
sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan; (b) kewenangan memungut dan
mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil
dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan
lainnya; dan (c) hak untuk mengelola kekayaan daerah dan mendapatkan sumber-
sumber pendapatan yang lain yang lain serta sumber-sumber
pembiayaan.16pertanyaan yang dapat diajukan kemudian adalah bagaimanakah
keuangan daerah yang pro-investasi. Hal ini dikarenakan bahwa investasi yang
dilakukan di daerah, yakni kemampuan pemerintah daerah untuk melakukan investasi
di daerahnya sendiri, dapat dilihat dari kemampuan keuangan daerahnya untuk
membiayai investasi.
APBD Pro-Investasi
Sumber keuangan utama pemerintahan daerah adalah alokasi dari pemerintah
pusat, pendapatan asli daerah (PAD), dan sumber keuangan lainnya yang dianggap
sah yang dalam hal ini adalah terutama adalah Badan Usaha Milik Daerah. Struktur
APBD secara umum terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan
daerah. Khusus untuk pendapatan daerah sendiri terdiri atas Pendapatan Asli Daerah
(PAD), Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. PAD
merupakan pendapatan daerah yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada
daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai
perwujudan asas desentralisasi yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi

15Nurlan Darise. Pengelolaan Keuangan Daerah. Cet. 2. Jakarta: PT. Indeks; 2006. Hlm. 21.

16Nurlan Darise. Loc. Cit.


daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan
asli daerah yang sah.
APBD sendiri dapat digunakan untuk melakukan kegiatan investasi
sebagaimana dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 170 ayat (2) yang menyatakan
bahwa APBD dapat digunakan untuk kegiatan investasi. Kemudian surplus APBD
sendiri juga dapat digunakan salah satunya untuk penyertaan modal sebagai bentuk
investasi daerah (Pasal 174 ayat (2)). Di dalam penyelenggaraan investasi di dalam
rangka otonomi daerah, UU No. 25 Tahun 2007 mengakomodasi kepentingan
pertambahan pendapatan daerah dengan memberikan peluang pendapatan dari sektor
pajak dan retribusi daerah, sebagaimana dapat dilihat dalam Pasal 8 ayat (5) yang
sejalan dengan ketentuan-ketentuan pajak dalam otonomi daerah, dan juga
kemampuan pemerintah sebagai subjek penanam modal melalui badan usaha yang
dimilikinya. Baik dalam upaya secara aktif untuk melakukan kegiatan investasi
melalui badan usaha yang dimilikinya (Pasal 5) maupun dalam hal kerjasama untuk
memperoleh keuntungan pendapatan sebagaimana Pasal 12 ayat (5).
Terkait dengan hal itu, kesiapan daerah menjadi faktor penting yang cukup
menentukan keberhasilan daerah dalam mengimplementasi kebijakan otonomi daerah
ini. Salah satu indikator yang bisa digunakan adalah kemampuan keuangan daerah.
Kemampuan keuangan daerah dalam era otonomi daerah sering diukur dengan
menggunakan kinerja PAD. Besar-kecilnya penerimaan PAD seringkali dihubungkan
dengan keberhasilan daerah dalam menjalani otonomi daerah. Pajak dan Retribusi
daerah (yang merupakan komponen penyumbang PAD terbesar) seyogyanya mampu
membiayai belanja pemerintah daerah.17 Oleh karena itu investasi yang dilakukan
kemudian, untuk membentuk pendapatan daerah dapat dilakukan melalui (1) pola
intensifikasi dan eksternsifikasi pendapatan asli daerah, yakni yang ditekankan pada
penerimaan pajak dan retribusi daerah; (2) investasi dalam bisnis di sektor hulu dan
hilir dalam struktur perekonomian lokal, di mana pemerintah daerah turut serta dalam
kegiatan bisnis berdasarkan analisis investasi yang professional untuk mendapatkan
keuntungan demi menambah pendapatan (PAD), yang pada umumnya dilakukan oleh
BUMD.18
Investasi yang dilakukan oleh daerah dan bekerja sama dengan pihak ketiga
dalam bentuk penyertaan modal dan/atau pemanfaatan aset daerah, dapat
menghasilkan keuntungan pendapatan. Dengan demikian daerah melalui kemampuan
berinvestasinya dapat menambah jumlah PAD sebagai suatu indikator daerah pro-
investasi. PAD yang merupakan salah satu komponen di dalam APBD harus ditelaah
lebih lanjut besarnya dan sumbernya. PAD ini dapat diperoleh dari keuntungan
investasi yang dilakukan, baik investasi jangka pendek, maupun investasi jangka
panjang. Akan tetapi, keuntungan investasi di daerah dapat diukur dengan seberapa
besar PAD yang diperoleh bukan yand berasal dari keuntungan bunga bank. Jadi PAD
sudah semestinya berasal dari dampak investasi yang ada di daerah, sehingga tidak
selalu bergantung pada bunga bank. Hal ini berarti APBD memiliki kekuatan sumber
dana yang sangat mendukung adanya investasi, di mana APBD justru bergantung
pada PAD-nya, bukan pada DAK dan DAU-nya. Dengan sebagian besar bergantung
17Priyo Hari Adi. Op. Cit. Hlm. 2-3.

18 Abdul Halim. Seri Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Analisis Investasi (Belanja Modal) Sektor
Publik – Pemerintah Daerah. Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN;
Yogyakarta, 2008
pada PAD, maka suatu daerah dapat dikatakan mandiri dan layak untuk dijadikan
daerah yang pro-investasi.

C. TINJAUAN UMUM UUPM DIBIDANG PERTANAHAN

Pengaturan dalam UUPM

UUPM dibuat pada saat investasi sedang lesu, karena dampak dari krisis
moneter yang dialami Indonesia yang menyebabkan banyak pergolakan baik di
sektor pemerintahan, maupun dalam masyarakat. Oleh karenanya untuk menarik
kembali investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, pemerintah
memberikan fasilitas untuk investor salah satunya terkait perolehan tanah untuk
usaha. Pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/atauperizinan kepada
perusahaan penanaman modal untukmemperoleh hak atas tanah.19

Selanjutnya, pengaturan terkait perolehan hak atas tanah dalam UUPM diatur
sebagai berikut:

(1) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang di muka
sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal,
berupa:
(a) Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan
puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di
muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui
selama 35 (tiga puluh lima) tahun;
(b) Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80
(delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikandan diperpanjang di
muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui
selama 30 (tiga puluh) tahun; dan
(c) Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh)
tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus
selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25
(dua puluh lima) tahun.

(2) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dapat diberikan
dan diperpanjang di muka sekaligusuntuk kegiatan penanaman modal, dengan
persyaratanantara lain:
(a)penanaman modal yang dilakukan dalam jangkapanjang dan terkait
dengan perubahan strukturperekenomian Indonesia yang lebih berdaya
saing;
(b)penanaman modal dengan tingkat risiko penanamanmodal yang
memerlukan pengembalian modal dalamjangka panjang sesuai dengan
jenis kegiatanpenanaman modal yang dilakukan;
(c)penanaman modal yang tidak memerlukan area yangluas;
(d)penanaman modal dengan menggunakan hak atastanah negara; dan

19Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 25 Tahun2007.Op.Cit.Pasal 21 butir (a).


(e)penanaman modal yang tidak mengganggu rasakeadilan masyarakat
dan tidak merugikankepentingan umum.
(3) Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa
tanahnya masih digunakan dandiusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan,
sifat,dan tujuan pemberian hak.
(4) Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yangdiberikan sekaligus di
muka dan yang dapat diperbaruisebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dapatdihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jikaperusahaan
penanaman modal menelantarkan tanah,merugikan kepentingan umum,
menggunakan ataumemanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dantujuan
pemberian hak atas tanahnya, serta melanggarketentuan peraturan perundang-
undangan di bidangpertanahan.20

Pengaturan penggunaan hak atas tanah UUPM Pasca Putusan MK

Terhadap Pasal 22 UUPM diajukan permohonan uji material kepada MK karena


dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33. MK memutuskan
bahwa sebagian pengaturan dalam Pasal 22 UUPM tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat. Oleh karenanya Pasal 22 Undang-Undang No. 25 Tahun
2007pasca putusan MK menjadi berbunyi :
(1) kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana
dimaksd dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang dan dapat
diperbaharui kembali atas permohonan penanam modal;
(2) hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan
dan diperpanjang untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara
lain:
(a) penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan
terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih
berdaya saing;
(b) penanaman modal dengan tingkat resiko penanaman modal
yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai
dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan;
(c) penanaman yang tidak memerlukan area yang luas;
(d) penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara;
(e) penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan
masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum.
(3) Hak atas tanah dapat diperbaharui setelah dilakukan evaluasi bahwa
tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan jeadaan,
sifat dan tujuan pmberian hak.
(4) Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan dan yang
dapatdiperbaharui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat
dihentikan atau dibatalkan oleh pemerintah jika perusahaan penanam modal
menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau
memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak
atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang pertanahan.21

20 Ibid. Pasal 22.


Sebagai akibat dinyatakan inskonstitusioanalnya sebagian ketentuan pasal 22 Undang-
Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal tersebut, maka terhadap
pemberian kemudahan dan/atau pelayanan kepada Perusahaan Penanaman Modal
untuk memperoleh Hak Atas Tanah, sepanjang berkaitan langsung dengan Penanaman
Modal, ketentuan yang berlaku adalah keentuan yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan lainnya.22

Pengaturan Hak atas Tanah menurut UUPA

Hukum Tanah Nasional yang pokok-pokoknya tercantum dalam Undang-Undang


No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) merupakan
pelaksanaan langsung dari Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945.23

Hak Guna Usaha (HGU)


HGU adalah hak yang khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya
sendiri guna perusahaan pertanian, perikanan, dan peternakan dengan luas paling
sedikit 5 hektar serta hak ini pun dapat beralih kepada pihak lain dan dapat dibebani
dengan Hak Tanggungan.24
Jangka waktu HGU diatur sebagai berikut:
(1) HGU diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun;
(2) Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan
HGU untuk waktu paling lama 35 tahun;
(3) Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannyajangka
waktu yang dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 pasal ini dapat diperpanjang
dengan waktu paling lama 25 tahun.25
Terkait jangka waktu HGU, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 juga telah
mengatur sebagai berikut:
(1) Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan untuk
jangka waktu paling lama tiga puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk
jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun.
(2) Sesudah jangka waktu Hak Guna Usaha dan perpanjangannya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada pemegang hak dapat diberikan
pembaharuan Hak Guna Usaha di atas tanah yang sama.26

21Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 21,22/PUU-V/2007tanggal 25 Maret


2008.Sumber: http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/litigasi/Putusan%2021,22%20PUU2007%20Penana-
man%20Modal%20-%20Dirjen.pdf

22Zulfi Diane Zaini. Pengaturan Kepemilikan Atas Tanah sebagai Pendukung Kegiatan Investasi di Indonesia.
Dimuat dalam Buku IlmiahPerkembangan Hukum Bisnis dalam Era Globalisasi. Cetakan Pertama. Desember
2017. Bandung: Corleone Books. 2017. Hlm.53.

23 Arie S. Hutagalung. Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah,.(Jakarta: Penerbit Lembaga
Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005.Hlm. 151.

24Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Pasal 28.

25Ibid. Pasal 29.

26Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai. Pasal 8.
Hak Guna Bangunan (HGB)
HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah
yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat
diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.27

Terkait jangka waktu HGBPeraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 juga telah
mengatur sebagai berikut:
(1) Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 diberikan untuk
jangka waktu paling lama tiga puluh tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka
waktu paling lama dua puluh tahun.
(2) Sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan perpanjangannya sebagai-
mana dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat
diberikan pembaharuan Hak Guna Bangunan di atas tanah yang sama.28

Hak Pakai (HP)


HP adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan
kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang
bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. 29
Jangka waktu HP diatur sebagai berikut:
(1) selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnyadipergunakan
untukkeperluan yang tertentu;
(2) dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasaberupa apapun.30
Terkait jangka waktu HPPeraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 juga telah
mengatur sebagai berikut:
(1) Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 diberikan untuk jangka
waktu paling lama dua puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka
waktu paling lama dua puluh tahun atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak
ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
(2) Sesudah jangka waktu Hak Pakai atau perpanjangannya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) habis, kepada pemegang hak dapat diberikan
pembaharuan Hak Pakai atas tanah yang sama.
(3) Hak Pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama
dipergunakan untuk keperluan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diberikan kepada :
a) Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah
Daerah;
b) Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional;
c) Badan keagamaan dan badan sosial.31
27Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.Op.Cit. Pasal35.

28Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Op.Cit. Pasal25.

29Ibid. Pasal 41.

30Loc. Cit.

31Ibid. Pasal 45.


Perbandingan Pengaturan Perolehan Tanah dalam UUPM Pasca Putusan MK
dan UUPA

Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara


hukum, oleh karenanya setiap aktivitas yang dilakukan diwilayah yurisdiksi Indonesia
harus sesuai dengan hukum positif Indonesia. Menurut Sujud Margono, hukum
bertujuan memberikan aturan main (rule of the game), maka berkaitan dengan iklim
investasi asing pembentukan undang-undang terelasi terhadap tujuan penyelenggaraan
penanaman modal itu sendiri di antaranya:
a. Menciptakan birokrasi yang efisien
b. Kepastian hukum di bidang penanaman modal
c. Biaya ekonomi yang berdaya saing
d. Iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan32
Berdasarkan pendapat tersebut, rumusan pengaturan pemberian fasilitas kemudahan
perolehan hak atas tanah untuk investor sudah sesuai dengan diatur melalui undang-
undang, dengan syarat bahwa ketentuan undang-undang tersebut harus sejalan dengan
sumber hukum dan peraturan lain yang mengatur hak pertanahan, agar dapat
menciptakan kepastian hukum.
Pasal 22 UUPM sebagian diputuskan dengan Putusan MK Nomor 21,22/PUU-
V/2007bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mengikat. Sehingga
terhadap pemberian fasilitas kemudahan perolehan tanah untuk penanaman modal
dikembalikan ke pengaturan UUPA.
Berdasarkan Putusan MK Nomor 21,22/PUU-V/2007, sebagian Pasal 22 UUPM
dinyatakan inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 33.
Bagian dari Pasal 22 UUPM yang bertentangan dengan UUD 1945, yaitu Pasal 22
ayat (I) sepanjang menyangkut kata-kata "di muka sekaligus" dan "berupa" dan Pasal
22 ayat (2) sepanjang menyangkut kata-kata "di muka sekaligus" dan Pasal 22 ayat
(4) sepanjang menyangkut kata-kata "sekaligus di muka" juga dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945.33
Pemberian hak atas tanah beserta jangka waktu yang dapat diperpanjang
sekaligus dimuka bukanlah hal yang baru dan telah diatur dalam UUPA namun
Mahkamah Konstitusi berpendapat hal tersebut dapat melemahkan kehendak bebas
negara, bertentangan dengan demokrasi kerakyatan dan menghambat negara untuk
melakukan pemerataan kesempatan bagi pihak lain untuk memiliki tanah.34
Akan tetapi bila Pasal 22 UUPM pra putusan MK dibandingkan dengan UUPA
dan ketentuan dalam PP No.40 Tahun 1996 maka dapat dilihat bahwa pengaturan
terkait jangka waktu HGB, HGU dan HP yang diatur UUPM tidak mengubah batasan
jangka waktu yang diberikan UUPA dan PP No.40 Tahun 1996, yang menjadi
perbedaan adalah dalam UUPA perpanjangan dan pembaharuan jangka waktu hak
diberikan secara bertahap, sedangkan di UUPM perpanjangan dan pembaharuan
dilakukan sekaligus dimuka. Hak untuk evaluasi dan kewenangan negara dalam

32 Sujud Margono. Hukum Investasi Asing di Indonesia. Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 2008. Hlm.15.

33Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 21,22/PUU-V/2007. Op. Cit. Hlm.4

34 Arie S. Hutagalung. Kebijakan Pertanahan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal. Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-38 No.3 Juli-September 2008.
pencabutan dan pembatalan hak atas tanah, pengaturannya di UUPM dan UUPA pun
sejalan.
Kemudian dengan adanya pengaturan terkait kemudahan perolehan hak atas
tanah (HGU,HGU dan HP) dalam UUPM tidak serta merta membentuk
pelaksana/badan baru, akan tetapi dalam prosesnya pemberian hak atas tanah tersebut
mengikuti prosedur sesuai sistem yang telah terbentuk dan pejabat/badan tertentu
yang diberikan kewenangan dari pelaksanaan UUPA atau PP No.40 Tahun 1996.
Dikaitkan dengan asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang
diatu dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pasal 6 ayat (1), rumusan
pengaturan tentang fasilitas yang diberikan pemerintah terhadap investor berkaitan
dengan asas sebagai berikut:
a. Asas pengayoman adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan
ketentraman masyarakat.
b. Asas kenusantaraan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di
daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
c. Asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
d. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan
kepentingan bangsa dan negara.35
Hal ini dapat dilihat dalam rumusan pasal 22 ayat(2) UUPM terkait persyaratan
persyaratan perpanjangan hak atas tanah yaitu di butir a dan e
a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan
perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya saing;

e. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak
merugikan kepentingan umum
serta tegasnya pengaturan tentang peran negara/pemerintah untuk melakukan
intervensi berupa hak evaluasi pemerintah terhadap penggunaan hak atas tanah serta
kewenangan negara dalam pencabutan dan pembatalan hak atas tanah apabila
ditemukan penyalahgunaan hak atas tanah. Selain itu rumusan tersebut juga
mengindikasikanbahwa pemberian fasilitas perolehan hak atas tanah sesuai dengan
tujuan perumusan UUPM yang terdapat dalam Penjelasan umum UUPM yaitu
… penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian
nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi
berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional,
mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing.
35Republik Indonesia.Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan. Penjelasan Umum Pasal 6 ayat (1).
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konsitusi terkait uji materi Pasal 22
UUPM disebutkan bahwa:
Dengan dinyatakannya Pasal 22 UU Penanaman Modal bertentangan dengan Pasal
33 UUD 1945, ketentuan yang berlaku terhadap pemberian kemudahan dan/atau
pelayanan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh hak atas tanah
adalah ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lainnya
sepanjang berkaitan langsung dengan penanaman modal. Khusus mengenai
pemberian, perpanjangan, dan pembaruan hak-hak atas tanah (HGU, HGB, dan
Hak Pakai) berlaku ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.36
Hal ini juga dapat dimaknai bahwa pelaksanaan pemberiankemudahan
dan/atau pelayanan kepada perusahaan penanaman modaluntuk memperoleh hak atas
tanah dapat dilaksanakan, karena didalam prakteknya sudah terbentuk suatu sistem
prosedur dan sudah ditentukan pejabat/ badan pemerintah yang terkait serta
kewenangannya masing dalam pemberian HGU, HGB, dan HP yang dibentuk
sebagai amanat/pelaksanaan dari pengaturan tentang perolehan hak atas tanah di
UUPA dan PP No.40 Tahun 1996 khususnya untuk HGU,HGB dan HP.

IV. Komparisi pengaturan investasi dalam UUPM dengan pengaturan di


Vietnam

A. Persamaan dan Perbedaan Antara UUPM denganLIV


Komparasi yang kami lakukan dengan langkah awal mencari persamaan dan
perbedaan antara LIV dengan UUPM. Kami mengklasifikasikan substansi perbandingan
kedalam 5 klasifikasi yang diatur oleh kedua undang- undang, yaitu: lingkup investasi,
Jaminan dan/ atau kewajiban Pemerintah, hak investor, kewajiban investor dan transfer
dan repatriasi dalam valuta asing. Persamaan dan perbedaan dari kedua undang-undang
adalah sebagai berikut:

a) Lingkup investasi
1. Persamaan
Berikut merupakan tabel persamaan pengaturan tentang lingkup investasi antara
UUPM dengan LIV:
No Substan UUP LI
si M V
1 Subyek hukum: Asing dan Ps.1 angka 1 Ps. 2 ayat (1)
domestik
2 Organisasi dan individu Ps.5 ayat (1) Ps.2 ayat (2) jo Ps.3
ayat (4)
3 Jenis investasi: langsung Ps.2 Ps.3 angka 2
4 Pembatasan bidang Ps.12 Ps.30,Ps.29
investasi

36Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 21,22/PUU-V/2007. Loc.Cit.


5 Pengaturan sektor Ps.12 ayat (1), (2), dan Ps.30 jo Ps.31 ayat
investasi dilarang (3) jo Perpres No.76 (1)
Tahun 2007 tentang
Kriteria Dan
Persyaratan
Penyusunan Bidang
Usaha Yang Tertutup
Dan Bidang Usaha
Yang TerbukaDengan
Persyaratan Di
Bidang
Penanaman Modal

Persamaan dari UUPM dan LIV terkait lingkup penyelenggaraan investasiantara


lain:
1) Subyek hukum yang diperbolehkan berinvestasi adalah
investor asing dan domestik atau dalam UUPM disebut dengan
investor dalamnegeri;
2) Investor dapat berupa organisasi maupunindividu;
3) Jenis investasi langsung maupun portofolio atau investasi
tidak langsung;dan
4) Melakukan pengelompokan bidang usaha, dimana investasi
tertutup, terbuka dan terbuka dengan persyaratan. Kriteria
investasi tertutup adalah segala bidang investasi yang
membahayakan keamanan, pertahanan, kepentingan, moral,
budaya, lingkungan hidup, dan kesehatan nasional yang dilarang
untuk dikelola maupun tersentuh oleh modal atau pihak asing.
Mengenai kriteria dari investasi terbuka dengan syarat dibahas
dalam perbedaan lingkupinvestasi.

2. Perbedaan
Berikut merupakan tabel perbedaan pengaturan tentang lingkup investasi antara
UUPM dengan LIV:

No. Substan UUP LI


si M V
1 Jenis investasi: tidak X Ps.3 angka 3
langsung/ portofolio UUPM
mendelegasikan
pengaturan ke UU
No.8
Th.1995 tentang
Pasar Modal
2 Betuk-bentuk investasi X Ps.26
tidak
langsung
3 Investor asing wajib Ps.5 ayat (2) X
dalam bentuk Lihat Ps 1 dan
perseroan terbatas 3,tidak diatur
dalam investasi mengenai
langsung keharusaan tsb.
4 Sektor investasi X Ps.29
terbuka dengan Perpres No.76 Tahun sektor dimana
persyaratan 2007 tentang Kriteria investasi
Dan Persyaratan bersyarat
Penyusunan Bidang
Usaha Yang Tertutup
Dan Bidang Usaha
Yang Terbuka Dengan
Persyaratan Di Bidang
Penanaman Modal

Perbedaannya adalah:
(1) UUPM mendelegasikan pengaturan investasi tidak langsung ke UU
No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, sedangkan LIV mengatur investasi
langsung dan investasi tidaklangsung.
(2) Jika investor asing ingin melakukan investasi langsungdiIndonesia
wajib dalam bentuk Perseroan Terbatas (kecualiditentukan lain oleh
undang-undang), hal ini berbeda dengan apa yang diatur LIV, tidak ada
keharusan dalam bentuk Perseroan Terbatas.
(3) Pengaturan tentang investasi bersyarat juga berbeda pada kedua
undang-undang. LIV merinci sektor apa saja yang merupakasektor investasi
bersyarat. UUPM tidak mencantumkan hal yang sama, untuk mengetahui
sektor investasi bersyarat maka kita perlu menilik Peraturan Presiden No.77
Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Terbuka Dengan
Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

b) Jaminan dan/ atau kewajibanPemerintah

1. Persamaan
Berikut merupakan tabel persamaan pengaturan tentang jaminan dan/ atau
kewajiban Pemerintah antara UUPM dengan LIV:

No Substan UUP LI
si M V
1 Memberikan perlakuan Ps.4 ayat (2)
yang Ps.4 ayat (2)
sama
2 Peran pemerintah Ps.4 ayat (1) huruf a
untuk mendorong
investasi
dinegaranya
3 Jaminan negara bagi Ps.4 ayat (2) huruf b jo Ps.4 ayat (3)
investor dalam Ps.30 ayat (1) Pengakuan dan
berinvestasi Kepastian hukum, perlindungan aset,
kepastian berusaha, modal, hak-
dan keamanan haklain,
kepentingan dan
keberadaaninves
tor
4 Pelaksanaan Nasionalisasi Ps.7 Ps.6
5 Perlindungan Hak Diatur dalam UU Ps.7
atas Kekayaan Hak Cipta, Design
Intelektual Industri,
Merek dll.
6 Pernyataan tegas Pasal 6 ayat (2) Ps.4 ayat (4) jo Ps.5
meratifikasi ayat (3)
perjanjian internasional

Persamaan pengaturan tentang jaminan dan/ atau kewajiban Pemerintah antara


UUPM dengan LIV antara lain:
1) Pemerintah memberikan jaminan untuk memberikan perlakuan yang
sama pada para investor (asing maupun dalamnegeri)37;
2) Jaminan tidak akan menasionalisasi perusahaan,ataupunjika terpaksa
melakukannya akan memberikan penggantian sesuai harga pasar pada saat
dilaksanakannyanasionalisasi;
3) Jaminan perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual, hanya
pengaturan mengenai HaKI di negara Indonesia diatur dalam undang-undang
lain tidakmenjadi satu dalam UUPM; dan
4) Pemerintah akan memberikan perlakuan mengesampingkan UU
investasi terhadap investor

2. Perbedaan

Berikut adalah tabel perbedaan pengaturan tentang jaminan dan/ atau kewajiban
Pemerintah antara UUPM dengan LIV:

No. Substansi UUP LI


M V
1 Pemerintah tidak memaksa X Ps.8 ayat (2)
investor untuk menggunakan huruf a

37Merupakan peraturan tentang kewajiban perlakuan Pemerintah yang mengadopsi perlakuan national
treatment (memberikan perlakuan yang sama, baik kepada investor asing maupun domestik, individu maupun
badan hukum dalam kegiatan investasi), serta prinsip Most Favoured Nation (perlakuan yang sama antar negara
yang satu dengan negara yang lain) diadopsi dari prinsip GATT/WTO.
barang-barang/ jasa dari
produsen dalam negeri
2 Pemerintah tidak memaksa investor X Ps.8 ayat (2)
untuk huruf b
pembatasan kuantitas ekspor
3 Pemerintah tidak memaksa X Ps.8 ayat (2)
investor untuk impor barang pada huruf c
jumlah yang sama
dengan nilai barang ekspor
4 Pemerintah tidak memaksa investor X Ps.8 ayat (2)
untuk huruf d
memenuhi jumlah rasio lokalisasi
5 Pemerintah tidak memaksa investor X Ps.8 ayat (2)
untuk memasok barang atau huruf e
menyediakan layanan
disuatu lokasi(dalam maupun luar
negeri)
6 Pemerintah tidak memaksa investor X Ps.8 ayat (2)
untuk huruf g
mendirikan kantor pusat disuatu
lokasi tertentu
7 Jaminan penerapan harga yang sama. X Ps.10
(harga
barang,
administrasi
dan layanan
yang
diselenggara
kan negara)
8 Jaminan dalam hal terjadi perubahan X Ps.11
kebijakan.
9 Pemerintah menjamin atau X Ps.16 ayat (2)
membantu keseimbangan mata dari sejumlah
uang asing. proyek
penting di
sektor energi,
pembangunan
fasilitas
infrastruktur
lalu lintasdan
pengolahan
limbah
10 Bila diperlukan Pemerintah X Ps.17 ayat (2)
harus menyediakan kondisi
untuk tugas atau
penyesuaian modal proyek-proyek
11 Dorongan dalam X Ps.43 ayat (1)
(1) Untuk pengembangan
kawasan industri dan beberapa
zona investasi yang disetujui
Pemerintah, Pemerintah harus
merumuskan rencana investasi
induk dan mengatur
pembangunan teknis dan
infrastruktur sosial diluar zonasi
yang merupakan dibawah
manajemenmereka.
(2) Negara memberikanbantuan
parsial untuk daerah untuk
berinvestasi bersama-sama
dengan investor dalam
pembangunan infrastruktur
daerah dengan sulit kondisi
sosialekonomi
(3) Negara menyediakan modal
investasi dari APBN dan dana
preferensial untuk membantu
investasi dalam pengembangan
sistem infrastruktur teknis dan
sosial dari zonasi atau dengan
metode meningkatkan modal
dalam rangka berinvestasi dalam
pengembangansaranaprasarana
berteknologitinggi
12 Sektor insentif investasi (Hanya Ps.18 ayat (2) Ps.32
untuk investor yang dan (3) Masih ayat (2)
melakukan perluasan usaha atau terdapat jo Ps.27
penanaman modal baru, beberapa (1) Pembua
meningkatkan kapasitas produksi/ kriteria lainnya, tan material
kapasitas bisnis, renovasi teknologi/ hanya saja baru,produksi
meningkatkan kualitas produk, atau bersifat energi baru,
mengurangi polusi lingkungan) alternatif produk
(untuk dipilih teknologi
salah satunya) tinggi, bio-
teknologi,
teknologi
informasi,
manufakturme
kanik.
(2)pemeliharaan
, tumbuhan dan
pengelolaan
hasil pertanian,
kehutanan dan
produk
perikanan,
produksi garam,
penciptaan
pabrik baru dan
pemeliharaan
berbagai hewan.
(3)penggunaant
eknologi tinggi
dan teknik
canggih,
perlindungan
ekologi,
penelitian,
pengembangan
dan penciptaan
teknologi tinggi
(4)buruh
industriyang
intensif
(5)konstruksi
dan
pembangunan
sarana
infrastruktur
dan proyek-
proyek industri
penting dengan
sekalabesar
(6)profesional
pengembangan
pendidikan,
pelatihan,
kesehatan,
olahraga,
pendidikan
jasmani dan
budayaVietna
m.
(7)pengembang
an kerajinan
tradisional dan
industri
(8)sektor
manufaktur dan
jasa yang
membutuhkan
dorongan.
Pasal28
(1)daerah
dengan sulit
kondisi sosial
ekonomi,
wilayah khusus
dengan kondisi
kesulitan sosial
ekonomi
(2)zona industri,
zona
pemrosesan
ekspor,zona
teknologi tinggi
dan zona ekonomi

Dilihat dari tabel diatas, LIV lebih banyak mengatur mengenai jaminan-jaminan
Pemerintah kepada investor dalam berinvestasi, antara lain:
1) Jaminan Pemerintah tentang tidak memaksa investor untuk
menggunakan barang-barang/ jasa dari produsen dalamnegeri;
2) Tidak akan membatasi kuantitasekspor;
3) Ikut campur dalam hal kuantitasekspor-impor;
4) Jaminan menerapkan harga yang sama untuk barang, biaya
administrasi maupun layanan lain yang diselenggarakan negara;
5) Membantu membiayai pelaksanaan alih teknologi dan bantuan
pelatihan kerja dari dana APBN;dan
6) Jaminan dalam hal terjadi perubahan kebijakan, bilamana
menguntungkan investor dapat menerapkan kebijakan yang baru, dan bila
sebaliknya negara menjamin menerapkan kebijakan sesuai insentif pada
sertifikat investasi, dengan memenuhi persyaratan yang berlaku,dst.
Jaminan yang di sebutkan diatas, merupakan jaminan yang tidak diberikan oleh
UUPM. Padahal, jaminan tersebut akan menarik minat investor karena
kemudahan yang diberikan dan memberikan daya prediksi, serta nilai keuntungan
ekonomi (Economic Opportunity).

c) Hakinvestor

1. Persamaan

Berikut adalah tabel persamaan pengaturan tentang hak investor antara UUPM
dengan LIV:

No. Substan UUP LI


si M V
1 Hak menggunakan tenaga Ps.10 ayat (2) Ps.14 ayat (3)
kerja asing
2 Fasilitas hak penggunaan Ps.21 Ps.18
lahan
3 Insentif pajak Ps.18 ayat (4) Ps.33 jo Ps.35 ayat
preferensial joPeraturan (2)
(pembebasan dari dan Pemerintah No.62
pengurangan pajak Tahun 2008
Dalam bentukpajak: perubahan atas PP
(1) Pajak No.1 Tahun 2007
penghasilan tentang Fasilitas
badan, dan Pajak Penghasilan
penghasilannet untuk Penanam
o Modal di Bidang-
(2) bea masuk bidang Usaha
impor barang Tertentu dan atau di
modal, mesin, Daerah-daerah
atau peralatan tertentu.
untuk keperluan
produksi yang
belum dapat
diproduksi
dalam negeri
(3) Bea masuk
bahan baku/
bahan
penolong
untuk
produksi
(4) PBB
Hak investor yang dicantumkan dalam undang-undang memberikan gambaran
tentang, apa saja yang akan investor dapatkan selama berinvestasi disuatu negara.
Minat investor dapat muncul apabila hak yang diberikan membawa dampak
positif bagi investasi yang akan dilakukannya (selain dipengaruhi oleh faktor
sosial-politik). Investor berhak untuk mendapatkan:
1) Lahan untuk berusaha, merupakan hal yang paling dasar yangpenting
untuk penyelenggaraan investasi langsung;
2) Menggunakan tenaga kerjaasingInsentif pajak preferensial38 (pajak
penghasilan, bea masuk impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk
keperluan produksi yang belum dapat diproduksi dalam negeri, bea masuk
bahan baku/ bahan penolonguntuk produksi dan Pajak Bumi dan
Bangunan).
2. Perbedaan

38Tindak lanjut dari perjanjian internasional yang diratifikasi (WTO), yaitu mengenai pemotongan tarif.
Berikut merupakan tabel perbedaan pengaturan tentang hak
No. Substan UUP LI
si M V
1 Pemberian hak otonom X Ps.4 ayat (1) jo Ps.1
kepada investor untuk (memilih sektor,
berinvestasi bentuk investasi,
metode meningkatka
modal, lokasi
geografis, skala
investasi, mitra dan
durasi
operasi proyek)
2 Kesetaraan dalam X Ps.14 ayat (1)
mengakses dan
menggunakan sumber
modal kredit dan dana
bantuan dan dalam
penggunaan lahan dan
sumber daya alam sesuai
dengan hukum
3 Hak untuk membeli mata X Ps.16 ayat (1)
uang asing (bisnis
dalamrangka
memenuhi
permintaan transaks
transaksi modal dan
transaksi lainnya)
4 Investor berhak X Ps.17 ayat (1)
menetapkan atau
menyesuaikan modal
atau suatu proyek
investasi. Bila terdapat
laba usaha, pajak
harus dibayarkan.
5 Investor memiliki hak X Ps.19 ayat (3)
untuk berkontribusi
pendapat mengenai
hukum maupun
kebijakan investasi
6 Insentif pajak Ps.18 ayat (4) X
pertambahan nilai, dan huruf d, e,dan f
penyusutan/
amortisasi yang dipercepat
7 Insentif berupa membawa X Ps.34
kerugian maju.
8 Proyek investasi di X Ps.35
daerah dengan efisiensi
ekonomi tinggi dikenai
depresiasi dipercepat dari
aset tetap, tarif maksimal
dari depresiasi tidak
boleh lebih besar 2 kali
lipat dari tarif depresiasi
yang ditentukan
peraturan tentang
penyusutan aktiva tetap
9 Fasilitas-fasilitas hanya Ps.20 X
akan diberikan kepada Hanya perlu memenu
investor asing yang ketentuan Ps.32 ayat
berbentuk jo Ps.27 jo Ps.28
perseroan terbatas
10 Insentif penggunaan Ps.22 Ps.36
lahan Diklasifikasikan Tidak bol
berdasar jenis HAT: lebih dari
(1)HGU: 95 tahun, jik
tahun, dapat dengan
diperpanjang modal be
dimuka selama dan tingk
60 tahun dan pegembal
dapat modal
diperbaharui lambat/
selama 35tahun didaerah
(2)HGB: 80 sulit kond
tahun, dapat sosial
diperpanjang ekonomi,
dimuka selama tidak bole
50 tahun, dan lebih dari
dapat tahun, dap
diperbaharui diperpanj
selama 30tahun dengan
(3)HP: 70 tahun, persyarata
dapat
diperpanjang
dimuka selama
45 tahun dan
dapat
diperbaharui
selama 25 tahun
Namun harus
memenuhi syarat
pada ayat (2),
(3)dan
Pasalini.

11 Keimigrasian Ps.23 Ps.44


Pemberian Visa masuk dan kelu
kemudahan bagi ahli/ teknisi
pelayanan dan (beserta keluarganya
perizinan, bagi yang bekerja untuk
investor asing, ahli/ investor di Vietnam
teknisi asing, dan diberikan maksimum
calon investor yang selama 5 tahun
akan melakukan
penjajakan
(diberikan setelah
mendapat
rekomendasi dari
Badaan Koordinasi
Penanaman Modal)

Izin tinggal terbatas


selama maksimal 2
tahun, jika hanya
menggunakan waktu
selama 1 tahun
diberi izin masuk
kembali beberapa
kali perjalanan
selama 12 bulan, jika
2 tahun maka izin
masuk kembali
beberapa kali
perjalanan selama 24
bulan. Izin tinggal
terbatas dapat
dijadikan izin tetap
bila tinggal tetap di
Indonesiaselama
2 tahun berturut-turut.
12 Bisnis investasi yang X Ps.67
didanai
oleh negara

13 Perpanjangan pemberian X Ps.39


insentif dapat
diperpanjang
14 Investor memiliki hak X Ps.19 ayat (2)
akses dan penggunaan
layanan
publik
15 Hak Investor X Ps 19 ayat (3)
mendapatkan data
tentang perekonomian
nasional, data tentang
sektor ekonomi dan
informasi terkait
kegiatan investasi
16 Hak investor untuk X Ps.19 ayat 4
mengajukan keluhan
dan membuat
pembatalan/ tindakan
hukum yang terkait
dengan pelanggaran
hukum
17 Hak untuk impor dan X Ps.15
ekspor
untuk melakukan
pemasaran dan beriklan
dan berproduksi

Dalam LIV ditekankan bahwa investor memiliki hak otonom untuk berinvestasi
dalam hal:
1) Memilih sektor;
2) Bentuk investasi;
3) Metode meningkatkan modal;
4) Lokasigeografis;
5) Skalainvestasi;
6) Mitra, dan durasi operasiproyek;
7) Kesetaraan dalam mengakses dan menggunakan sumber modal kredit
dan danabantuan;
8) Penggunaan lahan dan sumber daya alam sesuai dengan hukum;
9) Hak berkontribusi pendapat mengenai hukum maupun
kebijakaninvestasi;
10) Melakukan kegiatan ekspor-impor,pemasaran,kegiatan produksi;
11) Akses layanan publik, dan mendapatkan informasi terkait investasi.
Hak-hak diatas merupakan hak dasar dari para investor, walaupun senyatanya tidak
ditegaskan dalam UUPM akan tetapi hal tersebut layaknya kebiasaan dalam
berinvestasi.
Perbedaan yang mendasar adalah insentif membawa kerugian maju yang tidak
diatur dalam UUPM. Apabila investor mengalami kerugian setelah selesainya
finalisasi pajak dengan kantor pajak, jumlah kerugian harus dihilangkan terhadap
penghasilan kena pajak untuk keperluan pajak penghasilan perusahaan tersebut.
Insentif lain yang menjadi hak investor seperti jangka waktu izin penggunaan lahan
juga berbeda. Berdasarkan data yang didapat dari kedua undang-undang, jangka
waktu mengenai penggunaan lahan di Indonesia (UUPM) lebih lama dibandingkan
dengan pengaturan pada LIV. Lain halnyadengan bidang keimigrasian, LIV
memberikan visa dengan jangka waktu yang lebih lama yaitu 5 tahun, sedangkan
UUPM hanya memberikan izin tinggal sementara maksimal 4 tahun dan/ atau telah
tinggal selama 2 tahun berturut-turut di Indonesia dapat diubah izinnya menjadi izin
tinggal tetap. Hal yang tidak diatur LIV dan diberikan oleh UUPM adalah pengaturan
tentang hak investor mendapatkan insentif pajak pertambahan nilai (PPN), dan
penyusutan/ amortisasi yangdipercepat.

d) Kewajibaninvestor

1. Persamaan
Berikut merupakan tabel persamaan pengaturan tentang kewajiban investor
antara UUPM dengan LIV:

No. Substan UUP LI


si M V
1 Menjalankan kewajiban prinsip Ps.15 huruf a Ps.20 ayat (3)
tata
kelola perusahaan yang baik
2 Melaksanakan Ps.15 huruf b jo Ps.20 ayat (6)
kewajiban UU No 23 Th.1997
perlindungan tentang
lingkungan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
3 Kewajiban menghormati tradisi Ps.15 huruf d Ps.20 ayat (4)
budaya/ kebiasaan masyarakat
Prosedur pelaksanaan insentif. X Ps.38
Poyek investasi domestik dan
asing: Kewajiban meniai diri
sendiri untuk insentif sesuai
ketentuan insentif lalu
melakukan prosedur
perrmohonan pada badan yang
berkompeten
mengaturtentangpemberian
insentif investasi, yang
kemudian akandiberikan

Persamaan dari kedua undang-undang adalah kewajibaninvestor untuk:

1) Menjalankan prinsip tata kelola perusahaan yangbaik;

2) Perlindunganlingkungan;dan
3) Menghormati tradisi budaya/ kebiasaan masyarakat tempat mereka
menjalankan kegiataninvestasi.

Persamaan kewajiban investor seperti perlindunganlingkungan dan menghormati


tradisi budaya/ kebiasaan masyarakat tempat menjalankan investasi menurut
Penulis merupakan wujud dari kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility).
CSR atau dalamPasal74UUNo.40tahun2007tentangPerseroanTerbatas,disebut
dengan tanggung jawab sosial lingkunganmerupakankewajiban perusahaan.

2. Perbedaan

Berikut merupakan tabel perbedaan pengaturan tentang kewajiban investor antara


UUPM dengan LIV :

No. Substan UUPM LIV


si
1 Keharusan mengutamakan tenaga Ps.10 ayat X
kerja (1)
dalam negeri
2 Alih teknologi dan pelatihan Ps.10 ayat (3) Ps.40 jo Ps.41
pekerja Kewajiban Negara
investor dan membantu/
tenaga kerja memberikan
asing dorongan bagi
meningkatkan investasi yang
kompetensi menciptakan
tenaga kerja transfer teknolog
domestik dan membantu
melalui dengan dana
pelatihan dan APBN untuk
melakukan alih pelaksanaanpelat
teknologi han
karyawan.
3 Kewajiban memenuhi X Ps.20 ayat
ketentuan sertifikat (1)
investasi dan dokumen
sertifikasi.
4 Kewajiban investor X Ps.20 ayat
menghormati dan menciptakan (5)
kondisi yang menguntungkan
bagi karyawan untuk
mendirikan atau berpartisipasi
dalam organisasi politik dan
organisasi sosial
Politiksertifikat investasi.
Beberapa hal kewajiban investor yang tidak dimiliki oleh UUPM akan tetapi
dimiliki oleh LIV antara lain kewajiban:
1) Memenuhi ketentuan sertifikat investasi dan dokumen sertifikasi;dan
2) Kewajiban menghormati dan menciptakan kondisi yang
menguntungkan bagi karyawan untuk mendirikan atau berpartisipasi dalam
organisasi politik dan organisasi sosial politik.

Hal lain yang UUPM atur tentang kewajiban investor, yang LIV tidak miliki
adalah kewajiban tentang mengutamakan tenaga kerja dalam negeri untuk
berkerja di perusahaan yang dimiliki investor, hal ini Penulis yakini merupakan
semangat dari legislator dalam mengurangi angka pengangguran di Indonesia.
V. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan
1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal mengatur
mekanisme pelaksanaan penanaman modal di Indonesia mencakup semua kegiatan
penanaman modal langsung di semua sektor yang bertujuan adanya kepastian hukum
dan keamanan dalam penanaman modal melaluipelayanan terpadu satu pintu (PTSP)
baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk menpatkan perzinan
dibidang penanaman modal. Selain itu, Undang-Undang Penaman Modal dan Hukum
Otonomi Daerah yangbersumber dari Peraturan Perundang-undangan dibidang
Pemerintahan Daerah telah mengatur agar terciptanya peningkatan koordinasi antar
instansi Pemerintah, Kementerian/Lembaga dan dengan Pemerintah Daerah Provinsi,
Kabupaten dan Kota guna menciptakan iklim investasi yang baik di Indonesia yang
bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Pengaturan terkait kemudahan perolehan hak atas tanah, yaitu hak pakai, hak
guna usaha dan hak guna bangunan,untuk penanam modal di Indonesia dikembalikan
sesuai dengan pengaturan dalam UUPA dan peraturan pelaksana lainnya yang
mengatur ketiga hak tersebut. Prosedur maupun kewenangan kelembagaan dalam
proses perolehan hak atas tanah untuk penanam modal di Indonesia juga mengikuti
ketentuan dalam UUPA.
3. Berdasarkan perbandingan UUPM dengan LIV, maka di peroleh kesimpulan
bahwa LIV memberikan pengaturan yang lebih komprehensif tentang investasi.
Banyak peraturan yang tidak dicantumkan (secara eksplisit maupun implisit) dalam
UUPM meskipun dalam pelaksanaannya beberapa hal berlaku untuk investor di
Indonesia. Lengkapnya suatu UU mengatur maka semakin baik pula nilai kepastian
hukum yang diberikan. Analisa yang telah dilakukan menunjukkan bahwa LIV
memberikan kepastian hukum lebih baik dari pada UUPM. Selain itu, LIV mengatur
investasi lebih sistematis. Investor hanya perlu melihat LIV untuk pengaturan-
pengaturan tentang investasi, daftar sektor investasi tertutup dan bersyarat serta
pengaturan lain yang di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundang-
undangan.Mengenai keberpihakan, kami berpendapat kedua UU tersebut sebagian
besar berpihak pada Investor maupun terhadap pada negara dan warga negaranya.
Secara implisit kegiatan investasi yang didorong pertumbuhannya adalah untuk
kepentingan negara (pembangunan nasional) dan kesejahteraan masyarakat yang
diterjemahkan dalam pengaturan tentang pemberian kemudahan bagi investor maupun
perlindungan tenaga kerja domestik dan keharusan untuk alih teknologi.

B. Saran
1. Semangat desentralisasi dan otonomi daerah, hendaknya dapat terus memacu
pemerintah daerah untuksecara cerdas mendorong pembangunan daerahnya dan
meningkatkan pendapatan daerahnya dengan cara menggali potensi daerah dan menarik
investor, serta koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah perlu
ditingkatkan kembali baik untuk mendukung kemudahan perijinan investasi maupun
dalam aspek pengawasan terhadap investor yang merupakan konsekuensi dari
penerbitan perijinan.
2. Pemerintah hendaknya dapat terus melakukan evaluasi baik terhadap
pengaturan, dan pelaksanaan ketentuan terkait perolehan hak atas tanah untuk investor.
Hal ini bertujuan baik untuk menjamin kepastian hukum penanam modal dalam
melakukan usaha dan menjamin bahwa kepentingan umum terhadap tanah dapat
diakomodir secara adil.
VI.
VII. Daftar Pustaka

A. Produk Hukum
Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 21,22/PUU-V/2007,
tanggal 25 Maret 2008.http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/litigasi/Putusan21,-
22PUU2007PenanamanModalDirjen.pdf.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
_______. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
_______.Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
_______.Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
_______.Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai.

B. Buku
A. F. Elly Erawati. Meningkatkan Investasi Asing di Negara-negara Berkembang: Kajian
Terhadap Fungsi dan Peran dari “The Multilateral Investment Guarantee Agency”.
Pusat Studi Hukum, Fakultas Hukum Unpar Bandung, Seri Tinjauan dan Gagasan
No.10.1989.
Abdul Halim. Seri Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Analisis Investasi (Belanja
Modal) Sektor Publik – Pemerintah Daerah. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan
Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN. 2008.
Asropi, Sistem Pelayanan Terpadu: Strategi Perbaikan Iklim Investasi Di Daerah, dalam
Bunga Rampai Administrasi Publik: Dimensi Pelayanan Publik dan Tantangannya
dalam Administrasi Negara (Publik) di Indonesia. Jakarta: Lembaga Administrasi
Negara. 2007.
Arie S. Hutagalung. Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Jakarta: Penerbit
Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia.2005.
Dhaniswara K. Harjono. Hukum Penanaman Modal. Tinjauan Terhadap Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Jakarta: Rajagrafindo Persada.2007.
Aminuddin Ilmar. Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Jakarta: Kencana.2007.
Nurlan Darise. Pengelolaan Keuangan Daerah. Cet. 2. Jakarta: PT. Indeks.2006.
Sentosa Sembiring. Hukum Investasi: Pembahasan dilengkapi dengan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Bandung: Nuansa Aulia.2008.
Sujud Margono. Hukum Investasi Asing di Indonesia. Jakarta: Novindo Pustaka
Mandiri.2008.

C. Artikel
Arie S. Hutagalung. Kebijakan Pertanahan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal. Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-38 No.3 Juli-
September 2008.
Priyo Hari Adi. Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Era Otonomi Dan Relevansinya
Dengan Pertumbuhan Ekonomi (Studi Pada Kabupaten Dan Kota Se Jawa-Bali).
Artikel yang dipresentasikan dalam The 1st Accounting Conference yang
diselenggarakan Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia pada
tanggal 7-9 November 2007.
Badan Pusat Statistik. Indikator Strategis Nasional. Sumber:
https://www.bps.go.id/QuickMap?id. Diakses 02 Oktober 2018.
Usha Dar dan Pratap K. Dar. Investment Opportunities in ASEAN Countries. New Delhi:
Sterling Published Pvt, Ltd. 1970. Sumber: https://catalogue.nla.gov.au/Record/125912.
Diakses 03 Oktober 2018.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Economic Forecast
Summary:Indonesia. Sumber: https://www.oecd.org/eco/outlook/economic-forecast-
summary -indonesia-oecd-economic-outlook.pdf. Diakses 02 Oktober 2018.
Zulfi Diane Zaini. Pengaturan Kepemilikan Atas Tanah sebagai Pendukung Kegiatan
Investasi di Indonesia. Dimuat dalam Buku Ilmiah Perkembangan Hukum Bisnis dalam
Era Globalisasi. Cetakan Pertama. Desember 2017. Bandung: Corleone Books. 2017.
D. LAMPIRAN MEMUAT DAFTAR PERTANYAAN DAN JAWABAN
PADA SAAT PERSENTASE KULIAH KELAS B, SELASA, 9 OKTOBER 2018:

1. Pertanyaan Andi Savanto: Siapa yang menjadi pihak dilembaga Arbitrase


bilamana terjadi sengketa Investasi?

Jawaban: Yang menjadi pihak yang tampil sebagai pihak jika terjadi sengketa
investasi di lembaga Arbitrase adalah Pihak yang berinvestasi dengan Pemerintah
Indonesia setelah terlebih dahulu diselesaikan secara musywarah dan mufakat
sebagaimana lazimnya penyelesaian setiap sengketa selalu diawali dengan
musyawarah dan mufakat, bilamana upaya musyarah dan mufakat tersebut tidak
tercapai maka ditempuh upaya penyelesaian melalui Lembaga Arbitrase. Proses dan
tahapan tersebut sesuai dengan Pasal 32 UU Nomor 25 Tahun 2007, yang berbunyi
sebagai berikut:
1) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah
dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa
tersebut melalui musyawarah dan mufakat.
2) (2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase
atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
3) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah
dengan penanam modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa
tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika
penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa
tersebut akan dilakukan di pengadilan.
4) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah
dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut
melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.

2. Pertanyaan Andi Savanto: Sistem apa yang tepat untuk mendukung


pelaksanaan Investasi di Indonesia dari sistem Pemerintahan Daerah antara Sistem
Desentarlisasi atau Sistem Sentralisasi?
Jawaban: Untuk menjawab pertanyaan mengenai Sistem Pemerintahan yang relevan
untuk mendukung Penanaman Modal di Indonesia antara Sistem Desentralisasi
dengan Sistem Sentralisasi adalah sangat bergantung pada terpenuhinya hak dan
kewajiban bagi penanam modal di Indonesia oleh Pemerintahan (Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah) sebagaimana asas penanaman modal dan tujuan
penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia, koordinasi pelaksanaan kebijakan
penaman modal, kepastian dan keamanan berusaha bagi pelaksanaan penanaman
modal, proses dan tahapan yang harus ditempuh untuk mendapatkan perizinan
dibidang penanaman modal melalui Pelayanan terpadu satu pintu bertujuan membantu
penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan
informasi mengenai penanaman modal baik oleh Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah yang kesemuanya itu telah secara lengkap diatur dalam UU
Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Peraturan Perundang-undangan
dibidang Penanaman Modal dan Peraturan Perundang-undangan dibidang
Pemerintahan Daerah telah mengatur kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah untuk mendukung pelaksanaan penanaman modal di Indonesia.

Untuk menjamin kepastian dan keamanan berusaha bagi pelaksanaan penanaman


modal di Indonesia, pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah memberikan suatu
jaminan, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UU Penanaman Modal menyatakan:

(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin kepastian dan


keamanan berusaha bagi pelaksanaan penanaman modal.
(2) Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan penanaman modal yang
menjadi kewenangannya, kecuali urusan penyelenggaraan penanaman modal
yang menjadi urusan Pemerintah.
(3) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang
merupakan urusan wajib pemerintah daerah didasarkan pada criteria
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi pelaksanaan kegiatan penanaman
modal.
(4) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas provinsi
menjadi urusan Pemerintah.
(5) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas
kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah provinsi.
(6) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu
kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota.
(7) Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal, yang
menjadi kewenangan Pemerintah adalah :

a. penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak


terbarukan dengan tingkat risiko kerusakan lingkungan yang tinggi;
b. penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas
tinggi pada skala nasional;
c. penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan
penghubung antarwilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi;
d. penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan
dan keamanan nasional;
e. penanaman modal asing dan penanam modal yang mengunakan
modal asing yang berasal dari pemerintah Negara lain, yang didasarkan
perjanjian yang dibuat oleh Pemrintah dan pemerintah Negara lain;
f. Bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan pemerintah
menurut Undang-undang..

(8) Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang


menjadi kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (7),
Pemerintah menyelenggarakannya sendiri, melimpahkannya kepada gubernur
selaku wakil Pemerintah, atau menugasi pemerintah kabupaten/kota.
(9) Ketentuan mengenai pembagian urusan pemerintahan di bidang
penanaman modal diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
3. Pertanyaan Auditya Saputra: Dalam Pasal 22 UUPM disebutkan bahwa
kegiatan penanaman modal dilakukan tanpa merugikan kepentingan umum. Apakah
maksud kepentingan umum disini bertentangan dengan maksud kepentingan umum
dalam Perpres Nomor 148 Tahun 2015 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum.

Jawaban:
Dalam Perpres No. 148/2015 yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah
kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh
pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Pengaturan dalam Perpres tersebut sangat erat kaitannya dengan pengaturan


pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diatur dalam dalam pasal 18 UUPA:
Untuk Kepentingan Umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari Rakyat, hak-hak atas Tanah dapat dicabut, dengan
memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-
undang.

Mengingat bahwa pengaturan mengenai pemberian perolehan hak atas tanah untuk
investor dikembalikan ke UUPA dan konstruksi Pasal 22 UUPM pasca Putusan MK
yang sejalan dengan pengaturan dalam UUPA maka kami dapat menyimpulkan bahwa
prinsip mengutamakan kepentingan umum ini juga tidak bertentangan dengan yang
dimaksud dalam Perpres 148/2015 tersebut.

Namun demikian perlu juga dipahami bahwa hak pribadi atas tanah (perseorangan
maupun badan hukum) tidak sertamerta hilang bila dihadapkan dengan kepentingan
umum. Terdapat mekanisme dalam pembebasan lahan untuk kepentingan umum dan
adanya system ganti kerugian untuk tanah yang diambil untuk kepentingan umum.

4. Pertanyaan Andira Khairunisa: Bagaimana status tanah yang telah habis


jangka waktu Hak Guna Bangunan (HGB) selama 80 tahun? Apakah kembali kepada
pemerintah?

Jawaban:

Kembali pada aturan yang sudah ada yaitu UUPA, dimana pada pasal 7 UUPA di
jabarkan "untuk tidak merugikan kepentingan umum maka kepemilikan dan
penguasaan atas tanah yang melampaui batas waktu penguasaan atas tanah tidak
diperkenankan" maka selanjutnya berdasarkan pasal 17 ayat (3) tanah-tanah yang
merupakan kelebihan dari batas maksimum diambil oleh pemerintah dengan ganti
kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut
ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai